Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Keislaman Konteporer”

HARUN NASUTION

OLEH:
KELOMPOK IV

Ulfa: 2120203886108046

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PARE PARE
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan
rahmat,karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Harun Nasution ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. dan jugakami berterima kasih pada Ibu Dr. Hj.ST. Nurhayati,
M.Hum, selaku dosen matakuliah studi keislaman kontemporer telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai tseputar tentan Harun Nasution dan
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat untuk masa
yang akan datang,mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yangkurang berkenan dan kami memohon kritik dansaran
yang membangun demi perbaikan masadepan.

Pambusuang, September 2022

Kelompok IV
DAFTAR ISI

JUDUL..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................2

PEMBAHASAN

A. Profil Harun Nasution……………………………………….

B. Pemikiran keagamaan Harun Nasution……………………..

C. Corak pemikiran teologis Harun Nasution………………….

D. Gagasan pembaharuan pendidikan Harun Nasution……….

PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN..............................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi
kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang
pada zaman klasik islam, sedangkan pemikiran tradisonal berkembang pada
zaman pertengahan islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya
kedudukan akal seperti terdapat al-quran dan hadis.
Pertemuan dan peradaban yunani ini melahirkan pemikiran rasional di
kalangan ulama islam zaman klasik.
Oleh karena itu, kalau di yunani berkembang pemikiran rasional yang
secular, maka dalam islam zaman klasik berkembang pemikiran rasional yang
agamais. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada
para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang
terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian dalam sejarah
perbedaan islam, pemikiran para filsafat dan penemuan-penemuan ulama sains
tidak ada tang bertentanagan dengan al-quran dan hadis.
Sejak abad kesembilan belas ini kembali tumbuh di dunia islam pemikiran
rasional yang agamais dengan perhatian pada filsafat, saian, dan teknologi. Di
abad kedua puluh perkembnagan itu lwbih maju lagi, lahir interptasi rasional
dan baru atas al-quran dan hadis. Pemikiran tradisional islam segera mendapat
tantangan dari pemikiran rasional agamais ini.
Dalam pemikiran rasional agamais manusia punya kebebasan dan akal
mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-qur’an dan
hadis. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber
utama islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath;I al-
wurud dan qaaath’iy al-dalalah. Maksud ayat al-quran dan hadis ditangkap
sesuai dengan pendapatakal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Profil Harun Nasution

2. Pemikiran keagamaan Harun Nasution

3. Corak pemikiran teologis Harun Nasution

4. Gagasan pembaharuan pendidikan Harun Nasution


PEMBAHASAN
A. profil Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada tanggal 23 September 1919 di


Pematang Siantar Sumatra Utara. Harun Nasution dilahirkan dari
keluarga ulama, ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang
ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai
kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih
menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu
mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama
dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya
adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan
Abdul Jabbar Ahmad.
Harun Nasution menyelesaikan sekolah dasar di Hollandsche
Indlansche School (HIS) selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga
belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus HIS di tahun 1934
sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya
untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol dan
lulus di tahun 1937. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat
dasar, Hollandge Islandsche Scchool (HIS), ia melanjutkan studi ke
tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne
Islamictische Kweekshool (MIK). Kemudian ia meninggalkan MIK
karena desakan orang tua untuk pergi belajar di Arab Saudi. Di
negeri gurun pasir, ia tidak tahan lama dan menuntut orang tuanya
agar bisa pindah studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil inilah, Harun
Nasution pada mulanya mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar. Akan tetapi, Harun merasa tidak puas dan
kemudian pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di sana ia
mengambil ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun beliau sempat
bekerja di perusahaan swasta dan kemudian di konsultan Indonesia
di Kairo. Setelah tamat dari universitas tersebut dengan ijazah BA
diraihnya. Dari konsultan itulah, putra Batak yang mempersunting
seorang putri dari Mesir ini melalui karier diplomatiknya. Dari
Mesir ia ditarik ke Jakarta sebagai sekretaris pada kedutaan
Indonesia di Brussel.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 1960-an
membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan
berangkat kembali ke Mesir. Di Mesir, ia kembali menyelami dunia
ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam. Pada waktu itu, Harun
Nasution berada di bawah bimbingan salah seorang ulama fikih
Mesir yang terkemuka, yakni Abu Zahra. Ketika belajar di sinilah
Harun Nasution mendapat tawaran untuk mengambil studi Islam di
Universitas McGill Kanada. Untuk tingkat magister di universitas
tersebut, ia menulis tentang “Pemikiran Negara Islam di Indonesia”,
dan untuk disertasi Ph.D, ia menulis tentang “Posisi Akal dalam
Pemikiran Teologi Muhammad Abduh”. Setelah meraih gelar
doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan
perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat perguruan
tinggi, yaitu IAIN. Bahkan ia sempat menjadi Rektor IAIN Jakarta.
selama dua periode (1974-1982). Kemudian ia menjadi sang pelopor
pendirian pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.
B. Pemikiran keagamaan Harun Nasution
1........................................................................................................... akal

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia itu berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-„aql ( ‫) العقل‬, artinya pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran
yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan). Dalam bahasa
Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran.13Akar kata al-
„aql mengandung makna ikatan, yaitu dipergunakan untuk menerangkan
sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Ia juga mengandung arti
mengerti, memahami dan berfikir.
Dalam Al-Qur‟an tidak terdapat kata „aql. Akan tetapi, dalam bentuk kata
kerja sebanyak 49 kali, kata-kata itu datang dalam arti faham, berfikir dan
mengerti, seperti „aqaluh ayat yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 75:
‫ق ِم ْْن ْ ُم ي َْس َمعُونَ َكلَ َم ا ه ل َِّل‬ َُُْ ‫طمعُونَ َأ ْن يُْؤ ِمنُوا ل‬
ِ َ َ‫ك َوقَ ْد َكن‬
ٌ ‫فري‬ َ ْ َ‫َأفت‬
2. َ‫ي رِّ فُوه َُو ِم ْن ب َْع ِد َم ا َعقَل ُوهُ َوهُُْ ي َْعل َمُون‬ َُُ ‫ثُُه‬

Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,


padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?
Selain itu dalam al-Qur‟an sebutan-sebutan yang memberikan sifat
berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulul albab (orang berpikir), ulul „ilm
(orang berilmu), ulil abshar (orang yang mempuyai pandangan), dan ulin
nuha (orang bijaksana).
Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya
(kekuatan atau tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat
seseorang dapat membedakan dirinya dengan orang lain, dan daya untuk
mengabstrakkan (menjadi tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh
panca indra.
Sementara Izutsu mengatakan bahwa kata akal pada zaman Jahiliyyah
diartikan sebagai suatu kecerdasan praktis (practical intelligence). Kata ini
dikhususkan pada seseorang yang dapat menyelesaikan setiap
permasalahannya dengan baik. Orang yang berakal, menurut Izutzu, adalah
orang yang mempunyai kemampuan, dalam menghadapi setiap masalah yang
dihadapi dan mampu melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi dalam setiap
mengarungi samudera kehidupannya.16 Sifat seperti ini pada zaman
Jahiliyyah dijunjung tingggi dan dijadikan pegangan dalam kehidupannya.
Akal terdiri atas dua unsur, yaitu rasio dan hati. Setelah manusia
memikirkan atau merasiokan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di
alam atau tertulis dalam kitabnya maka tidak akan mengakui adanya Allah
kalau hatinya tidak berfungsi, sebab buta, tidak yakin dan kotor. Yang masuk
akal belum tentu dapat dirasionalkan, sebab berfungsinya kemampuan rasio
manusia sangat terbatas, hatinya buta dan menyebabkannya tidak yakin.
Banyak manusia yang tidak mau memahami tanda-tanda kekuasaan dan
keesaan Allah, mereka tidak mau menggunakan hati dan rasionya. Tapi ada
juga yang mau menggunakan rasio namun mereka tidak yakin karena hatinya
buta. Mereka bahkan lebih sesat dari pada binatang yang tidak mempunyai
akal.
Jadi melalui akal fikiran, manusia dapat menggunakannya untuk
mencari petunjuk serta kebenaran, serta dapat membedakan mana yang baik
untuk diikuti serta menjauhi dan meninggalkan hal-hal yang buruk.18
Meskipun manusia mempunyai akal dan senantiasa menggunakannya, sama
dalam menjalani urusan kehidupan atau untuk mencari kebenaran, namun
tidak semestinya hasil pemikiran mereka menempati tujuan yang sebenarnya
serta mencapai matlamat yang dimaksud dan diinginkan. Dan disitulah letak
pentingnya wahyu.
2. Wahyu
Sementara wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy ( ‫) الوحي‬, artinya
suara, api dan kecepatan. Kata wahyu disebutkan 78 kali dalam al-Qur‟an
dengan beraneka ragam makna, seperti mengandung makna firman Allah,
hikmah, ilham, bisikan, isyarat, perintah, tulisan, dan kitab yang
terdapat dalam al-Qur‟an. Misalnya Wahyu bermakna firman Allah, seperti
dalam surat An-Nisa: ‫ح َوالنَّبِيِّينَ ِم ْن ب ْع ِد ِه َوأ َْو َحي نَا ِإ ٰ َل‬ ٰ َ ‫ِإنا َّ أ َْو َحي نَا ِإلَ ْي‬
َْ ‫ك َك َما‬
ٍ ‫أو َحي نَا ِإ َل ن ُو‬

َُ ‫ب َوي ُو‬
‫نس‬ ْ ‫وب َو‬
َ ‫الْ َْسبَا ِط َو ِعي َس ٰى َوأيَ ُّو‬ َ ُ‫ق َوي ْعق‬ ْ ‫ِإب َرا ِهي َم َوِإ‬
َ ‫سْ اَ ِعي َل َوِإس َْحا‬
‫ي نَا دَا ُوود زَب ُورًا‬ َ ‫َوهَارُونَ َو ُسلَ ْي َمانَ َوآت‬
Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan
Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud... (QS. An-Nisa: 163).
Selanjutnya, Al-Wahy mengandung arti pembicaraan secara tersembunyi
dan dengan cepat. Wahyu juga berarti petunjuk langsung dari Allah atau
kebenaran langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hambanya.
Dengan kata lain, wahyu merupakan komunikasi antara Tuhan dan manusia.
Sementara wahyu secara bahasa, wahyu adalah pemberian isyarat,
pembicaraan dengan rahasia, dan menggerakan hati. Adapun yang dimaksud
dalam terminologi, wahyu adalah pemberitahuan yang datang dari Allah
kepada nabinya yang di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk
kepada jalannya yang lurus dan benar.
Berbicara tentang wahyu, wahyu adalah firman Allah yang dijadikan
panduan untuk menetapkan suatu hukum, yang tidak dapat diganggu gugat
sama sekali. Para nabi dan rasul saja yang terpelihara penuturan serta akal
pikirannya dari kesalahan dan menyimpang dari kebenaran, baik dalam hal
kehidupan di dunia, akhirat, perkara yang telah berlaku maupun akan datang.
Hal tersebut karena Allah tidak pernah berkata atau berfikir mengikuti hawa
nafsu, semuanya melalui ilham dan wahyu dari Allah SWT.
C. Corak pemikiran teologis Harun Nasution

Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras
untuk sampai kepadaTuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan
tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya. Persoalan
yang kemudian timbul dalam pembahasan ilmu kalam yaitu sampai
dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia? Dan sampai dimanakah besarnya fungsi wahyu kedalam
kedua hal tersebut?
Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua
masalah pokok yaitu:
1. Tentang mengetahui Tuhan, yang melahirkan dua masalah, yaitu
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan
2. Tentang baik dan jahat, yang melahirkan dua masalah juga, yaitu
mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik
dan meninggalkan perbuatan jahat.

Dari keempat masalah cabang tersebut, terjadi polemik dikalangan


aliran kalam: manakah dari keempat masalah itu yang diperoleh melalui akal
dan manakah yang diperoleh melalui wahyu.
a. Muktazilah
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala
pengetahuan dapat di- peroleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-
kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah
wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan
yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah se-pendapat bahwa
kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, kewajiban me-
ngerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal.
Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih
dahulu mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik
dan menjauhi perbutan buruk, orang harus lebih dahulu mengetahui Tuhan
dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang ,
tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak
dapat dapat mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui
kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup
mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti
maupun di dunia. Dengan demikian, menurut Mu’tazilah bahwa tidak semua
yang baik dan buruk itu, dapat diketahui oleh akal, karena itu wahyu selain
wahyu bersifat informatif dan konfirmatif, juga berfungsi menyempurnakan
pengetahuan akal tentang masalah baik dan buruk.
menurut Mu’tazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh akal.
Untuk mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Wahyu dengan demikian
menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya
wahyu bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian
pahala dan siksa di akhirat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu
dalam pandangan kaum mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu
berfungsi hanya sebagai komfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain
fungsi wahyu hanya kecil.
b. Asy’ariyah
Menurut Asy’Ariyah sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri,
segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak
dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi
manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan,
tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan
berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui
bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak
patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal menurut Asy’ari, dapat
mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia dan karena itulah diperlukan wahyu.
Menurut Aln Syahrastani, kaum Asy’ariyah ber-pendapat bahwa
kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diketahui
dengan akal. Dan juga menurut Al-Baghdadi akal dapat mengertahui
Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan. Al-Ghazali, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa
kewajiban-kewajiban bagi manusi mengenai soal baik dan jahat al-gazali
menerangkan bahwa suatu perbuatan itu baik. Kalau perbuatan sesuai dengan
maksud pembuat dan disebut buruk, kalau tidak sesuai dengan tujuan
pembuatan. Keadaan sesuai atau tidak sesuai dan bias pada masa depan, bagi
al-gazali perbuatan yang sesuai dengan tujuan masa depan yaitu akhirat,
jelasnya perbuatan yang ditentukan oleh wahyu ditentukan baik dan perbuatan
buruk tau jahat lawan perbuatan baik.
Sudah barang tentu bahwa tujuan di akhirat hanya dapat diketahui
dengan wahyu dan oleh karena itu apa yang disebut perbuatan baik atau buruk
juga dapat diketahui hanya dengan wahyu.
Adapun pendirian Al-Syahrastani dapat diketahui dalam bukunya
bernama Nihayah al- Iqdam fi’Ilm al-Kalam yang dikutip oleh Harun
Nasution bahwa ia sependapat dengan alasy’ari mengenai Tuhan dan
kewajiban manusia berterima kasih. Yang pertama diketahui dengan akal dan
yang kedua dengan wahyu. Mengenai soal baik dan jahat akal menurut al-
syahrastani. Mengenai baik dan jahat ia memberi keterangan lebih jelas dari
ketiga pemuka asy’ariah tersebut diatas. Akal tak dapat menentukan baik dan
jahat karena yang dimaksud dengan baik ilah perbuatan yang mendatangkan
pujian syariat bagi pelakunya dan yang dimaksud dengan buruk ialah
perbuatan ynag membawa celaan syariat.
Keterangan yang jelas dan tegas mengenai persoalan baik dan jahat ini
di berikan oleh ’Adud al-Din al-Iji dalam al-’aqaid al ’adudiah dan oleh Jallal
al-Din al Dawwani dalam komentarnya terhadap karangan Asus al-Din itu.
Akal tak apat sampai pada perbuatan baik dan buruk, karena wahyulah dalam
pendapat mereka yangmenentukan kedua hal itu.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa diantara pengikut-pengikut Al-
Asy’ari terdapat akal hanyalah Mengetahui Tuhan, sedangkan untuk ketiga
lainnya dengan Wahyu.
c. Maturidiyah
Al-Maturudi bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi
sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari
keterangan al-bazzdawi berikut: ”percaya pada Tuhan dan berterima kasih
kepada-Nya sebelum ada wahyu adalah wajib bagi paham Mu’tazilah. Al-
syaikhabu Mansur Al-maturudi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah.
Demikan jugalah umumnya ulama samarkand dan sebagian alim ulama Irak”.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ’Uzbah ”dalam pendapat
Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal
mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai
kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya percaya Tuhan, ia mesti
dihukum. Dalam Maturidiah anak yan belum baligh, tidak mempunyai
kewajiban apaapa. Tetapi Abu Mansural-Maturudi berpendapat bahwa anak
yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat antara Mu’tazilah dan Maturidiah”.
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu Uzbah dan lain-lain memberi
keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturudi mengenai soal
mengetahui Tuhan dan berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan.
Keterangan demikain tidak dijumpai
dalam soal baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat
mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan yang mengetahui
kewajiban baik dan buruk. Tetapi al-bazdawi tidak menjelaskan apakah
pendapat itu juga merupakan pendapat Al-Maturidi. Untuk mengetahui
pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan-karangannya sendiri. Buku
kitab al-Tawhid mengandung penjelasan tentang hal ini. Akal, kata Maturidi,
mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang
buruk yang terdapat dalam yang buruk dengan demikian akal juga tahu baik
dan buruk. Akal menurut al-maturidi selanjutnya mengetahui bahwa bersikap
adil dan lurus adalah baik. Akal selanjutnya memerintahkan manusia
mengerjakan perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang
mengerjakan yang membawa pada kerendahan Jelaslah bahwa maturidi
berpendapat akal dapat mengetahui hal yang baik dan buruk. Tetapi uraian di
atas tidak memberi peringatan bahwa akal mengetahui kewajiban berbuat baik
dan menjauhi kejahatan. Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya
perintah dan larangan Tuhan. Sehingga menurut al-Maturudi 3 hal pokok
dapat diketahui akal, sedangkan kewajiban berbuat baik dan buruk dapat
diketahui hanya melaui wahyu. Pendapat al-Maturidi di atas di terima oleh
pengiku-pengikut di samrkand. Adapun pengikutnya di Bukhara mereka
mempunyai faham yang berlainan sedikit perbedaannya sekitar kewajiban
mengetahui Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Bayadi mengatakan bahwa
menurut Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal.
Dengan demikian golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-
kewajiban menjadi kewajiban. Sedangkan dalam hal lainnya golongan
bukhara sependapat dengan golongan samarkand. Tetapi sungguhpun
demikian, sebagian dari bukhara berpendapat akal tak dapat mengetahui baik
dan buruk, dan dengan demikian mereka sebenarnya masuk dalam aliran
Asy’ariyah dan bukan dalam aliran maturidiah golongan Bukhara.
D. Gagasan pembaharuan pendidikan Harun Nasution
1. Hakikat Pembaharuan Pendidikan Islam Harun Nasution
Menurut Harun Nasution, istilah pembaharuan tidak lepas dengan kata
modernisasi. Dalam bahasa Indonesia, kata modern, modernisasi, dan
modernisme seperti yang terdapat dalam istilah “aliran-aliran modern dalam
Islam” dan “Islam modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat berarti
aliran, gerakan dan pemahaman guna mengubah paham-paham adat-istiadat,
institusi-institusi lama untuk diselaraskan atau disesuaikan dengan suasana
yang baru. Di dunia barat pemahaman modernisme ajaran agama bertujuan
untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan
Protestan dengan ilmu pengetahuan dan Falsafah Modern, hal tersebut
menyebabkan adanya Aliran Sekularisme di dunia Barat.
Dalam pembaharuan Islam yang di gagas oleh Harun Nasution adalah
upaya menyelaraskan antara pembaharuan pandangan ber Islam dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia modern. Maksudnya
adalah pembaharuan pandangan dalam Islam bukan berarti mengurangi,
menambah atau teks dalam Alquran maupun teks dalam hadits, akan tetapi
Harun Nasution berupaya mengubah atau menyesuaikan pemahaman atas dua
teks tersebut sesuai dengan keadaan perkembangan zaman.
Pada hakikatnya pembaharuan pendidikan Islam merupakan usaha
reinterpretasi berkelanjutan dan secara eksplisit di tujukan terhadap
mengembangkan fitrah keberagamaan (religiusity) peserta didik (mahasiswa)
agar supaya lebih mampu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam sesuai dengan semangat kemajuan zaman. Implikasi dari
pengertian ini adalah pendidikan Agama Islam merupakan komponen yang
tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa semangat pembaharuan memosisikan pendidikan Islam
sebagai jalur pengintegrasian wawasan agama dengan bidang-bidang studi
(pendidikan) yang lain. Implikasi lebih lanjut mengenai pemberharuan Islam
adalah, pendidikan agama harus dilaksanakan sejak usia dini melalui
pendidikan keluarga sebelum anak memperoleh pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu yang lain.14 Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
semangat dari pembaharuan Islam adalah untuk membentuk terwujudnya
insan kamil yang berlandaskan Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian diharapkan seseorang yang telah paham akan gebrakan
Harun Nasution tersebut bisa memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini tidak hanya serta merta langsung dari Allah, tanpa bisa di
rasio dengan akal manusia. Artinya segala fenomena yang terjadi di alam
semesta ini pasti ada hukum kausalitasnya. Memang segala sesuatu akan
terjadi karena takdir Allah namun ada sebab akibat (kausalitas) yang bisa
dinalar oleh pikiran manusia dengan berlandaskan sumber-sumber Islam baik
Alquran dan Assunah. Misalnya dalam Alquran Qs Azzumar 39;21
diterangkan bahwa Allah menurunkan hujan dari langit ke muka bumi ini
adalah sebagai sumber-sumber kehidupan bagi makhluk hidup.
Ditinjau dari hal tersebut dengan pemikiran Islam Rasional yang di
gagas oleh Harun Nasution mengantarkan pemikiran bahwa memang benar
Allah lah yang menciptakan adanya hujan namun lebih dari itu proses
terjadinya hujan dari langit dan turun ke bumi bisa di kaji lebih lanjut dengan
rasio manusia. Artinya terjadinya hujan di muka bumi ini ada sebab akibat
(hukum kausalitas) yang mempengaruhinya. Terjadinya hujan disebabkan oleh
proses kondensasi di awan yang mengubah awan menjadi molekul air,
terjadinya awan disebabkan oleh adanya proses evaporasi air laut yang
kemudian mengubah air menjadi awan dan seterusnya hingga menjadi lah
siklus hujan. Dari sedikit gambaran tentang siklus hujan itu menunjukkan
bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pasti ada hukum
kausalitasnya atau hukum sebab akibat.
Harun Nasution juga melakukan sebuah gebrakan dalam pengembangan
sistem pendidikan di bidang akademik khususnya pendidikan perguruan
tinggi. Dalam tradisi akademik perguruan tinggi Islam di Indonesia, ada tiga
perubahan dan pembaharuan sistem yang diupayakannya yaitu sebagai berikut
:
a. Memasukan strategi pembelajaran yang mengasah kemampuan pemikiran
mahasiswa tentang Islam seperti diskusi dan seminar. Karena sebelumnya
sistem pembelajaran di perkuliahan dinilai feodal.

b. Harun Nasution menuntut mahasiswanya untuk menulis. Hal tersebut


ditujukan untuk melatih kemampuan mahasiswa untuk menuangkan ide
dan gagasannya tidak hanya di lontarkan lewat lisan namun ditulis dengan
kaidah penulisan yang sistematis.

c. Mahasiswa dituntut untuk memahami Islam secara universal. Dominasi


pendekatan fiqih selama ini dalam sistem pengkajian Islam membuat
kajian Islam agak mandek

2. Nasution Ruang Lingkup Pendidikan Menurut Harun

a. Hubungan Antara Agama dan Moral


Hubungan agama dengan moral sangat erat sekali dan merupakan hal
yang esensial. Demikian juga halnya dengan Islam. Di dalam Al-Qu’an
banyak terdapat ajaran-ajaran mengenai akhlak. Dan Nabi Muhammad sendiri
menjelaskan bahwa beliau diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan ajaran-
ajaran mengenai budi luhur.
Dalam Pendidikan agama terutama di TK, SD, SMP, SMA, pendidikan
moral inilah rasanya yang perlu diutamakan. Pelajaran-pelajaran mengenai
keagamaan lain, terutama ibadah sebaiknya dihubungkan dengan pendidikan
moral ini. Di Perguruan tinggi, pendidikan moral masih dapat dilanjutkan,
tetapi di sini yang perlu ditekankan adalah pendidikan spiritual dan pelajaran
rasional tentang ajaran agama.
b. Kurikulum
Penyusunan kurikulum atau silabus pendidikan agama di sekolah-
sekolah umum sebaiknya didasarkan pada hal-hal berikut:
Untuk TK dan tahun-tahun pertama SD mencakup: (1) mengenal Tuhan
sebagai pemberi dan sumber dari segala yang dikasihi dan disayangi anak
didik (2) berterima kasih atas pemberian-pemberian itu, (3) pendidikan:
jangan menyakiti orang lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan, (4) pendidikan
berbuat baik dan suka menolong orang lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan,
(5) pendidikan sopan santun dalam pergaulan.
Untuk SMP dan selanjutnya meliputi: (1) kenal dan cinta kepada Tuhan
sebagai yang maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun, (2) Ibadah sebagai
tanda terima kasih kepada Tuhan atas nikmat-Nya, (3) memperdalam rasa
sosial dan kesediaan menolong orang lain, binatang dan lain-lain, (4) ajaran
dan didikan tentang akhlak Islam, (5) pengetahuan tentang agama islam
seperti tauhid, fiqh, dan lain-lain, sekadar perlu dan sesuai dengan
perkembangan anak didik.
Untuk SMP dan SMA mencakup: (1) memperdalam hal-hal tersebut
dalam sub SD di atas, (2) ibadah di sini diajarkan sebagai latihan spiritual
sebagai pendekatan terhadap Tuhan Tujuannya ialah memperoleh kesucian
dan ketentraman jiwa, (3) pengetahuan tentang agama diperdalam dan
diperluas, (4) menanamkan rasa toleransi terhadap mazhab-mazhab yang ada
di dalam agama, (5) dedikasi terhadap masyarakat.
Untuk Tingkat PT mencakup: (1) memperdalam rasa keagamaan dengan
pendekatan spiritual dan intelektual, (2) Ibadah sebagai didikan mahasiswa
untuk merendahkan hati, di samping berpengetahuan tinggi, tidak merasa
takabur tapi sadar bahwa di atasnya masih terdapat Zat yang Maha
Mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun, (3) memperluas
pengetahuan agama secara global, (4) memperdalam rasa toleransi, (5)
memperdalam rasa dedikasi terhadap masyarakat.
c. Metode
Karena tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral,
maka metode yang sebaiknya dipakai ialah: (1) Pemberian contoh dan teladan,
(2) Nasihat, (3) tuntunan dalam menyelesaikan persoalan, (4) kerjasama
dengan lingkungan, (5) kerjasama dengan pendidik lainnya, (6) Tanya jawab
dalam hal intelektual.
d. Kualitas Pendidik Agama
Menurut Harun Nasution ada beberapa syarat-syarat yang perlu bagi
pendidik agama antar lain: (1) menjadi teladan, (2) menguasai ilmu
pengetahuan, (3) mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama selalin
pengetahuan yang menjadi jurusan, (4) mempunyai pengetahuan yang
seimbang dengan pengetahuan siswa.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Harun Nasution lahir pada tanggal 23 September 1919 di


Pematang Siantar Sumatra Utara. Harun Nasution dilahirkan dari
keluarga ulama, ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang
ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai
kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih
menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu
mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama
dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya
adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan
Abdul Jabbar Ahmad.
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata
arab al-aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata
al-wahy, tidak terdapat dalam al-qur’an. Dan Wahyu berasal dari
kata al-wahy dan al-wahy adalah kata asli arab dan bukan kata
pinjam dari bahasa asing, kata itu berarti suara, api dan kecepatan.
Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras
untuk sampai kepadaTuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkabaran dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan
tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya.
Menurut Harun Nasution, istilah pembaharuan tidak lepas dengan kata
modernisasi. Dalam bahasa Indonesia, kata modern, modernisasi, dan modernisme
seperti yang terdapat dalam istilah “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam
modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat berarti aliran, gerakan dan
pemahaman guna mengubah paham-paham adat-istiadat, institusi-institusi lama untuk
diselaraskan atau disesuaikan dengan suasana yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

M. Alfatih Suryadilaga, dalam pengantar editor buku M. Yusron, (2006). Studi


Kitab Tafsir Kontemporer. TH-Press, Yogyakarta.

Mustaqimah, (2015). “Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Alquran”,


Farabi, jakarta.

Harun Nasution, (1989). Pembaharuan Dalam Islam. UI-Press, jakarta.

Harun Nasution, (1996). Islam Rasional; Gagasan dan pemikiran: Mizan,


Bandung.

Muhammad Daud Ali, (2009). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, : RajawaliPers, Jakarta.
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
Mohammad Daud Ali, (2006). Pendidikan Agama Islam, : RajaGrafindo,
Jakarata.
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,

Choiruddin Hadhiri, (2005). Klasifikasi Kandungan Al-Qu‟an, jilid I,:


Gemalnsani, Jakarta.

Surajiyo, et. al, (2009). Dasar-dasar Logika, Cet V,: Bumi Aksara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai