Anda di halaman 1dari 2

Cerpen Kuntowijoyo

Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

Menarik memang tema yang diangkat dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga.
Buyung yang notabenenya seorang laki-laki “dipaksa” untuk mengikuti stereotip yang
menempel pada laki-laki.

“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan bolehlah. Tetapi engkau laki-laki.”

Itu salah satu ucapan yang dilontarkan ayah Buyung ketika Buyung pulang dengan membawa
setangkai anggrek ungu pemberian Kakek, tetangganya, sahabatnya.

“Untuk apa di kamar, hah, laki-laki mesti di luar kamar!”

Itulah ungkapan yang dikatakan ayah Buyung ketika mengetahui Buyung lebih menyukai
tinggal di dalam kamar daripada bermain di luar rumah dengan teman-temannya.

“Untuk apa tangan ini, hah? Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau
mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci
tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!”

Kata-kata itu diucapkan ayah Buyung dengan penuh emosi ketika mengetahui Buyung lebih
suka merawat bunga-bunga daripada mengerjakan pekerjaan “keras” lainnya.

Kepada siapa Buyung harus Percaya? Kakek atau Ayahnya?


Buyung masih terlalu muda untuk memahami kehidupan yang hitam-putih seperti yang
ayahnya pikirkan. Terutama ketika ia dihadapkan pada 2 sosok laki-laki yang punya
kepribadian yang sangat berbeda. Pergolakan batin Buyung sebagai seorang anak kecil,
dipaksa untuk berpikir memahami dan mengerti.

Ayah Buyung adalah cerminan stereotip pria pada umumnya. Pekerja keras, banyak
melakukan kegiatan di luar rumah, berbadan kekar, bekerja di bengkel, bersuara keras, dan
sebagainya. Di sisi lain, tokoh Buyung diperkenalkan dengan sosok laki-laki yang sangat
kontras dengan ayahnya. Kakek, tetangga Buyung yang kemudian menjadi sahabat baiknya
dikisahkan sebagai sosok yang sangat lemah lembut, berbicara pelan dan sopan, punya
ketenangan, dan bekerja untuk merawat kebun bunga.

Entah bagaimana Buyung harus mengambil sikap. Di satu sisi, tentu Buyung lebih menyukai
Kakek karena beliau selalu ada untuk Buyung sebagai teman bicara yang ramah, tidak seperti
sang ayah yang selalu berbicara dengan nada tinggi. Di sisi lain, Ayah punya keterikatan
darah dengan Buyung dan adakah ikatan yang lebih dekat daripada ikatan kandung? Maka
bukankah durhaka jika tak menuruti apa perkataannya?

Bukankah Buyung adalah Kita?


Dalam hidup ini, entah sudah berapa kali hidup memaksa kita mengikuti aturan-aturan
stereotip yang ada. Perempuan yang tidak boleh bekerja, laki-laki yang dilarang mencintai
bunga-bunga, ibu harus di rumah dan ayah harus pergi bekerja, mengapa kita mau-mauan
saja?

Membaca buku ini seharusnya menyadarkan kita bahwa Buyung adalah sosok yang sangat
nyata, cerminan diri kita. Hidup sebetulnya memberikan banyak sekali pilihan. Jika tidak
menyukai putih, kita boleh memilih hitam. Jika tidak menyukai keduanya, masih ada jutaan
spektrum warna yang boleh kita pilih mau suka yang mana. Pilihan untuk menyukai semua
atau tidak menyukai semua sama sekali pun boleh saja!

Dilarang Mencintai Bunga-bunga seolah berkata bahwa tidak ada sesuatu yang sangat benar
atau sangat salah dalam hidup ini, kecuali hal itulah yang betul-betul kita yakini.

Anda mungkin juga menyukai