Anda di halaman 1dari 20

SISTEM KAPITALIS PADA HUBUNGAN EKSPLOITATIF

PERUSAHAAN TERHADAP BURUH PT. ALPEN FOOD INDUSTRY

MAKALAH

Oleh:

Afifah Naya Guswimareta


210910201111

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Kapitalis
pada Hubungan Eksploitatif Perusahaan terhadap Buruh PT. Alpen Food Industry”.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Etika Akademik. Untuk itu, penulis sangat
berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan dan
Etika Akademik yang telah memberikan bimbingannya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis sangat mengetahui bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, mohon kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat
menyusunnya kembali lebih baik dari sebelumnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis.

Jakarta, 6 Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..4
1.1 Latar Belakang………………………………….…………………....4
1.2 Rumusan Masalah……………………………….…………………...6
1.3 Tujuan dan Manfaat………………………………………………….6
BAB II KERANGKA TEORI……………...……………….…………………..7
2.1 Sistem Ekonomi Kapitalis……………...………….…………………7
2.2 Etika Bisnis………………………………………………………….10
BAB III PEMBAHASAN……………………………...……………………….14
3.1 Eksploitasi Tenaga Kerja pada PT. Alpen Food Industry…………...14
3.2 Relevansi Sistem Kapitalis Menurut Karl Marx dengan Praktik
…………...Eksploitasi Tenaga Kerja di PT. Alpen Food Industry………...……17
BAB IV PENUTUP…………………………...………………………………...19
4.1 Kesimpulan…………………...………………………………..........19
DAFTAR PUSTAKA……………………...………………………………........20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perusahaan adalah usaha yang ada pada kehidupan masyarakat dimana


berkontribusi secara signifikan terhadap kemajuan ekonomi, terutama lapangan
kerja. Dalam rangka mempertahankan dan memajukan kualitas hidup perusahaan,
perusahaan bersaing ketat untuk mengelola bisnisnya dan meningkatkan posisi
kompetitifnya. Pabrik merupakan salah satu perusahaan industri yang banyak
berkembang dan bermunculan di Indonesia. Industri pabrik ini diisi oleh berbagai
macam usaha di sejumlah bidang seperti makanan, minuman, otomotif, perabot
rumah tangga, dan sebagainya. Industri pabrik di Indonesia cenderung memiliki
perkembangan yang baik dari masa ke masa. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya sumber daya manusia yang telah bekerja dalam industri pabrik di
Indonesia sehingga pabrik sendiri memiliki peran yang cukup penting dalam
kemajuan ekonomi. Pabrik telah banyak menyerap sumber daya manusia untuk
meningkatkan produktivitas ekonomi. Indonesia sendiri memiliki sumber daya
manusia yang melimpah, dalam hal ini pabrik berperan penting untuk merekrut dan
melatih sumber daya manusia yang ada. Dengan adanya pabrik maka terciptalah
sumber daya manusia yang terampil dalam bekerja dan memiliki kemampuan yang
kompetitif untuk kedepannya.

Dalam menjaga posisi perusahaan pada dunia persaingan bisnis, perusahaan


dituntut untuk mahir dalam membuat strategi mempertahankan usaha yang telah
dijalankan. Besarnya peluang bisnis di Indonesia juga berdampak pada semakin
besarnya persaingan yang harus dihadapi oleh berbagai perusahaan. Untuk
mempertahankan keuntungan serta menjaga eksistensinya, perusahaan harus
mampu bersaing. Persaingan yang semakin besar dan ketat ini seringkali menjadi
kendala dalam meningkatkan kualitas perusahaan dalam dunia bisnis. Etika bisnis
berkaitan erat dengan masalah ini. Segala kegiatan bisnis yang dilakukan dalam
mempertahankan dan menjalankan perusahaan termasuk industri pabrik didasarkan
pada kode etik yang dikenal sebagai etika bisnis. Etika bisnis ini memengaruhi

4
banyak hal, terutama hak asasi manusia, standar tenaga kerja atau standar karyawan
dan hubungannya dengan lingkup area bisnis (Kapstein, 2001:105).

Etika bisnis memiliki peran yang sangat penting dalam perusahaan.


Perusahaan yang menjalankan etika bisnis dengan baik memiliki indikasi bahwa
perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang berkualitas. Perusahaan yang
berkualitas disini merupakan perusahaan yang tidak hanya mementingkan
kepuasaan konsumen, namun juga perusahaan yang dapat mempertahankan
karyawannya dengan baik. Karyawan dalam sebuah perusahaan memegang peran
yang sangat penting. Karyawan merupakan aset sumber daya manusia yang perlu
dipertahankan dan dijaga oleh perusahaan. Tanpa adanya karyawan, sebuah
perusahaan tidak dapat berjalan dengan semestinya. Kegiatan bisnis yang dipandu
oleh etika bisnis seringkali membahas masalah hak asasi manusia, standar
perburuhan, dan hubungan dengan lingkungan bisnis. Masalah-masalah tersebut
terbukti sudah banyak ditemui di berbagai perusahaan terutama dalam industri
pabrik. Salah satunya di PT. Alpen Food Industry (AFI), anak perusahaan Aice
Group Holdings Pte. Ltd. yang merupakan produsen dari Aice Ice cream
menghadapi berbagai jenis kejahatan hukum dan etika bisnis terutama di tempat
kerja.

Sebuah perusahaan biasanya mempekerjakan pekerja kelas bawah untuk


mendapatkan keuntungan. Hal ini seringkali dilakukan oleh pengusaha pada
industri pabrik yang mempekerjakan para buruh. Perbedaan kepentingan antara
pemilik modal dan pekerja mendukung terciptanya hubungan sosial di antara
mereka. Di Indonesia sendiri buruh pabrik sering dipandang sebagai pekerjaan yang
bernilai rendah, padahal tanpa buruh maka perusahaan tidak dapat menjalankan
bisnisnya. Namun, pekerja kelas bawah atau buruh menjadi sering menerima
perlakuan yang menindas. Perlakuan ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk membela diri. Selain itu, mereka tidak memiliki
akses ke sarana-sarana, sumber daya, dan modal. Atas dasar tersebut, penulis
tertarik untuk membuat analisa tentang masalah yang dihadapi oleh buruh PT.
Alpen Food Industry dengan teori kapitalisme oleh Karl Marx dalam makalah ini.

5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa makna dari sistem ekonomi kapitalis menurut pandangan Karl
Marx?
2. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis?
3. Apa praktik eksploitasi buruh yang dilakukan oleh PT. Alpen Food
Industry?
4. Apa relevansi kritik kapitalisme Karl Marx dengan eksploitasi
buruh pada PT. Alpen Food Industry?

1.3. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk memahami makna sistem ekonomi kapitalis dari sudut
pandang Karl Marx
2. Untuk memahami makna dari adanya etika bisnis dalam lingkungan
perusahaan
3. Untuk mengetahui berbagai praktik eksploitasi buruh yang terjadi
dalam PT. Alpen Food Industry
4. Untuk mengetahui relevansi antara praktik eksploitasi buruh dan
pelanggaran hukum serta etika bisnis dengan pemikiran Karl Marx
tentang sistem ekonomi kapitalis

6
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Sistem Ekonomi Kapitalis

Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem dalam perekonomian yang


memberikan kebebasan penuh kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan
ekonomi, yaitu produksi barang, penjualan barang, distribusi barang, dan lain-lain.
Dalam sistem ini, pemerintah dapat berperan dalam menjamin kelancaran dan
keberlanjutan kegiatan ekonomi saat ini, tetapi tidak dapat mengintervensi
perekonomian. Dalam ekonomi kapitalis, setiap warga negara memiliki hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Namun, sistem ekonomi kapitalis berpendapat bahwa
pencocokan kebutuhan dan keinginan tidak memadai dan tidak sesuai dengan fakta
(Sholahuddin, 2007).

Karl Marx sendiri mengkritik konsepsi sistem kapitalis ini. Tulisan-tulisan


awal Marx berkaitan dengan hubungan antara pekerjaan dan sifat manusia. Marx
percaya bahwa sistem produksi kapitalis membuat kerja manusia tidak sesuai
dengan kodrat manusia. Ketidaksesuaian antara sifat manusia dan pekerjaan inilah
yang dikenal dengan istilah alienasi (Hendrawan, 2014). Alienasi ini menciptakan
dua kelas yaitu borjuis dan buruh. Kaum kapitalis sebagai kaum yang menduduki
kelas borjuis merupakan kaum pemilik usaha yang memiliki hak atas alat-alat
produksi serta segala sarana dalam perusahaan. Sementara, buruh merupakan kaum
yang bekerja dalam perusahaan dimana mereka tidak memiliki hak atas sarana dan
alat-alat produksi dalam perusahaan.

Munculnya kelas-kelas sosial dan hak milik atas alat-alat produksi


disebabkan karena usaha manusia untuk mengamankan dan memperbaiki keadaan
hidup.Buruh yang termasuk kedalam kelas sosial terpaksa menjual waktu dan
tenaganya kepada kapitalis. Karena keterpaksaan dalam bekerja tersebut dimana
buruh bekerja tanpa memiliki hak atas sarana dan tempat dalam perusahaan,
akhirnya hasil dan keuntungan dari perusahaan akan diambil oleh kapitalis. Dalam
hal ini terdapat orang-orang yang mengintervensi proses produksi dimana

7
terkandung dalam suatu struktur organisasi sosial produksi yang dibentuk oleh para
pemilik modal dan para pekerja.

Pada setiap kegiatan usaha atau produksi, pemilik modal dan buruh saling
membutuhkan satu sama lain. Kegiatan produksi dapat berjalan apabila ada buruh
yang bekerja dan buruh membutuhkan sarana dan tempat untuk bekerja sehingga
mendapatkan upah. Sementara, pelaku usaha atau pemilik modal hanya dapat
memperoleh keuntungan apabila ada yang menjalankan alat-alat produksinya. Jika
dilihat melalui sudut pandang tersebut, dapat dikatakan bahwa kedua pihak yaitu
buruh dan pemilik modal saling bergantung satu sama lain. Namun, hubungan
timbal balik tersebut justru menciptakan perbedaan yang jauh antara buruh dan
pemilik modal terutama dalam kelas sosial.

Marxisme percaya bahwa sifat dasar manusia adalah materialistis, yaitu


bahwa ia hanya memikirkan kebutuhannya. Karl Marx berpendapat bahwa ada
ketidaksetaraan dalam sistem kapitalis dimana para pekerja yang bekerja paling
lama menghasilkan keuntungan yang sangat kecil dibandingkan dengan borjuis
yang menghasilkan keuntungan paling banyak sebagai pemilik (Jackson &
Sorensen 1999). Hal ini mempermudah borjuis untuk memperoleh kekayaan
pribadi. Tetapi pada saat yang sama, pekerja akan tetap miskin, karena mereka terus
bekerja tanpa menerima upah yang memadai. Modal yang dimiliki oleh kapitalis
dapat bertambah dengan cara mengeksploitasi para buruh yang benar-benar bekerja
menggunakan alat produksi.

Peran kapitalis yang mendominasi serta eksploitasi yang dilakukan oleh


kapitalis akan terus merugikan para buruh. Eksploitasi yang dilakukan oleh
kapitalis tidak dilakukan secara terang-terangan. Namun, eksploitasi ini terjadi pada
buruh atas dorongan yang diciptakan oleh kapitalis. Dorongan ini berupa buruh
harus lebih sering dan lebih banyak bekerja agar tetap bisa mendapat upah untuk
mencukupi kebutuhannya. Dorongan berupa kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh kapitalis untuk melakukan eksploitasi pada
buruh. Apabila kaum buruh tidak melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan
ketentuan yang dibuat, maka kapitalis dapat dengan mudah menggantikannya
dengan sumber daya manusia lain terutama kondisi Indonesia yang masih banyak

8
terdapat pengangguran. Kondisi ini membuat buruh harus patuh pada ketentuan
kerja yang ada karena buruh tidak memiliki pilihan lain. Ketentuan atau syarat yang
dibuat oleh kapitalis ini merupakan salah satu bentuk eksploitasi pada buruh.

Bagi Karl Marx, inti dari sistem kapitalis adalah penggandaan modal (uang).
Dengan uang, kapitalis dapat membeli tenaga kerja dan mesin produksi untuk
memproduksi barang. Setelah memproduksi suatu komoditas, para kapitalis
menjualnya lagi untuk mendapatkan lebih banyak uang. Sirkulasi barang dan
transfer uang ke barang dan kemudian ke uang dikenal dengan skema M - C - M.
Tiga surplus yang diambil kapitalis dari pekerja tersebut pada dasarnya adalah
tindakan perampasan hak-hak pekerja, yang disebut oleh Karl Marx sebagai
tindakan eksploitasi (Kambali, 2020).

Eksploitasi dalam sistem kapitalis terjadi kepada para buruh tanpa


memandang laki-laki atau perempuan. Menurut Marx, buruh dibuat sengsara dan
menderita oleh adanya sistem kapitalis tersebut. Marx percaya bahwa kepemilikan
pribadi atas hasil keuntungan produksi hanya akan memperkaya kapitalis diantara
para buruh yang lebih banyak bekerja. Hal tersebut kemudian menjelaskan bahwa
terdapat eksploitasi pekerja yang dilakukan oleh kapitalis.

Terdapat karakteristik pada sistem kapitalis yang cenderung


mengeksploitasi buruh yaitu yang pertama dilihat dari cara produksi sebuah
perusahaan. Pada perusahaan yang menerapkan sistem kapitalis, buruh yang tidak
memiliki hak atas hasil produksi menjual tenaga dan waktunya kepada pemilik hak
dari hasil produksi yang mana bukan seorang buruh. Selain itu, pendapatan yang
diterima oleh buruh atas hasil dari menjual tenaga dan waktu sebagai pekerja,
jumlahnya hanya sebagian kecil dari nilai produk yang telah mereka hasilkan dalam
proses produksi. Kondisi tersebut lebih tepatnya buruh bekerja tanpa dibayar
dengan sepantasnya oleh pemilik dari hasil produksi. Hal tersebut termasuk
kedalam nilai lebih atau surplus yang diindikasikan sebagai tindakan eksploitasi
sumber daya manusia. Sistem kapitalis juga tidak memberikan dana yang sesuai
untuk para pensiunan, buruh yang cuti karena sakit, dan kompensasi atau pesangon
bagi karyawan kontrak maupun karyawan yang terkena PHK.

9
2.2 Etika bisnis

Etika atau moral menurut Vilardo, adalah studi tentang pertimbangan untuk
menyetujui atau tidak menyetujui sikap dan/atau tindakan manusia berdasarkan
sikap dan/atau tindakan yang salah atau baik. Istilah etika dan moral dianggap sama
karena memiliki arti yang sama, ethos (Yunani) dan moral (Latin) yang berarti adat.
Konsep etika bisnis yang dirumuskan oleh Sony Keraf, yang meliputi prinsip
otonomi, prinsip integritas, prinsip menghindari kejahatan, prinsip keadilan dan
prinsip harga diri, jelas merupakan konsep universal bagi masyarakat dan harus
menjadi "panduan" dalam interaksi bisnis sehari-hari.

Idealnya, dalam masyarakat saat ini, aktivitas perusahaan atau usaha yang
diharapkan harus memenuhi harapan berikut:

1. Tempat terbaik untuk berinvestasi, dalam hal ini perusahaan diharapkan


menjadi tempat yang baik dan menyenangkan untuk melakukan bisnis;
2. Tempat terbaik untuk bekerja, selain sebagai perusahaan, juga tempat yang
baik untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak;
3. Lebih aktif mendukung cita-cita etis dengan menjaga dan menerapkan etika
dan etos kerja yang ideal;
4. Perusahaan yang lebih baik untuk dibeli, menjadi perusahaan yang
produknya dapat diandalkan;
5. Pasar yang lebih baik dengan memiliki produk berkualitas baik secara
nasional maupun internasional;
6. Wajib pajak yang lebih baik dan pendukung pemerintah, menjadi wajib
pajak yang baik dan mampu menghasilkan devisa bagi pemerintah;
7. Tetangga terbaik di masyarakat, selain menjadi tetangga yang baik di
masyarakat sekitar lingkungan perusahaan (misalnya, tidak mencemari atau
mengotori tempat);
8. Kontribusi yang lebih baik untuk tujuan sosial, kepentingan umum, dan
kemajuan manusia, yang mampu memberikan kontribusi dan manfaat bagi
proses pembangunan. (Blomstorm, 1985: 58-59).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika seseorang ingin menjadi


wirausahawan di zaman modern ini, maka harus tetap memperhatikan dan

10
menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis agar dapat bertahan dan berkembang.
Budaya perusahaan yang negatif berupa penetapan prioritas keuntungan berupa
pertumbuhan, penguasaan pasar, dan lain-lain sebagai tujuan organisasi
(organizational goals), merupakan ambisi pribadi yang tidak terbatas dari para
pemimpin bisnis, penegakan hukum yang lemah, kontrol yang lemah, dan subkultur
amoral yang menganiaya masyarakat (Box, 1983: 64). Etika bisnis yang baik sering
diabaikan dan tindakan yang merugikan mitra bisnis adalah cara umum untuk
mencapai tujuan (praktik bisnis yang tidak biasa).

Banyak masalah-masalah yang dihadapi dalam lingkungan perusahaan serta


banyak pula berbagai macam hukum yang mengaturnya. Seperti hal-hal yang
berkaitan dengan perlindungan lingkungan bisnis, contohnya diskriminasi dalam
perusahaan, keamanan bekerja, kasus penyuapan hingga monopoli dalam
perusahaan. Dalam kondisi seperti ini, peran etika bisnis sangatlah dibutuhkan. Hal
ini dikarenakan, undang-undang yang dibuat untuk mengatasi masalah-masalah
dalam perusahaan dibuat dengan mengambil sumber dari nilai-nilai moral yang ada
pada lingkungan kerja pemerintahan. Yang mana hampir memiliki kesamaan nilai-
nilai moral dengan lingkungan kerja pada perusahaan bisnis.

Seluruh jenis perusahaan terutama perusahaan yang berhubungan dengan


dunia bisnis, harus menaati, merealisasikan, serta menggunakan etika bisnis dalam
setiap kegiatan yang menunjang bisnisnya. Apalagi, dengan hadirnya teknologi dan
komunikasi digital yang saat ini telah berkembang pesat tentu akan memudahkan
pengawasan dalam pelaksanaan etika bisnis pada sebuah perusahaan. Terutama jika
terjadi pelanggaran, pekerja dapat dengan mudah melakukan pengaduan dengan
bantuan software digital yang ada. Selain itu, pekerja dapat juga menggunakan
berbagai fitur dalam teknologi seperti platform komunikasi digital yang saat ini
telah tersedia dalam jumlah yang besar serta dengan variasi yang beragam sesuai
dengan kebutuhan penggunanya.

Dengan adanya etika bisnis, seorang pengusaha dapat menciptakan


lapangan kerja yang mempunyai lingkungan sehat. Selain itu, adanya etika bisnis
juga akan membantu seorang pengusaha untuk mendapatkan sumber daya manusia
dengan keterampilan yang tepat dan sesuai untuk mengisi posisi yang sedang dicari

11
dalam perusahaannya. Terutama di era globalisasi kini, dimana semakin banyak
sumber daya manusia yang membutuhkan lapangan kerja dengan berbagai
keterampilan serta berkembangnya berbagai bisnis startup yang baru bermunculan,
tentu peran etika bisnis sangat dibutuhkan. Sejak dulu, perusahaan selalu mencari
sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, dengan
adanya etika bisnis tentu dapat membantu tercapainya kualitas sumber daya
manusia yang diinginkan perusahaan. Maka dari itu, pemahaman terhadap etika
bisnis ini sangat penting bagi seorang pengusaha.

Untuk membangun budaya lingkungan kerja yang sehat dan sesuai dengan
etika bisnis, dapat dibuat sebuah program etika bisnis. Menurut Departemen
Perdagangan Amerika Serikat, program etika bisnis yang utuh harus menyentuh
seluruh fungsi bisnis tersebut. Fungsi bisnis tersebut meliputi operasi atau aplikasi,
sumber daya manusia, pemasaran, dan lain-lain. Perusahaan riset global Gartner
menyarankan, dalam pembuatan program etika bisnis baiknya perusahaan
mengkombinasikan program etika bisnis dengan operasi bisnisnya. Dengan begitu,
pelaksanaan program dapat berjalan secara maksimal serta menghasilkan efek yang
besar. Menurut Gartner, sebuah program etika bisnis harus dapat memenuhi
beberapa hal yaitu:

1. Menentukan instruksi program


2. Mengawasi dan mengurangi resiko
3. Menetapkan prosedur dan kebijakan
4. Mengawasi adanya tuduhan pelanggaran
5. Memberikan pelatihan dan komunikasi
6. Memperkuat tercapainya tujuan terhadap perilaku yang diharapkan
7. Mengelola fungsi etika perilaku

Perusahaan memegang peranan yang penting dalam mewujudkan


terciptanya lingkungan bisnis yang baik. Sementara, pendidikan berperan penting
dalam membentuk karakter kepemimpinan yang etis. Bila ada suatu perusahaan
bisnis dimana dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, perusahaan tersebut tidak
berpedoman pada etika bisnis maka patut dipertanyakan eksistensinya. Karena
biasanya perusahaan yang tidak berpedoman pada etika bisnis maka kemungkinan

12
perusahaan tersebut akan mengalami penurunan saham atau pemutusan hubungan
kerja dengan mitra bisnis lainnya. Selain itu, etika bisnis juga memiliki hubungan
dengan kepuasaan konsumen dan loyalitas pelanggan. Perusahaan yang tidak
berpedoman atau tidak menerapkan etika bisnis dalam kegiatannya, apalagi bila
perusahaan tersebut terjerat dalam kasus pelanggaran etika bisnis dalam lingkungan
perusahaannya, maka dipastikan akan terjadi penurunan jumlah konsumen dari
perusahaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh etika bisnis yang memiliki hubungan
dengan loyalitas pelanggan. Etika bisnis sendiri dapat menumbuhkan kepercayaan
konsumen terhadap suatu produk perusahaan. Selain itu, etika bisnis juga dapat
memengaruhi eksistensi sebuah perusahaan seperti dapat memperkuat branding
sebuah perusahaan serta meningkatkan penjualan produk.

13
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Eksploitasi Tenaga Kerja pada PT. Alpen Food Industry

Peran buruh atau karyawan dalam suatu perusahaan sangatlah penting,


karena buruh dan perusahaan adalah dua substansi yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Langkah awal yang pasti adalah perusahaan harus tunduk pada hukum
negara tempat mereka beroperasi. Namun, hukum yang berlaku seringkali terlalu
lemah untuk melindungi hak-hak buruh dan lingkungan bisnis. Akibatnya,
kelemahan ini membuka kesempatan pada sengketa yang sah atas penafsiran dan
penerapan undang-undang atau hukum (Kapstein, 2001, hlm. 106).

Hal itulah yang berlangsung dalam perusahaan PT. Alpen Food Industry
(AFI), anak perusahaan Aice Group Holdings Pte. Ltd. Singapura, yang dikenal
sebagai produsen es krim termurah bermerek Aice. Apabila dilihat dari aktivitas
perusahaan di dunia bisnis selama ini, PT. Alpen Food Industry berpartisipasi
sebagai sponsor pada Asian Games 2018 dan memiliki perkembangan yang baik di
Indonesia. Selain itu, es krim ini telah menyebar ke desa-desa di seluruh Indonesia,
yaitu dari Aceh hingga Flores. Es krim tersebut bukan hanya dijual di kios atau toko
makanan, Aice juga telah menjual produknya di Transmart, Carrefour, serta aktif
mengundang selebriti untuk menjadi duta merek es krim Aice melalui akun
Instagram.

Usaha yang sangat menguntungkan dan berkembang pesat ini berbanding


terbalik dengan realisasi hak-hak dasar para pekerjanya. Ternyata, PT. Alpen Food
Industry melakukan tindakan eksploitasi terhadap buruh dan juga memberikan upah
yang tidak sesuai dengan beban kerja pegawainya. Fakta mengejutkan ini terungkap
setelah beberapa pekerja di unit produksi mengalami cedera akibat kerja, sejumlah
buruh pingsan akibat menghirup amonia. Selain itu, terjadi kecelakaan dimana
seorang pekerja memotong jarinya karena kesalahan pemotongan mesin. Bantuan
atas kecelakaan tersebut pun belum diberikan oleh pihak PT. Alpen Food Industry,
termasuk perizinan untuk pulang dan asuransi bagi pekerja berupa jaminan

14
kesehatan BPJS. Bahkan PT. Alpen Food Industry tidak memberikan persediaan
kotak P3K. Pekerja umumnya mengumpulkan uang Rp 5.000,00 per orang setiap
bulan untuk membeli isi kit P3K (Nathaniel, 2017).

Silvana Zhong Xin Yun, sebagai humas PT. Alpen Food Industry yang saat
itu menjabat, menyalahkan para buruh karena tidak mengikuti standar keselamatan
saat bekerja serta menyangkal segala tuduhan terhadap perusahaan. Silvana
menyatakan jika PT. Alpen Food Industry selalu memprioritaskan standar
keselamatan kerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan Indonesia
(Widhana, 2017). Tapi nyatanya, tudingan ini semakin tidak sesuai dengan fakta
baru yang terkuak tentang keadaan buruh PT. Alpen Food Industry. Fakta tersebut
juga terungkap dalam aksi mogok kerja buruh PT. Alpen Food Industry pada
November 2017 karena keadaan lingkungan pabrik yang kian memburuk dan pada
umumnya mereka mengabaikan hak-hak buruh (Nathaniel, 2017).

Menurut pemaparan Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan, hak


untuk cuti haid bagi pekerja perempuan dan cuti sakit selama ini dipersulit oleh
pihak PT. Alpen Food Industry. Banyak sekali syarat dan prosedur yang harus
dilakukan untuk mendapatkan cuti tersebut, akhirnya banyak pekerja yang memilih
untuk tetap bekerja karena terlalu dipersulit dalam prosedur pengajuan cuti.
Faktanya, hak untuk cuti haid bagi pekerja perempuan sendiri telah diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 81 ayat (1) dan (2). Namun, yang terjadi di
lapangan justru tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. PT. Alpen Food
Industry sendiri tidak menerapkan aturan hukum tersebut dalam kegiatan
perusahaannya. Akibatnya, banyak pekerja perempuan yang mengalami penyakit
serius.

Salah satunya pernah terjadi kepada pekerja perempuan yang memiliki


riwayat penyakit dysmenorrhea dimana penyakit tersebut dialami beberapa
perempuan pada saat haid dan dapat berakibat pada gangguan endometriosis.
Pekerja perempuan yang memaksakan diri untuk tetap bekerja dalam kondisi
tersebut berakhir dengan terjadinya pendarahan yang cukup besar. Selain
memaksakan diri untuk tetap bekerja, hal tersebut juga disebabkan oleh beban kerja
yang diberikan kepada buruh tergolong cukup berat jika tidak dilakukan dalam

15
kondisi yang fit. Hal yang sama juga terjadi pada perempuan hamil, dimana mereka
tetap diberikan jumlah pekerjaan yang sama dan tidak mendapat keringanan apapun
maupun kebutuhan untuk perempuan yang sedang hamil. Akibatnya pun di
sepanjang tahun 2019 hingga 2020 ditemukan kasus keguguran yang terjadi pada
21 buruh perempuan di PT. Alpen Food Industry. Hal tersebut tentunya adalah
akibat dari tidak adanya keringanan beban pekerjaan untuk para buruh perempuan
yang sedang hamil. Mereka yang sedang hamil masih tetap harus melakukan beban
pekerjaan yang berat serta adanya tuntutan untuk memenuhi target produksi per hari
dimana tentunya tidak baik bagi kondisi kesehatan ibu hamil.

Selain itu, diketahui bahwa terdapat klinik milik perusahaan PT. Alpen
Food Industry yang berlokasi di sekitar lingkungan kerja, namun klinik tersebut
tidak beroperasi 24 jam dan juga tidak memiliki fasilitas kesehatan berupa mobil
ambulance. Alasan tersebut juga menjadi salah satu penyebab terjadinya keguguran
yang dialami oleh 21 pekerja perempuan. Kasus-kasus tersebut sangat memperjelas
bahwa terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Alpen Food Industry
dimana perusahaan lalai terhadap tanggung jawabnya kepada karyawan. Perlakuan
tersebut dinilai tidak sesuai dengan hukum dan telah melanggar Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dimana terdapat Pasal 81 hingga
Pasal 83 yang dilanggar serta Pasal 153 yang berkaitan dengan hak reproduksi
pekerja atau buruh perempuan.

Berdasarkan fakta tentang kesuksesan PT. Alpen Food Industry selaku anak
perusahaan asing di Indonesia, terlihat semakin aneh karena kondisi lingkungan dan
kebijakan perusahaan yang cenderung mengeksploitasi karyawannya justru
mendapat fasilitas dari pemerintah, meski bila dilihat melalui perspektif etika bisnis,
perusahaan ini melawan sejumlah aspek pelanggaran etika bisnis dan hukum yang
berlaku. Contohnya adalah UU Ketenagakerjaan periode 4, tahun 2013-2017 yang
memuat ketentuan tentang tugas perusahaan, hak-hak pekerja, dan tugas menjamin
kesejahteraan dan keselamatan pekerja. Pelanggaran tersebut terus terulang dalam
lingkungan pabrik walaupun buruh telah melakukan berbagai aksi berupa demo
maupun mogok kerja yang mana bertujuan agar aspirasi para buruh didengar dan
tentu mengharapkan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dalam lingkungan
pabrik.

16
3.2 Relevansi Sistem Kapitalis Menurut Karl Marx dengan Praktik
Eksploitasi Tenaga Kerja di PT. Alpen Food Industry

Kapitalis akan selalu berusaha untuk mengeksploitasi pekerja mereka untuk


mendapat keuntungan maksimum. Kapitalis membayar pekerjanya lebih sedikit
daripada hasil produksi dan keuntungan yang telah dihasilkan oleh para pekerjanya.
Kemudian sisa gaji yang seharusnya dibayarkan sepenuhnya kepada buruh tersebut
akan disimpan oleh kapitalis. Karena itulah terdapat kecenderungan dalam PT.
Alpen Food Industry untuk mengabaikan hak-hak pekerja demi keuntungan
perusahaan dan kemajuan bisnis. Akibatnya, hal-hal seperti mengesampingkan
kepentingan pekerja dan berbagai langkah-langkah yang diambil dalam kegiatan
bisnis hanya berfokus pada kepentingan pribadi saja.

Kemudian, ditambah dengan minimnya kesadaran masyarakat terhadap


kondisi kerja di lingkungan perusahaan dan kasus-kasus pelanggaran hak-hak
pekerja di bidang ini dalam kerangka etika bisnis, yang akhirnya membuat masalah
tersebut lepas dari perhatian pemerintah selaku regulator yang seharusnya dapat
memberikan sanksi tegas serta solusi agar hal-hal merugikan tersebut tidak terjadi
kembali. Hak-hak pekerja juga dilanggar dalam deklarasi 2017. Pekerja tidak
memiliki hak semacam layanan asuransi berupa BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS
Kesehatan. Meskipun perusahaan Indonesia ini merupakan perusahaan anak
perusahaan milik asing, namun sistem yang diterapkan di lapangan nyatanya sangat
merugikan para pekerjanya.

Adapun Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik


Indonesia yang menetapkan bahwa pekerja harus diangkat sebagai pekerja tetap
setelah mempekerjakan buruh harian selama 21 hari atau lebih selama tiga bulan
berturut-turut, telah dilanggar. Selain itu, gaji yang didapatkan karyawan tetap tidak
sesuai dengan gaji yang ditawarkan dalam kontrak kerja yang telah disetujui
sebelumnya. Lalu, sikap perusahaan menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan
antara pekerja hamil dengan pekerja tidak hamil. Menimbang bahwa menurut
ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 1 (1) menetapkan
bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan

17
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid”.

Selain upah yang rendah, buruh juga diminta bekerja menjadi buruh
bangunan, mulai dari mengangkat batu, mencampur semen hingga merobohkan
tembok. Para buruh dibayar Rp 50.000,00 per hari. Lalu, masalah jam kerja yaitu
tidak ada hari libur serta lembur di hari Sabtu dan Minggu tidak dihitung. Selama
sebulan, pekerja es krim Aice harus bekerja selama 25 hari berturut-turut. Sisanya
barulah mendapatkan uang lembur (Widhana, 2017). Eksploitasi terhadap buruh
tersebut dilakukan secara halus oleh PT. Alpen Food Industry. Oleh karena itu,
pemerintah atau instansi terkait belum mengambil tindakan tegas untuk
menghentikan eksploitasi tersebut. Eksploitasi tersebut tentu saja bertujuan untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Karl Marx bahwa kapitalis hanya akan mementingkan keuntungannya.

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesuksesan PT. Alpen Food Industry, anak perusahaan Aice Group


Holdings Pte. ternyata berbanding terbalik dengan kelangsungan hidup dan hak-hak
yang didapatkan para buruh dalam pabrik. Sepintas, dari segi etika perusahaan,
perusahaan juga sering melakukan pelanggaran etika bisnis dan hukum. Tanda-
tanda proses eksploitasi PT. Alpen Food Industry terhadap pekerja pabrik, seperti
jam kerja yang melebihi aturan, upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan dan risiko kerja, serta kurangnya jaminan kesehatan. Eksploitasi ini
membuat buruh pabrik tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Kedua, para
petinggi PT. Alpen Food Industry sebagai kapitalis akan diperkaya karena mereka
akan memanfaatkan nilai lebih yang dimiliki pekerjanya dengan sistem kapitalis
yang dijalankan perusahaan. Selanjutnya, tanpa pengangkatan buruh sebagai
pegawai tetap, perusahaan semakin terbebas dari tanggungjawab terhadap
pemenuhan hak-hak buruh pabrik. Namun, di sisi lain buruh pabrik tidak dapat
berhenti bekerja begitu saja, karena hampir seluruh buruh yang bekerja pasti
didesak oleh kewajiban untuk memenuhi kebutuhan. Jika buruh berhenti bekerja,
perusahaan dapat dengan mudah mencari tenaga kerja baru, sementara buruh pabrik
yang rata-rata diisi oleh mereka yang memiliki pendidikan terbatas akan lebih sulit
untuk mencari pekerjaan baru dan bertahan hidup.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hendrawan, D. 2014. Alienasi Pekerja Pada Masyarakat Kapitalis Menurut Karl


Marx. Jurnal Filsafat. 6(1): 21-22.
Kambali, M. 2020. Pemikiran Karl Marx Tentang Struktur Masyarakat. Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam . 8(2): 64-65.
Kapstein, E. B. 2001. The Corporate Ethics Crusade. Foreign Affairs. 80(5): 105-
119.
Naren, D. 2017. Dugaan Pelanggaran PT. Alpen Food Industry Terhadap Buruh
Es Krim AICE. https://wow.tribunnews.com/2017/11/06/dugaan-
pelanggaran-pt-alpen-food-industry-terhadap-buruh-es-krim-aice. [Diakses
pada 3 Desember 2021].
Nathaniel, F. 2017. Eksploitasi Kerja di Pabrik Es Krim Aice, Sponsor Asian
Games 2018. https://tirto.id/eksploitasi-kerja-di-pabrik-es-krim-aice-
sponsor-asian-games-2018-cA7h. [Diakses pada 3 Desember 2021].
S, E. L. 2010. Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam
Lingkup Kejahatan Bisnis. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 12(1):
61-64.
Sari, R. F. 2019. Seluk- Beluk Corporate Ethics Pada PT. Alpen Food Industry:
Eksploitasi Pekerja Dibalik 'Kenikmatan' Es Krim Aice. Jurnal Penelitian
Pers dan Komunikasi Pembangunan. 23(2): 73-75.
Schroeder, K. 2019. 3 Reasons Why Business Ethics Is Important.
https://www.redlands.edu/study/schools-and-
centers/business/sbblog/2019/may-2019/3-reasons-why-business-ethics-
important/. [Diakses pada 3 Desember 2021].
Sholahuddin, M. 2007. KRITIK TERHADAP SISTEM EKONOMISOSIALIS
DAN KAPITALIS. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 2(2): 193-197.
Widhana, D. H. 2017. Kondisi Kerja Buruh Aice Tak Semanis Iklan 'Have an
Aice Day'. https://tirto.id/kondisi-kerja-buruh-aice-tak-semanis-iklan-
have-an-aice-day-cA7f. [Diakses pada 3 Desember 2021].
Wolpe, H. 1972. Capitalism and cheap labour-power in South Africa: from
segregation to apartheid. Economy and Society. 1(4): 425-456.

20

Anda mungkin juga menyukai