Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU TASAWUF

"Iman dan Penguatannya”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf

Dosen Pengampu : Drs. H. Abbas, M.M.

Disusun Oleh : Kelompok 11 PAI 2-C

Nur Aina Vauziah

Elsa Noviani

INSTITUT MADANI NUSANTARA (IMN) SUKABUMI

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Jl. Lio Balandongan Sirnagalih (Beugeg) No. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang.
Kota Sukabumi, Jawa Barat 43161

2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas dari Dosen pengampu mata kuliah Tasawuf yaitu
bapak Drs. H. Abbas, M.M. tentang ”Iman dan penguatannya” dalam tasawuf.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi dan bermanfaat untuk kita semua.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat terbuka menerima saran
dan kritik yang membangun untuk menyempurnakannya di masa yang akan datang.
Demikian dengan makalah ini, semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat bagi
kami dan semuanya.

Sukabumi, Juli 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
Latar Belakang ......................................................................................................
Rumusan Masalah .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................
Pengertian Iman......................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh
seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik
yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam
diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta
tingkah laku yang merupakan subtansi Islam. Di mana secara filsafat
sufismeitu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi, Islam melahirkan ilmu
syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlak atau tasawuf. (Syukur, 2001:112)
Dalam pengamalan ajaran tasawuf, langkah yang ditempuh adalah dengan
cara berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt yang dilakukan melalui
beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih tinggi. Hal
ini dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan utama bertasawuf, yaitu
ma’rifatullah dan insan kamil. Adapun langkah-langkah bertasawuf yang
ditempuh harus melalui jalan syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Tasawuf
atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan
moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun
waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas,
bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.
Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna
membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk
orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi
orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses modernisasi yang makin
meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup manusia menjadi lebih
materealistik dan individualistic. Perkembangan industrialisasi dan ekonomi
yang demikian pesat, telah menempatkan manusia modern ini menjadi
manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup mereka sudah
diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan sehari-
hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan. Akibatnya
manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin tergeser
oleh kepentingan materi duniawi (Suyuti, 2002: 3).
Alishah, (2004: 5) menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan
kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi
tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat
yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki
karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi
pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas
dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun
anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di
kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada
khususnya. Karena menurut Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa
diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit
(gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. Tasawuf
sebagai inti ajaran Islam muncul dengan memberi solusi dan terapi bagi
problem manusia dengan cara mendekatkan diri kepada Allah yang Maha
Pencipta. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling yang memang
bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah. Karena semua
masalah pasti ada penyelesaiannya serta segala penyakit pasti ada obatnya.
Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala
problem manusia, semakin terbentang lebar di era modern ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian iman?
2. Bagaimana problem dalam konsep iman?
3. Apa saja ruang lingkup iman?
4. Bagaimana cara penguatan iman dalam tasawuf?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iman

Dalam sebuah hadis Rasulullah berbicara tentang makna kata Iman. Menurut
Rasulullah, iman itu “mengakui dengan hati, mengucapkan dengan lidah dan beramal
atau berbuat dengan anggota tubuh.” Hadis ini secara tersirat juga bermakna
menunjukkan bahwa manusia memiliki tiga bagian yang diurutkan dengan jelas, yaitu
“hati” yang adalah kesadaran paling dalam, “lidah” atau ucapan yang bersumber dari
pemahaman, dan anggota badan. Ketiganya berbeda namun saling terkait. Karena
berbeda, sering ketiganya dikaji oleh disiplin ilmu yang berbeda dengan standar yang
berbeda pula. “Beramal atau berbuat dengan anggota badan” adalah menjalankan
keyakinan dalam laku, dan ini masuk wilayah yurisprudensi atau hukum. Di sinilah
orang “tunduk” pada kehendak Allah dengan mematuhi perintah dan menjauhi
larangan sebagaimana ditentukan dalam Syariat.

“Menyatakan dengan lisan” adalah ekspresi keimanan secara sadar dan rasional.
Manusia berbeda dengan makhluk lain karena dia punya kemampuan bicara untuk
menyampaikan pengetahuan, kesadaran, dan pengalaman yang ada di dalam hatinya.
Ucapan atau kata-kata adalah wilayah pembelajaran kognitif, psikologis dan rasional,,
di mana orang belajar melalui pengajian, khotbah, membaca kitab, berdiskusi dan
semacamnya, dalam rangka mengenal dan memahami Tuhan, alam dan manusia itu
sendiri. Terakhir, “mengakui dengan hati” adalah mengakui kebenaran dan kenyataan
(hakikat) dari objek iman dengan sepenuh kesadaran jiwa atau batin. “Hati,” atau
qalb, dalam term Qurani adalah pusat hidup, kesadaran, akal-pikiran serta niat dan
batiniah. Hati itu sadar dan tahu sebelum pikiran mengartikulasikan hasil
pemikirannya, dan hati “bergerak” sebelum badan bergerak. Inti keimanan dijumpai
dalam hati. Sebagian sufi menafsirkan bahwa inti keimanan ini disinggung oleh
Rasulullah dalam sabdanya, “Iman adalah cahaya yang dianugerahkan Allah ke
dalam hati dari siapapun yang Dia kehendaki.”

Tiga elemen iman ini paralel dengan tiga unsur yang disebutkan dalam jawaban Nabi
atas pertanyaan Jibril. Wilayah tubuh diatur dan dikaji dan didefinisikan terutama
oleh Syariat; dunia ucapan lisan diekspresikan dalam ilmu kalam, filsafat dan kajian-
kajian religi lainnya; wilayah hati diasosiasikan dengan keindahan jiwa yang ada
dalam naungan Ihsan. Untuk mencapai keindahan jiwa dan ihsan, hati harus bersih
dan memahami kebenaran yang hakiki (al-haqq) dengan cara yang lebih dalam dan
halus ketimbang melalui upaya kognitif (penalaran, pemikiran, emosi). Tindakan
pada taraf ihsan harus bersumber dari kedalaman batin.

Jadi keimanan dalam Islam, menurut penafsiran sebagian Sufi, mengakui tiga elemen
dasar religiositas – tubuh, lidah dan hati. Ini adalah wilayah dari “beramal saleh dan
benar, berpikir benar dan prasangka baik, serta mengalami dan menyaksikan
kebenaran hakiki dengan cara dan jalan yang benar.” Itu berarti seseorang yang
beriman harus selalu, dan tidak kenal lelah, untuk berusaha “memperbaiki dan
menyempurnakan perbuatan, menambah dan menyempurnakan pengetahuan, dan
memperbaiki dan menyempurnakan diri.” Dalam ajaran Sufi, ketiganya tidak boleh
dipisahkan.

Hadits Nabi yang mengatakan :

‫َقاَل َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اِإْل يَم اُن َم ْع ِر َفٌة ِباْلَقْلِب َو َقْو ٌل ِبالِّلَس اِن َو َع َمٌل ِباَأْلْر َك اِن‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iman itu adalah pengetahuan


di dalam hati, perkataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.”
( Sunan Ibnu Majah Hadits no. 64)

Para ahli tasawuf berpendapat bahwa pokok dari iman adalah pengakuan lisan disertai
dengan pembenaran hati. Adapun cabangnya adalah mengamalkan hal yang bersifat
fardhu. Penjelasan para ahli tasawuf mengenai pokok iman sama halnya dengan
pendapat ahli sunnah, yaitu bahwa pokok iman adalah pembenaran dengan hati.
(Lihat: Al-Kalabadzi, at-Ta’aruf li Madzhab ahl-Tashawuf [Beirut: Darul Kutub
al-‘ilmiyyah] halaman 88)

B. Problem Mengenai Bertambah dan Berkurangnya Iman

Ulama tasawuf berpendapat bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Sedangkan
perinciannya, Imam Junaid al-Baghdadi dan para pendahulunya berpendapat:
bahwasanya pembenaran dengan hati (tashdiq) dapat bertambah, tidak dapat
berkurang, sebab kurangnya akan pembenaran atau ragu akan kebenaran apa yang
diwahyukan oleh Allah termasuk kufur.

Adapun segi tambahnya, bahwa iman seseorang dapat bertambah dengan kuatnya
keyakinan. Dalam segi lisan tidak memiliki pengaruh atas tambah dan berkurangnya
iman. Sedangkan amal perbuatan dapat bertambah maupun berkurang. (Lihat: Al-
Kalabadzi, at-Ta’aruf li Madzhab ahl-Tashawuf [Beirut: Darul Kutub al-‘ilmiyyah]
halaman 89)

Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad mensifati orang yang melihat
kemungkaran namun hanya mengingkari dengan batinnya saja tidak dengan
dhohirnya sebagai iman yang lemah.

‫َم ْن َر َأى ِم ْنُك ْم ُم ْنَك ًرا َفْلُيَغِّيْر ُه ِبَيِدِه َفِإْن َلْم َيْسَتِط ْع َفِبِلَس اِنِه َفِإْن َلْم َيْسَتِط ْع َفِبَقْلِبِه َو َذ ِلَك َأْض َع ُف اِإْل يَم اِن‬

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah


kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya
dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya.
Itulah selemah-lemah iman.” (Shohih Muslim Hadits no.70)

Sedangkan atas kesempurnaan atau bertambahnya iman Nabi Muhammad bersabda:

‫َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإيَم اًنا َأْح َس ُنُهْم ُخُلًقا‬


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.
(Sunan Tirmidzi Hadits no. 1082)

Sebagian sufi berpendapat bahwa bertambah dan berkurangnya iman itu hanya
ditinjau dalam segi sifatnya saja, seperti kualitas, baik dan kuatnya, bukan dalam segi
substansinya. Masalah mengenai bertambah dan berkurangnya iman ini sebenarnya
erat kaitannya dengan pengertian iman itu sendiri. Entah itu pembenaran dalam hati
saja, pembenaran dalam hati disertai ikrar lisan atau mencakup tiga aspek, yaitu hati,
lisan dan perbuatan. Lantas adakah iman yang tidak mengalami naik-turun atau salah
satu dari keduanya? Disini para ulama’ tasawuf membaginya menjadi tiga bagian:

Pertama, iman yang tidak bertambah dan berkurang. Iman yang tidak menerima
penambahan dan pengurangan adalah iman yang menjadi sifat Allah (al-Mu’min),
sebab sifat Allah tidak menerima perubahan seperti penambahan ataupun
pengurangan. Seperti halnya tercantum dalam ayat berikut:

‫َو ُهّٰللا اَّلِذْي ٓاَل ِاٰل َه ِااَّل ُهَو ۚ َاْلَم ِلُك اْلُقُّد ْو ُس الَّس ٰل ُم اْلُم ْؤ ِم ُن اْلُم َهْيِم ُن اْلَعِز ْيُز اْلَج َّباُر اْلُم َتَك ِّبُۗر ُس ْبٰح َن ِهّٰللا َع َّم ا ُيْش ِر ُك ْو َن‬
٢٣ –

Artinya: Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang
Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang
Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (QS. AL-Hasyr, ayat 23)

Bisa juga yang dimaksud dengan iman yang tetap ini adalah iman yang telah
ditentukan Allah kepada hamba-Nya sejak zaman azali atau dalam pengetahuan
Allah. Dimana iman tersebut sesuai dengan pengetahuan Allah yang tidak bertambah
setelah tercipta atau munculnya iman pada hamba-Nya dan tidak kurang dari apa
yang Allah tentukan dalam pengetahuan-Nya.
Kedua, yaitu iman para nabi yang bertambah dan tidak berkurang. Dimana para nabi
imannya selalu meningkat seiring dengan bertambahnya keyakinan dan kesaksian
mereka atas hal-hal yang bersifat ghaib, seperti kisah Nabi Ibrahim yang tercantum
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 260:

‫َو ِاْذ َق اَل ِاْب ٰر ٖه ُم َر ِّب َاِر ِنْي َك ْي َف ُتْح ِي اْلَم ْو ٰت ۗى َق اَل َاَو َلْم ُت ْؤ ِم ْن ۗ َق اَل َبٰل ى َو ٰل ِكْن ِّلَيْطَمِٕىَّن َقْلِبْي ۗ َق اَل َفُخ ْذ َاْر َبَع ًة ِّم َن‬
‫الَّطْيِر َفُصْر ُهَّن ِاَلْيَك ُثَّم اْج َعْل َع ٰل ى ُك ِّل َج َبٍل ِّم ْنُهَّن ُج ْز ًء ا ُثَّم اْدُع ُهَّن َيْأِتْيَنَك َسْعًياۗ َو اْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ِز ْيٌز َح ِكْيٌم‬

(ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku


bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum
percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku
tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor
burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu
bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Ketiga, iman seorang mukmin yang mengalami penambahan maupun pengurangan.


Seperti yang dijelaskan pada pembahasan tadi. Iman seseorang bertambah di dalam
batinnya dengan keyakinan yang kuat serta dapat berkurang dari segi cabangnya
sebab melakukan dosa. Hal ini berbeda dengan para nabi yang terjaga dari perbuatan
dosa sehingga tidak boleh disifati dengan kekurangan.

C. Ruang Lingkup Iman


1. Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni
keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu,
Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala sesuatu, dan Dialah satu-
satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua
sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada
selain-Nya adalah kebatilan. Allah Ta‟ala berfirman, َ ”(Kuasa Allah) yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain
dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62).
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan
dari segala kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga,
yatu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma‟ wa shifat. Keimanan
kepada Allah mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada
Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah Ta‟ala dalam
rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa
shahiihil I‟tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).
Cakupan Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
1. Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
2. Iman tentang keesaan Allah dalam rububiyah
3. Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
4. Iman terhadap asma‟ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang
tidak beriman kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh
al Aqidah al Washitiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin).
2. Iman Kepada Malaikat
Beriman kepada malaikat maknanya mengimani wujud dan penciptaanya,
mengimani 10 malaikat dan tugasnya yang diketahui, sekaligus mengimani
sifat-sifatnya. Utamanya, sifat malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang
senantiasa tunduk dan patuh padaNya. Allah SWT mengisyaratkan
keberadaan malaikat dalam surah Al Anbiya ayat 19,
(19) ‫َو َلُه َم ْن ِفي الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِضۚ َو َم ْن ِع ْنَد ُه اَل َيْسَتْك ِبُروَن َع ْن ِع َباَد ِتِه َو اَل َيْسَتْح ِس ُروَن‬
(20) ‫ُيَس ِّبُحوَن الَّلْيَل َو الَّنَهاَر اَل َيْفُتُروَن‬
Artinya: "Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-
malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-
Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak
henti-hentinya malam dan siang".
3. Iman Kepada Kitab
Selanjutnya yang ketiga adalah iman kepada kitab-kitabNya. Hal ini dimaknai
dengan meyakini dan mempercayai keberadaan kitab-kitab yang diturunkan
oleh Allah SWT. Meski Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat muslim,
Allah SWT memerintahkan umatnya untuk mengimani keberadaan kitab lain
sebelumnya seperti, Taurat, Zabur, dan Injil. Allah SWT berfirman dalam
surat Ali Imran ayat 3,

‫ْو َر اَة َو اِإْل ْنِج يَل‬ ‫َز َل الَّت‬ ‫ِه َو َأْن‬ ‫ا َبْيَن َيَد ْي‬ ‫ِّد ًقا ِلَم‬ ‫اْلَح ِّق ُمَص‬ ‫اَب ِب‬ ‫َك اْلِكَت‬ ‫َّز َل َع َلْي‬ ‫َن‬

Artinya: "Dia (Allah) menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan


sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil,"
4. Iman Kepada Rasul
Keberadaan rasul sebagai utusan Allah SWT di muka bumi ini bertujuan
untuk memberikan perinatan dan kabar kepada manusia. Untuk itulah, iman
kepada rasul berarti mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa
Allah telah benar-benar mengutus rasulNya. Keberadaan para rasul Allah
SWT dibuktikan dalam surah Ar Ra'd ayat 38 yang berbunyi,

‫َو َلَقْد َاْر َس ْلَنا ُرُس اًل ِّم ْن َقْبِلَك َو َجَع ْلَنا َلُهْم َاْز َو اًجا َّو ُذ ِّرَّيًةۗ َو َم ا َك اَن ِلَر ُسْو ٍل َاْن َّيْأِتَي ِبٰا َيٍة ِااَّل ِبِاْذ ِن ِهّٰللاۗ ِلُك ِّل َاَجٍل‬
‫ِكَتاٌب‬
Artinya: "Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau
(Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.
Tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat)
melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada Kitab (tertentu),"
5. Iman Kepada Hari Akhir
Iman kepada hari akhir atau hari kiamat artinya meyakini dan mempercayai
bahwa hari itu pasti akan datang. Pada hari itu alam semesta beserta seluruh
isinya akan hancur dan manusia akan dibangkitkan dari kuburnya untuk
dimintai pertanggungjawaban. Meski demikian, kedatangan hari akhir hanya
diketahui oleh Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam surah Al A'raf ayat
187,

‫َيْس َأُلوَنَك َع ِن الَّساَع ِة َأَّياَن ُم ْر َس اَهاۖ ُقْل ِإَّنَم ا ِع ْلُمَها ِع ْنَد َر ِّبيۖ اَل ُيَج ِّليَها ِلَو ْقِتَها ِإاَّل ُهَو ۚ َثُقَلْت ِفي الَّس َم اَو اِت‬
‫َو اَأْلْر ِضۚ اَل َتْأِتيُك ْم ِإاَّل َبْغ َتًةۗ َيْس َأُلوَنَك َك َأَّن َك َح ِفٌّي َع ْنَه اۖ ُق ْل ِإَّنَم ا ِع ْلُمَه ا ِع ْن َد ِهَّللا َو َٰل ِكَّن َأْكَث َر الَّن اِس اَل‬
‫وَن‬ ‫َيْع َل ُم‬

Artinya: "Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat,


"Kapan terjadi?" Katakanlah, "Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu
ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu
terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk)
yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-
tiba." Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya.
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat)
ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
6. Iman Kepada Qadha dan Qadar
Qadha adalah ketetapan Allah SWT sejak sebelum penciptaan alam semesta
(zaman azali). Sedangkan qadar adalah perwujudan ketetapan Allah SWT
(qadha) yang sering disebut takdir. Qadha adalah rencana dan qadar adalah
perwujudan atau kenyataan, yang hubungan keduanya tak mungkin
dipisahkan. Adanya qada dan qadar dijelaskan dalam Al Quran surat Al Ahzab
ayat 38,

‫َّم ا َك اَن َع َلى ٱلَّنِبِّى ِم ْن َحَر ٍج ِفيَم ا َف َرَض ٱُهَّلل َلُهۥۖ ُس َّنَة ٱِهَّلل ِفى ٱَّل ِذ يَن َخ َل ْو ۟ا ِم ن َقْب ُلۚ َو َك اَن َأْم ُر ٱِهَّلل َق َدًرا‬
‫ُدوًرا‬ ‫َّم ْق‬

Artinya: "Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnahNya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku."
Rukun iman ada 6 (enam). Wujud keimanan yang terakhir ini adalah percaya
dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu yang
akan terjadi pada makhlukNya. Meskipun begitu, menurut Sumber Belajar
Kemendikbud, manusia tetap harus berusaha dan berikhtiar dalam mencapai
sesuatu.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6099519/rukun-iman-ada-6-ini-
penjelasan-dalilnya-secara-berurutan.
D. Penguatan Iman Melalui Tasawuf
Metode dalam ilmu tasawuf ini menggunakan tasawuf akhlaki yang terdiri
dari:
a. Takhalli, yaitu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau
penyakit yang merusak. Fase takhalli adalah pensucian mental, jiwa akal
fikiran, qalbu dan akhlak dengan sifat-sifat yang mulia dan terpuji. Secara
tertulis metode ini ada lima, sebagai berikut: 1. Menyucikan diri dari Najis,
dengan melakukan istinja dengan baik, teliti dan benar. 2. Menyucikan yang
kotor, dengan cara mandi dengan cara yang baik dan benar pula. 3.
Menyucikan yang bersih, dengan berwudhu. 4. Menyucikan yang suci, dengan
mendirikan shalat dan tobat untuk memohon ampunan kepada Allah. 5.
Menyucikan yang Maha Suci, dengan berdzikir dan mentauhidkan Allah
dengan kalimat La Ilaha Illallah.
b. Tahalli, yaitu menghiasi diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap
yang baik, membina pribadi agar berakhlak al-karimah. Dalam upaya
mencapai esensi tauhid, ada beberapa hal yang sangat penting untuk dilakukan
yaitu: 1. Perbaikan pemahaman dan aplikasi ilmu tauhid. 2. Perbaikan
pemahaman dan aplikasi syari’ah (segi esoterik hukum-hukum agama). 3.
Perbaikan pemahaman dan aplikasi thariqat (sebagai jalan mistik). 4.
Perbaikan pemahaman dan aplikasi haqiqat (mengenai kebenaran). 5.
Perbaikan pemahaman dan aplikasi ma’rifat (pengalaman kesatuan dengan
yang Ilahi). Sesudah tahap pembersihan diri dari sifat mental yang kurang
baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut ketahap kedua yang disebut
tahalli, yakni menghiasai diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan
sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku
selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar
maupun yang bersifat dalam. Dimaksud dengan aspek luar adalah kewajiban
seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya serta yang dimaksud dengan
kewajiban dalam adalah seperti iman, ketaatan, kecintaan kepada Allah dan
lain sebagainya. Sikap mental yang sangat penting diisikan kekalbu rohani
dan dibiasakan dalam perbuatan untuk manusia di antaranya adalah : (1)
taubat, rasa penyesalan diri yang sungguh-sungguh dari dalam hati disertai
dengan permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang dapat
menimbulkan dosa, dengan memperbanyak sholat dan dzikir, (2) zuhud, yakni
kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai, serta
martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik (orang yang ingin
menuju kepada Allah swt), dan yang berkonsentrasi, rida serta tawakal kepada
Allah swt, (3) faqir, yakni tidak menuntut lebih banyak dari apa yang
dipunyai, merasa puas dengan apa yang telah di dapatkan, sehingga tidak
meminta hal lain meskipun itu belum dimiliki (4) sabar, yakni rela menerima
sesuatu yang tidak disenangi dengan rasa ikhlas serta berserah diri kepada
Allah, (5) rida’, yakni menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati, (6)
muqorobah yakni sama dengan ihsan (Asmaran As, 1992: 59)
c. Tajalli yaitu terangnya hati nurani, hilangnya tabir, yang terdiri dari sifat-
sifat kemanusiaan. Jika sampai pada tingkatan ini seseorang akan mampu
membedakan mana yang baik dan jelek. Untuk memperdalam rasa ketuhanan
ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain: 1) Munajat Secara
sederhana kata ini berarti melaporkan kepada Allah swt.atassegala aktivitas
yang dilakukan.Menyampaikan laporan, yang baik maupun jelek. Dalam
munajat itu disampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian
kalimat yang indah seraya memuji Allah swt. ini adalah satu bentuk do’a yang
diucapkan dengan sepenuh hati disertai dengan air mata dan bahasa yang
indah. Munajat biasanya dilakukan dalam suasana hening malam setelah
shalat Tahajjud. 2) Zikir Maut Untuk membangkitkan kesadaran manusia
terhadap tugas dan kewajibannya selama hidup di dunia ini, yaitu dengan cara
atau metode yang dipergunakan kaum sufi ialah agar orang selalu mengingat
akan mati. Dalam hal ini Rasulullah saw. Bersabda: “banyak-banyaklah kamu
mengingat kejadian yang akan menghancurkan segala kelezatan (mati)”.
“banyak-banyaklah kamu mengingat mati, karena sesungguhnya mengingat
mati itu dapat menghapus beberapa dosa dan membuat orang bersikap zuhud
terhadap dunia”. Firman Allah swt. dalam surah Al-Jumu’ah ayat 8. Dengan
berbagai proses tersebut di atas, tercapailah tujuan tasawuf sebagai bagian dari
pelaksanaan konseling yang pada akhirnya diharapkan bisa mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat dengan selalu bersyukur atas segala apa yang
telah diberikan kepadanya (Amin Syukur, 2004:10).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Menurut Rasulullah, iman itu “mengakui dengan hati, mengucapkan dengan lidah dan
beramal atau berbuat dengan anggota tubuh.” Hadis ini secara tersirat juga bermakna
menunjukkan bahwa manusia memiliki tiga bagian yang diurutkan dengan jelas, yaitu
“hati” yang adalah kesadaran paling dalam, “lidah” atau ucapan yang bersumber dari
pemahaman, dan anggota badan. Ketiganya berbeda namun saling terkait. Karena
berbeda, sering ketiganya dikaji oleh disiplin ilmu yang berbeda dengan standar yang
berbeda pula. “Beramal atau berbuat dengan anggota badan” adalah menjalankan
keyakinan dalam laku, dan ini masuk wilayah yurisprudensi atau hukum. Di sinilah
orang “tunduk” pada kehendak Allah dengan mematuhi perintah dan menjauhi
larangan sebagaimana ditentukan dalam Syariat.

Jadi keimanan dalam Islam, menurut penafsiran sebagian Sufi, mengakui tiga elemen
dasar religiositas – tubuh, lidah dan hati. Ini adalah wilayah dari “beramal saleh dan
benar, berpikir benar dan prasangka baik, serta mengalami dan menyaksikan
kebenaran hakiki dengan cara dan jalan yang benar.” Itu berarti seseorang yang
beriman harus selalu, dan tidak kenal lelah, untuk berusaha “memperbaiki dan
menyempurnakan perbuatan, menambah dan menyempurnakan pengetahuan, dan
memperbaiki dan menyempurnakan diri.” Dalam ajaran Sufi, ketiganya tidak boleh
dipisahkan.

Rukun iman ada 6, yaitu : 1. Iman kepada Allah, 2. Iman kepada Malaikat, 3. Iman
kepada Kitabulloh, 4. Iman kepada Rosul-rosul Allah, 5. Iman kepada hari qiyamah,
dan 6. Iman kepada Qadha dan Qadar.

Cara penguatan iman yaitu dengan cara : 1) Takhalli, yaitu membersihkan diri dari
sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. 2) Tahalli, yaitu menghiasi
diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik, membina pribadi agar
berakhlak al-karimah. Dan 3) Tajalli, yaitu terangnya hati nurani, hilangnya tabir,
yang terdiri dari sifat-sifat kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6099519/rukun-iman-ada-6-ini-penjelasan-
dalilnya-secara-berurutan

https://alif.id/read/fha/pandangan-ahli-tasawuf-tentang-iman-bertambah-dan-
berkurang-b240978p/

Anda mungkin juga menyukai