Sebuah desa rintisan yang terletak sekitar 1 km dari jalan raya Karanggede-
Sruwen. Desa ini dinobatkan sebagai desa rintisan karena memiliki potensi alam dan
sosial budaya yang bisa dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata. Desa
Tegalsari memiliki 14 RT, 3 kadus, 5 RW. Saat ini (2023) penduduk desa Tegalsari
mencapai 3010 orang. Desa Tegalsari pertama kali dipimpin oleh bapak Dullah.
Hingga saat ini desa Tegalsari sudah mengalami pergantian kepala desa sebanyak
9 kali. Saat ini desa Tegalsari dipimpin oleh bapak Maryoto (periode 2019-2024).
Desa Tegalsari terbentuk karena dahulu kala ada pengikut Kanjeng Sunan
Kalijogo yaitu Ki Ageng Badrean, Imam Wongso, Sultan Syahrir, Syeh Mahribi yang
sedang berdiam di desa Tegalsari tepatnya di pinggir tegal atau sawah. Di tempat itu
mereka berdiskusi membahas tentang perang gerilya melawan Belanda dalam
mengantar Pangeran Diponegoro.
Hingga kini, tempat yang digunakan untuk beristirahat para pengikut Kanjeng
Sunan Kalijaga masih ada jejaknya yaitu punden yang terdapat di pinggir desa
Tegalsari. Dari diskusi tersebut maka tercetus Desa Tegalsari. Tegalsari terbentuk
dari kata Tegalan dan Sari. Tegalan atau tegal artinya ladang atau tanah lapang
yang belum banyak penduduknya. Di tempat itu dimanfaatkan oleh warga sekitar
untuk bercocok tanam. Adapun tanaman yang biasa ditanam oleh warga meliputi
jagung, ketela, singkong, padi, dan palawija lainnya. Sari, adalah masyarakat yang
ayem tentrem, lingkungan yang nyaman, masyarakat yang rukun, dan tatanan
pemerintahan yang baik.
Tidak diketahui oleh banyak orang, desa ini memiliki potensi alam berupa
sungai yang indah, area persawahan yang berada di lembah gunung, goa, lorong
yang diapit oleh gunung, dll. Maka tidak heran jika Desa Tegalsari tercatat dalam 45
desa wisata yang ada di Kabupaten Boyolali dan telah disahkan oleh Bupati. Desa
wisata Tegalsari ini pertama kali dicetuskan oleh Kepala Desa Tegalsari, bapak
Ngadimin Jabar (Alm) pada tahun 2010.
Beberapa potensi alam desa Tegalsari ini sangat didukung pengembanganya
oleh pemerintah kabupaten Boyolali, beberapa waktu yang lalu, Desa Tegalsari juga
mengikuti festival Desa Wisata yang di gelar oleh pemerintah Kabupaten Boyolali.
Promosi ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis), Aris Munandar, mengatakan
bahwa daerahnya punya sejumlah potensi wisata yang bisa kembangkan. Saat ini,
visi pria yang akrab di sapa Nando ini mulai terwujud dan mendapatkan apresiasi
dari berbagai pihak. Baik itu potensi wisata alam, kuliner dan budaya di desa
Tegalsari. Seperti yang dilakukan Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) Institut Seni
Indonesia (ISI). Aris menjelaskan Desa Tegalsari punya wisata potensi alam seperti
river tubing dan area persawahan lembah gunung Mojo sudah saatnya desa
tersebut dikelola dengan baik serta melibatkan tenaga ahli di bidangnya.
Salah satu kekayaan alam yang ada di Desa Tegalsari adalah Sungai
Serang. Sungai ini merupakan sumber air termashur di desa Tegalsari pada
zamannya. Menjadi sumber kehidupan bagi warga desa Tegalsari dan sekitarnya.
Zaman dahulu pemberdayaan aliran air dari sungai Serang hanya sebatas untuk
irigasi persawahan. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, aliran
sungai serang tidak hanya dimanfaatkan untuk irigasi namun dimanfaatkan untuk
pembuatan wahana river tubing.
River tubing merupakan salah satu wahana air yang kini tengah menjadi tren
dan banyak diminati oleh wisatawan indonesia. Kegiatan yang dilakukan pada
wahana ini adalah mengarungi sungai menggunakan ban atau karet. Wisatawan
bisa river tubing secara individu, berpasangan, maupun berkelompok.
Embung Tegalsari
Tidak hanya itu, destinasi wisata di desa Tegalsari adalah embung. Lokasi
tersebut sudah dikembangkan untuk menjadi rintisan Pasar Tradisional kuliner,
Wisata Kebun Buah dan Pemacingan. Objek wisata embung Tegalsari terletak di
dukuh Jatirejo sekitar 200m dari jalan raya Karanggede-Sruwen. Meskipun belum
berkembang sempurna, namun Pemerintah Desa beserta perwakilan masyarakat
melalui Musyawarah Desa (Musdes) telah sepakat untuk membuat destinasi wisata
air di jalur Karanggede-Suruh, karena di lingkungan tersebut terdapat SDA berupa
air yang melimpah.
Embung ini mulai dibangun sejak tahun 2018 yang sampai saat ini masih
terus berbenah., tujuan utama dari pembuatan embung tersebut adalah untuk
mengairi lahan pertanian di sekitarnya yang kurang lebih 5 Ha khusus untuk warga
desa Tegalsari. Menurut keterangan penduduk setempat, embung ini sulit
menampung air dalam waktu yang lama dikarenakan banyak resapan air yang
menyebabkan air tidak tertampung lama. Tentunya hal ini menjadi PR bagi warga
setempat terutama pengelola desa. Meskipun embung belum berfungsi sebagai
mana mestinya, namun area di sekitar embung di poles sedemikian rupa hingga
sangat mencuri perhatian warga ataupun pengunjung.
Di sekitar embung telah di bangun taman dilengkapi dengan beberapa
gazebo terbuat dari bambu. Di dataran di atas embung dibangun sebuah pendopo
untuk tempat beristirahat pengunjung. Pada wisata embung ini pengunjung dapat
menikmati keindahan taman dan area persawahan yang ada di sekitar embung.
Berdasarkan keterangan pengelola desa wisata Tegalsari, Bapak Rahayu dan
Bapak Purwanto, wisata embung ini banyak dikunjungi oleh warga sekitar terutama
anak-anak muda. Ramai pada hari minggu dan sore hari, pengunjung di suguhkan
dengan kuliner yang menggoyang lidah, yaitu pecel puli khas Tegalsari dan berbagai
jajanan kaki lima lainnya.
Selain embung, Tegalsari juga mempunyai wisata alam warisan budaya yaitu
goa Pendem. Goa ini dibuat oleh masyarakat desa Tegalsari pada masa penjajahan
VOC. Dinamakan goa pendem karena goa tersebut terpendam di dalam tanah.
Letak goa Pendem ini tak jauh dari aliran river tubing. Pengunjung dapat menikmati
keindahan alam dengan susur goa Pendem di lembah gunung Mojo. Meskipun
kenampakan goa hanya kecil, namun memiliki makna sejarah yang tidak bisa
dilupakan.
Dahulu, VOC memerintahkan warga desa Tegalsari membuat goa ini dengan
tujuan sebagai saluran air untuk irigasi persawahan dan perkebunan. Saluran air ini
mengalir dari hulu sungai Serang. Aliran sungai Serang ini mengalir melalui
terowongan menuju persawahan di desa Tegalsari dan kelurahan Kebonan.
Masyarakat sering menyebut alirah dibawah terowongan ini dengan kata saluran
Jembrak. Aliran ini dapat mengairi sejauh 3 kilometer dan dua desa kurang lebih
seluas 120 hektar. Penggalian terowongan Jembrak ini memakan waktu kurang
lebih dua tahun. terowongan ini dibatasi oleh Bendungan Kudu yaitu perbatasan
antara kabupaten Boyolali dan kabupaten Semarang.
Dahulu kala ada sebuah peninggalan berupa batu yang terdapat tulisan
berbahasa Belanda yang menghiasi pintu goa. Makna dari tulisan tersebut adalah
tahun pertanda dimulainya pembangunan goa tersebut. Pakar sejarah menyatakan
bahwa setiap aktifitas pemerintahan VOC pasti didokumenkan atau pada istilah jawa
adalah tenger, walaupun hanya sebatas tulisan di atas batu. Lorong bawah tanah
tersebut dibangun oleh rakyat Indonesia ketika masa penjajahan VOC untuk
mengaliri sawah dan perkebunan.
Gambar 3. Goa Pendem
Sumber: dokumentasi penulis
Reog Ki Suposari ini bercorak khas Keraton Surakarta yaitu reog halus, yang
artinya penampilan penari berkarakter keraton, bukan berkarakter buto, cakil, dan
sebagainya. Tarian yang disuguhkan pun bergaya halus dan lembut. Pada saat
atraksi para penari reog ini menggunakan makanan yang serba matang atau
dimasak terlebih dahulu sebagai sajen, bukan menggunakan barang yang masih
hidup seperti reog pada umumnya. Pada tahun 2017 Reog Ki Suposari pernah
mengikuti parade reog tingkat kabupaten yang di ikuti 19 kecamatan di Kabupaten
Boyolali terdiri atas 65 grup reog. (narasumber pak Rahayu sebagai penggiat desa
wisata Tegalsari).
Di Desa Tegalsari juga terdapat kesenian lokal bernama Jaran Kepang khas
Tegalsari, Rodat, dan Drumblek. Kesenian Jaran kepang khas Tegalsari atau juga
dikenal dengan jaranan, jaran Dhor, maupun Kuda Lumping merupakan kesenian
tradisional yang banyak ditemukan di Pulau Jawa. Kesenian ini menampilkan
keindahan gerak tari oleh penari sambil menunggangi kuda yang terbuat dari
anyaman bambu diiringi gamelan. Tarian Jaran Kepang dan Jaran Dhor ini
dimainkan oleh lebih dari 10 orang.
Tradisi
Tak hanya kaya akan potensi alam, desa tegalsari juga kaya akan tradisi
budaya yaitu tradisi Nyadran, Saparan, dan Merti Deso. Nyadran merupakan
serangkaian upacara atau tradisi pembersihan makam oleh masyarakat yang berada
di pedesaan. Tradisi Nyadran ini paling banyak dilakukan oleh masyarakat di Pulau
Jawa khususnya Jawa Tengah.
Berbagai kegiatan nyadran sebagai berikut :
1. Besik merupakan kegiatan pembersihan makam leluhur dari kotoran dan
rerumputan. Pada kegiatan ini masyarakat dan keluarga saling kerja sama
bergotong royong di area pemakaman.
2. Kirab merupakan arak-arakan peserta nyadran menuju tempat upacara adat
yang sedang berlangsung
3. Ujub adalah maksud dari serangkaian upacara adat yang dipimpin oleh
sesepuh desa.
4. Doa adalah bentuk kegiatan bersama untuk munajat kepada Tuhan yang
ditujukan kepada roh leluhur yang telah meninggal.
5. Kembul Bujono merupakan kegiatan makan bersama ditempat kegiatan yang
berlangsung, dimana setiap keluarga yang mengikuti acara tersebut
membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah
Setiap bulan Ruah (Bulan Jawa) warga desa Tegalsari selalu melakukan
tradisi Nyadran, tepatnya pada tanggal 21 Ruah, 23 Ruah, 24 Ruah, dan 25 Ruah.
Pada tanggal-tanggal tersebut telah dibuat pemetaan tempat dimana dilakukan
tradisi nyadran. Setiap tanggal 21 Ruah, bertempat di makam Pringgoloyo. Tanggal
23 Ruah bertempat di makam Kulon Roji. Tanggal 24 di makam Dukuh, tanggal 25
di makam Ngasem. Di makam Ngasem ini tidak hanya digunakan untuk tradisi
Nyadran, tetapi juga ada tradisi Saparan. Saparan dilakukan setiap tanggal 15
Sapar. Saparan adalah tradisi tahunan yang dilaksanakan pada setiap bulan Sapar.
Saparan ini merupakan tradisi budaya jawa yang dilakukan sebagai wujud rasa
syukur dengan tujuan agar diberikan keselamatan hidup di dunia dan akherat.
Merti Deso merupakan tradisi tahunan yang dilakukan setiap tanggal 15 bulan
Jumadil Awal. Jumadil awal adalah bulan kelima dalam penanggalan dalam kalender
Islam atau Hijriah. Bulan ini biasanya ditandai dengan awalnya musim panas. Tradisi
Merti Deso ini adalah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas segala rizeki
dengan cara kirab budaya gunungan hasil bumi. Tradisi ini sudah ada sejak zaman
dahulu sebagai warisan leluhur. Kegiatan yang dilakukan dalam Merti Deso ini
berupa prosesi upacara adat yang meliputi kirab budaya dan gunungan hasil bumi,
pentas kesenian tari tradisional. Pagelaran kegiatan ini bisa dilakukan di siang hari
maupun malam hari.
Tradisi Adang-Adangan
Setiap daerah tentu memiliki adat dan budaya yang berbeda dengan daerah
lainnya. Di desa Tegalsari memiliki keunikan tersendiri dalam ucapara pernikahan.
Selepas pengantin melaksanakan ijab kobul, biasanya dilanjutkan upacara Panggih.
Panggih artinya temu, kepanggih artinya bertemu. Pada prosesi ini mempelai laki-
laki dan perempuan akan di pertemukan secara sakral disaksikan oleh orangtua,
keluarga, masyarakat, dan tamu undangan. Uniknya upacara panggih manten di
desa Tegalsari berbeda-beda disesuaikan dengan urutan kelahiran kedua mempelai
di antara saudara-saudaranya. Apabila kedua mempelai sama-sama anak pertama
diantara saudara-saudaranya, maka urutan upacara temu nganten nya adalah
adang-adangan. Adang-adangan adalah salah satu tradisi upacara pengantin di
Pulau Jawa.
Berdasarkan penelitian Fauziah dan Siti Nur (2019), tradisi adang-adangan
dilakukan ketika orang tua baru pertama kali menikahkan anaknya. Kegiatan yang
dilakukan kedua mempelai adalah berjalan mengelilingi kuali yang terbuat dari tanah
liat. Kuali tersebut biasanya berisi air, mempelai wanita membawa canding berisi air
dan mempelai laki-laki memasukkan kayu bakar pada tungku dimana kuali tersebut
diletakkan. Namun ada juga yang kuali tersebut tidak diisi apapun, hanya simbolik
saja untuk dikelilingi oleh kedua mempelai. Kedua pengantin mengelilingi kuali
kearah kanan tiga kali berputar sambil berpegangan tangan antara keduanya. Selain
adang-adangan terdapat prosesi balang-balangan sirih. Pada prosesi ini, kedua
mempelai berdiri dengan jarak kurang lebih lima langkah. Saat itu, keduanya akan
saling melempar nikatan daun sirih yang berisi kapur sirih dan diikat dengan benang.
Pengantin laki-laki akan melempar ke arah dada mempelai perempuan. Filosofi
balang-balangan sirih ini adalah mengusir hal-hal negatif dari masing-masing
mempelai.
Pada pasangan pengantin ragil bertemu ragil atau anak terakhir menikah
dengan anak ragil, maka akan ada prosesi ayak-ayakan atau tebar beras kuning.
Filofosi prosesi ini adalah sudah selesai kewajiban orangtua untuk menikahkan putra
putrinya. Menabur beras yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan,
dengan harapan putra putri yang sudah berumahtangga dapat hidup rukun dan
sejahtera. Kuning melambangkan keseimbangan hidup manusia, seperti siang dan
malam, baik dan buruk, lelaki dan perempuan. Seluruh rangkaian prosesi tersebut
dilakukan untuk melestarikan budaya leluhur dan juga faktor keyakinan. Hal unik
lain pada upacara pernikahan yang kedua mempelai adalah sama-sama anak
pertama, ada jogetan Lendera dimana makanan jenang, jadah, wajik, sekoci dan
sebagainya dimainkan seperti reog.
Selain kekayaan alam, desa tegalsari juga memiliki potensi bernilai ekonomi.
Desa Tegalsari mampu mengoptimalkan potensi usaha beberapa kegiatan bernilai
ekonomi seperti koperasi budidaya ikan. Di desa Tegalsari terdapat Kolompok
Budidaya Ikan (POKDAKAN) Minasari yang di ketuai oleh bapak Ngatmin. Di
pekarangan rumah bapak Ngatmin terdapat beberapa kolam ikan yang berisi
berbagai jenis ikan, seperti lele, nila, gurame, ikan hias lengkap dengan pakan dan
aquariumnya. Ribuan ikan dibudidayakan POKDAKAN ini, setiap 2,5 bulan ikan-ikan
ini siap dipanen dan kemudian di isi bibit kembali. Untuk pemasaran ikan-ikan ini,
setiap panen sudah di ambil oleh pedagang-pedagang dari pasar. Kegiatan bernilai
ekonomi lainnya adalah pabrik tahu dan tempe, kue ulang tahun, kripik, dan
sebagainya. Di Desa Tegalsari terkenal banyak yang membuat tahu dan tempe.
Pemasaran tahu dan tempe hingga merambah di kecamatan Klego, Simo, Sambi,
Wonosegoro, dan lain-lain.
Tidak ketinggalan, Tegalsari juga memiliki wisata kuliner yang patut untuk
dipamerkan. Salah satunya adalah Lotek bu Sri Sulastri yang teletak di sebelah
selatan kantor desa Tegalsari. Lotek ini bukan lotek biasa, artinya soal rasa berbeda
dengan lotek yang pernah penulis jumpai.
Begitu luar biasa potensi alam dan budaya yang dimiliki oleh desa ini, maka
penulis mengajak pembaca untuk mengunjungi Desa Tegalsari, Karanggede. Mari
kita mendukung dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh Desa Tegalsari
agar menjadi desa wisata yang dikenal di nusantara. Dengan semangat dari
Boyolali untuk Boyolali mari kita gaungkan dari Tegalsari untuk segenap
negeri.
Daftar Pustaka
Fauziyah, Siti Nur (2019) Tradisi Adang-Adangan Mantu Pertama Dalam Pernikahan
Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa Karangmojo Kec. Klego
Kab. Boyolali). Other Thesis, Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri (Iain) Salatiga 2019.
Pratisthita, Shinta Tyas. (2020). Representasi Kedudukan Wanita Dalam Upacara
Panggih Pengantin Adat Surakarta Sebagai Wujud Regenerasi Budaya
Jawa.Prosiding STHD Klaten Jawa Tengah 1.1 149-158.
Laman internet
(http://www.berdesa.com/apa-beda-desa-wisata-dan-wisata-desa)
BIODATA PENULIS
BIODATA NARASUMBER
Rahayu, lahir di Boyolali, 12 Februari
1980. Menjabat sebagai wakil ketua
Pordawis dan desa wisata periode
2021 sampai dengan 2026. Selain
itu, beliau juga menjadi anggota
paguyuban seni Reog Suposari
Tegalsari Karanggede. Aktif menjadi
pembina Karang Taruna Desa
Tegalsari. Contac person
082136973284