Anda di halaman 1dari 14

KARYA TULIS ILMIAH

PENTINGNYA PENDIDIKAN NILAI MORAL


BAGI GENERASI PENERUS

DISUSUN OLEH :
NAMA: CANDRIANA
KELAS: XI IIS 1

SMA YKM TANJUNGSARI


2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan YME, atas terselesaikan
Makalah Ilmu pendidikan ini.Tentang Pentingnya Pendidikan Bagi Generasi
Muda
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................... 3
BAB I......................................................................................................................... 4
LATAR BELAKANG..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...........................................................................................4
1.2 Identifikasi Masalah...................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................... 4
1.4 Manfaat.......................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................ 6
LANDASAN TEORI...................................................................................................6
BAB III..................................................................................................................... 10
KESIMPULAN......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11
BAB I

LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Apabila kita melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, dunia nampak semakin
tua,

manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi pun semakin
canggih.

Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin nyaman,
dan

semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah? Mungkin tidak, bahkan
sebaliknya.

Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan terpuruk, reformasi kita gebablasan,
korupsi

semakin terang-terangan dan merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai.
Bangsa ini

nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang
demikian.

Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9) bahwa “Orde
Baru

1.2 Identifikasi Masalah


berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai,
terkapar

dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.”

Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya ekonomi, tetapi juga


mengakibatkan

merosotnya kualias hidup, bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang

menyebabkan semua itu? Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor
penyebab. Ada

yang mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil,
rakyatnya
tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak

mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dsb.

Jadi, kalau kita simak dari uraian di atas, faktor penyebab utamanya adalah masalah nilai
moral,

sekali lagi nilai moral. Mungkinkah nilai moral sudah hilang di Negara kita? Mungkinkah nilai

moral sudah tidak dimiliki oleh generasi penerus bangsa? Seperti dikatakan oleh Pam
Schiller &

Tamera Bryant (2002: viii) bahwa: “jika kita meninggalkan pelajaran tentang nilai moral yang

kebanyakan sudah berubah, kita, sebagai suatu Negara, beresiko kehilangan sepotong
kedamaian

dari budaya kita.” Timbullah pertanyaan, apakah pelajaran tentang nilai moral di Negara kita
selama

ini telah diabaikan? Menurut Dedi Supriadi, “Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama
pada

saat itu (1968-1980-an) dapat dikatakan ‘terpinggirkan’ oleh haru-biru semangat Pendidikan
Moral

Pancasila.” Bagaimana pada tahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah pendidikan budi
pekerti

dan pendidikan agama masih juga terabaikan?

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis multi
dimensi,

termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena telah terabaikannya
“Pendidikan

Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi

penerus. Betapa tidak, ajaran agama mengatakan: “carilah untuk kehidupan duniamu
seolah-olah

kamu akan hidup selamanya, dan carilah akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok
pagi,” hal

ini mengandung makna bahwa dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama hendaklah
seimbang, berotak Jerman-berhati Mekah, demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini
dan

akherat nanti. Dengan demikian, kalaulah di SD, SMP, atau SMU terdapat 36 jam pelajaran

perminggu, setidaknya terdapat 18 jam untuk ilmu pengetahuan umum dan 18 jam untuk
agama

(semua agama), atau paling tidak 20 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 16 jam
untuk

agama( pendidikan nilai moral). Sedangkan yang ada dari dulu sampai sekarang
komposisinya

adalah 34 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 2 (dua) jam atau paling banyak 4
(empat)

jam untuk pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.

Jadi, dengan hanya 4 (empat) jam pelajaran perminggu anak sebagai generasi penerus
mendapatkan

apa? Agama yang kokoh? Moral yang tinggi? Akhlaq mulia? Mungkin tidak, barangkali hanya
mendapatkan kulitnya saja, dan tidak tau isinya. Akhirnya agama hanya dibibir, belum
menjadi

penghayatan dan pengamalan. Orang yang mengaku beragama tetapi tidak pernah

1.3 Tujuan
mengamalkannya, ia bagaikan memiliki garam satu truk tetapi tidak pernah
tahu rasa asinnya,

punya gula satu peti kemas tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran generasi
penerus

kita. Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama tidak tertanam dan tidak dimilikinya oleh anak
didik kita,

kecuali hanya sangat sedikit. Apa akibatnya? Ketika mereka menginjak bangku SMP sudah
mulai

tawuran, menginjak SMA mendapatkan julukan SMA tawuran, dan ketika mereka
menduduki

bangku kuliah, apa yang terjadi. Kalau mereka menjadi mahasiswa, mungkin akan menjadi
mahasiswa yang agresif, pemberani, pendemo dan tukang tawuran. Kalau kelak mereka
menjadi

pejabat, mungkin tidak jujur dan korup. Inikah moral mereka?

Pendidikan nilai moral/agama sangat penting bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan
nilai

moral (agama, budi pekerti, akhlaq) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut
marut. Oleh

karena itu “Munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini

mencerminkan kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan
sosial yang

carut marut.” (Dedi Supriadi, Pikiran Rakyat 12 Juni: 8-9).

1.4 Manfaat
Bagi Pemerintah

Penulisan karya tulis ini bisa dijadikan sumbangsih untuk meningkatkan pendidikan di
Indonesia

2. Bagi Guru

Agar bisa menjadi acuan bagi guru agar lebih semangat dalam belajar mengajar di sekolah

3. Bagi Mahasiswa

Menjadi bahan kajian belajar untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia


BAB II

LANDASAN TEORI
A.Fenomena Tingkah laku Amoral Remaja

Kita seringkali menyaksikan di banyak mass media elektronik dan cetak, fenomena

tingkah laku amoral remaja yang semakin hari semakin meningkat, dari tindakan amoral

yang paling ringan, seperti: membohong, menipu, perilaku menyontek di sekolah, tidak
menaati peraturan, mélanggar norma, mencaci maki, dll., sampai pada tingkat yang

paling menghawatirkan, mencemaskan dan meresahkan orang tua dan masyarakat,

bahkan mengganggu ketertiban umum, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan

serta merusak fasilitas umum, seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret,

memukul, tawuran pelajar, tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang anargis, mabuk,

dan bahkan sampai membunuh, serta mutilasi. Pendek kata perilaku amoral ini

mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang lain.

Pada tataran akademi di jenjang SMP seringkali terjadi tawuran antar pelajar, pada

jenjang SMA tawuran pelajar frekuensinya meningkat, dari saling mengejek dan

mencaci, saling lempar batu, saling memukul, dan bahkan menggunakan senjata tajam

sehingga seringkali terjadi saling bunuh. Pada jenjang ini mereka mendapatkan julukan

SMA tawuran. Pada gilirannya di tingkat perguruan tinggi mereka bertambah agresif dan

pemberani, mereka menjadi pendemo yang tangguh, tidak hanya lawan sebaya sesama

mahasiswa yang dijadikan musuh, tetapi aparat pun dilawan, bahkan berani mencaci

maki para pejabat, dan pemimpin Negara walaupun nyawa menjadi taruhannya, mereka

nyaris tidak pernah takut. Padahal lawan mereka adalah orang-orang yang seharusnya

mereka tolong, hormati, hargai, dan segani. Seperti yang kita saksikan di TV dan Koran

hampir setiap hari terjadi demo anargis dan bentrokan mahasiswa dengan aparat Negara.

Perilaku amoral, tawuran kolektif, menurut Gustve le Bon dalam bukunya The Crowd,

identik dengan irasionalitas, emosionalitas, dan peniruan individu. Perilaku seperti ini
berawal dari sharing nilai atau penyebaran isu, kemudian kumpulan individu tersebut

frustasi dan akhirnya melakukan tindakan anarkhis. “faktor-faktor ini bisa menjadi

penyebab terjadinya konflik yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial “ ujar Imam B.

Pasojo, sosiolog dari UI.

B.Kondisi Ideal Remaja sebagai Generasi Penerus

Remaja sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran dan posisi yang strategis.

Mereka merupakan harapan masa depan bangsa. Maju atau mundurnya bangsa dan

Negara ada di pundak mereka. Kalau mereka maju maka majulah Negara, tetapi kalau

meraka bobrok, mundur, dan loyo, maka mundurlah Negara. Sudut pandang psikologi

para remaja sebagai generasi penerus memiliki potensi yang bisa dikembangkan secara

maksimal. Potensi mereka yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas, patriotism

dan idealism harus dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan yang terrencana dan

terprogram.

Remaja sebagai generasi penerus juga memiliki kemampuan potensial yang bisa diolah

menjadi kemampuan actual. Selain itu juga memiliki potensi kecerdasan intelektual,

emosi dan sosial, berbahasa, dan keserdasan seni yang bisa diolah menjadi kecerdasan

aktual yang dapat membawa mereka kepada prestasi yang tinggi dan kesuksesan.

Mereka memiliki potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi moral

yang positif sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan

Negara yang penuh dengan kejujuran, tidak korup, semangat yang tinggi dan

bertanggungjawab. Potensi mereka yang prospektif, dinamis, energik, penuh vitalitas,

patriotisme dan idealisme telah dibuktikan ketika jaman Pergerakan Nasional, pemuda

pelajar telah banyak memberikan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu bisa terwujud apabila semua potensi mereka dikembangkan dan salah satunya

adalah potensi moral. Oleh karena itu remaja sebagai generasi penerus harus

diselamatkan melalui Pendidikan Nilai Moral. Sehingga harkat dan martabat bangsa bisa
terangkat. Kualitas hidup meningkat, dan kesejahteraan serta kenyamanan pun bisa di
dapat.

BAB III

KESIMPULAN

1.Pedidikan Nilai Moral/Agama sangat penting bagi anak dan para remaja

sebagai generasi penerus bangsa, agar martabat bangsa terangkat, kualitas hidup

meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman dan nyaman serta sejahtera.

2.Kondisi faktual Pendidikan Nilai Moral/Agama di Indonesia dari tahun

1968 sampai saat ini masih terabaikan, belum ditangani secara terencana dan

serius. Hal ini terbukti adanya jumlah jam pelajaran yang bernuansa pendidikan

agama dan budi pekerti sangat minim, yaitu hanya 2 sampai 4 jam perminggu

dari jumlah jam 34 sampai 42 jam perminggu. Padahal dengan KTSP sebenarnya

lebih bisa diatur, sehingga kebutuhan ini bisa terakomodasi dan terpenuhi.

3.Fenomena perilaku amoral remaja saat ini sangat mencemaskan dan

meresahkan, bahkan telah mengganggu ketertiban umum dan membuat

kehidupan tidak aman serta nyaman. Kalau hal ini tidak segera ditangani secara

serius dan terencana yaitu dengan Pendidikan Nilai Moral/Agama, kemungkinan

besar bangsa ini akan kehilangan generasi penerus.


4.Kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus, merupakan individu yang

sedang berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi kesempatan berkembang

secara proporsional dan terarah, dan mendapatkan layanan pendidikan yang

berimbang antara pengetahuan umum dan pendidikan nilai moral/agama. Mereka

memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa

dan bernegara.

5.Pada hakekatnya pelaksanaan Pendidikan Nilai Moral telah lama ada dan

telah didukung oleh teori yang handal. Pelaksanaan Pendidikan Nilai

Moral/Agama dapat mengacu pada teori perkembangan moral versi Kohlberg,

Bandura, dan atau teori lain yang relevan.

6.Ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara lain meliputi

ketuhanan, budi pekerti luhur, akhlaq mulia, baik-buruk, benar-salah, kepedulian

dan empati, kerjasama, suka menolong, berani, keteguhan hati, adil, kejujuran

dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga,

banyak akal, sikap respek, toleransi, ketaatan, penuh perhatian, komitmen, tahu

berterima kasih dan tanggungjawab.

7.Orang tua, guru, teman sebaya yang menjadi idola, para aktor film/sinetron

hendaknya menjadi contoh teladan perilaku yang baik dan mencerminkan

tingkah laku yang mengandung nilai-nilai moral yang baik.


DAFTAR PUSTAKA
Allen, Bem P. (1990). Personal Adjusment. Wodsworth, California: Belmont Inc.

Antonio, Syafii, Muhammad,. (2009). Muhammad SAW The Super Leader Super

Manager, Teladan Sukses dalam Hidup & Bisnis. Jakarta: ProLM Centre &

Tazkia Publishing

Bandura, A., & Walter, R.H. (1973). Social Learning Theory and Personality

Development. New York: Holt Rinehart and Winston

Cronbach, L.J. (1977). Educational Psychology, 3 edition, Harcourt Brace

Javanovich, Inc.

Calhoun, F. James, & Acoclla J. R. Alih bahasa R.S. Satmoko. 1990. Psikologi

tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi ketiga, IKIP Semarang

Press

Darling, N. (1999). Parenting Style and Its Correlates. Eric Degest. Champaign

IL: ERIC Clearinghouse on elementary and Early Chilhood Education. (online)

Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digest/ed427896.html

Dedi Supriadi, (2001). Budi Pekerti dalam Kurilulum 1947-1994. Harian Umum

Pikiran Rakyat, Bandung, 12 Juni 2001

Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytik Approach.

Enflewood Cliffs, New Jersedy: Prentice Hall, Inc.

Larry Winecoff, H. (1998). Values Education, conceps and Models, Bandung:

Depdikbud. PPs, IKIP

Kniker, Charles R. (1977). You And Values Education. Iowa State University.

Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Compeny, A Bell & howell

Company

Kregman, J.J & Worchel, P. (1961). Arbitrarines of Frustration and Agression.

Journal of Abnormal and social Psychology 63


Schiller, P. & Bryant, T. (2002). Values Book for Chilren, 16 Moral Dasar Bagi

Anak, disertai kegiatan yang bisa diolakukan orang tua bersama anak, Jakarta:

PT Elex Mesia Komputindo, kelompok Gramedia


Thomson, Charles L., Henderson, Donna A., (2007). Counseling Children. Seventh

Edition. Thonson Brooks/Cole

Anda mungkin juga menyukai