Anda di halaman 1dari 24

ESSAY

Penyakit turunan dan generatif yang mempengaruhi system reproduksi: jantung, diabetes
mellitus, hipertensi, asma bronchiale

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyakit Non Obstetri dan Ginekologi

Dosen Pengampu:

Nur Eva Aristiana, SST., M.Keb.

Oleh:

SABRINA MAHARANI ARTAMEVIA


P17310214055

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGAM STUDI D-III KEBIDANAN MALANG
TAHUN 2023/2024
PENYAKIT JANTUNG

1. Definisi
Kehamilan dengan penyakit jantung selalu saling mempengaruhi karena kehamilan
dapat memberatkan penyakit jantung yang dideritanya. Dan penyakit jantung dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Penyakit jantung
dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi
pada kehamilan atau persalinan.
2. Etiologi
Kelainan jantung dapat primer maupun sekunder. Kelainan primer akibat kelainan
kongenital, katup, iskemik dan kardiomiopati. Sedangkan sekunder akibat penyakit lain
seperti hipertensi, anemia berat, dan lain-lain.
Pada awal kehamilan terjadi perubahan hemodinamik bermakna, wanita dengan
disfungsi jantung yang parah mungkin mengalami perburukan gagal jantung sebelum
pertengahan kehamilan. Gagal jantung sering kali terjadi saat hipervolumia kehamilan
mencapai maksimum setelah minggu ke-28 sampai 32 minggu. Perubahan hemodinamik
yang dirangsang oleh kehamilan menimbulkan dampak besar pada penyakit jantung yang
diidap wanita hamil. Aspek paling penting adalah selama kehamilan curah jantung
(cardiac output) meningkat sebesar 30 sampai 50%, ini memperlihatkan bahwa hampir
separuh dari peningkatan total telah terjadi pada usia gestasi 8 minggu, peningkatan ini
menjadi maksimum pada pertengahan kehamilan. Karena Pengaruh penyakit jantung
terhadap kehamilan umumnya adalah dapat terjadi abortus, prematuritas, dismaturitas
(lahir cukup bulan namun berat badan bayi lahir rendah), bayi lahir dengan Apgar rendah,
dan kematian janin dalam rahim.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Penyakit Jantung Dalam Kehamilan Klasifikasi klinis penyakit jantung
pertama kali diterbitkan oleh New York Heart Association. Berikut klasifikasi penyakit
jantung dalam kehamilan:
1. Kelas I : Tidak terganggu, pasien dengan penyakit jantung dan pembatasan
aktivitas fisik. Tanpa tanda gejala insufiensi jantung.
2. Kelas II : Sedikit terganggu, pasien dengan penyakit jantung dan terdapat sedikit
pembatasan aktivitas fisik. Ibu hamil ini merasa nyaman saat istirahat, tetapi
apabila melakukan aktivitas fisik biasa mereka akan merasa tidak 18 nyaman
dalam bentuk rasa lelah berlebihan, palpitasi, dispnea, atau nyeri dada.
3. Kelas III : Sangat terganggu, pasien dengan penyakit jantung dan terdapat
pembatasan nyata aktivitas fisik. Mereka nyaman dalam keadaan istirahat, tetapi
aktivitas yang kurang dari biasa menyebabkan rasa tidak nyaman berupa kelelahan
berlebihan, palpitasi, dispnea atau nyeri dada.
4. Kelas IV : Pasien dengan penyakit jantung dan tidak dapat melakukan aktivitas
apapun tanpa merasa tidak nyaman. Gejala insufiensi jantung dapat muncul
bahkan saat istirahat.
Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus atau kematian
intrauterin karena oksigenasi janin terganggu. Dengan kehamilan pekerjaan jantung
menjadi sangat berat sehingga kelas I dan II dalam kehamilan dapat masuk ke dalam
kelas III atau IV
4. Tanda dan gejala

Ditemukan gejala pada ibu hamil dengan penyakit jantung seperti:

a. Ortopnea (sesak napas meskipun dalam keadaan tegak) atau dispnea (napas pendek)
progresif
b. Batuk malam hari
c. Hemoptisis (batuk darah)
d. Sinkop (pingsan)
e. Nyeri dada.
5. Komplikasi
Pengaruh penyakit jantung terhadap kehamilan umumnya adalah dapat terjadi abortus,
prematuritas, dismaturitas (lahir cukup bulan namun berat badan bayi lahir rendah), bayi
lahir dengan Apgar rendah, dan kematian janin dalam rahim.
6. Penatalaksanaan Pada Penderita Penyakit Jantung
Pada penderita penyakit jantung diusahakan untuk membatasi penambahan berat
badan yang berlebihan, anemia secepat mungkin diatasi, infeksi saluran pernafasan atas
dan preeklampsia sedapat-dapatnya dijauhkan karena sangat memberatkan pekerjaan
jantung.
Saat-saat berbahaya adalah pada kehamilan 28 – 32 minggu karena merupakan
puncak hemodilusi, partus kala II karena venous return yang meningkat saat mengedan,
dan masa postpartum sebagai akibat kembalinya cairan tubuh ke dalam sistim sirkulasi
sehingga beban jantung bertambah berat
Penatalaktalaksanaan penyakit jantung yang menyertai kehamilan bedasarkan
kelasnya, yaitu:
a) Kelas I dan II
Umumnya penderita dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan
melahirkan pervaginam. Namun tetap harus diwaspadai terjadinya gagal jantung
pada kehamilan, persalinan dan nifas. Faktor pencetus utama terjadinya gagal
jantung adalah endokarditis, oleh karena itu semua wanita hamil dengan penyakit
jantung harus sedapat mungkin dicegah terjadinya infeksi terutama infeksi saluran
napas atas.
Dalam penanganan penyakit jantung selama kehamilan terdapat 4 hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
1. cukup istirahat (10 jam istirahat malam, ½ jam setiap kali setelah makan)
dan hanya pekerjaan ringan yang diizinkan.
2. harus dilakukan pencegahan terhadap kontak dengan orang-orang yang
dapat menularkan infeksi saluran nafas atas, merokok, penggunaan obat-
obat yang memberatkan pekerjaan jantung.
3. tanda-tanda dini dekompensasio harus cepat diketahui, seperti adanya
batuk, ronki basal, dispnoe dan hemoptoe.
4. sebaiknya pasien masuk rumah sakit 2 minggu sebelum persalinan untuk
istirahat.
b) Kelas III dan IV
Bila seorang ibu hamil dengan kelainan jantung kelas III dan IV ada dua
kemungkinan penatalaksanaan yaitu: terminasi kehamilan atau meneruskan
kehamilan dengan tirah baring total dan pengawasan ketat, dan ibu dalam posisi
setengah duduk.
Kelas III sebaiknya tidak hamil, kalau hamil pasien harus dirawat di Rumah
Sakit selama kehamilan, persalinan dan nifas, dibawah pengawasan ahli penyakit
dalam dan ahli kebidanan, atau dapat dipertimbangkan untuk dilakukan abortus
terapeutikus. Persalinan hendaknya pervaginam dan dianjurkan untuk sterilisasi.
Kelas IV tidak boleh hamil. Kalau hamil juga, pimpinan yang terbaik ialah
mengusahakan persalinan pervaginam
c) Penatalaksanaan persalinan
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada persalinan pervaginam
adalah:
1. Ibu harus dalam posisi setengah duduk (kepala dan dada ditinggikan) dan
miring ke kiri.
2. Penolong persalinan harus memberikan pendekatan psikologis supaya ibu
tetap tenang dan merasa aman.
3. Untuk mencegah timbulnya dekompensasio kordis sebaiknya dibuat daftar
pengawasan khusus untuk mencatat nadi dan pernapasan secara berkala
(tanda-tanda vital harus dimonitor diantara tiap his, dalam kala I setiap 10-
15 menit dan dalam kala II setiap 10 menit. Apabila terdapat peningkatan
denyut nadi lebih dari 115 x/mt atau peningkatan respirasi lebih dari 28
x/mt dan disertai dispnu merupakan tanda-tanda dini kegagalan ventrikel,
dan pasien perlu diberikan morfin, digitalis, oksigen dan diuretik).
4. Bila dibutuhkan oksitosin, berikan dalam konsentrasi tinggi (20 U/ltr)
dengan tetesan rendah dan pengawasan keseimbangan cairan.
5. Nyeri persalinan dapat diatasi dengan pemberian obat seperti Tramadol
100 mg supositoria, pethidin 50 mg IM, atau morphin 10-15 mg IM.
6. Persalinan kala II biasanya diakhiri dengan ekstraksi forseps atau ekstraksi
vakum dan sedapat mungkin ibu dilarang mengedan.
7. Penanganan kala III dilakukan secara aktif, namun pemakaian preparat
ergometrin merupakan kontraindikasi, karena kontraksi uterus yang
dihasilkan bersifat tonik dengan akibat terjadi pengembalian darah ke
dalam sirkulasi sistemik kurang lebih 1 liter.
8. Setelah kala III selesai, harus dilakukan pengawasan yang ketat untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya gagal jantung atau edema paru,
karena saat tersebut merupakan saat yang paling kritis selama hamil,
pemasangan gurita dengan kantong pasir di dinding perut dapat dilakukan
untuk mencegah perubahan mendadak sirkulasi (kolaps postpartum).
d) Pengawasan Nifas
Pengawasan nifas sangat penting diperhatikan, mengingat kegagalan jantung
dapat terjadi pada saat nifas, walaupun pada saat kehamilan atau persalinan tidak
terjadi kegagalan jantung. Komplikasi-komplikasi nifas seperti perdarahan post
partum, anemia, infeksi dan tromboemboli akan lebih berbahaya pada pasien-
pasien dengan penyakit jantung.
Sebaiknya penderita penyakit jantung dirawat di rumah sakit sekurang-
kurangnya 14 hari setelah melahirkan dengan istirahat dan mobilisasi tahap demi
tahap serta diberi antibiotika untuk mencegah endokarditis.
Laktasi dibolehkan bagi wanita yang sanggup secara fisik, namun bagi
penderita penyakit jantung kelas III dan IV tetap dilarang untuk menyusui.

DIABETES MELITUS

1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduannya. Menurut
International Diabetes Federation (IDF) 2017, Diabetes Melitus adalah penyakit kronis
yang terjadi saat pankreas tidak lagi mampu memproduksi insulin, atau saat tubuh tidak
dapat lagi memanfaatkan insulin yang dihasilkan dengan baik.
Diabetes mellitus gestasional (DMG) merupakan komplikasi kehamilan yang umum
terjadi, dimana hiperglikemia spontan berkembang selama kehamilan. DMG merupakan
keadaan pada wanita yang belum pernah terdiagnosis diabetes melitus sebelumnya,
kemudian menunjukkan peningkatan kadar glukosa darah selama kehamilan. DMG
berkaitan erat dengan komplikasi selama kehamilan seperti meningkatnya angka
kebutuhan seksio sesarea, meningkatnya risiko ketonemia, preeklampsia dan infeksi
traktus urinaria, serta meningkatnya gangguan perinatal (makrosomia dan hipoglikemia
neonatus).
2. Etiologi
Diabetes Gestasional adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai
diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon
disertai pengaruh metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan dapat menjadi
keadaan diabeto genetik.
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetes melitus
gestasional yaitu, ketuunan, obesitas, hipertensi, usia, Indeks Masa Tubuh (IMT), riwayat
penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga, dan gaya hidup sebelum dan selama
kehamilan.
3. Patofisiologi
Proses terjadinya diabetes melitus gestasional pada ibu hamil dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang didukung oleh hormon-hormon yang aktif dan tinggi selama masa
kehamilan. Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi hormon-hormon antagonis
insulin, antara lain: progesteron, estrogen, human placenta lactogen, dan kortisol.
Peningkatan hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan
peningkatan kadar glukosa darah. Metabolisme karbohidrat selama
4. Klasifikasi Diabeter Melitus Gestasional
Diabetes Melitus yang timbul pada saat kehamilan. Faktor-faktor penyebab terjadinya
Diabetes Melitus gestasional diantaranya adalah adanya riwayat Diabetes Melitus dari
keluarga, obesitas atau kenaikan berat badan pada saat kehamilan, faktor usia ibu pada
saat hamil, riwayat melahirkan bayi besar (>4000 gram) dan riwayat penyakit lain
(hipertensi, abortus). Gejala dan tanda Diabetes Melitus Gestasional sama dengan
Diabetes Melitus secara klinis yaitu poliuria (sering kencing), polifagia (cepat lelah) dan
polidipsi (sering haus). Akibat dari Diabetes Melitus gestasional apabila tidak ditangani
secara dini pada ibu adalah akan terjadi preklamsia, komplikasi proses persalinan, 18
resiko Diabetes Melitus tipe II setelah melahirkan. Sedangkan resiko pada bayi adalah
lahir dengan berat badan > 4000 gram, pertumbuhan janin terhambat, hipokalsemia dan
kematian bayi dalam kandungan (Sugianto, 2012).
Kehamilan karena insulin jumlah sangat besar atau banyak masih dibutuhkan sesuai
dengan perkembangan kehamilan. Adanya hormon HPL dan progesteron dapat
menyebabkan jarngan pada ibu menjdi resisten pada insulin sehingga mengahsilkan
enzim yang disebut insulinase yang dihasilkan oleh placenta dan mempercepat terjadinya
insulin. Bila pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara adekuat, maka akan timbul
suatu kondisi yang disebut hiperglikemia hal ini yng dapat menyebabkan kondisi
kompensasi seperti meningkatkan rasa haus (polidipsi), mengekskresikan cairan dan
mudah lapar (polifagia) (Mitayani,2009). Selain itu, adanya dukungan oleh faktor-faktor
resiko yang menyebabkan terjadinya diabetes melitus gestasional. Selama awal
kehamilan, toleransi glukosa normal atau sedikit meningkat dan sensitivitas perifer (otot)
terhadap insulin serta produksi glukosa basal hepatik normal akibat peningkatan hormon
estrogen dan progesteron maternal pada awal kehamilan yang meningkatkan hiperplasia
sel β pankreas, sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Hal ini menjelaskan
peningkatan cepat insulin
di awal kehamilan sebagai respons terhadap resistensi insulin. Pada trimester kedua dan
ketiga, peningkatan hubungan fetomaternal akan mengurangi sensitivitas insulin maternal
sehingga akan menstimulasi sel-sel ibu untuk menggunakan energi selain glukosa seperti
asam lemak bebas, glukosa maternal selanjutnya akan ditransfer ke janin. Dalam kondisi
normal kadar glukosa darah fetus 10-20% lebih rendah daripada ibu, sehingga transpor
glukosa dari plasenta ke darah janin dapat terjadi melalui proses difusi sederhana ataupun
terfasilitasi.
Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali lipat dibandingkan
keadaan tidak hamil. Pada kehamilan, penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan
defek post-reseptor yang menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4
(GLUT 4) dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
hormon yang berkaitan dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan dengan
peningkatan massa sel β dan peningkatan kadar insulin, beberapa wanita tidak dapat
meningkatkan produksi insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin,
sehingga menjadi hiperglikemik dan menderita DMG (Kurniawan,2016).
5. Manifestasi Klinis
Pada ibu hamil penderita diabetes melitus gestaional tidak menunjukkan tanda dan
gejala yang langsung terlihat. Biasanya jika ibu sudah menderita diabetes sebelum hamil,
mungkin lebih difokuskan namun pada kasus diabetes melitus gestasional kuran di
perhatikan, karena tidak adanya tanda gejala tapi jika dilakukan skrinning sedini mungkin
bisa mengetahui ada atau tidaknya indikasi diabetes melitus gestasional.
Jika dilakukan pemeriksaan tanda gejala terjadinya diabetes gestasional ditandai
dengan:
a. Polidipsi
b. Poliuri
c. polifagia
d. Glukosa plasma puasa 5.1-6.9 mmol / l (92 -125 mg / dl) - Glukosa plasma 1 jam ≥
10,0 mmol / l (180 mg / dl) mengikuti beban glukosa oral 75g
e. Glukosa plasma 2 jam 8,5 - 11,0 mmol / l (153 -199 mg / dl) mengikuti beban glukosa
oral 75g (WHO 2013).
6. Komplikasi
DMG berkaitan erat dengan komplikasi selama kehamilan seperti meningkatnya
angka kebutuhan seksio sesarea, meningkatnya risiko ketonemia, preeklampsia dan
infeksi traktus urinaria, serta meningkatnya gangguan perinatal (makrosomia dan
hipoglikemia neonatus).
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Ibu Hamil Dengan Diabetes Melitus Gestasional (DMG) Non-
Farmakologis
1. Terapi Diet,
Terapi ini merupakan strategi utama untuk mencapai kontrol glikemik.
Diet harus mampu menyokong pertambahan berat badan ibu sesuai masa
kehamilan, membantu mencapai normoglikema tanpa menyebabkan liposis
(ketonuria). Serta melakukan aktivitas fisik selama 30 menit sehari atau 150
menit dalam seminggu. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan pada ibu hamil
adalah beenang, aeobic low impact, bejalan, dan speda statis. Pada ibu yang
memiliki iwayat obesitas sebaiknya petambahan beat badan tidak melebihi
11,5 kg. pada ibu hamil yang memiliki beat badan ideal sebaiknya
petambahan beat badan dijaga 0,5-2,5 kg pada trimester petama dan 500 gam
per minggu pada trimester selanjutnya.
2. Kontrol glikemik. Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan sampel
darah kapile ialah:
a. Preprandial (setelah puasa) <95 mg/ dL (5,3 mmol/ L)
b. 1 jam post-prandial (setelah makan) <140 mg/dL (7,8 mmol/ L) atau 2
jam post-pandial (setelah makan) < 120 mg/ dL (6,7 mmol/L).
c. Teapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa plasma tidak
tecapai setelah pemantauan DMG selama 1-2 minggu.
d. Obat hipoglikemik oral. Obat hipoglikemik oral sepeti glyburide dan
metformin merupakan altenatif pengganti insulin pada pengobatan
DMG.
e. Menuunkan beat badan sebelum konsepsi dengan pengatuan diet.
Menurunkan beat badan 4,5 kg di antara kehamilan terdahulu dan
kehamilan berikutnya dapat menuunkan risiko DMG pada kehamilan
selanjutnya hingga 40%.
Tujuan penatalaksanaan diabetes gestational adalah nomoglikemi dan
menjaga pertumbuhan dan perkembangan fetus
b. Penatalaksanaan persalinan dengan DMG
Penilaian janin harus dilakukan lebih sering pada wanita dengan DMG yang
tidak terkontrol dan/atau terdapat komorbiditas. Induksi persalinan dapat dilakukan
pada wanita dengan DMG pada usia kehamilan 38–40 minggu untuk mengurangi
risiko
lahir mati dan risiko operasi seksio.22 Induksi persalinan yang lebih cepat atau lambat
dapat dipertimbangkan berdasarkan kendali glikemik serta ada atau tidaknya kondisi
komorbiditas lainnya.53,54 Pemantauan glukosa darah dilakukan selama persalinan
dan melahirkan, dan harus dipertahankan antara 70–140 mg/dL untuk meminimalkan
risiko hipoglikemia neonatal
c. Penatalaksanaan Pasca persalinan dengan DMG
Wanita dengan DMG harus dimotivasi untuk menyusui segera setelah
melahirkan untuk menghindari hipoglikemia neonatal dan melanjutkan setidaknya 6
bulan pascapersalinan untuk mencegah obesitas dan diabetes pada anak serta
mengurangi risiko diabetes tipe 2 dan hipertensi pada ibu.
Sebaiknya dilakukan prosedur TTGO 75 gram atau pemeriksaan HbA1c pada
6 minggu hingga 6 bulan pascapersalinan untuk mendeteksi prediabetes dan diabetes.
Bila hasil negatif, maka perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun berturut-turut
selama 3 tahun, meskipun hasil pemeriksaan negatif.22 Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan lanjutan dilakukan setiap 3 tahun. Edukasi mengenai pentingnya gaya
hidup sehat harus diberikan untuk menurunkan risiko DM tipe 2 maupun DMG pada
kehamilan berikutnya.

HIPERTENSI

1. Definisi
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Commitee on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan yang lebih
tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya,
mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi sampai hipertensi
maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer/esensial (hampir 90 % dari semua
kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali,
sering kali dapat diperbaiki (Marilynn E. Doenges, dkk, 1999). Hipertensi merupakan
keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik
lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh
darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (Arif Muttaqin,
2009). Menurut Bruner dan Suddarth (2001) hipertensi dapat didefinisikan sebagai
tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan
diastoliknya di atas 90 mmHg. Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik di atas 160 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah meningkatnya tekanan sistolik
sedikitnya 140 mmHg dan diastolik sedikitnya 90 mmHg
2. Etiologi
Prawirohardjo (2013), menjelaskan penyebab hipertensi dalam kehamilan
belum diketahui secara jelas. Namun ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan
terjadinya hipertensi dan dikelompokkan dalam faktor risiko.
Beberapa faktor risiko sebagai berikut:
a. Primigravida, (seorang wanita hamil yang untuk pertama kali (Gobak,
2005)) primipaternitas (kehamilan anak pertama dengan suami ke dua)
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim (<35 tahun)
d. riwayat keluarga pernah pre eklampsia/ eklampsia
e. penyakit- penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f. obesitas (BMI>35). (Prawirohardjo, 2010)

3. Partofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula pada
sistem saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi.
Kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Medulla adrenal mensekresi epineprin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan streroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriksi pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstrikstriktor kuat. Yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.

Pertimbangan gerontologis. Perubahan struktur dan fungsional pada sistem


perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya elastisistas jaringan
ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan parifer (Bruner dan Suddarth, 2001).

4. Manifestasi
Klinik Jhonson (2014), menjelaskan beberapa manifestasi klinis dari
hipertensi dalam kehamilan yaitu:
a. Spasme pembuluh darah ibu serta sirkulasi dan nutrisi yang burukdapat
mengakibatkan kelahiran dengan berat badan dan kelahiranprematur.
b. Mengalami hipertensi diberbagai level.
c. Protein dalam urin berkisar dari +1 hingga +4.
d. Gejala neurologi seperti pandangan kabur, sakit kepala dan hiper refleksia
mungkin akan terjadi.
e. Berpotensi gagal hati.
f. Kemungkinan akan mengalami nyeri di kuadran kanan atas.
g. Meningkatnya enzim hati.
h. Jumlah trombosit menurun

5. Klasifikasi hipertensi pada kehamilan


Hipertensi pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg. Dibagi
menjadi ringan-sedang (140 – 159 / 90 – 109 mmHg) dan berat (≥160/110 mmHg)
(Malha et al., 2018).
Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi: 1) pre-eklampsia/
eklampsia, 2) hipertensi kronis pada kehamilan, 3) hipertensi kronis disertai
preeklampsia, dan 4) hipertensi gestational (Roberts et al., 2013; Malha et al., 2018)
6. Komplikasi
Menurut Mitayani (2011) beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat
hipertensi dalam kehamilan pada ibu dan janin yaitu:
a. Pada ibu:
1) Eklampsia
2) Pre eklampsia berat
3) Solusio plasenta
4) Kelainan ginjal
5) Perdarahan subkapsula hepar
6) Kelainan pembekuan darah
7) Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan lowplatellet
count).
8) Ablasio retina.
b. Pada janin:
1) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus
2) Kelahiran prematur
3) Asfiksia neonatorum
4) Kematian dalam uterus
5) Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.
7. Penatalaksanaan
a. Prawirohardjo (2013), beberapa penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan
diantaranya:
1) Anjurkan melakukan latihan isotonik dengan cukup istirahat dantirah
baring.
2) Hindari kafein, merokok, dan alkohol.

3) Diet makanan yang sehat dan seimbang, yaitu dengan mengkonsumsi


makanan yang mengandung cukup protein, rendah karbohidrat, garam
secukupnya, dan rendah lemak.
4) Menganjurkan agar ibu melakukan pemeriksaan secara teratur, yaitu
minimal 4 kali selama masa kehamilan. Tetapi pada ibu hamil dengan
hipertensi dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan yang
lebih sering, terutama selamatrimester ketiga, yaitu harus dilakukan
pemeriksaan setiap 2 minggu selama 2 bulan pertama trimester ketiga,
dan kemudian menjadi sekali seminggu pada bulan terakhir kehamilan.
5) Lakukan pengawasan terhadap kehidupan dan pertumbuhanjanin dengan
USG.
6) Pembatasan aktivitas fisik.

7) Penggunaan obat- obatan anti hipertensi dalam kehamilan tidak


diharuskan, karena obat anti hipertensi yang biasa digunakan dapat
menurunkan perfusi plasenta dan memiliki efek yangmerugikan bagi
janin. Tetapi pada hipertensi berat, obat-obatan diberikan sebagai
tindakan sementara. Terapi anti hipertensi dengan agen farmakologi
memiliki tujuan untuk mengurangi tekanan darah perifer, mengurangi
beban kerja ventrikel kiri, meningkatkan aliran darah ke uterus dan
sisitem ginjal serta mengurangi resiko cedera serebrovaskular.

b. Penatalaksanaan pada persalinan dengan hipertensi


1. Waktu persalinan untuk pre-eklampsia
2. Direncanakan persalinan secara konservatif
3. Dilakukan pengamatan intensif Dilakukan persalinan sebelum minggu
ke- 34 jika: terjadi hipertensi berat hingga sesak nafas, ibu atau janin
terancam
4. Merekomendasikan persalinan setelah minggu ke-34 jika tekanan darah
terkontrol
5. Merekomendasikan persalinan dengan waktu 24-48 jam setelah minggu
ke-37 pada pre-eklampsia sedang/ringan
Penanganan hipertensi kronis pada kehamilan
1. Pemberitahuan bila mengonsumsi ACE inhibitor:
- terdapat peningkatan risiko gangguan kongenital
- berdiskusi memilih obat hipertensi alternatif
2. Pemberitahuan bila mengonsumsi chlorothiazide:

- erdapat peningkatan risiko gangguan kongenital dan komplikasi


neonatal
- berdiskusi memilih obat hipertensi alternatif
3. Menjaga tekanan darah kurang dari 150/100 mmHg saat kehamilan
c. Penatalaksanaan post-partum dengan hiperensi
1) Istirahat di tempat tidur dengan metode tirah baring kiri kanan. Istirahat
dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta
dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstremitas
bawah menurun dan reabsorpsi cairan menurun.
2) Memantau tanda-tanda vital, refleks dan DJJ
3) Pemberian obat sedatif, antihipertensi, klorpromazin, dan larutan
magnesium sulfat (MgSO4).
4) Monitor keadaan janin

8. Konsekuensi hipertensi pada kehamilan:


a) Jangka pendek
- Ibu : eklampsia, hemoragik, isemik stroke, kerusakan hati (HELL sindrom,
gagal hati, disfungsi ginjal, persalinan cesar, persalinan dini, dan abruptio
plasenta.
- Janin : kelahiran preterm, induksi kelahiran, gangguan pertumbuhan janin,
sindrom pernapasan, kematian janin.
b) Jangka panjang
Wanita yang mengalami hipertensi saat hamil memiliki risiko kembali mengalami
hipertensi pada kehamilan berikutnya, juga dapat menimbulkan komplikasi
kardiovaskular, penyakit ginjal dan timbulnya kanker.

ASMA BRONKIAL

1. Definisi
Definisi Asma
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea danbronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanyapenyempitan jalan napas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baiksecara spontan maupun sebagai hasil
pengobatan (Muttaqin, 2008).
Asma dalam kehamilan gangguan adalah inflamasi kronik jalan napasterutama sel
mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupamengi, sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanitahamil. Asma mungkin membaik,
memburuk atau tetap tidak berubah selamamasa kehamilan, tetapi pada kebanyakan wanita
gejala-gejalanya cenderungmeningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan.
Denganbertumbuhnya bayi dan membesarnya rahim, sebagian wanita mungkin
seringmengalami sesak nafas. Tetapi ibu - ibu yang tidak menderita asmapunmengalami hal
tersebut karena gerakan diafragma / sekat rongga badanmenjadi terbatas.(Febrianti,2008)

2. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu halyang
menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus
penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupunnon-imunologi.
Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang seringmenimbulkan Asma adalah:

a. Faktor ekstrinsik (alergik): reaksi alergik yang disebabkan oleh alergenatau


alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulubinatang
b. Faktor intrinsik (non-alergik): tidak berhubungan dengan alergen,
seperticommon cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan
polutanlingkungan dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan: Bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyaikarakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik
(Smeltzer&Bare,2002)

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan Asma Bronkhial yaitu:

1. Faktor predisposisi

Genetik: Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipunbelum


diketahui bagaimana cara penurunannya yangjelas. Penderitadengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat jugamenderita penyakit alergi. Karena adanya
bakat alergi ini, penderitasangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika
terpapar denganfaktorpencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya
juga bisa diturunkan.
1. Faktor presipitasi

a. Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Inhalan: yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu,bulu


binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2) Ingestan: yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan: yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh:perhiasan,
logam dan jam tangan.

b. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dinginsering


mempengaruhiAsma. Atmosfir yang mendadak dinginmerupakan faktor
pemicu terjadinya serangan Asma. Kadang-kadangserangan berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musimkemarau.

c. Stres

Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus seranganAsma,


selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping
gejala Asma yang timbul harus segera diobatipenderita Asma yang mengalami
stres atau gangguan emosi perludiberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jikastresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.

d. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebabterjadinya serangan


Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana diabekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industritekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktulibur atau cuti.

e. Olahraga atau aktifitas jasmani


Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan
jikamelakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepatpaling
mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karenaaktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut

2. Klasifikasi
Klasifikasi Fenotip Asma Bronkial (Gina, 2015):
a. Asma alergi
b. Asma non alergi
c. Asma onset lambat
d. Asma dengan hambatan aliran udara yang menetap
e. Asma dengan obesitas
3. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme ototbronkus,
penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus.Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase tersebut.
Hal ini menyebabkan udara distal tempatterjadinya obstruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi. Selanjutnya terjadipeningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
(KRF), dan pasienakan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru
total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka
danpertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi inidiperlukan
otot bantu napas.Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:

a. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas


b. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas
c. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu

4. Manifestasi
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk,dispnea, dan
wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat,
wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang
mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori
pernapasan. Jalan napas tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat
berlangsung dari30menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.
Meskipunserangan asma jarang
ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebihberat, yang disebut “status
asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup (Smeltzer&Bare, 2002)
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dari asma pada ibu dan janin, diantaranya:
a. hipoksia janin dan ibu
b. Abortus
c. persalinan premature
d. BBLR
6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Asma pada Antepartum

1. Beri oksigen dan pasang kanul intravena.


2. Hindari penggunaan obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin.
3. Berikan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%. Berikan terbutalin secara
subkutan dengan dosis 0,25 mg per 15 menit dalam 3 dosis atau oral 2,5 mg
tiap 4-6 jam.
4. Berikan 40-60 mg metilprednisolon intravena setiap 6 jam, ATAU
hidrokortison secara intravena 2 mg/kgBB tiap 4 jam atau setelah loading
dose 2 mg/kgBB dilanjutkan dengan infus 0,5 mg/kgBB/jam.
5. Jika ada tanda infeksi, beri ampisilin 2 g IV tiap 6 jam.
6. Rujuk ke fasilitas yang memadai

b. Penatalaksanaan Asma pada Intrapartum

1. Asma dapat memburuk selama persalinan sehingga persalinan


harus dilakukan di rumah sakit.
2. Penanganan asma akut saat persalinan sama dengan saat kehamilan.
3. Persalinan per vaginam disarankan kecuali jika terdapat indikasi
obstetri untuk seksio sesarea
4. Apabila terdapat kesulitan pernapasan selama kala II, lakukan
ekstraksi vakum bila syarat terpenuhi
c. Penatalaksanaan Asma pada Post Partum

Untuk mencegah perdarahan pascasalin, beri oksitosin 10 unit IM atau


ergometrin 0,2 mg IM.
DAFTAR PUSTAKA

Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol.2. Jakarta:
EGC.

Copstead C., Lee-Ellen dan Jacquelyn L. Banasik. 2005. Pathophysiology Vol. 1. Elsevier :St.
Louis Missouri 63146.

Diklat PJT–RSCM. 2008. Buku Ajar Keperawatan Kardiologi Dasar Edisi 4. Jakarta: RSCM.

Doenges, Marilynn E., dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Dengan Pasien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta:
Salemba Medika.

Sofyan, Andy. 2012. Hipertensi. Kudus. Corwin, J Elizabeth. 2000. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Adli, F. K. (2021). DIABETES MELITUS GESTASIONAL: DIAGNOSIS DAN FAKTOR


RISIKO. Jurnal Medika Hutama, 3(01 Oktober), 1545-1551.

Antari, N. K. N., Esmond, H. A., & Rai Purnami, S. P. (2017). Diabetes Melitus Tipe
2. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 4(13).

Dewi, R. S. RISIKO DAN KOMPLIKASI IBU HAMIL DENGAN GESTASIONAL DIABETES


MELITUS. Zahir Publishing.

II, B. A. Tinjauan Teori Diabetes Melitus 1. Definisi Diabetes Melitus. ASUHAN


KEPERAWATAN Ny. M DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
NUTRISI AKIBAT PATOLOGI SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELITUS, 9.

Alatas, Haidar. 2019. HIPERTENSI PADA KEHAMILAN. http://kebidanan.poltekkes-


smg.ac.id/wp-content/uploads/2019/03/Materi-2-DR.dr_.-Haidar.pdf. Diakses tanggal
26 Januari 2023
Japardi, Iskandar. (2002). Penyakit Degeneratif Pada Medula Spinalis. (online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1990/1/bedahiskandar%20japardi39.pdf.
Diakses tanggal 5 September 2014.

Primalia, Trina Irawanti. Penyakit Degeneratif. (online)


http://www.kerjanya.net/faq/6648-penyakit-degeneratif.html. Diakses tanggal 5 September
2014.

N,N. Cara Efektif Untuk Menghindari Berbagai Penyakit Degeneratif. (online)


http://www.ilmukesehatan.com/644/cara-efektif-untuk-menghindari-berbagai-macam-
penyakit-degeneratif.html. Diakses tanggal 5 September 2014.
Kabupaten Kudus. (2012). Penyakit Degeneratif. (online)
http://www.rsudkudus.com/gizi-dan-penyakit-degeneratif/. Diakses tanggal 5 September
2014.

Handajani, Andianti.,dkk. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola


Kematian Pada Penyakit Degeneratif Di Indonesia. (online)
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=80689&val=4892&title. Diakses tanggal
5 September 2014.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Edisi Pertama.Jakarta :
Salemba Medika.
Supriyadi Agus_Document/2012
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kesatu. Jakarta.Media
Aesculapius. 
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi Kedua. Jakarta : Buku Kedokteran. 
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Kesatu. Jakarta : BalaiPenerbit
FKUI.Doongoes, E Marilynn.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : BukuKedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai