Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PRAKTIKUM

APLIKASI BIOTEKNOLOGI AKUAKULTUR

UJI BSLT ((Brine Shrimp Lethality Test) Rhizopora sp. DAN UJI
TOKSISITAS Rhizopora sp. TERHADAP IKAN MAS

FARIZAN RENALDI
NIM. 160254243013

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2019
PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
kasihNya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Aplikasi Bioteknologi
Akuakultur. Laporan Praktikum ini merupakan salah satu persyaratan untuk
mendapatkan nilai ujian akhir semester (UAS).
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada yang
telah membantu dalam penyelesaian Laporan Praktikum Aplikasi Bioteknologi
Akuakultur ini yaitu Ibu Aminatul Zahra S.Pi , M.Si selaku Dosen Mata Kuliah
Aplikasi Bioteknologi Akuakultur, dan juga kepada Ibu Shavika Miranti S.Pi M.Si
selaku kepala laboratorium basah, serta teman-teman kelas pelaksanaan praktikum
yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang telah membantu
hingga selesainya laporan ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyelesaian laporan
praktikum ini. Oleh sebab itu jika ditemukan kekurangan, maka saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Tanjungpinang, 20 Mei 2019

Farizan renaldi

i
DAFTAR ISI

PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Praktikum 2
Manfaat Praktikum 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Ikan Mas................................................................3
2.2. Parasit dan Penyakit...............................................4
2.3. Rhizophora Sp.......................................................5
2.4. Ekstraksi dan uji senyawa......................................6
BAB III 8
3.1. Waktu dan Tempat......................................................8
3.2. Alat dan Bahan............................................................8
3.2. Prosedur Praktikum...................................................17
3.2.1. Pembuatan ekstrak Rhizopora....................................17
3.2.2. UJI BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)....................18
3.2.3. Tahap penentuan perlakuan........................................19
3.2.3. Persiapan ikan dan wadah.........................................................................19
3.3.4. Persiapan pakan uji.....................................................19
3.3.5. Parameter yang diamati..............................................20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21


4.1. Hasil..........................................................................21
4.1.1. Analisis Probit ekstrak Rhizopora Spp.......................22
4.1.2. Tingkat Kelulusan Hidup %.......................................23
4.1.3. Pertumbuhan Bobot ikan...........................................24
4.1.4. Pertumbuhan Panjang Ikan........................................25
4.1.5. Kualitas Air...............................................................26
4.2. Pembahasan...............................................................27
4.2.1. Analisis Probit ekstrak Rhizopora Sp.........................27
4.2.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan %........................28

4.2.3. Pertumbuhan ikan......................................................29

ii
4.2.4. Rasio Konversi Pakan..........................................30
4.2.5. Kualitas Air..........................................................31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 35
5.1. Kesimpulan............................................................................................35
5.2. Saran......................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 39
1. Rumus Analisis Probit..................................................................................39
2. Pengukuran ikan...........................................................................................39
3. Sisa Pakan....................................................................................................39

ii
i
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ..........................................14


Tabel 2. Bahan yg digunakan dalam praktikum..................................................16
Tabel 3. Analisis Probit........................................................................................ 25
Tabel 4. Bobot Mutlak, Panjang Mutlak, Tingkat Kelangsungan Hidup,
Rasio Konversi Pakan .........................................................................................28
Tabel 5. Kualitas Air ...........................................................................................29
Tabel 6. Tingkat daya racun berdasarkan nilai LC50 – 95 Jam........................... 30
Tabel 7. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada
lingkungan perairan ............................................................................................30

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ikan mas ( cyprinus caprio )......................................................... 9
Gambar 2. Rhizospora sp ..............................................................................12
Gambar 3. Alat yang digunakan dalam praktikum........................................16
Gambar 4. Bahan yg digunakan dalam praktikum.........................................17
Gambar 5. Rhizozpora yg sudah ditepungkan page ......................................18
Gambar 6. Dokumetasi uji BSLT dalam Praktikum .....................................20
Gambar 7. Persiapan Wadah ikan uji ............................................................20
Gambar 8. Pencampuran ekstrak ke dalam pakan.........................................21
Gambar 9. Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH). ........................................27
Gambar 10. Bobot Ikan Pada Akhir Pemeliharaan .......................................27
Gambar 11. Panjang Ikan Pada Akhir Pemeliharaan ....................................28

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan mas (Cyprinus carpio) adalah merupakan salah satu spesies ikan air tawar
yang mempunyai peluang pengembangan budidaya besar untuk meraih potensi
pasar yang terus meningkat. Berdasarkan data dari Kementrian Perikanan dan
Kelautan, dinyatakan bahwa produksi ikan mas di Indomesia mencapai berturut-
turut dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 adalah 267.100, 280.400,
300.000, 325.000 dan 350.000 ton (Subiyakto, 2014). Disamping itu ikan
merupakan sumber protein hewani untuk memenuhi gizi masyarakat Indonesia
(Sutanmuda, 2007).. Selanjutnya juga dikatakan mas merupakan jenis ikan
konsumsi air tawar, di Indonesia telah dibudidayakan sejak tahun 1920. Budidaya
ikan mas dilakukan di kolam biasa, di sawah, waduk, sungai air deras, maupun
dalam keramba di perairan umum.
Banyak kendala yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan budidaya ikan
mas dimana kendala utama yang perlu diperhatikan adalah munculnya serangan
penyakit. Umumnya penyakit yang sering ditemukan menyerang ikan mas dapat
disebabkan oleh parasit, bakteri, virus maupun jamur (Anshery, 2008).
Selanjutnya dikatakan bahwa penyakit tersebut dapat menyebabkan kerugian
hingga 80% bahkan dapat mencapai 100% pada stadia benih (Mahasri, 2007).
Salah satu penyakit yang sering menyerang pada ikan Mas adalah Myxobolusis
yang disebabkan oleh Myxobolus koi. Umumnya penyakit ini ditemukan pada
benih ikan Cyprinidae dan dapat menimbulkan kerugian hingga 100% (Mahasri,
2013). Tahun 2002 telah terjadi kematian masal ikan mas di daerah Sleman dan
Kulon Progo yang disebabkan oleh parasit Myxobolus sp dan Henneguya (Titis,
dkk, 2009) sehingga kerugian yang dialami pembudidaya ikan cukup besar.
Myxobolus sp juga ditemukan di daerah Ngrajek kabupaten Magelang pada tahun
2006 dengan prevalensi mencapai 91%, (Obing, 2006). Kemudian di kolam ikan
mas koi di Blitar prevalensi mencapai 86% pada tahun 2010 (Anugrahi, 2010)
Untuk mencapai target produksi sesuai dengan yang diharapkan, berbagai
permasalahan menghambat upaya peningkatan produksi tersebut, antara lain
kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik
baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus. Permasalahan lainnya adalah
degradasi mutu lingkungan budidaya yang semakin buruk, yang disebabkan oleh
kegiatan budidaya itu sendiri maupun dari luar lingkungan budidaya. Timbulnya
serangan wabah penyakit tersebut pada dasarnya sebagai akibat terjadinya
gangguan keseimbangan dan interaksi antara ikan, lingkungan yang tidak
menguntungkan ikan dan berkembangnya patogen penyebab penyakit (Kordi,
2004) .

1
Dalam mengatasi permasalahan akibat serangan agen patogenik pada ikan, para
petani maupun pengusaha ikan banyak menggunakan berbagai bahan-bahan kimia
maupun antibiotik dalam pengendalian penyakit tersebut. Namun dilain pihak
pemakaian bahan kimia dan antibiotik secara terus menerus dengan
dosis/konsentrasi yang kurang tepat, akan menimbulkan masalah baru berupa
meningkatnya resistensi mikroorganisme terhadap bahan tersebut. Selain itu,
masalah lainnya adalah bahaya yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitarnya,
ikan yang bersangkutan dan manusia yang mengkonsumsinya.

Untuk menghindari serangan bakteri tersebut, salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah penggunaan anti bakterial lain yang bersifat alami dan efektif
untuk membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri, ramah lingkungan dan
mudah terurai di perairan.Pemanfatan bahan-bahan dari alam, yang salah satunya
diketahui mengandung senyawa anti bakterial adalah tumbuhan mangrove.
Tumbuhan ini mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, steroid, fenol
hidrokuinon dan tanin yang aktif sebagai bahan antimikroba. Menurut (Naiborhu
2002) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove yakni Sonneratia caseolaris (L)
berupa ekstrak kelopak dan buah ini mampu membunuh dan menghambat
pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi. Menurut Bachtiar (2010) menyatakan bahwa
hasil identifikasi senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan mangrove jenis
Rhizophora dan Avicennia yang ada di Kabupaten Ciamis mengandung senyawa
flavonoid dan saponin.

1.2. Tujuan Praktikum

Tujuan pratikum ini menentukan dosis Rhizopora Sp berdasarkan nilai LC50


dan mengkaji dan menentukan konsentrasi eskstrak Rhizopora dalam
pengaplikasiannya pada pakan dalam meningkatkan kelngsungan hidup dan
pertumbuhan ikan Mas Cyprinus carpio.

1.3. Manfaat Praktikum

Pratikum ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai teknik penerapan


ekstrak Rhizopora dalam pakan untuk pencegahan penyakit pada air tawar
khususnya ikan mas. Sebagai acuan untuk diaplikasikan untuk budidaya Ikan mas.
Sebagai sumber referensi dalam pengembangan budidaya dalam penerapan
Rhizopora dalam pakan untuk pemeliharaan ikan mas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Mas

Ikan mas merupakan ikan yang memiliki Tubuh terbagi tiga bagian, yaitu
kepala, badan, dan ekor Memiliki mulut kecil yang membelah bagian depan
kepala, sepasang mata, sepasang lubang hidung terletak di bagian kepala, dan
tutup insang terletak di bagian belakang kepala. Seluruh bagian tubuh ikan mas
ditutupi dengan sisik yang besar, dan berjenis cycloid yaitu sisik halus yang
berbentuk lingkaran. Ikan Mas memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung
yang terletak di bagian punggung (dorsal fin), sirip dada yang terletak di
belakang tutup insang (pectoral fin), sirip perut yang terletak pada perut (pelvic
fin), sirip dubur yang terletak di belakang dubur (anal fin) dan sirip ekor yang
terletak di belakang tubuh denganbentuk cagak (caudal fin) (Santoso, 2011).

Klasifikasi ikan mas menurut Khairuman, dkk (2008) adalah sebagai berikut:
Filum : Cordata
Kelas : Pisces
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio L1.

Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio)


Sumber : https://www.victorynews.id/kkp-bantu-20-000-benih-ikan-
mas/

3
2.2. Parasit dan Penyakit
Penyakit pada organisme perairan didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat
mengganggu proses kehidupan ikan sehingga pertumbuhan menjadi tidak normal.
Secara umum penyakit dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu penyakit infeksi dan
non infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh organisme hidup seperti parasit,
jamur, bakteri, dan virus dan penyakit non infeksi disebabkan oleh faktor non
hidup seperti pakan, lingkungan, keturunan dan penanganan. (Kabata, 1985)
menyatakan bahwa penyakit pada ikan dapat terjadi akibat adanya interaksi yang
tidak seimbang antara lingkungan, ikan dan agen penyakit. Interaksi tersebut
dapat menyebabkan ikan menjadi stres dan mekanisme pertahanan tubuhnya
melemah, sehingga mudah terserang penyakit (Kordi, 2004).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme lain yang mengambil
makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga inang akan mengalami
kerugian. Parasitisme adalah hubungan dengan salah satu spesies parasit dimana
inangnya sebagai habitat dan merupakan tempat untuk memperoleh makanan atau
nutrisi, tubuh inang adalah lingkungan utama dari parasit sedangkan lingkungan
sekitarnya merupakan lingkungan keduanya (Kabata, 1985). Penyakit akibat
infeksi parasit menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur. Karena menurut
pada semua tahap budidaya ditemui serangan penyakit, salah satunya adalah
parasit.
Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebar tinggi pada area yang
terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung
perkembangan dan penyebaran penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebar
tinggi akan menyebabkan ikan mudah stres sehingga menyebabkan ikan menjadi
mudah terserang penyakit, selain itu kualitas air, volume air dan alirannya
berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan
mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan
yang sakit dengan

4
ikan yang sehat. Selain itu, kolam yang tidak terawat dengan baik juga merupakan
tempat yang baik bagi organisme penyebab infeksi penyakit. Hal tersebut dapat
terjadi karena sebelumnya penyakit sudah ada pada kolam atau dapat berasal dari
luar kolam (Rokhmani, 2009).
2.3. Rhizophora Sp.
Indonesia adalah negara yang mempunyai ekosistem hutan mangrove terluas
di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta hektar, diikuti Brazil, Australia, Nigeria, dan
Mexico. Indonesia memiliki sekitar 40% dari total hutan mangrove di dunia, dan
dari jumlah itu sekitar 75% berada di Papua (Pyrrho 2010). Secara umum hutan
mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe ekosistem hutan yang tumbuh di
suatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang
dan bebas pada saat air laut surut dan komunitas tumbuhannya mempunyai
toleransi terhadap kadar garam (salinitas) air laut. Tumbuhan yang hidup di
ekosistem mangrove adalah tumbuhan yang bersifat halophyte. Jenis-jenis
tumbuhan yang hidup di hutan mangrove antara lain : Avicenniaceae,
Combretaceae, Arecaceae, Rhizophoraceae, dan Lythraceae.
Rhizophoraceae merupakan salah satu tumbuhan pantai, terdiri atas 20 genus
dan 110 spesies. Genus yang populer adalah Rhizophora disamping Bruguiera dan
Ceriops, merupakan salah satu sumber yang mengandung senyawa metabolit
sekunder (Hogarth 1999). Secara fitogeografis, Rhizophoraceae merupakan
tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis (Seanger 2002).
Beberapa senyawa metabolit sekunder yang terkanndung dalam rhizospora
diantaranya adalah alkaloid, terpenoid, flavonoid, steroid dan lain-lain. Senyawa
flavonoid yang telah berhasil diisolasi dari berbagai tumbuhan diketahui
mempunyai aktivitas biologi yang menarik, seperti bersifat sitotoksik terhadap sel
kanker, menghambat pelepasan histamin, anti inflammantory, anti jamur dan anti
bakteri.
Rhizophora sp. termasuk dalam famili Rhizophorazceae. Ada tiga jenis
yang tergolong dalam Rhizophora sp., yaitu R. mucronata, R. apiculata dan R.
stylosa. 6 Jenis-jenis ini dikenal dengan nama bakau, dan merupakan jenis yang
umum dan selalu tumbuh di hutan mangrove (Noor et.al 2006). mengemukakan
taksonomi jenis Rhizophora sp. adalah sebagai berikut:
Divisi :
Spermatophyta Sub
divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledonae
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo : Myrtales
Famili :
Rhizophoraceae Genus:
5
Rhizophora Spesies :
Rhizophora sp.

Gambar 2. Rhizopora Sp
Sumber : http://tegardanserentak.blogspot.com/2011/06/rhizophora-r-mucronata-r-stylosa-dan-r.html

Hampir semua bagian tanaman Rhizophora sp. mengandung senyawa alkaloid,


saponin, flavonoid dan tannin (Rohaeti et.al 2010). Alkaloid bersifat toksikterhadap
mikroba, sehingga efektif membunuh bakteri dan virus (Sari, 2008). Senyawa saponin
dapat bekerja sebagai antimikroba karena akan merusak membran sitoplasma dan
membunuh sel (Rahayu, 2007). Senyawa flavonoid mekanisme kerjanya mendenaturasi
protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Rinawati, 2011).
Tanin merupakan senyawa fenolik komplek yang dapat menghambat aktivitas bakteri
sehingga tumbuhan yang mengandung tanin sering digunakan dalam bidang farmasi
karena tanin mengandung asam tanik yang telah digunakan sebagai antiseptik (Trianto
et.al 2004).

2.4. Ekstraksi dan uji senyawa

Pemakaian bahan alam sebagai obat tradisional di masyarakat dijamin


keamanannya oleh pemerintah dengan mengimplementasikannya dalam Permenkes
No.760/Menkes/Per/IX/1992, tentang obat tradisional dan fitofarmaka. Sebelum menjadi
suatu sediaan fitofarmaka, setiap bahan alam harus melewati beberapa tahapan meliputi
uji farmaltologi eksperimental, uji toksisitas, uji klinis, uji kualitas dan pengujian lain
sesuai persyaratan yang berlaku untuk menjamin keamanan masyarakat untuk
mengkonsumsinya.

Uji toksisitas akut adalah salah satu uji praklinik yang penting. Uji ini dirancang
untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang
singkat setelah pemajanan atau pemberiannya dalam takaran tertentu. Data kuantitatif
yang diperoleh dari uji toksisitas akut ini adalah LD50 (lethal dose 50). Berdasar atas
data LD50, suatu senyawa dapat digolongkan sebagai bahan yang sangat toksik
(extremely toxic) hingga bahan yang tidak toksik (practically non toxic). Data kualitatif
yang diperoleh meliputi penampakan klinis, morfologis, dan mekanisme efek toksik.
6
Salah satu metode awal yang sering dipakai untuk mengamati toksisitas senyawa
dan merupakan metode penapisan untuk aktivitas antikanker senyawa kimia dalam
ekstrak tanaman adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), dengan menggunakan cara
Meyer. Metode ini ditujukan terhadap tingkat mortalitas larva udang Artemia salina L.
yang disebabkan oleh ekstrak uji. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50
(leta1 concentration) ekstrak uji, yaitu jumlah dosis atau konsentrasi ekstrak uji yang
dapat menyebabkan kematian larva udang sejumlah 50% setelah masa inkubasi 24 jam.
Senyawa dengan LCso < 1000µg /ml dapat dianggap sebagai suatu senyawa aktif
berdasarkan Meyer .

7
BAB III
METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Pratikum ini dilakukan pada bulan mei 2019 dengan tenggat waktu
pemeliharaan selama 1 minggu, dilaboratorium Basah FIKP, program studi
budidaya perairan fakultas ilmu kelautan dan perikanan, Universitas Maritim Raja
Ali Haji Tanjungpinang Kepulauan Riau..

3.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:

N No Nama Alat Fungsi


1 Blender Menghaluskan daun mangrove
2. Toples Wadah pemeliharaan ikan mas
3. Saringan mesh sixe 0,5- Menyaring serbuk Mangrove
1 mm
4. Botol Aqua 1,5 L Wadah penetasan artemia salina
5. Nampan Wadah Pengukuran bobot dan Panjang
ikan
6. Serokan Alat mengambil ikan
7. Timbangan digital Menimbang bobot ikan
8. Penggaris Mengukur Panjang ikan
9. Ph Meter Mengukur Ph
10 Gelas ukur Menakar air yang digunakan
.
11 Spray Menyemprotkan rhizopora ke pakan
.
12 Aerasi Alat bantu supply oksigen ikan
.

Tabel 1 . Alat yang digunakan dalam praktikum

8
Blender Toples

Saringan mesh Botol Aqua

Nampan & Penggaris Timbangan Digital

Serokan Ph Meter

9
Gelas ukur Botol spray

Aerasi
Gambar 3 . Alat yang digunakan dalam praktikum.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:

N No Nama Bahan Fungsi


1 Ikan Mas (Ukuran Objek Penelitian(Hewan Uji)
benih)
2. Artemia Salina Bahan uji BSLT
3. Daun Rhizospora Perlakuan uji toxisitas
( diserbukan )
4. Air laut dan tawar Media hidup ikan mas (Tawar) dan
artemia (Laut)
5. Putih telur Perekat Pakan
6. Pellet komersil HI- Makanan hewan uji ( Ikan mas )
PRO-VITA
7. Aquades Pelarut Rhizospora dan putih telur untuk
disemprotkan ke pakan.

Tabel 2 . Bahan yang digunakan dalam praktikum.

10
Ikan mas Artemia Salina

Daun rhizozpora sp yang telah Air laut dan Tawar


dikeringkan dan dihaluskan

Pellet Aquades

Gambar 4 . Bahan yang digunakan dalam praktikum.

11
3.2. Prosedur Praktikum
3.2.1. Pembuatan ekstrak Rhizopora
Daun mangrove yang kering diambil di Kampung Bugis Senggarang Kota
Tanjungpinang, kemudian dicuci. Lalu dilakukan pengeringan dengan
menggunakan cara konvensional yakni dengan sinar matahari secara langsung
selama lima hari , setelah kadar air berkurang kemudian dibelender hingga
halus lalu disaring dengan saringan mesh size ukuran 0,5-1 mm hingga
menjadi seperti tepung. kemudian bubuk disimpan pada wadah kedap udara.
Daun yang sudah menjadi tepung ditimbang berdasarkan perlakuan
yang akan diuji BSLT (0.05,0.1,0.2 g) setelah itu dimasukan kedalam
botol Aqua yang telah dipotong yang muat untuk menampung air tawar
sebanyak 10 ml lalu bubuk rhizospora diaduk sehingga tejadi perubahan
warna pada air.

Gambar 5. Rhizophora yang telah ditepungkan.


Sumber : Data primer praktikum ( Dokumetasi pribadi)

3.2.2. UJI BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)


Uji BSLT adalah uji toksisitas dimaksudkan untuk mengetahui ada atau
tidaknya efek toksik atau racun dan untuk menilai batas keamanan dalam kaitannya
dengan penggunaan suatu senyawa. Penentuan konsentrasi Rhizopora sp. yang
digunakan pada praktikum ini berdasarkan hasil uji toksisitas menggunakan brine
shrimp lethality test (BSLT). Uji BSLT dilakukan berdasarkan metode (Meyer et
al. 1982) yang telah dikembangkan (Juniarti et al. 2009). Bahan digunakan Kista
Artemia, Rhizopora Spp, air laut. Naupuli ditetaskan sebanyak naupli artemia
sebanyak 20 ekor ke dalam wadah uji dengan Rhizopora sp. pada 3 konsentrasi
500 mg L -1 , 1000 mg L -1 dengan tiga ulangan. Inkubasi pada suhu kamar (25-
28 ºC) selama 24 jam. dilakuakan pengamatan setelah 24 jam dengan melihat
jumlah Artemia salina yang mati dan masih hidup pada setiap wadah. Penentuan
hasil uji BSLT setelah dilakukan pengamatan 24 jam dengan uji probit.
12
Nilai LC50 merupakan konsentrasi dimana larutan ekstrak mampu menyebabkan
kematian populasi hingga 50% yang diperoleh dengan memakai persamaan regresi linier
y = a + bx yang dihitung berdasarkan akumulasi kematian dan hidup artemia.
Perhitungan akumulasi kematian tiap konsentrasi.

13
Tahapan penetasan artemia

Uji BSLT artemia salina

Pengamatan mortalitas Artemia salina

Gambar 6. Dokumetasi uji BSLT dalam Praktikum


Sumber : Data primer praktikum ( Dokumentasi Pribadi)

14
3.2.3. Tahap penentuan perlakuan
Uji in vivo tahap penentuan dosis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
terbaik dan non toxic dari dosis Rhizopora. Berdasarkan analisis probit Maka
perlakukan yang akan ditetapakan yaitu :
A : Kontrol
B : 400 ppm
C : 500 ppm

3.2.4. Persiapan ikan dan wadah


Benih ikan yang rata-rata bobot awal 6,50 ± 0,50 g dan panjang awal 7,5 ± 0,10
cm. Padat tebar yang digunakan adalah 3 ekor/L, sehingga dalam satu toples berisi
15 ekor ikan. Benih mulai diadaptasikan dalam wadah uji selama 1 hari.
Pemberian pakan dengan kandungan Rhizophora yang berbeda dimulai setelah 24
jam diadaptasikan. Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari
pada pukul 08.00, 13.00, dan 17.00 WIB secara adlibitum.
Wadah yang digunakan toples ukuran 10 L sebanyak 3 buah. Sebelum dipakai
toples dicuci dan dikeringkan untuk menghilangkan pathogen dan parasit yang
menempel setelah itu setiap wadah diisi air sebanyak 5 L dan diareasikan selama
24 jam.

Gambar 7. Persiapan Wadah ikan uji

15
3.2.5. Persiapan pakan uji
Pakan yang digunakan adalah pelet komersial HI-PRO-VITA dengan
kandungan protein sebesar 30% yang dibeli di toko pakan ternak KM 9 Kota
Tanjungpinang. Pencampuran ekstrak mangrove dengan menggunakan aquades
sebanyak 9 ml dan putih telur sebagai perekat 1ml dan dimasukan ekstrak
kedalam spray. Pakan diletakan dimampan dan dispray sampai larutan habis
hingga merata lalau diangin- anginkan.

Gambar 8. Pencampuran ekstrak ke dalam pakan.

16
3.3.6 Parameter yang diamati
1. Analisis Probit
Analisis probit akan dilakukan berdasarkan hasil uji toksisitas menggunakan
brine shrimp lethality test (BSLT).

2. Tingkat Kelangsungan hidup


Kelangsungan hidup adalah pronsentase jumlah ikan yang hidup dalam waktu
pemeliharaan. Data (SR) penelitian kali ini diperoleh dengan cara di sampling
pada menghitung jumlah ikan yang mati pada saat pratikum. Penghitungan
kelangsungan ikan menggunakan menggunakan rumus menurut (Effendie, 1997)
sebagai berikut:

𝑵𝒕
𝐓𝐊𝐇 = 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑵𝒐
Keterangan:
TKH ∶ Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt ∶ Jumlah ikan hidup pada Akhir pemeliharaan ekor)
No ∶ Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)

3. Pertumbuhan bobot mutlak


Pertumbuhan bobot mutlak adalah penambahan bobot tubuh ikan awal
pratikum sampai akhir pratikum. Pengukuran pertumbuhan bobot mutlak
dilakukan dengan menimbang bobot biomassa ikan. Pertumbuhan mutlak dihitung
dengan rumus (Zonneveld et al. 1991):
𝐋 = 𝐖𝐨 − 𝐖𝐭

17
Keterangan:
L ∶ Pertumbuhan mutlak (g)
Wo ∶ Bobot ikan awal pratikum (g)
Wt ∶ Bobot ikan akhir pratikum (g)

4. Pertumbuhan Panjang Mutlak


Pertumbuhan pnjang mutlak adalah penambahan Panjang tubuh ikan awal
pratikum sampai akhir pratikum. Pengukuran pertumbuhan Panjang mutlak diukur
menggunakan penggaris dengan mengambil sampel benih ikan kemudian diukur
Panjang total tubuhnya. Setelah itu dihitung menggunakan rumus menurut
(Effendi, 1997), sebagai berikut:
𝐋 = 𝐋𝐓 − 𝐋𝐨
Keterangan:
L ∶ Pertumbuhan Panjang mutlak (cm)
Lt ∶ Panjang rata-rata ikan waktu akhir pratikum (cm)
Lo ∶ Panjang rata-rata ikan waktu awal pratikum (cm)

5. Rasio Koversi Pakan


FCR atau Rasio Konversi Pakan adalah persentase jumlah pakan yang
dikonsumsi oleh ikan dan diubah menjadi berat tubuh ikan. Data ratio konversi
pakan diperoleh dengan cara membandingkan bobot ikan dengan jumlah pakan
yang dikonsumsi yaitu pada akhir penelitian ini dan data disajikan dalam bentuk
satuan gram, rasio konversi pakan dihitung berdasarkan rumus Menurut (Effendie,
1997) sebagai berikut:

𝑭
𝐅𝐂𝐑 =
(𝑾𝒕 + 𝑫) − 𝑾𝒐
Keterangan:
FCR ∶ Feed Convertion Ratio
F ∶ Pakan yang di berikan (g)
Wt ∶ Bobot ikan akhir penelitian
(g) D ∶ Bobot ikan yang mati (g)
W ∶ Bobot ikan awal penelitian (g)

6. Kualitas air
Pengukuran parameter kualitas air suhu. dan pH. Pengukuran parameter air
dilakukan pada akhir pratikum pengukuran sebanyak 3 kali ulangan

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Analisis Probit ekstrak Rhizopora Spp.

Hasil praktikum pemberian ekstrak Rhizopora spp pada naupli artemia


sebanyak 60 ekor dengan konsentrasi 500 dan 1000 ppm hasil yang didapatkan
pada konsentrasi 500 ppm dengan mortalitas 26 ekor dan 1000 ppm dengan
mortalitas 46 ekor berdasarkan uji (Brine Shrimp Lethality Test) BSLT
menggunakan metode (Meyer et al. 1982) yang telah dikembangkan (Juniarti et al.
2009). Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50 yang dapat dilihat pada
tabel 3.

Tabel 3. Analisis Probit


d n D X
r Y
(Konsen (∑ (% (Log
(Mortal X2 (Probit % XY
trasi hewan mortalita konsentr
itas) mortalitas)
ppm) uji) s) asi)
500 60 26 43.33 2.69 7.28 4.82 13.009
1000 60 46 76.6 3 9 5.74 17.22
Total 120 72 120 5.69 16.28 10.56 30.22

Y = A + Bx. Nilai LC50 24 jam diperoleh anti log m. Nilai m merupakan nilai
X pada saat kematian sebesar 50% sehingga fungsi linearnya adalah 5= A + Bx.
Untuk menentukan nilai A maupun B digunakan pesamaan sebagai berikut dan
rumus perhitungan dapat dilihat pada lampiran 1.

(Σ 16,282 . Σ 10,56) − (Σ 5,69 . Σ 30.22)


𝐴 =
𝑛 Σ 16,28 − (Σ 16,28)2

= −0,00015

𝑛 (𝛴 30,22) − (𝛴 16,38 . 𝛴 10,56)


B = 𝑛 𝛴 5,692 − (𝛴 5,69)2

= 1.856371

M = 2.69

Lc 50 = 493,75 (Hasil Mendekati 500 ppm)

19
Keterangan:

Y = Nilai probit mortalitas hewan uji


X = Logaritma konsentrasi uji
A = Konstanta
B = Slope
m = Nilai X pada Y = 5 (nilai probit 50% mortalitas hewan uji) (Finney 1971)

20
4.1.2. Tingkat Kelulusan Hidup %
Hasil pengamatan kelangsungan hidup benih ikan mas, menunjukkan hasil
yang berbeda pada setiap perlakuanya. Nilai kelangsungan hidup pada perlakuan
kontrol serta konsentrasi ekstrak Rhizopora (ppm), berturut-turut adalah
100%,100% dan 78% tersaji pada Gambar 9 dan tabel 4 dibawah.

120
100
80
TKH (%)

60
40
20
0
1 2 3
Perlakuan

Keterangan : Perlakuan, Kontrol, P1 (400 ppm), P2 (500 ppm) dan nilai yang tertera
merupakan hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup (TKH).

Gambar 9. Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH).

4.1.3. Pertumbuhan Bobot ikan


Hasil penimbangan bobot benih ikan mas pada akhir pemeliharaan,
menunjukkan hasil rata-rata yang berbeda pada setiap perlakuanya. Nilai bobot
pada konsentrasi ekstrak Rhizopora (ppm), serta kontrol berturut-turut adalah 6,50
g, 6,72 g dan 6,50 g tersaji pada Gambar 10 dan tabel 4.
6.80

6.60
Bobot /gram

6.40

6.20

6.00
1 2 3
Perlakuan

Keterangan : Perlakuan, Kontrol, P1 (400 ppm), P2 (500 ppm) dan nilai yang tertera
merupakan hasil penimbangan bobot pada akhir pemeliharaan.
Gambar 10. Bobot Ikan Pada Akhir Pemeliharaan

21
4.1.4. Pertumbuhan Panjang Ikan
Hasil pengukuran Panjang benih ikan mas pada akhir pemeliharaan,
menunjukkan hasil rata-rata yang berbeda pada setiap perlakuanya. Nilai Panjang
pada konsentrasi ekstrak Rhizopora (ppm), serta kontrol berturut-turut 7,62 cm,
7,64 cm dan 7,41 cm tersaji pada Gambar 11 dan tabel 4.

7.7
7.6
Panjang/cm

7.5
7.4
7.3
7.2
1 2 3
Perlakuan

Keterangan : Perlakuan, Kontrol, P1 (400 ppm), P2 (500 ppm) dan nilai yang tertera
merupakan hasil pengukuran panjang pada akhir pemeliharaan.

Gambar 11. Panjang Ikan Pada Akhir Pemeliharaan

Tabel 4. Bobot Mutlak, Panjang Mutlak, Tingkat Kelangsungan Hidup, Rasio


Konversi Pakan
Parameter
Perlakuan Bobot mutlak Panjang mutlak SR FCR
(%)
Kontrol 0.17 -0.46 100 1.49
P1 0.552 0.19 100 0.52
P2 0.608 0.08 73 0.93
Keterangan : Perlakuan, Kontrol, P1 (400 ppm), P2 (500 ppm) dan nilai yang
tertera merupakan hasil perthitungan (bobot mutlak,Panjang mutlak,Tingkat
Kelangsungan Hidup dan Rasio Konversi Pakan).

22
4.1.5. Kualitas Air
Pada pemeliharaan benih ikan mas parameter kualitas air pada akhr pemeliharaan
menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda pada setiap perlakuan, Hasil pengukuran
parameter kualitas air disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kualitas Air

Perlakuan Parameter Air


pH Suhu 0C
Kontrol 8,74 28,4
P1 9,77 28,2
P2 9 28
Rata-rata 9,17 28,2

23
4.2. Pembahasan
4.2.1. Analisis Probit ekstrak Rhizopora Sp.
Berdasarkan tabel 3. Hasil uji toksisitas ekstrak Rhizopora Spp. menunjukan
pada konsentrasi 1.000 ppm rhizopora bersifat toksik karena menyebabkan
kematian naupli artemia yang lebih tinggi sedangkan konsentrasi ekstrak 500 ppm
tidak toksik berdasarkan nilai LC50.
Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat “racun akut” jika senyawa tersebut
dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Daun bakau
Sonneratia alba diketahui mengandung beberapa zat aktif yang bersifat toksik
seperti alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin (Raut dan Anthapan,2013).
Toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya
mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup yang mana dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi
toksikan, durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota
penerima. Toksikan merupakan zat (berdiri sendiri atau dalam campuran zat,
limbah, dan sebagainya) yang dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau
sebagian dari tingkat organisasi biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel,
biomolekul) dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis. Toksikan
dapat menimbulkan efek negatif bagi biota dalam bentuk perubahan struktur
maupun fungsional, baik secara akut maupun kronis/sub kronis. Efek tersebut
dapat bersifat reversibel sehingga dapat pulih kembali dan dapat pula bersifat
irreversibel yang tidak mungkin untuk pulih kembali (Halang, 2004). Tingkat
toksin berdasarkan nilai LC50-96 jam suatu bahan pencemar dibedakan menjadi
beberapa kriteria yang dapat di lihat pada tabel 6.
Tabel 6. Tingkat daya racun berdasarkan nilai LC50 – 95 Jam

Sementara kriteria toksisitas suatu perairan adalah sebagai berikut:


Tabel 7. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada lingkungan
perairan :

Berdasarkan analisis data dapat dikatakan bahwa zat aktif yang terkandung
24
dalam daun bakau bersifat toksik bagi artemia pada konsentrasi tertentu. Suatu
senyawa kimia dikatakan bersifat “racun akut” jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Daun bakau Rhizopora
diketahui mengandung beberapa zat aktif yang bersifat toksik seperti alkaloid,
flavonoid, saponin dan tannin (Raut dan Anthapan,2013). Toksisitas adalah sifat
relatif toksikan berkaitan dengan potensinya mengakibatkan efek negatif bagi
makhluk hidup yang mana dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi
pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima. Toksikan merupakan zat
(berdiri sendiri atau dalam campuran zat, limbah, dan sebagainya) yang dapat
menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian dari tingkat organisasi
biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel, biomolekul) dalam bentuk
merusak struktur maupun fungsi biologis. Toksikan dapat menimbulkan efek
negatif bagi biota dalam bentuk perubahan struktur maupun fungsional, baik
secara akut maupun kronis/sub kronis. Efek tersebut dapat bersifat reversibel
sehingga dapat pulih kembali dan dapat pula bersifat irreversibel yang tidak
mungkin untuk pulih kembali (Halang, 2004).
Raut dan Anthapan (2013) yang menyatakan hasil uji screening fitokimia daun
Rhizopora positif mengandung alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. Sementara
Putri dkk (2016) mendapatkan hasil positif mengandung alkaloid, flavonoid,
saponin, fenol dan tanin. Menurut Robinson (1995), aktivitas antioksidasi yang
juga dimiliki oleh komponen aktif flavonoid tertentu digunakan untuk
menghambat pendarahan. Menurut Wagner (1993), senyawa-senyawa pada
tumbuhan umumnya berperan sebagai insektisida bagi organisme. Alkaloid dan
flavonoid diketahui bersifat toksik karena dapat bekerja sebagai racun pernapasan
bahkan senyawa alkaloid dapat menyebabkan keracunan perut atau stomach
poisoning yang menghambat daya makan pada organisme, sehingga mengalami
kekurangan nutrisi dan pada akhirnya mati. Demikian dengan senyawa saponin
dan tanin yang juga mengganggu proses pencernaan. Saponin mengakibatkan
penurunan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan sehingga dapat
menghambat perkembangan, menggangu pertumbuhan dan menghambat
reproduksi. Tanin menghalangi proses mencerna makanan dan juga menyebabkan
gangguan penyerapan air pada organisme, sehingga dapat mematikan
organisme.Senyawa-senyawa aktif pada ekstrak bakau Soneratia alba dalam
jumlah besar diduga mampu membuat gangguan pada proses pencernaan dan
bersifat toksik bagi artemia bila berada dalam konsentrasi cukup tinggi.

25
4.2.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan %

Kelangsungan selama pratikum berlangsung benih Ikan mas juga mengalami


kematian. Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama pratikum
dapat dilihat pada Gambar. 9 dan Tabel 4. Kematian ikan diduga karena Ikan mas
kekurang oksigen dan pada saat pratikum berlangsung suplai oksigen aerasi pada
wadah perlakuan mati dimana pada saat ikan stress bakteri mudah menginfeksi
ikan. Dengan demikian, kematian pada perlakuan P2 (500 PPM) selain
disebabkan oleh dropnya DO juga diakibatkan keracunan saponin. Karena daun
mangrove mengandung saponin. Sesuai dengan pernyataan (Dumaria dan
Yunasfi, 2007) saponin merupakan racun bagi ikan berdarah merah.
Hasil tingkat kelulusan hidup ikan pratikum dimana kelangsungan hidup yang
tertinggi terdapat pada perlakuan Kontrol dan P1 (400 ppm) mencapai 100%,
kemudian perlakuan terendah P2 hanya 73%. Rendahnya kelangsungan hidup
pada perlakuan P2 diduga kembali disebabkan oleh keracunan tannin yang
melebihi dosis. Senyawa tanin adalah fenolik dalam bentuk polimerik fenol yang
banyak terdapat pada teh dan tanaman bakau apabila mengkonsumsi secara
berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada proses fisiologis (Purwaningsih et
al. 2013). sehingga metabolisme ikan uji terganggu dan mengalami stres, inilah
yang menyebabkan ikan uji mati. Sependapat (Hidayat, 2012) menyatakan bahwa
dengan semakin baik metabolisme dalam tubuh ikan dan secara otomatis selera
makan meningkat, daya tahan tubuh ikan terhadap pengaruh lingkungan
sekitarnya akan semakin baik sehingga tingkat kematian ikan semakin rendah.

26
4.2.3. Pertumbuhan ikan

Pertumbuhan Berdasarkan rata-rata hasil pertumbuhan bobot dan Panjang ikan


pada akhir pemeliharaan benih ikan mas dapat dilihat pada Gambar. 8 dan 9
selama pemeliharaan diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan P1 (400 ppm)
dengan rerata 6,72 g, diikuti oleh perlakuan P2 (500 ppm) dan Kontrol. Paling
rendah adalah perlakuan Kontrol dengan rerata secara berurutan 6,37 g dan 6,50 g.
Dengan nilai pertumbuhan bobot mutlak dan Panjang mutlak dapat dilihat pada
Tabel. 2. Pertumbuhan bobot dan Panjang pada ikan mas hasil pratikum tertinggi
pada P1 diduga akibat kinerja senyawa Rhizopora Sp. Dimana kandungan ekstrak
dapat menekan agen infeksi (bakteri,jamur) menjadi terhambat. Sesuai dengan
hasil penelitian (Dedi et.al 2004) hasil uji antimikroba terhadap bakteri A.
hydrophila, S. agalactiae dan jamur Saprolegnia sp. menunjukkan ekstrak
Rhizopora mucronata memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas karena
mampu menghambat ketiga mikroba uji tersebut. Hal ini menyebabkan ikan
mengalami sehat sehingga pertumbuhan menjadi meningkat. Sesuai dengan
pernyataan (Purwanti et al. 2012) ikan yang terinfeksi dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan menyebabkan kerugian besar, antara lain kematian
massal, pertumbuhan menjadi terhambat berat dan pengurangan fekunditas.
Pertumbuhan bobot mutlak tertinggi P2 (0,608 g selama 7 hari pemeliharaan).
Pertumbuhan bobot mutlak terendah pada perlakuan Kontrol (0,17 g selama 7 hari
pemeliharaan) dan dikuti perlakuan P1. (0,552 g selama 7 hari pemeliharaan.
Pertumbuhan panjang mutlak tertinggi P1 (0,19 cm selama 7 hari pemeliharaan).
Pertumbuhan panjang mutlak terendah pada perlakuan Kontrol (-0,46 cn selama 7
hari pemeliharaan) dan dikuti perlakuan P2 (0,8 cm selama 7 hari pemeliharaan.
Perlakuan pertumbuhan mutlak terendah pada perlakuan Kontrol dan mengalami
pertumbuhan Panjang yang negatif hal ini diduga pada perlakuan ini tidak diberi
ekstrak Rhizopora Sp sehingga ikan diduga mengalami stress dan pertumbuhan
menjadi terhambat. Sesuai dengan pernyataan (Siregar et.al 2002) ikan stress
disebabkan faktor lingkungan akan membuat ikan melakukan proses penyesuan
terhadap lingkungan sehingga nafsu makan ikan menjadi terhambat energi yang
digunakan melalui perombakan lemak dari tubuh dan pertumbuhan akan
berkurang seiring dengan tingkat ke stresanya.

27
4.2.4. Rasio Konversi Pakan
Semakin kecil nilai FCR mempunyai arti bahwa semakin efisien pemanfaatan
pakan, kualitas pakan dapat diketahui melalui konversi pakan karena nilai FCR
memberikan gambaran tentang efisiensi penggunaan pakan untuk pertumbuhan.
FCR berhubungan dengan FR pada pratikum kali ini pemberian pakan secara
adlibitum dengan menimbang pakan yang diberikan dan pakan yang sisa dan
didapatkan hasil nilai Rasio Konversi Pakan. Rasio konversi pakan yang tinggi
pada perlakuan Kontrol (1,49) dan P2 (0,95) hasil terbaik pada perlakuan P1
(0,52). Hal ini diduga dipengaruhi faktor lingkungan dan kualitas pakan,
lingkungan berperan penting dalam menunjang pertumbuhan apabila lingkungan
tidak baik akan memaksakan ikan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sehingga presentase pakan yang diberikan untuk menghasilan daging meningkat
lingkungan yang tidak baik salah satunya disebabkan oleh pemberian pakan yang
berlebihan.

Menurut (Hasibuan, 2007) menyatakan pemberian pakan yang berlebihan akan


mengakibatkan adanya sisa pakan yang tidak termakan sehingga dapat
menurunkan kualitas air media pemeliharaan, sehingga berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Perlakuan P1 FCR yang terbaik diduga
faktor dari ekstrak Rhizopora Spp dalam pakan dimana ekstrak tersebut dapat
mengahambat bakteri pathogen yang ada didalam tubuh. Menurut hasil penelitian
(Ainul et.al 2013) ekstrak kulit batang R. mucronata memiliki aktivitas antibakteri
(Edwardsiella) tarda pada ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dengan diameter zona
hambat yang lebih besar. Sehingga pakan yang diberi ekstrak dapat menunjang
kualitas pakan dalam segi kesehatan ikan. Sesuai dengan pernyataan (Taufiq et al.
2016) pakan yang berkualitas akan meningkatkan retensi terhadap penyakit.

4.2.5. Kualitas Air

Kualitas air merupakan faktor penting yang bisa mempengaruhi timbulnya


penyakit pada ikan mas, karena penyakit muncul dari interaksi antara inang,
patogen, dan lingkungan. Kualitas air yang berada di luar kisaran optimum
kebutuhan hidup ikan akan menyebabkan ikan mengalami stres, sehingga
akibatnya ikan lebih mudah terserang penyakit. Sehingga jika kualitas air dalam
kondisi optimum maka metabolisme dalam tubuh akan optimal dan energi yang
dihasilkan akan banyak (Widanarni et al. 2010). Hasil yang didapatkan kadar, pH
selama masa pemeliharaan dari ketiga perlakuan didapatkan kisaran 8,74-9,17 dan
pengukuran suhu didapatkan yaitu 28 – 28,4 oC selama pemeliharan 7 hari. Ikan
mas dapat bertahan hidup pada derajat keasaman air (pH) rendah, kisaran toleransi
terhadap pH berkisar antara 5 – 9 dan dapat bertahan hidup pada pH tinggi atau
perairan basa. Suhu yang optimal untuk kehidupan dan pertumbuhan adalah 28 –
30oC (Amri dan Khairuman, 2008). Hasil pengukuran kualitas air selama
pemeliharan mendapatkan hasil pengukuran layak digunakan untuk pemeliharaan
benih ikan mas.

28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan Nilai hasil uji LC50 ekstrak Rhizopora yang mematikan Artemia
Sp sebanyak 50% adalah dengan konsentrasi 1. 000 ppm. Hasil uji toksisitas pada
ikan Mas (Cyprinus carpio L.) konsentrasi terbaik pada perlakuan P1 (400 ppm)
dengan Tingkat kelangsungan hidup 100% dan pertumbuhan bobot mutlak sebesar
0.552 g dan Panjang mutlak 0,19 cm dengan rasio konversi pakan (FCR) 0.52.

5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian atau pratikum lebih lanjut dengan tenggat waktu yang
lebih lama untuk memperoleh data yang lebih akurat dan dilakukannya uji tantang
injeksi pathogen pada ikan agar mengetahui aktivitas dari ekstrak Rhizopora Sp, dan
juga dilakukan uji histopatologi untuk mengetahui kerusakan jaringan organ tubuh
akibat serangan pathogen yang di infeksi. Selain itu perlu juga dilakukan isolasi
terhadap senyawa metabolit sekunder daun Rhizopora Spp untuk mengetahui senyawa
yang memiliki potensi antimikroba.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ainul Mardiah, Dwi Suryanto, Desrita. 2013. “Efektivitas Ekstrak Kulit Batang
Rhizophora Mucronata Sebagai Antibakteri Untuk Mencegah Perkembangan
Bakteri Edwardsiella Tarda Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.).

Dedi Pradana, Dwi Suryanto, Yunasfi. 2004. “Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit
Batang Rhizophora Mucronata Terhadap Pertumbuhan Bakteri Aeromonas
Hydrophila, Streptococcus Agalactiae Dan Jamur Saprolegnia Sp. Secara In
Vitro.” 78–92.
Dumaria Rini Marlina Lumban Tobing, Yunasfi, Nurmatias. 2007. “Pengaruh
Ekstrak Daun Sonneratia Alba Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas
Hydrophila Pada Ikan Nila.” 1–11.
Elsy Puspitasari, Rozirwan, M. Hendr. 2018. “Uji Toksisitas Dengan
Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) Pada Ekstrak
Mangrove (Avicennia Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Alba Dan
Xylocarpus Granatum) Yang Berasal Dari Banyuasin, Sumatera Selatan.”
Jurnal Biologi Tropis 18(1):91–103.
Effendi, M.I., (1997). Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara.
Yogyakarta.
Hasibuan, R.D., 2007. Penggunaan Meat and Bone Meal (MBM) Sebagai Bahan
Subtitusi Tepung Ikan dalam Pakan Ikan Patin Pangasius sp.[Skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Herawati, N., N, Jalaluddin, L. Daha, dan F. Zenta. 2013. Sonneratia alba Sebagai
Sumber Senyawa Antibakteri Potensial. Universitas Negeri Makassar,
Sulawesi Selatan.
Hidayat, K., Usman, M.T., dan Mulyadi. 2012. Enlargement of Selais (Ompok
hypopthalmus) With fish meal Containing Thyroxine (T4) Hormone. Faculty
of Fisheries and Marine Science. Riau University.
Juniarti, D. Osmeli dan Yuhernita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji
Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan dari Ekstrak Daun
Saga (Abrus precatorius l.). Makara Sains, 13 (1) : 50-54.
Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. PT Rineka Cipta dan
PT Bina Adiaksara. Jakarta. 194.
Meyer, B. N., N. R. Ferrigni, J. E. Putman, L. B. Jacbsen, D. E. Nicols and J. L.
McLaughlin. 1982. Brine Shrimp : A Comvenient general Bioassay For
Active Plant Constituents. Planta Medica 45 : 31-34.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.
Purwaningsih S, Sukarno AYP, Deskawati E, Salamah E. 2013. Aktivitas
Antioksidan dari buah mangrove (Rhizophora mucronate Lamk.) pada suhu
yang berbeda. JPHP. 16 (3): 200- 206.
Purwanti, R, 2009. Analisa parasite pada budidaya ikan kerapu pada tahap

30
pembenihan danpembesaran di balai besar pengembangan budidaya air
payau jepara, Laporan PKL. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Rahayu, I.D. 2008. Produksi Antibiotik Alami Hasil Isolasi Aloe barbadensis Miller
:Penanggulangan Mastitis pada Sapi Perah. Laporan Penelitian Hibah.
Rinawati. N. D., 2011. Daya Antibakteri Tumbuhan Majapahit (Cresentia cujete
L.) Terhadap Bakteri Vibrio Alginolyticus. Tugas Akhir Program Studi
Biologi ITS. Surabaya.
Rohaeti, E., Batubara, I., Lieke, A., dan Darusman, LK. 2010. Potensi Ekstrak
Rhizophora sp. Sebagai Inhibitor Tirosinase. Prosiding Semnas Sains III.
IPB. Bogor.
Sari, D.K. 2008. Penapisan Antibakteri dan Inhibitor Topoisomerase I dari
Xylocarpus granatum. Tesis. ITB. Bogor.
Siregar A. F., Agus S., Delianis P. 2012. Potensi Antibakteri Ekstrak Rumput Laut
Terhadap Bakteri Penyakit Kulit Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
epidermidis, dan Micrococcus luteus. Journal Of Marine Research. 1(2): 152
– 160.
Taufiq Taufiq, Firdus Firdus, Iko Imelda Arisa. 2016. Pertumbuhan Benih Ikan
Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) Pada Pemberian Pakan Alami
Yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah.
1(3):355-365.
Trianto A. Wibowo, E. Suryono, dan Sapta R. 2004. Ekstrak daun mangrove
Aegiceras corbiculatum sebagai antibakteri Vibrio harveyi dan vibrio
parahaemolyticus. Ilmu kelautan 9(4):186-189.
Yeni Mulyani, Eri Bachtiar, dan M. Untung Kurnia A. 2013. “PERANAN
SENYAWA METABOLIT SEKUNDER TUMBUHAN MANGROVE
TERHADAP INFEKSI BAKTERI Aeromonas Hydrophila PADA IKAN
MAS (Cyprinus Carpio L.).” Jurnal Akuatika Vol. IV No. 1/ ISSN 0853-2523
IV(1):1–9
Widanarni., M.A. Lidaenni., dan D. Wahjuningrum. 2010. Pengaruh Pemberian
Bakteri Probiotik Vibrio SKT-b dengan Dosis yang Berbeda Terhadap
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Udang Windu (Panaeus
monodon) Fab. Jurnal Akuakultur Indonesia. 9(1): 21 – 29.
Zonneveld, N., E.A. Huisman, dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318

31
LAMPIRAN

1. Rumus Analisis Probit

(Σ 𝑋 2. Σ Y) − (Σ X . Σ
𝐴 = XY)
𝑛 Σ 𝑋 − (Σ 𝑋)2
2

𝑛 (𝛴 𝑋𝑌) − (𝛴 𝑋 . 𝛴 𝑌)
B = 𝑛 𝛴 𝑋2 − (𝛴 𝑋)2

Keterangan:

Y = Nilai probit mortalitas hewan uji


X = Logaritma konsentrasi uji
A = Konstanta
B = Slope

2. Pengukuran ikan

3. Sisa Pakan

Kontrol P2 (400 ppm) P3 (500 ppm)

32
33

Anda mungkin juga menyukai