Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
LAELA RAHMADANI
NIM(12030126863)
FAKULTAS USHULUDDIN
PEKANBARU
2023
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt karena atas rahmat dan karunia-Nya kami telah dapat
menyusun makalah ini, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda kita
Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa atau membimbing kita dari zaman yang sama
sekali tidak mempunyai moral dan etika sehingga sampai ke zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti yang ada pada saat sekarang ini.
Tugas makalah dengan dengan judul Akal dan Jiwa Dalam Uraian Harun Nasution
bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat yang diberikan pada mata kuliah filsafat islam
IV penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan mengucapkan terima kasih
kepada dosen pengampu Afrizal, S. Fil, M. Ag yang telah membimbing penulis dalam
penyusunan makalah ini.
Meskipun demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan sebagainya
didalam makalah ini, baik berupa tanda baca, tata bahasa, maupun isinya. Sehingga penulis
akan menerima lapang dada jika ada yang memberi saran ataupun tanggapan yang
membangun. Demikan yang dapat disampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat,
terutama bagi penulis.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 11
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Depi yanti, konsep akal dalam perspektif Harun Nasution, Jurnal intektualitas, vol 06, No. 01, 2017, hlm. 51
4
yang masyarakat pikirkan. Kemudian dalam penerapannya dapat memberikan kontribusi
yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.2
2
Ibid. Hlm. 52-53
5
BAB II
PEMBAHASAN
Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919, di Pematang Siantar,
Sumatera Utara. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara yang dididik dan dibentuk
dengan kesadaran dan bingkai keagamaan yang sangat tinggi. Sebagai anak laki-laki kecil,
Harun Nasution menjadi tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Hal ini bisa dipahami,
karena dari keempat saudaranya tidak satu pun yang berhasil menyelesaikan pendidikannya.6
Harun Nasution kecil tumbuh dan berkembang dalam pengawasan, pembinaan, dan
penggemblengan disiplin yang kuat dan ketat dari orang tuanya.
Secara garis besar riwayat hidup Harun Nasution dapat dibagi menjadi tiga tahap.
Tahap pertama meliputi kehidupan dalam keluarga dan masa kecilnya yang ditandai dengan
suasana pendidikan agama Islam yang sangat kuat. Tahap kedua adalah masa Harun Nasution
menjalani hidupnya sebagai pelajar dan mahasiswa. Pada masa ini, ia mulai berkenalan
dengan tradisi kritis-rasional sebuah tradisi yang dianggap kontras dengan tradisi keagamaan
keluarganya terutama ketika ia mengenyam pendidikan agama, Modern Islamietische
Kweekschool, di Bukit Tinggi, belajar di Universitas Al-Azhar, Universitas Amerika dan al-
Dirâsah al-Islamiyah di Mesir, serta terakhir ini yang sangat besar pengaruhnya ketika ia
menjadi mahasiswa di McGill, dimana ia berkenalan dengan metode-metode pengajaran
Barat dalam merespon studi-studi keislaman, seperti filsafat, teologi, dan pemikiran modern
dalam Islam.3
Bagi Harun Nasution, pelajaran disiplin ini tidak hanya didapati ketika di sekolah, di
rumah pun ia dibiasakan dengan cara hidup disiplin oleh ayah dan ibunya. Sejak pukul empat
hingga lima sore hari, ia harus belajar mengaji. Seusai shalat maghrib, ia mengaji al-Qur’ân
dengan suara keras hingga tiba waktu isa’. Ia bahkan bisa menamatkan al-Qur’ân sampai tiga
kali dalam sebulan. Pada bulan puasa, ia bertadarrus di masjid hingga pukul 12 malam dan
3
Lukman s. Thahir, kritik islam rasional harun nasution: dari nalar tradisi, modernitas, hingga nalar kritis
(palu,2006), hlm. 21
6
setiap shubuh, bangun pagi untuk shalat berjamaah. Sikap disiplin yang sama diperoleh pula
dari ibunya. Ia menetapkan peraturan tersendiri yang mesti dilaksanakan. Pagi-pagi benar,
sebelum berangkat sekolah, Harun Nasution kebagian tugas menyapu halaman rumah.
Sepulang dari sekolah, ia bertugas mencuci piring, sebelum kemudian pergi bermain,
biasanya, bermain bola, kelereng, atau gasing. Jika ia tidak melaksanakan tugas tersebut dan
hanya pergi bermain bola, maka ibunya mencarinya dan menyuruh pulang untuk kemudian
menyelesaikan tugasnya. Jika melanggar peraturan, terkadang kupingnya dijewer. Suasana
keagamaan dan pembentukan sikap disiplin yang dilakukan oleh kedua orang tuanya ini
benar-benar membekas di hati nya.4
4
Ibid, hlm. 24
5
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam. Terj. Guffon A. Mas’adi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2002). Hlm. 421
7
Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan
kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. Bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah
rendah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.6 Dari keterangan
diatas dapat diketahui bahwa Harun Nasution membagi akal manusia menjadi dua pertama
akal yang kuat jika manusia dengan menggunakan akalnya maka manusia itu akan
mempunyai kesanggupan untuk menaklukan makhluk lain. Semakin bertambah tinggi
akalnya maka semkin tinggi pula kesanggupannya. Dan yang kedua akal yang lemah yaitu
jika manusia mempunyai akal lemah maka kekuatan akal manusia itu akan bertambah
lemah dalam menghadapi kekuatan-kekuatan makhluk lain.7
Harun Nasution merupakan seorang mutakallimin yang lahir pada tanggal 23
September 1919 di Pematang Siantar, Provinsi Sumatra Utara. Ia menyelesaikan studinya di
Mesir. Dalam menyelesaikan studinya, ia tidak mendalami ilmu-ilmu Islam, melainkan
mendalami ilmu-ilmu sosial. Setelah pulang dari studinya, ia kemudian mengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini berganti nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setelah itu, ia diangkat menjadi rektor IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1973 menandai
bermulanya reorientasi, reformasi dan penyemaian bibit-bibit pemikiran Muktazilah.
Adapun pemikiran Harun Nasution cenderung lebih menempatkan pada akal. Akal
digunakan sebagai daya berpikir untuk sampai kepada Tuhan sekaligus memberikan
penjelasan lebih rinci terhadap informasi dan pernyataan wahyu. Wahyu tidak akan
berfungsi tanpa adanya akal-pikiran, begitu juga akal, ia akan kehilangan arah tanpa
bimbingan wahyu. 8
Wahyu menurut Harun adalah sebagai penolong akal untuk mengetahui alam akhirat
dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal bagaimana
kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di sana.
Sungguhpun semua itu sukar untuk dipahami oleh akal, akan tetapi menurut Harun akal bisa
menerima adanya hal-hal tersebut. Lebih lanjut Harun mengatakan bahwa wahyu sebagai
pemberi informasi kepada akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsipprinsip yang
sudah diwahyukan, dalam mendidik manusia agar hidup dengan damai dengan sesamanya
dan membukakan rahasia cinta yang menjadi kententraman hidup dalam bermasyarakat.
6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, hlm. 80
7
Badlatul munirah, akal dan wahyu, studi komparasi antara pemikiran imam al-Ghazali dan Harun Nasution,
(Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislama, vol. 1, No. 1, 2018), hlm. 44
8
Diki candra, akal dan wahyu: telaan atas pemikiran Harun Nasution, ( pontianak ), hlm. 85
8
Wahyu juga mambawa syari‟at yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban
seperti kejujuran, berkata benar, dan sebagainya. Akal tidak dapat mengetahui perincian dari
kebaikan dan kejahatan. Di antara perbuatan-perbuatan manusia ada yang tidak bisa diketahui
oleh akal apakah itu baik atau buruk, dalam hal ini Tuhanlah yang menentukan baik buruknya
suatu perbuatan. Jadi perbuatan yang diperintahkan oleh Tuhan menurut Harun itu baik,
sementara perbuatan yang dilarangnya itu buruk. Hanya Dialah yang tahu maksud perbuatan
demikian baik dan buruk9.
Harun juga mengatakan bahwa “Betambah besar fungsi wahyu yang diberikan suatu
aliran, bertambah kecil daya akal yang ada dalam aliran tersebut. Sebaliknya bertambah
sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran bertambah besar daya akal dalam aliran itu. Akal,
dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan
demikian menggambarkan kemerdekaan kekuasaan manusia, karena wahyu diturunkan
Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan.10
Jadi Harun mengatakan bahwa antara akal dan wahyu seharunya tidak saling
bertentangan, bahkan sebaliknya iman seseorang akan semakin dalam apabila akal
dipergunakan sepenuhnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama akan menemukan
kembali vitalisnya dan kemampuannya dalam menghadapi setiap tantangan zamannya
apabila agama tersebut memberikan tempat terhormat terhadap pikiran.11
Sejatinya tidak akan terjadi perdebatan diantara manusia tanpa didasari dengan
adanya perbedaan pendapat dalam membahas sebuah persoalan. Telah dibahas oleh Harun
Nasution didalam bukunya yang berjudul teologi islam, awalnya adalah persoalan politik
yang akhirnya merambat kepada persoalan persoalan teologi (ilmu kalam), yang kemudian
melahirkan persoalan siapa saja yang kafir dan siapa yang bukan kafir.12
Adapun pemikiran Harun Nasution lebih cenderung kepada akal, akal digunakan
sebagai daya pikir untuk sampai kepada Tuhan sekaligus memberikan penjelasan lebih rinci
terhadap informasi dan pernyataan wahyu. Wahyu tidak akan berfungsi tanpa adanya akal
pikiran, begitu juga akal, ia akan kehilangan arah tanpa bimbingan wahyu.13
9
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 60.
10
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2002), h. 102
11
Halim ed, Teologi Islam Rasional, h. 123-124
12
Ibid. Hlm. 79
13
Ibid. Hlm. 85
9
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Harun Nasution yang ditulisnya dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam.
Akal menurut nya adalah melambangkan kekuatan manusia karena akalnya lah maka
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan
kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. Bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah
rendah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Wahyu menurut Harun adalah sebagai penolong akal untuk mengetahui alam akhirat
dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal bagaimana
kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di sana.
Sungguhpun semua itu sukar untuk dipahami oleh akal, akan tetapi menurut Harun akal bisa
menerima adanya hal-hal tersebut. Lebih lanjut Harun mengatakan bahwa wahyu sebagai
pemberi informasi kepada akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsipprinsip yang
sudah diwahyukan, dalam mendidik manusia agar hidup dengan damai dengan sesamanya
dan membukakan rahasia cinta yang menjadi kententraman hidup dalam bermasyarakat.
Hubungan akal dan Wahyu sebenarnya tidak usah diperdebatkan lagi karena jika kita
mau jujur pendekatan filosofis rasionalis sebenarnya sangat banyak sekali membantu kita
untuk bisa memahami agama secara kontekstual dan sebagai pandangan dunia menuju
kebenaran secara Arif dan bertanggung jawab.
10
DAFTAR PUSTAKA
Candra, diki. akal dan wahyu: telaah atas pemikiran Harun Nasution, ( pontianak )
Cyril Glasse. 2002. Ensiklopedia Islam. Terj. Guffon A. Mas’adi, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada)
Munirah, Badlatul. akal dan wahyu, studi komparasi antara pemikiran imam al-Ghazali dan
Harun Nasution,
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jurnal Ad-Dirasah: Hasil Pembelajaran Ilmu-
Ilmu Keislaman. Vol. 1, No. 1, 2018.
NH. 2002. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. 1987. Jakarta: UI-
Press.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam
(Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislama, vol. 1, No. 1, 2018), hlm.
44
)
11