Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN PRE EKLAMPSIA DILAKUKAN

TINDAKAN SECTIO CAESAREA GREEN CODE DI IBS/BANGSAL RS PKU


MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PADA TANGGAL 1 MARET 2023

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus
Komplikasi

Dosen Pengampu : Putri Esti Rahayu, S.Tr.Kep

Disusun Oleh :

Bintang Dwi Amanda_2111604034 Muchliza Bintang Auliya Agus_2111604044

Khoirul Ikhwan_2111604035 Widyawati Ika Putri_2111604045

Rahma Annisa_2111604036 Latifa Rahayu C.N_2111604046

Luthfi Fathurrahman_2111604037 Kuswadi_2111604047

Wizrah S. Ismail_2111604038 Salshabil Fairuz Annisah_2111604048

Alvina Maharani Nur Aisyah_2111604041 Hanindira Dayu Mauralifa_2111604049

Atika Nikmatul Husna_2111604042 Intania Rizkita Dewi_2111604050

Cahya Bintang Salsabila Idji_2111604043

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN PRE EKLAMPSIA DILAKUKAN


TINDAKAN SECTIO CAESAREA GREEN CODE DI IBS/BANGSAL RS PKU
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PADA TANGGAL 1 MARET 2023

Laporan ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Anestesi
Kasus Komplikasi

Oleh :

Bintang Dwi Amanda_2111604034 Muchliza Bintang Auliya Agus_2111604044

Khoirul Ikhwan_2111604035 Widyawati Ika Putri_2111604045

Rahma Annisa_2111604036 Latifa Rahayu C.N_2111604046

Luthfi Fathurrahman_2111604037 Kuswadi_2111604047

Wizrah S. Ismail_2111604038 Salshabil Fairuz Annisah_2111604048

Alvina Maharani Nur Aisyah_2111604041 Hanindira Dayu Mauralifa_2111604049

Atika Nikmatul Husna_2111604042 Intania Rizkita Dewi_2111604050

Cahya Bintang Salsabila Idji_2111604043

Telah diperiksa dan disetujui tanggal .........

Mengetahui,

Dosen Pengampu

(Putri Esti Rahayu, S.Tr.Kep)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pre-eklamsia (PE) adalah penyakit dengan tanda – tanda hipertensi, proteinuria dan
oedema yang timbul karena kehamilan dan umumnya terjadi dalam triwulan ketiga atau
sebelumnya. Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan
proteinuria pada usia kehamilan di atas 20 minggu.

Preeklampsia sampai saat ini masih menjadi masalah yang mengancam dalam
kehamilan, terutama di negara berkembang. Penyakit preeklampsia ini merupakan penyebab
utama kematian maternal di dunia. Preeklampsia dapat menimbulkan gangguan baik bagi
janin maupun ibu. Kondisi preeklampsia akan memberi pengaruh buruk bagi kesehatan
janin akibat penurunan perfusi uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel
endotel pembuluh darah plasenta (Siqbal, 2020). Pada kasus preeklampsia tersebut jika tidak
segera mendapatkan penanganan akan menjadi eklampsia atau kejang yang menyebabkan
kerusakan pada organ-organ tubuh seperti gangguan fungsi hati, gagal ginjal, gangguan
pembekuan darah, HELLP syndrome, gagal jantung dan bahkan kematian pada ibu dan bayi
atau keduanya. Selain itu berpengaruh pada bayi yang lahir mengalami asfiksia yang
disebabkan karena pelahiran lebih dini (Niken, Rini, & Chanda, 2021).

World Health Organization (WHO) melaporkan mengenai status kesehatan nasional


pada capaian target Sustainable Development Goals (SDGs) menyatakan secara global
sekitar 830 wanita meninggal setiap hari karena komplikasi selama kehamilan dan
persalinan, dengan tingkat Angka Kematian Ibu sebanyak 216 per 100.000 kelahiran hidup
sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah kehamilan, persalinan atau kelahiran (Ai, Daris,
& Dita, 2021).

Insiden preeklampsia di Indonesia adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3% dan


merupakan penyebab kematian ibu tertinggi ke dua setelah perdarahan dari seluruh
kehamilan, terjadi sekitar 3 – 8 % kehamilan dengan preeklampsia (Eka, Ernawati, &
Djohar, 2021). Data Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2019 memperlihatkan sebanyak
1280kasus perdarahan,1066 kasus hipertensi dalam kehamilan, dan 207 kasus infeksi
menjadi penyebab kematian ibu (Wisnu & Riskayifa, 2021). Berdasarkan data kematian
maternal dan neonatal tahun 2019 risiko komplikasi dalam kehamilan yang menjadi
penyebab utama dalam kematian ibu hamil yaitu gangguan hipertensi 33,07%, perdarahan
obstetri 27,03%, komplikasi non obstetrik 15,7%, komplikasi obstetrik 12,4%, infeksi pada
kehamilan 6,06%, lain-lain 4,81% (Kementerian Kesehatan RI, 2019).

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana asuhan keperawatan anestesi pada pasien preeklamsia dengan asma berat
yang dilakukan tindakan operasi sectio caesarea greencode dengan tindakan general
anestesi?”

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori Anestesi umum
2. Untuk mengetahui konsep teori Pre Eklampsia
3. Untuk mengetahui konsep teori tindakan pembedahan pada kasus Pre Eklampsia
4. Untuk menyusun Asuhan Keperawatan Anestesi pada kasus Pre Eklampsia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Anestesi Umum


1. Pengertian
Anestesi umum (general anestesi) merupakan keadaan tidak sadar yang
diinduksi oleh agen anestesi sehingga menyebabkan hilangnya nyeri dan sensasi di
seluruh tubuh serta relaksasi otot dan disertai hilangnya refleks (Rosdahl & Kowalski,
2012). Efek neurologis yang dihasilkan ditandai oleh lima efek utama yaitu tidak
sadarkan diri, amnesia, analgesia, penghambatan refleks otonom, dan relaksasi otot
rangka. Tidak ada satu pun dari agen anestesi yang saat ini tersedia digunakan sendiri
mampu mencapai semua efek yang diinginkan dengan baik (Katzung, 2015).

2. Indikasi
Pasien yang menjalani prosedur pembedahan yang membutuhkan relaksasi
dalam untuk jangka waktu yang lama paling cocok untuk anestesi umum selama tidak
ada kontraindikasi. Pembedahan yang tidak dapat dianestesi secara adekuat dengan
anestesi lokal atau regional memerlukan anestesi umum. Operasi yang cenderung
mengakibatkan kehilangan darah yang signifikan atau di mana pernapasan akan
terpengaruh memerlukan anestesi umum. Pasien yang tidak kooperatif juga lebih baik
dirawat dengan anestesi umum bahkan untuk prosedur yang lebih kecil. Preferensi
pasien juga dapat mempengaruhi keputusan untuk menjalani anestesi.(Guerin Smith;
Jason R. D'Cruz; Bryan Rondeau; Julie Goldman., 2022)

3. Kontra Indikasi
Anestesi umum memiliki beberapa efek samping yang membuat pasien tidak
nyaman setelah operasi diantaranya nyeri tenggorokan, mual muntah, hipotermia.
Mual dan muntah adalah salah satu efek samping yang sering terjadi pada pasien
Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) atau mual muntah setelah operasi adalah
rasa yang dialami pasien setelah anestesi dan pembedahan pada 24 jam pertama
setelah operasi (Cahyaningrum, E. D., dkk, 2022)

4. Teknik
Teknik General Anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat
dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) General Anestesi Intravena: teknik general anestesi yang dilakukan dengan
jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh
darah.
2) General Anestesi Inhalasi: teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
3) Anestesi Imbang: merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional.

5. Komplikasi
Menurut Butterworth, Mackey & Wasnick (2013), Pramono (2015) dan
Gwinnutt (2011) komplikasi pasca general anestesi yang dapat terjadi yaitu :
1) Komplikasi pernapasan
Komplikasi paru pasca operasi atau Post Operative Pulmonary Complication
(PPC) merupakan komplikasi terkait dengan sistem pernafasan. Komplikasi ini
merupakan keadaan yang dapat menyebabkan perawatan lanjut setelah operasi
seperti perawatan di unit perawatan intensif atau memperpanjang waktu
perawatan di rumah sakit setelah operasi (Hadder, 2013). Pasien pasca general
anestesi dapat mengalami gangguan komplikasi pernapasan yaitu :
a. Hipoventilasi
Hipoventilasi dapat terjadi akibat adanya seperti: kelebihan cairan atau
emboli paru, henti jantung, atelektasis, komplikasi yang mendasarinya
penyakit pernapasan seperti asma atau COPD. Pasien yang mengalami
hipoventilasi berlanjut akan menyebabkan komplikasi hiposekmia
akibat kurangnya suplai oksigen yang ada dalam darah (Hadder, 2013).
b. Ateletaksis paru
Atelektasis paru, kolaps atau gangguan fungsi paru merupakan keadaan
yang sering terjadi pada pasien pasca general anestesi. Atelektasis
menghasilkan pengurangan kapasitas residu fungsional, yang berkurang
terhirup volume oksigen. Atelektasis dapat menyebabkan komplikasi
pneumotoraks (Kuukasjärvi, Laurikka & Tarkka 2010).
c. Aspirasi paru
Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi pasien pasca general anestesi
umum. Faktor-faktor risiko ini termasuk operasi darurat, anestesi umum,
ahli anestesi dan pasien yang tidak berpengalaman alasan tergantung
seperti kurang puasa, pengosongan lambung tertunda atau hipersekresi
lambung (Murola, 2014).
2) Komplikasi kardiovaskuler
Kompliakasi kardiovaskuler yang dapat terjadi yaitu: hipotensi, aritmia,
bradikardi, dan hipertensi pulmonal. Hipotensi disebabkan akibat hipovolemia
yang disebabkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan relaksasi
hipersensitivitas obat induksi, obat pelumpuh otot dan reaksi transfusi
(Butterworth, Mackey & Wasnick 2013).
3) Komplikasi neurologi
Cedera saraf perifer yang paling sering terjadi adalah neuropati ulnar. Gejala
gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur
pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal
rumah sakit saat pasien sedang tertidur. Cedera saraf perifer lainnya lebih
berhubungan dekat dengan pengaturan posisi atau prosedur pembedahan.
Cedera ini terjadi pada saraf peroneus, pleksus brakialis, atau saraf femoralis
dan skiatika. Kemudian penekanan eksternal pada saraf dapat membahayakan
perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada akhirnya menimbulkan
edema, iskemia, dan nekrosis (Pramono, 2015).
4) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Gangguan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi akibat adanya
hipovolemia, perdarahan, mual muntah pada saat intra anestesi (Akhtar, dkk,
2013). Gangguan hipovolemia dapat mengakibatkan terjadinya takikardi,
ketidakedekauatan urine output serta hipotensi (Gwinnut, 2011).
5) Komplikasi gastrointestinal
Mual muntah pasca general anestesi atau PONV (Post Operative Nausea And
Vomitus) merupakan komplikasi terbanyak pasca-anestesia. Keadaan ini terjadi
akibat penggunaan anestesi inhalasi sehingga menimbulkan mual muntah pasca
bedah (Butterworth, 2013). Kondisi ini menyebabkan penundaan pemulangan
pasien dari rumah sakit sehingga meningkatkan biaya perawatan pasien
sehingga PONV harus ditangani secara serius untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang dapat terjadi (Gwinnutt, 2011).

B. Konsep Teori Pre Eklampsia


1. Pengertian
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan dan merupakan salah satu
penyebab utama dari kesakitan dan kematian ibu hamil di Indonesia. Preeklampsia
ditandai dengan peningkatan tekanan darah (hipertensi), ditemukannya protein dan
albumin dalam urine dan edema. Karakteristik ibu turut berperan terhadap kejadian
preeklampsia. Karakteristik tersebut dapat meliputi usia, paritas, jarak kehamilan, dan
pendidikan (Tolinggi, 2018).
Preeklampsia merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai pada
wanita hamil dengan usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama adanya
hipertensi dan proteinuria. Preeklampsia merupakan kelainan multisistem yang menjadi
salah satu penyebab terbanyak kematian pada ibu dan bayi (Hikmawati, 2021).

2. Klasifikasi
Klasifikasi preeklampsia menurut Mitayani (2013) dibagi menjadi dua
golongan yaitu :
1) Preeklampsia Ringan, dengan tanda-tanda :
a. Tekanan darah 140/90mmHg atau lebih, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih, dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
b. Edema pada kaki, jari tangan, dan wajah atau kenaikan BB 1 Kg atau lebih per
minggu.
c. Proteinuria kuantitatif 0,3 gram atau lebih perliter =, kualitatif 1+ atau 2+ pada
urine kateter atau mid steam.
2) Preeklampsia Berat, dengan tanda-tanda :
a. Tekanan darah 160/110mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5 gram atau lebih perliter.
c. Oliguria jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di epigastrum.
e. Ada edema paru dan sianosis.
3. Etiologi
Sebagian besar teori tentang etiologi preeklampsia menunjukkan bahwa
penyakit ini dipicu oleh kombinasi respons inflamasi maternal yang abnormal,
aktivasi/kerusakan sel endotel dengan lingkungan hemodinamik abnormal, dan
gangguan sistem imunitas. Penyebab komplikasi hingga gangguan sistém vacular,
respons imun dan inflamasi masih terus menjelaskan preeklampsia dan meninjau
pilihan terapi (Wang X, 2011).
Etiologi terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab preeklampsia tetapi
tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Tetapi ada beberapa faktor yang
berperan, yaitu:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga sekresi
vasodilator prostasikin oleh sel-sel endotellal plasenta berkurang sedangkan pada
kehamilan normal prostasikin meningkat Sekresi tromboksan oleh trombosit
bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron
menurun Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral terhadap
ketidakseimbangan prostas kin dan tromboksan. Hal ini mengakibatkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume
plasma.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria,
3) Peran Faktor Genetik
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada penderita preeklampsia
adalah peningkatan Human leukocyte antigen (HLA) Menurut beberapa
peneliti,wanita hamil yang mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, 8 44 dan
DR 7 memiliki resiko lebih tinggi menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin
terhambat
4) Disfungsi endotel
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memilik peranan pada terjadinya
preeklampsia. Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia dapat menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin peningkatan aktivitas agregasi trombosit dan
fibrinolisis kemudian diganti oleh trombin dan plasmin Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin II sehingga terjadi deposit brio) Aktivitas trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dar serotonin sehingga terjadi vasospasme
dan kerusakan endotel (Anggren et al 2018).

4. Anatomi Fisiologi Uterus


Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8 cm, lebar
5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus uteri, Fundus uteri,
Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda transisi antara corpus dan
cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang merupakan penghubung antara corpus
uteri dan ovarium disebut Tuba uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas
uteri di dalam Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus
terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau
endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis atau
miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium (Paulsen dan
Waschke, 2013)
Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina dan
Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut 6 posisi
antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui vagina selama peningkatan
tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin (Paulsen dan Waschke, 2013). Otot polos
uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan sel intersisial yang disebut
telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain seperti jantung, trakea, placenta,
pembuluh darah, dan lain-lain (Cretoiu, et al., 2013).

Gambar 2.1 Anatomi Uterus


Perkembangan uterus dipengaruhi oleh hormon maternal dan plasental. Pada
saat lahir, besarnya Corpus uteri lebih kecil atau sama dengan besar Cervix uteri. Saat
dewasa, ukuran corpus uteri dua atau tiga kali lebih besar dari cervix. Uterus
divaskularisasi oleh 2 arteri uterina, cabang dari arteri illiaca interna yang masuk mulai
dari kedua sisi lateral bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah endometrium.

Seiring dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik pada


endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada miometrium dan
tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut nonfungsional karena tidak
memberikan respon terhadap stimulus steroid seks. Lapisan di atasnya adalah lapisan
fungsional yang memberikan respon terhadap stimulus sterois seks dan nantinya akan
terlepas pada saat menstruasi. Pada hari ke-7 pascaovulasi terjadi peningkatan kadar
estrogen dan progesteron yang memicu sintesis prostaglandin sehingga permeabilitas
pembuluh darah kapiler meningkat dan terjadi edema stroma. Dengan meningkatnya
kadar estrogen, progesteron, dan prostaglandin, menyebabkan proliferasi pembuluh
darah spiralis yang berlangsung sampai hari 22. Sel desidua mulai terbentuk pada hari
22-23 siklus (Noerpramana, 2011; Samsulhadi, 2011). Jika terjadi fertilisasi, uterus
mengalami perubahan yang nantinya mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem
dalam tubuh seperti pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa
membesar hingga 1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan.
Pertumbuhan ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia dan
hipertropi (Maruyama, et al., 2012).

5. Patofisiologi
Patofisiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Preeklampsia diperkirakan terjadi karena pengaruh multifaktorial, seperti interaksi
faktor genetik dan lingkungan dari sisi maternal, paternal, dan fetus.
Beberapa faktor yang dinilai paling berperan dalam patofisiologi preeklampsia
adalah abnormalitas plasentasi, ketidakseimbangan faktor angiogenik, abnormalitas
sistem imun maternal, serta faktor genetik. Semua mekanisme tersebut lalu
menyebabkan disfungsi multiorgan pada ibu.
1) Mekanisme Terjadinya Preeklampsia
Patofisiologi preeklampsia berawal dari kegagalan remodelling pada arteri
spiralis yang menyebabkan iskemia plasenta. Selanjutnya, iskemia meningkatkan
produksi protein antiangiogenik dan faktor proinflamasi yang turut berkontribusi
pada disfungsi endotel organ target
a. Abnormalitas Proses Plasentasi
Dalam kehamilan fisiologis, terjadi proses pseudovaskularisasi di mana sel-sel
trofoblas invasif (invasive cytotrophoblast) menginvasi tunika media arteri
spiralis maternal dan berdiferensiasi untuk menggantikan endotel arteri
spiralis. Proses tersebut menjadikan arteri spiralis berkapasitas lebih besar
dengan resistensi yang lebih rendah, sehingga bisa mencukupi nutrisi fetus.
Proses remodelling tersebut terjadi pada trimester pertama kehamilan dan
diperkirakan selesai pada minggu ke-18 sampai ke-20.
Terdapat banyak molekul seperti sitokin, matriks ekstraselular,
metalloproteinase, dan kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) kelas Ib
yang terlibat dalam diferensiasi trofoblas. Pada preeklampsia, molekul-
molekul tersebut tidak diekspresikan seperti semestinya, sehingga terjadi
kegagalan invasi sel trofoblas ke arteri spiralis.
Selain itu, kegagalan transformasi sel trofoblas dari subtipe proliferatif
menjadi trofoblas invasif juga berperan dalam kegagalan remodelling arteri
spiralis. Proses remodelling yang tidak sempurna menyebabkan arteri spiralis
menjadi lebih sempit dan tidak elastis, sehingga menyebabkan iskemia relatif
pada plasenta.
Kondisi iskemia merangsang ekspresi hypoxia-inducible factors (HIF).
Penelitian pada tikus yang sedang hamil menunjukkan bahwa overekspresi
HIF-1α berkaitan dengan hipertensi, proteinuria, dan pertumbuhan janin
terhambat. Selain itu, hipoksia akibat perfusi arteri spiralis yang buruk juga
merangsang stres oksidatif yang menghasilkan reactive oxygen species (ROS).
b. Ketidakseimbangan Faktor Angiogenik
Stres oksidatif juga meningkatkan kadar faktor antiangiogenik seperti sFlt-1
(soluble fms-like tyrosine kinase-1). Protein tersebut mengikat dan mencegah
aktivitas protein proangiogenik, seperti vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan placental growth factor (PIGF).
Kadar sFlt-1 ditemukan lebih tinggi pada pasien preeklampsia dengan gejala
berat serta pada preeklampsia yang terdiagnosis pada usia kehamilan <34
minggu. Penelitian menunjukkan bahwa injeksi sFLT-1 endogen pada tikus
menyebabkan hipertensi, proteinuria, dan glomerular endoteliosis.
Pada kehamilan normal, plasenta memproduksi faktor proangiogenik berupa
VEGF dan PIGF yang penting untuk pemeliharaan endotel, khususnya endotel
terfenestrasi yang terletak pada organ-organ yang terdampak preeklampsia
(otak, liver, dan glomerulus). Ketidakseimbangan faktor angiogenik
menyebabkan disfungsi endotel.
c. Abnormalitas pada Sistem Imun Maternal
Pada preeklampsia, disregulasi toleransi maternal terhadap antigen fetal dan
plasenta yang mengandung komponen paternal diduga terjadi. Maladaptasi ini
ditandai dengan defek hubungan antara sel natural killer (NK) uterus dengan
human leukocyte antigen-C (HLA-C) fetal. Pada kehamilan normal, sistem
imun maternal seharusnya dapat menoleransi alloantigen fetus.
Salah satu ciri khas pada kehamilan normal adalah polarisasi T helper 2 (Th2),
di mana jumlah sel T helper 2 lebih mendominasi daripada T helper 1 (Th1).
Fenotip Th1 yang mendominasi pada preeklampsia diperkirakan turut
berkontribusi pada abnormalitas invasi trofoblas. Kelainan pada diferensiasi T
helper yang terjadi pada preeklampsia disebabkan oleh penurunan sekresi
interleukin (IL)-10. Pada preeklampsia, terdapat ketidakseimbangan proporsi
IL-10 dan sitokin proinflamasi.
2) Perubahan pada Sistem Organ Maternal
Mekanisme di atas menyebabkan terjadinya berbagai perubahan pada sistem
organ. Berikut adalah beberapa perubahan sistem organ yang ditemukan pada
preeklampsia.
a. Perubahan Sistem Vaskular
Pada kehamilan normal, umumnya terjadi hipervolemia. Namun, pada
preeklampsia, hemokonsentrasi yang disertai penurunan tekanan onkotik
intravaskular justru lebih sering ditemukan. Pada preeklampsia, vasospasme
hebat akibat interaksi dari berbagai molekul vasoaktif juga terjadi.
b. Perubahan Hematologi
Perubahan hematologi lebih sering ditemukan pada preeklampsia dengan
gejala berat, terutama pada sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver
enzymes and low platelets). Trombositopenia terjadi akibat peningkatan
aktivasi, agregasi, serta konsumsi platelet. Jumlah platelet <150 x 109/L
merupakan penanda keparahan penyakit serta kerusakan liver signifikan.
Hemolisis ditandai dengan konsentrasi LDH atau lactate dehydrogenase >600
IU/L
c. Perubahan Sistem Hepatik
Gangguan fungsi liver berkaitan dengan nekrosis periportal yang
menyebabkan peningkatan kadar Aspartate Transaminase (AST). Peningkatan
konsentrasi LDH juga menandakan iskemia dan/atau nekrosis jaringan liver.
Gangguan fungsi liver juga bermanifestasi sebagai abnormalitas prothrombin
time, partial prothrombin time, dan fibrinogen.
d. Perubahan Sistem Renal
Secara histopatologis, perubahan renal pada preeklampsia dideskripsikan
sebagai endoteliosis glomerular di mana terdapat pembengkakan sel
endothelial dan mesangial. Selain itu, ada juga protein hasil reabsorbsi filtrasi
glomerular yang terdeposit pada subendotel dan ada tubular cast.
Proteinuria terjadi akibat peningkatan permeabilitas tubular terhadap protein
dengan ukuran besar, seperti albumin, globulin, transferrin, dan hemoglobin.
Vasospasme pada preeklampsia menyebabkan retensi air dan sodium, serta
oliguria. Kadar asam urat juga dapat meningkat sebagai konsekuensi
peningkatan produksi asam urat dari fetus dan plasenta serta penurunan
ekskresi asam urat pada urine.
e. Konsekuensi Pada Fetus
Gangguan sirkulasi uteroplasenta menurunkan aliran darah ibu ke janin. Hal
ini dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan janin, oligohidramnion,
abruptio plasenta, serta gawat janin.
6. Manifestasi Klinis
Menurut (Padila, 2015), manifestasi klinis preeklampsia diantaranya:
1) Pertambahan berat badan berlebih (obesitas)
2) Edema
3) Hipertensi
a. Hipertensi karena kehamilan, jika hipertensi terjadi pertama kali sesudah
kehamilan 20 minggu, selama persalinan, dan atau dalam 48 jam
pascapersalinan.
b. Hipertensi kronik, jika hipertensi terjadi sebelum krhamilan 20 minggu.
4) Proteinuria
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urine manusia yang melebihi nilai
normalnya yaitu kurang dari 150 mg/24 jam.
5) Disertai sakit kepala pada daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di
daerah epigastrum, mual atau muntah.

7. Komplikasi
1) Solusio plasenta.
Komplikasi ini biasanya teriadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih
sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipro Mangunkusumo
15,5% solusio plasenta disertai preeklampsia.
2) Hipofibrinogenemia
Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia,
maka dari itu penulis menganiurkan pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3) Hemolisis.
Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menuniukkan gejala klinik
hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau deStruksi sel darah merah. Nekrosis
periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat
menerangkan ikterus tersebut.
4) Kelainan mata.
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu,
dapat teriadi. Perdarahan kadang-kadang teriadi pada retina; hal ini merupakan
tanda gawat akan teriadinya apopleksia serebri.
5) Edema paru-paru.
Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklampsia, hal ini
disebabkan karena gagal jantung.
6) Sindroma HELLP. yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
7) Kelainan ginjal.
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginial tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat
timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Amin (2016), Pemeriksaan Laboraratorium terdiri dari :
1) Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah Penurunan hemoglobin (
nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14
gr%), hemaktrokit meningkat ( nilai rujukan 37- 43 vol%), trombosit menurun
( nilai rujukan 150- 450 ribu/ mm3).
2) Urinalisis Ditemukan protein dalam urine
3) Pemeriksaan fungsi hati Bilirubin meningkat ( N = < 1 mg/dl), aspartat
aminomtrasferase (AST) > 60 ul, serum Glutamat pirufat trasaminase (SGPT)
meningkat ( N= 15-45 u/ml), serum glutamate oxaloacetix trasaminase ( SGOT)
meningkat ( N = < 31 u/l), total Protein serum menurun ( N = 6,7- 8,7 g/dl)
4) Tes kimia darah Asam urat meningkat ( N = 2,4 – 2,7 mg/dl)
5) Radiologi
a. Ultrasonografi Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus,
pernafasn intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit
b. Kardiotografi Diketahui denyut jantung janin bayi lemah

9. Penatalaksanaan Medis
1) Preeklamsia ringan
Jika kehamilan kurang dari 37 minggu, dan tidak ada tanda- tanda perbaikan,
lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
a. Pantau tekanan darah, proteinuria, refleks, dan kondisi janin.
b. Lebih banyak istirahat
c. Diet biasa
d. Tidak perlu diberi obat obatan
e. Jika rawat jalan tidak memungkinkan, rawat dirumah sakit :
a) Diet biasa.
b) Pantau tekanan darah 2 kali sehari, proteinuria 1 kali sehari.
c) Tidak perlu diuretik,kecuali jika terdapat edema paru,dekompensasi
kordis atau gagal ginjal akut
d) Jika tekanan darah diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan dengan :
- Nasehatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda- tanda
preeklampsia berat.
- Kontrol 2 kali seminggu.
- Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.
e) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan tetap rawat.
f) Jika terdapat tanda-tanda perbaikan tetap rawat
g) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai pre eklampsia berat.
Jika kehamilan lebih 37 minggu, pertimbangkan terminasi :
a. Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU dalam 500 ml
dextrose IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau
melakukan sectio caesarea. (Yulianti, Devi. 2006 dan Naylor, C. Scott
2005)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilan. Menurut Williams,
kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 sampai ≤37 minggu. 9 Pada umur
kehamilan <37 minggu bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat
dipertahankan sampai aterm tapi jika umur kehamilan >37 minggu persalinan
ditunggu sampai timbul onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan
induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan dan tidak menutup kemungkinan
dapat dilakukan persalinan secara spontan (Prawirohardjo, 2016).
2) Preeklamsia berat
Pengelolaan preeklampsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang
terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Penderita preeklampsia berat harus
segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tidur miring ke kiri.
Pengelolaan cairan pada preeklampsia bertujuan untuk mencegah terjadinya
edema paru dan oliguria. Diuretik diberikan jika terjadi edema paru dan payah
jantung
a. Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai
tekanan diastolik di antara 90- 100 mmHg.
b. Pasang infus ringer laktat dengan jarum besar (16 gauge atau >)
c. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
d. Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
e. Jika jumlah urin < 30 ml per jam :
a) Infus cairan dipertahankan 1 liter / 8 jam
b) Pantau kemungkinan edema paru
f. Jangan meninggalkan pasien sendiri. Kejang disertai dengan aspirasi dapat
mengakibatkan kematian ibu dan janin
g. Observasi tanda –tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam
h. Auskultasi paru untuk mencari tanda – tanda edema paru. Krepitasi
merupakan tanda edema paru, jika ada edema paru stop pemberian cairan
dan berikan diuretic misalnya furosemide 40 mg IV
i. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside. Jika pembekuan
tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulasi.
3) Penanganan Kejang
a. Beri obat antikonvulsan
b. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan, masker
oksigen, 17 oksigen )
c. Melindungi pasien dari kemungkinan trauma
d. Aspirasi mulut dan tenggorokan
e. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi
risiko aspirasi
f. Berikan O2 4 – 6 liter/ menit. ( Saifuddin, 2013)

C. Konsep Teori Sectio Caesarea Green Code


1. Pengertian
Sectio Caesarea merupakan proses melahirkan janin dengan membuat sayatan
pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Sectio Caesarea merupakan suatu
Histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Saat ini Sectio Caesarea jauh
lebih aman dikarenakan kemajuan dalam bidang antibiotika, transfusi darah, anestesi
dan teknik operasi yang lebih baik. Namun hal yang perlu diingat adalah, seorang
perempuan yang telah mengalami operasi pasti akan menimbulkan cacat dan parut
pada rahim yang dapat membahayakan kehamilan dan persalinan berikutnya,
walaupun bahaya tersebut relatif kecil (Mochtar, 2015).
Green code adalah sistem penanganan gawat darurat di bidang Obstetri yaitu
penanganan pada kehamilan yang mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau
kematian janin dengan dilakukan persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria.

2. Indikasi
Indikasi dalam SC dapat dibagi menjadi indikasi absolut dan indikasi relatif.
Setiap keadaan yang mengakibatkan kelahiran melalui jalan lahir tidak mungkin
terlaksana merupakan indikasi absolut. Misalnya kesempitan panggul, adanya
neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Indikasi relatif yaitu bila kelahiran melalui
vagina bisa terlaksana tetapi dengan pertimbangan keamanan ibu dan bayi maka
dilakukan SC (Oxorn dan Forte, 2010).
Manuaba (2012) mengatakan indikasi SC meliputi partus lama, disproporsi
sepalo pelvic, panggul sempit, gawat janin, malpresentasi, rupture uteri mengancam,
dan indikasi lainnya. Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar SC adalah
prolong labour, ruptur uteri mengancam, fetal distress, berat janin melebihi 4000 gram,
perdarahan ante partum. Indikasi yang menambah tingginya angka SC adalah SC
berulang, kehamilan prematur, kehamilan resiko tinggi, kehamilan kembar, SC dengan
kelainan letak.

3. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang paling banyak terjadi dalam SC adalah akibat
tindakan anastesi, jumlah darah yang diekeluarkan oleh ibu selama operasi
berlangsung, komplikasi penyulit, Endometriosis (radang endometrium),
Tromboplebitis (gangguan pembekuan darah pembuluh balik), Embolisme
(penyumbatan pembuluh darah paru), dan perubahan bentuk serta letak rahim menjadi
tidak sempurna. Komplikasi serius pada tindakan SC adalah perdarahan karena atonia
uteri, pelebaran insisi uterus, kesulitan mengeluarkan plasenta, hematoma ligamentum
latum (Broad Ligamen), infeksi pada saluran genetalia, pada daerah insisi, dan pada
saluran perkemihan (Prawirohardjo, 2012).
D. Asuhan Keperawatan Perianestesi
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian pre anestesi
Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer et al., 1996). Tahap
pengkajian merupakan dasar utama dalam meberikan asuhan keperawatan sesai
dengan kebutuhan individu (klien). Oleh karena itu pengkajian yang benar, akurat,
lengkap, dan sesuai dengan kenyataan sangat penting dalam merumuskan suatu
diagnosis keperawatan dan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
respon individu, sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik
keperawatan dari American Nursing Association (ANA).
b. Analisis data
Analisis data merupakan kemampuan kognitif dalam pengembangan daya
berpikir dan penalaran yang dipengaruhi oleh latar belakang ilmu dan pengetahuan,
pengalaman, dan pengertian keperawatan. Dalam melakukan analisis data,
diperlukan kemampuan mengaitkan data dan menghubungkan data tersebut dengan
konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam
menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien. Menurut Setiawan (2012),
Analisis data merupakan metode yang dilakukan perawat untuk mengaitkan data
klien serta menghubungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang
relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah
kesehatan pasien dan keperawatan pasien.
c. Diagnosa
1) Dx : Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus
selama persalinan
Tujuan : NOC : Tingkat kenyamanan, Tingkat nyeri
Kriteria Hasil :
• Peningkatan partisipasi dalam kegiatan pemulihan
• Pengurangan perilaku nyeri dengan tidak gelisah dan mengangis serta
tanda- tanda vital pasien normal (TD 110/70–120/80 mmHg, N: 80-90
x/menit, RR: 12- 22x/menit, S: 36,5 C
• Peningkatan mood, koping.
• Pasien mengatakan gangguan rasa aman nyaman hilang atau berkurang
dari skala tinggi ke skala rendah.
• Pasien menjadi tenang dan rileks.
Intervensi : NIC : Penatalaksanaan nyeri, Dukungan emosi, Masase
sederhana
O:
• Observasi vital sign pasien.
• Kaji kontraksi dan ketidaknyamanan (awitan, frekuensi, durasi dan
intensitas).
• Identifikasi skala nyeri.
• Monitor keberhasilan terapi yang sudah diberikan
T:
• Bantu pasien untuk melakukan kegiatan yang bisa mengurangi rasa
nyeri dengan teknik relaksasi, pola pernapasan, masase sederhana
E:
• Anjurkan keluarga untuk menemani pasien.
• Jelaskan kepada pasien mengenai penyebab dari timbulnya gangguan
rasa aman nyaman.
• Beritahu ibu bahwa dia akan dibantu dalam mengelola persalinannya.
Perhatikan keinginannya.
C:
• Kolaborasi perawat dengan keluarga untuk menangani gangguan rasa
aman nyaman yang dialami pasien.
• Kolaborasi perawat dengan dokter untuk memberikan obat obatan yang
diperlukan
2) Dx : Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau persepsi ancaman
terhadap integritas biologis sekunder akibat prosedur invasive
Tujuan : NOC : Tingkat Ansietas, koping, pengendalian impuls
Kriteria Hasil :
• Mengetahu tingkat ansietas pasien
• Pasien mengatakan rasa nyaman dan mengatakan kecemasan sudah
berkurang
• Pasien mengetahui tenang prosedur tindakan operasi yang akan dijalani
• Vital sign pasien dalam batas yang normal
Intervensi : NIC : Penurunan ansietas, pengendalian implus
O:
• Kaji vital sign pada pasien
• Kaji tingkat kecemasan pasien (ringan, sedang, atau berat)
• Identifikasi sumber rasa cemas pasien.
T:
• Ajarkan pasien untuk mengalihkan kecemasannya dengan teknik
relaksasi napas dalam dan teknik distraksi (mendengarkan musik yang
digemari).
• Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan, gunakan
pendekatan yang tenang dan meyakinkan dengan kalimat sederhana
yang mudah dipahami atau melakukan kegiatan yang bisa mengurangi
rasa cemas.
E:
• Ajarkan mengungkapkan perasaan dan persepsi pasien untuk
menyampaikan rasa cemas pasien.
• Berikan pengetahuan teknik relaksasi napas dalam dan teknik distraksi
untuk mengatasi kecemasan pada pasien
C:
• Kolaborasi dengan tenaga kesehatan untuk intervensi non farmakologis
bersama keluarga pasien, untuk mencoba menenangkan rasa cemas
pasien.
• Kolaborasikan dengan dokter mengenai pemberian obat-obatan untuk
mengurangi kecemasan pada pasien apabila tindakan keperawatan
secara mandiri tidak berpengaruh dan jika tingkat kecemasan pasien
sudah berat.
3) Dx : Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mucus dalam
jumlah berlebihan, peningkatan produksi mucus
Tujuan : NOC : Pengontrolan aspirasi, status pernapasan
Kriteria Hasil :
• Pasien tidak mengalami aspirasi
• TTV pasien dalam keadaan normal (RR: 18-23x/menit)
• Tidak ada suara tambahan pada napas pasien
Intervensi : NIC : Pengisapan pada jalan napas, pengaturan posisi
O:
• Observasi pola pernapasan pasien
• Observasi apakah ada suara napas tambahan pada pasien
• Observasi pola batuk dan karakter secret
T:
• Buka jalan napas pasien dengan memposisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat jika adanya suara tambahan
E:
• Jelaskan pada keluarga penyebab terengah-engahnya pernapasan
pasien
C:
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian oksigenasi jika diperlukan
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan untuk
membantu pengenceran sekret jika diperlukan

2. Intra Anestesi
a. Pengkajian intra anestesi
Pengkajian kepenataan merupakan suatu dari komponen dari proses
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali
permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan
seorang klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan
berkesinambungan (Muttaqin, 2020). Identitas yang dikaji mencakup : nama,
umur, agama, suku bangsa, alamat yang bisa diperoleh dari wawancara kepada
pasien dan keluarga pasien, no RM, diagnosa pre operasi, tindakan operasi, tanggal
operasi, nama dokter bedan dan nama dokter anestesi.
b. Analisis data
Menurut Setiawan (2012), Analisis data merupakan metode yang dilakukan
perawat untuk mengaitkan data klien serta menghubungkan data tersebut dengan
konsep teori dan prinsip yang relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan
dalam menentukan masalah kesehatan pasien dan keperawatan pasien.
c. Diagnosa
1) Dx : Risiko kekurangan volume cairan syok hipovolemik berhubungan dengan
perdarahan
Tujuan : NOC: Meminimalkan Episode Hipovolemik
Kriteria Hasil :
• Menangani dan meminimalkan episode hipovolemik pada pasien
• Tanda tanda vital dalam batas normal
• Tidak terjadi perdarahan (tidak adanya Ptekie, melena, epitaksis dan
hematemisis)
Intervensi : NIC : Manajemen Cairan, Pemantauan Cairan
O:
• Pantau status cairan dari asupan (parenteral dan oral) haluaran dan
pengeluaran lain (urine, drainase, dan muntah), slang nasogastric
• Pantau area pembedahan untuk mengetahui adanya pendarahan
dehisensi dan eviserasi (pamantauan cermat mengkinkan deteksi dini
komplikasi )
T:
• Batasi pergerakan dan aktifitas klien (hal ini membantu mengurangi
kebutuhan oksigen jaringan)
E: -
C:
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian agen intropik dan vasoaktif
2) Dx: Risiko aspirasi berhubungan dengan patofosiologi terkait dengan
penurunan tingkat kesadaran sekunder akibat anestesi
Tujuan : NOC: Pengontrolan Aspirasi
Kriteria Hasil :
• Terjadinya aspirasi pada pasien berisiko kecil atau dapat dikurangi
Intervensi : NIC: Aspirasi: pencegahan, penatalaksanaan jalan napas,
pengaturan posisi, pengisapan jalan napas
O:
• Kaji secara sering adanya materi yang menyumbat mulut dan
tenggorokan
• Kaji posisi lidah, pastikan lidah tidak jatuh ke belakang yang
menyumbat jalan napas
• Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas
(adakah ronchi)
• Memonitoring tanda-tanda vital tiap 2 jam.
T:
• Posisikan tubuh pasien untuk berbaring miring dan tinggikan bagian
kepala tempat tidur jika tidak ada kontraindikasi
• Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan
melakukan suction
E:-
C:
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat agar meminimalisir
terjadinya aspirasi dan juga untuk pemberian oksigenasi
3) Dx : Suhu tubuh, risiko ketidak seimbangan / hipotermia berhubungan dengan
situasional (pribadi, lingkungan) yang dibuktikan dengan paparan lingkungan
yang dingin (kamar bedah) dan penguapan dari kulit di lingkungan yang sejuk
(operasi)
Tujuan : NOC: Termoregulasi
Kriteria Hasil :
• Suhu tubuh normal 36,5- 37,5
• Pasien sudah tidak pucat
• TTV dalam batas normal
Intervensi : NIC: Penanganan Hipotermia Regulasi Suhu (Intra Operatif)
Penatalaksanna Lingkungan
O:
• Identifikasi faktor resiko hipotermia
• Pantau asupan dan keluaran
• Pantau TTV
• Kaji suhu lingkungan
T:
• Anjurkan pasien untuk membatasi keluar rumah jika suhu sangat dingin
• Ingatkan pasien untuk mengenaan pakaian tambahan pada pagi hari ketika
metabolisme berada pada titik paling rendah
E: -
C:
• Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian infus hangat, jika diperlukan
• Konsultasikan dengan layanan sosial untuk mengidentifikasi sumber
bantuan finensial, baju hangat,selimut

3. Post Anestesi
a. Pengkajian post anestesi
Pengkajian keperawatan merupakan catatan tentang hasil pengkajian yang
dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar
tentang pasien, dan membuat catatan tentang respons kesehatan pasien. Pengkajian
yang komprehensif atau menyeluruh, sistematis yang logis akan mengarah dan
mendukung pada identifikasi masalah masalah pasien. Masalah - masalah ini
dengan menggunakan data pengkajian sebagai dasar formulasi yang dinyatakan
sebagai diagnosa keperawatan.
Pendokumentasian asuhan keperawatan adalah proses pelaksanaan
pencatatan asuhan keperawatan yakni dari pengkajian saat masuk sampai pasien
dinyatakan sehat. Diagnosis yang diangkat berdasarkan masalah yang ditemukan,
perencanaan keperawatan, tindakan yang dilakukan serta evaluasi dari proses
asuhan keperawatan yang diberikan (Nursalam, 2007).
b. Analisa data
Analisis data merupakan metode yang dilakukan perawat untuk mengaitkan
data klien serta menghubungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip
yang relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah
kesehatan pasien dan keperawatan pasien. Dalam analisis data perawat juga
menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk memeriksa setiap potong
informasi dan menentukan relevansinya terhadap masalah kesehatan klien dan
hubungannya dengan potongan informasi lain. Keterampilan berpikir kritis untuk
mempertimbangkan pertanyaan lain yang mungkin penting atau mengembangkan
gambaran visual mengenai apa yang klien katakan kepada perawat (Rosdahl,
2014).
c. Diagnosa
1) Dx : Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
akibat pembedahan
Tujuan : NOC : Status Infeksi, Luka Penyembuhan : Intensitas utama,
status kekebalan tubuh.
Kriteria Hasil :
• Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi
• Penunjukkan kemampuan untuk mencegah infeksi
• Mengontrol infeksi dan status nutrisi
Intervensi : NIC : Pengendalian Infeksi, Luka Perawatan, Perawatan
Sayatan
O:
• Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
• Monitor kerentanan terhadap infeksi
T:
• Pertahankan teknik asepsis pada pasien untuk setiap tindakan
• Batasi pengunjung bila perlu
E:
• Edukasi pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
• Motivasi pasien untuk banyak istirahat selama masa pemulihan dan
mengurangi gerak.
C:
• Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian antibiotic, jika diperlukan
2) Dx : Risiko jatuh berhubungan dengan kondisi fisiologis post operasi dan efek
agen farmakologis (mis, sedasi, alkohol, anestesi umum)
Tujuan : NOC: Pengontrolan Risiko, Status Keselamatan (Peristiwa Jatuh,
Perilaku Keselamatan)
Kriteria Hasil :
• Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan risiko cedera
• Mengungkapkan keinginan untuk menerapkan langkah-langkah
keselamatan untuk cegah cedera.
Intervensi : NIC: Pencegahan Jatuh, Pengawasan Keselamatan,
Identifikasi Risiko
O:
• Kaji kemampuan individu untuk menjaga keselamantannya. Awasi
individu secara ketat untuk mengkaji keamanan
• Kaji efek samping obat anestesi pada pasien
• Identifikasi risiko jatuh setidaknya sekali setiap shift atau sesuai dengan
kebijakan institusi
• Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh (mis:
lantai licin, penerangan kurang)
T:
• Atur tempat tidur pada ketinggian yang pas dan tinggikan birai samping
tempat tidur
• Pasang handrail tempat tidur
• Tempatkan pasien berisiko tinggi jatuh dekat dengan pantauan perawat
dari nurse station
• Gunakan alat bantu berjalan (mis: kursi roda, walker) Dekatkan bel
pemanggil dalam jangkauan pasien
E:
• Informasikan ke keluarga pasien mengenai risiko jatuh pada pasien dan
pencegahannya
• Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk
berpindah
• Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
• Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh
• Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan
keseimbangan saat berdiri
• Ajarkan cara menggunakan bel pemanggil untuk memanggil perawat
C:
• Kolaborasi dengan perawat lain untuk mengawasi pasien dan dekat
dengan pasien
3) Dx : Gangguan rasa nyaman nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan spasme otot reflex akibat operasi
Tujuan : NOC : Tingkat Nyeri, Tingkat kenyamanan, Pengendalian nyeri
Kriteria Hasil :
• Vital sign pasien normal
• Pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dari skala tinggi ke
rendah
• Pasien menjadi rileks dan tenang
Intervensi : NIC : Penatalaksanaan nyeri, Penatalaksanaan medikasi,
O:
• Kaji vital sign pasien
• Kaji skala nyeri dengan pengkajian OPQRSTUV
T:
• Bantu pasien untuk melakukan kegiatan yang bisa mengurangi nyeri
misal dengan teknik relaksasi nafas dalam
• Berikan pasien istirahat dan tidur yang cukup
E:
• Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri yang diderita
• Anjurkan keluarga untuk menemani pasien.
C:
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik, jika perlu
4) Dx: Defisit perawatan diri eliminasi berhubungan dengan keletihan dan nyeri
postoperative
Tujuan : NOC : Perawatan Diri Higiene, Perawatan Diri Eliminasi
Kriteria Hasil :
• Kemampuan ke toilet (BAB/BAK) meningkat
• Minat melakukan perawatan diri meningkat
• Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri meningkat
• Mendemonstrasikan kebersihan optimal setelah bantuan dalam
perawatan diberikan
Intervensi : NIC : Bantuan Perawatan Eliminasi, Bantuan Perawatan
Higiene, Penyuluhan Menetapkan Tujuan Individual dan Tujuan
Bersama
O:
• Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
• Monitor tingkat kemandirian
Identifikasi kebiasaan BAB/BAK sesuai usia
Monitor integritas kulit pasien
T:
• Buka pakaian yang diperlukan untuk memudahkan eliminasi
• Dukung penggunaan toilet/commode/pispot/urinal secara konsisten
• Jaga privasi selama eliminasi
• Ganti pakaian pasien setelah eliminasi, jika perlu
• Bersihkan alat bantu BAK/BAB setelah digunakan
• Latih BAK/BAB sesuai jadwal, jika perlu
• Sediakan alat bantu (mis. kateter eksternal, urinal), jika perlu
E:
• Anjurkan BAK/BAB secara rutin
• Anjurkan ke kamar mandi/toilet, jika perlu
C:
• Kolaborasi dengan perawat lain dan keluarga pasien terkait perawatan
diri khususnya eliminasi, jika diperlukan
5) Dx : Gangguan pola tidur berhubungan dengan kesulitan menjalani posisi
biasa, sekunder akibat nyeri
Tujuan : NOC : Istirahat, Tidur, Kesejahteraan
Kriteria Hasil :
• Keluhan sulit tidur menurun
• Keluhan sering terjaga menurun
• Keluhan tidak puas tidur menurun
• Keluhan pola tidur berubah menurun
• Keluhan istirahat tidak cukup menurun
Intervensi : NIC : Peningkatan Tidur, Penatalaksanaan Lingkungan
O:
• Identifikasi pola aktivitas dan tidur Identifikasi faktor pengganggu tidur
(fisik dan/atau psikologis)
• Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur (mis: kopi,
teh, alcohol, makan mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum
tidur)
T:
• Modifikasi lingkungan (mis: pencahayaan, kebisingan, suhu, matras,
dan tempat tidur)
• Batasi waktu tidur siang, jika perlu
• Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur
• Tetapkan jadwal tidur rutin
• Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis: pijat,
pengaturan posisi, terapi akupresur)
• Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau Tindakan untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
E:
• Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
• Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
• Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
• Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM
• Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
(mis: psikologis, gaya hidup, sering berubah shift bekerja)
• Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara nonfarmakologi lainnya
C:
• Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian obat tidur, jika diperlukan

4. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana intervensi keperawatan, terdiri
dari semua aktifitas keperawatan yang dilakukan oleh perawat dan klien untuk merubah
efek dari masalah. Implementasi keperawatan sebagai kelanjutan dari perencanaan
perlu dilakukan secara cermat dan seksama sehingga keberhasilan tindakan
keperawatan lebih optimal (Susilaningrum, 2013)
5. Evaluasi
Menurut Mitayani (2012) evaluasi keperawatan merupakan kegaitan akhir dari
proses keperawatan, dimana perawat menilai hilangnya masalah pada klien. hasil yang
diharapkan terhadap perubahan diri pasien dan menilai sejauh mana masalah klien
dapat diatasi. evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukanuntuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Astri Lestari, N. A. (2019). Mahasiswa Kebidanan STIKES Widya Nusantara Palu,
Bagian Kebidanan STIKES Widya Nusantara Palu. Hubungan Riwayat
Preeklampsia dengan Kejadian, 1-5.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and Mikhail's. (2013) clinical
anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill;. p 937-57

Cahyaningrum, E. D., dkk, (2022). GAMBARAN FAKTOR PREDIKTOR


POSTOPERATIVE NAUSEA AND VOMITING (PONV) PASCA
GENERAL ANESTESI DI RSUP DR TADJUDDIN CHALID MAKASSAR.
Universitas Harapan Bangsa Purwokerto. Vol.3:7 6975 - 6979

Dian Hadinata, S. M. (2022). METODOLOGI KEPERAWATAN. Bandung: Widina Bhakti


Persada Bandung.

Gwinutt CL. Catatan kuliah Anestesi klinis (3rd ed). Jakarta: EGC, 2011; p. 97.

Hikmawati., Purnamasari, N. I., Rahmawati. 2021. Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia Pada
Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Ilmu Kebidanan & Kandungan, 13(3), 192-200.

Kadar Serum TNF Alpha pada Ibu Hamil Preeklampsia. N.p., Rena Cipta Mandiri.

Kuukasjärvi, P,. Laurikka, J. & Tarkka M. 2010. Kirugia. Spontaani pneumothorax. Helsinki:
Kustannus Oy Duodecim.

Lestari, I. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA RESIKO PERFUSI


SEREBRAL PADA PASIEN PRE EKLAMPSIA BERAT DI RUANG
DAHLIA RSU ANWAR MEDIKA KAB. SIDOARJO (Doctoral dissertation,
Perpustakaan Universitas Bina Sehat PPNI).

Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia Reanimasi. Jakarta:
indeks

Mitayani. 2012. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif dan Kumalasari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Naylor, C. Scott, 2005. Obstetri – Ginekologi,

Oxorn, Harry dan William R. Forte. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi
Persalinan.Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.

Padila. (2015). Asuhan Keperawata Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika.

Pramono, A. (2015). Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, 2012 Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo

PROMOSI KESEHATAN PADA IBU HAMIL PREEKLAMPSIA: Ekspresi mRNA Gen


Monocyte Chemoattractant Protein 1 (MCP-1). N.p., Jejak Pustaka.

Puspa, N. L. M. P. (2021). HUBUNGAN PRE-EKLAMSIA DENGAN BAYI BERAT LAHIR


RENDAH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR
TAHUN 2018–2020. JIK, 79.

Rana S, Lemoine E, Granger JP, Karumanchi SA. Preeclampsia: Pathophysiology, Challenges,


and Perspectives. Circ Res. 2019;124(7):1094-1112.
doi:10.1161/CIRCRESAHA.118.313276

Saifuddin, Abdul Bari. 2013. Buku Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Susilaningrum, R. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi dan anak untuk Perawat dan Bidan Edisi
2. Jakarta: Salemba Medika

Tangklisan, F. S., Handayani, R. N., & Utami, T. (2022). GAMBARAN NILAI APGAR
SCORE PADA BAYI YANG LAHIR MELALUI SECTIO CAESAREA
DENGAN SPINAL ANESTESI DI INSTALASI BEDAH SENTRAL BLU
RSUP PROF. DR. RD KANDOU MANADO. Jurnal Inovasi Penelitian, 3(7),
6849-6856.
Tolinggi, S., Mantulangi, K., Nuryani. 2018. Kejadian Preeklampsia dan Faktor Risiko yang
Mempengaruhinya. Journal of public health, 1(2), 85-91.

Yulianti Devi, 2006. Buku Saku Manajemen Komplikasi Kehamilan dan Persalinan, cetakan
pertama, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai