Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

KLIMATOLOGI

“ Kondisi iklim dan dampak perubahan masyarakat di kabupaten Konawe


Selatan’’

OLEH:
SEFTIAN BAGAS DWIRAKASIWI

(M1B121043)

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin puji syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh


Allah SWT. pemilik alam semesta serta segala kehidupan dan kematian
didalamnya. Pantaslah kita untuk senantiasa memuja dan memuji kebesaran
serta keanggungan-Nya. Semoga kita selalu berada dalam lindungan Ilahi ditiap
aktivitas keseharian kita Allahuma Shali Alasayyidina Muhammad Waala Alihi
Washbihi Wasalim, shalawat dan salam teriring kehadirat Rasulullah SAW.
Pemimpin terbaik yang menginspirasi peradaban manusia, telah mengantarkan
kita dari zaman jahiliyah ke kehidupan yang bernafaskan Islami dan penuh
dengan ilmu pengetahuan.

Semoga beliau, para sahabat dan pengikutnya senantiasa mendapat tempat


istimewa disisi Allah SWT. Amin. Kami mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing mata kuliah “ KLIMATOLOGI “ yang telah mempercayakan tugas
Makalah ini kepada saya sehingga dapat menambah pengetahuan serta
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni saat ini.

Saya menyadari bahwa Makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna oleh karena itu jika ada kritik dan saran yang membangun akan kami
terima demi kesempurnaan Makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN

Latar Belakang...................................................................................................................

Tujuan.........................................................................................................................

Metodologi..................................................................................................................
Konsep Dasar Kerentanan dan Risiko Iklim.................................................................

Proses dan Para pihak yang Terlibat dalam Kajian.............................................................

BAB 2 PEMBAHASAN

kondisi langkap di Konawe Selatan...............................................................................

Kondisi Geografis......................................................................................................

Batas Administratif......................................................................................................
Kondisi Geologis.................................................................................................

Sejarah Bencana di Konawe Selatan.................................................................................

Kondisi Sosial Ekonomi Daerah.................................................................................

Ekosistem....................................................................................................................

Topografi dan Curah Hujan............................................................................

Karakteristik Hidrologi..................................................................... .....................................

Kelas Lereng pada DAS Konaweeha...............................................................................

Karakteristik Lahan Kritis pada DAS Konaweeha.............................................................

Permasalahan DAS Konaweeha.....................................................................................

2.4 Risiko Iklim di Level Provinsi.................................................................................

BAB III. DATA HISTORIS DAN PROYEKSI IKLIM

Iklim di andoolo..................................................................................................................

Proyeksi Iklim di Konawe Selatan......................................................................................

3
BAB IV PENUTUP

Kesimpulan.........................................................................................................

Saran.....................................................................................................................

Daftar pustaka.......................................................................................................

4
BAB 1.

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Secara astronomis Kabupaten Konawe Selatan terletak antara 30.58.56'
dan 4.031.52' lintang Selatan, dan antara 121.58' dan 123.16' bujur Timur.
Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Konawe Selatan memiliki batas-
batas antara lain ;

1. Sebelah utara dengan Kabupaten Konawe dan Kota Kendari;


2. Sebelah Timur dengan Laut Banda dan Laut Maluku;
3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bombana dan Muna;
4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Timur.

Kabupaten Konawe Selatan memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan
penghujan. Musim kemarau terjadi antara Juni sampai dengan September,
dimana angin timur yang bertiup dari Australia tidak banyak mengandung uap
air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya musim hujan terjadi
antara Desember sampai dengan Maret, dimana angin barat yang bertiup dari
Benua Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air sehingga terjadi
musim hujan. Bulan April-Mei dan Oktober - November merupakan lagu lagu atau
lagu yang bisa didengarkan musim pancaroba atau lagu lagu. Akan tetapi akhir-
akhir ini akibat dari perubahan kondisi alam yang sering tidak menentu, keadaan
musim juga sering menyimpang dari kebiasaan.
Curah hujan dipengaruhi oleh perbedaan iklim, orografi dan perputaran udara
sehingga menimbulkan perbedaan curah hujan setiap bulan. Curah hujan di
Kabupaten Konawe Selatan tahun 2017 mencapai 4.600,3 mm dalam 236 Hari
Hujan (HH). Tingginya suhu udara dipengaruhi oleh letak geografis dan
ketinggian dari permukaan laut. Konawe Selatan yang terletak di daerah
khatulistiwa dengan ketinggian pada umumnya di bawah 1.000 meter, sehingga
iklim tropis. Pada tahun 2017, suhu udara rata-rata berkisar antara 26ºC - 29ºC.
Tekanan udara rata-rata 1.011,2 milibar dengan kelembaban rata-rata 81 persen.
Kecepatan angin umumnya berjalan normal disekitar 4 m/dtk.

Secara administrasi, Kabupaten Konawe Selatan pada tahun 2017 terdiri


atas 25 Kecamatan yaitu Tinanggea, Lalembuu, Andoolo, AndooloBarat, Buke,
Palangga, Palangga Selatan, Baito, Lainea, Laeya, Kolono, Kolono Timur,
Laonti, Moramo, Moramo Utara, Konda, Wolasi , Ranomeeto, Ranomeeto Barat,
Landono, Mowila, Sabulakoa, Angata, Benua dan Basala.

Permukaan tanah pada umumnya bergunung dan berbukit yang diapit


oleh dataran rendah yang sangat potensial untuk pengembangan sektor
pertanian. Sedangkan Jenis tanah di Kabupaten Konawe Selatan meliputi
Organosol, Aluvial, Grumosol, Mediteran, Podzolik, Latosol.

5
Secara geologi sebagian Wilayah Kabupaten Konawe Selatan, yaitu di
Kecamatan Lainea dan Kolono serta Moramo khususnya Derah Amohola
merupakan daerah yang menunjukkan fenomena geologi khusus berupa gejala
panas bumi. Menurut Survei Terpadu Geologi Geokimia Daerah Panas Bumi
Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, oleh Pusat Sumber
Daya Geologi tahun 2010. Daerah panas bumi Lainea secara umum berada pada
tatanan geologi yang didominasi oleh batuan Metamorf dan endapan rombakan.
Litologinya terdiri dari batuan malihan Sabak berumur PraTersier, batuan Meta-
gamping kristalin yang berumur pra-Tersier, batuan endapan rombakan
(reworked) yang tersusun oleh komponen-komponen batuan lebih tua, tidak
padu, berumur Kuarter. Terdapat gejala mineralisasi berupa urat-urat kuarsa dan
mineralmineral sulfida, yang menandakan adanya gejala hidrotermal fosil.
Alterasi hidrotermal sangat intensif di zona mineralisasi berupa ubahan clay atau
argilikSecara geologi sebagian Wilayah Kabupaten Konawe Selatan, yaitu di
Kecamatan Lainea dan Kolono serta Moramo khususnya Derah Amohola
merupakan daerah yang menunjukkan fenomena geologi khusus berupa gejala
panas bumi. Menurut Survei Terpadu Geologi Geokimia Daerah Panas Bumi
Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, oleh Pusat Sumber
Daya Geologi tahun 2010. Daerah panas bumi Lainea secara umum berada pada
tatanan geologi yang didominasi oleh batuan Metamorf dan endapan rombakan.
Litologinya terdiri dari batuan malihan Sabak berumur PraTersier, batuan Meta-
gamping kristalin yang berumur pra-Tersier, batuan endapan rombakan
(reworked) yang tersusun oleh komponen- komponen batuan lebih tua, tidak
padu, berumur Kuarter. Terdapat gejala mineralisasi berupa urat-urat kuarsa dan
mineralmineral sulfida, yang menandakan adanya gejala hidrotermal fosil.
Alterasi hidrotermal sangat intensif di zona mineralisasi berupa ubahan clay atau
argilik.

Gejala panas bumi ini diperlihatkan oleh sejumlah manifestasi panas bumi
berupa mata udara panas dengan suhu mencapai 80 oC di Sungai Lainea, tanah
panas serta zona alterasi mineral lempung yang termasuk dalam zona argilik
dengan penyebaran yang cukup luas di sekitar Sungai Landai. Struktur
geologi yang dijumpai di daerah Konawe Selatan meliputi lipatan, kekar dan
sesar. Lipatan dapat ditemukan dibeberapa tempat dimana batupasir malih
tersingkap, namun sangat sulit untuk menentukan arah sumbu lipatannya karena
telah terjadi perombakan. Kekar dijumpai dihampir seluruh satuan batuan
penyusun daerah ini kecuali alluvium, dan batuan kompak, batuan molasa yang
tidak terkonsolidasi dengan baik. Sesar utama yang terjadi di daerah konawe
selatan dapat ditemukan di wilayah kolono, yang hampir semua batuan kecuali
alluvial.

Dalam upaya untuk memelihara ketersediaan sumber daya air di wilayah


Kabupaten Konawe Selatan, maka perlu mengatur sirkulasi udara yang masuk
(dalam bentuk curah hujan) dan jumlah air yang keluar melalui cara
evapotranspirasi, air tanah (ground wafer recface) dan jumlah udara yang
mengalir sebagai run off (permukaan dan bawah permukaan). Konawe Selatan
memiliki beberapa sungai besar yang cukup potensial untuk pengembangan

6
pertanian, irigasi, dan pembangkit tenaga listrik seperti Sungai Lapoa, Laeya
dan Sungai Roraya.

Emisi gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran minyak, batubara dan juga
pembukaan hutan, telah menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Dampak dari perubahan iklim ini sangat luas, mencakup banyak sektor dalam
kehidupan manusia dan dapat disaksikan di semua daerah termasuk di Kendari. Suhu
rata-rata global terus meningkat. Tahun 2015 dan 2016 tercatat oleh World
Meteorogilcal Organization (WMO) sebagai tahun terpanas dalam seratus tahun
terakhir. Kejadian cuaca ekstrem semakin sering terjadi, dan pola musim semakin sulit
diperkirakan. Perubahan iklim akan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, banjir dan
longsor. Sektor yang akan terdampak antara lain adalah sektor pertanian, perikanan,
lingkungan hidup, sanitasi, infrastruktur, kesehatan, dan penanggulangan bencana.
Risiko perubahan iklim dihadapi oleh semua lapisan masyarakat, namun kelom pok
masyarakat yang akan paling merasakan dampak perubahan iklim adalah petani,
nelayan, dan penduduk miskin perkotaan. Penghasilan mereka akan menurun
sementara ancaman bencana akan semakin tinggi. Dari sudut pandang gender, ibu-ibu
rumah tangga juga akan merasakan beban yang lebih berat jika terjadi cuaca ekstrem,
banjir atau kekeringan. Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya
kawasan/lanskap Kota Kendari juga tidak terlepas dari dampak perubahan iklim ini.
Dampak dari perubahan iklim ini dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan,
mengancam ketahanan pangan, dan menambah angka kemiskinan.

Untuk mengurangi dampak tersebut perlu dilakukan upaya adaptasi terhadap


perubaha iklim. Pemerintah Indonesia dalam Undang Undang nomor 16 tahun 2016
tentang: Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, telah menyatakan komitmennya untuk
melakukan adaptasi dan membangun ketangguhan iklim. Adaptasi terhadap perubahan
iklim adalah serangkaian upaya transformasi untuk mengurangi risiko dari stressor iklim
dan mengambil manfaat dari peluang baru yang muncul. Namun sebelum itu, untuk
membuat adaptasi yang benar perlu dibuat dulu kajian kerentanan dan risiko iklim.
Kajian kerentanan dan risiko iklim adalah serangkaian analisis yang didasari
informasi proyeksi iklim yang ilmiah untuk memperkirakan dan memetakan

7
risiko iklim.

Topografi wilayah Kabupaten Konawe Selatan pada umumnya bergunung


dan berbukit yang diapit dataran rendah, yang dapat dibedakan atas 5 kelas
berdasarkan ketinggian dari permukaan laut yaitu 0 – 25 m (8,11%), 25-100
(31,62%), 100-500 (39,38%), 500-1000 (13,66%) dan lebih dari 1.000 (7,23%),
sedangkan berdasarkan kemringan tanah dapat dibagi menjadi: kemiringan 00-
02% (seluas 30,52%), 03-15% (seluas 32,61%), 16-40% (seluas 27,33%)
dan diatas 41% (seluas 9,54%). Jenis tanah teridiri atas latosol (23,35%),
podzolik (28,15%), organosol (4,71%), mediteran (3,39%), aluvial (4,80%) dan
tanah campuran (35,59%). Kabupaten Konawe Selatan dilalui oleh beberapa
buah sungai besar yaitu sungai Lapoa, sungai Laeya dan sungai Roraya. Sungai-
sungai ini telah dimanfaatkan sebagai sumber irigasi dan telah dibangun
beberapa bendungan

untuk pengembangan pertanian. Selain sungai-sungai tersebut juga terdapat


banyak sungai-sungai kecil dan rawa. Sarana dan prasarana dasar telah
tersedia secara memadai kecuali sarana telekomunikasi tetapi saat ini sedang
dibangun beberapa sarana telokuminikasi. Hubungan antara daerah/wilayah
Kabupaten, Propinsi dapat dijangkau dengan mudah, sarana transportasi sudah
tersedia dengan baik, apakah itu hubungan darat maupun hubungan laut dan
udara. Kegiatan didalam perhubungan ini dapat dengan cepat mendukung
kegiatan pembangunan serta perekonomian Kabupaten Konawe Selatan.
Kondisi sarana dan prasarana transportasi di Kabupaten Konawe Selatan
adalah: (1) Angkutan darat; panjang jalan pada tahun 2004 mencapai 854.2 km,
dengan kondisi baik 10.68%, sedang 35.38% dan rusak ringan 36.57% serta
rusak berat 14.87%. Fasilitas angkutan darat (kendaraan roda empat) sebanyak
4.275 buah yang terdiri dari mobil umum 49.1% dan tidak umum 50,9%,
sementara itu jumlah sepeda motor sebanyak 13.218 buah; (2) Angkutan laut;
Di daerah ini terdapat pelabuhan very penyeberangan Torobulu Tampo,
sebanyak 2 -3 kali sehari. (3) Angkutan udara melalui bandara udara Wolter
Monginsidi yang berada di Kecamatan Ranomeeto,

8
jumlah pesawat yang tiba dan berangkat sebanyak 1.482 kali.

Paradigma baru pembangunan global tidak lagi melulu didasarkan pada


aspek ekonomi untuk menilai keberhasilan suatu negara dalam melaksanakan
program-program pembangunannya. Paradigma baru pembangunan global
meyakini bahwa selain aspek ekonomi, yang tak kalah pentingnya adalah
sejauhmana suatu negara mampu memelihara kelestarian sumber daya alam
(SDA) dan lingkungan hidup (LH) negaranya ketika melaksanakan
pembangunan. Hal ini sebagaimana draft rumusan PBB tentang hak asasi
manusia (HAM) atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai HAM
generasi ketiga, setelah hak-hak sipil dan politik (sipil) dan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya (ecosoc) yang dikenal sebagai HAM generasi pertama dan
kedua. Berdasarkan konsep pembangunan moderen, setidaknya ada tiga
dimensi pokok yang harus diperhatikan dalam menilai keberhasilan
pembangunan suatu negara yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan
kelestarian lingkungan hidup. Konsep pembangunan yang menitikberatkan pada
keseimbangan tiga dimensi ini dikenal dengan istilah pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan yang berwawasan
lingkungan (eco-development). Menurut konsep ini, yang dipertahankan
keberlanjutan dan eksistensinya bukan hanya menyangkut variabel-variabel
pembangunan yang dikenal selama ini (sumber daya manusia, sumber daya
alam, modal, teknologi, serta kelembagaan dan keterampilan manajerial),
melainkan juga proses interaksi antara variabel- variabel tersebut. Dinamika
interaksi variabelvariabel tersebut harus tetap berjalan secara proporsional, jika
berbagai kesenjangan dan stagnasi pembangunan tidak signifikan.

Rusaknya hutan akibat perambahan kawasan dan illegal logging,


merupakan isu utama lingkungan hidup di kabupaten Konawe Selatan.
Berkembangya usaha penggergajian hutan kayu (sawmill) semakin
mempercepat kerusakan hutan yang berdampak pada kondisi DAS semakin
kritis, sungai-sungai utama banyak mengalami kekeringan (penuruan debit air

9
secara drastis) pada musim kemarau dan banjir besar pada musim hujan.
Disamping itu, aktivitas manusia dan pembangunan yang terus meningkat dari
waktu ke waktu semakin banyak memberikan tekanan terhadap berbagai
komponen lingkungan hidup. Tekanan-tekanan tersebut telah memberikan
dampak terhadap kelestarian lingkungan hidup (dan juga merupakan salah satu
lingkungan hidup) yaitu kerusakan habitat ekosistem pesisir dan laut. Hal ini
terjadi akibat pengelolaan mangrove dan terumbu karang yang dilakukan oleh
oknum tertentu dan masyarakat, baik yang dilakukan secara legal maupun
ilegal, untuk kepentingan ekspor, pasar maupun domestik. Kerusakan habitat
ekosistem pesisir dan laut ini dapat dilihat dengan semakin menipisnya kondisi
sumber populasi hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir di Konawe Selatan.
Kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan meggunakan
bahan peledak dan bahan kimia beracun (seperti, sianida) dapat merusak
terumbu karang dan habitat ikan.

Perencanaan terpadu menghendaki adanya keterlibatan semua pihak terkait


baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi, LSM maupun masyarakat. Dengan
adanya keterlibatan semua pihak terkait secara kolektif, maka pengelolaan SDA
dan LH terpadu dapat menyerap keinginan, nilai, dan idealisme dari berbagai
stakeholder yang ada dalam suatu wilayah, sehingga akan lebih menjamin
keberlanjutan dari pembangunan wilayah dimaksud. Selain itu, perencanaan
terpadu juga dapat menangani permasalahan LH secara holistik dan
komprehensif, sehingga seluruh potensi yang ada dalam sebuah wilayah dapat
dikelola dan ditangani secara bijaksana. Untuk memberikan gambaran kondisi
lingkungan hidup di kabupaten Konawe Selatan, baik yang berkaitan dengan
kondisi bio-fisik, sosialekonomi, maupun kegiatan manusia yang berpengaruh
terhadap kondisi lingkungan dan dampaknya terhadap manusia, maka kantor
Lingkungan Hidup kabupaten Konawe Selatan menyusun buku Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah (SLHD).

10
TUJUAN

MAKALAH ini dibuat sebagai dasar untuk penyusunan strategi adaptasi


perubahan iklim dan ketangguhan di Kota Kendari. Selain itu, kajian ini juga dibuat
sebagai masukan untuk perencanaan pembangunan daerah yang lebih adaptif
terhadap perubahan iklim. Output yang diharapkan dari kajian ini adalah:
a) Penentuan bidang-bidang yang perlu diprioritaskan dalam adaptasi di
daerah ini.
b) Pemetaan kerentanan dan risiko perubahan iklim dalam bidang yang
dipilih.
c) Pilihan strategi adaptasi untuk bidang yang dipilih.

Selain untuk masukan dalam perencanaan pembangunan daerah, hasil kajian risiko ini
juga akan menjadi pertimbangan dalam penentuan komunitas/desa yang akan
didampingi oleh Program APIK. Hasil kajian ini dapat pula digunakan untuk evaluasi
upaya adaptasi pada 5 sampai 10 tahun ke depan.

METODOLOGI

Kajian kerentanan dan risiko iklim ini mengacu pada Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 33 tahun 2016 tentang Pedoman
Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim; dan juga pada Peraturan Kepala
(Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 2 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Selain itu, kajian ini juga
mengadaptasi metodologi yang digunakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
dalam Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI) 2012.

Kajian ini menggunakan metode analisis risiko dinamis pada beberapa bidang strategis
daerah. Analisis risiko dinamis adalah pembandingan antara risiko yang ada masa
sekarang dengan risiko pada masa 30 tahun mendatang. Kajian ini dilakukan melalui
konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal dan tenaga ahli pada masing-
masing bidang. Pada setiap bidang digunakan perangkat yang sesuai untuk membuat
analisis risiko di bidang itu. Ada sepuluh langkah yang dilakukan dalam kajian ini seperti
dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

11
Gambar 1: Langkah Kajian KerentananPenjelasan tentang langkah-langkah

Membentuk kelompok kerja

Membaca data historis iklim & kebencanaan Membaca Proyeksi Iklim

Memperkirakan dampak perubahan


iklim pada ekosistem

Pemilihan bidang bidang strategis yang


perlu melakukan adaptasi

Bidang: A Bidang: B Bidang: C Bidang: D Bidang: E

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis


Ancaman Ancaman Ancaman Ancaman Ancaman

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis


Kerentanann Kerentanan Kerentanan Kerentanan Kerentanan

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis


Risiko Risiko Risiko Risiko Risiko

Sintesis Ancaman dan Risiko

Pilihan Adaptasi

12
yang terdapat dalam bagan di atas adalah sebagai berikut: Membentuk
kelompok kerja untuk adaptasi perubahan iklim yang melibatkan OPD terkait
iklim; perguruan tinggi ; LSM, dan sektor swasta.

1) Membaca data historis iklim dan kebencanaan: Untuk melihat tren dan
kejadian bencana hidrometeorologis apa yang sering terjadi. Data
kehilangan dan kerugian akibat bencana hidrometeorologis juga perlu dilihat.

2) Membaca proyeksi iklim: BMKG telah menyiapkan proyeksi iklim untuk 30


tahun ke depan, dari proyeksi ini dapat dilihat berapa banyak perubahan suhu,
curah hujan, dan pola musim yang akan terjadi.

3) Perkiraan dampak perubahan pada ekosistem: Dampak langsung


perubahan iklim akan dialami oleh lingkungan hidup. Untuk beberapa ekosistem
darat dan laut yang ada di daerah ini dianalisis peluang dampak yang akan
terjadi.

4) Pemilihan bidang-bidang strategis yang perlu melakukan adaptasi:


Banyak bidang yang perlu melakukan adaptasi, namun karena keterbatasan
sumberdaya diperlukan adanya prioritas. Empat sampai lima bidang dipilih untuk
dibuat kajian kerentanannya.

5) Analisis Ancaman: Untuk setiap bidang dibuat analisis ancaman berdasarkan


kondisi sekarang dan proyeksi iklim 30 tahun ke depan. Ancaman ini dapat
dinyatakan dengan besaran, intensitas, frekuensi, dan probabilitas. Informasi
ancaman juga disajikan dalam bentuk peta ancaman.

6) Analisis Kerentanan: Untuk setiap bidang dibuat analisis kerentanan periode


sekarang dan 30 tahun ke depan berdasarkan faktor utama yang menyebabkan
keterpaparan, sensitifitas, dan kapasitas adaptif. Informasi kerentanan ini
disajikan dalam bentuk peta dengan unit analisis kelurahan/desa.

7) Analisis Risiko: Untuk setiap bidang dibuat analisis risiko periode sekarang
dan 30 tahun ke depan. Analisis ini menghasilkan perbandingan indeks risiko dari
setiap kelurahan/desa melalui tumpang susun peta kerentanan dan peta

13
ancaman menggunakan fungsi kondisional.

8) Sintesis ancaman dan risiko: Menggabungkan peta ancaman dari semua bidang
dalam satu peta; dan juga menggabungkan peta-peta risiko dalam satu peta.

9) Pilihan Adaptasi: Melalui diskusi curah pendapat dikumpulkan solusi alternatif


untuk mengurangi risiko di setiap bidang dan solusi lintas bidang untuk jangka
pendek dan jangka panjang.

KONSEP DASAR KERENTANAN DAN RESIKO IKLIM

Konsep ini bukanlah rumus matematika, tapi hanya pendekatan yang menjelaskan
hubungan antarfaktor. Pendekatan ini dapat dipakai untuk melihat perbandingan
risiko antarwilayah atau antarsektor. Pengertian dari masing masing istilah di atas
adalah:

Risiko Iklim (risk) adalah potensi dampak negatif perubahan iklim yang merupakan
interaksi antara Kerentanan dan Ancaman.

Ancaman/Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa


menimbulkan bencana. Bahaya perubahan iklim adalah sifat perubahan iklim yang
berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi fungsi
lingkungan hidup yang dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekuensi, dan peluang
kejadian.

Kerentanan (vulnerability) adalah kecenderungan suatu wilayah mengalami


dampak negatif dari suatu bencana; Kerentanan ditentukan oleh tingkat Keterpaparan,
Sensitivitas, dan Kapasitas Adaptif.

Keterpaparan (exposure) adalah keberadaan manusia, mata pencaharian, spesies/


ekosistem, fungsi lingkungan hidup, infrastrukur, atau aset ekonomi sosial dan
budaya yang berada di dalam wilayah bahaya.

Sensitivitas (sensitivity) adalah tingkat dimana suatu sistem akan terpengaruh


atau responsif terhadap perubahan/variabilitas pendukungnya. Sensitivitas tergantung
pada jenis ancaman yang dimiliki; daerah yang sensitif terhadap banjir belum tentu

14
sensitif terhadap kekeringan.

Kapasitas Adaptasi (adaptive capacity) adalah potensi atau kemampuan


suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim termasuk variabilitas
iklim dan iklim ekstrem, sehingga potensi kerusakannya dapat
dikurangi/dicegahDiantara tahapan lokakarya, dilakukan seri diskusi dengan
tenaga ahli termasuk tenaga GIS untuk merumuskan hasil-hasil dari setiap
lokakarya dan persiapan materi atau bahan untuk lokakarya selanjutnya. Peta-peta
tematik dibuat oleh tim GIS dan dikonsultasikan dengan para peserta pada setiap
lokakarya. Tim GIS ini terdiri dari tenaga ahli dari perguruan tinggi, konsultan, dan staf
OPD.

15
BABII
PEMBAHASAN

KONDISI UMUM DI ANDOOLO

KONDISI GEOGRAFIS

Batas Administratif
Batas wilayah administratif Kota Kendari adalah:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia, Kabupaten


Konawe;

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda;

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo dan


Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan;

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto,


Kabupaten Konawe Selatan dan Kecamatan Sampara,
Kabupaten Konawe.

Luas wilayah daratan Kota Kendari 295,89 Km2 atau 0,70 % dari luas daratan
Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara administratif Kota Kendari terdiri dari 10 kecamatan,
64 kelurahan, 347 RW, dan 975 RT. Luas wilayah kecamatan di Kota Kendari dapat
dilihat pada tabel berikut.

16
Gambar 2: Peta Administrasi Kota Kendari dan Kabupaten Konawe

Selatan

Sumber: RBI Skala 1:50.000, BIG dan dilayout oleh USAID-APIK,


2017

17
Tabel 1: Luas Wilayah Kabupaten Konawe Selatan

Sumber: BPS, 2017

Dari tabel di atas dapat dilihat wilayah yang paling luas terdapat di Kecamatan Abeli dengan
luas 50 Km2, sedangkan wilayah yang paling kecil terdapat di Kecamatan Kadia
dengan luas 9 Km2.

Sedangkan wilayah Kabupaten Konawe Selatan terletak antara 30o58’56” dan 4o31’52”
Lintang Selatan, dan antara 121o58’00” dan 123 o16’00” Bujur Timur. Berdasarkan posisi
geografisnya, Konawe Selatan memiliki batas-batas Utara-Konawe dan Kota Kendari;
Timur-Laut Banda dan Laut Maluku; Selatan- Bombana dan Muna; Barat-Kabupaten
Kolaka dan Kolaka Timur.

Secara administrasi, Kabupaten Konawe Selatan pada tahun 2015 terdiri atas 25
kecamatan yaitu Tinanggea, Lalembuu, Andoolo, Andoolo Barat, Buke, Palangga, Palangga
Selatan, Baito, Lainea, Laeya, Kolono, Kolono Timur, Laonti, Moramo, Moramo Utara,
Konda, Wolasi, Ranomeeto, Ranomeeto Barat, Landono, Mowila, Sabulakoa, Angata,

18
Benua, dan Basala.

Luas wilayah daratan Konawe Selatan, 451.420 Ha atau 11,83 persen dari luas wilayah
daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan (laut) ± 9.368 Km2 dengan
panjang pantai keseluruhan termasuk pulau-pulau kecil yaitu ± 200 Km.

Kondisi Geologis
Secara umum, keadaan tanah Kota Kendari ini terdiri dari tanah liat bercampur pasir halus dan
berbatu. Diperkirakan sebagai jenis aluvium berwarna coklat keputih-putihan dan ditutupi
batuan pratersier terdiri dari batuan batu lempung bergelimer, batu pasir, dan kwarsa. Di bagian
pantai, batuan pratersier tersebut ditutupi batuan terumbu gamping. Keadaan batuan yang
demikian umumnya kedap air.

Dari segi geologisnya, Kota Kendari secara makro terdiri dari beberapa sistem lahan dan
litologi yaitu punggung metamorfik terorientasi terjal, dataran bergelombang yang berbukit
kecil di atas napal dan batu gamping, Dataran gabungan endapan muara dan sungai,
dataran berbukit kecil di atas batuan metamorfik campuran, Punggung bukit sedimen
asimetrik tak terorientasi, Kipas aluvial non vulkanik yang melerang landai, Gunung karstik
di atas marmer, Dataran lumpur antar pasang surut di bawah halofit, Dataran sedimen
campuran yang berombak sampai bergelombang, Bukit karst di atas marmer dan batu
gamping, Kipas aluvial non-vulkanik yang melereng sedang dan dataran berbukit kecil di atas
batu sedimen campura

19
Gambar 3: Peta Geologi Sulawesi Tenggara

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1995

Untuk wilayah Kabupaten Konawe Selatan, secara umum kondisi geologi dibentuk oleh
jenis batuan alluvium berwarna coklat keputih-putihan bercampur pasir halus dan berbatu
serta ditutupi dengan batuan pratestier terdiri dari batuan batu lempung bergelimer, batu pasir,
dan kwarsa. Di bagian pantai, batuan pratestier tersebut ditutupi batuan terumbu gamping.
Keadaan batuan yang demikian umumnya tidak meluluskan air atau kedapair.

Konawe Selatan mempunyai beberapa sungai besar yang cukup potensial untuk
pengembangan pertanian, irigasi dan pembangkit tenaga listrik seperti Sungai Lapoa,
Laeya,dan Sungai Roraya.

Sejarah Bencana di Kota Kendari


Data kejadian bencana di Kota Kendari yang tersedia bersumber dari DIBI-BNPB.
Dari data set ini, data kejadian bencana di Kota kendari yang tercatat mulai dari tahun 1999
hingga 2016 disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

20
Tabel 2: Hasil Tabulasi Data Kejadian Bencana Konawe Selatan 1999-2016

No. Jenis Jumla Jumlah Jumla Menderit Ruma Fasilit Lahan


Benca h Mening h a/ h as Rusa
na Kejadi gal Terluk Mengun Rusak Rusa k (Ha)
an a gsi k
1 Banjir 1 3 126 17.345 22 40 2.334
9

Banjir dan
2 Tanah 2 1 - 2.679 6.79 1 -
Longsor 7

3 Tanah 1 3 - 148 48 - -
Longsor 4

4 Gempa 4 - 19 5.102 735 - -


Bumi*

21
No. Jenis Jumlah Jumlah Jumla Menderita/ Ruma Fasilita Lahan
Bencana Kejadian Meningg hTerlu Mengungs h s Rusak
al ka i Rusak Rusak (Ha)
5 Kebakaran 2 - - - 139 - -
* 9
6 Konflik 1 - 6 - - - -
sosial *
Angin
7 Puti 9 - 2 - 30 - -
ng Beliung

Total 7 7 15 25.27 7.77 41 2.334


8 3 4 1
Sumber: Diolah dari Data DIBI-BNPB, 2016

* bencana non-hidrometeorologi

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa 4 dari 7 jenis bencana yang ada di Kota Kendari
adalah bencana terkait hidrometeorologi yaitu banjir, banjir disertai tanah longsor, tanah
longsor, dan angin puting beliung.

Bencana banjir berada pada urutan kedua dari sisi jumlah kejadian, setelah kebakaran.
Namun dari sisi korban manusia, khususnya terluka, banjir berada pada urutan pertama dengan
jumlah korban mencapai 120 orang pada periode 1999 hingga 2016.

Gambar 4: Jumlah Kejadian dan Dampak

22
Jumlah Kejadian dan Dampak Bencana di Kota
Kendari (1999-2016)

140
120
100
80
60
40
20
-

Jumlah Kejadian Meninggal Terluka

23
Gambar 5: Dampak Bencana di Kota Kendari Periode 1999-2016 (Jiwa)

Sumber: Diolah dari data DIBI-BNPB, 2016

Sementara itu, data yang bersumber dari BNPB (DIBI, 2016) menyebutkan, pada periode
yang sama dampak tertinggi bencana terhadap rumah penduduk disebabkan oleh banjir
yang disertai tanah longsor, di mana tipe bencana ini menyebabkan hingga lebih dari
6.000 rumah rusak.

Dampak Bencana di Kota Kendari


18,00
0
16,00
0
14,00
0
12,00
0
10,00 Menderita/Mengung
0

Gambar 6: Dampak Bencana di Konawe


Selatan Periode 1999 – 2016 terhadap
Rumah

24
Dampak Bencana di Konawe
Selatan 1999-2016

7,00
0
6,00
0
5,00
0
4,00
0 Rumah

Sumber: Diolah dari data DIBI-BNPB, 2016

*Angka dalam unit Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bencana
hidrometeorologi yang paling berisiko di Konawe Selatan adalah bencana banjir dan
banjir yang disertai tanah longsor. Sementara bencana hidrometeorologi lainnya seperti
angin puting beliung serta bencana non-hidrometeorologi tidak terlalu berdampak,
kecuali bencana gempa bumi yang terjadi pada tahun 2000 dan 2011 yang
menyebabkan masyarakat mengungsi dan merusak bangunan.

Banjir merupakan jenis bahaya hidrometeorologi lainnya yang sering terjadi di


wilayah Kendari dan Konawe Selatan. Kerugian yang ditimbulkannya tidak saja berupa
kerugian fisik/bangunan milik masyarakat dan fasilitas umum, tetapi juga menimbulkan
kerugian ekonomi berupa kerusakan lahan, dan bahkan korban jiwa (meninggal, luka-luka,
dan hilang). Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, Kolaka Utara, dan Buton merupakan
daerah-daerah yang paling merasakan dampak bencana banjir.

25
Tabel 3: Data Bencana Banjir di Konawe Selatan dan
dampaknya Periode 2002-2017

Korban Rumah Kerusakan


Juml (jiwa) (unit) (unit)
Wilaya ah Mend
h keja Meni Luka- erita Ru Ru Ru Teren Fasil Fasili Fasili
dian ngg luka & sa sak sak dam itas tas tas
al & meng k Sed Rin Kese Periba Pendi
Hila ungsi Be ang gan hatan datan dikan
ng rat

Kendari 19 6 128 20521 1522 623 8994 4884 33 9 6


Jumlah 44 9 128 29902 1801 623 9284 9923 33 12 7

Sumber: DIBI BNPB, 2018

Nilai total perkiraan kerugian akibat bencana dalam 4 tahun terakhir di


Kota Kendari mencapai sekitar Rp. 65 Milliar seperti disajikan dalam
tabel berikut.

Tabel 4: Perkiraan Kerugian Akibat Bencana dalam Empat


Tahun Terakhir di Konawe Selatan (Rp.)

Tahun
No. Jenis Kejadian T
Bencana 201 2014 2015 2016 ot
3 al

1 Banjir 48,083,000,00 262,000,000 48,405,0


0 60,000,000 - 00,000

26
2 Tanah Longsor 3,570,000,000 3,649,00
8,000,000 15,000,000 56,000,000 0,000

3 Angin Puting 15,000,000


Beliung 8,000,000 25,000,000 - 48,000,0
00

4 Kebakaran* 15,000,000 11,484,000,00 930,000,000 12,883,0


0 454,000,00 00,000
0
Grand Total 51,683,000,0 11,560,000,0 494,000,00 1,248,000,0 64,985,0
00 00 0 00 00,000

Sumber: BPBD Konawe Selatan, 2016

KONDISI SOSIAL EKONOMI DAERAH

Jumlah penduduk di Kota Kendari pada tahun 2016 sebesar 359,371 jiwa yang tersebar di
10 kecamatan (BPS Kota Konawe Selatan, 2018), dengan laju pertumbuhan penduduk
berkisar di angka 3,5% per tahun.

Perekonomian Konawe Selatan pada tahun 2016 mengalami percepatan


dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB Konawe Selatan
tahun 2016 sebesar 9,00 persen, sedangkan tahun 2015 sebesar 8,92 persen. Pertumbuhan
ekonomi tertinggi dicapai pada sector lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi sebesar
14,80 persen. Kemudian disusul sektor lapangan usaha perdagangan besar dan eceran
sebesar 11,23 persen. Pada umumnya peningkatan kegiatan perdagangan di suatu
wilayah akan ditunjang oleh meningkatnya aktifitas transaksi jasa keuangan dan
asuransi. Pertumbuhan ekonomi Kota Kendari selama lima tahun terakhir mengalami
fluktuasi, namun masih berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi dan
nasional. Pertumbuhan ini akan terus dipertahankan bahkan ditingkatkan melalui
peningkatan di semua sektor.

27
Tabel 5: Pertumbuhan Ekonomi Konawe Selatan Tahun 2012 –2016 (%)

Tahun 2012 2013 2014 2015 2016

Pertumbuhan 9,85 8,68 9,35 8,92 9,00


Ekonomi

Sumber: Konawe
Selatandalam Angka, 2017

Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kota


Kendari mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, capaian pertumbuhan
ekonomi Kota Kendari selalu di atas pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara dan
nasional. Masalah yang terjadi adalah kualitas pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak diikuti
oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang ditunjukkan oleh tingkat pengangguran yang
cukup tinggi sebagai akibat kurangnya penyerapan tenaga dan masih adanya angka
kemiskinan.

Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kota Kendari tertinggi terjadi pada
tahun 2015 yaitu sebesar 7,01%. Beberapa faktor yang menyebabkan semakin tingginya
tingkat pengangguran di Kota Kendari antara lain, yaitu:

1. Sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari menjadi pusat konsentrasi
penduduk utamanya dari para pencari kerja untuk meningkatkan aspek ekonominya. Selain
itu, pertambahan jumlah penduduk usia produktif yang cukup tinggi adalah bagian dari
penyebab tingginya kontribusi pengangguran terbuka.

2. Kompetensi sumberdaya manusia di Kota Kendari masih rendah baik dari segi
pengalaman dalam berwirausaha maupun dari segi keterampilan, sehingga hal ini juga
yang menyebabkan masih tingginya tingkat pengangguran di Kota Kendari.

3. Dari aspek pertumbuhan ekonomi di Kota Kendari, menunjukkan terjadinya konsentrasi


hanya pada beberapa sektor saja seperti listrik, gas, serta sektor pertambangan, dan
penggalian sehingga beberapa sektor lainnya kurang mengalami pertumbuhan yang

28
berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

Tabel 6: Tingkat Pengangguran Terbuka Kota Kendari 2012-2015

TAHUN (orang)
No. URAIN
2012 2013 2014 2015

1 Jumlah Penganggur Terbuka Usia


8.244 11.939 10.965 13.644
Angkatan Kerja

2
Jumlah Penduduk Angkatan Kerja 119.144 125.046 133.465 147.244
3 Presentase Pengangguran Terbuka 6,92 9,55 8,22 9,27
(%)
Sumber: BPS Kota Kendari
Dalam Angka, 2017

Gambar 8: Grafik Pertumbuhan Penduduk Periode 2009-2014

300,00
0

290,00
0 289,81

280,59
270,00 275,23
269,85
260,00
264,58
250,00

240,00
244,04
230,00
0

2009 2010 2011 2012 2013 2014

*angka dalam jiwa

Tabel 7: Perkembangan Penduduk Pada DAS WANGGU

Wilayah 2010 2011 2012 2013 2014

29
Kota Kendari 254,236 260,867 289,966 295,737 304,862
Jumlah 494,289 504,913 554,553 565,590 580,096
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2015

Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Wanggu sangat beragam dan


terus mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan wilayah tersebut. Pergeseran
kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor permukiman, perdagangan, dan
jasa telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Wanggu. Kegiatan ekonomi
masyarakat pada sektor pertanian, dimana kegiatan usahanya tergantung pada lahan
sudah tersedia, yaitu pada wilayah DAS Wanggu bagian hulu dan sebagian kecil wilayah
DAS Wanggu bagian tengah. Demikian pula jika melihat perkembangan tingginya alih fungsi
(konversi) lahan dan alih pemilikan lahan pada wilayah ini, ada kecenderungan yang sangat
kuat bahwa kegiatan ekonomi berbasis lahan tidak dapat dipertahankan lagi.

Semenjak timbulnya arus komersialisasi lahan yang semakin merebak dalam 3 dekade terakhir
terutama di bagian hulu DAS Wanggu, banyak masyarakat petani lokal yang tergiur
melepaskan sebagian atau seluruh lahan miliknya kepada pengusaha yang bermodal kuat.
Pembelian lahan seperti itu jelas makin mempersempit lahan usaha tani masyarakat petani
lokal. Pada kondisi ini sebagian masyarakat mencari pekerjaan di sektor non-pertanian
seperti menjadi tukang ojek sepeda motor, petani lahan kering, karyawan tambang,
nelayan, dan sebagainya. Sementara lahan yang telah mengalami perubahan
kepemilikan (milik pengusaha), biasanya akan segera mengalami konversi ke penggunaan
lahan yang bersifat non-pertanian. Hal ini akan menyumbangkan pengurangan penutupan
vegetasi pada permukaan lahan yang penting untuk pemeliharaan fungsi wilayah hulu DAS
Wanggu sebagai daerah tangkapan hujan (water catchment area).

Berdasarkan temuan studi dari desa-desa di wilayah hulu DAS Wanggu dapatlah dikatakan
bahwa pola penguasaan lahan milik yang ada cukup beragam. Paling sedikit ditemukan 4 pola
penguasaan lahan yang penting sekaligus kombinasinya dengan pola pengusahaan yang
menyertainya (usaha tani), sebagai berikut:

 Lahan yang kepenguasaannya langsung di tangan warga masyarakat setempat,


lahan ini dikelola sendiri oleh warga dengan usahatani yang umumnya

30
berupa tanaman hortikultura;

 Lahan yang kepenguasaannya berada di tangan orang luar desa, diusahakan


oleh warga setempat dengan status sebagai penggarap. Hasil panen
sepenuhnya menjadi milik penggarap dan bahkan pihak yang disebut terakhir
masih mendapatkan upah bulanan sebagai imbalan karena telah berjasa
menjaga dan memelihara lahan/tanah tersebut;

 Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan warga setempat dengan hasil
panen menjadi milik petani. Bedanya mereka ini tidak menerima imbalan
gaji;

 Lahan yang dimiliki orang luar desa diusahakan oleh mereka sendiri dengan
menggaji buruh tani dari penduduk setempat; dan

 Lahan mereka sebagai plasma dan lahan inti dari sebuah kegiatan
pertambangan yakni lahan mereka digunakan sebagai tambang dan mereka
mendapa t imbalan dari lahan tersebut

31
ekosistem

Total luas wilayah DAS Wanggu pada tahun 2015 adalah kurang lebih 45.234,58
hektar terdiri atas bagian tengah yaitu 21.864,81, bagian hilir mencapai 16.476,75 hektar,
dan hulu seluas kurang lebih 6.893,019 hektar. Cakupan wilayah DAS Wanggu pada bagian
hulu wilayah administratif pemerintah Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten
Konawe serta bagian tengah dan hilir yang mencakup wilayah administratif
pemerintahan KotaKendari.

Topografi dan Curah Hujan


Karakteristik topografi dan curah hujan pada wilayah DAS Wanggu diuraikan secara
berurutan mulai dari bagian hulu sampai ke bagian tengah dan bagian hilir DAS
Wanggu.

A. Bagian Hulu;

Bagian hulu DAS Wanggu mencakup areal seluas 16,476,75 Ha yang merupakan
daerah pegunungan yang berhutan lebat dengan elevasi antara 25 m sampai 100 m dpl.
Bagian hulu dicirikan oleh kondisi topografi dan vegetasi yang beragam yaitu kayu hutan pada
areal kehutanan, tanaman perkebunan seperti kakao dan buah-buahan serta tanaman sayur-
sayuran dan palawija pada areal pemukiman penduduk. Kemiringan lereng juga bervariasi
cukup tinggi, dimana lebih dari 40 % wilayah hulu yang mempunyai kelerengan terjal sampai
dengan curam. Hanya kurang lebih 60% yang kemiringannya relatif landai sampai rata
sehingga menjadi lokasi tanaman perkebunan danpersawahan. Di bagian hulu juga masih
banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.
Curah hujan di wilayah hulu DAS Wanggu pada tahun 2012 tergolong tinggi yakni 2053 mm
per tahun. Meskipun batas antara bulan basah dan bulan kering tidak jelas, namun dapat
dikatakan bahwa musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober, dan musim
penghujan pada bulan November sampai dengan bulan Mei. Akan tetapi, kadang-kadang
pada bulan musim kemarau masih terdapat hujan dengan intensitas yang cukup tinggi,
sehingga apabila keadaan hari hujan dan curah terus tinggi dalam beberapa tahun terakhir,
maka aliran air di sungai Wanggu akan makin meningkat dan relatif merata sepanjang
tahu

B. Bagian Tengah;

Bagian tengah DAS Wanggu mencakup areal seluas 21.864,81 Ha merupakan daerah

32
bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 25 m sampai 100 m dpl.
Penggunaan lahan pada bagian tengah ini didominasi oleh daerah permukiman dan lahan
pertanian. Dari segi kemiringan bagian tengah DAS Wanggu didominasi area dengan
kemiringan lereng 8-15%. Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 2012 adalah sangat
rendah dengan curah hujan rata- rata 112 mm per bulan. Sebaran kelas lereng pada bagian
tengah DAS Wanggu. Batas musim kemarau dengan musim penghujan di bagian tengah tidak
jelas. Hujan di bagian Tengah DAS jauh lebih rendah dibandingkan dengan hujan di tiga stasiun
hujan lainnya. Secara umum hujan di bagian tengah lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di
bagian hilir, kecuali pada musim penghujan (Januari-Maret) hujan di hilir lebih tinggi.

C. Bagian Hilir;

Bagian hilir DAS Wanggu yang bermuara di teluk Kendari, Kota Kendari mempunyai
karakteristik kelerengan antara 0-8% selebihnya 25 -45% dengan kondisi sebaran lebih
didominasi oleh kelerengan yang datar. Luas dari areal yang datar di bagian hilir mencapai
6.893,2 Ha pada tahun 2010. Penggunaan lahan yang dominan pada bagian hilir DAS
Wanggu adalah pemukiman, perkantoran dan pusat perekonomian seperti pasar, pertokoan,
dan infrastruktur yaitu jalan raya. Beberapa tempat pada bagian hilir masih merupakan hutan
bakau dan areal pertambakan, tetapi sudah kurang produktif. Dengan kondisi penggunaan
lahan seperti ini, maka pada bagian hilir DAS Wanggu aliran sungai sudah banyak
mengandung sampah serta kandungan unsur kimia yang beraneka ragam.
Karakteristik Hidrologi Dari analisis curah hujan deras didapatkan bahwa untuk daerah hilir
Wanggu terjadi rata-rata 2 kejadian hujan deras pada bulan Januari dan hanya 0,2 kejadian
pada bulan Juni. Rerata intensitas hujan deras bervariasi antara 2 mm/jam sampai 4 mm/jam
dengan lama kejadian 1 sampai 3 jam. Untuk wilayah Wanggu Hulu didapatkan bahwa hujan
harian lebih dari 25 mm dan hujan 2-harian melebihi 50 mm dapat digolongkan sebagai hujan
deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya.

Sifat hujan deras ini dapat dianggap sama untuk wilayah hulu, tengah, maupun hilir
DAS Wanggu. Dan hasil analisis frekuensi untuk data hujan maksimum harian untuk
stasiun curah hujan di Bandara Haluoleo menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian
untuk periode ulang 5-tahunan sebesar 36 mm; 10-tahunan sebesar 79 mm; 25-tahunan
sebesar 122 mm; 50-tahunan sebesar 221 mm; dan 100- tahunan sebesar 123 mm.

Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Wanggu Hulu dan prediksi infiltrasi DAS
diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 25 sampai 45% dari total curah hujan.

33
Prediksi erosi di DAS Wanggu didapatkan masih lebih tinggi dari erosi yang
diperbolehkan (sebesar antara 50 – 100 ton/ha/tahun) yang terutama terjadi pada lahan
tegalan, semak dan perkebunan, yang meliputi lebih dari 50 % dari luas DAS Wanggu.

Limpasan permukaan dari DAS Wanggu menunjukkan nisbah yang berlebihan


sebagaimana diperoleh untuk nilai bulanan, harian, maupun jam dengan variasi antara 10
sampai 100 persen. Diperkirakan andil dari air tanah perlu diperhitungkan dengan
mempertimbangkan batas aquifer yang kemungkinan tidak sama dengan batas DAS.

Satu episode bencana longsor dapat dicirikan berlangsung selama setahun berjalan, dan
dapat terjadi antara Agustus sampai April dengan mode pada Januari-Februari. Kejadian
longsor antara 19% sampai 34 %. Untuk bagian tengah dan hilir dapat diperkirakan bahwa
bencana banjir genangan akan lebih tinggi dari bagian hulu, karena terjadinya penurunan
kapasitas infiltrasi di bagian tengah dan hilir DAS.

Kelas Liereng pada DASWanggu


Kelas lereng yang terdapat d DAS Wanggu terbagi menjadi datar, bergelombang,
berbukit, dan terjal. Indikator dalam menyusun kelas lereng tersebut dengan menggunakan
peta kontur (Peta Rupa Bumi Indonesia.) dan citra radar tahun 2009 yang bersumber dari
BAKOSURTANAL dengan melalui proses editing dan klaster kelas lereng. Adapun
pembagian kelas lereng pada DAS Wanggu adalah sebagai berikut:

Tabel 8: Kelas Lereng DAS Wanggu (Hektar)

Kelas
Kabupaten Grand Total
lereng
0-8 % 8-15 % 15-25 % >40 %

Konawe 889.78 889.78

Konawe 2,735.49 8,238.39 3,357.10 11,300.16 25,631.14


Selatan
Kota Kendari 4,157.53 3,223.61 7,045.71 4,286.81 18,713.66

Grand Total 6,893.02 11,462.00 10,402.81 16,476.75 45,234.58

Sumber: BPDAS Sampara, 2015

34
Karakteristik Lahan Kritis pada DAS Wanggu

Lahan yang terdapat di DAS Wanggu terbagi menjadi tidak kritis, kritis, potensial kritis,
agak kritis, dan sangat kritis. Indikator dalam menyusun lahan kritis tersebut
mempertimbangkan perubahan penggunaan lahan yang semakin tahun semakin berkurang
serta tingkat kebutuhan masyarakat terhadap lahan khususnya pembukaan wilayah
hutan. Adanya kegiatan pertambangan (galian C) serta pembangunan kawasan
perumahan baru mengakibatkan kondisi lahan kritis mendekati potensial kritis sebesar
17,96%, sedangkan kondisi lahan yang terlanjur digunakan tanpa mempertimbangkan
daya dukung lahan sehingga hal tersebut menjadi kritis sebesar 23,83%.

Permasalahan DAS Wanggu


Masalah aktual dan potensial di DAS Wanggu yaitu bahwa kinerja DAS Wanggu
telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, ditunjukkan oleh:

a. Fluktuasi debit air yang makin besar dimana pada musim kemarau debit air
sangat rendah, tetapi pada musim hujan debit air sangat tinggi sehingga sering
menimbulkan banjir pada wilayah bagian tengah dan hilir. Faktor-faktor penyebab
terjadnya fluktuasi debit air pada tingkat institusi maupun pada tingkat
masyarakat, antara lain:

i. Jumlah dan aktivitas penduduk pada kawasan DAS Wanggu makin


tinggi,Kelembagaan pengelolaan DASWanggu belum jelas karena masih
tersebar pada berbagai unit kerja pemerintahan,

ii. Fungsi kontrol tidak berjalan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak
konsisten,

iii. Koordinasi antar lembaga terkait dengan pengelolaan DAS kurang berjalan,

iv. Kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat,

v. Peran serta masyarakat masih relatif rendah,

vi. Budaya masyarakat yang tidak kooperatif dengan konservasi,

vii. Kerusakan lingkungan (penggalian pasir, pencemaran, sampah),

viii. Tumpang tindih pemanfaatan kawasan,

ix. Masalah kecemburuan sosial akibat pembangunan pemukiman oleh

35
pengembang, dan

x. Kurang/tidak ada dana/anggaran untuk kegiatan-kegiatan pengelolaan;

b. Kandungan lumpur, sampah dan limbah dalam aliran air sungai yang makin
tinggi sehingga kualitas air menjadi sangat jelek, serta menimbulkan
masalah pendangkalan di teluk Kendari.

Hal ini merupakan dampak dari makin meningkatnya: (i) jumlah dan aktivitas
penduduk pada kawasan DAS Wanggu baik pada bagian hulu maupun pada bagian tengah,
(ii) terjadinya alih fungsi lahan dari areal hutan atau semak belukar menjadi lahan pertanian,
lahan tambang galian C dan lahan pemukiman, (iii) meningkatnya industri dan pemukiman
di pinggir (sempadan) sungai, (iv) masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak
membuang sampah dan limbah industri ke sungai, dan (v) belum tegasnya pelaksanaan
peraturan mengenai larangan membuang sampah dan limbah ke sungai.

2.4 RISIKO IKLIM DI LEVEL PROVINSI

Pada level Provinsi Sulawesi Tenggara telah dilakukan kajian kerentanan dan
risiko iklim untuk bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan penanggulangan bencana
banjir dan longsor. Provinsi Sulawesi Tenggara pada umumnya memiliki risiko iklim yang
beragam. Daerah Kendari dan Konawe Selatan termasuk daerah yang tinggi risikonya
dibandingkan kabupaten/kota lain di Provinsi Sultra.

Risiko iklim untuk bidang pertanian adalah menurunya produksi tanaman pangan
dan pendaptan petani. Pada bidang kehutanan risiko iklimnya adalah berkurangya
keanekaragaman hayati dan biomasa. Risiko iklim untuk bidang perikanan adalah
berkurangnya hasil tangkapan nelayan dan rusaknyaalattangka

36
Gambar 10: Peta Gabungan Risiko Iklim Provinsi Sulawesi Tenggara Periode
2006–2016

Sumber: USAID APIK, 2017

Peta di atas merupakan gabungan peta risiko dari bidang kehutanan, pertanian, banjir, dan
longsor. Daerah yang memiliki lebih banyak risiko pada periode 2006–2016 adalah
Kolaka, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Selatan, Kendari, dan Bombana. Daerah-daerah
ini perlu mendapat prioritas dalam upaya adaptasi dan pengurangan risiko bencana jangka
menengah (5 tahun ke depan). Solusi yang diberikan seyogyanya menjawab permasalahan
dalam level lanskap tapi dilakukan oleh masing masing kabupaten/kota.

37
Gambar 11: Peta Gabungan Proyeksi Risiko Iklim Provinsi
Sulawesi Tenggara Periode 2030–2040

Sumber: USAID APIK, 2017

38
Peta gabungan proyeksi risiko di atas terdiri dari bidang kehutanan, pertanian, longsor dan
banjir. Dari peta di atas dapat dilihat bahwa daerah yang memiliki lebih banyak risiko pada
masa 2030-2040 adalah: Kolaka, Bombana, Konawe, Konawe Selatan, Buton, dan Kolaka
Timur. Daerah yang diproyeksikan berisiko dampak perubahan iklim mengembangkan
kapasitas adaptasinya supaya dapat meminimalkan kerugian yang mungkin timbul.

39
BAB III.

DATAHISTORIS DAN PROYEKSI IKLIM

IKLIM DI KONAWE SELATAN


Kondisi klimatologi wilayah Kendari memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan
penghujan. Musim kemarau terjadi antara Juni sampai dengan September, dimana angin timur
yang bertiup dari Australia tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan
musim kemarau. Sebaliknya, musim hujan terjadi antara Desember sampai dengan
Maret, dimana angin barat yang bertiup dari Benua Asia dan Samudera Pasifik banyak
mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Bulan April-Mei dan Oktober-November
merupakan masa peralihan atau yang lebih dikenal sebagai musim pancaroba. Akan tetapi
akhir-akhir ini akibat dari perubahan iklim yang sering tidak menentu, keadaan musim juga
sering menyimpang dari kebiasaan.

Perubahan curah hujan dipengaruhi oleh perbedaan iklim, orografi dan perputaran arus
udara sehingga menimbulkan perbedaan curah hujan setiap bulan. Curah hujan di kota
kendari tahun 2014 mencapai 2.450,5 mm dalam 185 hari hujan (HH)

Tinggi rendahnya suhu udara dipengaruhi oleh letak geografis wilayah dan ketinggian
dari permukaan laut. Konawe Selatan yang terletak di daerah khatulistiwa dengan ketinggian
pada umumnya di bawah 1.000 meter, sehingga beriklim tropis. Pada tahun 2014, suhu udara
maksimum rata-rata berkisar antara 30ºC - 34ºC, dansuhu minimum rata-rata berkisar antara
19ºC - 24ºC. Tekanan udara rata-rata 1.011,5 milibar dengan kelembaban udara rata-rata 82
persen. Kecepatan angin pada umumnya normal yaitu sekitar 3 m/det.

40
Gambar 12: Peta Zona Iklim di Indonesia

Sumber: Aldrian dan Susanto, 2003

41
PROYEKSI IKLIM DI KONAWE SELATAN

Informasi dari BMKG berupa peta yang disampaikan dalam dokumen “Atlas
Proyeksi Iklim Wilayah Sulawesi” hanya menyajikan peta pada skala provinsi, tidak ada peta
khusus untuk kabupaten atau kota. Peta-peta ini memberikan informasi perubahan iklim yang
dihasilkan dari pengolahan data curah hujan dan suhu udara komposit pada periode di masa
yang akan datang (2032-2040) terhadap baseline acuan (2006-2014). Informasi yang
berbasiskan data curah hujan dibuat dengan dikategorikan pada klasifikasi periode musim
yakni Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA),
dan September-Oktober-November (SON), sedangkan informasi-informasi yang berbasis
data suhu disajikan dalam bentuk rata-rata tahunan. Informasi-informasi tersebut
meliputi informasi perubahan curah hujan musiman, perubahan jumlah hari hujan lebat (>
50 mm) musiman, perubahan jumlah hari kering musiman, perubahan nilai Consecutive Dry
Days (CDD) musiman, perubahan nilai Consecutive Wet Days (CWD) musiman, perubahan
fraksi hujan lebat (> 50 mm) musiman, perubahan suhu rata -rata tahunan, perubahan
suhu maksimum (dengan asumsi suhu pada jam 06.00 UTC) tahunan, perubahan
suhu minimum (dengan asumsi suhu pada jam 18.00 UTC) tahunan, serta perubahan
rentang variasi suhu diurnal rata-rata tahunan. Informasi-informasi tersebut disajikan
dalam bentuk peta tematik untuk masing-masing indeks dengan skala nilai yang
disesuaikan dengan rentang dan keperluan yang relevan dengan parameter yang dipetakan.
Jenis-jenis perubahan yang ada direpresentasikan dalam nilai persentase (%), jumlah hari,
dan perbedaan suhu dalam satuan derajat Celsius.

42
Gambar 13: Peta Proyeksi Perubahan Suhu Udara Rata-Rata

Sumber: BMKG, 2017

Suhu rata-rata di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan diproyeksikan naik 0,66
ºC hingga 0,75ºC dalam 25 tahun ke depan. Suhu di pantai barat Sultra akan naik sedikit
lebih tinggi daripada di pantai timur.

43
Gambar 14: Proyeksi Perubahan Curah Hujan Musiman

Desember, Januari, Maret, April,

September Oktober, Juni, Juli,

Sumber: Atlas Proyeksi Iklim Sulawesi, BMKG, 2016

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada kemungkinan musim kemarau menjadi lebih
kering dari sekarang terutama di bagian timur Konawe Selatan. Pada musim hujan
akan ada kemungkinan meningkatnya curah hujan di Konawe Selatan.

Dalam proyeksi iklim Sulawesi 2032-2040 terhadap 2006-2014 (BMKG, 2016), rata-rata
curah hujan pada bulan Maret sampai dengan Mei meningkat antara 11-30%, khususnya
pada wilayah Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan. Sementara kondisi rata-rata
curah hujan pada Bulan Juni sampai Agustus

44
Berkuran antara 10% sampai 30% pada wilayah-wilayah tersebut.

Gambar 16: Peta


Curah Hujan Efektif
Periode 2030-2040

Gambar 15: Peta Curah


Hujan Efektif Periode 2006-
2016

45
Sumber: Data BMKG diolah David Ginting, 2017

Dalam peta di atas dapat dilihat bahwa curang hujan efektif, yaitu hujan yang turun selama
setahun dikurangi penguapan, tidak ada perubahan yang berarti di Kendari dan Konawe
Selatan. Hal ini berbeda dengan di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara yang cenderung
mengalami penurunan intensitas curah hujan efektif dari kondisi periode 2006-2016
hingga periode 2030-2040.

46
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang untuk
suatu lokasi di bumi atau planet lain. Beberapa variabel meteorologis yang biasanya
diukur adalah suhu,kelembapan, tekananan atmosfer, angin, dan curah hujan. Iklim
suatu lokasi dipengaruhi oleh garis lintang, medan, dan ketinggiannya,
serta perairan di dekatnya dan arusnya. Studi tentang iklim dipelajari
dalam klimatologi.Secara lebih umum, "iklim" suatu daerah adalah kondisi umum
dari iklim di lokasi tersebut pada kurun waktu tertentu.

Iklim dapat diklasifikasikan sesuai dengan rata-rata dan kisaran dari berbagai
variabel, biasanya suhu dan curah hujan. Klasifikasi yang paling umum digunakan
adalah klasifikasi iklim Köppen. Sistem Thornthwaite, yang digunakan sejak tahun
1948, menggabungkan evapotranspirasi dengan informasi suhu dan curah hujan
untuk kemudian digunakan dalam mempelajari keanekaragaman hayati dan
bagaimana perubahan iklim memengaruhinya. Sistem Klasifikasi Sinoptik
Bergeron dan Spasial berfokus pada asal usul massa udara yang menentukan iklim
suatu wilayah.

SARAN

Untuk mengurangi dampak tersebut perlu dilakukan upaya adaptasi terhadap


perubaha iklim. Pemerintah Indonesia dalam Undang Undangnomor 16 tahun 2016 tentang:
Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, telah menyatakan komitmennya untuk melakukan
adaptasi dan membangun ketangguhan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
serangkaian upaya transformasi untuk mengurangi risiko dari stressor iklim dan mengambil
manfaat dari peluang baru yang muncul. Namun sebelum itu, untuk membuat adaptasi yang
benar perlu dibuat dulu kajian kerentanan dan risiko iklim.

47
DAFTAR PUSTAKA

Blaney, H. F., & Criddle, W. D. (1962). Determining consumptive use and irrigation
water requirements (No. 1275). US Department ofAgriculture

Boer, Rizaldi, Modul: Pengenalan Konsep Dasar Analisis Kerentanan dan Risiko
Iklim, CCROM- IPB, Bahan Tayang, 2016.

David Ginting: Proyeksi Ancaman Iklim Pada Hidrologi Untuk Provinsi Jawa Timur,
Sulawesi Tenggara dan Maluku, APIK 2017

Edvin Aldrian & R. Dwi Susanto. Indentification of Three Dominant Rainfal Region Within
Indonesia.
International Journal of Climatology, 23; 2003

Falkenmark, M. (1997). Meeting water requirements of an expanding world


population. Philosophical Transactions of the Royal Society of London B:
Biological Sciences, 352(1356), 929-936.

Jonathan Cook and Jenny Frankel-Reed, Climate Vulnerability Assessment: An Annex to


the USAID Climate-Resilient Development Framework. USAID 2016

Kummu, M., Guillaume, J. H. A., de Moel, H., Eisner, S., Flörke, M., Porkka, M.,&
Ward, P. J. (2016). The world’s road to water scarcity: Shortage and stress in
the 20th century and pathways towards sustainability. Scientific Reports, 6.

Parish, E. S., Kodra, E., Steinhaeuser, K., & Ganguly, A. R. (2012). Estimating future
global per capita water availability based on changes in climate and
population. Computers & Geosciences, 42, 79-86.

Paripurno, Eko Teguh, Participatory Risk Appraisal, Dream UPN, 2010

Raja Siregar, Prakarma, Kajian Atas Panduan Kajian Risiko dan Analisis Kerentanan
Yang Ada, tanpa tahun.

Raja Siregar, Prakarma, Indonesia Climate Adaptation Tools for Coastal Habitat,

48
Indonesia Maritim And Climate Support (IMACS),2012.

Ratna Indrawasih, 2012. Gejala Perubahan Iklim, Dampak Dan Strategi


Adaptasinya pada Wilayah Dan Komunitas Nelayan Di Kecamatan Bluto,
Kabupaten Sumenep, Jurnal Masyarakat & Budaya, (PMB-LIPI)
Volume 14 No. 3 Tahun 2012.

Sungno Niggol Seo and Robert Mendlesohn, The Impact of Climate Change on
Livestock Management in Africa: A Structural Ricardian Analysis, World
Bank Policy Research Working Paper, 2007.

Widjaja, Wisnu., Konvergensi API PRB: Menuju Peningkatan Kapasitas


Terpadu, Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Bahan
Tayang, 2015.

Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, Bappenas 2014-

Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum


Desa Kelurahan Tangguh Bencana
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, nomor
P.33/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan
Iklim.

Peraturan Kepala BNPB nomor 2 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan


Kajian Risiko Bencana

49
50
51
52

Anda mungkin juga menyukai