Manajemen pajak juga mencakup analisis terhadap kebijakan dan regulasi pajak yang berlaku,
termasuk perubahan-perubahan peraturan perpajakan yang mungkin mempengaruhi aktivitas
perusahaan atau individu. Selain itu, manajemen pajak juga dapat membantu dalam
mengoptimalkan struktur perusahaan, strategi investasi, dan pengelolaan aset agar dapat
meminimalkan beban pajak yang harus dibayar.
Dalam konteks bisnis, manajemen pajak dapat membantu perusahaan untuk meningkatkan
keuntungan, mengoptimalkan cash flow, dan mengurangi risiko keuangan yang mungkin
terkait dengan masalah pajak. Oleh karena itu, manajemen pajak sangat penting dalam
memastikan kelangsungan dan keberhasilan bisnis.
1. Ukuran ekonomis: Ukuran ekonomis menunjukkan kemampuan suatu sistem atau entitas
untuk menghasilkan output atau pendapatan yang lebih besar dengan menggunakan input
yang lebih sedikit. Misalnya, jika suatu perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak
produk dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit, maka perusahaan tersebut
dianggap memiliki ukuran ekonomis yang baik.
2. Efisiensi: Efisiensi mengukur sejauh mana suatu sistem atau entitas menggunakan sumber
daya yang tersedia dengan cara yang paling efektif dan hemat biaya. Misalnya, jika suatu
perusahaan dapat menghasilkan produk dengan menggunakan sumber daya yang paling
sedikit dan dalam waktu yang paling singkat, maka perusahaan tersebut dianggap efisien.
3. Efektivitas: Efektivitas mengukur sejauh mana suatu sistem atau entitas dapat mencapai
tujuan atau target yang telah ditetapkan. Misalnya, jika suatu perusahaan berhasil
mencapai tujuan penjualan yang telah ditetapkan dengan menggunakan sumber daya yang
tersedia, maka perusahaan tersebut dianggap efektif.
Ketiga ukuran ini sangat penting dalam mengevaluasi kinerja suatu sistem atau entitas, baik itu
perusahaan, organisasi, atau pemerintah. Dalam bisnis, perusahaan yang mampu menghasilkan
lebih banyak output atau pendapatan dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit,
lebih efisien dalam penggunaan sumber daya, dan mencapai target yang telah ditetapkan
dianggap lebih sukses dan berkinerja baik.
Tujuan akhir dari manajemen pajak adalah untuk memastikan bahwa perusahaan atau individu
memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan cara yang legal dan sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku, sambil memaksimalkan keuntungan mereka. Dengan demikian,
tujuan akhir dari manajemen pajak adalah untuk mengoptimalkan kesejahteraan finansial
perusahaan atau individu.
Manajemen pajak juga bertujuan untuk mengurangi risiko keuangan yang mungkin terkait
dengan masalah pajak. Risiko ini dapat berasal dari ketidakpatuhan pajak, kesalahan
penghitungan pajak, atau interpretasi yang salah tentang peraturan perpajakan. Oleh karena itu,
manajemen pajak juga bertujuan untuk mengurangi risiko hukum yang mungkin timbul akibat
pelanggaran peraturan perpajakan.
Selain itu, manajemen pajak juga bertujuan untuk membantu perusahaan atau individu
memahami dan memanfaatkan berbagai insentif dan keringanan pajak yang ditawarkan oleh
pemerintah. Dengan memanfaatkan insentif ini, perusahaan atau individu dapat mengurangi
beban pajak yang harus dibayar dan memaksimalkan keuntungan mereka.
Dalam hal yang lebih luas, manajemen pajak juga dapat berkontribusi pada pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial. Dengan membayar pajak yang tepat, perusahaan atau
individu dapat mendukung program-program pemerintah dan pembangunan infrastruktur yang
akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Berikut adalah definisi atau pandangan dari para ahli tentang manajemen pajak:
1. Dr. Ir. Mochamad Ridwan Kamil, M.U.D. (Gubernur Jawa Barat): "Manajemen pajak
adalah suatu upaya pengelolaan dan pemanfaatan hak-hak perpajakan secara optimal
sehingga dapat menciptakan keuntungan yang maksimal dan mempercepat pencapaian
target atau sasaran perusahaan."
2. Prof. Dr. Hamzah Fansuri, SE., M.Si. (Akademisi): "Manajemen pajak adalah suatu
kegiatan pengelolaan sumber daya yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan pengeluaran pajak untuk memastikan pemenuhan
kewajiban perpajakan secara optimal dan efektif."
3. Dr. H. M. Jusuf Kalla, SH. (Mantan Wakil Presiden): "Manajemen pajak adalah suatu
upaya pengelolaan pajak yang bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari
sektor pajak, serta mengurangi beban pajak bagi wajib pajak dengan memanfaatkan
berbagai insentif dan keringanan pajak yang ditawarkan."
4. Dr. H. Eko Budianto Teguh Widodo, M.Si. (Birokrat): "Manajemen pajak adalah suatu
proses yang melibatkan perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, dan evaluasi
aktivitas terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk memastikan bahwa
pembayaran pajak dilakukan dengan tepat waktu dan sesuai dengan peraturan perpajakan
yang berlaku."
Secara umum, para ahli sepakat bahwa manajemen pajak adalah suatu proses pengelolaan dan
pengoptimalkan hak perpajakan dengan cara yang efektif dan efisien. Hal ini mencakup
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan aktivitas terkait dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan serta memanfaatkan insentif dan keringanan pajak yang
tersedia untuk mengurangi beban pajak bagi wajib pajak.
Perencanaan Pajak: Fungsi ini berkaitan dengan perencanaan strategi dan kebijakan
perpajakan perusahaan. Dalam perencanaan pajak, manajemen pajak akan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti struktur perusahaan, kebijakan perpajakan yang
berlaku, dan insentif pajak yang tersedia untuk mengoptimalkan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan mengurangi beban pajak yang harus dibayar.
Manajemen Risiko Pajak: Fungsi ini berkaitan dengan identifikasi, evaluasi, dan
pengendalian risiko perpajakan. Manajemen pajak akan memastikan bahwa risiko pajak
dikelola dengan baik, termasuk dalam hal pencegahan fraud pajak, penghindaran pajak,
atau kesalahan perhitungan pajak.
Agar manajemen pajak dapat berjalan dengan baik, terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi, di antaranya:
Memiliki Sumber Daya yang Memadai: Manajemen pajak membutuhkan sumber daya
yang memadai, baik itu sumber daya manusia yang terampil, teknologi informasi yang
canggih, maupun sistem pengelolaan pajak yang efektif.
Mengetahui Peraturan Pajak yang Berlaku: Manajemen pajak harus memahami peraturan
perpajakan yang berlaku, termasuk peraturan perpajakan di tingkat nasional dan
internasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan memenuhi kewajiban
perpajakan mereka dengan tepat dan meminimalkan risiko pajak.
Menggunakan Strategi Pajak yang Efektif: Manajemen pajak harus menggunakan strategi
pajak yang efektif dan efisien untuk mengurangi beban pajak dan memaksimalkan
keuntungan perusahaan.
Menjaga Kepatuhan Pajak: Manajemen pajak harus memastikan bahwa perusahaan tetap
patuh terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini mencakup pemenuhan
kewajiban pajak tepat waktu, pelaporan pajak yang akurat, dan penanganan sengketa pajak
dengan benar.
Memiliki Sistem Pengawasan yang Efektif: Manajemen pajak harus memiliki sistem
pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi peraturan
perpajakan yang berlaku dan meminimalkan risiko pajak.
Memiliki Sistem Manajemen Risiko yang Baik: Manajemen pajak harus memiliki sistem
manajemen risiko yang baik untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko
perpajakan yang mungkin terjadi, sehingga dapat meminimalkan dampaknya terhadap
perusahaan.
Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, manajemen pajak dapat berjalan dengan baik dan
membantu perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan tepat dan
efisien.
Pertemuan ke 2
Perencanaan pajak dapat dilakukan oleh individu, perusahaan, atau ahli perpajakan, seperti
akuntan atau konsultan pajak. Tujuan dari perencanaan pajak adalah untuk mengurangi jumlah
pajak yang harus dibayar oleh individu atau perusahaan dengan cara memaksimalkan
penggunaan insentif pajak yang tersedia, memanfaatkan celah-celah hukum pajak, dan memilih
strategi perpajakan yang paling tepat dan efisien.
Tax avoidance dan tax evasion adalah dua istilah yang sering digunakan dalam bidang
perpajakan yang membedakan antara tindakan yang sah dan legal serta tindakan yang tidak sah
dan ilegal dalam menghindari pembayaran pajak. Berikut adalah pengertian dari kedua istilah
tersebut:
1. Tax avoidance
Tax avoidance adalah tindakan atau strategi perencanaan perpajakan yang sah dan legal yang
dilakukan oleh individu atau perusahaan dengan tujuan untuk mengurangi kewajiban pajak
yang harus dibayar. Tindakan tax avoidance melibatkan penggunaan celah-celah hukum
perpajakan dan memaksimalkan penggunaan insentif pajak yang tersedia untuk
mengoptimalkan pengelolaan keuangan individu atau perusahaan. Tax avoidance dilakukan
dengan cara memilih strategi perpajakan yang tepat dan memaksimalkan penggunaan insentif
pajak yang tersedia, tetapi tetap sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
1. Tax evasion
Tax evasion adalah tindakan ilegal atau tidak sah yang dilakukan oleh individu atau perusahaan
dengan tujuan untuk menghindari pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban pajak yang
harus dibayar. Tindakan tax evasion melibatkan pelanggaran terhadap peraturan perpajakan
dengan cara mengabaikan atau menyembunyikan pendapatan, aset, atau transaksi keuangan
dari pihak berwenang. Tindakan ini biasanya melibatkan praktik-praktik ilegal seperti
pemalsuan dokumen, penipuan, atau korupsi.
Perbedaan antara tax avoidance dan tax evasion terletak pada legalitas tindakan tersebut. Tax
avoidance merupakan tindakan yang legal dan sah dilakukan oleh individu atau perusahaan
untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan mereka dengan cara memilih strategi perpajakan
yang tepat. Sedangkan tax evasion merupakan tindakan yang tidak sah dan ilegal yang
melanggar peraturan perpajakan dengan cara menghindari pembayaran pajak atau
meminimalkan kewajiban pajak yang harus dibayar.
Memanfaatkan insentif pajak: Setiap negara memiliki insentif pajak yang berbeda, seperti
pengurangan pajak, kredit pajak, atau insentif investasi. Memanfaatkan insentif pajak ini dapat
membantu individu atau perusahaan mengurangi kewajiban pajak mereka.
1.
2.
Memanfaatkan pengurangan pajak yang sah: Pengurangan pajak yang sah dapat diperoleh
melalui pengurangan biaya atau penghapusan aset yang telah hilang nilai atau tidak produktif,
seperti pengakuan kerugian, penyusutan aset, atau biaya operasional.
3.
4.
Memilih struktur bisnis yang tepat: Memilih struktur bisnis yang tepat, seperti membentuk
perseroan terbatas, perusahaan perseorangan atau bentuk usaha lainnya, dapat membantu
mengoptimalkan pengurangan pajak.
5.
6.
Merencanakan investasi: Merencanakan investasi dengan bijak dapat membantu individu atau
perusahaan mengurangi kewajiban pajak mereka. Beberapa jenis investasi, seperti investasi di
reksadana atau properti, dapat memberikan manfaat pajak tertentu
7.
Memanfaatkan pengelolaan keuangan yang tepat: Pengelolaan keuangan yang tepat, seperti
pengelolaan utang dan modal kerja, dapat membantu individu atau perusahaan mengurangi
kewajiban pajak mereka.
8.
Namun, perlu diingat bahwa perencanaan pajak harus dilakukan secara sah dan legal. Tindakan
perencanaan pajak yang ilegal atau tidak sah, seperti tax evasion, dapat mengakibatkan sanksi
atau denda dari pihak berwenang. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perencanaan pajak
dengan hati-hati dan mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku.
Tujuan utama dari strategi umum perencanaan pajak adalah untuk membantu individu atau
perusahaan mengurangi kewajiban pajak mereka secara sah dan legal. Dengan
mengoptimalkan pengelolaan keuangan, memanfaatkan insentif pajak dan pengurangan pajak
yang sah, memilih struktur bisnis yang tepat, merencanakan investasi, dan memanfaatkan
pengelolaan keuangan yang tepat, individu atau perusahaan dapat mengurangi beban pajak
yang harus dibayar.
Adapun manfaat dari strategi umum perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
Mengurangi beban pajak: Dengan melakukan strategi perencanaan pajak yang tepat,
individu atau perusahaan dapat mengurangi beban pajak mereka secara sah dan legal. Hal
ini dapat membantu mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan.
Menghindari sanksi atau denda dari pihak berwenang: Dengan melakukan perencanaan
pajak yang sah dan legal, individu atau perusahaan dapat menghindari sanksi atau denda
dari pihak berwenang karena melanggar peraturan perpajakan.
Namun, perlu diingat bahwa strategi perencanaan pajak harus dilakukan dengan hati-hati dan
mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku. Tindakan perencanaan pajak yang ilegal atau
tidak sah, seperti tax evasion, dapat mengakibatkan sanksi atau denda dari pihak berwenang.
Berikut adalah langkah-langkah strategi umum perencanaan pajak yang dapat diambil untuk
membantu individu atau perusahaan mengurangi kewajiban pajak mereka secara sah dan legal:
Evaluasi situasi keuangan: Langkah pertama dalam strategi perencanaan pajak adalah
mengevaluasi situasi keuangan. Hal ini mencakup analisis pendapatan, pengeluaran, aset,
dan kewajiban keuangan.
Menentukan struktur bisnis yang tepat: Menentukan struktur bisnis yang tepat dapat
membantu mengoptimalkan pengelolaan keuangan dan mengurangi kewajiban pajak.
Pilihlah struktur bisnis yang sesuai dengan kebutuhan bisnis, seperti entitas tunggal,
partnership, atau korporasi.
Memanfaatkan pengurangan pajak yang sah: Memanfaatkan pengurangan pajak yang sah
dapat membantu mengurangi kewajiban pajak. Pengurangan pajak dapat dilakukan
melalui penghematan pajak, penundaan pajak, atau penghindaran pajak yang sah dan legal.
Berikut adalah beberapa contoh strategi umum perencanaan pajak yang dapat diambil:
Menetapkan struktur bisnis yang tepat: Memilih struktur bisnis yang tepat dapat membantu
mengoptimalkan pengelolaan keuangan dan mengurangi kewajiban pajak. Contoh struktur
bisnis yang tepat dapat termasuk memilih antara korporasi, partnership, atau entitas
tunggal.
Memaksimalkan pengelolaan arus kas: Memanfaatkan pengelolaan arus kas yang tepat dapat
membantu mengoptimalkan pengelolaan keuangan dan meminimalkan kewajiban pajak.
Contoh pengelolaan arus kas yang tepat adalah memanfaatkan deduksi pajak untuk bunga atau
mempercepat pengeluaran tertentu.
1.
2.
Memanfaatkan deduksi pajak: Memanfaatkan deduksi pajak yang tersedia dapat membantu
mengurangi kewajiban pajak. Contohnya adalah memanfaatkan deduksi pajak untuk biaya
bisnis, seperti biaya perjalanan atau biaya pengembangan produk.
3.
Namun, perlu diingat bahwa strategi perencanaan pajak harus dilakukan secara sah dan legal,
dan mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku. Sebaiknya konsultasikan dengan konsultan
perpajakan atau akuntan sebelum mengambil strategi perencanaan pajak.
Pertemuan ke 3
Perencanaan pajak Badan Usaha (BU) penting untuk mengoptimalkan manfaat pajak
dan meminimalkan risiko pajak yang tidak perlu. Berikut adalah beberapa langkah
yang dapat dilakukan dalam perencanaan pajak BU:
Berikut adalah beberapa jenis pajak yang umum dikenakan pada Badan Usaha (BU):
Pajak Penghasilan (PPh) Badan: Pajak ini dikenakan pada penghasilan yang
diperoleh oleh Badan Usaha (BU) dari aktivitas usaha yang dilakukannya. Tarif
pajak penghasilan badan bervariasi tergantung pada jenis usaha dan tingkat
penghasilannya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak ini dikenakan pada penjualan barang dan jasa
oleh Badan Usaha. Tarif PPN adalah 10% dan 0% untuk beberapa jenis barang dan
jasa tertentu.
Pajak Penghasilan Pasal 22: Pajak ini dikenakan pada pihak yang melakukan impor
barang ke Indonesia. Tarif pajaknya bervariasi tergantung pada jenis barang yang
diimpor.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak ini dikenakan pada kepemilikan tanah dan
bangunan yang dimiliki oleh Badan Usaha.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM): Pajak ini dikenakan pada penjualan
barang mewah seperti mobil mewah, pesawat terbang, dan yacht. Tarif pajaknya
bervariasi tergantung pada jenis barang yang dijual.
Bea Materai: Pajak ini dikenakan pada dokumen yang memerlukan materai, seperti
perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan surat pernyataan.
Pajak Royalti: Pajak ini dikenakan pada penghasilan yang diterima oleh Badan
Usaha sebagai royalti, seperti hak paten, hak cipta, dan lisensi.
Pajak Dividen: Pajak ini dikenakan pada penghasilan yang diterima oleh pemegang
saham atas pembagian keuntungan (dividen) oleh Badan Usaha.
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2): Pajak ini dikenakan pada penghasilan yang
diterima
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan yang diterima oleh Badan Usaha (BU) dari aktivitas usaha yang
dilakukannya. Pajak ini dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan.
Besarnya tarif PPh Badan tergantung pada besarnya penghasilan yang diterima oleh
BU. Tarif PPh Badan di Indonesia bervariasi dari 10% hingga 25%, tergantung pada
besarnya penghasilan. Adapun batas besarnya penghasilan yang menjadi dasar
pengenaan PPh Badan adalah sebagai berikut:
Penghasilan kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan tarif PPh Badan
sebesar 10%
Penghasilan antara Rp 4,8 miliar hingga Rp 50 miliar per tahun dikenakan
tarif PPh Badan sebesar 15%
Penghasilan lebih dari Rp 50 miliar per tahun dikenakan tarif PPh Badan
sebesar 22%
Namun, pada tahun pajak 2020 dan 2021, tarif PPh Badan diberikan insentif sebesar
30% dengan persyaratan tertentu.
PPh Badan harus dilaporkan dan dibayar secara tahunan dengan menggunakan
formulir SPT Tahunan PPh Badan. BU wajib melaporkan penghasilannya dan
membayar pajak pada akhir tahun pajak, yaitu pada tanggal 31 Maret atau 30 April
(untuk e-filing) setiap tahunnya.
PPh Badan dapat dihitung dengan mengurangkan penghasilan kena pajak dengan
beban yang dapat dikurangkan, seperti biaya operasional, biaya bunga, dan biaya
amortisasi. Selain itu, BU juga dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan yang
tersedia untuk mengurangi besarnya pajak yang harus dibayarkan.
fasilitas perpajakan BU
Berikut adalah beberapa fasilitas perpajakan yang tersedia untuk Badan Usaha (BU):
Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21: BU yang membayar gaji kepada
karyawan berpendapatan rendah dapat mengajukan pembebasan PPh Pasal 21.
Insentif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan): BU yang memenuhi kriteria tertentu
seperti investasi di sektor tertentu atau melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan dapat mendapatkan insentif tarif PPh Badan.
Pajak Penghasilan Pengusaha Kena Pajak (PKP): BU yang terdaftar sebagai PKP
berhak mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian barang dan
jasa untuk kegiatan usahanya.
Pengurangan Penghasilan Kena Pajak (PPH 21): BU yang memberikan penghasilan
tambahan atau tunjangan kepada karyawan dapat memanfaatkan pengurangan PPh
21.
Pajak Penghasilan Terutang Bertahap: BU yang melakukan investasi di sektor
tertentu dapat membayar PPh Badan terutang secara bertahap.
Pembebasan Bea Masuk: BU yang melakukan impor barang tertentu dapat
mengajukan pembebasan bea masuk.
Fasilitas Penyusutan: BU dapat memanfaatkan fasilitas penyusutan untuk
mengurangi besarnya penghasilan kena pajak.
Tax Holiday: BU yang melakukan investasi di sektor tertentu dapat mendapatkan
tax holiday atau pengurangan tarif PPh Badan untuk jangka waktu tertentu.
peraturan perpajakan BU
Berikut adalah beberapa peraturan perpajakan yang perlu diperhatikan oleh Badan
Usaha (BU) di Indonesia:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang
dan jasa di Indonesia. PPN berlaku untuk semua jenis usaha, baik perseorangan
maupun badan usaha, dan tarifnya adalah 10% atau 5% tergantung pada jenis barang
dan jasa yang diperdagangkan.
Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang PPN:
Wajib Pajak: Setiap pelaku usaha yang melakukan penjualan barang atau jasa di
Indonesia dengan omset di atas batas tertentu harus terdaftar sebagai Wajib Pajak
PPN. Pendaftaran Wajib Pajak PPN dapat dilakukan melalui Direktorat Jenderal
Pajak.
Tarif PPN: Tarif PPN adalah 10% untuk barang dan jasa yang tidak termasuk dalam
kategori tertentu, sedangkan tarif PPN sebesar 5% diberlakukan untuk barang dan
jasa tertentu seperti makanan, minuman, obat-obatan, dan kendaraan bermotor.
Mekanisme Pungutan: PPN dikenakan pada setiap transaksi jual-beli antara pelaku
usaha dan konsumen, dan ditagihkan oleh pelaku usaha kepada konsumen pada saat
pembelian barang atau jasa. PPN yang terutang oleh pelaku usaha setiap bulannya
akan dilaporkan dan dibayarkan ke Direktorat Jenderal Pajak.
Faktur Pajak: Setiap pelaku usaha yang terdaftar sebagai Wajib Pajak PPN harus
mengeluarkan faktur pajak atas setiap penjualan barang atau jasa. Faktur pajak ini
berisi informasi seperti nama dan alamat pelaku usaha, nomor seri faktur pajak,
tanggal penjualan, jumlah PPN, dan jumlah total penjualan.
Pengembalian PPN: Pelaku usaha yang melakukan pembelian barang atau jasa untuk
keperluan usahanya dapat mengajukan pengembalian PPN yang terutang atas
pembelian tersebut. Namun, pengajuan pengembalian PPN harus memenuhi
persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibagi menjadi dua jenis, yaitu PPN Masukan dan
PPN Keluaran. PPN Masukan adalah PPN yang terutang atas pembelian barang dan
jasa oleh pelaku usaha untuk keperluan usahanya, sementara PPN Keluaran adalah
PPN yang terutang atas penjualan barang dan jasa oleh pelaku usaha.
Berikut ini adalah penjelasan lebih detail tentang PPN Masukan dan PPN Keluaran:
PPN Masukan PPN Masukan adalah pajak yang dikenakan atas pembelian barang
dan jasa yang akan digunakan untuk keperluan usaha. PPN Masukan dapat
dikreditkan sebagai pemotongan atas PPN Keluaran yang terutang oleh pelaku usaha
pada saat melakukan penjualan. Artinya, PPN Masukan dapat dikurangkan dari
jumlah PPN Keluaran yang harus dibayar oleh pelaku usaha.
PPN Keluaran PPN Keluaran adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang
dan jasa oleh pelaku usaha. PPN Keluaran terutang oleh pelaku usaha dan harus
dibayarkan ke Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPN
Keluaran dapat dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan harga jual barang
atau jasa yang dikenakan pajak.
Dalam perhitungan PPN Masukan dan PPN Keluaran, pelaku usaha harus
memperhatikan beberapa hal, antara lain:
Dengan memahami konsep PPN Masukan dan PPN Keluaran, pelaku usaha dapat
mengoptimalkan pengurangan PPN yang terutang dan memastikan ketaatan
terhadap aturan perpajakan yang berlaku.
Pembukuan PPN
Pembukuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang terdaftar sebagai Wajib Pajak PPN.
Pembukuan PPN bertujuan untuk mencatat dan mengelola transaksi jual-beli yang
dikenakan PPN dengan benar dan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembukuan PPN:
Pemisahan PPN Masukan dan PPN Keluaran Pelaku usaha harus memisahkan
catatan PPN Masukan dan PPN Keluaran untuk memudahkan perhitungan dan
pelaporan PPN yang terutang dan terutang atas pembelian barang dan jasa.
Faktur Pajak Setiap pelaku usaha yang terdaftar sebagai Wajib Pajak PPN wajib
mengeluarkan faktur pajak atas setiap transaksi jual-beli yang dikenakan PPN.
Faktur pajak ini harus mencantumkan informasi yang lengkap dan benar, seperti
nama dan alamat pelaku usaha, nomor seri faktur pajak, tanggal transaksi, jumlah
PPN yang terutang, dan jumlah total transaksi.
Jurnal PPN Pelaku usaha harus mencatat setiap transaksi jual-beli yang dikenakan
PPN dalam jurnal PPN. Jurnal PPN terdiri dari dua jenis, yaitu jurnal PPN Masukan
dan jurnal PPN Keluaran. Jurnal PPN harus mencantumkan informasi yang lengkap,
seperti nomor faktur pajak, tanggal transaksi, jenis barang atau jasa, jumlah dan nilai
transaksi, dan jumlah PPN Masukan atau PPN Keluaran.
Laporan PPN Pelaku usaha harus melaporkan PPN yang terutang dan terutang atas
pembelian dalam SPT Masa PPN setiap bulannya. SPT Masa PPN harus
disampaikan secara elektronik melalui aplikasi e-Filing atau melalui kantor pajak
setempat. Pada saat pelaporan, pelaku usaha harus melampirkan bukti potong PPN
yang telah dilakukan kepada pemasok atau pelanggan.
Pelaporan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang terdaftar sebagai Wajib Pajak PPN. Setiap
bulan, pelaku usaha harus melaporkan dan menyetor PPN yang terutang atau yang
terutang atas pembelian barang atau jasa.
Pelaporan PPN Setiap bulan, pelaku usaha harus melaporkan PPN yang terutang dan
PPN yang terutang atas pembelian dalam SPT Masa PPN. SPT Masa PPN harus
disampaikan secara elektronik melalui aplikasi e-Filing atau melalui kantor pajak
setempat. Pada saat pelaporan, pelaku usaha harus melampirkan bukti potong PPN
yang telah dilakukan kepada pemasok atau pelanggan.
Perhitungan PPN Terutang Pelaku usaha harus melakukan perhitungan PPN terutang
dan PPN Masukan yang dapat dikreditkan atas pembelian barang dan jasa yang
dikenakan PPN. PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN (10% atau
0%) dengan harga jual atau nilai transaksi.
Penyetoran PPN Setelah melakukan pelaporan PPN, pelaku usaha harus menyetor
PPN yang terutang atau yang terutang atas pembelian ke kas negara melalui bank
yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak. Setoran harus dilakukan sebelum
tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Pelaku usaha juga harus memperhatikan jadwal penyetoran PPN karena terdapat
beberapa jenis penyetoran, seperti penyetoran PPN Masa, penyetoran PPN keluaran
yang terutang atas pembelian, dan penyetoran PPN keluaran atas penjualan.
Ketentuan mengenai jenis dan jadwal penyetoran PPN dapat dilihat pada Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporan PPN.
Dalam prakteknya, pelaporan dan penyetoran PPN sangat penting untuk memastikan
ketaatan pelaku usaha terhadap peraturan perpajakan yang berlaku dan
meminimalkan risiko sanksi atau denda akibat pelanggaran perpajakan. Oleh karena
itu, pelaku usaha harus memahami dan mengikuti ketentuan perpajakan yang
berlaku dalam pelaporan dan penyetoran PPN.
Laporan Pajak BU
Laporan pajak badan usaha (BU) adalah laporan keuangan yang digunakan untuk
melaporkan pendapatan dan pengeluaran suatu badan usaha serta perhitungan pajak
yang harus dibayar ke pemerintah. Laporan pajak BU dapat disusun setiap bulan
atau setiap tahun, tergantung pada ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun laporan
pajak BU:
Pada umumnya, laporan pajak BU harus disusun secara cermat dan tepat waktu
untuk memastikan bahwa badan usaha mematuhi ketentuan peraturan perpajakan
yang berlaku dan meminimalkan risiko sanksi atau denda akibat pelanggaran
perpajakan. Oleh karena itu, disarankan bagi badan usaha untuk menggandeng
konsultan pajak atau ahli akuntansi dalam menyusun laporan pajak BU.
Pertemuan ke 4
PPh Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh
orang pribadi atau karyawan dari pemberi kerja atau penghasilan dari penerimaan sewa,
royalty, hadiah, dan sebagainya. Pajak ini dikenakan berdasarkan tarif progresif yang bervariasi
tergantung pada jumlah penghasilan yang diterima.
Pajak penghasilan Pasal 21 merupakan sumber utama penerimaan negara yang berasal dari
pajak penghasilan orang pribadi atau karyawan. Pajak ini dikenakan atas penghasilan dari
pekerjaan atau jasa yang diterima oleh karyawan atau orang pribadi lainnya yang memperoleh
penghasilan dari penggunaan keterampilan, keahlian, atau tenaga mereka.
Tarif PPh Pasal 21 sendiri bervariasi dan tergantung pada jumlah penghasilan karyawan dalam
satu tahun pajak. Tarif PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut:
Pembayaran PPh Pasal 21 biasanya dilakukan oleh pemberi kerja atau pemotong pajak yang
harus memotong pajak sebesar tarif yang berlaku dan menyetor pajak tersebut ke pihak otoritas
pajak. Sedangkan, karyawan atau penerima penghasilan lainnya harus melaporkan penghasilan
yang diterima dalam SPT Tahunan dan membayar sisa pajak yang belum terbayar, jika ada.
Penyetoran PPh Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja atau pemotong pajak yang wajib
memotong pajak penghasilan dari penghasilan karyawan atau penerima penghasilan lainnya
dan menyetorkan pajak tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat.
Berikut adalah langkah-langkah penyetoran PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja atau pemotong
pajak:
1. Hitung Jumlah Pajak Pemberi kerja atau pemotong pajak harus menghitung jumlah pajak
yang harus dipotong dari penghasilan karyawan atau penerima penghasilan lainnya sesuai
dengan tarif yang berlaku.
2. Potong Pajak Pemberi kerja atau pemotong pajak harus memotong pajak yang telah
dihitung dari penghasilan karyawan atau penerima penghasilan lainnya setiap kali
menerima penghasilan.
3. Laporan SPT Masa Setelah memotong pajak, pemberi kerja atau pemotong pajak harus
melaporkan pembayaran PPh Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. SPT Masa
harus disampaikan setiap bulan dengan batas waktu penyerahan paling lambat tanggal 15
bulan berikutnya.
4. Setor Pajak Pemberi kerja atau pemotong pajak harus menyetor pajak yang telah dipotong
ke kas negara melalui bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Setoran
pajak dilakukan pada saat penyampaian SPT Masa.
5. Laporan SPT Tahunan Setelah setiap tahun pajak berakhir, pemberi kerja atau pemotong
pajak harus melaporkan jumlah pajak yang telah dipotong dalam SPT Tahunan. SPT
Tahunan harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
6. Jika terdapat kesalahan dalam pelaporan atau penyetoran pajak, maka pemberi kerja atau
pemotong pajak harus melakukan perbaikan dengan mengajukan surat permohonan
perbaikan SPT kepada DJP.
Perencanaan PPh Pasal 21 adalah suatu upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan pajak
penghasilan pasal 21 dalam rangka mengefektifkan pemotongan pajak dan meminimalkan
risiko ketidakpatuhan pajak. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan PPh
Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Pembukuan PPh Pasal 21 adalah pencatatan secara rinci dan sistematis terkait pemotongan dan
penyetoran PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja atau pemotong pajak. Pembukuan yang baik dan
benar sangat penting dalam menjaga kepatuhan perpajakan, memudahkan pelaporan, dan
mencegah risiko sanksi atau denda dari otoritas pajak. Berikut adalah beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembukuan PPh Pasal 21:
A. Pencatatan Penghasilan Karyawan atau Penerima Penghasilan Lainnya Pemberi kerja atau
pemotong pajak harus mencatat dengan rinci dan sistematis penghasilan karyawan atau
penerima penghasilan lainnya yang terkena PPh Pasal 21, termasuk tanggal, jumlah
penghasilan bruto, pengurangan penghasilan, dan jumlah pajak yang dipotong.
B. Pencatatan SPT Masa SPT Masa adalah surat pemberitahuan yang harus disampaikan oleh
pemberi kerja atau pemotong pajak setiap bulan terkait jumlah pajak yang dipotong dan
disetor ke otoritas pajak. Oleh karena itu, penting untuk mencatat SPT Masa secara rinci
dan akurat.
C. Pencatatan Setoran Pajak Pemberi kerja atau pemotong pajak harus mencatat setiap setoran
pajak yang telah dilakukan. Pencatatan ini mencakup tanggal setoran, jumlah pajak yang
disetor, dan nomor rekening bank yang digunakan untuk menyetor pajak.
D. Pencatatan SPT Tahunan SPT Tahunan adalah laporan akhir tahun yang harus
disampaikan oleh pemberi kerja atau pemotong pajak terkait jumlah pajak yang telah
dipotong selama satu tahun. Oleh karena itu, penting untuk mencatat jumlah pajak yang
telah dipotong selama satu tahun secara rinci dan akurat.
E. Pemisahan Penghasilan Karyawan atau Penerima Penghasilan Lainnya Pemberi kerja atau
pemotong pajak harus memisahkan penghasilan karyawan atau penerima penghasilan
lainnya yang terkena PPh Pasal 21 dari penghasilan lainnya. Pencatatan ini sangat penting
untuk memastikan bahwa pemotongan pajak dilakukan secara tepat dan tidak terjadi
kesalahan atau kekeliruan.
F. Penyimpanan Arsip Pajak Pemberi kerja atau pemotong pajak harus menyimpan semua
dokumen terkait PPh Pasal 21, termasuk bukti potong dan bukti setor, dalam jangka waktu
tertentu. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sistem penyimpanan arsip pajak yang
rapi dan teratur agar mudah diakses dan ditemukan ketika diperlukan oleh otoritas pajak.
Penyajian laporan keuangan terkait PPh Pasal 21 adalah salah satu kewajiban perpajakan bagi
pemberi kerja atau pemotong pajak. Laporan keuangan tersebut berisi informasi tentang jumlah
penghasilan bruto, pengurangan penghasilan, jumlah pajak yang dipotong, dan jumlah pajak
yang disetor ke otoritas pajak.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian laporan keuangan terkait
PPh Pasal 21:
Memahami Ketentuan Perpajakan Pemberi kerja atau pemotong pajak harus memahami
ketentuan perpajakan yang terkait dengan PPh Pasal 21. Hal ini termasuk peraturan
perpajakan terkait penghitungan dan pemotongan pajak, serta kewajiban pelaporan kepada
otoritas pajak.
Menggunakan Sistem Pembukuan yang Tepat Pemberi kerja atau pemotong pajak harus
menggunakan sistem pembukuan yang tepat untuk mencatat transaksi perpajakan,
termasuk pencatatan penghasilan bruto, pengurangan penghasilan, jumlah pajak yang
dipotong, dan jumlah pajak yang disetor. Sistem pembukuan yang baik dan benar akan
memudahkan dalam penyajian laporan keuangan terkait PPh Pasal 21.
Membuat Laporan Keuangan yang Akurat Pemberi kerja atau pemotong pajak harus
membuat laporan keuangan yang akurat dan berisi informasi yang lengkap. Laporan
keuangan tersebut harus mencakup informasi tentang jumlah penghasilan bruto,
pengurangan penghasilan, jumlah pajak yang dipotong, dan jumlah pajak yang disetor ke
otoritas pajak.
Menyajikan Laporan Keuangan dengan Tepat Waktu Pemberi kerja atau pemotong pajak
harus menyajikan laporan keuangan terkait PPh Pasal 21 dengan tepat waktu sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan oleh otoritas pajak. Hal ini akan mencegah terjadinya sanksi
atau denda dari otoritas pajak.
Menggunakan Software Akuntansi yang Tepat Pemberi kerja atau pemotong pajak dapat
menggunakan software akuntansi yang tepat untuk memudahkan dalam pembukuan dan
penyajian laporan keuangan terkait PPh Pasal 21. Software akuntansi dapat membantu
dalam mencatat transaksi perpajakan, menghasilkan laporan keuangan, dan memudahkan
dalam pelaporan kepada otoritas pajak.