Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH MUQORONATUL MADZAHIB

FII AL JINAYAT
PERBEDAAN ULAMA TENTANG PEMAAFAN YG DIBERIKAN OLEH ORANG DIBUNUH SECARA
SENGAJA KEPADA YG MEMBUNUH SESAAT SEBELUM MENINGGAL

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu

Pada Mata Kuliah Muqoronatul Madzahib fii Al Jinayat

Disusun oleh : Agus Setiyanto


Mata Kuliah : MUQORONATUL MADZAHIB FII AL JINAYAT
Dosen : Ali Mahfud, Lc, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH (STIS) AL MANAR


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
JAKARTA
2022
Tahrir Mahalli al khilaf.
Para fuqaha sepakat bahwa korban yang dibunuh dengan sengaja (korban meninggal tanpa memberikan
maaf), jika dia seorang muslim yang ma'shum (terpelihara darahnya), dan si pembunuh adalah orang
berakal dan mukallaf, dan ia bukan ayah atau kakek si terbunutU dan korban memiliki anak-anak lelaki
yang dewasa dan berakal, semuanya hadir dalam majlis dan menuntut qisas, maka hakim wajib
melakukan memenuhi tuntutan qisas tanpa ditunda-tunda. Kecuali, jika si pembunuh adalah wanita
yang sedang hamil. Maka, hukuman ditangguhkan sampai dia melahirkan dan menyusui anaknya. Jika
mereka (ahli waris korban) menarik tuntutan qisas dan menuntut diyat, maka mereka berhak atas diyat
meskipun tanpa persetujuan pelaku.

Perbedaan pendapat tentang orang yang terbunuh dengan sengaja, jika orang tersebut memberikan
maaf dari menuntut jiwanya sebelum dia meninggal. Apakah Qishash tetap dilakukan atau diyat saja
atau tanpa diyat?

Al Aqwal
Sekelompok ulama berpendapat bahwa jika orang yang terbunuh memberikan maaf dari menuntut
jiwanya dalam pembunuhan sengaja, maka hanya bisa terlaksana sepertiga diyat saja, kecuali jika ahli
waris mengizinkannya/ maka boleh digugurkan diyat secara sempurna dari pembunuh tidak sengaja.
Sebab, ahli waris telah menarik diri dari hak mereka atas harta waris. Di antara ulama yang
mengemukakan pendapat ini ialah Malik, Abu Hanifah, Al Auza,i dan ini juga merupakan salah satu dari
dua pendapat Syafi,i.

1. Sekelompok ulama lain berpendapat bahwa pemberian maafnya tidak menjadi keharusan dan
bagi para wali berhak melakukan qishash atau memberikan maaf. Di antara ulama yang
mengemukakan pendapat ini ialah Abu Tsaur dan Daud, ini adalah pendapat Syafi’i ketika
berada di Iraq

Sababulkhilaf

1. Dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur ialah: bahwa sesuatu yang diperuntukkan wali
hanyalah hak orang yang terbunuh. Maka wali menggantikan orang yang terbunuh dan
menempati kedudukannya. Jadi, orang yang terbunuh lebih berhak untuk memilih daripada
orang yang menempati kedudukannya setelah dirinya meninggal dunia. Para ulama telah
sepakat bahwa firman Allah ta'ala: "Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya."(QS. Al Ma’idah [5]: 45).
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya,
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

2. Dalil yang dijadikan landasan oleh kelompok kedua ini ialah bahwa Allah memberikan pilihan
kepada wali dalam tiga hal: kemungkinan memberikan maaf kemungkinan melakukan qishash
dan kemungkinan menuntut diyat. Dan itu umum pada setiap orang yang terbunuh, baik dia
telah memaafkan dari menuntut jiwanya sebelum meninggal dunia atau tidak.

Adillatul aqwal
1. Dalil Pendapat Jumhur berdasarkan Firman Allah ta'ala: "Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya"(QS. Al Ma,idah [5]:
45)

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim

Yang dimaksud dengan orang yang melepaskan hak qishash di sini ialah orang yang
terbunuh melepaskan hak qishash-nya. Hanya saja mereka berbeda pendapat, kepada
siapakah kembalinya dhamir (kata ganti) tersebut di dalam firman Allah Ta'ala'. "Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya."(Qs.AI Maa'idah [5]: 45)

2. Dalil Pendapat kedua berdasarkan Firman Allah Ta’ala Surat At Taubah ayat 71

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi wali
bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Ayat ini mengharuskan adanya hak untuk menetapkan qisas bagi seluruh ahli waris.

Kemudian Surat Al Isra’ ayat 33

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Yang dimaksud firman Allah "sulthan" (Al-Israa': 33) adalah kekuasaan, jika dia ingin membunuh,
maka boleh baginya membunuh. Jika ingin memaafkan maka dia boleh memaafkan, atau jika
ingin, dia juga berhak menuntut diyat.

Tsamrotu al Khilaf
1. Sekelompok ulama berpendapat bahwa jika orang yang terbunuh memberikan maaf dari
menuntut jiwanya dalam pembunuhan sengaja, maka hanya bisa terlaksana sepertiga diyat saja,
kecuali jika ahli waris mengizinkannya, maka boleh digugurkan diyat secara sempurna dari
pembunuh tidak sengaja. Sebab, ahli waris telah menarik diri dari hak mereka atas harta waris.
2. Sekelompok ulama lain berpendapat bahwa pemberian maafnya tidak menjadi keharusan dan
bagi para wali berhak melakukan qishash atau memberikan maaf. Di antara ulama yang
mengemukakan pendapat ini ialah Abu Tsaur dan Daud, ini adalah pendapat Syafi’i ketika
berada di Iraq

At tarjih
Pendapat kedua lebih kuat dengan alasan, karena wali Korban juga memiliki rasa kehilangan yang amat
dalam terhadap meninggalnya korban, dan memiliki hak qishash atau memberikan maaf berdasarkan
surat At Taubah ayat 71 dan Al Isra ayat 33

Anda mungkin juga menyukai