Anda di halaman 1dari 85

Bab 1.

Prinsip Manajemen Rantai Pasok

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami alasan dan prinsip-prinsip dasar pengelolaan rantai
pasok.
2. Memahami perbedaan antara perspektif rantai pasok dan
perspektif bisnis tradisional.
3. Mengidentifikasi pendorong utama hubungan rantai pasok.
4. Mengenali manfaat manajerial dan tantangan potensial dari
praktek rantai pasok.
5. Menganalisis dampak manajemen rantai pasok dan daya saing
organisasi.
6. Memahami perubahan dan transformasi yang diperlukan untuk
keberhasilan implementasi perspektif rantai pasok terintegrasi.
7. Menemukan cara untuk memanfaatkan rantai pasok untuk
kesuksesan bisnis.

1|Page
A. Evolusi Konsep Rantai pasok

Selama beberapa dekade, sebagian besar perusahaan memusatkan


perhatian pada efektivitas dan efisiensi fungsi bisnis yang terpisah seperti pembelian,
produksi, pemasaran, pembiayaan, dan logistik. Kurangnya konektivitas di antara
fungsi-fungsi tersebut, dapat menyebabkan kurang optimal dalam mencapai tujuan
organisasi dan menciptakan inefisiensi dengan menduplikasi upaya dan sumber daya
organisasi. Dalam rangka mensinergikan integrasi dan koordinasi antar fungsi dalam
rantai pasok untuk membuat keputusan strategis yang lebih baik, maka saat ini
banyak perusahaan yang mulai menyadari pentingnya perencanaan, pengendalian
dan perancangan rantai pasok secara strategis.
Tahun 1950-an dan 1960-an konsep manajemen rantai pasok belum dikenal
dan dalam periode ini, pengembangan produk baru berjalan lambat dan terbatas
dalam teknologi dan kapasitas perusahaan sendiri. Pada periode ini, terjadi
penumpukan persediaan dalam proses (bottleneck), sehingga menimbulkan investasi
yang besar karena menimbulkan work in process (WIP) (Tan, 2001 dalam Susanty,
dkk, 2018). Pada masa itu, peningkatan produksi menjadi tujuan utama; sedikit
penekanan pada kemitraan pemasok dan pembeli. Menurut Tan (2001)
mengemukakan berbagi teknologi dan keahlian dengan pelanggan atau pemasok
dianggap terlalu berisiko.
Lebih lanjut Tan (2001) dalam tulisannya yang dikutip oleh dalam Susanty, dkk
(2018) mengungkapkan bahwa pada tahun 1970, manajer menjadi sadar akan
besarnya biaya WIP dalam perusahaan, pengembangan produk baru, kualitas, dan
waktu pengiriman. Penyebab meningkatnya kesadaran ini adalah mulai dikenalnya
Manufacturing Resource Planning (MRP). Pada akhirnya, terjadi perubahan fokus
yaitu meningkatkan produksi melalui penyebaran biaya tetap untuk output yang lebih
besar (skala ekonomi), bukan, untuk meningkatkan kinerja. Hal ini dibuktikan dengan
pengenalan TI (MRP) dalam perencanaan sumber daya perusahaan.
Selama 1980-an dan 1990-an, perusahaan menghadapi tuntutan untuk
meningkatkan "layanan logistik yang lebih baik, lebih cepat, lebih murah" (Stank dan
Daugherty, 1997; Daugherty, 2011). Akibatnya, banyak produsen memutuskan untuk
fokus pada kompetensi inti mereka dan kegiatan logistik yang outsourcingkan.

2|Page
Spesialis dari luar menyajikan cara yang layak secara ekonomi untuk mencapai
peningkatan produktivitas dan/atau layanan. Pada saat itu, kegiatan logistik adalah
salah satu area pendukung bisnis yang paling sering di outsourcing kan (LaLonde dan
Maltz, 1992).
Permintaan semakin dari waktu ke waktu (Knemeyer dan Murphy, 2005).
Meskipun beberapa pengaturan outsourcing dianggap kurang berhasil (Bettis et al.,
1992; Byrne, 1996; Daugherty, 2011), sejumlah pengaturan outsourcing yang berhasil
didokumentasikan dalam pers populer dan literatur akademis (Anderson dan Calabro,
1987; Bowersox, 1990; Lieb dan Randall, 1996; Daugherty, 2011). Mereka yang
masuk ke dalam pengaturan outsourcing menghadapi pilihan untuk mengembangkan
pengaturan berbasis transaksi atau yang lebih kooperatif. Pilihan pendekatan yang
lebih berorientasi pada hubungan biasanya dibuat karena manfaat yang dirasakan.
Pada era pasar global saat ini. perusahaan individu tidak lagi bersaing sebagai
entitas independen dengan nama merek yang unik, melainkan sebagai bagian integral
dari tautan rantai pasok. Dengan demikian, keberhasilan akhir suatu perusahaan
akan bergantung pada kemampuan manajerialnya untuk mengintegrasikan dan
mengoordinasikan jaringan bisnis di antara mitra rantai pasok (Drucker, 1998;
Lambert dan Cooper, 2000). Rantai pasok dalam buku yang ditulis oleh Min (2015)
disebut sebagai:
Sistem terintegrasi yang menyinkronkan serangkaian proses bisnis
yang saling terkait untuk: (1) menciptakan permintaan produk; (2)
memperoleh bahan baku dan suku cadang; (3) mengubah bahan
mentah dan suku cadang menjadi produk jadi; (4) menambah nilai
produk; (5) mendistribusikan dan mempromosikan produk kepada
pengecer atau pelanggan; (6) memfasilitasi pertukaran informasi di
antara berbagai entitas bisnis (misalnya, pemasok, produsen,
distributor, penyedia logistik pihak ketiga, dan pengecer). Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan efisiensi operasional,
profitabilitas, dan posisi kompetitif perusahaan dan mitra rantai
pasoknya.

Manajemen rantai pasok didefinisikan oleh para ahli dalam berbagai definisi
sebagai berikut:
1. Chopra and Meindl (2013) mengemukakan bahwa rantai pasok
terdiri dari semua pihak yang telibat baik secara langung maupun
tidak langsung, dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Rantai
pasok tidak hanya meliputi perusahaan dan para pemasok, tetapi
juga pihak lain yang terdiri dari perusahaan pengangkutan,

3|Page
pergudangan, pengusaha retail, dan juga konsumen itu sendiri.
Sementara dalam perusahaan, rantai pasok meliputi semua fungsi
yang terlibat dalam menerima dan memenuhi keinginan konsumen.
Fungsi-fungsi ini antara lain, pengembangan produk baru,
pemasaran, operasi, distribusi, keungan, dan pelayanan
konsumen.
2. Simchi-Levi et al (2008) menyatakan rantai pasok adalah sistem
yang terdiri dari pemasok, manufaktur, transportasi, distributor, dan
vendor. Dengan tujuan utamanya adalah mentrasnformasikan
bahan mentah menjadi produk jadi dan bagian dari rantai pasok
yang berada setelah proses manufakturing dikenal dengan nama
jaringan distribusi.
3. Young (2000) dalam Susanty, dkk (2018) menyatakan rantai pasok
sebagai serangkaian keterkaitan antara pemasok dan pembeli
barang dan jasa. Sebuah rantai pasok yang lengkap melibatkan
seluruh proses yang diawali dengan aktivitas menghasilkan bahan
baku hingga menyajikannya pada pengguna akhir (end users)
produk barang atau jasa yang dihasilkan tersebut.
4. Christopher (1998) dalam Susanty, dkk (2018) mendefinisikan
rantai pasok sebagai jaringan sekelompok organisasi yang terlibat
dalam sebuah bisnis, melalui keterkaitan dari hulu ke hilir, dalam
proses dan aktivitas yang berbeda guna menghasilkan nilai berupa
produk dan jasa ke tangan konsumen utama. Adapun motif dalam
pengaturan manajemen rantai pasok adalah upaya untuk
meningkatkan daya saing saluran distribusi perusahaan tersebut.
5. Mabert dan Venkataramanan (1998) mengungkapkan rantai pasok
adalah “jaringan fasilitas dan aktivitas yang menjalankan fungsi
pengembangan produk, pengadaan bahan dari vendor,
pergerakan bahan antar fasilitas, pembuatan produk, distribusi
barang ke pelanggan, dan dukungan setelah pasar untuk
keberlanjutan”. Semua langkah dan proses yang terlibat dalam
memberikan produk atau layanan kepada pelanggan akhir
membentuk apa yang disebut rantai pasok (Mabert &
Venkataramanan, 1998). Pendapat ini sejalan dengan pandangan
“rantai nilai” yang mencakup semua proses menambah nilai yang
diperlukan untuk mengirimkan produk atau layanan ke pelanggan
atau pasar akhir (Davis, 1993; Porter, 1985). Menurut Martin
Christopher (2005) istilah rantai pasok mungkin pada awalnya tidak
berarti rantai nilai, tetapi pengalihdayaan yang berkelanjutan dan
disintegrasi vertikal telah menyebabkan “rantai nilai diperluas
melampaui batas-batas perusahaan dan karenanya pasok rantai
menjadi rantai nilai”.
6. LaLonde dan Masters (1994) mengemukakan rantai pasok sebagai
“a set of firms that pass materials forward”. Sejumlah perusahaan
independen akan terlibat di dalam memproduksi barang dan
menyampaikan barang tersebut ke tangan pengguna akhir dari
rantai pasok. Produsen dari bahan baku dan komponen,
perusahaan yang merakit produk, distributor, perusahaan retail,
dan perusahaan transportasi adalah anggota dari dari rantai pasok

4|Page
Meskipun banyak definisi manajemen rantai pasok yang dikemukakan oleh
para ahli dalam literatur (Wisner, 2003), konsep rantai pasok pada dasarnya
mengenalkan pandangan sistem holistik menyeluruh, terintegrasi, terkoordinasi untuk
menyinkronkan kemampuan, dan fokus pada nilai pelanggan akhir (Mentzer et al.,
2001). Selain itu, banyak peneliti yang melakukan penelitian berkaitan dengan
manajemen rantai pasok sebagai sarana untuk menciptakan sinergi antara mitra
terkait secara vertikal (Lambert & Cooper, 2000). Meskipun manajemen rantai pasok
pada awalnya mungkin hanya berkaitan dengan pergerakan efisien logistik bahan
(Cooper & Ellram, 1993), konsep rantai pasok telah diperluas dalam ruang lingkup
yang menjadi identik dengan rantai nilai dan konsep sistem nilai (Christopher, 2005;
Porter, 1985).
Rantai pasok dicirikan oleh arus maju barang dan arus mundur informasi,
seperti yang diilustrasikan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proses Rantai pasok


Sumber: Min (2015)

Kegiatan rantai pasok pada dasarnya terdiri dari dua proses bisnis utama yaitu:
• Manajemen material (logistik masuk)
• Distribusi fisik (logistik keluar)
Manajemen material berkaitan dengan perolehan dan penyimpanan bahan
mentah, suku cadang, dan persediaan. Manajemen material mendukung siklus
lengkap aliran material—dari pembelian dan pengendalian internal bahan produksi,
perencanaan dan pengendalian barang dalam proses, hingga pergudangan,

5|Page
pengiriman, dan distribusi produk jadi (Johnson dan Malucci, 1999). Di sisi lain,
distribusi fisik mencakup semua kegiatan logistik keluar yang terkait dengan
penyediaan layanan pelanggan. Aktivitas ini meliputi penerimaan dan pemrosesan
pesanan, penyebaran persediaan, penyimpanan dan penanganan, transportasi
keluar, konsolidasi, penetapan harga, dukungan promosi, penanganan produk yang
dikembalikan, dan dukungan siklus hidup (Bowersox dan Closs, 1996).
Menggabungkan aktivitas manajemen material dan distribusi fisik, rantai pasok
tidak hanya mewakili rantai linier dari hubungan bisnis satu lawan satu, tetapi jaringan
berbagai jaringan dan hubungan bisnis. Sepanjang rantai pasok, mungkin ada banyak
pemangku kepentingan, terdiri dari berbagai pemasok, produsen, distributor,
penyedia logistik pihak ketiga, pengecer, dan pelanggan. Dalam hal kegiatan logistik
yang melibatkan pergerakan, penanganan, penyimpanan, dan pengemasan bahan,
suku cadang, komponen, dan barang jadi ini dialihdayakan dari penyedia logistik pihak
ketiga, kompleksitas jaringan rantai pasok akan meningkat.
Singkatnya, konsep manajemen rantai pasok telah berkembang di sekitar visi
perusahaan yang berfokus pada pelanggan. Hal ini mendorong perubahan di seluruh
hubungan internal dan eksternal perusahaan dan selanjutnya menangkap sinergi
interfungsional, integrasi dan koordinasi antarorganisasi. Di sini, integrasi tidak berarti
merger/akuisisi atau ekuitas kepemilikan organisasi lain. Integrasi yang sukses dari
seluruh proses rantai pasok dapat membawa sejumlah keuntungan bottom-line
(Schlegel, 1999):
1. Peningkatan layanan pelanggan dan nilai tambah—Layanan
pelanggan dapat ditingkatkan melalui peningkatan ketersediaan
inventaris, kinerja pengiriman tepat waktu yang lebih baik, tingkat
pengisian pesanan yang lebih tinggi, dan biaya pasca-penjualan
yang lebih rendah.
2. Peningkatan modal tetap—Kapasitas tetap dimaksimalkan melalui
kemitraan strategis dan perencanaan bersama yang dapat
meningkatkan kapasitas dan keluaran secara keseluruhan.
3. Aset yang digunakan—Pemanfaatan aset dapat dimaksimalkan
dengan meningkatkan perputaran persediaan dan menyelaraskan
penawaran dengan permintaan.
4. Peningkatan penjualan dan profitabilitas—Kemampuan untuk
menilai hasil karena perubahan harga, acara promosi, dan
pengembangan produk baru dapat ditingkatkan melalui
peningkatan visibilitas yang dihasilkan dari berbagi informasi di
antara mitra rantai pasok.

6|Page
Manfaat finansial dapat diperoleh dari integrasi rantai pasok yang berhasil.
Terlepas dari manfaat integrasi rantai pasok, perusahaan yang terlibat dalam upaya
ini harus menyadari berbagai tantangan karena jumlah dan keragaman produk dan
layanan yang belum pernah ada sebelumnya. Variasi ini akan menyulitkan
perusahaan untuk memprediksi kebutuhan dan persyaratan pelanggan.
Oleh karena itu, konsekuensi dari membuat kesalahan peramalan akan lebih
serius dari sebelumnya. Sayangnya, dalam rantai pasok yang membentang dengan
lapisan pemasok dan distributor yang kompleks, tingkat kesalahan peramalan bisa
jauh melampaui tingkat kompromi. Pihak yang terpukul oleh kesalahan peramalan
seperti itu sering kali adalah pemasok hulu dengan sedikit sumber daya yang sesuai
dengan permintaan sebenarnya. Hal ini terjadi karena informasi terdistorsi yang
disampaikan oleh pelanggan langsung mereka (misalnya, produsen) dan pelanggan
hilir lainnya (misalnya, distributor dan pengecer). Fenomena ini sering dijelaskan
dengan apa yang disebut efek “bullwhip” (Min, 2015)”.
Efek bullwhip umumnya disebut sebagai efek riak terbalik dari kesalahan
peramalan di seluruh rantai pasok yang mengarah pada ketidakselarasan pasok dan
permintaan. Di mana pesanan (permintaan yang dirasakan) ke anggota rantai pasok
hulu cenderung membesar-besarkan pola pelanggan akhir yang sebenarnya.
Permintaan setiap anggota rantai tentang permintaan sebenarnya dapat diblokir oleh
anggota rantai pasok hilir langsungnya (Min, 2000; Lee et al., 1997a). Gejala umum
dari efek bullwhip termasuk pengembangan produk baru yang tertunda, kekurangan
dan pemesanan kembali yang konstan, pembatalan dan pengembalian pesanan yang
sering, persediaan pipa yang berlebihan, penjadwalan produksi yang tidak menentu,
pengiriman yang dipercepat, dan masalah kelebihan kapasitas yang kronis (Min,
2000; Lee et al., 1997b). Kegagalan untuk mengurangi atau menghilangkan efek
bullwhip dapat mengganggu penggerak pendapatan perusahaan dan berdampak
buruk pada laba perusahaan. Menurut Hendricks dan Singhal (2005), gangguan rantai
pasok menyebabkan:
1. Pengurangan yang signifikan dalam pengembalian saham relatif
terhadap tolok ukur mereka (mis., pengurangan 33% hingga 40%
selama periode tiga tahun)
2. Peningkatan volatilitas harga saham (misalnya, peningkatan
volatilitas harga saham 13,5% yang terjadi satu tahun setelah
gangguan rantai pasok)

7|Page
3. Penurunan profitabilitas (mis., penurunan 107% dalam pendapatan
operasional tahunan, penurunan 7% dalam pertumbuhan penjualan
tahunan, dan peningkatan biaya total tahunan 11%)
4. Kinerja perusahaan yang melemah (misalnya, kinerja yang lebih
rendah setidaknya selama dua tahun berturut-turut setelah gangguan
rantai pasok)

Dengan mempertimbangkan dampak besar gangguan rantai pasok pada


status keuangan perusahaan maka perusahaan saat ini semakin ditekan untuk
mengelola rantai pasok mereka dengan benar. Dengan demikian, manajemen rantai
pasok telah menjadi garis depan strategi kompetitif perusahaan. Disiplin manajemen
rantai pasok, masih mengalami proses evolusi. Tabel 1.1 merangkum perubahan
filosofi, fokus, dan metrik kinerja manajemen rantai pasok, dari tahap awal hingga era
saat ini.
Tabel 1. Evolusi Disiplin Manajemen Rantai Pasok

Sumber: Min (2015)

B. Pendekatan Sistem Total dan Boundary Spanning


Paradigma bisnis tradisional bereaksi terhadap permintaan pelanggan yang
tidak terduga atas dasar "dorongan" dengan membangun penyangga seperti
persediaan yang mengurangi kesalahan peramalan dan menyembunyikan masalah
perencanaan distribusi/produksi. Paradigma bisnis tradisional juga dicirikan oleh
aliran informasi yang berurutan dari satu fungsi bisnis ke fungsi bisnis lainnya. Selama
ini, aliran informasi yang berurutan tidak memberi organisasi kesempatan untuk

8|Page
menyinkronkan aktivitas fungsionalnya dan akan mengganggu visibilitasnya selama
proses perencanaan, masalah tersembunyi yang sama akan berulang dan lingkaran
setan inefisiensi akan berlanjut tanpa masalah pernah ditangani. Cara terbaik untuk
memutus lingkaran setan ini adalah dengan menciptakan sistem yang memungkinkan
organisasi untuk melihat gambaran besar dari proses bisnis dan kemudian
menganalisis dampak dari seluruh proses bisnis pada tujuan organisasi secara luas
daripada tujuan departemen/fungsional. Dengan kata lain, untuk terus meningkatkan
proses bisnis, paradigma bisnis tradisional harus diganti dengan pendekatan sistem
total. Oleh karena itu, pendekatan sistem total dianggap sebagai landasan utama
untuk konsep rantai pasok.
Pendekatan sistem total menganggap rantai pasok sebagai entitas yang terdiri
dari subsistem yang saling bergantung atau saling terkait, masing-masing dengan
tujuannya sendiri, tetapi mengintegrasikan kegiatan setiap segmen untuk
mengoptimalkan tujuan strategis seluruh sistem. Pendekatan sistem total disebut
sebagai "pendekatan holistik, terintegrasi" di mana semua proses bisnis yang
melibatkan perencanaan permintaan, pembelian, produksi, transportasi,
pergudangan, dan pemasaran dikoordinasikan dalam membentuk tradeoff terbaik
untuk mencapai hasil optimal pada seluruh sistem. Contohnya, keputusan untuk
meningkatkan persediaan agar produk lebih mudah tersedia bagi pelanggan akan
membantu mempromosikan penjualan, tetapi dampaknya menimbulkan biaya
penyimpanan persediaan dan biaya pergudangan yang lebih tinggi. Tanpa memahami
saling ketergantungan seperti itu dari proses pengambilan keputusan dalam rantai
pasok, organisasi secara keseluruhan akan terus mengalami kerugian dari penurunan
produktivitas. Artinya, pendekatan sistem total mengakui fakta bahwa keputusan yang
dibuat di salah satu fungsi bisnis dapat berdampak pada fungsi lain dalam organisasi.
Dengan demikian, pendekatan sistem total memungkinkan perusahaan untuk menilai
bagaimana perubahan dalam strategi dan keputusan bisnis mempengaruhi total biaya
dan manfaat perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan sistem total untuk integrasi
rantai pasok sering didasarkan pada lima atribut penting yang ditampilkan pada
Gambar 2 (Miller dan Berger, 2001 dalam Min, 2015). Pada Gambar 2 menunjukkan
bahwa kolaborasi merupakan pusat dari pendekatan sistem total.

9|Page
Gambar 2. Lima Hal Penting Pendekatan Sistem Total untuk Integrasi Rantai
Pasok
Sumber: Miller dan Berger (2001) dalam Min (2015)

Perluasan perspektif perusahaan yang dibawa oleh pendekatan sistem total


telah menjadi fondasi penting dari pemikiran rantai pasok. Hal ini telah menyebabkan
peningkatan aktivitas yang mencakup batas di seluruh rantai pasok. Biasanya,
aktivitas penjangkauan batas ini memainkan tiga peran berbeda:
1. Penjagaan gerbang—Mereka memilih pemasok potensial dan
penyedia logistik pihak ketiga melalui permintaan proposal dan
kemudian membantu perusahaan membuat keputusan
berdasarkan informasi tentang siapa yang akan dipilih sebagai
mitra rantai pasok di antara daftar calon manajerial.
2. Bertransaksi—Mereka mengembangkan semua aspek peluang
perdagangan bisnis dengan mitra rantai pasok potensial secara
setara.
3. Melindungi—Mereka memastikan kesesuaian dengan syarat dan
ketentuan kontrak, jadwal pengiriman, kualitas produk/layanan, dan
perjanjian kemitraan lainnya (Davis dan Spekman, 2004, dalam
Min, 2015).

10 | P a g e
C. Landasan Konseptual Rantai Permintaan, Rantai Nilai, dan
Rantai pasok
Tujuan akhir dari manajemen rantai pasok adalah untuk melayani pelanggan
dengan lebih baik, maka manajemen rantai pasok dimulai dengan pemahaman
tentang nilai dan persyaratan pelanggan. Rantai nilai disebut sebagai rangkaian
proses bisnis yang saling terkait yang menciptakan dan menambah nilai bagi
pelanggan. Maksudnya adalah untuk memisahkan semua proses bisnis perusahaan
menjadi aktivitas terpisah untuk mengevaluasi tingkat kontribusinya terhadap nilai
perusahaan dan kemudian membedakan aktivitas nilai tambah dari aktivitas non-nilai
tambah. Di sini, "nilai adalah jumlah yang bersedia dibayar pembeli untuk apa yang
diberikan perusahaan kepada mereka dan diukur dengan pendapatan total, yang
mencerminkan pergerakan harga produk perusahaan dan unit yang dapat dijualnya"
(Porter, 1985).
Jadi, tingkat nilai yang diciptakan dan ditambahkan oleh perusahaan seringkali
menentukan tingkat keberhasilan bisnisnya, karena semakin tinggi nilainya, semakin
besar margin keuntungan dan keunggulan kompetitif. Rantai nilai sering kali didorong
oleh empat keharusan utama:
1. Ketidakpastian yang berkurang, yang meminimalkan intensitas
aset melalui pengurangan dan penghapusan persediaan.
2. Peningkatan kecepatan, yang meminimalkan risiko keusangan.
3. Peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari maksimalisasi
penyesuaian dan loyalitas pelanggan berikutnya.
4. Peningkatan produktivitas melalui berbagai produktivitas asset
(Bovet, 1999).

Tabel 2 menunjukkan bahwa fokus strategis dan perspektif rantai permintaan,


rantai nilai, dan rantai pasok agak berbeda satu sama lain seperti yang dijelaskan oleh
Sherman (1998), konsep dasar dan tujuan akhir mereka tidak berbeda secara jelas.
Hal ini dikarenakan semua konsep tersebut berpusat pada pelanggan dan
menekankan pentingnya hubungan terkoordinasi antara aktivitas bisnis dengan daya
saing perusahaan. Oleh karena itu, ketiga istilah ini dapat dianggap sebagai sinonim.
Sederhananya, rantai pasok berasal dari sumber pasok dan mengalir ke pelanggan,
sedangkan rantai permintaan mengalir mundur dari pelanggan dan berakhir di
perusahaan. Rantai nilai dibuat ketika rantai pasok sinkron dengan rantai permintaan.

11 | P a g e
Terlepas dari perbedaan semantik, manfaat rantai pasok dapat dimaksimalkan
dengan mengikuti tujuh prinsip yang digariskan oleh Copacino (1997):
1. Memahami nilai dan persyaratan pelanggan sehingga perusahaan
dapat mengidentifikasi bagaimana menyelaraskan operasinya untuk
memenuhi persyaratan dan kebutuhan pelanggannya.
2. Mengelola aset logistik seperti gudang, terminal, peralatan
transportasi, dan jalur pipa persediaan di seluruh rantai pasok
dengan bantuan mitra rantai pasok hilir dan hulu.
3. Mengatur manajemen pelanggan sedemikian rupa sehingga
perusahaan dapat memberikan satu titik kontak kepada pelanggan
untuk informasi dan tindak lanjut pasca-penjualan.
4. Merumuskan rencana penjualan dan operasi bersama sebagai
dasar untuk rantai pasok yang lebih responsif dengan berbagi
informasi permintaan dan perkiraan waktu nyata di dalam dan di
seluruh rantai pasok.
5. Memanfaatkan fleksibilitas manufaktur dan sumber dengan
memanfaatkan strategi penundaan.
6. Fokus pada sinergi aliansi strategis dan manajemen hubungan
dengan membangun rasa saling percaya dan semangat berbagi
keuntungan.
7. Mengembangkan ukuran kinerja yang digerakkan oleh pelanggan
untuk mendorong perilaku semua anggota rantai pasok di seluruh
rantai pasok.

Tabel 2. Perbandingan Rantai Permintaan, Rantai Nilai, dan Rantai Pasok

Sumber: Min (2015)

D. Aliansi Strategis dan Kemitraan


Dalam menciptakan sinergi yang dihasilkan dari integrasi fungsi dan aktivitas
bisnis, maka semakin banyak perusahaan telah melakukan upaya sadar untuk
menjalin aliansi strategis (atau kemitraan) dengan perusahaan lain. Secara umum,
aliansi strategis adalah hubungan sukarela antara dua atau lebih organisasi yang

12 | P a g e
dibentuk berdasarkan kebutuhan bersama dari organisasi independen (misalnya,
pemasok, produsen, distributor, pengecer) tanpa dibatasi oleh kepemilikan, kontrol,
dan investasi ekuitas (Devlin dan Bleackley, 1988; Varadarajan dan Cunningham,
1995). Berkaitan dengan aliansi strategis dan kemitraan, terdapat banyak pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli. Berikut beberapa pengertian dari Aliansi Strategis.
1. Aliansi strategis merupakan perjanjian kerjasama yang melibatkan
dua atau lebih organisasi sebagai strategi dan kontribusi mereka
dalam mencapai tujuan utama mereka. (Kwok & Hampson 1997)
2. Aliansi strategis merupakan persetujuan antar organisasi yang
dilakukan dalam jangka waktu panjang, berdasarkan ekuivalen dan
saling melengkapi. (Anvuur & Kumaraswarmy, 2007)
3. Aliansi strategis adalah bentuk strategi kerjasama di mana
perusahaan-perusahaan menggabungkan sumber daya dan
kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang saling
menguntungkan. (Jaiya,2008)
4. Aliansi strategis adalah perjanjian kerjasama menggunakan
sumber daya dan/atau struktur lebih dari satu organisasi yang
sudah ada, di mana perusahaan peserta bersifat independent tetapi
berbagi ketergantungan yang saling menguntungkan. (Lee 2010)

Dalam aliansi strategis, keputusan bisnis dibuat bersama untuk mencapai


tujuan yang disepakati dari organisasi yang berbagi sumber daya, informasi,
keuntungan, pengetahuan, dan risiko. Tujuan tersebut adalah untuk: (1) mendapatkan
akses ke basis pelanggan baru; (2) menawarkan lebih banyak penawaran produk/jasa
kepada pelanggan; (3) mengumpulkan sumber daya mengingat pengeluaran besar
yang dibutuhkan; (4) mempelajari pengetahuan baru dari mitra aliansi; (5)
memanfaatkan jaringan pribadi yang ada untuk menjangkau basis pemasok baru; (6)
meningkatkan posisi pasar di pasar saat ini; (7) menambah kredibilitas bisnis (Pucik,
1988; Doz, 1996; Das dan Teng, 1998). Misalnya, Daimler AG, pembuat truk terbesar
di dunia, bekerja sama dengan produsen truk China Foton untuk membangun truk
Mercedes-Benz di China dan menjual model merek China dari mitranya secara
internasional karena meningkatnya permintaan untuk kendaraan komersial berbiaya
rendah di pasar negara berkembang. Kemudian sebagai imbalan atas bantuannya,
Daimler AG akan menawarkan truk merek Auman Foton di pasar negara berkembang
seperti Afrika dan Timur Tengah untuk menghemat biaya desain dan tenaga kerja
untuk membangun kendaraan baru khusus untuk pasar tersebut. Dengan demikian,

13 | P a g e
baik Daimler AG dan Foton akan memiliki peluang untuk menembus basis pasar baru
di negara berkembang melalui aliansi strategis ini.
Upaya untuk mengatasi risiko dan tantangan ini, perusahaan yang memasuki
aliansi strategis harus memahami jenis kemitraan apa yang mereka bentuk, jenis
peran apa yang harus dimainkan masing-masing mitra, dan bagaimana mereka harus
mengelola kemitraan. Pemahaman tersebut akan ditingkatkan dengan mendefinisikan
struktur kemitraan mereka. Mengikuti kerangka konseptual yang disarankan oleh
Cooper et al. (1997b), struktur ini diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Jenis kemitraan rantai pasok
2. Dimensi struktural jaringan rantai pasok
3. Karakteristik hubungan proses di antara mitra rantai pasok

E. Jenis Kemitraan Rantai pasok


Ketika menyusun jaringan rantai pasok, perlu untuk mengidentifikasi siapa
mitra dari rantai pasok tersebut. Namun, penyertaan semua mitra potensial dapat
memperumit jaringan total karena dapat meledakkan jumlah mitra yang ditambahkan
dari satu tingkat ke tingkat lainnya (Cooper et al., 1997a). Oleh karena itu, perlu
mengidentifikasi jenis mitra yang penting bagi aktivitas nilai tambah dan menentukan
jumlah sumber daya yang diberikan mitra rantai pasok yang dapat dikelola. Lambert
dkk. (1998) dalam Min (2015) mengklasifikasikan mitra rantai pasok menjadi dua jenis
yang berbeda yaitu mitra primer dan sekunder.
Mitra utama merupakan perusahaan yang memimpin saluran otonom atau unit
bisnis strategis yang benar-benar melakukan kegiatan operasional dan/atau
manajerial yang dirancang untuk menciptakan produk atau layanan tertentu untuk
pelanggan atau pasar tertentu. Sebaliknya, mitra pendukung adalah perusahaan yang
hanya menyediakan sumber daya (misalnya, aset, aplikasi perangkat lunak, properti
real-estate), pengetahuan, dan utilitas untuk rantai pasok. Mitra pendukung ini dapat
berupa operator transportasi, perusahaan konsultan, penyedia logistik pihak ketiga,
penyedia layanan TI, broker online, dan lembaga pendidikan. Kategori bukan
merupakan hal yang spesial, karena perusahaan dapat menjadi mitra utama dan mitra
pendukung rantai pasok, melakukan aktivitas utama yang terkait dengan satu proses
dan aktivitas pendukung yang terkait dengan proses lain.

14 | P a g e
F. Dimensi Struktural dari Rantai Pasok
Memahami dimensi struktural rantai pasok merupakan prasyarat untuk
membangun tautan rantai pasok. Terdapat dua dimensi struktural yaitu: struktur
horizontal dan struktur vertikal. Struktur horizontal mengacu pada jumlah tingkatan di
seluruh rantai pasok. Rantai pasok mungkin panjang, dengan banyak tingkatan, atau
mungkin pendek, hanya dengan beberapa tingkatan. Struktur vertikal mengacu pada
jumlah pemasok dan pelanggan yang diwakili dalam setiap tingkatan, seperti yang
diilustrasikan oleh Gambar 3.

Gambar 3. Dimensi Rantai Pasok


Sumber: Lambert et al. (1998) dalam Min (2015)

Dengan demikian, peningkatan atau pengurangan jumlah pemasok dan/atau


pelanggan akan mengubah dimensi rantai pasok. Misalnya, karena beberapa
perusahaan membuat langkah strategis menuju pengurangan basis pasok atau
selektivitas pelanggan, rantai pasok menjadi lebih sempit. Outsourcing (penyertaan
penyedia logistik pihak ketiga) atau spin-off fungsional juga akan mengubah dimensi
rantai pasok dengan memperpanjang dan memperluas rantai pasok.

G. Karakteristik Tautan Rantai Pasok


Porter (1985) menekankan pentingnya strategis keterkaitan antara kegiatan
rantai pasok, karena keterkaitan dapat menyebabkan keunggulan kompetitif. Dalam
upaya memanfaatkan manfaat dari hubungan tersebut, perusahaan harus memahami

15 | P a g e
karakteristik khusus dari hubungan (atau link) yang terhubung. Lambert dkk. (1998)
dalam Min (2015) telah mengidentifikasi empat karakteristik khas dari rantai pasok:
• Tautan proses bisnis terkelola
• Tautan proses bisnis yang dipantau
• Tautan proses bisnis yang tidak dikelola
• Tautan bisnis non-anggota

16 | P a g e
Bab 2. Rantai Pasok Internal dan Eksternal

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami konsep rantai pasok
2. Memahami contoh rantai pasok internal (hubungan antara
departemen pengadaan, produksi, logistik, dan penjualan)
3. Memahami rantai pasok eksternal (hubungan pemasok, produsen
barang jadi, grosir, dan pengecer)

17 | P a g e
A. Rantai Pasok Internal
Istilah "Rantai Pasok" pertama kali digunakan oleh Banbury (1975) dan
menjelaskan hubungan aktivitas terkait pasok di berbagai fungsi dan organisasi.
Terapat empat fungsi utama yang terkait dengan pasok yaitu pengadaan, produksi,
logistik, dan penjualan. Fungsi individu biasanya terhubung ke fungsi lain seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4. Misalnya, produsen membutuhkan bahan mentah dan
suku cadang untuk membuat barang jadi; berapa banyak bahan mentah dan suku
cadang yang dibutuhkan perusahaan tergantung pada jumlah barang jadi yang dibuat
perusahaan (hubungan antara pengadaan dan produksi). Demikian pula, kuantitas
barang jadi yang dibuat perusahaan bergantung pada jumlah barang jadi yang dijual
perusahaan (hubungan antara produksi dan penjualan). Dalam kasus barang
konsumen yang tidak tahan lama seperti bahan makanan, produsen memproduksi
barang jadi berdasarkan ramalannya dan menyimpannya di gudang. Dalam upaya
mengurangi kelebihan persediaan dan menghindari kekurangan, perusahaan perlu
membuat keputusan dan mengkoordinasikan jumlah dan lokasi persediaan, kapan,
berapa dan jumlah barang jadi untuk diangkut dari pabriknya ke gudang (hubungan
antara logistik dan produksi / penjualan ). Fungsi logistik bertanggung jawab atas
penyimpanan dan transportasi bahan mentah dan suku cadang (hubungan antara
logistik dan pengadaan). Dengan cara ini, fungsi logistik terhubung dengan tiga fungsi
lainnya dan berperan sebagai manajemen terpadu dari stok dan aliran material.

Gambar 4. Hubungan Antara Departemen Pengadaan, Produksi, Logistik, Dan


Penjualan
Sumber: Nakano (2020)

Fungsi penawaran meliputi pengadaan, produksi, dan logistik, tetapi


penjualan, yang merupakan fungsi permintaan, termasuk dalam fungsi yang
berhubungan dengan penawaran. Alasannya bahwa peran utama fungsi penjualan,
seperti menciptakan dan merangsang permintaan serta memuaskan pelanggan,
memiliki pengaruh besar pada fungsi penawaran. Misalnya, departemen penjualan
lebih menyukai berbagai lini produk, meluncurkan program promosi, dan menerima

18 | P a g e
pesanan meskipun jadwal pengiriman yang diperlukan ketat. Kegiatan sisi permintaan
ini menyebabkan kompleksitas, ketidakstabilan, dan ketidakpastian pada sisi
penawaran. Akibatnya, menghubungkan fungsi pasok seperti pengadaan, produksi,
dan logistik dengan fungsi permintaan seperti penjualan merupakan karakteristik dari
rantai pasok internal.

B. Rantai Pasok Eksternal


Pada umumnya, produsen barang jadi terhubung dengan pemasok bahan
mentah dan suku cadang di hulu serta pelanggan di hilir melalui fungsi pengadaan
dan penjualan. Terdapat beberapa jenis rantai pasok eksternal tergantung pada
kekuatan, ketergantungan, keseimbangan kekuatan, dan aspek lain dari hubungan
antara pembeli dan penjual. Dalam rantai pasok eksternal, penjual biasanya ingin
menerima pesanan semaksimal mungkin dan membuat/mengirimkan pesanan secara
efisien. Di sisi lain, pembeli ingin mendapatkan produk yang dibutuhkannya dalam
jumlah yang dibutuhkan dan pada saat dibutuhkan. Keterkaitan antara penjual dan
pembeli yang memiliki prinsip yang berbeda merupakan karakteristik rantai pasok
eksternal.

Gambar 5. Rantai Pasok Eksternal Toyota Motor


Sumber: Nakano (2020)

19 | P a g e
Gambar 6. Rantai Pasok Eksternal Beberapa Perusahaan
Sumber: Nakano (2020)

20 | P a g e
Bab 3. Strategi Rantai Pasok

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami sifat strategis pemikiran rantai pasok
2. Memahami perbedaan antara strategi, filosofi, dan doktrin.
3. Merumuskan strategi rantai pasok yang unggul dan
menyelaraskannya dengan strategi bisnis.
4. Mengembangkan strategi rantai pasok alternatif dan memilih
strategi rantai pasok yang “benar” di antara strategi tersebut.
5. Mengembangkan kerangka kerja untuk menilai efisiensi dan
efektivitas strategi rantai pasok.
6. Menemukan cara untuk menyesuaikan strategi rantai pasok
dengan lingkungan bisnis yang berubah.

21 | P a g e
A. Dimensi strategis
Manajemen rantai pasok yang melintasi batas-batas fungsional bisnis dan
organisasi, dampaknya jauh lebih luas dan tahan lama. Oleh karena itu, manajemen
rantai pasok secara inheren terkait dengan pengambilan keputusan strategis. Dengan
demikian dapat dikatakan, peran strategi merupakan perencanaan penggunaan
sumber daya untuk memenuhi tujuan (Bracker, 1980). Dengan kata lain, strategi
adalah serangkaian rencana untuk mengintegrasikan tujuan jangka panjang
organisasi untuk mendukung pasar. Ini berbeda dari filosofi perusahaan, yang
menyangkut dirinya dengan cara melakukan bisnis. Ini juga berbeda dari doktrin
bisnis, yang mewakili kode keyakinan seperti slogan. Strategi dapat dibagi menjadi
tiga kategori (Hill, 2000):
1. Strategi korporat—Ini berkaitan dengan keputusan bisnis secara keseluruhan
dalam hal sektor industri (misalnya, transportasi, kosmetik, manufaktur mobil,
konstruksi, utilitas publik) di mana ia ingin bersaing.
2. Strategi unit bisnis—Ini berkaitan dengan keputusan pasar sasaran (misalnya,
manula, remaja, dan wanita) di mana bisnis saat ini bersaing atau ingin bersaing
di masa depan. Keputusan ini melibatkan koordinasi dan integrasi pengembangan
produk/layanan baru, branding, manajemen hubungan pelanggan, jaminan
kualitas, dan penjadwalan pengiriman. Strategi ini dapat diklasifikasikan menjadi
biaya, diferensiasi, dan fokus. Strategi biaya memusatkan perhatian pada biaya
rendah untuk mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan. Strategi
diferensiasi menekankan inovasi produk/jasa untuk menarik pelanggan baru.
Strategi fokus mengembangkan ceruk pasar yang unik untuk berkonsentrasi pada
kekuatan perusahaan saat ini (Porter, 1998; Webster, 2008).
3. Strategi fungsional—Ini berfokus pada pengelolaan dan pengendalian berbagai
tugas yang mendukung setiap fungsi bisnis tertentu, seperti pemasaran, operasi,
pembelian, logistik, dan keuangan. Ini juga menentukan dasar di mana fungsi
tersebut akan mendukung keunggulan kompetitif yang diinginkan (Wheelwright,
2004).
Perumusan strategi rantai pasok menurut Min (2015) dapat dimulai dengan
menjawab pertanyaan bisnis mendasar berikut ini:
• Apa yang terbaik yang kita lakukan?

22 | P a g e
• Bagaimana kita dapat meningkatkan apa yang telah kita lakukan?
• Ke mana kita pergi dari sini?
Pemilihan strategi yang tepat diikuti dengan perumusan strategi alternatif. Pada
umumnya, keputusan pemilihan strategi melibatkan analisis biaya dan manfaat yang
terkait dengan strategi alternatif dan kemungkinan keberhasilannya (Kerin dan
Peterson, 1993).

B. Strategi Red Ocean versus Blue Ocean


Strategi Red Ocean dirancang untuk menangkap pangsa lebih besar dari
permintaan yang ada dalam batas-batas pasar yang jelas dengan mengungguli
pesaing industri melalui penawaran berbiaya rendah dan diferensiasi produk/layanan
(Kim dan Mauborgne, 2005b). Strategi ini tidak dapat memberikan keunggulan
bersaing yang berkelanjutan atas para pesaing perusahaan karena prospek
keuntungan dan pertumbuhan akan berkurang karena pasar yang ada semakin padat
dan persaingan semakin ketat dari waktu ke waktu. Sebaliknya, strategi blue ocean
bertujuan untuk menargetkan ruang pasar yang belum dimanfaatkan sehingga
perusahaan dapat menciptakan permintaan dan peluang baru untuk pertumbuhan
yang sangat menguntungkan di pasar yang belum dijelajahi jauh melampaui batas-
batas industri yang ada (Kim dan Mauborgne, 2005a).

C. Proses Perencanaan Rantai Pasok Strategis


Diluar dimensi strategis, strategi tidak dapat diajukan tanpa menjaga
keseimbangan antara belajar dari masa lalu dan membentuk tindakan baru untuk
memimpin organisasi menuju masa depan, termasuk penyimpangan substansial dari
perilaku masa lalunya (Hax dan Majluf, 1988 dalam Min, 2015). Penyimpangan
substansial dari perilaku masa lalu dapat menciptakan resistensi organisasi terhadap
perubahan, perencanaan strategis memerlukan serangkaian langkah hati-hati yang
kondusif bagi tujuan manajemen perubahan. Langkah-langkah ini dapat mengikuti tiga
tingkat proses yang disarankan oleh Bower dan Doz (1979) dalam Min (2015):
1. Proses kognitif
2. Proses sosial dan organisasi
3. Proses politik

23 | P a g e
Dari perspektif rantai pasok, proses sebelumnya dapat dipecah lebih lanjut menjadi
proses berikut dalam kerangka strategis yang diusulkan oleh Hax dan Majluf (1984)
dalam Min (2015):
1. Menciptakan visi perusahaan
2. Mengembangkan pedoman perencanaan rantai pasok
3. Merumuskan rencana aksi strategis
4. Mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan rencana aksi strategis
5. Memperoleh dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk
manajemen puncak

D. Integrasi Strategis Proses Rantai Pasok


LaLonde (1997) menekankan bahwa tujuan meningkatkan layanan pelanggan
dan menambahkan nilai ekonomi ke rantai pasok hanya dapat dicapai melalui
manajemen sinkronisasi aliran barang fisik dan informasi terkait dari sumber hingga
konsumsi. Sinkronisasi semua aktivitas saluran di seluruh rantai pasok dimulai dari
hulu rantai pasok sebagai sumbernya. Dengan kata lain, integrasi proses rantai pasok
dimulai dengan keterkaitan sumber dengan perusahaan.
Peran sumber dalam mengendalikan biaya perusahaan dan mengatur jadwal
perusahaan telah meningkat secara dramatis selama beberapa dekade terakhir,
karena semakin banyak perusahaan telah melakukan outsourcing kegiatan
manufaktur mereka, termasuk pengembangan produk baru, kontrol kualitas, dan
inovasi teknologi untuk mengurangi investasi modal, kecepatan meningkatkan inovasi
produk, dan meningkatkan fleksibilitas manufaktur. Dengan memperhatikan tren
seperti itu, pengeluaran rata-rata untuk barang dan jasa yang dibeli mencapai lebih
dari 50% dari pendapatan penjualan (Giunipero dan Brand, 1996). Meningkatnya
peran sumber dalam manufaktur memerlukan strategi baru. Salah satu strategi
tersebut adalah Strategi Pembelian Segmentasi (SPS), yang diusulkan oleh Copacino
(1997). SPS mengelola aktivitas pembelian berdasarkan tingkat risiko pasok yang
terbuka (misalnya, alternatif sumber, ketersediaan produk, dan variasi kualitas di
antara pemasok) dan tingkat peluang ekonomi (misalnya, potensi penghematan
biaya, peluang nilai tambah, dan inovasi produk). Untuk menguraikan, SPS
mengelompokkan keluarga produk yang akan diproduksi dalam empat kategori

24 | P a g e
berbeda dan mengembangkan strategi sumber yang berbeda seperti yang dirangkum
selanjutnya. Empat kategori tersebut sebagai berikut (Copacino, 1997):
1. Produk nuisance—Ini termasuk perlengkapan pemeliharaan,
perbaikan, dan pengoperasian (MRO) dan produk nonkritis bernilai
rendah lainnya yang aktivitas pengadaannya dapat berulang dan
rutin dan oleh karena itu dapat diotomatisasi.
2. Produk bottleneck—Ini mewakili bahan penting namun bervolume
rendah yang tidak memerlukan pembelian sering.
3. Komoditas—Ini adalah produk yang dapat dengan mudah diganti
dengan alternatif lain dan oleh karena itu lebih mudah bagi pembeli
untuk mendapatkan penawaran potensial.
4. Produk kritis—Ini mewakili barang-barang yang "harus dimiliki" atau
unik yang penting untuk memenuhi persyaratan kualitas produk dan
layanan pelanggan yang diperlukan.

E. Model “Kemenangan” (Strategi Kemenangan)


Porter (1980) berpendapat bahwa perusahaan dapat meningkatkan
keunggulan kompetitifnya dengan mengembangkan strategi penciptaan nilai atau
penambahan nilai. Strategi seperti itu sering dibangun di atas kompetensi khas
perusahaan, termasuk kemampuan inovasinya. Mempertimbangkan bahwa prinsip-
prinsip rantai pasok dapat dilihat sebagai cara inovatif dalam menjalankan bisnis,
perusahaan dapat memanfaatkan keunggulan rantai pasok untuk meningkatkan
keunggulan kompetitifnya, yang berasal dari kemampuannya untuk menciptakan atau
menambah nilai pelanggan. Beberapa strategi berbeda dapat membantu perusahaan
meningkatkan nilai pelanggannya dan keuntungan berikutnya.
1. Manipulasi volume produksi/pembelian/penjualan perusahaan
2. Penyesuaian kecepatan produk/jasa perusahaan
3. Kontrol variabilitas produk/jasa perusahaan (Min, 2015).

F. Strategi Push versus Pull


Keputusan tentang bagaimana perusahaan akan mencari, memproduksi,
mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasanya dapat membentuk
strategi rantai pasok perusahaan. Keputusan ini dapay didasarkan pada dua kategori
berbeda dari strategi bisnis (Spearman dan Zazanis, 1998; McNeil, 2011). Kategori
tersebut adalah strategi push dan strategi pull. Umumnya, strategi push melibatkan
pembuatan produk dan penimbunan produk ini jauh sebelum pesanan pelanggan

25 | P a g e
aktual dan pembelian berdasarkan perkiraan permintaan pelanggan yang diantisipasi.
Dengan kata lain, strategi ini “mendorong” produk ke pengguna akhir atau pelanggan
melalui promosi penjualan dan insentif lainnya. Strategi ini sangat bergantung pada
perkiraan permintaan pelanggan jangka panjang, strategi ini tidak mencerminkan
input aktual dari pasar dan oleh karena itu dapat rawan kesalahan. Meskipun strategi
ini memungkinkan untuk tingkat produksi dan tenaga kerja/bahan yang stabil, sering
gagal untuk memenuhi perubahan pola permintaan pelanggan di lingkungan bisnis
yang bergejolak dan kemudian cenderung untuk membangun persediaan yang tidak
diinginkan.
Alternatif dari strategi ini, strategi pull semakin banyak digunakan dalam rantai
pasok. Strategi pull adalah strategi yang digerakkan oleh permintaan yang
menentukan jadwal produksi, distribusi, dan pengiriman layanan berdasarkan
permintaan pelanggan yang sebenarnya. Dengan kata lain, strategi ini membuat dan
mendistribusikan apa yang "ditarik" dari pengguna akhir atau pelanggan pada tingkat
kebutuhan permintaannya yang sebenarnya. Dengan demikian, strategi ini dapat lebih
beradaptasi dengan perubahan selera, preferensi, dan harapan pelanggan tanpa
memproduksi dan mendistribusikan apa yang tidak diinginkan oleh pelanggan.

26 | P a g e
Bab 4. Perencanaan dan Peramalan Permintaan

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami berbagai sumber permintaan dan dampaknya
terhadap perencanaan rantai pasok.
2. Mengetahui langkah-langkah dalam proses manajemen
permintaan.
3. Memahami perbedaan di antara berbagai jenis metode peramalan
4. Memahami faktor-faktor mendasar yang mempengaruhi
keputusan pemilihan peramalan, dan memilih metode peramalan
yang tepat untuk perusahaan dan situasi tertentu.
5. Hasilkan prakiraan deret waktu menggunakan exponential
smoothing, moving average, dan analisis tren.
6. Mengenali hubungan antara penjualan dan perencanaan
operasional dan perencanaan permintaan.
7. Mengkaitkan perdagangan kolaboratif dengan manajemen rantai
pasok dan pahami perannya dalam manajemen permintaan.
8. Memahami cara kerja dan berkembangnya perencanaan
kolaboratif, peramalan, dan pengisian ulang.
9. Mengidentifikasi sumber potensial bullwhip effect dan mencegah
bullwhip effect.

27 | P a g e
A. Manajemen Permintaan
Permintaan mencerminkan apa dan seberapa besar keinginan pelanggan.
Oleh karena itu, permintaan mendorong penawaran dan selanjutnya rencana
produksi, yang pada gilirannya menentukan keuangan perusahaan, logistik, dan
rencana pemasaran. Informasi permintaan yang tidak akurat adalah sumber utama
kegagalan bisnis karena menyebabkan pasok yang tidak mencukupi, yang membuat
pelanggan tidak senang, atau pasok yang berlebihan, yang menimbulkan
pemborosan sumber daya yang berharga. Namun, informasi permintaan yang akurat
sulit didapat karena sifat permintaan yang mudah berubah dan tidak pasti. Upaya
untuk memperoleh informasi permintaan melibatkan prediksi permintaan di masa
depan berdasarkan pola permintaan masa lalu. Meskipun peramalan permintaan
merupakan bagian penting dari pengelolaan permintaan, keandalannya sering kali
bervariasi tergantung pada pilihan metode peramalan tertentu, jangka waktu-jangka
waktu tertentu, dan sifat permintaan. Lebih penting lagi, jika informasi permintaan
yang akurat tidak dikomunikasikan kembali ke produsen/penyedia layanan dan
pemasok mereka, itu tidak ada artinya untuk diramalkan. Selain itu, kecepatan
mengkomunikasikan informasi permintaan di antara mitra rantai pasok dapat
memengaruhi cara pengelolaan permintaan. Dengan pemikiran ini, manajemen
permintaan dapat mengambil empat langkah berikut
1. Perencanaan permintaan—Melibatkan lebih dari sekadar
perkiraan
2. Mengkomunikasikan permintaan — termasuk
mengkomunikasikan rencana permintaan kepada mitra rantai
pasok di seluruh rantai pasok
3. Mempengaruhi permintaan —Mencakup rencana pemasaran dan
promosi, pemosisian produk, dan harga
4. Memprioritaskan permintaan —Termasuk manajemen pesanan
pelanggan dan profil pelanggan (Crum dan Palmatier , 2003):

B. Peramalan Permintaan
Peramalan permintaan adalah alat penting untuk segala jenis kegiatan bisnis.
Tanpanya, tidak mungkin membuat rencana permintaan, yang pada gilirannya
memengaruhi serangkaian rencana bisnis, termasuk pemasaran, penjualan, produksi,
logistik, dan rencana keuangan. Oleh karena itu, keakuratan dan ketepatan

28 | P a g e
peramalan permintaan akan menentukan efisiensi dan efektivitas rencana bisnis dan
kesuksesan bisnis selanjutnya.
Meskipun peramalan permintaan merupakan hal yang penting untuk
kesuksesan bisnis, peramalan permintaan hanya merupakan “perkiraan
ilmiah/dugaan” dari peristiwa masa depan dan menyediakan suatu sarana dari
mengukur “kemungkinan” arah kegiatan bisnis. Terlepas dari ketelitian ilmiah,
peramalan permintaan tidak bisa 100% akurat karena sering didasarkan pada premis
bahwa tren masa lalu akan berlanjut di masa depan. Dengan analogi, Anda akan
tersesat jika Anda mengendarai mobil hanya berdasarkan apa yang Anda lihat di kaca
spion. Salah satu cara untuk mengurangi potensi risiko penggunaan peramalan
permintaan adalah dengan memilih metode peramalan yang tepat dalam situasi yang
tepat, atau Anda dapat mempertimbangkan untuk menggunakan beberapa metode
peramalan yang saling melengkapi.

C. Exponential Smoothing
Exponential Smoothing adalah teknik peramalan populer yang menggunakan
rata-rata tertimbang dari data masa lalu untuk membuat prediksi peristiwa masa
depan. Di bawah premis bahwa masa lalu yang paling baru lebih menunjukkan masa
depan daripada apa yang terjadi di masa lalu, Exponential Smoothing memberikan
bobot yang lebih besar pada data yang lebih baru daripada data di masa lalu yang
lebih jauh. Exponential Smoothing dimaksudkan untuk ramalan jangka pendek
dengan adanya pola acak tetapi tidak ada fluktuasi musiman (Shim, 2000). Ini banyak
digunakan untuk memprediksi tingkat persediaan atau penjualan masa depan di
sektor ritel. Keunggulannya termasuk kemudahan penggunaan, terbatasnya
penggunaan data historis, dan keakuratan relatif untuk prakiraan jangka pendek.
Namun, ini cenderung tertinggal selama tren positif sambil melampaui nilai aktual
selama tren negatif. Juga, tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor eksogen seperti
kondisi pasar, perubahan harga, dan reaksi pesaing saat meramalkan (Shim, 2000;
Collier dan Evans, 2007).
Persamaan dasar dari Exponential Smoothing sebagai berikut:

29 | P a g e
Sumber: Min (2015)
Dimana: Ft+1 = ramalan untuk periode berikutnya, t+1
Ft = rata-rata tertimbang dari perkiraan yang dibuat untuk periode
sebelumnya, t
At = pengamatan aktual yang dilakukan pada periode sebelumnya, t
α = konstanta Smoothing (0≤ α ≤1)

D. Moving Average
Moving Average adalah teknik peramalan di mana jumlah berturut-turut dari
pengamatan terbaru dirata-ratakan dan diberi bobot sama (simple moving average)
atau berbeda (weighted moving average). Ini sering kali cocok untuk prakiraan jangka
pendek ketika data sebelumnya menunjukkan pola level. Dalam rata-rata bergerak,
semakin kecil jumlah observasi, semakin responsif perkiraannya terhadap perubahan
data sebelumnya. Juga, rata-rata bergerak cenderung merespon sangat tinggi
terhadap perubahan acak dan selanjutnya menyebabkan kesalahan besar (Reid dan
Sanders, 2005). Oleh karena itu, hasil peramalan moving average mungkin sensitif
terhadap jumlah observasi yang dipilih untuk prakiraan tersebut.
Persamaan dasar dari Exponential Smoothing sebagai berikut:

Sumber: Min (2015)


Dimana: Ft+1 = ramalan untuk periode berikutnya, t+1
wt = bobot yang ditempatkan pada pengamatan sebenarnya pada periode
t
At = pengamatan aktual yang dilakukan pada periode sebelumnya, t

E. Analisis Tren
Analisis tren adalah teknik deret waktu jangka panjang yang meneliti arah
jangka panjang (tren) dari serangkaian data masa lalu untuk memproyeksikan arah
tersebut ke masa depan. Arahnya bisa linier (garis lurus) atau nonlinier (kurva)
tergantung pola masa lalu. Dalam kasus tren linier, kemiringan dan titik potongnya
dapat dihitung dengan menggunakan metode regresi kuadrat terkecil, seperti yang
ditentukan selanjutnya.
Persamaan dasar dari Exponential Smoothing sebagai berikut:

30 | P a g e
Sumber: Min (2015)
Dimana: Yt- = ramalan tren untuk periode waktu t
t = jumlah periode waktu dari 0
a = perkiraan intersep sumbu Yt –axis intersep (yaitu, nilai Yt pada t = 0)
b = perkiraan kemiringan garis tren

F. Teknik Peramalan Tingkat Lanjut


Setelah bertahun-tahun, metode peramalan dasar yang diperkenalkan
sebelumnya telah disempurnakan dan diperluas untuk menangkap keacakan dan
musiman dari beberapa pola data. Beberapa metode perkiraan lanjutan tersebut
termasuk double exponential smoothing, Winter’s exponential smoothing, pemfilteran
adaptif, metode Box-Jenkins, state space forcasting, dan perkiraan berbasis agen.

G. Pemilihan Metode Peramalan yang Tepat


Tidak ada metode peramalan "satu ukuran untuk semua", menemukan metode
peramalan yang tepat bisa menjadi tugas yang berat. Pembaca yang tertarik harus
merujuk pada Chambers et al. (1971) untuk proses seleksi peramalan rinci. Namun,
dengan memeriksa dengan cermat jumlah atribut yang terkait dengan metode
peramalan, seseorang dapat menemukan petunjuk tentang metode peramalan mana
yang cocok untuk situasi apa (lingkungan keputusan) dan organisasi mana. Menurut
Yokum dan Armstrong (1995), berikut adalah beberapa atribut ini, yang disajikan
menurut kepentingannya :
1. Akurasi
2. Ketepatan waktu dalam memberikan ramalan
3. Penghematan biaya yang dihasilkan dari keputusan yang lebih baik
4. Kemudahan interpretasi
5. Fleksibilitas
6. Kemudahan dalam menggunakan data yang tersedia
7. Kemudahan penggunaan
8. Kemudahan implementasi
9. Memasukkan input penilaian
10. Keandalan interval kepercayaan
11. Biaya pengembangan yang dihasilkan dari penggunaan komputer
dan upaya manusia
12. Biaya pemeliharaan akibat penyimpanan data dan modifikasi

31 | P a g e
Selain itu, dapat mempertimbangkan popularitas pasar dari metode prakiraan, tetapi
perlu diingat apa yang terbaik untuk beberapa mungkin bukan yang terbaik untuk
semua orang.

H. Perencanaan Penjualan dan Operasional


Setelah proyeksi permintaan dibuat dengan menggunakan teknik peramalan
yang dijelaskan di bagian sebelumnya, mereka harus ditinjau keakuratannya,
akuntabilitas proses, dampak finansial yang dihasilkan, penilaian risiko di masa
depan, kendala kapasitas, dan alokasi sumber daya. Proses review ini sering disebut
dengan sales and operation planning (S&OP). S&OP juga dapat digunakan untuk
membuat perkiraan konsensus ketika unit / departemen fungsional yang berbeda
(misalnya, pemasaran vs. produksi) sampai pada hasil perkiraan yang berbeda atau
bertentangan. Secara umum, S&OP adalah proses pengambilan keputusan
terintegrasi yang secara berkala menyatukan semua rencana fungsional (biasanya
bulanan) melalui kolaborasi dan komunikasi untuk menghasilkan perkiraan penjualan
dan rencana produksi yang disepakati. Sederhananya, S&OP bertujuan untuk
membentuk keseimbangan antara permintaan yang diharapkan dan kemampuan
perusahaan untuk memastikan sumber daya kritis yang cukup untuk permintaan ini.
Dengan mempertahankan keseimbangan seperti itu, S&OP memungkinkan
perusahaan untuk mengurangi produksi yang boros, mengurangi pemesanan di
belakang, meningkatkan layanan pelanggan, memanfaatkan sumber daya,
mempersingkat waktu respons pelanggan, dan memaksimalkan pendapatan.

I. Perdagangan Kolaboratif
Karena rantai pasok yang unggul sering kali dibuat melalui upaya bersama
dari jaringan mitra bisnis, semakin banyak perusahaan yang berusaha
mengembangkan serangkaian proses kolaboratif yang akan mengintegrasikan
berbagai aktivitas bisnis di dalam dan di seluruh rantai pasok. Salah satu proses
tersebut termasuk perdagangan kolaboratif, yang bertujuan untuk meningkatkan
interaksi di antara mitra rantai pasok dengan membangun jaringan bisnis yang
mendukung teknologi banyak ke banyak. Perdagangan kolaboratif dapat
meregangkan rantai pasok linier tradisional ke rantai pasok nonlinier dengan jaringan

32 | P a g e
terjalin mitra rantai pasok yang dapat menciptakan sinergi yang kuat. Jaringan ini
dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang penting, karena kekuatan kolektif
yang diciptakan oleh jaringan jauh lebih sulit untuk bersaing daripada kekuatan
individu yang diciptakan oleh satu perusahaan. Faktanya, Porter (1980) menunjukkan
bahwa kinerja perusahaan yang superior secara fungsional terkait dengan
keanggotaan perusahaan (yaitu, tingkat dan ruang lingkup kemitraan).
Mempertimbangkan keunggulan kompetitif yang diciptakan oleh perdagangan
kolaboratif, perdagangan kolaboratif dapat menjadi kekuatan pendorong di balik
pertumbuhan bisnis yang kuat. Secara khusus, perdagangan kolaboratif dapat
menjadi alat yang efektif untuk perusahaan dengan sumber daya terbatas yang harus
bergantung pada sumber daya eksternal, seperti infrastruktur dan keahlian teknologi
informasi, untuk sepenuhnya mengeksploitasi perdagangan elektronik.

J. Respon Konsumen yang Efisien Respon


Konsumen yang efisien adalah perpanjangan dari respon cepat (QR) yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai pelanggan, menghilangkan biaya yang tidak
menambah nilai, mengurangi waktu siklus pesanan, dan lebih responsif terhadap
kebutuhan pelanggan dengan menggunakan alat teknologi seperti sebagai sistem
pertukaran data elektronik (EDI), bar coding, dan point-of-sale (POS). Menurut Food
Marketing Institute (http://www.fmi.org/supply/ecr) dalam Min (2015), ECR terdiri dari
empat komponen:
1. Pilihan toko yang efisien
2. Pengisian ulang yang
3. Promosi yang efisien
4. Pengenalan produk yang efisien

K. Efek Bullwhip
Perencanaan dan perkiraan permintaan yang buruk dalam rantai pasok sering
kali menyebabkan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan yang, pada
gilirannya, mengakibatkan kekurangan produk atau persediaan yang terlalu banyak.
Gejala umum dari bullwhip effect termasuk pengembangan produk baru yang
tertunda, kekurangan dan pemesanan kembali yang konstan, pembatalan dan

33 | P a g e
pengembalian pesanan yang sering, persediaan pipa yang berlebihan, penjadwalan
produksi yang tidak menentu, dan masalah kelebihan kapasitas kronis (Min, 2000).
Efek bullwhip dapat disebabkan oleh sejumlah kegagalan dan kesalahan manajemen,
seperti yang dirangkum berikutnya (Min, 2015):
1. Kegagalan informasi
2. Kerumitan rantai
3. Perkembangan produk
4. Promosi penjualan
5. Skala ekonomi
6. Perilaku investasi spekulatif

34 | P a g e
Bab 5. Perencanaan dan Kontrol Persediaan

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami elemen dasar manajemen persediaan.
2. Mengevaluasi dampak manajemen persediaan pada tingkat
layanan pelanggan.
3. Memahami berbagai jenis dan fungsi inventaris.
4. Mengidentifikasi komponen biaya penyimpanan persediaan dan
biaya pemesanan selanjutnya memperkirakan biaya terkait
dengan persediaan.
5. Mengklasifikasikan persediaan ke dalam kategori ABC dan
belajar menggunakan sistem peninjauan persediaan yang
sesuai dengan kategori ABC.
6. Mengembangkan alat untuk mengukur kinerja persediaan
seperti perputaran persediaan dan akurasi.
7. Menentukan kuantitas pesanan yang optimal dan jumlah
pemesanan ulang dalam lingkungan bisnis yang berbeda.
8. Menemukan cara untuk meningkatkan perputaran persediaan.
9. Memahami perbedaan antara EOQ, DRP, dan JIT serta
kesesuaiannya untuk berbagai jenis perencanaan dan
pengendalian persediaan.
10. Memahami cara baru untuk mengontrol dan merencanakan
persediaan, termasuk persediaan yang dikelola vendor.

35 | P a g e
A. Prinsip-Prinsip Manajemen Persediaan
Persediaan sebagaimana dikemukakan oleh Min (2015) merupakan aset yang
menganggur, dalam berbagai bentuk, disimpan untuk penggunaan saat ini dan masa
depan (penjualan atau distribusi). Aset yang menganggur ini mewakili sumber daya
yang kurang dimanfaatkan. Oleh karena itu, persediaan dapat menjadi beban
keuangan bagi perusahaan. Terlepas dari risiko yang terkait dengan persediaan,
banyak perusahaan ingin menyimpan persediaan sebagai antisipasi untuk memenuhi
permintaan pelanggan dan tidak kehilangan peluang penjualan. Tanpa persediaan,
sulit untuk membuat produk tersedia bagi pelanggan saat mereka membutuhkannya.
Persediaan dianggap sebagai alternatif yang layak untuk produksi dan pengadaan di
masa depan. Oleh karena itu, persediaan sering dianggap sebagai kejahatan yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan layanan pelanggan.
Pada kondisi khusus, persediaan dapat bermasalah jika melebihi permintaan
pelanggan yang sebenarnya atau menjadi usang. Dalam aturan umum, persediaan
dianggap "berlebih" jika jumlah persediaan yang ada melebihi proyeksi permintaan
pelanggan selama 12 bulan. Persediaan dianggap "usang" jika tidak memiliki
perkiraan penggunaan dan sedikit atau tidak ada penggunaan dalam enam bulan
terakhir. Persediaan berlebih atau usang akan terbuang percuma, karena banyak
perusahaan akan menjual persediaan tersebut dengan harga diskon atau
menghapusnya untuk mengosongkan ruang penyimpanan dan meringankan beban
pajak mereka.
Mempertimbangkan dua sisi kontras persediaan maka kebijakan,
perencanaan, dan kontrol yang cermat diperlukan untuk menjaga jumlah persediaan
yang tepat pada tempat yang tepat menjadi hal penting untuk layanan pelanggan.
Selain itu untuk menjaga biaya pemeliharaan persediaan seminimal mungkin. Oleh
karena itu, manajemen persediaan lebih dari sekedar pengendalian persediaan.
Secara umum, prinsip manajemen persediaan terdiri dari proses tiga langkah:
1. Mengembangkan kebijakan persediaan
2. Perencanaan persediaan
3. Mengontrol persediaan

36 | P a g e
B. Fungsi Persediaan
Terlepas dari kesulitan dalam menyimpan persediaan, ada sejumlah alasan
mengapa banyak perusahaan menyimpan persediaan. Alasan ini terkait langsung
dengan fungsi persediaan yang dijelaskan berikut ini :
1. Persediaan penyangga merupakan persediaan tambahan yang disimpan selama
perpanjangan periode untuk mempersiapkan lonjakan permintaan yang tidak
terduga dan selanjutnya mencegah potensi kehabisan stok. Jenis persediaan ini
sering kali diperlukan untuk mengurangi risiko penutupan jalur produksi dan
gangguan distribusi. Persediaan penyangga juga disebut persediaan pengaman.
2. Persediaan ukuran-lot merupakan persediaan yang terakumulasi sebagai hasil
dari pembelian berlebih dan produksi berlebih untuk memanfaatkan skala
ekonomi. Banyak perusahaan membeli beberapa produk dalam jumlah banyak
untuk memanfaatkan diskon kuantitas (volume) atau peluang diskon pengiriman.
Selain itu, perusahaan dapat mengurangi biaya penyiapan per unit dengan
memproduksi barang secara massal sekaligus. Jenis persediaan ini juga disebut
persediaan siklus.
3. Antisipasi persediaan-persediaan untuk mengantisipasi perkiraan permintaan di
masa mendatang, kenaikan harga, kampanye promosi, fluktuasi musiman,
pemogokan tenaga kerja, atau penutupan pabrik. Jenis persediaan ini membantu
mempertahankan produksi atau tingkat distribusi dengan mencegah lembur atau
waktu menganggur di masa depan.
4. Persediaan jalur pipa (atau transit) - persediaan yang ada karena jeda waktu
transportasi. Dengan kata lain, produk dalam perjalanan dapat dianggap sebagai
persediaan karena produk yang telah dipesan sebelumnya belum mencapai
gudang, pusat distribusi, atau toko ritel sehingga produk tersebut belum tersedia
bagi pelanggan. Persediaan semacam ini dapat dikurangi dengan menggunakan
moda transportasi yang lebih cepat.
5. Persediaan Terpisah- persediaan yang membuat setiap tahap rantai pasok tidak
bergantung pada gangguan rantai pasok yang tidak terduga. Misalnya, kerusakan
mesin selama tahap produksi akan menghentikan proses produksi, yang
selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan persediaan dalam proses pada
tahap produksi berikutnya atau kekurangan produk pada tahap distribusi

37 | P a g e
berikutnya. Oleh karena itu, persediaan terpisah yang disimpan di antara berbagai
tahap rantai pasok akan memungkinkan produksi dan distribusi yang berjalan
tanpa gangguan.

C. Jenis Persediaan
1. Bahan Mentah-Bahan mentah adalah sumber daya fisik asli atau barang yang
dibeli dari organisasi eksternal atau diambil dari sumber alam seperti tambang
untuk digunakan membuat suku cadang/komponen atau produk. Contohnya baja
(atau bijih besi) untuk mur dan baut, plastik untuk dashboard mobil, kaca untuk
jendela, gandum untuk roti, aluminium untuk ember, dan karet untuk ban.
2. Parts/komponen-Bagian dan komponen adalah bahan utama yang akan
membentuk produk jadi dan membuatnya berfungsi dengan baik. Contohnya
baterai dan mesin untuk mobil, hard drive untuk komputer pribadi, kantong debu
untuk penyedot debu, dan kenop untuk laci meja.
3. Work in process-Work in process (WIP) mengacu pada item yang masih dalam
proses produksi dan menunggu untuk diproses dalam rantai pasok. WIP sering
memainkan peran decoupling persediaan.
4. Barang jadi-Barang jadi adalah barang yang siap dijual atau didistribusikan.
Dengan kata lain, barang jadi adalah barang yang tidak memerlukan proses
transformasi lagi.
5. Pemasok-Pemasok barang (termasuk barang jadi) yang diperlukan untuk terlibat
dalam proses produksi, tetapi tidak mencakup produk jadi. Contohnya termasuk
persediaan pemeliharaan, perbaikan, dan pengoperasian (MRO); pensil, pulpen,
dan kertas yang dibutuhkan untuk menggambar cetak biru mobil rancangan baru;
dan bola lampu yang memungkinkan pekerja terlibat dalam proses produksi mesin
mobil di dalam pabrik yang gelap.
6. Barang komoditas (commodity)-Barang yang dibeli sudah dalam bentuk barang
jadi dan diperdagangkan kembali ke konsumen. Di perusahaan pembeli, barang
komoditas dapat diproses lagi, misal dengan mengganti kemasan atau dijual
langsung seperti apa adanya. Mata rantainya berawal dari pabrik pembuat dan
berakhir ke konsumen pengguna barang tersebut. Sering juga disebut : resales
commodities.

38 | P a g e
7. Barang Proyek-Material dan suku cadang yang digunakan untuk membangun
proyek tertentu. Mata rantai bermula dari pabrik pembuat dan berakhir pada
perusahaan pembuat barang jadi.

D. Klasifikasi Persediaan
Dengan meningkatnya kebutuhan untuk penyesuaian produk, banyak
produsen telah mendiversifikasi lini produk mereka. Misalnya, perusahaan penghasil
olahan susu dapat mengelompokkan persediaannya ke dalam beberapa unit
penyimpanan persediaan (SKU) yang berbeda seperti susu murni, susu rendah
lemak, susu tanpa lemak, susu bebas laktosa, susu rasa coklat, dan lain sebagainya.
Perkembangan produk seperti itu dapat membebani tugas bagian pengelola SKU.
Oleh karena itu, prioritas harus ditetapkan untuk menangani persediaan. Salah satu
cara sistematis untuk mengklasifikasikan persediaan sehubungan dengan
prioritasnya mencakup prinsip Pareto klasik, di mana sekitar 10% hingga 20% dari
persediaan menyumbang sekitar 60% hingga 80% dari total nilai persediaan, atau
80% dari volume penjualan biasanya mencapai 20% dari produk (pelanggan). Prinsip
ini berasal dari prinsip Pareto, dinamai menurut ekonom Italia abad kesembilan belas
Villefredo Pareto, yang menemukan bahwa “segelintir orang” (sekitar 20% dari
populasi) menguasai sebagian besar (80%) kekayaan di Milan, Italia . Prinsip Pareto,
berdasarkan pengamatan bahwa banyak situasi yang didominasi oleh sedikit elemen,
diperluas untuk mengklasifikasikan persediaan ke dalam beberapa kategori yang
berbeda sesuai dengan prioritasnya. Skema klasifikasi persediaan yang paling
populer mencakup analisis nilai kritis dan analisis persediaan ABC.

1. Analisis Nilai Kritis


Analisis nilai kritis sering digunakan oleh organisasi militer, yang secara
"subyektif" mengklasifikasikan item persediaan dengan menetapkan nilai poin untuk
tiga hingga lima kategori. Cara klasifikasi persediaan dengan analisis nilai kritis
diringkas dalam Tabel 3. Contoh barang dengan prioritas utama adalah amunisi dan
senapan, dimana apabila terjadi kekurangan pada kedua barang tersebut dapat
membahayakan nyawa prajurit. Contoh barang dengan prioritas tinggi adalah
kendaraan militer seperti Humvee dan kendaraan lapis baja, apabila terjadi

39 | P a g e
kekurangan barang tersebut dapat merusak kemampuan tempur tentara. Contoh
barang dengan prioritas menengah yaitu tenda dan sekop militer, apabila kekurangan
barang tersebut tidak akan menciptakan situasi yang mengancam jiwa bagi tentara
tetapi dibutuhkan untuk kenyamanan mereka. Contoh barang dengan prioritas rendah
yaitu seragam militer, kemeja, dan pakaian dalam, yang tidak penting untuk kesiapan
tempur.
Tabel 3. Klasifikasi Persediaan Dibuat dengan Analisis Nilai Kritis
Kategori Fitur Item
1. Prioritas utama Tidak ada stok habis — item penting
2. Prioritas tinggi Penting, tetapi stockout terbatas diizinkan
3. Prioritas menengah Diperlukan, tetapi stockout sesekali diizinkan
4. Prioritas rendah Diinginkan, tetapi kehabisan stok diperbolehkan
Sumber: Min (2015)

2. Analisis Persediaan ABC


Analisis persediaan ABC merupakan metode pengklasifikasian barang
berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah. Kemudian dibagi
menjadi 3 kelompok besar yang disebut kelompok A, B dan C. Analisis ABC membagi
persediaan menjadi tiga kelas berdasarkan besarnya nilai (value) yang dihasilkan oleh
persediaan tersebut (Schroeder, 2010 dalam Wahyuni, 2015). Analisis persediaan
ABC menggunakan prinsip pareto. Menurut Schroeder (2010) dalam Wahyuni (2015),
klasifikasi ABC adalah sebagai berikut:
a. Kelas A merupakan barang-barang dengan nilai tinggi. Walaupun
kelompok ini hanya diwakili oleh 20% dari jumlah persediaan yang
ada, tetapi nilai yang diberikan adalah sebesar 80%.
b. Kelas B merupakan barang-barang dengan nilai sedang. Kelompok
ini diwakili oleh 30% dari jumlah persediaan dan nilai yang
dihasilkan sebesar 15%.
c. Kelas C merupakan barang-barang dengan nilai rendah. Kelompok
persediaan ini diwakili oleh 50% dari total persediaan yang ada dan
nilai yang dihasilkan sebesar 5%.

3. Model Economic Order Quantity (EOQ)


Model EOQ merupakan salah satu model klasik. Pertama kali dikenalkan oleh
FW Harris tahun 1915, namun lebih dikenal sebagai metode Wilson. Hal ini
dikarenakan pada tahun 1934 metode EOQ dikembangkan oleh Wilson (Sofyan,
2013) dalam Yuliana, dkk (2016). Model EOQ ini menimbulkan biaya persediaan

40 | P a g e
sebagaimana dikemukakan oleh Carter (2012) bahwa EOQ adalah jumlah persediaan
yang dipesan pada suatu waktu yang menimbulkan biaya persediaan tahunan. Model
ini membantu manajemen dalam mengambil keputusan agar tidak terjadi pengadaan
persediaan dalam perusahaan secara berlebihan dan tidak terjadi kekurangan dengan
jumlah yang optimal. Terdapat beberapa asumsi dalam Model EOQ. Menurut Heizer
dan Render (2011), asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Jumlah pembelian tetap.
b. Lead time konstan.
c. Barang yang dipesan selalu tersedia.
d. Tidak ada diskon.
e. biaya melakukan pemesanan dan biaya menyimpan persediaan
merupakan biaya variabel dalam waktu tertentu.
f. Pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat untuk menghindari
stock out.

Kemudian menurut Prawirosentono (2009:186) dalam Yuliana, dkk (2016) unsur


metode EOQ adalah biaya pemesanan, biaya penyimpanan, jumlah kebutuhan bahan
per tahun, dan jumlah kuantitas bahan setiap kali pemesanan.

4. Distribution Resource Planning


Distribution Resource Planning (DRP) menurut Tersine (1994) dalam Hidayat,
dkk (2013) berfungsi untuk menentukan jumlah kebutuhan dalam mengisi kembali
persediaan pada branch warehouse (distribution centre). Dengan tujuan utama dari
DRP menurut Min (2015) adalah:
a. Menentukan kebutuhan lokasi penimbunan persediaan dan
memastikan bahwa sumber pasok akan memenuhi permintaan
b. Membangun atau meningkatkan integrasi antara fungsi distribusi
perusahaan dan sumber pasok manufakturnya
c. Memberikan visibilitas pengguna ke atas dan ke bawah jaringan
distribusi yang lengkap

Awalnya konsep DRP diarahkan agar terjadi integrasi antara bidang produksi
dan distribusi. Dengan DRP ini diharapkan unit usaha dapat memulai penjadwalan
distribusi dengan lebih akurat dan dapat mencapai stabilitas produksi pada saat
bersamaan. Akibatnya kegiatan tersebut, maka distribusi produk akan memperoleh
keuntungan besar terutama dalam perbaikan customer service, pengurangan
persediaan, pengurangan biaya-biaya barang yang usang. Pada konsep selanjutnya

41 | P a g e
DRP ini dapat diterapkan pada jaringan sistem distribusi antara Central Supply Facility
(CSF) danDistribution Centre (DC) nya. Persediaan yang berlebih menjadi asset
negatif bagi perusahaan karena persediaan ini menggunakan tempat penyimpanan
yang sangat berharga, mengurangi modal kerja, mengurangi nilai ROI dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, item yang berlebih dan usang sebaiknya dikurangi atau
dibuang (Tersine, 1994 dalam Hidayat, dkk, 2013)..

5. Just In Time (JIT)


Dalci dan Tanis (2006) mengemukakan bahwa saat ini sistem Just In Time
(JIT) telah dikenal di seluruh dunia. JIT merupakan filosofi manajemen yang
melibatkan pembelian atau produksi persis dengan kebutuhan dan pada waktu yang
tepat (yaitu, tepat ketika dibutuhkan dan tidak lama sebelum atau setelahnya) untuk
menghilangkan pemborosan sumber daya yang mahal (Min, 2015). Pemborosan
tersebut mewakili segala sesuatu yang menambah biaya dan tidak menambah nilai,
pengaturan tempat kerja, pada proses pembelian dan/atau produksi. Pemborosan
biasanya mencakup hal-hal berikut:
a. Cacat—Cacat merusak kualitas, membutuhkan pekerjaan yang
harus diulang dan akibatnya menyebabkan pembengkakan biaya.
b. Penundaan—Penundaan membuat pelanggan menunggu dan
membuat mereka kesal.
c. Proses yang tidak menambah nilai—Proses seperti itu
memperpanjang waktu penyelesaian pekerjaan.
d. Gerakan menganggur—Ini menurunkan produktivitas tenaga kerja.
e. Produksi berlebih—Ini menciptakan kelebihan pasok dan membuat
produk tambahan tidak berguna.
f. Transportasi yang lama dan berlebihan—Hal ini memperlambat
arus layanan dan meningkatkan waktu tunggu.
g. Persediaan yang tidak digunakan—Persediaan yang tidak
digunakan menempati ruang dan menunda penemuan cacat dan
hal lainnya.
h. Bakat yang kurang dimanfaatkan—Ini melemahkan moral dan
produktivitas karyawan (Min, 2015).

Dalam menyusun strategi JIT yang layak, terdapat empat prinsip yang harus diikuti
(Kinsey, 1992 dalam Min, 2015):
a. Pemberdayaan masyarakat merupakan sumber utama perbaikan.
b. Kesempurnaan kualitas produk membantu mencapai nol cacat.

42 | P a g e
c. Fleksibilitas diperlukan untuk produksi lot kecil yang ekonomis atau
pembelian pesanan kecil.
d. Jadwal produksi dan pesanan yang responsif diperlukan untuk
permintaan pelanggan yang tepat.
Prasyarat JIT sebagai berikut:
a. Ukuran lot kecil (misalnya, ukuran lot yang berkisar antara 5% hingga
20% dari penggunaan harian, tetapi jarang melebihi 10% dari
penggunaan harian)
b. Waktu tunggu yang singkat
1) Konsentrasi geografis pemasok dan kedekatannya dengan
produsen JIT (misalnya, waktu transit masuk kurang dari satu
hari)
2) Pengiriman singkat, andal, dan pengiriman sering (misalnya,
beberapa kali sehari)
c. Waktu penyiapan singkat
1) Perubahan alat cepat (mis., saluran pers otomatis)
2) Pekerja multi-keterampilan dengan pelatihan lintas fungsi dan
keamanan kerja
3) Tidak ada pemogokan buruh (misalnya, buruh yang tidak
memiliki serikat pekerja)
d. Kualitas yang dapat diandalkan (misalnya, prinsip tanpa cacat)
1) Kualitas di sumbernya (Jidoka) dengan jumlah pemasok yang
lebih sedikit dengan kontrak jangka panjang dan keterlibatan
pemasok awal dalam pengembangan produk baru
2) Manajemen kualitas total dan manajemen konsensus melalui
keterlibatan karyawan (Min, 2015)

43 | P a g e
4
Bab 6. Perencanaan Manajemen Transportasi

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahami konsep dasar transportasi.
2. Memahami peran transportasi dalam perekonomian nasional dan
rantai pasok.
3. Identifikasi masalah manajemen operator tertentu.
4. Memilih operator yang tepat (penyedia layanan transportasi) dan moda
transportasi yang tepat guna meminimalkan biaya dan paling
memenuhi kebutuhan dan persyaratan layanan pengirim di lingkungan
transportasi.
5. Memahami peran intermodalisme dalam kegiatan transportasi global.
6. Memanfaatkan berbagai alat dan perlengkapan teknologi untuk
meningkatkan produktivitas transportasi.
7. Memanfaatkan sistem manajemen transportasi untuk meningkatkan
produktivitas transportasi.
8. Memahami cara mengendalikan biaya transportasi melalui negosiasi
tarif pengiriman yang efektif dan efisien, manajemen hasil, dan
manajemen pendapatan

44 | P a g e
A. Pentingnya Transportasi dalam Rantai Pasok
Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, manusia mengkonsumsi
sumber daya. Sumber daya ini meliputi kebutuhan dasar sehari-hari seperti air,
makanan, dan pakaian. Sumber daya ini tidak dengan mudah diperoleh di permukaan
bumi, mereka perlu dipindahkan ke lokasi yang berbeda. Gerakan ini disebut
transportasi. Oleh karena itu, transportasi sangat penting untuk menopang kehidupan
manusia.
Dengan kata lain, transportasi memainkan peran penting dalam
menghubungkan satu sisi rantai pasok ke sisi lain dengan membawa sumber daya
vital ke seluruh rantai pasok. Mengingat pentingnya rantai pasok, transportasi harus
direncanakan, dikelola, dan dimanfaatkan dengan lebih baik oleh profesional rantai
pasok. Namun, transportasi menjadi lebih rumit seiring dengan perkembangan
manusia. Bagian dari kompleksitas transportasi berasal dari cakupan geografis yang
meningkat, pilihan moda yang beragam, perubahan peraturan transportasi, sumber
daya bahan bakar yang terbatas, dan berbagai pemangku kepentingan.
Berbicara tentang fungsi dasar transportasi, transportasi menciptakan utilitas
spasial (atau tempat) dengan mengurangi kesenjangan jarak antara pemasok,
produsen, dan konsumen. Misalnya, transportasi memungkinkan bahan mentah dan
suku cadang/komponen yang diperlukan untuk produksi dikirim ke lokasi produsen.
Demikian juga transportasi memungkinkan barang jadi yang dibuat oleh produsen
untuk dikirim ke lokasi konsumen. Dengan demikian, transportasi menciptakan nilai
dengan mengubah lokasi bahan mentah, suku cadang/komponen, dan barang jadi ke
tempat di mana mereka dibutuhkan atau dikonsumsi. Transportasi juga dapat
menciptakan utilitas temporal (waktu) dengan membuat sumber daya yang
dibutuhkan tersedia di lokasi yang sama pada waktu yang sama. Misalnya, perakitan
di fasilitas produksi membutuhkan berbagai suku cadang/komponen dan pekerja pada
saat yang bersamaan.
Transportasi memungkinkan mereka untuk tiba di lokasi produksi yang sama
pada waktu yang sama, sehingga menghindari penundaan produksi (pemborosan
waktu). Fungsi fundamental transportasi ini telah berkembang pesat dengan
perubahan bertahap dalam lingkungan bisnis dan filosofi manajemen selama
beberapa dekade terakhir. Perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:

45 | P a g e
1. Kemajuan teknologi informasi seperti sistem penentuan posisi
geografis (GPS), sistem pelacakan satelit, dan identifikasi frekuensi
radio (RFID) yang membantu melacak status pengiriman selama
transit
2. Intervensi pemerintah dalam praktik transportasi yang bertujuan
untuk mengontrol tingkat persaingan di pasar dan meningkatkan
keselamatan transportasi
3. Harga BBM yang tidak stabil, yang mengharuskan peningkatan
penggunaan bahan bakar alternatif
4. Globalisasi kegiatan bisnis yang meregangkan seluruh rantai pasok
dan kemudian membutuhkan transportasi antarmoda dengan
seringnya perpindahan moda
5. Layanan pengiriman tepat waktu (JIT), yang membutuhkan
transportasi yang lebih cepat dan tidak terputus dalam jangka
waktu pengiriman yang terbatas (Min, 2015)

Dalam pelaksanaannya, rantai pasok menggunakan kombinasi berbagai jenis


transportasi yaitu udara, kurir paket, truk, kereta, air, dan intermodal (gabungan
beberapa moda) (Ridwandono dan Hadiwiyanti (2018). Transportasi udara memiliki
biaya relatif tetap. Dimana biaya buruh dan bahan bakar bersifat independen dan tidak
dipengaruhi oleh jumlah penumpang atau jumlah kargo yang dibawa. Dengan
demikian, biaya lebih dipengaruhi oleh jarak tempuh. Barang yang berukuran kecil,
berharga dan penting, memerlukan tingkat kecepatan tinggi untuk didistribusikan
sangat tepat jika menggunakan moda transportasi ini. Paket kurir merupakan salah
satu pilihan jasa pengiriman. Biaya untuk menggunakan jasa ini cukup besar. Moda
ini diperuntukan ketika perusahaan hendak mengirimkan barang yang berharga, dan
harus sampai dengan segera.
Sarana transportasi berikutny adalah truk. Truk merupakan moda pengiriman
paling banyak digunakan. Terdapat dua metode pembiayaan ketika menggunakan
moda ini. Pertama, biaya dibebankan pada penggunaan truk secara menyeluruh (full
load), dan tidak bergantung atau terpengaruh dengan jumlah barang yang dikirim.
Model kedua, biaya dibebankan pada jumlah barang yang dikirim dan jarak tempuh.
Pengiriman barang dapat dilakukan walaupun muatan truk tidak sepenuhnya terisi.
Metode pembiayaan yang ke dua dapat optimal jika ada kerjasama dengan beberapa
titik pengambilan barang.
Moda kereta api sangat tepat untuk mendistribusikan barang yang berukuran
besar, berat dengan jarak yang jauh. Dari segi waktu, pemanfaatan kereta api untuk
mengirimkan barang memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, barang

46 | P a g e
yang dikirim sebaiknya yang memiliki sifat tidak terlalu "berharga" dan tidak
membutuhkan waktu pengiriman yang cepat.
Moda transportasi air memiliki cakupan yang terbatas jika dilihat dari cakupan
wilayahnya. Namun biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan barang dengan
menggunakan moda tranportasi ini sangat murah. Oleh karena itu, moda transportasi
ini tepat untuk mengirimkan barang dalam jumlah banyak dan berat. Keterbatasan
moda transportasi ini adalah waktu tempuh yang sangat lama.
Sementara tranportasi intermodal adalah penggunaan lebih dari satu buah
moda transportasi untuk mendistribusikan barang. Dalam perdagangan global, pilihan
untuk menggunakan berbagai macam moda transportasi tidak bisa dihindari. Terdapat
beberapa faktor yang perlu diperhatikan oleh pihak pengirim barang ketika memilih
moda transportasi, diantaranya adalah:
1. Biaya Transportasi merupakan total biaya yang harus dikeluarkan
untuk mendistribusikan barang.
2. Inventory Cost atau Biaya Penyimpanan merupakan biaya yang
dibutuhkan guna menyimpan barang yang akan dikirim. Biaya
penyimpanan dapat bersifat tetap atau fleksibel. Hal ini berkaitan
dengan kombinasi jaringan pengiriman yang akan digunakan.
3. Biaya Fasilitas merupakan biaya dari fasilitas-fasilitas yang dimiliki
oleh jasa pengirim (distributor).
4. Biaya Pemrosesan merupakan biaya yang dikeluarkan bongkar
muat barang.
5. Biaya tingkat layanan merupakan biaya yang mungkin muncul jika
target pengiriman tidak tercapai. (Ridwandono dan Hadiwiyanti,
2018)

Gambar 7. Moda Trasnportasi dalam Rantai Pasok

47 | P a g e
B. Sistem Manajemen Transportasi
Dengan meningkatnya biaya transportasi akibat harga bahan bakar yang tidak
stabil dan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi, ada kebutuhan yang berkembang untuk
merampingkan semua aspek operasi transportasi, mengidentifikasi peluang
penghematan biaya, dan meningkatkan visibilitas rantai pasok melalui perencanaan
transportasi yang transparan. Sistem manajemen transportasi (TMS) cocok untuk
kebutuhan seperti itu. Secara umum, sistem manajemen transportasi mengacu pada
aplikasi perangkat lunak yang membantu mengelola semua aspek kegiatan
transportasi masuk dan keluar termasuk pemrosesan pesanan, perencanaan muatan,
pemilihan operator, perutean/penjadwalan kendaraan, konsolidasi pengiriman,
manajemen klaim, pembayaran tagihan pengiriman, dan audit. Menanggapi
meningkatnya kompleksitas dan globalisasi kegiatan transportasi, TMS baru-baru ini
diperluas untuk menyertakan fitur tambahan yang dapat menangani manajemen aset
real time, manajemen untuk barang dalam jumlah yang besar atau banyak,
manajemen kejadian dengan pelacakan pengiriman, perkiraan permintaan
pengiriman, paletisasi, dokumentasi impor/ekspor, operasi multimodal, transportasi
bahan berbahaya, logistik terbalik, dan manajemen kinerja (misalnya, kontrol kualitas
layanan). Apabila dijalankan dengan benar, TMS membawa banyak manfaat
manajerial. Manfaat ini meliputi:
1. Penghematan biaya. Pengguna TMS melaporkan penghematan
biaya transportasi 5% -30% dan sekitar 80% dari pengguna
tersebut memiliki satu atau dua tahun periode pengembalian modal
(Conover, 2001).
2. Peningkatan kepuasan pelanggan melalui konfigurasi/penjadwalan
rute yang optimal, konfirmasi pengiriman, dan pemrosesan klaim
yang tepat waktu.
3. Peningkatan visibilitas rantai pasok melalui pelacakan pengiriman
bersifat real time dan pemberitahuan pengiriman lanjutan.
4. Mengurangi dokumen melalui otomatisasi (Min, 2015).

48 | P a g e
Bab 7. Seleksi Supplier dan Pengadaan

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Menjelaskan peran pemasok dalam rantai pasok
2. Mengidentifikasi kriteria pemilihan pemasok
3. Memahami prinsip-prinsip globalisasi dalam manajemen pengadaan

49 | P a g e
A. Peran Pemasok dalam Rantai Pasok
Gagasan tentang rantai pasok semakin penting dalam lingkungan bisnis
global. Keunggulan kompetitif dari rantai pasok sebagian besar tergantung pada
kolaborasi antara anggota rantai pasok, yang melakukan aktivitas rantai pasok
berbeda secara saling bergantung. Rantai pasok melibatkan beberapa anggota dan
bertanggung jawab untuk memastikan kelancaran arus barang atau jasa dari
pemasok ke pelanggan. Pemasok memainkan peran yang sangat penting dalam
rantai pasok hulu, karena pekerjaan mereka dapat mempengaruhi kinerja rantai pasok
secara keseluruhan. Gambaran umum manajemen rantai pasok dapat dilihat pada
Gambar 8. Di perusahaan logistik, peran manajer pembelian dan pemasok saling
terkait. Di masa lalu, pekerjaan manajer pembelian terutama untuk (1) merencanakan
dan melaksanakan persyaratan manufaktur, (2) mengevaluasi kualitas barang yang
disediakan oleh pemasok, (3) membeli persediaan dengan biaya pengiriman
terendah, dan (4) mengatur pengiriman barang gudang. Di era kontemporer, manajer
pembelian diharapkan untuk (1) melakukan penyisipan langsung ke dalam kebutuhan
fasilitas pemasok utama dengan keterampilan interpersonal, (2) memeriksa kekuatan
dan kelemahan pemasok yang saling melengkapi, (3) berinteraksi dengan pemasok
tentang desain dan produksi produk baru. dan (4) menggunakan informasi dalam
rantai pasok dan posisi keuangan pemasok yang berbeda untuk mengoptimalkan arus
kas dan pembiayaan untuk keseluruhan rantai pasok. Dengan demikian, manajemen
pengadaan berusaha untuk meningkatkan kualitas, mengurangi biaya dan
meningkatkan seluruh posisi kompetitif perusahaan melalui komitmen dan kompetensi
pemasok (Gomm, 2010).

Gambar 8. Ikhtisar Manajemen Rantai Pasok


Sumber: Lau, et. al. (2019)

50 | P a g e
B. Kriteria Pemilihan Pemasok
Pemilihan pemasok adalah proses yang rumit. Perusahaan perlu menentukan
kriteria pemilihan pemasok yang komprehensif sesuai dengan faktor kritis yang
berbeda, seperti tujuan bisnis dan sifat industri. Ketatnya persaingan di pasar global
dan lingkungan bisnis berubah dengan cepat, perusahaan menganggap proses
pemilihan pemasok sebagai bagian dari strategi manajemen rantai pasok. Namun,
dalam strategi manajemen rantai pasok, kepentingan pihak pemangku kepentingan
berbeda dalam rantai pasok harus disesuaikan karena strategi manajemen rantai
pasok tidak hanya mempertimbangkan bagian internal perusahaan, tetapi juga
hubungan eksternal perusahaan dengan pihak lain. Selain itu, keakuratan dan kualitas
informasi sulit dikendalikan. Oleh karena itu, pemilihan pemasok menjadi proses yang
strategis dan menantang dalam rantai pasok. Perusahaan harus membentuk
hubungan jangka panjang dengan pemasok pilihan yang bersedia berbagi informasi,
teknologi, dan saran (Tseng et al., 2009). Secara umum, proses pemilihan pemasok
memerlukan tujuh langkah kunci, sebagai berikut.
Langkah 1: Kenali kebutuhan akan pemilihan pemasok.
Langkah 2: mengidentifikasi persyaratan sumber utama.
Langkah 3: menentukan strategi sumber.
Langkah 4: mengidentifikasi sumber pasok potensial.
Langkah 5: batasi pemasok dari kumpulan pilihan.
Langkah 6: menentukan metode evaluasi dan pemilihan pemasok.
Langkah 7: pilih pemasok dan mencapai kesepakatan (Monczka et al.,
2005).

Kriteria pemilihan pemasok adalah standar yang digunakan oleh perusahaan


untuk mengevaluasi pemasok. Mereka cocok dengan tujuan dan sasaran bisnis
perusahaan dan menunjukkan harapan perusahaan dari pemasok. Jika perusahaan
dapat menetapkan kriteria yang jelas, kedua belah pihak akan memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang peran dan tanggung jawab mereka. Sangat mudah untuk
mengharapkan kinerja yang baik dari pemasok. Perusahaan dapat menetapkan
kriteria pemilihan pemasok mereka sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka, tetapi
tetap harus mengikuti arahan. Kriteria tersebut harus berguna untuk mengevaluasi
kapasitas pemasok (Nair et al., 2015). Ada kriteria umum yang digunakan oleh
sebagian besar industri, seperti lead time, bea cukai, hubungan kerja dan kinerja
pengurangan biaya (Kar dan Pani, 2014). Ini sama pentingnya dengan kriteria spesifik.

51 | P a g e
Semua kriteria dapat dibagi menjadi kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif. Sebelum
tahun 1990-an, perusahaan lebih menyukai kriteria kuantitatif (Kar dan Pani, 2014)
seperti harga dan ketersediaan ukuran lot. Namun, kriteria kualitatif, seperti
fleksibilitas dan keandalan, dapat mencerminkan nilai tinggi di pemasok
(Thiruchelvam dan Tookey, 2011). Selain itu, terdapat pemisahan kriteria pemilihan
pemasok operasional dan kriteria pemilihan pemasok strategis. Pertama berfokus
pada persyaratan biaya, pengiriman, fleksibilitas dan kualitas sumber. Terakhir
berkaitan dengan teknologi dan pengembangan produk yang dibawa oleh pemasok.
Mereka sangat terkait dengan kinerja operasional dan strategis pemasok, masing-
masing (Nair et al., 2015).
Menentukan kriteria pemilihan pemasok sangat penting dalam proses
pemilihan pemasok. Meskipun demikian, mungkin sulit jika perusahaan memiliki
banyak persyaratan bisnis. Beberapa kriteria tidak cocok dengan semua aturan. Tidak
mudah untuk menentukan kriteria secara manual ketika begitu banyak data yang
harus diproses (Thiruchelvam dan Tookey, 2011). Beberapa model yang disajikan
oleh peneliti dan akademisi dapat digunakan untuk membantu perusahaan memilih
kriteria pemilihan pemasok yang paling sesuai. Misalnya, analisis proses hierarki
(AHP) dapat digunakan untuk pembobotan kriteria untuk memilih yang paling penting,
dan analisis proses jaringan (ANP) menawarkan interaksi kriteria (Chang et al., 2011),
di mana kriteria tidak dianalisis secara terpisah. Ada juga model, yang disebut metode
uji coba dan evaluasi laboratorium pengambilan keputusan fuzzy (DEMATEL), yang
menunjukkan hubungan antara kriteria seleksi dan kinerja rantai pasok. Hal ini dapat
menentukan kriteria yang paling penting berdasarkan kriteria lain yang dapat
terpengaruh. Selain itu, dapat mengurangi kriteria untuk mencoba efektivitas evaluasi
menggunakan proses statistik (Chang et al., 2011). Terkadang, akan ada konflik
antara kriteria yang berbeda.

C. Memahami Globalisasi dalam Manajemen Pengadaan


Pada era globalisasi, jumlah blok perdagangan terus meningkat. Akibatnya,
perusahaan dapat memperoleh sumber secara global. Blok perdagangan ini bertujuan
untuk meningkatkan aktivitas perdagangan antar negara melalui beberapa kebijakan
yang disepakati bersama. Globalisasi ini juga sangat mempengaruhi manajemen

52 | P a g e
pengadaan. Salah satu blok ekonomi paling terkenal dan berpengaruh di dunia adalah
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).

53 | P a g e
Bab 8. Manajemen Warehousing

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Menjelaskan peran gudang dalam rantai pasok
2. Mendiskusikan berbagai aktivitas gudang
3. Memberikan gambaran tentang manajemen gudang

54 | P a g e
A. Peran Gudang dalam Rantai Pasok
Dalam mewujudkan manfaat strategis maksimum dari logistik, maka
manajemen logistik harus terintegrasi. Manajemen logistik terpadu harus mencakup
lima bidang fungsional pekerjaan logistik (lihat Gambar 9). Area fungsional ini terkait
dengan kemampuan untuk mencapai nilai logistik dari manajemen rantai pasok
terintegrasi. Urgensi utama dari proses pusat logistik (LC) dapat meningkatkan peran
proses gudang dalam outsourcing ketika perilaku pelanggan berubah. Kompleksitas
dan peluang untuk melakukan layanan logistik tambahan di luar jangkauan
pergudangan dan penyimpanan barang telah mendorong penciptaan bangunan
dengan fungsi yang berbeda. Oleh karena itu perlu ditentukan bangunan mana yang
merupakan bangunan gudang (WB), pusat pergudangan (WC) dan LC.

Gambar 9. Elemen-elemen Manajemen Logistik Terintegrasi


Sumber: Donald et al. (2010)

Karakteristik utama LC adalah objek terminal antar moda, meskipun ini bukan
satu-satunya fitur yang mengidentifikasi LC, WC, dan WB. Saat produk dan bahan
dibeli, aliran nilai tambah persediaan dimulai yang pada akhirnya menghasilkan
transfer kepemilikan produk jadi kepada pelanggan. Namun, dengan munculnya
globalisasi, mengurangi lead time membutuhkan perbaikan terus-menerus dari aliran
material di seluruh rantai pasok logistik. Ketersediaan informasi berbiaya rendah telah
menciptakan persaingan berbasis waktu. Manajer sering berbagi informasi untuk
meningkatkan kecepatan dan akurasi logistik rantai pasok. Peran gudang kurang

55 | P a g e
berpengaruh dibandingkan sebelumnya karena pemilihan just-in-time atau teknologi
baru lainnya yang sedang dikembangkan (Donald et al., 2010).

B. Aktivitas Gudang
Gudang merestrukturisasi dan mengemas ulang produk. Produk tiba dikemas
dalam ukuran besar dan dibungkus dalam ukuran yang lebih kecil. Dengan kata lain,
fungsi penting gudang adalah memecah sejumlah besar produk dan
mendistribusikannya kembali dalam porsi yang lebih kecil. Meskipun gudang dapat
bekerja pada tujuan yang sama sekali berbeda, sebagian besar menetapkan pola
standar aliran material yang sama. Sebagian besar, mereka menerima pengiriman
massal, membungkusnya untuk pengambilan cepat dan kemudian, sebagai
tanggapan atas permintaan pelanggan, mengambil dan menyortir SKU dan
mengirimkannya ke pembeli (Bartholdi dan Hackman, 2008). Pengambilan pesanan
adalah gerakan yang paling padat karya di sebagian besar gudang. Mengikuti
Bartholdi dan Hackman (2008), Min (2015) menggambarkan proses fisik dari aktivitas
gudang, termasuk proses masuk dan proses keluar. Proses fisik aktivitas gudang
ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 4.2 Proses Fisik Aktivitas Gudang


Sumber: Bartholdi dan Hackman (2008), Min (2015)

C. Manajemen Gudang
Sistem manajemen gudang (WMS) adalah mekanisme yang membantu
gudang menstandarisasi proses kerja dan prosedur kerja serta mendukung
penggunaan yang lebih baik. Menggunakan WMS membantu mengatur pemilihan
pesanan. Ada dua metode dasar untuk pemilihan pesanan: pemilihan diskrit dan
pemilihan waves, juga dikenal sebagai pemilihan batch (Lau, et. al., 2019). Dalam
pemilihan diskrit, pesanan pelanggan yang berbeda dipilih dan disiapkan untuk
pengiriman sebagai tugas kerja tertentu. Pemilihan pesanan diskrit sering digunakan

56 | P a g e
ketika isi pesanan dan pemilihan penanganan signifikan. Pemilihan waves dapat
dirancang dan dioperasionalkan dalam berbagai cara. Waves dapat dikoordinasikan
oleh area gudang di mana semua jumlah produk yang diperlukan untuk mencapai
semua pesanan pelanggan dipilih pada satu waktu. Pemilihan waves dapat
mendorong karyawan untuk menetapkan tanggung jawab atas bagian penting dari
gudang. Pemilihan waves di gudang tambahan dapat berkontribusi untuk
perencanaan di sekitar tujuan pengiriman atau pembawa tertentu (Donald et al.,
2010).

57 | P a g e
Bab 9. Manajemen Rantai Pasok Global

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Memahamai motivasi dibalik globalisasi kegiatan bisnis
2. Memahami dasar pemikiran dan prinsip-prinsip dasar gerakan
perdagangan bebas.
3. Menganalisis dampak pergerakan perdagangan bebas pada
manajemen rantai pasok global.
4. Memahami perbedaan antara manajemen rantai pasok domestik dan
manajemen rantai pasok global.
5. Mengenali manfaat manajerial dan tantangan potensial dari praktik
rantai pasok global.
6. Mengidentifikasi fasilitator dan penghambat praktik rantai pasok global.
7. Menyadari potensi risiko dalam manajemen rantai pasok global dan
belajar merumuskan strategi bisnis yang layak untuk membuat rantai
pasok global lebih tangguh.
8. Memahami perubahan dan transformasi yang diperlukan untuk
keberhasilan penerapan strategi rantai pasok global.

58 | P a g e
A. Dampak Gerakan Perdagangan Bebas pada Pengelolaan
Rantai Pasok Global
Globalisasi terus membentuk bisnis saat ini dengan menghadirkan tantangan
dan peluang rantai pasok yang tak terhitung jumlahnya. Tantangan tersebut termasuk
meningkatnya kompleksitas dan ketidakpastian yang diciptakan oleh berbagai budaya
nasional/organisasi, kondisi sosial ekonomi, kebijakan nasional, fluktuasi mata uang,
protokol komunikasi, standar kualitas, praktik teknis/etika/hukum, dan kebiasaan
bisnis. Misalnya, lingkungan bisnis yang baik di Jepang mungkin tidak berfungsi sama
sekali di Inggris karena perbedaan gaya manajemen dan aturan tenaga kerja. Hal ini
juga akan terjadi ketika menerapkan standar kualitas tinggi pada pengaturan
organisasi di negara-negara berkembang seperti Cina dapat menjadi tugas yang jauh
lebih menakutkan daripada melakukannya di negara-negara maju seperti Kanada dan
Jerman. Di sisi lain, globalisasi menimbulkan banyak peluang bisnis dengan
memperluas basis pelanggan dan pemasok perusahaan multinasional. Misalnya,
banyak perusahaan AS secara aktif mencari bahan, suku cadang, dan komponen
mereka dari pemasok luar negeri yang memiliki akses ke tenaga kerja murah,
dukungan pemerintah yang lebih kuat, dan standar lingkungan yang tidak terlalu ketat.
Selain itu, kehadiran perusahaan yang meningkat di pasar dunia akan
membantunya meningkatkan pengenalan mereknya dan selanjutnya memperkuat
basis pelanggannya (Min, 2009). Mencerminkan tren globalisasi saat ini, ekspor
barang dagangan dunia tumbuh sebesar 3,5% pada tahun 2005 hingga 2012 (World
Trade Organization, 2013). Faktanya, volume perdagangan internasional telah
tumbuh pada tingkat rata-rata 6%, yang menggandakan tingkat pertumbuhan 2,9%
dari output dunia dari tahun 1985 hingga 2008 (Loser, 2009). Memang, antara tahun
1948 dan 2010, rata-rata perdagangan internasional meningkat lebih dari dua kali lipat
(UNCTADSTAT, 2010).
Pesatnya pertumbuhan perdagangan internasional telah didorong oleh
peningkatan peluang untuk pengurangan biaya, pembagian risiko, skala ekonomi,
perluasan pasar, rekrutmen bakat baru, branding global, dan transfer pengetahuan.
Banyak negara terlibat dalam perdagangan internasional untuk mendapatkan
keuntungan sebagai berikut:
1. Keuntungan mutlak

59 | P a g e
2. Keunggulan komparatif
3. Keuntungan penggerak pertama
Keuntungan sebelumnya tidak dapat sepenuhnya dieksploitasi tanpa gerakan
perdagangan bebas, yang merupakan katalis utama untuk pertumbuhan
berkelanjutan dalam perdagangan internasional. Dengan demikian, pergerakan
perdagangan bebas tidak terlepas dari globalisasi kegiatan bisnis dan perdagangan
internasional. Pergerakan perdagangan bebas adalah kebijakan pemerintah yang
bertujuan untuk meminimalkan campur tangan pemerintah dalam transaksi bisnis
internasional (seperti perdagangan lintas batas) dengan berupaya menghilangkan
hambatan perdagangan, termasuk tarif, kuota, dan ketimpangan. Meskipun akar
pergerakan perdagangan bebas sudah ada sejak era Victoria abad ke-19, gagasan
untuk mendorong arus bebas barang antar negara diprakarsai oleh sebuah konferensi
di Jenewa, Swiss pada tahun 1947. Konferensi ini menjadi landasan bagi
Kesepakatan Umum tentang Tariffs and Trade (GATT), yang memicu serangkaian
pergerakan perdagangan bebas di seluruh dunia, seperti European Free Trade
Association (EFTA) pada tahun 1958 dan Uruguay Round pada tahun 1993.
GATT adalah perjanjian (seperangkat aturan) yang dibuat pada akhir Perang
Dunia II untuk segera pulih dari kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh perang.
GATT tetap menjadi salah satu fitur utama dari perjanjian perdagangan bebas
internasional sampai digantikan oleh pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) oleh mantan anggota GATT pada 1 Januari 1995
(http://www.investopedia.com/terms/g /gatt.asp dalam Min, 2015). Tujuan utamanya
adalah untuk mendorong negara-negara untuk berhenti mengenakan tarif pada
barang-barang asing dan untuk menghindari mempersiapkan spesifikasi teknis
(misalnya, kuota dan subsidi) yang menciptakan hambatan perdagangan
internasional. GATT bekerja di bawah tiga prinsip
(http://www.worldtradelaw.net/uragreements/gatt.pdf dalam Min, 2015):
1. Timbal Balik—Jika satu negara menurunkan tarifnya terhadap
ekspor negara lain, negara tersebut dapat mengharapkan negara
lain melakukan hal yang sama.
2. Nondiskriminasi—Satu negara tidak boleh memberikan satu
anggota (atau kelompok anggota) perlakuan istimewa atas anggota
kelompok lainnya.
3. Transparansi—GATT mendorong negara-negara untuk
menghindari hambatan non-tarif yang “ambigu”, menyederhanakan

60 | P a g e
prosedur dokumentasi perdagangan, dan mengurangi subsidi
pemerintah untuk ekspor.

B. Strategi Penetrasi Pasar Global Perusahaan Multinasional


Dengan meluasnya pergerakan perdagangan bebas di seluruh dunia,
sebagian besar perekonomian semakin terbuka bagi investor asing. Misalnya, dalam
ekonomi dunia terbuka ini, AS menginvestasikan sekitar $3 triliun di tanah asing
selama lima decade terakhir untuk merebut pasar luar negeri
(http://en.wikipedia.org/wiki/Foreign_direct_investment dalam Min, 2015). Investasi
asing langsung (FDI) adalah strategi bisnis yang layak bagi banyak perusahaan
multinasional (MNF), yang ingin meningkatkan basis pelanggan mereka, menciptakan
skala ekonomi global, menyebarkan risiko bisnis mereka, dan membangun merek
mereka di pasar global yang baru muncul. Terlepas dari berbagai keuntungan,
keputusan FDI dapat menjadi bumerang tanpa perumusan strategi penetrasi pasar
luar negeri yang cermat. Contohnya, lebih dari seperempat arus masuk FDI berlisensi
ke Vietnam ternyata gagal sebagian karena infrastruktur yang buruk, kurangnya
tenaga kerja terampil, standar kualitas yang lemah, dan ekonomi yang dikendalikan
pemerintah (Kokko et al., 2003).
Pada umumnya strategi masuk pasar asing memerlukan serangkaian langkah
pengambilan keputusan yang akan membantu MNF membawa kesuksesan di pasar
global yang tidak dikenal selama tiga sampai lima tahun perencanaan (Root, 1994
dalam Min, 2015) yaitu:
1. Menilai pasar luar negeri dan menentukan kesesuaian produk di
pasar tersebut
2. Memilih pasar luar negeri untuk ditargetkan dan
mengembangkan/menyesuaikan produk yang cocok untuk pasar
sasaran tersebut
3. Menetapkan tujuan dan sasaran bisnis di pasar tersebut
4. Memilih mode masuk pasar yang tepat di antara opsi yang tersedia,
seperti mengekspor, ventura bersama, mendirikan anak
perusahaan, dan lisensi
5. Merancang rencana pemasaran khusus tentang penetapan harga,
penjualan dan promosi, distribusi, dan tindak lanjut pasca-
penjualan
6. Mengontrol dan memantau kinerja pasar
7. Menyesuaikan dan merevisi strategi penetrasi pasar

61 | P a g e
C. Aliansi Strategis di antara Perusahaan Multinasional
Mempertimbangkan kompleksitas dan ketidakpastian yang terlibat dalam
operasi rantai pasok global, semakin banyak MNF mencari kemitraan bisnis potensial
dengan usaha bisnis asing. Kegiatan ini diharapkan mengurangi risiko bisnis dan
beban keuangan yang terkait dengan kegiatan bisnis global. Kemitraan semacam itu
sering disebut sebagai aliansi strategis global. Sederhananya, aliansi strategis global
adalah koalisi internasional antara dua atau lebih MNF yang mengejar serangkaian
tujuan yang disepakati dengan memanfaatkan kekuatan mitra dan melengkapi
sumber daya yang diberikan mitra di pasar global yang ditargetkan. Ciri khas aliansi
strategis global adalah sebagai berikut (Hergert dan Morris, 1988 dalam Min, 2015):
1. Semua MNF yang bermitra tetap independen.
2. Semua MNF yang bermitra berbagi manfaat dari hubungan sekutu.
3. Semua MNF yang bermitra berkontribusi secara berkelanjutan
dalam satu atau lebih bidang strategis utama, seperti teknologi,
produk, saluran distribusi, kekayaan intelektual, keahlian, peralatan
modal, dan dana.

Berikut ini adalah beberapa faktor pendorong untuk masuk ke dalam aliansi
strategis global:
1. Mendapatkan akses ke basis pelanggan baru di pasar luar negeri
yang ditargetkan
2. Memanfaatkan personel atau jaringan logistik yang ada untuk
menjangkau basis pemasok baru
3. Menghindari hambatan perdagangan dan non-perdagangan untuk
memasuki pasar luar negeri yang ditimbulkan oleh kendala hukum,
peraturan, dan politik
4. Diversifikasi lini produk yang disesuaikan dengan pelanggan asing
5. Mengubah basis teknologi persaingan global
6. Mempercepat laju penelitian dan pengembangan (R&D) dengan
bantuan mitra bisnis asing
7. Mengumpulkan sumber daya mengingat pengeluaran besar yang
diperlukan di pasar global yang diperluas
8. Mempelajari teknologi dan keterampilan baru serta memperoleh
pengetahuan dari mitra bisnis asing
9. Menambah kredibilitas pada produk/layanan baru yang akan
diperkenalkan di pasar luar negeri melalui peningkatan citra merek
10. Mengurangi berbagai risiko yang terkait dengan praktik bisnis dan
investasi di wilayah asing yang tidak dikenal (Min, 2015).

62 | P a g e
D. Tren Pengalihdayaan Global
Dengan berfokus pada kompetensi inti dan meningkatkan keunggulan
kompetitif di pasar global yang berubah dengan cepat, semakin banyak MNF yang
mencari peluang outsourcing global. Peluang-peluang ini memungkinkan MNF untuk
lebih memanfaatkan sumber dayanya yang terbatas untuk melakukan yang terbaik
daripada mengalihkan upayanya ke kegiatan bisnis yang dapat dilakukan oleh pihak
lain di luar negeri dengan lebih efisien. Umumnya, outsourcing global adalah tindakan
memindahkan fungsi bisnis internal perusahaan dan tanggung jawab keputusan ke
produsen luar dan penyedia layanan di luar negeri. Dengan kata lain, ini adalah cara
untuk meningkatkan fleksibilitas perusahaan dengan mensubkontrakkan tugas-tugas
bisnis non-inti kepada pihak luar. Dicontohkan disini, Ely Lilly, pembuat obat besar di
AS, pernah memangkas biaya R&D $1,1 miliar menjadi $800 juta dengan
mensubkontrakkan eksperimen laboratorium kimianya ke Chem-Explorer Company di
Cina. Demikian juga, sebuah perusahaan truk Penske mensubkontrakkan operasi
back-office yang melibatkan pencatatan log pengemudi, penagihan, penjadwalan,
pembuatan faktur, dan pembelian bahan bakar ke pemasok India dan Meksiko dan
menghemat biaya tenaga kerja langsung sebesar $15 juta. Berdasarkan ilustrasi
contoh-contoh tersebut, outsourcing global dapat membawa sejumlah manfaat
manajerial, termasuk hal berikut:
1. Mengurangi risiko bisnis dengan menyerahkannya kepada
subkontraktor
2. Meningkatkan efisiensi operasional dengan total biaya yang lebih
rendah melalui pengurangan investasi pada aset nonkritis
3. Meningkatkan kecepatan memasuki pasar melalui kerja sama
dengan subkontraktor dengan keahlian dan kapasitas untuk
membawa produk dan layanan baru ke pasar lebih cepat
4. Meningkatkan penjualan dan peluang promosi bagi perusahaan
yang memasuki pasar asing baru dengan bantuan subkontraktor
berpengalaman yang telah memantapkan dirinya di pasar tersebut
5. Memungkinkan perusahaan untuk fokus pada kompetensi inti dan
membangun keterampilan kelas dunia yang terfokus yang dapat
secara langsung menambah nilai bagi pelanggan asing (Min,
2015).

E. Mengelola Saluran Distribusi Internasional


Saluran distribusi mewakili "Tempat" di Empat P dari bauran pemasaran.
Dengan kata lain, saluran distribusi menciptakan utilitas tempat dengan memiliki

63 | P a g e
produk di mana pelanggan menginginkannya dan ketika pelanggan menginginkannya.
Mengingat jarak yang jauh yang harus ditempuh produk dalam perdagangan
internasional, pemilihan saluran distribusi tertentu memiliki dampak jangka panjang
pada keberhasilan MNF di pasar luar negeri. Oleh karena itu, saluran distribusi yang
tepat harus direncanakan, dikembangkan, dan dikelola dengan hati-hati dalam
operasi rantai pasok global. Dapat dikatakan bahwa saluran distribusi adalah cara
membawa produk perusahaan ke pasar baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui perantara. Saluran distribusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:
1. Saluran distribusi langsung—Sebuah perusahaan menjual
produknya langsung ke pelanggan tanpa melibatkan perantara.
Contohnya meliputi penjualan katalog melalui mail order, penjualan
online melalui internet, penjualan door-to-door melalui agen
penjual, dan penjualan di mall factory outlet. Saluran ini lebih murah
karena menghindari markup perantara pada produk, tetapi tidak
dapat menciptakan skala ekonomi karena terbatasnya volume
penjualan ke setiap pelanggan.
2. Saluran distribusi tidak langsung—Memanfaatkan berbagai
perantara seperti distributor, grosir, pialang, dealer, perusahaan
perdagangan ekspor, penyedia logistik pihak ketiga, dan pengecer.
Saluran ini memungkinkan produsen untuk fokus pada produksi
barang, meskipun kehilangan kendali atas penjualan dan distribusi.
Selain itu, saluran ini dapat menciptakan efek bullwhip yang tidak
diinginkan dan memperpanjang waktu respons pasar perusahaan.
3. Saluran distribusi hibrid—Menggunakan beberapa saluran untuk
menjual produk perusahaan ke basis pelanggan yang lebih luas
dan dengan demikian meningkatkan aliran pendapatan potensial.
Misalnya, Starbucks menjual kopinya di toko waralaba dan toko
kelontongnya sambil juga menjual kopinya melalui surat langsung.
Demikian juga, Walmart menjual produknya di toko ritel di seluruh
dunia sambil juga menjual produknya di Internet (Min, 2015).

Selain ketiga hal ini, mungkin ada pasar abu-abu dalam pengaturan
internasional di mana produk dijual di luar saluran distribusi normal (yang resmi atau
dimaksudkan semula) ketika harga suatu produk di satu negara secara signifikan lebih
tinggi daripada satu di negara lain. Tidak seperti pasar gelap, pasar abu-abu masih
dianggap legal. Misalnya, pengecer asing mungkin dapat memperoleh alas kaki Nike
asli di Malaysia dengan setengah harga satuan alas kaki yang sama di Afrika Selatan;
pengecer kemudian dapat mengimpor barang dagangan ini dan menjualnya untuk
mendapatkan keuntungan di pasar lokal Afrika Selatan, sehingga melemahkan
pengecer lokal. Terlepas dari itu, praktik ini masih legal di Afrika Selatan (Buys, 2009).

64 | P a g e
Di antara beberapa pilihan saluran distribusi internasional yang berbeda, MNF harus
memilih saluran yang paling tepat berdasarkan kriteria keputusan berikut:
1. Strategi pemasaran—Jika MNF membutuhkan daya tarik
pelanggan massal dan penetrasi pasar yang cepat, MNF dapat
memilih saluran tidak langsung yang memanfaatkan distribusi yang
ada di pasar sasaran.
2. Jenis produk—Penjualan produk yang mudah rusak atau barang
yang tidak tahan lama dengan masa pakai produk yang terbatas
memerlukan tanggapan pelanggan yang lebih cepat dan dengan
demikian saluran distribusi langsung mungkin masuk akal.
3. Lokasi pasar—Banyak negara asing memiliki praktik distribusi unik
mereka sendiri dan oleh karena itu dapat membatasi ketersediaan
saluran distribusi tertentu. Misalnya, di Jepang, di mana praktik
distribusinya secara tradisional dilakukan oleh pedagang grosir,
MNF mungkin tidak punya pilihan selain mengandalkan saluran
distribusi tidak langsung.
4. Kebiasaan membeli pelanggan—Jika mayoritas pelanggan lokal di
negara target cenderung menggunakan Internet untuk membeli
produk, saluran distribusi langsung mungkin merupakan cara yang
efektif untuk menembus pasar tersebut. Di sisi lain, jika pelanggan
lokal lebih suka berbelanja di struktur ritel fisik, saluran distribusi
tidak langsung mungkin menjadi pilihan yang lebih menarik untuk
target pasar tersebut.
5. Pengalaman bertahun-tahun dalam operasi rantai pasok asing—
Kecuali MNF telah memperoleh banyak pengalaman penjualan dan
pemasaran di pasar luar negeri sasaran, saluran distribusi tidak
langsung mungkin lebih cocok untuk MNF yang mencoba
memasuki pasar baru (Min, 2015).

F. Countertrade
Countertrade adalah bentuk transaksi internasional antara dua negara yang
melibatkan pertukaran barang atau jasa untuk barang atau jasa lain daripada untuk
mata uang keras (Min, 2015). Dengan demikian, countertrade tidak terpengaruh oleh
fluktuasi nilai tukar mata uang asing sambil mengurangi ketidakseimbangan
perdagangan melalui transaksi timbal balik. Countertrade relatif umum dalam
perdagangan dengan atau antara negara-negara miskin uang dengan krisis utang,
seperti Rusia dan Filipina. Rusia pernah menukar minyaknya dengan mobil negara
lain. Demikian pula, India dan Irak menyetujui minyak Irak untuk gandum dan beras
India kesepakatan pada tahun 2000. Dengan beberapa perkiraan, countertrade
menyumbang 20%-25% dari volume perdagangan dunia (Campbell, 2004). Alasan

65 | P a g e
umum countertrade termasuk sebagai berikut (Elderkin dan Norquist, 1987 dalam Min,
2015):
1. Memperluas atau mempertahankan pasar luar negeri
2. Meningkatkan penjualan di pasar luar negeri dengan mengem-
bangkan pasar luar negeri baru
3. Menghindari masalah likuiditas
4. Memulangkan dana yang diblokir
5. Membersihkan utang macet
6. Mendapatkan teknologi baru dari negara asing
7. Menjauhkan dari kehilangan pasar karena pesaing
8. Mendapatkan kontrak asing untuk penjualan di masa mendatang
9. Menemukan sumber pembelian berbiaya lebih rendah

Countertrade dapat membatasi fleksibilitas negosiasi perdagangan dan


meningkatkan biaya transaksi (misalnya, bea masuk tambahan, biaya perantara) yang
dihasilkan dari perjanjian perdagangan bilateral. Countertrade memiliki lebih dari
beberapa varian, termasuk:
1. Counter-purchase—merupakan bentuk countertrade yang paling umum, di mana
eksportir berjanji untuk membeli barang atau jasa dari importir yang nilainya sama
dengan persentase yang telah ditentukan dari pengaturan penjualan (kontrak).
Counter-purchase dianggap sebagai jenis countertrade yang lebih baik karena
memberikan imbalan kepada eksportir dengan pembayaran segera untuk barang
yang dikirim dan memberi eksportir lebih banyak waktu untuk menemukan produk
yang sesuai untuk memenuhi pengaturan pembelian (Procknow, 2010). Misalnya,
PepsiCo setuju untuk menjual konsentrat colanya ke Rusia, di mana ia akan
dikemas dan dijual. Gantinya, PepsiCo memperoleh hak eksklusif untuk
mengekspor vodka Rusia untuk dijual di negara lain (Ball et al., 2010).
2. Barter—Barter adalah bentuk countertrade yang paling sederhana dan paling
kuno, yang melibatkan pertukaran langsung barang atau jasa dengan barang atau
jasa lain tanpa menggunakan uang. Salah satu kesepakatan barter terbesar
sampai saat ini melibatkan kesepakatan Occidental Petroleum Corporation untuk
mengirimkan asam sulfat ke bekas Uni Soviet untuk amonia urea dan kalium
dengan kesepakatan dua tahun senilai 18 miliar euro (http://en.wikipedia.org/wiki/
Kontra_perdagangan dalam Min, 2015).
3. Switch trading—Switch trading dapat terjadi ketika produk yang diterima melalui
countertrade memiliki nilai pasar yang kecil atau tidak ada sama sekali bagi

66 | P a g e
eksportir atau tidak dapat dikonversi ke secara tunai seketika. Dengan
memanfaatkan produk impor yang nilai pasarnya sedikit atau tidak ada sama
sekali di negara pengekspor, eksportir mendatangkan pihak ketiga yang akan
menjual produk ini di negaranya sendiri atau negara lain untuk mendapatkan uang
tunai.
4. Pembelian kembali (perdagangan kompensasi)—Dalam perdagangan pembelian
kembali, importir yang membeli teknologi, peralatan, dan pabrik manufaktur
eksportir membayar kembali eksportir dengan mengirimkan sebagian dari output
yang dihasilkan oleh teknologi, peralatan, dan pabrik tersebut.
5. Offset—Offset adalah bentuk umum dari countertrade dalam industri pertahanan.
Dalam offset, importir mengharuskan eksportir untuk membeli sebagian dari
bahan, suku cadang, komponen, atau subassemblies produk impor di negara
importir. Offset seringkali bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan.
Misalnya, McDonnell Douglas pernah menjual pesawat jet MD-82-nya ke China
dengan perjanjian bahwa mereka akan mensubkontrakkan pembuatan
komponennya (misalnya, pintu roda pendarat) ke Shanghai Aviation International
Corp (Alex dan Bowers, 1988).

G. Transfer Pricing
Transfer pricing mengacu pada pengaturan tingkat harga di mana perusahaan
induk “menjual” outputnya (misalnya, barang, jasa, tenaga kerja, atau kekayaan
intelektual) kepada anak perusahaannya di negara lain untuk menghindari tarif tinggi
dan memanfaatkan perbedaan pajak, alasannya adalah bahwa perusahaan induk di
negara dengan pajak tinggi dapat mengurangi nilai pasar dari keuntungannya dengan
menjual outputnya ke anak perusahaannya di negara dengan pajak rendah, sambil
menggelembungkan harga untuk anak perusahaannya di negara dengan pajak
rendah. Perusahaan multinasional dapat mengeksploitasi harga transfer karena
perjanjian pajak bilateral, yang mencoba untuk mengenakan pajak semua pendapatan
(atau laba) perusahaan multinasional sekali dan hanya sekali. Sebagai contoh,
anggaplah sebuah perusahaan AS, yang memiliki kapasitas produksi, memiliki anak
perusahaan asing di Swiss, yang tidak memiliki kapasitas produksi, tetapi memiliki
fungsi penjualan dan pemasaran asing. Perusahaan AS ini dengan tarif pajak

67 | P a g e
perusahaan sebesar 40% di wilayah AS dapat mengurangi pajaknya di seluruh dunia
dengan menggunakan strategi penetapan harga transfer untuk penjualan
terkontrolnya ke anak perusahaan asingnya di Swiss di mana tarif pajak luar negeri
yang berlaku hanya 18%. Dalam skenario ini, perusahaan ini membayar pajak
perusahaan $36.000 (yaitu, $200.000 0,18), bukan $80.000 (atau $200.000 0,40).
Dengan demikian, ia menghemat $ 44.000, kecuali jika itu membawa kembali
keuntungan asingnya ke AS.

H. Negosiasi Lintas Budaya


Salah satu sentuhan akhir perdagangan internasional adalah negosiasi
kontrak antara importir dan eksportir. Perbedaan negara dari kedua pihak ini, yang
mungkin berasal dari budaya yang berbeda, negosiasi di antara mereka bisa lebih
rumit, memakan waktu, dan menantang daripada negosiasi kontrak biasa antara
orang-orang dari bangsa dan budaya yang sama. Misalnya, proses negosiasi
biasanya memakan waktu lebih lama dan lebih rumit di beberapa negara Asia Timur
Jauh seperti Cina, Jepang, dan Korea karena orang Asia Timur Jauh lebih memilih
untuk memelihara hubungan pribadi yang dekat sebelum terjun ke bisnis. Jika seorang
pengusaha Amerika yang tidak menyadari kecenderungan tersebut mulai
menggunakan nama depan mitra bisnis asingnya dan mengutip harga pada
pertemuan pertama, perilakunya akan dianggap tidak sopan dan dengan demikian
kemungkinan akan merusak bisnis yang sebenarnya, transaksi. Dengan demikian,
negosiasi internasional (atau lintas budaya) membutuhkan keterampilan,
kebijaksanaan, diplomasi, dan kesabaran tingkat tinggi.
Negosiasi lintas budaya adalah proses komunikasi bolak-balik di mana
setidaknya dua mitra dari bangsa yang berbeda dengan kebutuhan, pemikiran,
perilaku, dan sudut pandang yang berbeda harus mencapai kesepakatan tentang hal-
hal yang menjadi kepentingan bersama. Selain potensi bentrokan budaya, seorang
negosiator internasional harus menyadari sejumlah faktor rumit yang dapat
mempengaruhi hasil akhir negosiasi. Beberapa faktor tersebut antara lain perbedaan
ideologi, undang-undang dan peraturan asing, birokrasi pemerintah asing, protokol
bisnis (misalnya, dress code, etiket), lingkungan politik dan ekonomi, gaya komunikasi
(misalnya, nuansa bahasa, gerak tubuh) dan gaya pengambilan keputusan. misalnya,

68 | P a g e
top-down, bottom-round). Mempertimbangkan kompleksitas dan kehalusan negosiasi
lintas budaya, seorang negosiator harus melakukan banyak kerja keras sebelum
datang ke meja negosiasi dengan mitra asing. Dasar ini mungkin memerlukan
langkah-langkah berikut:
1. Akulturasi—merupakan proses di mana satu kelompok belajar dan beradaptasi
dengan budaya, perilaku, kepercayaan, sifat, dan nilai-nilai kelompok lain
(Kottack, 2005). Dengan demikian, akulturasi adalah langkah pertama dalam
mengurangi kesenjangan budaya antara negosiator dari budaya yang berbeda
dan selanjutnya membantu meminimalkan perbedaan dalam negosiasi. Meskipun
beberapa negosiator mungkin bertanya-tanya mengapa mereka harus
beradaptasi dengan budaya orang lain daripada membiarkan orang lain
melakukan adaptasi, keengganan terhadap akulturasi jarang berkontribusi pada
keberhasilan negosiasi lintas budaya. Faktanya, Min dan Galle (1993) dalam Min
(2015) menemukan bahwa kegagalan untuk mengkompromikan perbedaan
budaya adalah salah satu dari tiga alasan utama untuk negosiasi internasional
yang tidak efektif. Kublin (1995) juga mengamati bahwa budaya memainkan peran
penting dalam negosiasi internasional.
2. Kompetensi—Sekali seorang negosiator memiliki kesempatan untuk
meningkatkan IQ budayanya melalui akulturasi, langkah selanjutnya yang harus
dilakukan adalah meningkatkan kompetensinya dalam negosiasi internasional di
negara tertentu. Proses ini mencakup pengembangan pengetahuan yang cukup
tentang ekonomi, politik, hukum, dan aturan negara tuan rumah, bersama dengan
profil spesifik (otoritas pengambil keputusan, peran, kepribadian, pengalaman,
gaya negosiasi) dari seorang negosiator asing. Pada dasarnya, proses ini
melibatkan pencarian fakta dan pembelajaran.
3. Strategi—Pada tahap persiapan akhir, seorang negosiator harus merumuskan
strategi negosiasi khusus yang disesuaikan untuk negosiator asing tertentu di
negara tertentu. Strategi ini harus diselaraskan dengan agenda negosiasi tertentu
(misalnya, harga, kualitas, persyaratan pengiriman, layanan, penyelesaian klaim),
kecepatan negosiasi, komposisi tim negosiasi, media komunikasi, potensi
penggunaan agen/penerjemah, tingkat kebutuhan sosialisasi (hubungan pribadi),
penawaran awal dan hasil akhir yang diharapkan, dan tindak lanjut.

69 | P a g e
Bab 10. Green Supply Chain

Tujuan pembelajaran

Setelah membaca bab ini, mahasiswa dapat:


1. Mengetahui konsep dan terminologi dasar untuk penerapan
keseluruhan upaya penghijauan perusahaan dan pengelolaan
lingkungan
2. Mengetahui gambaran umum dari beberapa masalah lingkungan
yang dihadapi oleh organisasi dan, masyarakat dan lingkungan alam.
3. Memberikan gambaran umum dan definisi rantai pasok hijau
4. Memahami praktek Green Supply Chain Management (GSCM)
5. Mengetahui dan memahami penggerak dan hambatan GSCM

70 | P a g e
A. KONSEP DASAR MANAJEMEN RANTAI PASOK HIJAU

Perdagangan dan industri telah mengalami perubahan substansial selama


beberapa dekade terakhir. Inti dari perubahan evolusioner dan revolusioner ini adalah
kekuatan politik, sosial, teknologi, pasar, dan ekonomi yang telah menyebabkan
organisasi mempertimbangkan secara serius dampaknya terhadap lingkungan.
Berbagai kekuatan telah memuncak dalam minat yang lebih besar dalam penghijauan
dan keberlanjutan. Kekuatan tersebut sebagaimana disampaikan oleh Sarkis dan Dou
(2018) sebagai berikut:
1. Kekuatan pertama adalah bahwa ilmu tentang kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh industri telah meningkat. Dalam
situasi ini, mengabaikan temuan faktual dan konsensus dalam
sains sulit untuk diabaikan. Ilmu perubahan iklim, pestisida dan
pengganggu endokrin, gas perusak ozon, dan sejumlah masalah
lingkungan lainnya dapat ditelusuri ke praktik, proses, dan produk
dari industri.
2. Kedua, komunikasi lebih mudah dari sebelumnya, dan, lebih cepat
dan lebih mudah daripada sebelumnya, perusahaan dapat
berkomunikasi dengan pemegang saham, karyawan, dan pesaing
mereka. Konsumen dan masyarakat serta pemangku kepentingan
lainnya yang dipengaruhi oleh aktivitas industri dan perusahaan
dapat memperoleh informasi lebih cepat. Munculnya Internet dan
berita serta pelaporan dari menit ke menit semuanya berkontribusi
pada komunikasi yang terus-menerus dan mendalam. Berbagi
informasi ini menjadi lebih mudah dari sebelumnya. Organisasi
yang berusaha membatasi risiko citra dan reputasi mereka sangat
memperhatikan komunikasi yang ada di mana-mana ini terkait
dengan masalah lingkungan.
3. Ketiga, perubahan lebih cepat. Teknologi baru dan perubahan
budaya selalu terjadi. Namun kini, kekhawatiran yang dulunya
dipandang dari sisi lingkungan, seperti yang akan terjadi puluhan
tahun dari sekarang, mulai muncul. Rekor volatilitas dalam kondisi
cuaca, pemanasan pada tingkat yang secara historis meningkat
dan lebih tinggi dari sebelumnya, dan pencairan es kutub adalah
kekhawatiran yang diperkirakan akan terjadi dalam jangka panjang
di masa depan. Secara industri, globalisasi telah umum dalam
perdagangan dan industri; sehingga perubahan di satu bidang
dapat dengan mudah menembus dunia. Ini termasuk praktik
pengaturan lingkungan.
4. Keempat, biayanya lebih tinggi dan dampaknya lebih besar
dibandingkan pada masa lalu. Ketika populasi dunia dan
kemakmuran meningkat, perkembangan lebih lanjut berarti nilai
antroposentris tambahan dipertaruhkan. Krisis dan malapetaka
terkait lingkungan dapat berarti dampak yang meningkat karena
semakin banyak orang yang terkena dampak dan semakin besar

71 | P a g e
nilai properti yang hilang. Wilayah pantai di dunia menjadi properti
yang paling berharga. Daerah-daerah tersebut sangat rentan
terhadap perubahan cuaca, perubahan permukaam air laut, dan
pencemaran akibat rentannya DAS. Jika kerusakan lingkungan
disebabkan oleh kecelakaan lingkungan industri, populasi yang
terintegrasi dan terkonsentrasi di suatu wilayah dapat sangat
terpengaruh. Sumber mata pencaharian bisa terganggu. Di negara-
negara berkembang, di mana pertumbuhan berada pada tingkat
yang bersejarah—jenis pertumbuhan ekonomi seperti ini belum
pernah terjadi secara global sebelumnya—dan di mana peraturan
serta praktik kebersihan dan lingkungan industri lemah, tanah dan
sungai yang tercemar dapat menyebabkan sebagian besar kota
tutup.

Pada akhirnya, para pemangku kepentingan memiliki suara yang lebih keras.
Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pemangku kepentingan
nonfidusia lainnya dapat secara instan menyampaikan pesan mereka ke seluruh
dunia. Mengingat bahwa komunikasi dan transfer pengetahuan telah menjadi lebih
mudah dan lebih mudah diakses daripada sebelumnya dalam sejarah manusia,
sistem yang sama dapat terbukti berharga bagi mereka yang sebelumnya memiliki
suara terbatas. Saluran utama informasi dan pesan ini terdiri dari berbagai media
sosial. Di banyak tempat di dunia, berita tentang perusahaan dan isu-isu lingkungan
rantai pasok, kecelakaan, bencana, dan berbagai insiden dapat disiarkan secara luas
melalui YouTube, Twitter, Facebook, dan bahkan LinkedIn. Blog juga telah menjadi
bagian dari media sosial di mana berbagai cerita dapat ditulis dan disampaikan oleh
individu. Situs web pemangku kepentingan juga telah menjadi jalan untuk berbagi
laporan dan cerita secara luas. Ini dan sejumlah kekuatan lainnya menyebabkan
organisasi membayar lebih besar perhatian pada masalah penghijauan dan
lingkungan.
Alasan utama penghijauan rantai pasok perusahaan adalah untuk mengatasi
beban lingkungan yang disebabkan oleh industri dan operasinya. Beban lingkungan
dapat terjadi pada media yang berbeda seperti udara, air, atau tanah dan pada
berbagai tingkat, seperti tingkat global, regional, dan lokal. Isu global mempengaruhi
wilayah di seluruh dunia. Perhatian lingkungan yang paling meresap berpusat di
sekitar pemanasan global dan perubahan iklim. Peningkatan suhu global telah
dikaitkan dengan aktivitas antropogenik. Demikian juga, penipisan spesies dianggap
sebagai masalah global karena berbagai spesies dapat mempengaruhi ekosistem

72 | P a g e
lokal atau global. Selain itu, dampak dunia pada keanekaragaman hayati tanaman
juga dapat mempengaruhi potensi untuk menemukan obat-obatan dan penyembuhan.
Masalah daerah berdampak pada daerah. Misalnya, hujan asam merupakan masalah
utama di banyak negara berkembang karena peningkatan manufaktur. Isu-isu
regional berkaitan dengan pengasaman danau dan saluran air, yang dapat
berdampak pada banyak spesies air dan komunitas yang bergantung pada pasok air
tersebut.
Masalah lokal adalah masalah yang dapat berdampak pada wilayah kota,
bukan seluruh wilayah. Misalnya, pestisida dan herbisida dapat mempengaruhi
saluran air setempat dan daerah pertanian. Herbisida dapat menyebabkan lebih
sedikit keanekaragaman dan lebih sensitif di antara tanaman di suatu wilayah karena
penurunan keanekaragaman hayati. Pestisida dengan pengganggu endokrin dapat
berdampak pada kesehatan dan kesuburan manusia di daerah setempat. Industri dan
rantai pasoknya telah menjadi kontributor utama sumber beban lingkungan
antropogenik ini. Tetapi industri dan rantai pasok diperlukan untuk memenuhi
permintaan populasi kita yang terus meningkat. Keseimbangan ekonomi dengan
pengaruh lingkungan dan sosial organisasi dan rantai pasoknya merupakan
tantangan bagi organisasi dan pemerintah.

B. Manajemen Lingkungan Perusahaan


Beberapa kegiatan penghijauan dari rantai pasok hijau memerlukan
pemahaman berkaitan dengan praktik lingkungan perusahaan internal yang telah
berkembang selama beberapa dekade terakhir. Kegiatan pengelolaan lingkungan
perusahaan tradisional akan mencakup pengajuan laporan lingkungan, memperoleh
informasi lingkungan yang diwajibkan oleh hukum, dan mematuhi peraturan
lingkungan. Kegiatan ini biasanya merupakan kegiatan reaktif karena diwajibkan oleh
hukum.
Namun, untuk tidak hanya memenuhi kebijakan peraturan tetapi mungkin
untuk mendapatkan keunggulan kompetitif, sejumlah praktik, alat, dan teknologi telah
digunakan oleh organisasi. Elemen lingkungan utama perusahaan sebagaimana
disampaikan Sarkis dan Dou (2018) dalam tuisannya meliputi: sistem manajemen

73 | P a g e
lingkungan (seperti sistem ISO 14000), analisis siklus hidup (LCA), dan desain ramah
lingkungan (juga dikenal sebagai desain untuk lingkungan).

C. Definisi Rantai Pasok Hijau


Terdapat sejumlah definisi berkaitan dengan penghijauan rantai pasok.
Definisi umum untuk rantai pasok hijau yaitu mengintegrasikan elemen rantai pasok
dengan manajemen lingkungan perusahaan (Sarkis dan Dou, 2018). Literatur rantai
pasok hijau yang sudah ada sejak awal telah memberikan berbagai definisi, sebagai
berikut:
1. Rantai pasok hijau mengacu pada cara di mana inovasi dalam
manajemen rantai pasok dan pembelian industri
mempertimbangkan konteks lingkungan (Green et al., 1996).
2. Manajemen rantai pasok lingkungan terdiri dari keterlibatan fungsi
pembelian dalam kegiatan yang mencakup pengurangan, daur
ulang, penggunaan kembali, dan penggantian bahan (Narasimhan
dan Carter, 1998).
3. Praktek pemantauan dan peningkatan kinerja lingkungan dirantai
pasok (Godfrey, 1998).

Definisi ini tidak banyak berubah kecuali kemungkinan mengintegrasikan


keberlanjutan sebagai istilah yang juga akan memasukkan dimensi lain di luar dimensi
penghijauan dan lingkungan. Beberapa definisi mungkin memiliki perspektif rantai
pasok yang lebih luas, sementara yang lain berfokus pada fungsi atau arah tertentu,
seperti pembelian atau aktivitas rantai pasok hulu.

D. Praktek Green Supply Chain Management (GSCM)


Literatur menunjukkan terdapat lima praktik utama GSCM sebagaimana
dikemukakan Zhu dan Sarkis (2004) yaitu: desain ramah lingkungan, pembelian
ramah lingkungan, manajemen lingkungan internal, kerjasama pelanggan dengan
kepedulian lingkungan, dan praktik pemulihan investasi.
1. Desain Ramah Lingkungan
Desain ramah lingkungan dari produk perusahaan sangat penting karena cara
paling efektif untuk mengurangi limbah adalah melalui pencegahan limbah dengan
desain yang lebih baik. Sebagian besar pengaruh lingkungan "terkunci" pada
tahap desain ketika bahan dan arsitektur suatu produk ditentukan. Desain rama

74 | P a g e
lingkungan mencakup desain produk untuk mengurangi konsumsi bahan/energi;
merancang untuk digunakan kembali, daur ulang, pemulihan bahan, dan bagian
komponen; desain produk untuk menghindari atau mengurangi penggunaan
produk berbahaya; dan/atau proses pembuatannya. Hubungan tersebut bersifat
eksternal dan internal sejauh pemasok dan pelanggan mungkin terlibat dalam
desain ramah lingkungan.
2. Pembelian Hijau (GP)
Pembelian hijau perusahaan berhubungan timbal balik dengan proses dan
produk/jasa. Proses GP berbeda dari proses pembelian tradisional. Beberapa
proses GP inovatif baru mungkin termasuk penerapan e-procurement (manfaat
untuk penghematan kertas), menggunakan kontrak jangka panjang dengan
lingkungan (Fu et al., 2012 dalam Sarkis dan Dou, 2018) menghindari perilaku
yang tidak ramah lingkungan, bekerja sama dengan pemasok untuk tujuan
lingkungan, mengaudit sistem manajemen lingkungan internal pemasok, dan
mengintegrasikan kinerja lingkungan ke dalam penilaian dan evaluasi pemasok.
Dimensi produk dan layanan GP mengacu pada pembelian komponen/bahan
baku berlabel lingkungan, bahan yang kurang berbahaya, dan komponen/bahan
baku yang dapat didaur ulang/dapat digunakan kembali/diproduksi ulang.
3. Pengelolaan Lingkungan Internal (IEM)
IEM dapat dikelompokkan menjadi tiga subkelompok: sistem manajemen
lingkungan, pengurangan konsumsi sumber daya, dan pengurangan emisi
polutan.
4. Kerjasama Pelanggan dengan Kepedulian Lingkungan (CC)
Pentingnya kerja sama pelanggan dalam menghijaukan rantai pasok sudah jelas.
Laporan Rantai Pasok Proyek Pengungkapan Karbon (CDP) 2013–2014
menunjukkan bahwa 56 persen perusahaan yang disurvei menganggap perilaku
konsumen sebagai pendorong terbesar praktik berkelanjutan. Banyak perusahaan
pemimpin mendorong hubungan yang lebih dekat dengan pelanggan. Misalnya,
Maersk mengusulkan kartu skor pelanggan bulanan yang disebut CO2 Dial, yang
memungkinkan setiap pelanggan mengakses jejaknya saat melakukan bisnis
dengan Maersk Line versus perusahaan lain (Leach, 2010). CC mencakup
kerjasama dengan pelanggan untuk desain ramah lingkungan, untuk produksi
yang lebih bersih, dan untuk kemasan ramah lingkungan.

75 | P a g e
5. Pemulihan Investasi (IR)
Perusahaan pemimpin menerapkan konsep seperti ekonomi sirkular untuk
memulihkan investasi mereka—dianggap sebagai aspek kunci GSCM (Zhu et al.,
2005). Baik 3R tradisional (reduce, reuse, recycle) dan 3R baru (recover, redesign,
remanufacture) (Badurdeen et al., 2009) telah diterapkan di perusahaan utama.
IR mencakup pemulihan investasi (penjualan), kelebihan persediaan/bahan,
penjualan barang bekas dan bahan bekas, dan penjualan peralatan modal
berlebih.

E. Penggerak dan Hambatan GSCM


Penggerak GSCM dapat diklasifikasikan menjadi penggerak internal dan
eksternal. Penggerak internal meliputi nilai-nilai pendiri/pemilik, keinginan untuk
mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas, dan tekanan investor. Kepemilikan dan
nilai-nilai manajemen puncak adalah pendorong utama utama untuk tanggung jawab
lingkungan rantai pasok (Sarkis dan Dou, 2018). Sebuah survei baru-baru ini terhadap
CEO keanggotaan perjanjian global Perserikatan Bangsa-Bangsa menggambarkan
perlunya penghijauan rantai pasok. Survei menunjukkan bahwa CEO percaya
mengelola keberlanjutan rantai pasok adalah salah satu dari empat masalah utama
untuk menyebarkan keberlanjutan perusahaan (PBB, 2013). Peningkatan tekanan
dari investor dalam proses pengembangan program lingkungan juga telah dibuktikan
Serangkaian penggerak GSCM eksternal muncul dari regulator, mitra rantai
pasok, pesaing, dan pasar (konsumen dan pelanggan). Regulasi dan legislasi
eksternal tampaknya menjadi pendorong yang kuat untuk program GSCM, karena ini
merupakan persyaratan wajib bagi organisasi. Peraturan global seperti RoHS
(Pembatasan Bahan Berbahaya Directive 2002/95/EC) dan REACH (Registrasi,
Evaluasi, Otorisasi dan Pembatasan Bahan Kimia) telah mendorong organisasi untuk
bergerak menuju rantai pasok hijau. Pemasok juga dapat menjadi kekuatan
pendorong untuk program GSCM perusahaan utama.
Hambatan untuk adopsi GSCM juga ada. Keterbatasan biaya dan sumber
daya keuangan biasanya yang paling sering disebutkan. Seperti yang dapat dilihat
dari berbagai praktik dan teknologi, program GSCM mungkin memerlukan perubahan
organisasi yang signifikan dan investasi awal yang substansial dalam teknologi,

76 | P a g e
pengembangan karyawan, atau identifikasi dan pengembangan pemasok.
Nonkooperasi pemasok, kurangnya keahlian, kurangnya dukungan manajemen
puncak, dan ketidakpastian prospek pasar juga merupakan contoh hambatan untuk
menerapkan GSCM.

77 | P a g e
Referensi

Alex, C.G. and Bowers, B. (1988), “The American Way to Countertrade,” BarterNews
#17, http://www.barternews.com/american_way.htm, retrieved on July 24,
2010.

Anderson, D.L. and Calabro, R. (1987), “Logistics productivity through strategic


alliances”, Proceedings of the Annual Conference of the Council of Logistics
Management, Oak Brook, IL, USA, Vol. 1, pp. 61-74.

Anvuur, A.M. and Kumaraswarmy, M.M. (2007), Conceptual Model of Partnering and
Alliancing, Journal of Construction Engineering and Management © ASCE,
March 2007.

Badurdeen, F., Lyengar, D., Goldsby, T.J., Metta, H., Gupta, S., & Jawahir, I.S., 2009.
Extending total life-cycle thinking to sustainable supply chain design.
International Journal of Product Lifecycle Management, 4(1/2/3), 49–67.

Banbury, J. G. (1975). Distribution: The final link in the electricity-supply chain.


Electronics and Power, 21(13), 773–775.

Bartholdi, J. J. and Hackman, S. T. (2008), Warehouse & Distribution Science:


Release 0.89. Atlanta, GA: The Supply Chain and Logistics Institute.

Bettis, R.A., Brandley, S.P. and Hamel, G. (1992), “Outsourcing and industrial
decline”, Academy of Management Executive, Vol. 6 No. 1, pp. 7-22.

Bovet (1999), “Value Webs: The Next Business Revolution,” Unpublished Report on
Logistics, 3–9, Boston, MA: Mercer Management Consulting.

Bowersox, D.J. (1990), “The strategic benefits of logistics alliances”, Harvard Business
Review, Vol. 68 No. 4, pp. 36-45.

Bowersox, D.J. and Closs, D.J. (1996), Logistical Management: The Integrated Supply
Chain Process, New York, NY: The McGraw-Hill Company, Inc.

Buys, B. (2009), “Grey Markets: Advantages and Pitfalls,” Articlesbase, January 15,
http://www.articlesbase.com/online-business-articles/grey-market-
advantages-and-pitfalls-722876.html, retrieved on July 22, 2010.

Byrne, J.A. (1996), “Has outsourcing gone too far?”, Business Week, No. 3469, April
1, pp. 26-8.

Campbell, R.H. (2004), “Countertrade,” The Free Dictionary by Farlex,


http://financialdictionary.thefreedictionary.com/Countertrade, retrieved on July
24, 2010.

78 | P a g e
Carter, William K. 2012. Akuntansi Biaya. Jakarta: Salemba Empat.

Chambers, J.C., Mullick, S.K., and Smith, D.D. (1971), “How to Choose the Right
Forecasting Techniques,” Harvard Business Review, 49(4), 45–74.

Chang, B., Chang, C. W. and Wu, C. H. (2011), Fuzzy DEMATEL method for
developing supplier selection criteria, Expert Systems with Applications, 38(3),
1850–58

Christopher, Martin (2005). Logistics and Supply Chain Management: Creating Value-
adding Networks. FT Prentice Hall.

Chopra, Sunil dan Meindl, Peter. (2013). Supply chain management: Strategy,
planning, and operations. New Jersey: Prentice Hall

Conover, B. (2001), “Transportation Management Systems,” presented at the UPS


Center workshop, September 24, 2001, Louisville, KY: University of Louisville.

Cooper, M. C. & Ellram, L. M. (1993). “Characteristics of supply chain management


and the implications for purchasing and logistics strategy”. The International
Journal of Logistics Management, 4(2): 13-24.

Cooper, M.C., Ellram, L.M., Gardner, J.T. and Hank, A.M. (1997a), “Meshing Multiple
Alliances,” Journal of Business Logistics, 18(1), 67–89.

Cooper, M.C., Lambert, D.M., and Pagh, J.D. (1997b), “Supply Chain Management:
More Than a New Name for Logistics,” The International Journal of Logistics
Management, 8(1), 1–13.

Collier, D.A. and Evans, J.R. (2007), Operations Management: Goods, Services and
Value Chains, 2nd edition, Mason, OH: Thomson South-Western.

Copacino, W.C. (1997), Supply Chain Management: The Basics and Beyond, Boca
Raton, FL: St. Lucie Press.

Crum, C. and Palmatier, G.E. (2003), Demand Management Best Practices: Process,
Principles and Collaboration, Boca Raton, FL: J. Ross Publishing, Inc.

Dalci, Ilhan., dan Veyis Naci Tanis. (2006). The Effect and Implementation of Just In
Time System From A Cost and Management Accounting Perspective. Ç.Ü.
Sosyal Bilimler Enstitüsü Dergisi, 15(1), pp.109-124.

Das, T.K. and Teng, B.S. (1998), “Resource and Risk Management in the Strategic
Alliance Making Process,” Journal of Management, 24(1), 21–42.

Daugherty, P.J. (2011), Review of Logistic and Supply Chain Relationship Literature
and Suggested Research Agenda, International Journal of Physical
Distribution and Logistics Management, 41(1):16-31

79 | P a g e
Devlin, G. and Bleackley, M. (1988), “Strategic Alliances—Guidelines for Success,”
Long Range Planning, 21(5), 18–23.

Donald, J. B., David, J. C. and Bixby, M. C. (2010), Supply Chain Logistics


Management, 3rd edn. United States: McGraw-Hill Education.

Donald, J. B., David, J. C. and Bixby, M. C. (2010), Supply Chain Logistics


Management, 3rd edn. United States: McGraw-Hill Education.

Doz, Y.L. (1996), “The Evolution of Cooperation in Strategic Alliances: Initial


Conditions or Learning Processes?”, Strategic Management Journal, 17(1),
55–83.

Drucker, P.F. (1998), “Management’s New Paradigms,” Forbes, October 5, 152–177.

Giunipero, L.C. and Brand, R.R. (1996), “Purchasing’s Role in Supply Chain
Management,” The International Journal of Logistics Management, 7(1), 29–
38. Copacino (1997).

Godfrey, R., 1998. Ethical purchasing: Developing the supply chain beyond the
environment. In Russel, T. (Ed.), Greener Purchasing: Opportunities and
Innovations. Sheffield, England: Greenleaf Publishing, 244–251

Gomm, M. L. (2010), Supply chain finance: Applying finance theory to supply chain
management to enhance finance in supply chains, International Journal of
Logistics: Research and Applications, 13(2), 133–42.

Green, K., Morton, B., & New, S., 1996. Purchasing and environmental management:
Interactions, policies and opportunities. Business Strategy and the
Environment, 5(3), 188–197.

Heizer, J and Render. 2011. Operation Management (Manajemen Operasi) Edisi Ke-
9 Buku 1 dan 2. Jakarta: Salemba Empat.

Hendricks, K. and Singhal, V.R. (2005), The Effects of Supply Chain Disruptions on
Long-term Shareholder Value, Profitability, and Share Price Volatility,
Unpublished Report, Atlanta, GA.

Hidayat, Syarif, Nunung Nurhasanah, Anela Septieni Zulkifli, 2013, Perencanaan dan
Penjadwalan Distribusi Pakaian Jadi dengan Metode Distribution Resource
Planning, Jurnal Optimasi Sistem Industri, Oktober 2013, 12(2):343-351.

Hill, T. (2000), Operations Management: Strategic Context and Managerial Analysis,


New York, NY: Palgrave.

Jaiya, G.S. (2008), ―Managing Intellectual Property (IP) in Public Private Partnership,
Strategic Alliance, Joint Ventures, and M&A‖, World Intellectual Property
Organization, 2008.

80 | P a g e
Johnson, G.A. and Malucci, L. (1999), “Shift to Supply Chain Reflects More Strategic
Approach,” APICS-The Performance Advantage, 28–31.

Kar, A. K. and Pani, A. K. (2014), Exploring the importance of different supplier


selection criteria, Management Research Review, 37(1), 89–105.
doi:10.1108/MRR-10-2012- 0230. Retrieved from
http://www.emeraldinsight.com.ezproxy.lb.polyu.edu.hk/doi/pdfplus/10.1108/
MRR-10-2012-0230.

Kerin, R.A. and Peterson, R.A (1993), Strategic Marketing Problems: Cases and
Comments, 6th Edition, Boston, MA: Allyn and Bacon.

Kim, W.C. and Mauborgne, R. (2005a), “Blue-ocean Strategy: From Theory to


Practice,” California Management Review, 47(3), 105–121.

Kim, W.C. and Mauborgne, R. (2005b), Blue Ocean Strategy: How to Create
Uncontested Market Space and Make Competition Irrelevant, Cambridge, MA:
Harvard Business Press.

Knemeyer, A.M. and Murphy, P.R. (2005), “Exploring the potential impact of
relationship characteristics and customer attributes on the outcomes of third-
party logistics arrangements”, Transportation Journal, Vol. 44 No. 1, pp. 5-19.

Kokko, A., Kotoglou, K., and Krohwinkel-Karlsson, A. (2003), “Characteristics of Failed


FDI Projects in Vietnam,”
http://findarticles.com/p/articles/mi_6790/is_3_12/ai_n28172516/
pg_2/?tag=content;col1, retrieved on July 15, 2010.

Kottack, C.P. (2005), Mirror for Humanity: A Concise Introduction to Cultural


Anthropology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill.

Kublin, M. (1995), International Negotiating: A Primer for American Business


Professionals, Binghamton, NY: International Business Press.

Kwok, T. and Hampson, K. (1997), ―Strategic Alliances Between Contractors and


Subcontractors : A Tender Evaluation Criterion for the Public Works Sector‖,
proceedings of the International Conference on Construction Process Re-
engineering, 14-15 July 1997, Gold Coast, Australia.

Lambert, D.M., Cooper, M.C., and Pagh, J.D. (1998), “Supply Chain Management:
Implementation Issues and Research Opportunities,” The International Journal
of Logistics Management, 9(2), 1–19.

Leach, P.T., 2010. Best management practice. Journal of Commerce, 38(August), 23–
30. Murillo-Luna, J.L., Garcés-Ayerbe, C., & Rivera-Torres, P., 2011. Barriers
to the adoption of proactive environmental strategies. Journal of Cleaner
Production, 19(13), 1417–1425.

81 | P a g e
LaLonde, B.J. (1997), “Supply Chain Management: Myth or Reality,” Supply Chain
Management Review, 1(1), 6–7.

LaLonde, B.J. and Maltz, A.B. (1992), “Some propositions about outsourcing the
logistics function”, International Journal of Logistics Management, Vol. 3 No.
1, pp. 1-11.

LaLonde, Bernard J. and James M. Masters (1994), “Emerging Logistics Strategies:


Blueprints for the Next Century,” International Journal of Physical Distribution
and Logistics Management Vol. 24, No. 7, pp. 35-47.

Lau, Yui-yip, Ng., Adolf K.Y., Acevedo, Jorge, (2019), Principles of Global Supply
Chain Management, New York: Anthem Press.

Lee, H.L., Padmanabhan, V., and Whang, S. (1997a), “Information Distortion in a


Supply Chain: The Bullwhip Effect,” Management Science, 43(4), 546–558.

Lee, K.M. (2010), ―Global Public/Private Partnership: An Exploratory Analysis of


MNE/NGO Alliances Abroad‖, A Thesis Presented to The Faculty of San Diego
University, Summer 2010.

Lieb, R.C. and Randall, H.L. (1996), “A comparison of the use of third-party logistics
services by large American manufacturers, 1991, 1994, and 1995”, Journal of
Business Logistics, Vol. 17 No. 1, pp. 305-20.

Mabert, V. A. & Venkataramanan, M. A. (1998). “Special research focus on supply


chain linkages: Challanages for design and management in the 21st century”.
Decision Sciences, 29(3): 537-552.

Martin, C. and Towill, D. (2000), “Marrying the Lean and Agile Paradigms,”
Proceedings of the EUROMA 2000 Conference, 114–121.

McNeil, K. (2011), “The Importance of Differentiating Push and Pull Supply Chains for
Creating Unique Business Models,”
http://www.advantageinternational.com.au/SUPPLYCHAIN-
MANAGEMENT/Getting-the-most-from-your-Supply-Chain/PUSH-VERSUS-
PULL-SUPPLY-CHAINS.asp, retrieved on August 25, 2011.

Mentzer, J.T., DeWitt, W., Keebler, J. S., Min, S., Nix, N. W., Smith, C. D., Zachria, Z.
G., (2001), Defining Supply Chain Management. Journal of Business Logistics.
Vol. 22, n.2, p.1-25.

Miller, T.E. and Berger, D.W. (2001), Totally Integrated Enterprises: A Framework and
Methodology for Business and Technology Improvement, Boca Raton, FL: St.
Lucie Press.

Min, H. (2000), “The Bullwhip Effect in Supply Chain Management,” in Encyclopedia


of Production and Manufacturing Management, edited by P. Swamidass,
Boston, MA: Kluwer Academic Publishers, 66–70.

82 | P a g e
Min, H. (2009), “Editorial on Global Operations,” International Journal of Services and
Operations Management, 5(6), 737–739.

Min, H. (2015), The Essentials of Supply Chain Management: New Business Concepts
anda Applications, USA: Pearsom Edication Ltd.

Monczka, R. M., Trent, R. J. and Handfield, R. B. (2005), Purchasing and Supply


Chain Management. Boston: Cengage Learning.

Nair, A., Jayaram, J. and Das, A. (2015), Strategic purchasing participation, supplier
selection, supplier evaluation and purchasing performance, International
Journal of Production Research, 53(20), 6263–78.
doi:10.1080/00207543.2015.1047983. Retrieved from
http://www.tandfonline.com.ezproxy.lb.polyu.edu.hk/doi/pdf/10.1080/0020754
3. 2015.1047983?needAccess=true.

Nakano, Mikihisa, (2020), Supply Chain Management: Strategy and Organization,


Singapore: Springer Nature Singapore Pte Ltd.

Narasimhan, R., & Carter, J.R., 1998. Environmental Supply Chain Management.
Tempe: Center for Advanced Purchasing Studies, Arizona State University.

Procknow, G. (2010), “Understanding the Different Types of Countertrade,”


http://www.helium.com/items/1873491-countertrade-barter-counter-purchase-
buy-back, retrieved on July 24, 2010.

Pucik, V. (1988), “Strategic Alliances, Organizational Learning, and Competitive


Advantage: The HRM Agenda,” Human Resource Management, 27(1), 77–93.

Porter, M.E. (1980), Competitive Strategy, New York, NY: The Free Press.

Porter, M.E. (1985), Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior


Performance, New York, NY: The Free Press.

Porter, M.E. (1998), Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior


Performance, New York, NY: Free Press.

Reid, R.D. and Sanders, N.R. (2005), Operations Management: An Integrated


Approach, 2nd edition, Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Ridwandono, Doddy dan Rizka Hadiwiyanti, 2018, Perancangan Sistem Cerdas


Manajemen Rantai Pasok untuk Transportasi Distribusian Hasil Pertanian,
Jurnal Sistem Informasi dan Bisnis Cerdas (SIBC), Agustus 2018, 11(2):39-
48.

Sarkis, Joseph, Dou, Yijie, (2018), Green Supply Chain Management: A Concise
Introduction, New York:Routledge

83 | P a g e
Schlegel, G.L. (1999), “Supply Chain Optimization: A Practitioner’s Perspective,”
Supply Chain Management Review, 11(4), 50–57

Sherman, R.J. (1998), Supply Chain Management for the Millennium, White Paper,
Oak Brook, IL: Warehousing Education and Research Council.

Shim, J.K. (2000), Strategic Business Forecasting: The Complete Guide to


Forecasting Real World Company Performance, revised edition, Boca Raton,
FL: St. Lucie Press.

Simchi-Levi, D., Kaminsky, P., and Simchi-Levi, E. (2008), Designing and Managing
the Supply Chain: Concepts, Strategies and Case Studies, 3rd edition, New
York, NY: McGrawHill.

Spearman, M.L. and Zazanis, M.A. (1992), “Push and Pull Production Systems: Issues
and Comparisons,” Operations Research, 40(3), 521–532.

Stank, T.P. and Daugherty, P.J. (1997), “The impact of operating environment on the
formation of cooperative logistics relationships”, Transportation Research Part
E: Logistics & Transportation Review, Vol. 33 No. 1, pp. 53-65.

Susanty, A., Sari, D. P., Rinawati, D. I., 2018, Buku Ajar Manajemen Rantai Pasok
Hijau, Semarang: Tiga Media.

Thiruchelvam, S. and Tookey, J. E. (2011), Evolving trends of supplier selection


criteria and methods, International Journal of Automotive and Mechanical
Engineering, 4, 437–54. doi:10.15282/ijame.4.2011.6.0036. Retrieved from
http://ijame.ump.edu.my/images/Volume_4/8_Thiruchelvam%20and%20Took
ey.pdf

Tseng, M. L., Chiang, J. H. and Lan, L. W. (2009), Selection of optimal supplier in


supply chain management strategy with analytic network process and choquet
integral, Computers & Industrial Engineering, 57(1), 330–40.
doi:10.1016/j.cie.2008.12.001. Retrieved from
http://www.sciencedirect.com.ezproxy.lb.polyu.edu.hk/science/article/pii/S036
0835208003239

UNCTADSTAT, (2010), UNCTAD Handbook of Statistics 2010, United Nations


Conference on Trade and Development, UNCTAD

United Nations Global Compact, 2013. Global Corporate Sustainability Report. New
York.

Varadarajan, P.R. and Cunningham, M.H. (1995), “Strategic Alliances: a Synthesis of


Conceptual Foundations,” Journal of the Academy of Marketing Science,
23(4), 282-296.

84 | P a g e
Wahyuni, Titis, (2015), Penggunaan Analisis ABC untuk Pengendalian Persediaan
Barang Habis Pakai: Studi Kasus di Program Vokasi UI, Journal of Vocational
Program University of Indonesia, 3(2):1-20.

Webster, S. (2008), Principles and Tools for Supply Chain Management, Boston, MA:
McGraw-Hill Irwin.

Wheelwright, S.C. (1984), “Strategy, Management, and Strategic Planning


Approaches,” Interfaces, 14(1), 19–33.

Wisner, J. D. (2003). “A structural equation model of supply chain management


strategies and firm performance”. Journal of Business Logistics, 24(1): 1-26.

World Trade Organization (2013), International Trade Statistics 2013, Unpublished


Report, Geneva, Switzerland: WTO.

Yokum, T. and Armstrong, J.S. (1995), “Beyond Accuracy: Comparison of Criteria


Used to Select Forecasting Methods,” International Journal of Forecasting,
11, 591–597.

Yuliana, Candra, Topowiyono, Nengah Sudjana, 2016, Penerapan Model EOQ


(Economic Order Quantity) Dalam Rangka Meminimumkan Biaya Persediaan
Bahan Baku, Jurnal Administrasi Bisnis, Juni 2016, 36(1),1-9.

Zhu, Q., & Sarkis, J., 2004. Relationships between operational practices and
performance among early adopters of green supply chain management
practices in Chinese manufacturing enterprises. Journal of Operations
Management, 22(3), 265–289.

Zhu, Q., Sarkis, J., & Geng, Y., 2005. Green supply chain management in china:
Pressures, practices and performance. International Journal of Operations &
Production Management, 25(5), 449–468.

85 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai