Anda di halaman 1dari 2

Selamat Sore,

 
Pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangai 26 Juni 1945 menegaskan
bahwa mempraktikkan toleransi adalah salah satu prinsip yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan kerja
sama internasional yang diusung PBB.

Tujuan utama PBB adalah memecahkan masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, budaya atau
kemanusiaan dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia kebebasan
bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.

Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau
Keyakinan’ (1981) artikel 1 poin 1 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan
beragama. Hak ini harus mencakup: kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan apa pun pilihannya,
dan kebebasan, baik secara individu maupun dalam masyarakat dengan orang lain dan di depan umum atau
pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam ibadah, ketaatan, praktik dan pengajaran.”
Sementara poin 2 menandaskan bahwa: “Tidak seorang pun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu
kebebasannya untuk memeluk agama atau kepercayaannya pilihan.''

Deklarasi tersebut berkaitan dengan pentingnnya konsep toleransi dalam kehidupan beragama yang menurut
(Suparta dkk, 2009:197), meliputi:

1. Menghargai keberadaan suatu agama yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu diwujudkan dengan
mampu melaksanakan ritual peribadatan dengan baik, dapat merayakan liburan keagamaan dengan
aman, mampu menjalankan tradisi berdasarkan agama dengan baik tanpa campur tangan pihak
manapun;
2. Tidak mengganggu kehidupan pemeluk agama lain; dalam beribadah maupun lain lain.
3. Antarpemeluk agama dapat saling membantu bila perlu, sejauh tidak perlu bertentangan dengan ajaran
agamanya masing-masing. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa toleransi beragama adalah
kemampuan untuk menghormati, dan tidak mengganggu kehidupan pengikut agama lain. Makna hakiki
toleransi terletak pada sikap adil, jujur, sikap objektif dan memungkinkan orang lain untuk melakukan
hal yang berbeda dalam pendapat, kebiasaan, ras, agama, kebangsaan, dan suku (etnis) dengan kita.

Toleransi adalah kemampuan untuk menghormati keyakinan dan perilaku orang lain yang berbeda dengan diri
atau kelompok sendiri. Platform toleransi beragama Prinsip Islam mengajarkan pemeluknya untuk toleransi,
kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun. Islam menekankan perlunya membangun harmoni dan
toleransi, harmoni dan perdamaian antarsesama Muslim dan antar umat beragama masyarakat.

Pribadi manusia memiliki hak atas kebebasan beragama. Kebebasan ini berarti bahwa semua orang harus kebal
dari paksaan oleh individu atau kelompok sosial dan kekuatan manusia, sedemikian rupa sehingga tidak seorang
pun dipaksa untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, baik secara pribadi
atau di depan umum, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dalam batas-batas yang ditentukan.

 Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama ini adalah untuk diakui dalam hukum tata negara di mana
masyarakat diatur dan dengan demikian menjadi hak sipil. Aloys Budi Purnomo (2021) menyatakan bahwa
toleransi tidak lain adalah manifestasi dari iman yang berlaku dalam setiap tindakan orang beriman. Agama
diperlukan untuk mewujudkannya keyakinan pada tingkat praktis setiap hari. Perwujudan realistis dari
keyakinan adalah melakukan kebaikan, harmonis, saling pengertian dan saling menerima. Berdasarkan beberapa
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap agama sangat menganjurkan kehidupan yang baik, harmoni
dan saling menghormati antarpemeluk agama. Itu berarti semua umat beragama dipanggil dan diutus untuk
bertoleransi: saling menghargai, saling menghormati dan saling mengasihi dengan menggunakan semua bakat
dan talentanya untuk kemanusiaan. Mulai dari keluarga Perilaku toleransi antarumat beragama tidak bisa
muncul tiba-tiba, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkembangkan dan dipelihara sejak dini, semenjak seseorang
masih sebagai anak-anak. Itu berarti, keluarga bertanggung jawab membantu seorang anak untuk belajar dan
berlatih untuk hidup bertoleransi: menghargai perbedaan dan belajar hidup serta bekerja sama dengan orang
lain. Sebetulnya, upaya itu tidak sulit karena secara naluriah setiap keluarga menghendaki yang terbaik bagi
anak-anaknya. Sementara itu, anak-anak secara naluriah bersifat tulus hati dan bersedia bermain dengan rekan
seusianya, tanpa membedakan-bedakan suku, ras, dan agama.

Jadi, keluarga dapat secara bertahap menanamkan sikap menghargai perbedaan dan toleransi beragama kepada
anak-anaknya melalui cara-cara sederhana. Anak-anak mesti dibiasakan dan dilatih dalam kepekaan terhadap
situasi sosial di sekitar melalui pengalaman riil sehari-hari. Kearifan lokal Sesungguhnya anak-anak Indonesia
juga dapat dengan mudah belajar bagaimana para orangtua mereka mempraktikkan nilai kearifan lokal:
bergotong-royong dalam konteks toleransi beragama. Di mana-mana di Indonesia, kita menyaksikan para
pemeluk suatu agama hidup berdampingan dengan secara harmonis dengan pemeluk agama lain. Mereka saling
menghormati dan membantu satu sama lain secara tulus hati. Ketika ada pemeluk agama Hindu melakukan
kegiatan di Pura, umat Islam menghormati dengan meminimalkan panggilan untuk shalat (menyuarakan adzan
dengan tidak menggunakan speaker). Ketika umat Nasrani merayakan Natal, misalnya, warga Muslim ikut
membantu menjaga keamanan dan mengatur lapangan parkir. Begitu pula sebaliknya, ketika umat Islam
melakukan ibadah Idul Fitri, misalnya, warga Nasrani yang menjaga keamanan dan mengatur parkir. Lebih
daripada itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, toleransi beragama dilegitimasi oleh Konstitusi:
UUD 1945. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjadi landasan hukum yang memungkin setiap warga Negara
Indonesia berhak dan bebas menjalankan agama yang dianutinya.

Pendekatan multidisiplin Sejatinya, dari sisi doktrin agama, sisi sosial-budaya, dan hukum, warga bangsa
Indonesia tidak memiliki halangan berarti untuk mempratikkan toleransi hidup beragama. Makanya berita
intoleransi yang belakangan ini beredar sepertinya adalah bentuk penyimpangan atau defiasi.

Artinya, seorang berperilaku intoleran karena memiliki pemahaman yang keliru tentang doktrin agama. Boleh
jadi, ia bersikap intoleran karena mengalami kemerosotan nilai-nilai sosial-budaya. Dan, boleh jadi juga, orang
bersikap intoleran karena menderita ganguan jiwa atau gangguan kepribadian.

Gagasan untuk mengatasi penanganan terhadap pelaku tindak intoleransi tidak cukup dilakukan melalui
pendekatan hukum saja. Kita perlu mengembangkan pendekatan multidisilpin dan perilaku mereka. Yaitu,
mereinternalisasi doktrin agama, merevitalisasi nilai sosial-budaya, saling tolong menolong, menghargai
perbedaan suku ras agama, cara menghargai satu sama lain tanpa melihat perbedaan, dan bisa juga dilakukan
dari orang sekitar ruang lingkup mulai dari keluarga , kerabat , orang tua dll agar perilaku positif dalam
bertoleransi terbiasa di kehidupan sehari hari.

Sumber Referensi :

- https://nasional.kompas.com/read/2022/02/02/09532801/menangani-perilaku-intoleransi-beragama?page=all

- Pendapat pribadi

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai