Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

ANAK DENGAN DEMAM THYPOID DI RUANG RAWAT INAP


RSU SURYA HUSADHA DENPASAR
TANGGAL 1-19 JUNI 2022

OLEH :

KADEK ARI NESILAWATI, S.KEP


C2222034

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2022
BAB I

KONSEP DASAR

A. Anatomi Fisiologi

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai

anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima

makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke

dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna

atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari

mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar,

rektum dan anus.Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak

diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu (Kuntoadi &

Febriana, 2019).

1. Mulut

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada

hewan.Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian


awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus.Mulut merupakan

jalan masuk untuk sistem pencernaan.Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh

selaput lendir.Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di

permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin

dan pahit. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari

makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.

Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang

memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.  Proses menelan

dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.

2. Tenggorokan (Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.Berasal dari

bahasa yunani yaitu Pharynk. Skema melintang mulut, hidung, faring, dan

laring Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe

yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan

terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan

makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas

tulang belakang.

3. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui

sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan

berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik.

Sering juga disebut esophagus (dari bahasa Yunani: οiσω, oeso –

“membawa”, dan έφαγον, phagus – “memakan”). Esofagus bertemu dengan

faring pada ruas ke-6 tulang belakang.Menurut histologi. Esofagus dibagi

menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka),

bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus) serta bagian inferior

(terutama terdiri dari otot halus).


4. Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang

keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu :kardia, fundus, antrum.

5. Usus halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang

terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh

darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta.

Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang

membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding

usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan

lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot

melingkar (M. sirkuler), lapisan otot memanjang (M. Longitidinal) dan

lapisan serosa (Sebelah Luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus

dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan

(ileum).

6. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu

dan rektum.Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon

desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).

7. Usus Buntu (Sekum)

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi

adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian

kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung,

dan beberapa jenis reptil.Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang

besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang

sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.


8. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.Infeksi

pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing.Apendisitis yang

parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam

rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).Dalam anatomi

manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau

hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan

caecum.Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam

orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi

dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung

umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis)

yang jelas tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing

tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa

apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai

cacing dikenal sebagai appendektomi.

9. Rektum dan Anus

Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah

ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan

berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara

feses.Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih

tinggi, yaitu pada kolon desendens.Jika kolon desendens penuh dan tinja

masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar

(BAB).Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,

tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam

pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.Anus merupakan

lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari

tubuh.Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian


lannya dari usus.Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter.

Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB)

yang merupakan fungsi utama anus (Kuntoadi & Febriana, 2019).

B. Definisi

Thypoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman

salmonella Thypi (Arif Mansjoer,2012). Penyakit demam tifoid (typhoid fever)

yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang

bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut

bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan

dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2011). Demam tifoid merupakan penyakti

infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih

desertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran (Rampengan, 2011). Dari beberapa pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa Deman Thypoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan

oleh bakteri salmonella yang masuk kedalam tubuh manusia dan merupakan

kelompok penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang

sehingga menimbulkan wabah .

C. Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,

secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas

sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah

yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).

Laporan World Health Organization (WHO) terdapat 17 juta kasus demam tifoid

per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan
Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah

endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per

100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam tifoid di

Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid

di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000

penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk. Indisens rate di Indonesia

masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000

penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 –

1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi

dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di

negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan

sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2012).

D. Etiologi

Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan

salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk

batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan

debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20

menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau

aglutinin yaitu :

a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O

(berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H

(berasal dari flagel kuman).

c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena

rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)


Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan

titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita

tifoid (Aru W Sudoyo, 2010)

E. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan

dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari

jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika

infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala

prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak

bersemangat (Putra et al., 2012)

F. Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui

beberapa tahapan. Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke

dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi. Setelah kuman Salmonella

typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk

ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Jika respon imunitas

humoral usus kurang baik, kuman akan menembus sel-sel epitel usus dan lamina

propina. Di Lamina propina kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel

fagosit tertutama makrofag (Widodo et al 2014 :549) Bakteremia primer terjadi

pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya

masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14

hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan

berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa,

dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.

Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam system


peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai

berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis

seperti demam, sakit kepala dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap

selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini,

bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s

patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi

melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi

perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat

terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial

dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali (Nelwan, 2012)

G. Pathway
Minuman dan makanan
yang terkontaminasi
Mulut

Saluran pencernaan

Typhus Abdominalis

Peningkatan asam lambung Usus

Perasaan tidak enak pada Proses infeksi Limfoid plaque penyeri di ileum
perut, mual, muntah terminalis
(anorexia) Merangsang peningkatan
peristaltic usus Perdarahan dan
perforasi intestinal

Kuman masuk aliran


Diare limfe mesentrial
Ketidakseimbangan
nutrisi: Kurang dari
kebutuhan tubuh Menuju hati dan limfa

Kuman berkembang biak

Kekurangan
volume cairan Jaringan tubuh (limfa) Hipertrofi
(hepatosplenomegali)

Peradangan Penekanan pada saraf di hati


Kurang intake cairan
Nyeri ulu hati Nyeri Akut
Pelepasan zat pyrogen

Pusat termogulasi tubuh

Hipertermia

H. Klasifikasi
a. Demam Tifoid Akut Non Komplikasi

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan

abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada

anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa

terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25%

penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan punggung.

b. Demam tifoid dengan komplikasi

Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi

komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan

kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari

melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.

c. Keadaan karier

Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.

Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses

(Fitrianggraini, 2012)

I. Komplikasi

1. Komplikasi Interestinal

a. Pendarahan Interestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan

memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan

mengenai pembuluh darah maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya

jika luka menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain

karena luka, pendarahan juga dapat terjadi karena koagulasi darah

(Widodo et al, 2014)

b. Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu

ketiga, namun juga dapat timbul pada minggu pertama. Gejala yang
terjadi adalah nyeri perut hebat di kuadran kanan bawah kemudian

menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda lainnya adalah nadi cepat,

tekanan darah turun dan bahkan dapat terjadi syok leukositosis dengan

pergeseran ke kiri dengan menyokong adanya perforasi (Widodo et al,

2014).

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

a. Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati dari ringan sampe sedang.. Hepatitis tifosa dapat

terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang

yang ditandai dengan peningkatan kadar triaminase dan ikterus disertai

atau tanpa kenaikan kadar triaminasi (Widodo et al, 2014).

b. Pakreasitis tifosa dapat disebabkan oleh

mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun farmakologik.

Penatalaksanaan pakreasitis sama seperti pankreasitis pada umumnya,

antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena, antibiotic yang

diberikan adalah seftriaxon dan kuinolon (Widodo et al, 2014).

c. Miokarditis

Pada pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular

atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kohesif, aritma,

syok kardiogenik dan perubahan elektrokardiograf. Komplikasi ini

disebabkan kerusakan mikrokardium oleh kuman S.typhi (Widodo et al,

2014).

J. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik

1. Nilai leukosit dalam darah berkisar antara 5.000 – 6.000 /mm, tetapi bisa

dijumpai antara 1.200 – 20.000 /mm.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi

dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila

biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam

typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa

faktor :

a. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang

lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang

digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat

demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu

pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada

waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat

menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan

bakteremia sehingga biakan darah negatif.

d. Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti

mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil

biakan mungkin negatif.

4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam

serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah

divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi

salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji

widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang

disangka menderita typhoid. Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya

antibody terhadap kuman Salmonella typhi.

5. IgM dipstick test

Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi

yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan

IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah

1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas

dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan

Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika

positif lemah (Rachman, 2011)

K. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Farmakologi

Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit thypoid. Waktu

penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Antibiotika,

seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim sulfamethoxazole, dan

ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara

barat. Obat-obat antibiotik yaitu:

1) Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam

3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.


2) Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol, diberi

ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.

Pemberian intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari.

3) Amoksisilin amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam

3-4 kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari.

4) Kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3

kali pemberian, oral, selama 14 hari.

5) Pada kasus berat, dapat diberi ceftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali

dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari,

intravena, selama 5-7 hari.

6) Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika

adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

b. Penatalaksanaan Non-Farmakologi

1) Observasi dan pengobatan

2) Pasien harus tirah baring sampai 7 hari bebas demam atau kurang

lebih dari selam 14 hari. Tujuan tirah baring adalah untuk mencegah

terjadinya komplikasi perforasi usus.

3) Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan

pasien.

4) Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus

diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi

pneumonia dan dekubitus.

5) Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang

terjadi konstipasi dan diare.

6) Diet

a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.


c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi

tim

d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam

selama 7 hari (Sudoyo, 2010)


BAB II

KONSEP TUMBUH KEMBANG

A. Konsep Pertumbuhan Usia

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam

arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga

karena bertambah besarnya sel yang berarti ada pertambahan secara kuantitatif

seperti bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala.

Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki.Kematangan

pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu, kemudian

secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah.Pada masa fetal

pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir, yaitu

merupakan 50 % dari total panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian

bawah akan bertambah secara teratur. Aristoteles membagi masa

perkembangan dan pertumbuhan anak menjadi 3, yaitu: 0 – 7 tahun adalah

tahap masa anak kecil, 7 – 14 tahun adalah masa anak-anak, masa belajar, atau

masa sekolah rendah, 14 – 21 tahun adalah masa remaja atau pubertas, masa

peralihan dari anak menjadi dewasa (IDAI, 2018).

B. Konsep Perkembangan Usia

Perkembangan merupakan bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, serta

sosialisasi dan kemandirian pada individu (Fida & Maya, 2012). Hockenberry

dan Wilson (2011) mengelompokkan anak menurut fase perkembangannya. Fase

perkembanan anak terdiri dari fase prenatal, fase neonatal, fase infant, fase

toddler, fase prasekolah, fase sekolah dan fase remaja. Fase prenatal mencakup

masa kehamilan sampai anak dilahirkan. Fase neonatal merupakan masa saat
bayi lahir sampai usia 28 hari. Fase infant adalah fase saat bayi berusia 1 bulan

sampai 12 bulan. Fase toddler merupakan saat anak berusia 1-3 tahun. Setelah

fase ini akan memasuki fase pra sekolah yaitu saat anak memasuki usia 3-6

tahun. Fase sekolah merupakan fase anak berusia 6-12 tahun, dan terakhir fase

remaja yaitu saat anak memasuki memasuki usia 13-18 tahun (Hockenberry &

Wilson 2011)

C. Prinsip Asuhan Keperawatan Anak

1. Anak bukan miniatur orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik, artinya

bahwa tidak boleh memandang anak dari segi fisiknya saja melainkan sebagai

individu yang unik yang mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan

menuju proses kematangan.

2. Anak adalah sebagai individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai

tahap perkembangannya. Sebagai individu yang unik, anak memiliki berbagai

kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai tumbuh kembang.

Kebutuhan fisiologis seperti nutrisi dan cairan, aktivitas, eliminasi, tidur dan

lain-lain, sedangkan kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang akan

terlihat sesuai tumbuh kembangnya.

3. Pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan penyakit

dan peningkatan derajat kesehatan yang bertujuan untuk menurunkan angka

kesakitan dan kematian pada anak mengingat anak adalah penerus generasi

bangsa.

4. Keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada

kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara komprehensif

dalam memberikan asuhan keperawatan anak. Dalam mensejahterakan anak

maka keperawatan selalu mengutamakan kepentingan anak dan upayanya

tidak terlepas dari peran keluarga sehingga selalu melibatkan keluarga.


5. Praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan keluarga untuk

mencegah, mengkaji, mengintervensi dan meningkatkan kesejahteraan hidup,

dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai dengan aspek moral

(etik) dan aspek hukum (legal).

6. Tujuan keperawatan anak dan keluarga adalah untuk meningkatkan maturasi

atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai makhluk

biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga dan masyarakat. Upaya

kematangan anak adalah dengan selalu memperhatikan lingkungan yang baik

secara internal maupun eksternal dimana kematangan anak ditentukan oleh

lingkungan yang baik.

7. Pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak berfokus pada

ilmu tumbuh kembang, sebab ini yang akan mempelajari aspek kehidupan

anak.
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian

Pengumpulan data pada kasus thypoid meliputi : (Nurarif & Kusuma, 2015)

1. Identitas Klien

Di identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan ,

pekerjaan , alamat , status pernikahan pasien. Dan penanggung jawab pasien

meliputi nama, umur, jenis kelamin,agama, pendidikan ,pekerjaan , alamat ,

status pernikahan pasien dan hubungan dengan pasien.

2. Riwayat Kesehatan pasien

1) Keluhan Utama

Meliputi penyakit yang diderita atau hal yang dirasakan oleh klien

saat masuk rumah sakit atau saat pengkajian, seperti: mengeluh perut

merasa mual/kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Penyakit yang diderita oleh klien saat masuk rumah sakit, seperti

demam, anorexia, mual, muntah, diare,perasaan tidak enak

diperut,pucat (anemi),nyeri kepala pusing, nyeri otot,lidah tipoid

(kotor),gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita oleh klien

sebelumnya seperti apakah pernah dulu mengalami penyakit typoid.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita oleh angggota

keluarga klien apakah ada keluarga yang pernah mengalami typoid .


5) Pengkajian 11 fungsional gordon

a) Pola persepsi dan manajemen kesehatan

Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan

masalah dalam kesehatan.

b) Pola nutrisi dan metabolism

Pada pasien typhoid biasanya mengalami mual muntah, penurunan

nafsu makan selama sakit,lidah kotor,dan rasa pahit waktu makan

sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi tubuh . Pola eliminasi

Biasanya pada penderita typoid mengalami kontipasi dan diare .

c) Pola tidur dan istirahat

Biasanya pasien yang menderita typoid pola tidurnya akan

terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga

pasien merasa gelisah pada waktu tidur.

d) Pola aktivitas dan latihan

Biasanya pasien yang menderita typoid akan terganggu aktivitasnya

akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami

keterbatasan gerak akibat penyakitnya.

e) Pola peran dan hubungan

Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan

interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam

menjalankan perannya selama sakit.

f) Pola kognitif dan perceptual

Biasanya pada penderita typoid mengalami perubahan kondisi

kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan

kemampuan dalam merawat diri.


g) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya pasien yang menderita typoid mengalami adanya

perubahan didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam

mengatasi masalah penyakitnya.

h) Pola seksual dan reproduksi

Biasanya pada pasien typoid pada pola reproduksi dan seksual

pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi perubahan.

i) Pola koping dan toleransi stress

Biasanya stress timbul apabila seorang tidak efektif dalam

mengatasi masalh penyakitnya.

j) Pola nilai dan kepercayaan

Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien ,maka pasien akan

menjadi cemas dan takut akan kematian ,serta kebiasaan ibadahnya

akan terganggu.

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410C, muka

kemerahan.

b. Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

c. Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan

gambaran seperti bronchitis.

d. Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.


e. Sistem integumen

Kulit kering, turgor kulit menurun, muka pucat, rambut agak kusam

f. Sistem gastrointestinal

Mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak

enak, peristaltik usus meningkat.

g. Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

h. Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi

lunak serta nyeri tekan pada abdomen.  Pada perkusi didapatkan perut

kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermi (peningkatan suhu tubuh di ambang batas normal)

berhubungan dengan infeksi virus salmonella thyposa

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual, muntah, tidak nafsu makan

3. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

5. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis (peradangan pada


usus )
C. Rencana Keperawatan, Implementasi, Evaluasi

DIAGNOSA PERENCANAAN
NO
KEPERAWATAN Tujuuan INTERVENSI (NIC) RASIONAL
1 Hipertermi Setelah diberikan asuhan NIC Label NIC Label :
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam Perawatan demam perawatan demam
infeksi virus diharapkan suhu tubuh normal, 1. Monitor suhu tubuh, 1. Peningkatan suhu
salmonella thyposa dengan kriteria hasil: tekanan darah, denyut menunjukkan proses
NOC Label : nadi, dan respirasi rate penyakit infeksius akut.
secara berkala. Menggigil sering
1. Thermoregulasi
mendahului puncak suhu.
a. Melaporkan kenyamana suhu
2. Membuat vasodilatasi
dari skala 3 (cukup terganggu) 2. Berikan kompres hangat.
pembuluh darah sehingga
ke skala 5(tidak terganggu) yang
dapat membantu
ditandai dengan klien merasa
mengurangi demam.
nyaman.
3. Untuk mencegah
b. Penurunan suhu kulit dari skala 3. Anjurkan pasien untuk
dehidrasi akibat
4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada) mempertahankan asupan penguapan cairan karena
yang ditandai dengan akral cairan adekuat. suhu tubuh yang tinggi.
teraba hangat.
4. Digunakan untuk
c. Perubahan warna kulit skala 4 4. Kolaborasi pemberian mengurangi demam
(ringan) ke skala 5 (tidak ada) obat antipiretik sesuai dengan aksi sentralnya
yang ditandai dengan warna indikasi. pada hipotalamus.
kulit normal sawo matang)
1. Tanda – tanda vital
a. Suhu tubuh dan tanda vital dari
skala 2 (deviasi yang cukup
besar dari kisaran normal) ke
skala 5 (tidak ada deviasi dari
kisaran normal) yang ditandai
dengan
- Suhu : 36- 37
- Nadi: 60-100x/menit
- RR: 16-20 x/menit
- TD: 120/80 mmHg
2 Ketidakseimbangan Setelah diberikan Askep selama NIC LABEL NIC LABEL
nutrisi kurang dari 3x24 jam diharapkan kebutuhan 1. Manajemen nutrisi 1. Manajemen nutrisi.
kebutuhan tubuh b/d nutrisi seimbang dengan kriteria : a. Tentukan status gizi a. Untuk mengetahui
mual, mntah, tidak NOC LABEL : pasien dan  kemampuan kekurangan nutrisi
pasien untuk memenuhi pasien
ada nafsu makan 1. Status nutrisi
kebutuhan gizi
a. Asupan gizi dari skala 3
b. Identifikasi adanya b. Agar dapat dilakukan
(cukup menyimpang dari dari
alergi atau intoleransi intervensi dalam
rentang normal) ke skala 4
makanan yang dimiliki pemberian makanan
(sedikit menyimpang dari
pasien atau obat-obatan pada
skala norma) dengan kriteria
asupan gizi terpenuhi. pasien
b. Asupan makanan dari skala 3 c. Tentukan apa yang c. Dengan pengetahuan
(cukup menyimpang dari dari menjadi preferensi yangbaik tentang
rentang normal) ke skala 4 makanan bagi pasien nutrisi akan
(sedikit menyimpang dari meningkatkan
skala norma) dengan kriteria pemenuhan nutrisi
asupan makanan terpenuhi. d. Tentukan jumlah kalori d. Membantu dalam
c. Asupan cairan dari skala 3 dan jenis nutrisi yang mengidentifikasi
dibutuhkan untuk malnutrisi protein,
(cukup menyimpang dari dari memenuhi persyaratan khususnya apabila
rentang normal) ke skala 4 gizi berat badan kurang dari
(sedikit menyimpang dari normal.
skala norma) dengan kriteria
asupan cairan terpenuhi
2. Nafsu makan
a. Hasrat/keinginan untuk
makan dari skala 3 (cukup
terganggu) ke skala 5 (tidak
terganggu) dengan kriteria
pasien memiliki keinginan
untuk makan
b. Menyenangi makan dari skala
3 (cukup terganggu) ke skala
5 (tidak terganggu) dengan
kriteria pasien menyenangi
makanan
3 Diare berhubungan Setelah diberikan Asuhan NIC LABEL : NIC LABEL :
dengan inflamasi Keperawatan selama 3x24 jam 1. Manajemen diare 1. Manajemen diare
gastrointestinal diharapkan diare teratasi dengan a. Kelola pemeriksaan a. Untuk mendeteksi
kriteria : kultur sensitivitas feses adanya infeksi yang
berasal dari bakteri,
NOC LABEL:
virus, atau parasite
1. Fungsi gastrointestinal dan berbagai
a. Frekuensi BAB dari skala 2 penyakit.
(banyak terganggu) ke skala b. Membantu
4 (sedikit terganggu) dengan b. Observasi dan catat membedakan
kreiteria frekuensi BAB frekuensi defekasi,
normal karakteristik, jumlah penyakit individu dan
b. Konsistensi feses dari skala 3 dan faktor pencetus mengkaji beratnya
(cukup terganggu) ke skala 5 episodik
(tidak terganggu) engan c. Identifikasi makanan c. Memberikan istirahat
kriteria konsistensi lembek dan cairan yang kolon dengan
c. Bising usus dari skala 3 mencetus diare menghilangkan atau
(cukup terganggu) ke skala 5 menurunkan
(tidak terganggu) dengan rangsangan makanan
kriteria bising usus normal atau cairan
( 5-30x/mnt) d. Penggunaan obat
d. Nyeri perut dari skala 3 d. Ajarkan pada keluarga yang tepat dapat
(sedang) ke skala 5 (tidak penggunaan obat diare meminimalkan
ada) dengan kriteria tidak ada terjadinya syok
nyeri hipovolemik
e. Distensi perut dari skala 3 e. Untuk memudahkan
(sedang) ke skala 5 (tidak e. Kolaborasi jika tanda pengobatan dengan
ada) dengan kriteria tidak ada dan gejala diare segera
distensi perut menetap f. Memberikan
f. Diare dari skala 3 (sedang) f. Anjurkan pasien untuk kesempatan pada
ke skala 5 (tidak ada) dengan makan sedikit tapi lambung untuk
kriteria tidak ada diare. sering mencerna makanan
g. Untuk memperbaiki
g. Monitor hasil lab ketidakseimbangan
(elektrolit dan leukosit) cairan/elektrolit
h. Untuk koreksi
h. Monitor turgor kulit, keseimbangan cairan
mukosa oral sebagai dan elektrolit agar
indicator dehidrasi seimbang.
i. Menunjukkan
i. Konsultasi dengan ahli kehilangan cairan
gizi untuk diet tetap berlebihan atau
dehidrasi.
4 Defisien volume Setelah diberikan Askep selama NIC LABEL NIC LABEL
cairan berhubungan 3x24 jam diharapkan defisien 1. Manajemen cairan 1. Manajemen cairan
dengan kehilangan volume cairan teratasi dengan a. Timbang BB setiap a. Perubahan BB dapat
cairan aktif kriteria : hari dan monitor status menunjukkan
pasien keparahan dari edema
NOC LABEL
pasien
1. Hidrasi b. Menjaga
b. Jaga intake/asupan
a. Membrane mukosa lembab keseimbangan cairan
yang akurat dan catat
dari skala 4 (sedikit pasien
output pasien
terganggu) ke skala 5 (tidak c. Untuk mengetahui
c. Monitor status hidrasi
terganggu) dengan kriteria adanya tanda-tanda
(misal membrane
mukosa bibir lembab dehidrasi dan
mukosa, denyut nadi
b. Warna urine keruh dari skala mencegah syok
dan tekanan darah)
3 (sedang) ke skala 5 (tidak hipovolemik
ada) dengan kriteria warna d. Memantau jika terjadi
urine jernih d. Monitor hasil
laboratorium yang adanya peningkatan
c. peningkatan suhu tubuh dari berat jenis,
skala 3 (sedang) ke skala 5 relevan dengan retensi
cairan peningkatan BUN
(tidak ada) dengan kriteria dan penurunan
suhu tubuh dalam batas hematokrit
normal (36,5-37,5°C) e. Pemberian cairan IV
2. Keseimbangan cairan e. Berikan terapi IV
untuk memenuhi
a. Kesimbangan intake dan seperti yang ditentukan
kebutuhan cairan
output dalam 24 jam dari f. Agar menunjang
skala 3 (cukup terganggu) ke f. Berikan cairan yang dalam pemenuhan
skala 5 (tidak terganggu) tepat cairan
dengan kriteria cairan yang g. Agar cairan dalam
masuk dan cairan keluar g. Tingkatkan asupan oral tubuh terpenuhi
seimbang dan cairan selama 24
b. Turgor kulit dari skala 3 jam
(cukup terganggu) ke skala 5
(tidak terganggu) dengan
kriteria turgor kulit elastis
5 Nyeri akut Setelah diberikan Askep selama NIC LABEL NIC LABEL :
berhubungan dengan 3x24 jam diharapkan nyeri 1. Manajemen nyeri 1. Manajemen nyeri
cidera fisik berkurang, dengan kriteria : a. Lakukan pengkajian a. Untuk menentukan
NOC LABEL nyeri secara intervensi yang sesuai
komperhensif termasuk dan keefektifan dari
1. Kontrol nyeri
lokasi,karakteristik,dur terapi yang diberikan
a. Mengenali kapan nyeri terjadi
asi, b. Membantu dalam
dari skala 3 (kadang-kadang
Frekuensi,kualitas, mengidentifikasi
menunjukkan) ke skala 5
Termasuk lokasi derajat
(secara konsisten
b. Obs reaksi nonverbal ketidaknyamanan.
menunjukkan)
dari ketidaknyamanan. c. Meningkatkan
b. Menggambarkan nyeri dari
kenyamanan
skala 3 (kadang-kadang c. Fasilitasi lingkungan
2. Manajemen obat
menunjukkan) ke skala 5 nyaman
a. Identifikasi
(secara konsisten 2. Manajemen obat
karakteristik nyeri
menunjukkan) a. Tentukan lokasi ,
dan factor yang
c. Menggunakan tindakan karakteristik, kualitas
berhubungan
pencegahan nyeri dari skala 3 dan derajat nyeri
merupakan suatu hal
(kadang-kadang sebelum pemberian
menunjukkan) ke skala 5 obat yang amat penting
(secara konsisten untuk memilih
menunjukkan) intervensi yang cocok
d. Melaporkan nyeri terkontrol b. Untuk meminimalkan
dari skala 3 (kadang-kadang terjadnya kesalahan.
b. Cek instruksi dokter ttg
menunjukkan) ke skala 5
jenis obat, dosis dan
(secara konsisten c. Untuk meminimalkan
frekuensi
menunjukkan) terjadinya syok
c. Cek riwayat alergi
e. Menggunakan analgesic yang anafilatik
direkomendasikan dari skala d. Pemberian analgetik
3 (kadang-kadang untuk mengendalikan
menunjukkan) ke skala 5 d. Pilih analgetik yang nyeri.
(secara konsisten diperlukan/kombinasi
menunjukkan) dari analgeti ketika
2. Tingkat nyeri pemberian obat
a. Nyeri yang dilaporka dari
skala 3 (sedang) ke skala 5
(tidak ada)

b. Panjangnya episode nyeri


dari skala 3 (sedang) ke skala
5 (tidak ada)
c. Ekspresi nyeri wajah dari
skala 3 (sedang) ke skala 5
(tidak ada)
D. Evaluasi

1). Termoregulasi normal dengan kriteria hasil: Suhu tubuh dalam rentang
normal (36,5-37,5), nadi dan respirasi dalam rentang normal, tidak ada
perubahan warna kulit, tidak menggigil.
2). Nutrisi seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan
kriteria:asupan gizi, asupan makanan dan asupan cairan terpenuhi, dan
keinginan makan – makanan yang disenangi dapat meningkat.
3). Diare teratasi dengan kriteria frekuensi BAB dan konsistensi feses
dalam rentang normal, bising usus normal ( 5 – 30 x/menit), tidak ada
nyeri dan distensi pada perut.
4). Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada
pasien terpenuhi dengan kriteria cairan masuk dan keluar seimbang
dan turgor kulit elastis.
5). Nyeri terkontrol dengan kriteria hasil: melaporkan nyeri terkontrol,
ekspresi wajah tidak meringis, tanda- tanda vital dalam batas normal.
DAFTAR PUSTAKA

Arthur,Guyton. (2011).Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta:EGC.

Kuntoadi, G,B,, & Febriana. (2019). Buku Ajar Anatomi Fisiologi: untuk
mahasiswa APIKES – Semester 1. (n.d): Pantera Publishing.

Masjoer, A. (2012). Kapita selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Muliawan. (2011). Konsep Dasar Keperawatan Tropis. Jakarta:EGC

Nelwan RHH. (2012). Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Departemen Ilmu


Penyakit Dalam FK UI. Jurnal CKD-192. Vol 39 no 4

Nurarif, Amin. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA.Yogyakarta : Mediaction

Rampengan. (2011). Infeksi Tropic Pada Anak Edisi2. Jakarta:EGC.

Simanjutak. (2012). Demam Typoid, Epidemiologi dan Perkembangan


Penelitian .Jakarta:Dunia Kedokteran.

Smeltzer dan Bare.(2011). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta:EGC

Sudoyo, A.W. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publising.

Suedarmo, Sumarmo, dkk. (2011). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri tropis.
Jakarta:IDAI.

Supariasa, dkk. (2011). Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Kedokteran EGC.

Widodo. (2014). Demam Tifoid dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta :
Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai