Anda di halaman 1dari 22

GEOMORFOLOGI INDONESIA

GARIS BESAR GEOMORFOLOGI INDONESIA

Dosen Pengampu:

Dr. Nevy Farista Aristin, M.Sc.

Disusun Oleh:

Nur Hadhirah Nafisah

(2110115120017)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan limpahan-Nya lah Saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
‘GARIS BESAR GEOMORFOLOGI INDONESIA dalam memenuhi tugas
Geomorfologi Indonesia.

Saya menyadari ssepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan Saya untuk itu kritik
dan saran yang membangun dari Ibu sangat Saya Harapkan.

Akhir kata Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak hanya untuk
Saya, tetapi juga untuk kita semua.

Banjarmasin, 05 Maret 2023

Nur Hadhirah Nafisah


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................


DAFTAR ISI .........................................................................
BAB I PENDAHULUAN .................................................
A. Latar Belakang .................................................
B. Rumusan Masalah .................................................
BAB II PEMBAHASAN .................................................
A. Kondisi Klimatik dalam Perspektif
Geomorfologikal .................................................
B. Perubahan Klimatik Kuarter dan
Geomorfologi .................................................
C. Indikator Biologikal dan Perubahan
Iklim Kuarter .................................................
D. Sejarah Studi Geologi .....................................
E. Kerangka Tektonik Regional .....................................
F. Statigrafi Regional .................................................
BAB III PENUTUP …….....................................................
A. Kesimpulan ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA ….........................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepulauan Indonesia secara geomorfologi dapat dibagi kurang lebih
menjadi daerah kratogen di sebelah barat dan timur, dan sisanya termasuk
teritorial dengan tektogen kuat.
Bagian pertama dicirikan oleh gerakan epirogenetik, permukaan planasi
dan laut dangkal, bagian terakhir dicirikan oleh neotektonik aktif yang
menghasilkan busur kepulauan dan palung laut dalam dan basin.
Banyak data geofisikal baru tentang evolusi tektonik Indonesia oleh
Hall dan Blundell, Bergman, S.C. et al., dan masih banyak yang lain.
Lempeng tektonik mempengaruhi morfostruktur di Indonesia. Lempeng
tektonik tersebut terdiri atas tiga sistem utama berikut:
1. Lempeng Asia Tenggara (atau Lempeng Sunda), terutama berupa
kontinen, tetapi termasuk di bagian timur berupa laut; di antaranya
Lempeng Laut Sulawesi dan lidah Nusa Tenggara Maluku Selatan yang
melengkung berpengaruh terhadap Indonesia.
2. Lempeng Laut India-Australia, terdiri dari bagian subduksi oseanik di
sisi barat dan bagian tubrukan kontinen di sisi timur.
3. Lempeng Lautan Pasifik Barat, yang menunjam di bawah kontinen
Asia, tetapi di daerah ini terdiri dari sejumlah lempeng yang lebih kecil.
Di antaranya, dari timur ke arah barat: Lempeng Caroline, Lempeng
Laut Filipina dan sisanya Lempeng Maluku Utara yang mempengaruhi
Indonesia.

Minster dan Jordan menemukan bahwa Lempeng Asia Tenggara


bergerak 1 cm/tahun ke arah tenggara, Lempeng India-Australia 7 cm/tahun
dan Lempeng Pasifik Barat 9 cm/tahun ke arah barat. Data gerakan lempeng
lebih banyak diperoleh semenjak sistem posisi global diperkenalkan .
Lempeng Pasifik Barat dan Lempeng Asia Tenggara di Indonesia
bagian utara bertemu di sistem busur jalur aktif Filipina yang kedua-duanya
menunjam. Lempeng Maluku Utara memisahkan keduanya di Indonesia bagian
timur, utara kepulauan Sula.

Bagian kontinen dari Lempeng India-Australia bertubrukan dengan


Lempeng Pasifik Barat yang bergeser arah ke barat Irian Jaya dan jalur yang
lebih jauh ke arah barat. Oleh penulis, zona tersebut disebut dengan
"transcurrent belt", yang bersam- bung dengan sistem Lempeng Pasifik Barat.

Zona tersebut menunjam dan sebagian bertu- brukan di bawah busur


pulau yang melengkung ke arah barat Pulau Sulawesi.

Jalur tersebut terliukkan oleh sesar geser yang mempengaruhi Selat


Makasar menjadi zona kontak dengan Tiga sistem lempeng tersebut bertemu di
Indonesia bagian timur pada tiga titik tepatnya di selatan Kepala Burung, Irian
Jaya, dekat Lempeng Asia Tenggara. pinggiran Kontinen Australia. Situasi
morfostruktural pada pertemuan tersebut sangat kompleks.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan mengenai Kondisi Klimatik dalam Perspektif
Geomorfologikal!
2. Jelaskan mengenai Perubahan Klimatik Kuarter dan Geomorfologi!
3. Jelaskan mengenai Indikator Biologikal dari Perubahan Iklim Kuarter!
4. Jelaskan mengenai Sejarah Studi Geologi!
5. Jelaskan mengenai Kerangka Tektonik Regional!
6. Jelaskan mengenai Statigrafi Regional!
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Klimatik dalam Perspektif Geomorfologikal


Indonesia, sebagai jembatan antara bagian Asia Tenggara yang tropis
lembab dan Benua Australia yang lebih kering, yang sebagian besar daerahnya
dicirikan dengan iklim hujan tropis. Kondisi lebih dingin terjadi di pegunungan
dan pada elevasi lebih kurang 1250 m dengan suhu bulan terdingin tetap di
bawah 18°C dan iklim A memberikan peluang ke iklim temperatur sedang.
Subtipe iklim A yang terdapat di Indonesia adalah Af (musim kemarau
tidak diketahui), iklim savana Aw (musim kemarau dengan curah hujan
minimal 1 bulan <60 mm) dan iklim umum Am (curah hujan minimal 1 bulan
<60 mm). 60 mm, tetapi hujan lebih banyak di bulan-bulan lainnya, yang dapat
mengurangi pengeringan vegetasi) Karena iklim Indonesia sangat jarang.
lim C dapat dibagi menjadi Cf dan Cwa dan terjadi di atas 1250 meter
di atas permukaan laut. Meskipun curah hujan bervariasi, curah hujan pada tipe
iklim ini umumnya menurun dari barat ke tenggara Misalnya, sebagian besar
Sumatera, selatan dan barat-tengah Jawa, dan sisi selatan pegunungan Irian
Jaya tengah mengalami hujan lebat. Kalimantan menerima curah hujan sedikit
lebih sedikit. Pantai utara Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur memiliki iklim
yang lebih kering dan termasuk tipe iklim Aw yang merupakan zona peralihan
dengan tenggara Indonesia. Iklim sabana (Aw) mendominasi di Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara, bahkan di beberapa tempat beriklim padang
rumput (Köppen BS) Pantai selatan Acin, Sumatera, dan Irian Jaya juga lebih
kering Di atas 3.000 meter di atas permukaan laut, iklim tropis Pegunungan
ETHI terjadi. Data curah hujan untuk seluruh Indonesia disusun oleh Schmidt
dan Ferguson (1951).
Struktur topografi kepulauan Indonesia yang kompleks, dengan elevasi
di atas 5.000 m menyebabkan naiknya massa udara lembab, dan bayangan
hujan dengan cekungan antar pegunungan yang sempit dan stratovolcano yang
terisolasi, dapat menghasilkan pola distribusi presipitasi yang kompleks,
termasuk iklim pegunungan yang sejuk. Zona patahan di Sumatera dan
Sulawesi dapat menciptakan dataran tinggi yang sempit dan terisolasi, dengan
kondisi sangat kering di dekat Palu, yang menerima jumlah curah hujan yang
sama dengan Alice Springs di Australia Ada perbedaan yang jelas antara lereng
yang dilindungi oleh kerucut vulkanik dan lereng yang terkena angin hujan
Hujan orografis menyebabkan udara lembab naik di sepanjang lereng yang
berangin, ketinggian meningkat menjadi sekitar 2500 meter, berangsur-angsur
naik, kemudian udara kehilangan kelembapan.
Di lereng yang berangin, massa udara hangat turun dan menyebabkan
kondisi foehn. Misalnya angin Bohorok di timur laut Sumatera (Deli), angin
Kumbang di dataran Cirebon dan angin Kendon di pantai utara Jawa Timur
Angin kering memiliki efek pada vegetasi, erosi dan proses bantuan. Contohnya
adalah daerah Padang Lawas yang berumput dan tererosi berat, di sebelah
tenggara Danau Toba, di bagian sempit Pegunungan Bukit Barisan yang
membentuk Punggungan Sumatera. Hubungan erat antara curah hujan dan
topografi dapat menguntungkan digunakan untuk mengevaluasi data curah
hujan untuk wilayah atau DAS dengan beberapa stasiun curah hujan (lihat juga
Eguchi, 1983).

B. Perubahan Klimatik Kuarter dan Geomorfologi


Kondisi klimatik sekarang menyimpang secara substansial dari periode
geologi masa lalu (Verstappen, 1975, 1980, 1994). Proses geomorfologi
dipengaruhi oleh perubahan klimatik tersebut dan karakteristik bentuk lahan
yang berkembang runtut terhadap setiap periode tersebut (Thomas et al., 1999).
Bentuk lahan Kuarter lebih menonjol di Indonesia, tetapi bentuk lahan Tersier
pun juga dapat dilacak. Anggapan umum sekarang bahwa kondisi panas-
lembab lebih menonjol di daerah tropis di sebagian zaman Tersier dan
sebelumnya Permukaan planasi tropis yang luas terbentuk di dalam busur
kepulauan Indonesia, tetapi tektonik dan pengangkatan serta erosi yang
menyertainya hanya meninggalkan sisa di beberapa tempat yang berelevasi
tinggi. Kemungkinannya bahwa pada bagian yang lebih stabil di Indonesia,
beberapa relik muncul pada elevasi yang lebih rendah atau tenggelam pada laut
dangkal. Kondisi kering menjadi tanda peralihan dengan zaman Kuarter dan
terulang selama glasial Pleistosen, sedangkan kondisi tropis lembab meluas lagi
selama interglasial.
Tiga faktor yang mempengaruhi perubahan iklim di Indonesia selama
zaman Kuarter.
Faktor pertama (faktor penting) adalah perubahan posisi rata-rata ITCZ
ke arah fluktuasi amplitudo intensitas dan ukuran sistem antiklonik di benua
Asia Selama Zaman Es, ketika antiklon kuat di benua Asia, ITCZ terdorong
lebih jauh ke selatan dan timur daripada saat ini. Hujan terkait turun di luar
Indonesia Dan kondisi keringnya luar biasa.
Kenaikan tampaknya lebih kuat di atas Australia dan saat ini juga mungkin
terjadi di Indonesia bagian tenggara, tetapi kondisinya hanya terpengaruh
sebagian. Selama periode interglasial, ketika antisiklon kurang intens, lokasi
TTCZ kira-kira sama dengan saat ini, dengan iklim tropis lembab yang berlaku.

Faktor utama kedua adalah penurunan suhu udara global dan suhu air
laut, yang mengurangi penguapan, awan, dan curah hujan Ini juga mengarah
pada penurunan garis salju dan garis pohon, yang memengaruhi zonasi
ketinggian vegetasi Suhu turun beberapa derajat Celcius di daerah khatulistiwa
dan setidaknya 5 derajat di dataran rendah. Faktor ketiga adalah terangkatnya
dataran Sunda dan Sahul selama kenaikan muka air Celsius di pegunungan.

Faktor utama ketiga adalah terangkatnya dangkalan Sunda dan Sahul


selama permukaan air laut lebih rendah pada glasial Pleistosen.
C. Indikator Biologikal dari Perubahan Iklim Kuarter
Banyak peristiwa tanaman yang diperoleh selama beberapa dekade
terakhir penting dalam mendukung perubahan iklim (Zeist et al., 1979) Periode
yang lebih kering tampaknya merupakan pengecualian, dengan kondisi tropis
yang lembab cenderung kembali normal sejak Miosen awal. Ahli botani Van
Steenis telah menerbitkan secara ekstensif tentang subjek ini dan mengklaim
bahwa famili Dipterocarp adalah perwakilan tipikal dari hutan hujan
khatulistiwa yang ada di pulau Sumatra dan Kalimantan sejak Miosen akhir.
Dia percaya bahwa inti dari hutan hujan selalu ada. Selain itu, hutan musim dan
bahkan sabana berkembang selama glasiasi Pleistosen (Morley dan Flenley,
1987; Verstappen, 1975).
Distribusi xerofit penting dalam hal ini: mereka semua menunjukkan
jeda antara Burma bagian bawah dan Jawa bagian timur. Ini adalah kasus jati
(Tectona grandis L.), kayu cendana (Sandalum album L.), sebagian besar
spesies Papilio dan kacang-kacangan dan rerumputan tertentu: ribuan tanaman.
Hanya sedikit yang endemik, mencerminkan fakta bahwa wilayah tersebut
tidak pernah mengalami kekeringan selama periode kering terakhir dari iklim
yang lebih kering Pengenalan xerophytes pasti terjadi dalam kondisi geologis
yang relatif baru, karena hampir semua spesies identik dengan yang ditemukan
di Asia dan Australia Karena alasan inilah migrasi terjadi selama zaman es
Pleistosen, ketika iklim tropis dicirikan oleh kondisi gersang yang lebih luas
daripada saat ini. Iklim tropis lembab Pleistosen ternyata jauh lebih bervariasi
daripada yang diperkirakan sebelumnya, dan hutan monsun, bagian yang lebih
kering, dan pohon savana dapat diperkirakan menutupi sebagian besar wilayah
Indonesia dan menyusut dari hutan hujan tropis ke tempat yang lebih tinggi dan
lebih basah. Hutan hujan tropis berkembang melampaui batasnya saat ini
selama periode interglasial dan menyusut selama ribuan tahun sebagai akibat
dari optimalisasi iklim Holosen. Dalam kaitan ini, beberapa “pulau” vegetasi
basah di daerah musim kemarau seperti Jawa Timur sangat menarik.
.Migrasi beberapa mamalia darat besar ke Indonesia dipengaruhi oleh
hambatan topografi dan iklim yang terjadi pada masa Pleistosen Untuk alasan
ini, efek penghalang iklim sangat penting. Spesimen fosil berbagai mamalia
telah ditemukan di Jawa dan pulau-pulau lain, seperti kambing, kuda nil,
Bubalus Palaeokerabau, termasuk herbivora yang telah beradaptasi di daerah
yang lebih terbuka Hewan-hewan ini tersebar luas melintasi penghalang untuk
menembus hutan hujan khatulistiwa. Kehadiran luas mamalia Pleistosen Akhir
juga mempengaruhi Indonesia dan daerah sekitarnya, tetapi pada tingkat yang
lebih rendah dibandingkan daerah tropis lainnya Herbivora adalah hewan yang
tidak dapat bertahan hidup dan kembali ke lingkungan lembab. Kemiripan
antara ikan air tawar Kalimantan Barat dengan ikan air tawar Sumatera
Tenggara dan ikan air tawar Kalimantan Timur cukup untuk menjelaskan
bahwa ikan air tawar yang terdapat di Kalimantan barat dan tenggara Sumatera
terletak pada sistem drainase yang sama dengan dataran Sunda Pleistosen yang
gersang. Kalimantan Timur dilindungi oleh garis demarkasi (Molengraaff dan
Weber, 1919).
D. Sejarah Studi Geologi
Survei, penelitian, dan publikasi geologi intensif dilakukan di bawah
pemerintahan kolonial Belanda, yang secara bertahap menyebar ke seluruh
Indonesia. Banyak survei dan publikasi penting dilakukan pada tahun-tahun
terakhir abad ke-19. Banyak ahli geologi terkemuka bekerja di Indonesia atau
ikut serta dalam ekspedisi yang terorganisir dengan baik di sana. Survei
Geologi Hindia Belanda berlangsung dari tahun 1850 hingga 1950, dengan
kantor pusatnya di Bandung dan Biro Pertambangan di Batavia (dulu Jakarta).
Pada masa itu, terbitan survei reguler adalah seri Jaarboek van het Mijnwezen
yang diterbitkan di Batavia. Selain itu, beberapa buku dan banyak artikel
diterbitkan di Eropa tentang geologi Indonesia.
Hampir semuanya berhenti pada tahun 1941 dengan pecahnya perang.
Banyak ahli geologi Belanda terkenal menulis tentang Indonesia.
Beberapa penulis yang mensintesakan karya sebelumnya dan
mengembangkannya dalam buku mereka telah dicatat di bawah ini. Kompilasi
paling awal dan terluas dibuat oleh Brouw Rutten memberikan serangkaian
ceramah pada tahun 1927 hingga 1932 dan buku-bukunya membawa perhatian
dunia ke wilayah Asia Tenggara yang menakjubkan ini. Umbrove (1949) juga
banyak meringkas ciri-ciri menonjol Indonesia.
Namun, berkat karya mengesankan van Bemmelen (1949, dicetak ulang tahun
1970) geologi Indonesia dan Asia Tenggara menjadi terkenal. Van Bemmelen
telah menjadi anggota Geological Survey of the Netherlands Indies sejak tahun
1927, dan sedang mengerjakan manuskrip di Bandung pada tahun 1941 ketika
Jepang menginvasi. Dia diasingkan selama perang. Perlu juga disebutkan
pengukuran gravitasi baru yang dilakukan oleh Vening Meinesz di kapal selam
K XIII pada tahun 1927, 1929, dan 1930. Melalui karyanya, sifat unik parit laut
dalam wilayah Indonesia menjadi perhatian. dunia (Vening Mainesz, 1954).
Sastra daerah Indonesia kaya dan beragam, tetapi bagi kebanyakan
orang Van Bem melen (1970) akan berfungsi sebagai rangkuman. Sejak perang
dan kemerdekaan Indonesia, Survei Geologi Indonesia telah membuat
kemajuan besar untuk lebih memahami negara yang luas dan rumit ini. Buku
oleh Hamilton (1979), yang meringkas sebagian besar karya selanjutnya,
sekarang dikenal luas, dan menafsirkan wilayah tersebut dalam terminologi
lempeng tektonik modern. Katili adalah salah satu ahli geologi Indonesia yang
banyak menulis publikasi, terutama tentang tektonik wilayah tersebut. Banyak
ahli geologi Indonesia lainnya menyumbangkan publikasi yang luar biasa
melalui jurnal regional dan internasional baru-baru ini. Asosiasi Geologi
Indonesia (didirikan pada tahun 1960) dan Asosiasi Perminyakan Indonesia
(didirikan pada tahun 1971) mempublikasikan proses konvensi tahunan mereka
dengan makalah teknis penting, yang banyak ahli geologi merujuk.
E. Kerangka Tektonik Regional
Kepulauan Indonesia terletak di perpanjangan tenggara Lempeng
Eurasia. Di sebelah selatan dan barat dibatasi oleh Lempeng Indon-Australia
(Samudra Hindia), dan di sebelah timur oleh Laut Filipina dan Lempeng
Pasifik. Margin lempeng mengalami tumbukan, menghasilkan konsumsi
lempeng di sepanjang zona subduksi, terciptanya busur volkanik, dan
terbentuknya struktur slip kompresional dan miring. Secara umum diketahui
bahwa tatanan fisiografis kepulauan Indonesia didominasi oleh dua daerah
landas kontinen. Daerah paparan Sunda (atau Sundaland menurut penulis
erverl) terletak di barat, dan daerah paparan Sahul di timur, dipisahkan oleh
wilayah cekungan laut dalam dan busur kepulauan yang secara geologis rumit.
Kedua daerah beting memberikan beberapa kemiripan inti benua yang
stabil ke bagian timur dan barat nusantara. Daerah paparan Sahul, bagian dari
lempeng benua Samudera IndinAustralia, membentang melewati sebagian
besar Irian Jaya, Laut Arafura dan bagian selatan Laut Timor dan ke selatan
menuju daratan Australia saat ini. Paparan Sunda daerah tersebut mewakili
perkembangan tenggara yang terendam dari lempeng benua Eurasia dan terdiri
dari semenanjung Malaysia, sebagian besar Sumatera, Jawa dan Kalimantan,
sebagian besar Laut Jawa dan bagian selatan Laut Cina Selatan.
Indonesia bagian barat sebagian besar merupakan daerah pengendapan
sedimen Tersier, sedangkan Indonesia bagian timur merupakan deposentrum
utama selama masa Paleozoikum dan Mesozoikum akhir. Kepercayaan pada
kesinambungan struktural busur Sumatera, Jawa, Laut Banda (juga dikenal
sebagai busur Sunda) dengan dua domain kontinental Paparan Sunda dan
Paparan Sahul telah diterima secara luas di masa lalu, tetapi sekarang tampak
bahwa busur-busur ini adalah hasil dari kenampakan konvergensi lempeng
jangka panjang. Sebenarnya, baru pada akhir tahun 1960-an konsep-konsep
baru diperkenalkan untuk menjelaskan evolusi geologi kepulauan Indon. ide-
ide ini meniadakan model tektonik lama yang dikembangkan pada tahun 1930-
an dan 1940-an yang mengikuti konsep beberapa sabuk orogenik yang
membentuk pola arkuata (atau konsentris) di sekitar inti Sundaland di daerah
yang semakin melebar ke arah Samudra Hindia.
Ketika konsep baru tonik lempeng global diperkenalkan pada tahun
1967, Indonesia bagian barat (yaitu Sumatera dan sekitarnya) menjadi fokus
perhatian utama untuk penyelidikan lebih lanjut. Wilayah ini, dengan palung
laut dalam, rantai gunung berapi, cekungan sedimen, dan wilayah benua
kratonik, terletak di pertemuan India yang bergerak ke utara.
Subduksi lempeng samudra di bawah lempeng benua Eurasia.
Kajian dilakukan oleh Hatherton dan Dick inson (1969), Fitch (1970),
Hamilton (1970, 1979), dan Katili (1971) tetapi baru pada tahun 1973 model
tektonik lempeng pertama Indonesia bagian barat diterbitkan oleh Katili. Dalam
model ini, zona struktural berikut terdaftar di sepanjang bagian melintang
Sumatera & Jawa: 1. Zona subduksi aktif 2. Magmatik busur vulkanik 3.
Cekungan foreland (back-arc).
Zona subduksi secara sistematis bergerak lebih jauh dari benua menuju
Samudera Hindia. Zona magmatik juga menunjukkan susunan zonal tetapi
umur zona vulkanik dan granitik tidak serta merta menjadi lebih muda ke arah
lautan. Hal ini menimbulkan masalah bagi para penyelidik sebelumnya yang
mendalilkan teori susunan konsentris oro gen tetapi dijelaskan dengan
anggapan bahwa penurunan zona Benioff bervariasi dengan waktu (Katili,
1980).
F. Statigrafi Regional
Basement
Istilah basement sudah lama, dan masih, dipandang sebagai kompleks batuan
metamorf sebagian besar kristal, yang mendasari cekungan sedimen. Keasyikan
sederhana terhadap ruang bawah tanah biasanya dianggap sebagai batuan pra-
Tersier yang berasal dari lingkungan kontinental. Munculnya lempeng tektonik
dan kemajuan baru-baru ini diperoleh melalui studi batuan metamorf di negara
ini secara bertahap menghilangkan anggapan yang menyesatkan tersebut.
Pelago kepulauan Indonesia secara luas dibentuk oleh dua massa benua masing-
masing sesuai dengan gabungan Lempeng Eurasia di barat dan Lempeng
Australian di timur, masing-masing dan zona tumbukan Tersier di tengahnya.
Pengangkatan cepat di zona tumbukan Tersier ini telah memfasilitasi penelitian
yang memadai selama dua dekade terakhir, sedangkan penyelidikan lain di
bagian lain massa benua sebagian besar terhalang oleh cakupan luas batuan
sedimen dan vulkanik Ce nozoik serta masalah logistik. Tiga jenis orogen
utama di Indonesia dapat dikenali.
1. Tipe Sunda, mewakili orogen Mesozoikum Akhir Mesozoikum Akhir
yang sempit dan terdefinisi dengan baik—orogen Karangsambung di
sepanjang pinggiran Sundaland tenggara dan orogen Neogen yang
membentang melintasi Sumatera, Jawa, dan Nusatenggara. Diduga
tumbukan mikrokontinen terjadi pada orogen Karangsambung Meratus.
2. Jenis Makassar, yang secara spasial berada di luar orogen Meratus-
Karangsambung, merupakan orogen Oligosen dan Miosen sebagai
akibat dari peristiwa obduksi subduksi yang berurutan di Lengan Timur
Sulawesi dan berlabuhnya mikrokontinen turunan Australia ke
Sulawesi 3. Banda tipe, yang dicirikan oleh obduksi pra-tabrakan
berulang dari punggungan berumur pendek yang menyebar di depan
margin pasif Australia, masing-masing terjadi di Oligosen dan Miosen.
Memahami orogen Indonesia dari perspektif geologi basement belum mencapai
tahap dewasanya, meskipun kontribusi yang signifikan telah
didokumentasikan. Berkenaan dengan paradigma seluruh tektonik bumi, studi
lebih lanjut, khususnya didedikasikan pada hubungan emplasemen ofiolit-
metamorfosis, perlu mendapat perhatian lebih lanjut.

Paleozoik
Beberapa bagian Asia Tenggara menunjukkan bukti memiliki Paleozoikum
atau kerak benua yang lebih tua. Ini termasuk fragmen-fragmen kecil di pinus
Philip dan kepulauan Indonesia, Nugini dan rak-rak yang bersebelahan, dan
(area utama) kumpulan besar yang terdiri dari hampir semua daratan Asia
Tenggara sebagian besar Sumatera, Kalimantan barat daya, dan sebagian laut
yang berbatasan dan mengintervensi. Sabuk ofiolit, sutura yang mungkin, dan
geologi yang kontras di sepanjangnya menunjukkan bahwa massa utama ini
adalah mozaik dari fragmen atau blok yang berbeda (Staufer, 1983). Barisan
Pegunungan Barisan di Suma tra menempati bagian aksial pulau dan sebagian
besar terdiri dari batuan Permo-Karbon sampai Mesozoikum (Gbr. 1.5).
Mereka telah bermetamorfosis lemah dan terutama vulkanik mafik hingga
menengah dan vulkaniklastik, sabak, filit, wackes dan batugamping (Page &
Young, 1981).
Mesozoic
Di Indonesia bagian barat, batuan Mesozoikum umumnya terdapat di Sumatera,
Jawa dan Kalimantan. Banyak batuan granit di Kalimantan Barat mengandung
foliasi yang kuat, dan berumur Trias Akhir diperoleh dari biotit di dalam batuan
yang telah terbentuk. Fosil-fosil Jura telah diidentifikasi dari beberapa tempat
di wilayah tersebut (Easton, 1904). Interval Jurassic tampaknya membentuk
urutan yang selaras dengan Triassic apisan. Di ujung barat, spilit tampak
menutupi urutan sedimen Trias Akhir hingga Jurasik Awal, yang hanya
terdeformasi ringan.
Jura Akhir dekat pantai detritus dan batugamping laut dangkal membentuk
fasies marginal ke palung berarah utara yang mengandung turbidit berpasir
Kapur yang dominan dan batulumpur berkapur (Williams et al, 1989). Batuan
Mesozoikum yang tersingkap di beberapa pulau di kawasan timur Indonesia
mengalami karakter rift-drift berupa fragmen-fragmen benua yang hanya
sebagian bersifat oseanik. Dalam beberapa contoh mereka mengungkapkan
kontak tektonik dengan samudera. Batuan Mesozoikum ini dijumpai di pulau
Sulawesi, Buton, Banggai-Sula, Buru, Seram, Timor, Hal mahera, Misool, Irian
Jaya dan di beberapa pulau kecil.
Kainozoik
Lapisan Cainozoikum atau Tersier di Indonesia sebagian besar bertumpu secara
tidak selaras pada dasar kristalin pra-Tersier. Bagian sedimen tersier memiliki
ketebalan yang bervariasi tidak hanya di antara cekungan tetapi seringkali di
dalam cekungan. Akumulasi maksimum 6000 m ditemukan di Sumatera bagian
utara sedangkan cekungan Sumatera Tengah dan Selatan yang sebaya
mengandung masing-masing 3500 dan 4000 m. Lebih jauh ke timur, di
cekungan Sunda, ketebalan maksimum bagian sedimen Tersier yang diketahui
adalah sekitar 3400 m. Sebaliknya di Kalimantan Timur, sumur sedalam 3500
m masih dalam sedimen Miosen atau mungkin lebih muda. Pengecualian di atas
adalah struktur antiklinal di Cekungan Barito (Tanjung), di mana ketinggian
basement ditembus pada 1200 m dan struktur pedalaman di cekungan Jawa
Barat di mana tubuh intrusi ditemukan pada 1950 m. Secara umum, di Jawa
Barat pada umumnya, beberapa sumur telah dibor di bawah 2500 m, sehingga
ruang bawah tanah pra-Tersier biasanya belum ditembus.
Namun, di bagian darat dari cekungan ini, khususnya di dalam cekungan
tertentu "terendah", diperkirakan terdapat 5.000 m sedimen Tersier dan lapisan
vulkanik antar lapisan.
Lebih jauh ke utara, lepas pantai, basement tampak menanjak tajam dan
beberapa sumur telah menembusnya pada kedalaman hanya 1500 m.
Daerah Paparan Sunda menjadi stabil menjelang akhir waktu Mesozoikum.
Tepi rak tampaknya telah dipecah oleh patahan blok basement. Pergerakan
patahan tampaknya terus menerus sejak awal penurunan cekungan, dan
mengendalikan sedimentasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Faktor utama kedua adalah penurunan suhu udara global dan suhu air
laut, yang mengurangi penguapan, awan, dan curah hujan Ini juga mengarah
pada penurunan garis salju dan garis pohon, yang memengaruhi zonasi
ketinggian vegetasi Suhu turun beberapa derajat Celcius di daerah khatulistiwa
dan setidaknya 5 derajat di dataran rendah. Banyak peristiwa tanaman yang
diperoleh selama beberapa dekade terakhir penting dalam mendukung
perubahan iklim (Zeist et al., 1979) Periode yang lebih kering tampaknya
merupakan pengecualian, dengan kondisi tropis yang lembab cenderung
kembali normal sejak Miosen awal. Hanya sedikit yang endemik,
mencerminkan fakta bahwa wilayah tersebut tidak pernah mengalami
kekeringan selama periode kering terakhir dari iklim yang lebih kering
Pengenalan xerophytes pasti terjadi dalam kondisi geologis yang relatif baru,
karena hampir semua spesies identik dengan yang ditemukan di Asia dan
Australia Karena alasan inilah migrasi terjadi selama zaman es Pleistosen,
ketika iklim tropis dicirikan oleh kondisi gersang yang lebih luas daripada saat
ini. Kehadiran luas mamalia Pleistosen Akhir juga mempengaruhi Indonesia
dan daerah sekitarnya, tetapi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan
daerah tropis lainnya Herbivora adalah hewan yang tidak dapat bertahan hidup
dan kembali ke lingkungan lembab.
DAFTAR PUSTAKA

Verstappen, H. T. (2014). GARIS BESAR GEOMORFOLOGI INDONESIA


(Suratman (ed.); cetakan ke). GADJAH MADA PRESS.

Darman, H. (2013). An outline of the geology Indonesia. The Geology of North


America—An Overview, August 2000, 233–264. https://doi.org/10.1130/dnag-gna-
a.233

Anda mungkin juga menyukai