Anda di halaman 1dari 17

MENDETEKSI DAN MELAKUKAN PENANGANAN AWAL

KEGAWATDARURATAN PADA PERSALINAN KALA II

KELOMPOK 5 :
1. NOVI INAYATUL WAFIROH (2115471057)
2. SITI IFAYATI (2115471069)
3. NADIA MAULIDA (2115471081)
4. ZELDA PUTRI OKTAVIA (2115471100)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
PROGRAM STUDI D III
KEBIDANAN METRO
TAHUN 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................


DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................
B. Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Fase Laten Memanjang ..........................................................................................
1) Pengertian .......................................................................................................
2) Penyebab .........................................................................................................
3) Penanganan .....................................................................................................
4) Komplikasi .....................................................................................................
B. Ketuban Pecah Dini ...............................................................................................
1) Pengertian ......................................................................................................
2) Mekanisme .....................................................................................................
3) Resiko .............................................................................................................
4) Penyebab .........................................................................................................
5) Komplikasi ....................................................................................................
6) Pengobatan .....................................................................................................
C. Prolaps Tali Pusat ..................................................................................................
1) Pengertian ......................................................................................................
2) Etiologic..........................................................................................................
3) Patofisiologi ....................................................................................................
4) Diagnosis ........................................................................................................
5) Komplikasi .....................................................................................................
6) Penanganan .....................................................................................................
D. Distosia bahu .........................................................................................................
1) Pengertian......................................................................................................
2) Etiologi ...........................................................................................................
3) Patofisiologi ....................................................................................................
4) Komplikasi .....................................................................................................
5) Faktor resiko ...................................................................................................
6) Pencegahan .....................................................................................................
7) Diagnosis ........................................................................................................
8) Penanganan .....................................................................................................

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan salah satu aspek penting
dalam pembangunan nasional secara menyeluruh (Kementerian Kesehatan RI, 2008).
Masalah kesehatan ibu dan anak merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat
perhatian yang lebih karena mempunyai dampak yang besar terhadap pembangunan di
bidang kesehatan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (BPPD Banten,
2019). Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Makin tinggi angka kematian ibu dan bayi
di suatu negara maka dapat dipastikan bahwa derajat kesehatan negara tersebut buruk
(Kemenkes RI, 2018). Hal ini disebabkan karena ibu hamil dan bayi merupakan
kelompok rentan yang memerlukan pelayanan maksimal dari petugas kesehatan, salah
satu bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada ibu melahirkan adalah penolong
oleh tenaga kesehatan (nakes) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
Beberapa tahun terakhir ini diakui dan diterima secara luas bahwa kematian maternal
yang seharusnya dapat dicegah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
perempuan. Di seluruh dunia, Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia tercatat sebesar
177 kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 2017. Rasio itu sudah lebih baik dari
belasan tahun sebelumnya yang lebih dari 200 kematian per 100 ribu kelahiran hidup.
Kendati, AKI Indonesia masih ketiga tertinggi di Asia Tenggara. (World Bank,
(Lidwina, 2021)).
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesehatan ibu dan anak. Semakin rendah angka kematian bayi di suatu wilayah
mengindikasikan semakin baiknya program kesehatan mereka. Berdasarkan data
World Bank angka kematian bayi di dunia pada tahun 2019 mencapai angka 28,2 per
1000 kelahiran hidup (The World Bank, 2020). Hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 menunjukkan AKN sebesar 15 per 1000
kelahiran hidup dan AKB sebesar 24 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan
Indonesia, 2018).

1
Menurut WHO mayoritas dari semua kematian neonatal (75%) tersebut terjadi
selama minggu pertama kehidupan, dan sekitar 1 juta bayi baru lahir meninggal dalam
24 jam
pertama. Termasuk didalamnya kelahiran premature, komplikasi terkait intrapartum
(lahir dengan keadaan asfiksia atau kegagalan bernafas), dan infeksi cacat lahir, hal
ini yang menyebabkan sebagian besar kematian pada neonatal pada tahun 2017
(WHO, 2020).
Berdasarkan data Bank Dunia, angka kematian bayi neonatal (usia 0-28 hari)
Indonesia sebesar 11,7 dari 1.000 bayi lahir hidup pada 2021. Artinya, terdapat antara
11 sampai 12 bayi neonatal yang meninggal dari setiap 1.000 bayi yang terlahir hidup.
Angka tersebut menunjukkan perbaikan dibanding tahun sebelumnya yang masih 12,2
dari 1.000 bayi lahir hidup. Dalam satu dekade terakhir angka kematian bayi neonatal
Indonesia juga menunjukkan tren turun dan selalu di bawah rata-rata dunia. Pada
2021, angka kematian bayi neonatal secara global sebesar 17 dari 1.000 bayi lahir
hidup. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara
(Association of Southeast Asian Nations/ASEAN), angka kematian bayi Indonesia
berada di urutan ke-5 tertinggi dari 10 negara. Angka kematian bayi neonatal
Indonesia jauh lebih tinggi dari Singapura yang hanya 0,8 dari 1.000 bayi lahir hidup
pada 2021. Artinya, hanya ada kira-kira 1 bayi neonatal yang meninggal dari 1.000
bayi yang terlahir hidup di Negeri Singa tersebut. Kematian bayi neonatal Indonesia
juga lebih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Brunei
Darussalam, serta Vietnam seperti terlihat pada grafik. Sementara Myanmar
merupakan negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki angka kematian bayi
neonatal tertinggi, yakni sebanyak 22,3 dari 1.000 bayi lahir hidup. Angka kematian
bayi neonatal Laos, Kamboja, dan Filipina juga lebih tinggi dibanding Indonesia.
Berdasarkan data-data tersebut kami mahasiswa DIII kebidanan akan menjelaskan
masalah-masalah yang ada.

B. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka pembuatan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui:
1. Fase laten memanjang
2. Ketuban pecah dini
3. Prolaps tali pusat

2
4. Distosia bahu

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Fase Laten Memanjang
1. Pengertian
Fase laten adalah proses persalinan yang dimulai saat ibu merasakan
dirinya sendiri, disertai pelunakan dan relaksasi serviks secara bertahap, pelebaran
3-5 cm, dan fase aktif dimulai pada 6 .cm. pembukaan. Laju dilatasi serviks dari
fase laten ke fase aktif adalah 1,2 cm/jam pada nulipara dan 1,5 cm/jam pada
multipara. Fase laten yang berkepanjangan terjadi ketika fase laten berlangsung
lebih dari 20 jam pada wanita yang pernah melahirkan dan 1 Jam pada wanita
yang melahirkan lebih dari satu kali. Faktor-faktor yang berkontribusi pada fase
laten yang berkepanjangan termasuk anestesi regional atau sedasi berlebihan,
serviks tidak melebar dan melebar, dan persalinan yang tidak tepat.
(Prawirohardjo, 2016)

2. Penyebab

3. Penangan
4. Komplikasi

B. Ketuban Pecah Dini


1. Pengertian
Ketuban pecah dini adalah kondisi dimana ketuban bayi sudah pecah
sebelum lahir. Jika ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu,
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam kondisi
normal, 8-10% ibu hamil mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini
terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput ketuban berhubungan dengan
perubahan proses biokimia yang terjadi pada kolagen matriks ekstraselular di
amnion, koroid, dan apoptosis selaput janin. Selaput janin dan desidua merespons

3
rangsangan seperti infeksi dan peregangan selaput dengan memproduksi mediator.
seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormonal yang merangsang aktivitas
"enzim pendegradasi matriks"( Prawirohardjo, 2016).

2. Mekanisme Ketuban Pecah Dini


Biasanya, ketuban pecah selama persalinan disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang, sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler.
Perubahan struktur, jumlah sel, dan kerusakan kolagen menyebabkan perubahan
aktivitas kolagen dan robeknya membrane (Prawirohardjo,2016).

3. Resiko
Faktor risiko ketuban pecah dini adalah :
a. berkurangnya asam askorbat sebagai komponen kolagen;
b. kekurangan tembaga dan asam askorbat menyebabkan pertumbuhan struktur
perut normal, mis. akibat merokok. (Prawirohardjo,2016).

4. Penyebab
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh faktor
eksternal, seperti radang vagina. Ketuban pecah dini sering terjadi pada
polihidramnion, inkompetensi serviks, solusio plasenta. (Prawirohardjo,2016).

5. Komplikasi
a. Persalinan premature
Selaput ketuban pecah biasanya diikuti oleh persalinan, periode laten umur
kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban
pecah. Pada kehamila 24-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada
kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam satu minggu.
(Prawirohardjo, 2016).
b. Infeksi
Risiko infeksi antara ibu dan anak meningkat dengan ketuban pecah dini.
Sang ibu menderita korioamnionitis. Bayi dapat mengalami septikemia,
pneumonia, omphalitis. Korioamnionitis biasanya terjadi sebelum janin
terinfeksi. Dengan ketuban pecah dini, infeksi lebih sering terjadi daripada
dengan ekspresi. Secara umum, dengan ketuban pecah dini, kejadian infeksi

4
sekunder meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
(Prawirohardjo, 2016).
c. Hipoksia dan asfiksia
Pecahnya membran menyebabkan oligohidramnion, yang menekan tali pusat,
menyebabkan mati lemas atau hipoksia. Terdapat hubungan antara adanya
gawat janin dengan derajat oligohidramnion, semakin sedikit cairan ketuban
maka semakin kritis janin. (Prawirohardjo, 2016).
d. Sindrom Malformasi Janin
Ketuban pecah dini menyebabkan keterlambatan pertumbuhan janin, kelainan
akibat kompresi wajah dan tungkai janin, dan hipoplasia paru.
(Prawirohardjo, 2016).

6. Pengobatan
a. Konservatif
a) Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg
selama 7 hari).
b) Jika umur kehamilan <32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar, atau sampai air keruban tidak lagi keluar.
c) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
d) Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24
jam.
e) Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda
infeksi intra- terin).
f) Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason I.M. 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
( Prawirohardjo, 2016).

5
b. Aktif
a) Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25 µg - 50 ug intravaginal
tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan
antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
b) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak ber- hasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan. ( Prawirohardjo, 2016).

C. Prolaps Tali Pusat


1. Pengertian
Prolaps tali pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi, kurang dari 1 per
200 kelahiran, tetapi dapat mengakibatkan tingginya kematian janin. Oleh karena
itu, di- perlukan keputusan yang matang dan pengelolaan segera.
Prolaps tali pusat dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu :
a) Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah janin
dan ketuban masih intak.
b) Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah
pecah, ke serviks, dan turun ke vagina.
c) Occult prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke
vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak.
( Prawirohardjo, 2016).

2. Etiologi
Factor- factor etiologic prolaps tali pusat meliputi beberapa faktor yang
sering ber-hubungan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat, dan iatrogenik
a) Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang terutama
presentasi kaki.
b) Prematuritas

6
c) Kehamilan ganda
d) Polihidramnion sering dihubungkan dengan bagian terendah janin yang
tidak • Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi engage
e) Disproporsi janin-panggul
f) Tumor di panggul yang mengganggu masuknya bagian terendah janin
g) Tali pusat abnormal panjang (> 75 cm) Plasenta letak rendah
h) Solusio plasenta
i) Ketuban pecah dini Amniotomi ( Prawirohardjo, 2016).

3. Patofisiologi Prolaps Tali Pusat


Tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir akan
mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak dikoreksi,
komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian janin.Obstruksi yang lengkap dari
tali pusat menyebabkan dengan segera berkurangnya detak jantung janin
(deselerasi variabel). Bila obstruksinya hilang dengan cepat, detak jantung janin
akan kembali normal. Akan tetapi, bila obstruksinya menetap terjadilah
deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia langsung terhadap miokard
sehingga me ngakibatkan deselerasi yang lama. Bila dibiarkan, terjadi kematian
janin.
( Prawirohardjo, 2016).

4. Diagnosis
Diagnosis prolaps tali pusat dapat melibatkan beberapa cara yaitu
diantaranya :
a) Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina.
b) Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam.
c) Auskultasi terdengar jantung janin yang iregular, sering dengan bradikardi
yang jelas, terutama berhubungan dengan kontraksi uterus.
d) Monitoring denyut jantung janin yang berkesinambungan memperlihatkan
adanya deselerasi variabel. Tekanan pada bagian terendah janin oleh
manipulasi eksterna terhadap pintu atas panggul menyebabkan menurunnya
detak jantung secara tiba-tiba yang menandakan kompresi tali pusat.
( Prawirohardjo, 2016).

7
5. Komplikasi
Komplikasi ibu seperti laserasi jalan lahir, ruptura uteri, atonia uteri akibat
anestesia, anemia dan infeksi dapat terjadi sebagai akibat dari usaha
menyelamatkan bayi. Kematian perinatal sekitar 20-30%. Prognosis janin
membaik dengan seksio sesarea secara liberal untuk terapi prolaps tali pusat.
Prognosis janin bergantung pada beberapa faktor berikut.
a) Angka kematian untuk bayi prematur dengan prolaps tali pusat hampir 4 kali
lebih tinggi daripada bayi aterm.
b) Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantung yang abnormal, adanya
cairan amnion yang terwarnai oleh mekonium, atau tali pusat pulsasinya
lemah, maka prognosis janin buruk.
c) Jarak antara terjadinya prolaps dan persalinan merupakan faktor yang paling
kritis untuk janin hidup.
d) Dikenalnya segera prolaps memperbaiki kemungkinan janin hidup.
e) Angka kematian janin pada prolaps tali pusat yang letaknya sungsang atau
lintang Sama tingginya dengan presentasi kepala. Hal ini menghapuskan
perkiraan bahwa pada kedua letak janin yang abnormal tekanan pada tali
pusatnya tidak kuat. ( Prawirohardjo, 2016).

6. Penanganan
Ditemukannya prolaps tali pusat diperlukan tindakan yang cepat.
Terapi definitif adalah melahirkan janin dengan segera. Penilaian yang cepat
sangat penting untuk menentukan sikap terbaik yang akan diambil. Persalinan
pervaginam segera hanya mungkin bila pembukaan lengkap, bagian terendah
janin telah masuk panggul, dan tidak ada CPD ( Prawirohardjo, 2016).

D. Distosia Bahu
1. Pengertian
Distosia bahu adalah kegagalan melahirkan bahu setelah lahirnya kepala
dengan mencoba salah satu metode melahirkan bahu. Distosia bahu adalah suatu
kondisi yang memerlukan prosedur menyusui tambahan karena retraksi normal
kepala bayi tidak berfungsi untuk melahirkan bayi. Distosia bahu janin, atau
jebakan bahu janin, merupakan komplikasi persalinan pervaginam yang akut dan
tidak dapat diprediksi dengan dampak yang signifikan terhadap morbiditas dan

8
mortalitas neonatal. Kondisi di mana, bersamaan dengan kegawatdaruratan
kebidanan lainnya seperti prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, dan ruptur
uteri postpartum, intervensi yang paling mendesak diperlukan untuk mencegah
kecacatan permanen akibat cedera postpartum atau asfiksia yang signifikan secara
medis. Karena keguguran adalah peristiwa yang relatif atipikal, jarang, tidak dapat
diprediksi, dan terkadang sangat dramatis, setiap kasus harus ditangani secara
individual. (Walyani & Purwoastuti, 2015)

2. Etiologi
Distosia bahu ada kaitannya dengan obesitas ibu pertambahan berat badan
yang berlebihan, bayi berukuran besar riwayat saudara kandung yang besar dan
diabetes pada ibu ( Walyani & Purwoastuti, 2015)

3. Patofisiologi
Dalam mekanisme persalinan normal, saat kepala lahir, bahu masuk ke
panggul dalam posisi miring. Bahu belakang memasuki panggul sebelum bahu
depan. Saat kepala dibawa keluar, fossa posterior terletak di fossa sakral atau di
sekitar tulang belakang di area panggul dan menyediakan ruang yang cukup bagi
bahu depan untuk masuk ke panggul di belakang tulang kemaluan atau melewati
foramina obturator. Jika bahu dalam posisi anterior-posterior saat memasuki pintu
atas panggul, bagian posterior bahu dapat menempel pada iskium dan bagian
anterior bahu dapat menempel pada pubis. Kepala yang lahir dalam kondisi ini
tidak dapat berputar pada poros luarnya dan tertahan karena tarikan antara
punggung dan kepala (disebut tanda kura-kura). ( Walyani & Purwoastuti, 2015)

4. Komplikasi
a. Pada janin
a) Meninggal, intrapartum atau neonatal
b) Paralisis plexus brachialis
c) Frakrur clavicula
b. Ibu: Robekan perineum dan vagina yang luas (Walyani & Purwoastuti, 2015)

5. Faktor Risiko

9
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian distosia bahu, yaitu :
a. Makrosomia/kelahiran sebelumnya bayi > 4 kg
b. Ibu obesitas
c. Penambahan berat badan berlebih
d. Panggul sempit
e. Melahirkan dengan posisi setengah berbaring di tempat tidur dapat
menghambat gerakan koksik dan sakrum yang memperberat terjadinya
"distosia lahir-tempat tidur.
f. Diabetes maternal
g. Kala II lama
h. Distosia bahu sebelumnya ( Walyani & Purwoastuti, 2015)

6. Pencegahan
Upaya pencegahan distosia bahu dan cedera yang dapat ditimbulkannya
dapat dilakukan dengan cara :
a. Tawarkan untuk dilakukan bedah sesar pada persalinan vagina yang beresiko
tinggi : janin luar biasa besar (>5 kg), janin sangat besar (>4,5 kg) dengan ibu
diabetes, janin besar (>4 kg) dengan riwayat distosia bahu pada persalinan
sebelumnya, kala II yang memanjang dengan janin besar.
b. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu.
c. Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi.
d. Kenali adanya distosia bahu seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan
suprapubis atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada
janin.
e. Perhatikan waktu dan segera minta pertolongan begitu distosia diketahui.
Bantuan diperlukan untuk membuat posisi McRoberts, pertolongan persalinan,
resusitasi bayi, dan tindakan anestesia bila perlu ( Prawiroharjo, 2016)

7. Diagnosis Distosia Bahu


Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanya :
a. Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat di lahirkan
b. Kepala bayi sudah lahir, tetapi menekan vulva dengan kencang
c. Dagu tertarik dan menekan perineum

10
d. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tertahan di kranial
simfisis pubis tetap (Prawiroharjo, 2016).

8. Penanganan Distosia Bahu


1) Manuver Mc. Robert
Gerakan McRobert diawali dengan menempatkan ibu dalam posisi
McRobert yaitu menempatkan ibu telentang, menekuk kedua paha
sehingga lutut sedekat mungkin dengan dada, dan memutar kedua kaki ke
luar (abduksi). Membuat Episiotomi yang Cukup Besar Kombinasi
episiotomi dan posisi McRobert memungkinkan bagian belakang bahu
melewati promontorium ke panggul. Minta asisten untuk menekan bagian
posterior suprasimfisis dengan punggung tangan untuk menekan bahu
anterior agar berada di bawah simfisis. Sementara itu, pegang kepala janin
di area posterocaudal. Gerakan ini menciptakan bahu depan. Hindari traksi
berlebihan, karena ini akan merusak pleksus brakialis. Setelah bahu depan
lahir, langkah selanjutnya dilakukan (Prawirohardjo, 2016)

2) Manuver Rubin
Karena diameter anteroposterior pintu atas panggul lebih sempit
daripada diameter oblik atau transversal, maka bahu anteroposterior harus
diletakkan pada posisi oblik atau transversal untuk memudahkan
persalinan. Jangan memutar kepala atau leher bayi untuk mengubah posisi
bahu. Yang bisa dilakukan adalah memutar bahu secara langsung atau
memberikan tekanan suprapubik ke belakang. Bahu depan biasanya sulit
dijangkau, jadi lebih mudah memutar bahu dengan bahu belakang. Masih
dalam posisi McRobert, masukkan tangan ke bagian belakang vagina dan
tekan pada ketiak bayi sehingga bahu berubah menjadi posisi miring atau
melintang. Lebih baik memutar bayi ke arah yang membuat punggung
bayi ke depan (sebelum gerakan Ruby) karena traksi yang diperlukan
untuk melahirkan lebih sedikit daripada saat bahu ke depan atau punggung
bayi mengarah ke belakang. Ketika tekanan suprapubik diterapkan pada
posisi terlentang anterior janin, bahu lebih banyak diabduksi, mengurangi
diameter. Terapkan traksi posterocaudal yang kuat ke kepala dengan

11
tekanan suprasimfisis posterior untuk melepaskan bahu anterior
( Prawirohardjo, 2016).

3) Melakukan manuver bahu belakang, paha depan, atau Kayu


Transfer bahu posterior dilakukan dengan terlebih dahulu
mengidentifikasi posisi punggung bayi. Masukkan uluran tangan ke dalam
vagina di belakang teluk (punggung kanan berarti tangan kanan, punggung
kiri berarti tangan kiri). Temukan bagian belakang bahu, tarik lengan atas
dan tekuk sendi siku (dorong ke lekukan lengan Anda). Pegang lengan
bawah dan lakukan gerakan membelai dada bayi. Gerakan ini
memperlihatkan bahu belakang dan memberikan ruang yang cukup bagi
bahu depan untuk meluncur di bawah simfisis pubis. Terapkan traksi
posterolateral yang kuat ke kepala, dibantu oleh tekanan suprasimfisis,
untuk melepaskan bahu anterior.
Keuntungan dari posisi merangkak didasarkan pada asumsi
bahwa fleksibilitas sendi sakroiliaka dapat meningkatkan diameter sagital
pintu atas panggul sebesar 1-2 cm dan efek gravitasi pada bahu posterior
membantu melewati tanjung³. Dalam posisi litotomi telentang, mobilitas
sendi sakral terbatas. Pasien menopang tubuh dengan kedua tangan dan
kedua lutut. Dalam gerakan ini, bahu belakang pertama-tama lepas dengan
menarik kepala. Bahu yang melewati panggul tidak dalam garis lurus,
tetapi diputar seperti sekrup. Membangun ini, memutar bahu Anda
membuat persalinan lebih mudah. Gerak Wood dilakukan dengan
meletakkan dua jari tangan pada punggung bayi (punggung kanan artinya
tangan kanan, punggung sekarang tangan kiri) pada bagian depan bayi.
Bahu belakang Bahu belakang diputar 180 derajat. Dengan demikian, bahu
posterior menjadi bahu anterior dan ditempatkan di bawah lengkungan
kemaluan, sedangkan bahu anterior masuk ke foramen ata dan menjadi
bahu posterior. Dalam posisi ini, bahu depan dilepas dengan mudah.
Setelah melakukan prosedur penyelamatan distosia bahu, langkah
selanjutnya adalah proses dekontaminasi dan pencegahan infeksi pasca
operasi serta perawatan pasca operasi. Perawatan pasca operasi meliputi
pelaporan formulir medis dan konsultasi pasca operasi ( Prawirohardjo,
2016).

12
13
DAFTAR FUSTAKA
Maternity, Dainty asuhan kebidanan komunitas - disesuaikan dengan rencana
pembelajaran kebidanan 2017 Jakarta andi

Purwoastuti endang, walyani Siwi, 2015 asuhan kebidanan kegawatan


MATERNAL & NEONATAL. Yogyakarta : pustakabarupress

Dubravko Habek. (2022) " obstetrics injuries during shoulder dystocia in a


tertiary perinatal center". European Journal of Obstetrics & Gynecology and
reproductive Biology. 33-37

World health statistics 2022: monitoring health for the SDGs, sustainable
development goals

Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. - Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.


2020

14

Anda mungkin juga menyukai