Anda di halaman 1dari 8

Modul 5 Blok 11 Semester 6 : Trauma Dentoalveolar

Susanti Bulan, drg., Sp.BM, Stephanus Christianto, drg., MDS (OMFS), Hendra Polii, drg., Sp.RKG

1. Definisi, Klasifikasi Vulnus, Klasifikasi Luka Bedah


 Definisi : Diskontinuitas jaringan atau organ karena jejas yang disebaban oleh fraktur eksternal (mekanik, kimia,
fisika/radiasi,listrik dan termal atau suhu)
 Klasifikasi Vulnus
- Luka/ vulnus tertutup : cuntosio
- Luka/ vulnus terbuka
o Luka gesek (v abrasivum/ excoretivum)
o Luka tusuk (v punctum)
o Luka sayat (v scissum)
o Luka tembus (v penetratum)
o Luka hancur (v contusum)
o Luka sobek (v laceratum)
o Luka gigitan (v morsum)
o Luka tembak (v sclopetarium)
o Luka bakar (v combustion)
o Luka tembus sampai ke organ dalam (v viseratum)
 Klasifikasi luka bedah
- Luka bersih : < 6jam
- Luka bersih terkontaminasi : luka yang terkolonisasi mikroorganisme
- Luka terkontaminasi : luka yang mengandung benda asing atau terinfesi
- Luka terinfeksi : luka yang mengandung nanah
 Luka bedah
- Bersih : wound toilet dan suturing  primary healing
- Bersih terkontaminasi : wound toiler, debridement, suturing  primary healing
- Terkontaminasi : wound toilet, debridement  secondary healing
- Terinfeksi : wound toilet, debridement setelah 48 jam  tersier healing

2. Prinsip Manajemen Vunus


1. Tutup luka bersih segera untuk memunginkan penyembuhan primer (primary intention)
2. Jangan menutup uka yang terkontaminasi dan terinfeksi, tetapi biarkan terbuka, sembuh dengan penyembuhan
sekunder (secondary intention)
3. Dalam merawat luka bersih terkontaminasi dan luka bersih yang terjadi lebih dari 6 jam, rawat luka dengan
pembersihan / debridemen bedah (surgical toilet), biarkan terbuka dan kemudian tutup 48 jam kemudian. Ini
adalah penutupan primer yang tertunda (delayed primary closure)

3. Manajemen wound toilet dan debridement bedah (WHO)


1. Wound toilet dan debridemen bedah dilakukan secara sistematis mulai dari jaringan lapisan superficial
(permukaan) sampai ke jaringan lapisan yang lebih dalam
2. Setelah scrubbing (menggosok) kulit dengan sabun, irigasi luka dengan saline, siapkan kulit dengan antiseptic
3. Jangan gunakan antiseptic didalam luka
4. Debridemen luka dengan benar untuk menghilangkan benda asing seperti kotran, rumput, kayu, gelas atau
pakaian
5. Gunakan pisau bedah atau gunting bedah, buang semua bedang asing dengan margin tipis dari jaringan irigasi
luka kembali
6. Lanjutkan siklus debridemen bedah dan irigasi saline kembali sampai luka benar-benar bersih
7. Biarkan luka terbuka setekah debridemen untuk mmungkinkan penyembuhan sekunder
8. Tutup luka dengan kassa lembap (saline) dan tutup kembali dengan kassa kering
9. Ganti kassa setiap hari atau lebih sering ika kassa kotor ddengan darah atau cairan tubuh lainya
10. Defek besar akan membutuhan penutupan luka dengan flap atau skin graft dan diawali perawatan lukan dengan
ditutup saline

4. Manajemen Fraktur Dentoalveolar


- Penanganan Kegawatdaruratan
1. Menghentikan perdarahan
2. Wound toilet dan debridement
3. Terapi injeksi anti tetanus
4. Menghilangkan rasa sakit
5. Pencegahan terhadap infeksi (antibiotic)

Anti Tetanus Serum (ATS) Tetanus Toxoid (TT)


Antibody Antigen
Imunisasi pasif Imunisasi aktif

- Penanganan Definitive
1. Perawatan jaringan lunak : wound toilet, debridemen, suturing
2. Perawatan jaringan keras gigi : penambalan, pembuatan mahkota jaket
3. Perawatan jaringan pulpa : perawatan endodontic
4. Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak : reduksi, fisasi, immobilisasi dan mobilisasi
- Fraktur mahkota
- Perawatan penambalan gigi
- Perawatan endodontic
- Fraktur mahkota akar
- Penambalan gigi
- Endodontic
- Jika disertai fraktur TA , maka dilakukan ekstraksi gigi
- Fraktur akar
- # 1/3 apex : dibiarkan
- 3 > ½ apex akar :reduksi, fiksasi, immobilisasi selama 2-3 bulan
- # akar vertikal : ektraksi
- Gigi sensitive (concussion)
- Pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk megevaluasi kesehatan dari jaringan periodontal dan pulpa gigi
- Mengurangi kontak incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi
- Sublukasi / luksasi (intrusi, ekstrusi, lateral) gigi : reduksi, fiksasi, immobilisasi, mobilisasi
- Avulsi
- Fraktur Dentoalveolar / Segmental : reduksi, fiksasi, immobilisasi, mobilisasi
Perioe Sabilisasi Cedera Dentoalveolar

Cedera dentoalveolar Durasi immobilisasi

5. Manajemen Jejas Jaringan Periodontal


6. Definition
Trauma to the teeth and/or periodontium (gums, periodontal ligament, alveolar bone) and nearby soft tissues (lips,
tongue, etc)

7. Etiologi
- Falls
- Sport injuries
- Playground accidents
- Motor vehicle accidents
- Child abuse

8. Klasifikasi
1. Dental tissue and pulp
- Crown infraction
- Uncomplicated crown fracture
- Complicated crown fracture
- Uncomplicated crown root fracture
- Complicated crown fracture
- Root fracture
2. Periodontal tissue
- Concussion
- Subluxation
- Luxation
- Avulsion
3. Supporting bone
- Comminution alveolar socket
- Fracture of an alveolar socket
- Fracture of the alveolar housing
- Fracture of mandible or maxilla
4. Gingival or mucosal regions
- Abrasion
- Laceration
- Contusion

Klasifikasi Ellis and Davey


I Fracture within enamel
II Fracture involving enamel and dentin
III Fracture involving pulp
IV Traumatized tooth become nonvital
V Tooth lost as a trauma
VI Fracture of the root
VII Displacement of tooth without fracture of crown or root
VIII Fracture of the crown en masse

9. Fraktur Akar Gigi


- Definisi : Fraktur akar gigi jarang terjadi dan terhitung kurang dari 7% dari cedera traumatis pada gigi
permanen dan sekitar setengahnya pada gigi sulung. Perbedaan ini mungkin hasil dari fakta bahwa gigi
sulung kurang kokoh tertanam dalam prosesus alveolaris.
- Gambaran Klinis
o Kebanyakan fraktur akar terjadi pada gigi insisivus sentral atas.
o Fragmen koronal biasanya berpindah ke lingual dan sedikit ekstrusi.
o Tingkat mobilitas mahkota berkaitan dengan tingkat fraktur. Artinya, semakin dekat letak bidang
fraktur ke apikal, gigi akan lebih stabil.
o Ketika menguji mobilitas dari gigi yang terkena trauma, tempatkan jari diatas proses alveolar. Jika
pergerakan terdeteksi hanya pada mahkota, kemungkinan terjadi fraktur akar
o Fraktur akar dapat terjadi bersamaan dengan fraktur dari prosesus alveolaris, yang umumnya tidak
terdeteksi.
o Hal ini paling sering diamati di daerah anterior mandibula mana fraktur akar jarang terjadi. Meskipun
fraktur akar biasanya dikaitkan dengan kehilangan sensitivitas secara sementara (oleh semua
kriteria biasa), sensitivitas pada kebanyakan gigi kembali normal dalam waktu sekitar 6 bulan
- Gambaran Radiografi
o Fraktur akar gigi dapat terjadi di tingkat manapun dan melibatkan satu (gambar. 29-7) atau semua
akar pada gigi berakar jamak . Sebagian besar fraktur akar terbatas terjadi pada sepertiga tengah
akar.
o Kemampuan gambar untuk mengungkapkan adanya fraktur akar tergantung pada angulasi relatif
saat sinar X ke bidang fraktur dan tingkat gangguan dari fragmen.
o Jika sinar X sangat sejalan dengan bidang fraktur, satu garis radiolusen tajam menjadi batas
anatomi akar dapat dilihat.
o Namun, jika orientasi sinar X tidak selaras dan bertemu dengan bidang fraktur pada posisi yang
lebih miring, bidang fraktur mungkin terlihat sebagai satu garis yang berbatas tidak jelas atau dua
baris yang berkumpul di permukaan mesial dan distal dari akar.
o tampilan fraktur akar yang berupa fragmen juga dapat muncul dengan batas tidak jelas.
o Kebanyakan fraktur akar tanpa pergeseran biasanya sulit untuk dilihat secara radiografi, dan
beberapa tampilan di sudut yang berbeda mungkin diperlukan.
o Dalam beberapa kasus ketika garis fraktur tidak terlihat, satu-satunya bukti fraktur mungkin
pelebaran ruang membran periodontal yang terlokalisir yang berdekatan dengan lokasi fraktur
(Gambar. 29-8).
- fraktur akar yang memanjang relatif jarang tapi kemungkinan besar pada gigi dengan posts yang telah
mengalami trauma.
- Lebar bidang fraktur cenderung meningkat seiring dengan waktu, mungkin karena resorpsi permukaan
fraktur.
- Seiring waktu, kalsifikasi dan obliterasi ruang pulpa dan saluran dapat dilihat
- Diagnosis Banding
o Superimposisi struktur jaringan lunak seperti bibir, ala nasi, atau nasolabial fold melampaui gambar
dari akar mungkin diduga fraktur akar.
o Untuk menghindari kesalahan diagnosis ini, perlu dicatat bahwa gambar jaringan lunak dari garis
bibir biasanya melampaui margin gigi.
o Fraktur proses alveolar juga mungkin superimposisi akar dan diduga fraktur akar

10. Fraktur Akar Vertikal


- Definisi
o Fraktur akar vertikal mewakili bidang fraktur yang berjalan memanjang dari mahkota ke arah apikal
gigi.
o Biasanya kedua sisi akar yang terlibat.
o Retak biasanya berorientasi pada bidang lingual-fasial di kedua anterior dan posterior gigi.
o Fraktur ini biasanya terjadi pada gigi posterior pada orang dewasa, terutama pada gigi geraham
rahang bawah.
o Mereka biasanya iatrogenik, setelah insersi sekrup retensi atau pin ke gigi.
o Gigi posterior yang tidak diberi crown tetapi telah dirawat endodontik adalah yang paling berisiko.
Tekanan oklusal yang besar etiologi lain untuk fraktur akar vertikal, khususnya gigi yang telah
direstorasi.
- Gambaran Klinis
o Pasien dengan fraktur akar vertikal mengeluhkan nyeri tumpul tingkat rendah yang persisten,
seringkali durasinya panjang, yang disebut sindrom gigi retak.
o Nyeri ini timbul dengan adanya tekanan ke gigi yang terlibat.
o Pasien mungkin memiliki rarefying osteitis atau riwayat terapi endodontik gagal yang berulang.
Kadang-kadang, diagnosis definitif dapat dilakukan hanya dengan inspeksi setelah pembedahan
- Gambaran Rdaiografi
o Jika pusat sinar X terletak sepanjang bidang fraktur, fraktur dapat terlihat sebagai garis radiolusen
pada gambar.
o Biasanya, bagaimanapun, radiografi tidak berguna dalam mengidentifikasi fraktur akar vertikal pada
tahap awal.
o Kemudian, jika rarefying osteitis berkembang, akan ada bukti kehilangan tulang (Gambar. 29-9).
o Pelebaran ruang ligamen periodontal dan kehilangan tulang ini mungkin tidak akan berpusat di
puncak tetapi sering diposisikan lebih koronal ke arah puncak alveolar.
o Pada lesi inflamasi juga dapat meluas ke apikal dari puncak alveolar dan mungkin menyerupai lesi
periodontal
Modul 6 Blok 11 Semester 6 : Kedokteran Keluarga

Grace Monica, drg., M.KM, Winny Suwindere, drg., M.S., Ignatius Setiawan, drg.,M.M

1. Pengertian Kedokteran Keluarga (WONCA, 1991)


- Mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran
- Mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan
- Menerima semua orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa pembatasan usia, gender,
atau jenis penyakit
- Mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan dalam lingkup komunitas dari individu tersebut
tanpa membedakan ras, budaya dan tingkatan social
- Berkompeten untuk menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan memperhatikan latar
belakang budaya, sosioekonomi dan psikologis pasien
- Bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan bagi
pasiennya

2. Ruang Lingkup Pelayanan Kedokteran Keluarga


- Kegiatan : komprehensif / menyeluruh
- Sasaran : keluarga sebagai satu unit
- Individu
o Fisik (biologis)
o Lingkungan
o Psikologis
o Kultural
o Social

3. Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga


1. Menyelenggarakan pelayanan komprehensif dengan pendekatan holistic
2. Menyelenggarakan pelayanan yang berkesinambung (kontinu)
3. Menyelenggarakan pelayanan yang mengutamakan pencegahan
4. Menyelenggarakan pelayanan yang bersifat koordinatif dan kolaboratif
5. Menyelenggarakan pelayanan personal (individual) sebagai bagian integral dari keluarganya
6. Mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan hokum
8. Menyelenggarakan pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu
9. Menyelenggarakan pelayanan yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan

4. Pilar Profesionalisme dalam Praktek Kedokteran Keluarga


- Keelokan perilaku
- Penguasaan ilmu
- Kemahiran bernalar dan keterampilan menjalankan prosedur klinis
- Kinerja yang prima

5. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia


- Pembiayaan kesehatan di Indonesia sudah semakin meningkat dari tahun ke tahun.
- Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah sebesar 0,81% dari Produk
Domestik Bruto (PDB) meningkat pada tahun 2007 menjadi 1,09 % dari PDB, Saat ini telah mencapai 5%
dari PDB seperti dianjurkan WHO.
- Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni:
o Pemerintah
o Pemerintah Daerah
o Swasta
o Organisasi masyarakat
o Masyarakat itu sendiri.
- Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan
memegang peran yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai
berbagai tujuan pembangunan kesehatan
- Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan public good yang menjadi tanggung-jawab
pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private, kecuali
pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung-jawab pemerintah.
- Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan
dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan akan mencapai universal coverage
sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

6. Regionalisasi Sistem Rujukan Terstuktur dan Berjenjang


- Pengaturan sistem rujukan dengan penetapan batas wilayah administrasi daerah berdasarkan kemampuan
pelayanan medis, penunjang dan fasilitas pelayanan kesehatan yang terstuktur sesuai dengan kemampuan,
kecuali dalam kondisi emergensi.
- Tujuan
o Mengembangkan regionalisasi sistem rujukan berjenjang di Provinsi dan kabupaten/kota.
o Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan RS.
o Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke daerah terpencil dan daerah
miskin
o Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan RS.
- Manfaat
o Pasien tidak berkumpul dan menumpuk di RS besar tertentu u Pengembangan seluruh RS di
Provinsi dan Kabupaten/ Kota dapat direncanakan secara sistematis, efisien dan efektif.
o Pelayanan rujukan dapat lebih dekat ke daerah terpencil, miskin dan daerah perbatasan karena
rujukan lebih dekat
o Regionalisasi Rujukan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan terutama di RS
Rujukan Regional.
- Pelaksanaan
o Pelayanan berjenjang yang dimulai dari Puskesmas / Klinik Pratama (Pelayanan Primer), kemudian
kelas D, kelas C selanjutnya RS kelas B dan akhirnya ke RS kelas A. u Pelayanan kesehatan
rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan rawat inap yang diberikan berdasarkan indikasi medis
dari dokter disertai surat rujukan, dilakukan atas pertimbangan tertentu atau kesepakatan antara
rumah sakit dengan pasien atau keluarga pasien.
o RS kelas C/D dapat melakukan rujukan ke RS kelas B atau RS kelas A antar atau lintas
kabupaten /Kota yang telah ditetapkan.
o Yang dimaksud dengan“antar kabupaten/kota “ adalah pelayanan ke RS kabupaten/kota yang
masih dalam satu region yang telah ditetapkan.
o Sedangkan yang dimaksud dengan “lintas kabupaten /kota adalah pelayanan ke RS kabupaten/kota
di luar wilayah region yang telah ditetapkan
Modul 7 Blok 11 Semester 6 :Tumor Jinak dan Ganas

Franky Oscar, drg., Sp.BM, Natallia Pranata, drg., M.Kes, Dominica Dian, drg., Sp.RKG

1. Definisi
- Rongga beriisi cairan dengan batas dinding epitel
- Cyst are pathological fluid filled cavities lined by epithelium
- Form sharply defined radiolucencies with smooth borders
- Fluid may be aspirated and thin walled cysts may be transilluminated
- Grow slowly, displacing rather than resorbing

2. Odontogenic cyst
- Rest of Malassez- hertwig apithelial of root and periodontal formation
- Reduced enamel epithelium-surround the crown of the tooth
- Remnants of the dental laminal (rest od Serress) oral epithelium and remain in the tissue after inducing tooth
development

3. Tumor
- Perubahan gen
- Gangguan siklus sel

4. Odontogenic Cyst
- Odontogenic cyst  primordial cyst
- Klasifikasi tahun 2005  keratocyst odontogenic tumor (KCOT)
- Klasifikasi tahun 2017  cyst (OKC)
- Angka rekurensi tinggi
- Gejala klinis yang agresif
- Berhubungan dengan sinddrom nevoid basal cell carcinoma (Gorlin-Gotz syndrome)
- Mutasi pada tumor suppressor gene PTCH

5. Gambaran klinis sindrom Nevoid Basal Cell Carcinoma


- Multiple odontogenic keratocyst rahang
- Multiple basal cell carcinoma kulit
- Bifid ribs
- Kalsifikasi falx cerebri
- Palmar dan plantar dyskeratosis
- Multipleepidermoid cyst (milia) pada kulit
- Frontal bossing
- Hypertelorism
- Ovarian fibromas
- Kelainan lain seperti medulloblastoma dan pemendekan metacarpal

6. Penatalaksanaan
- Enukleasi
Kista dengan ukuran kecil dilakukan enukleasi yaitu pengambilan seluruh dinding kista
- Marsupialisasi
Ukuran lesi yang luas, dilakukan tindakan marsupialisasi yaitu pengambilan sebagian dinding kista agar
mengurangi tekanan intrakistik, kemudian setelah ukuran kista mengecil dapat dilakukan enukleasi
- Jika melibatkan tulang peripheral ostectomy

7. Gambaran Radiografis Keratocyst Odontogenic Tumor


1. Lokasi
 Body posterior mandibular dan ramus
 Epicenter diatas kanalis saraf alveolar inferior
2. Batas dan Bentuk
 Well defined, corticated kecuali ada infeksi sekunder
 Smooth, bulat atau oval yang identic dengan kista lain
 Pinggiran scalloped
3. Struktur internal
 Radiolusen
 Dalam beberapa kasus, terdapat septa internal melengkung, sheingga memberi lesi gambaran
multilokular
4. Efek pada struktur sekitarnya
 Cenderung untuk meluas disepanjang aspek internal rahang
 Menyebabkan ekspansi minimal dari kortikal diseluruh body mandibular kecuali ramus dan prosesus
koronoid bagian atas
 Kanalis mandibular terdoorng ke inferior
 Di maksila, invaginasi dan menempati keseluruhan antrum

8. Diagnosis Banding
- Posisi OKC di pericoronal sering tidak dapat dibedakan dari kista dentigerous
- Tipikal scalloped margin dan multilokular OKC dapat menyerupai ameloblastoma, tetapi memiliki
kecenderungan lebih besar untuk berkembang
- Karakteristik ekspansi ringan dan penampilan multilokular menunjukkan kesamaan dengan myxoma
odontogenik
- Margin scalloped dan perluasan tulang minimal OKC menyerupai gambaran simple bone cyst
- Jika beberapa OKCs ditemukan (yang terjadi pada 4% sampai 5% kasus), kista ini dapat merupakan bagian
dari basal cell nevus syndrome

9. Etiologi dan Patogenesis


- Sel sel sisa dental lamina mengalami mutasi genetic yaitu oada gen PTCH (protein patched homolog).
Gen ini terletak pada kromosom 9p22.3-q31
- Gen PTCH merupakan tumor suppressor gene, ketika mengalami mutasi makan akan terjadi produksi
protein yang berlebihan (over expression) yang diregulasi oleh gen tersebut
- Protein-protein tersebut diantaranya adalah :
 Bcl -2
 Growth factor
 Cyclin D1
 p53
 MMPs 2 dan 9
- Sehingga akan terjadi proliferasi yang berlebihan pada sel-sel sisa dental lamina tersebut

10. Gambaran Mikrsokopik dan Pemeriksaan Sitologi Odontogenic Keratocyst


- Dilapisi oleh epithelial yang tipis, sekitar 6-10 lapis
- Lapisan basal terlihat pola palisade, terpolarisasi dan inti sel terwarnai dengan ukuran yang seragam
(uniform)
- Lumina epithelial sel mengalami parakeratinisasi
- Tidak terdapat epithelial ridge

Pemeriksaan sitology

- Pewarnaan immunohistokimia dengan marker


- proliferation protein Ki-67, hasilnya (+) inti terwarnai coklat
- antiapoptosis protein Bcl-2, hasilnya (+) inti sel terwarnai coklat

Anda mungkin juga menyukai