Anda di halaman 1dari 6

Lampiran Materi

Adapun, Sistem pemungutan pajak sendiri telah diatur dalam Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 1994 yang membahas dan mengatur segala hal yang berkaitan dengan
subjek dan objek pajak.
Setiap negara di dunia mempunyai sistem dan metode yang berbeda, sedangkan Indonesia
mempunyai 3 (tiga) sistem pemungutan pajak yang berlaku. Berikut ketiga sistem tersebut
beserta ciri-cirinya:

1. Self-Assessment System
Sistem perpajakan ini yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dalam artian lain bahwa Wajib Pajak
adalah pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar dan melaporkan pajak
kepada kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau sistem administrasi online yang dibentuk
oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berperan untuk mengawasi wajib pajak .
Untuk contohnya adalah  dalam  PPN dan PPh.  Self assessment system sudah mulai masuk
ke Indonesia setelah era reformasi perpajakan pada tahun 1983 dan masih berlaku hingga saat
ini, namun sistem perpajakan tersebut memiliki konsekuensi karena wajib pajak berhak
menghitung jumlah pajak yang perlu dibayar, biasanya wajib pajak berusaha membayar pajak
sesedikit mungkin.

Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak self-assessment adalah:


a. Wajib Pajak menentukan besaran pajak terutang;
b. Wajib Pajak berperan aktif dalam menyelesaikan kewajiban perpajakannya
(perhitungan, pembayaran, dan pelaporan); serta
c. Pemerintah tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

2. Official Assessment System


Sistem pemungutan pajak ini yang memungkinkan pihak berwenang untuk
dengan bebas menentukan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada otoritas
pajak atau pemungut pajak. Dalam sistem pemungutan pajak ini biasanya wajib
pajak bersifat pasif  dan hutang pajak hanya dapat digunakan setelah otoritas
pajak mengeluarkan surat ketetapan pajaknya.
Sistem pemungutan pajak ini biasanya dapat diterapkan pada penyelesaian Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam proses
transaksi pembayaran PBB, KPP biasanya berperan sebagai pihak yang
mengeluarkan surat ketetapan pajak yang memuat sejumlah PBB terutang
disetiap tahunnya, sehingga tidak perlu lagi untuk menghitung pajak yang
terutangnya, namun cukup dengan membayar PBB berdasarkan Surat Pernyataan
Terutang Pajak (SPPT) yang diterbitkan oleh KPP yang terdaftar sebagai subjek
pajak.

Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak official assessment adalah:

a. Petugas pajak berwenang menghitung dan memungut besaran pajak terutang;


b. Wajib Pajak berperan pasif;
c. Besaran pajak akan diketahui oleh Wajib Pajak setelah petugas pajak melakukan
perhitungan dan menerbitkan SKP; serta
d. Pemerintah memiliki hak penuh pada saat menentukan besaran pajak yang perlu
dibayarkan.

2. Withholding Assessment System


Sistem pemungutan pajak ini memberikan pengertian bahwa besarnya pajak akan
dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak atau petugas pajak. Contoh dari
sistem ini adalah pemotongan penghasilan pegawai oleh bendahara instansi, sehingga
pegawai tidak perlu lagi ke kantor pajak untuk membayar pajaknya.
Nah untuk itu kita perlu mengetahui jenis-jenis pajak apa saja yang termasuk dalam
sistem pemungutan pajak ini, untuk penggunaan sistem ini di Indonesia jenis-jenis pajak
yang dipakai  adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Final Pasal 4
ayat (2) dan PPN.
Sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar lunas dengan menggunakan withholding
assessment system pada umumnya berupa bukti potong atau bukti pungut. Namun dalam
beberapa kasus juga menggunakan sertifikat pajak (SSP) yang kemudian sertifikat
pemotongan tersebut kemudian akan dilampirkan pada PPh / SPT PPN tahunan wajib
pajak yang bersangkutan.

Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak withholding assessment adalah:

a. Wajib Pajak dan pemerintah tidak berperan aktif dalam menghitung besaran pajak;
b. Pihak ketiga berwenang menentukan besarnya pajak terutang; serta
c. Menerbitkan bukti potong/pungut bagi Wajib Pajak yang telah melunasi pajak
terutang.

A. Objek pajak adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dijadikan dasar atau
sasaran pemungutan pajak. Misalnya, pendapatan, tanah, gedung, bangunan, dan
kendaraan. Secara umum, setidaknya ada enam (6) contoh objek pajak dan cara
pengenaan pajak yang ada di Indonesia yang perlu kita ketahui, antara lain :

1. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah besaran pajak yang akan
dibebankan kepada pertambahan nilai suatu barang dan jasa (objek pajak). Besaran
PPN yang ditentukan adalah sebesar 10% dari nilai jual objek pajak yang akan disetor
oleh pihak lain dan bukan penanggung jawab. Tidak semua barang yang dibeli oleh
konsumen dikenai PPN seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur,
susu, buah, dan sayuran yang sangat dibutuhkan masyarakat. Misalnya, seorang
konsumen membeli sebuah sepatu seharga Rp.1.400.000, maka dia harus membayar
sebesar Rp.1.540.000 karena harga yang harus dibayar adalah harga beli ditambah
PPN atau melalui perhitungan berikut :

Harga bayar     = harga beli  + PPN 10%


Harga bayar     = Rp.1.400.000       + (10% x Rp.1.400.000)
Harga bayar     = Rp.1.400.000       + Rp.140.000
Harga bayar     = Rp.1.540.000

2. Objek Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)


PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas transaksi yang melibatkan Barang
Kena Pajak (BKP) mewah baik itu barang yang diproduksi di dalam negeri maupun di
luar negeri. Berdasarkan pasal 8 UU No.42 tahun 2009 besaran tariff PPnBM paling
rendah adalah 10% dan paling tinggi adalah 200%. Namun, jika pengusaha
melakukan ekspor barang mewah makatarif yang dikenakan adalah sebesar 30%, hal
ini gunamendukung peningkatan ekspor barang mewah dari Indonesia ke luar negeri.

Misalnya, Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengimpor BKP yang termasuk barang
mewah dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) senilai Rp.400.000.000. BKP tersebut dikenai
PPN dan PPnBM sebesar 30%. Maka harga yang harus dibayar oleh PKP sebesar :

Harga bayar                  = DPP    + PPN   + PPnBM


Harga bayar                  = Rp.400 juta   + (10% x Rp.400 juta)  + (30% xRp.400 juta)
Harga bayar                  = Rp.400 juta   + Rp.40 juta + Rp.120 juta
Harga bayar                  = Rp.560 juta

3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pungutan yang dibebankan atas objek pajak berupa tanah dan atau
bangunan yang muncul sebagai akibat adanya keuntungan dan atau kedudukan sosial
ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya dan memperoleh
manfaat dari objek tersebut. Besaran tariff PBB yang dibebankan sebesar 0,5%. Misalnya,
Rahma memiliki sebidang tanah 70 m2 dengan harga tanah Rp.500.000/m2. Di tanah tersebut
didirikan bangunan rumah seluar 50 m2 dengan harga Rp.1.000.000/m2. Maka PBB yang
harus dibayarkan setiap tahun adalah :

NJOP tanah       = 70m2 x Rp.500.000/m2           = Rp.35.000.000


NJOP bangunan       = 50 m2 x Rp.1.000.000/m2       = Rp.50.000.000
NJOP bumi dan bangunan       = Rp.85.000.000
NJOPKP   = NJOP   – NJOPTKP = Rp.85.000.000 – Rp.12.000.000 = Rp.73.000.000

PBB          = 0,5% x 20% x NJOPKP = 0,5% x 20% x Rp.73.000.000 = Rp.73.000/ tahun

3. Objek Pajak Penghasilan (PPh)


Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan kepada perorangan atau badan
usaha atas pendapatn/ penghasilan yang mereka terima. Terdapat 3 jenis PPH yaitu
PPH pasal 23 (dikenakan atas modal, penyerahan jasa, hadiah, dan penghargaan),
PPH pasal 25 (penghasilan perorangan, perusahaan, badan hukum lain), PPH pasal 21
(wajib pajak dengan sumber pendapatan di Indonesia).

Sesuai dengan pasal 17 ayat 1 UU No 36 tahun 2008, tarifpajak penghasilan pribadi


menggunakan tariff progresif antara lain :

 Sampai dengan Rp.50.000.000, sebesar 5%


 50.000.000 – Rp. 250.000.000, sebesar 15%
 250.000.000 – Rp.500.000.000, sebesar 25%
 Diatas Rp.500.000.000, sebesar 30%

4. Objek Pajak Bea Materai

Objek yang dikenai Bea Materai adalah kertas/ dokumen yang berisi tulisan dengan
maksud perbuatan tentang keadaan atau kenyataan bagi seseorang atau berbagai pihak yang
berkepentingan dan menyangkut status perdata. Besaran bea materai menggunakan tariff
tetap sebesar Rp.3.000 dan Rp.6.000.

5. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB dikenakan terhadap orang atau suatu badan yang memperoleh hak atas tanah
dan atau bangunan. Sesuai dengan pasal 2 UU No.20 tahun 2000(UU BPHTB), perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan meliputi ; jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat,
waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, hasiah, penggabungan usaha, pelaksanaan putusan hakim yang
memiliki kekuataan hukum tetap. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) adalah Rp.60.000.000 untuk seluruh jenis perolehan hak atas tanah dan
bangunan. Kecuali untuk hak karena Waris atau hibah wasiat sebesar Rp.300.000.000.

Anda mungkin juga menyukai