Anda di halaman 1dari 6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................... I
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................. II
B. Rumusan Masalah......................................................... III
C. Tujuan Penulisan...........................................................

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat........................................................
B. Pengertian Pandangan Hidup......................................
C. Mengetahui Filsafat dan Pandangan Hidup..............
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................
B. Saran..............................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah fungsinya sebagai suatu pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa.
Filsafat sebagai suatu pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan suatu kenyataan objektif
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia dalam pengertian inilah maka
diistilahkan bahwa bangsa Indonesia sebagai Kausa materialis dari Pancasila. Secara ilmiah
harus disadari bahwa suatu masyarakat suatu bangsa senantiasa memiliki suatu pandangan
hidup atau filsafat hidup masing-masing yang berbeda dengan bangsa lain di dunia. Bangsa
Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan
bangsa Inggris. Misalnya, karena bangsa Inggris ditakdirkan tidak pernah dijajah, sedangkan
bangsa Indonesia beberapa kali dijajah oleh bangsa asing. Sejak zaman dahulu kala bangsa
Indonesia mengakui zat yang mutlak yaitu Tuhan, yang dapat dibuktikan melalui fakta
sejarah misalnya zaman megalitikum ditemukan peninggalan yang berupa menhir, Punden
berundak-undak di pasemah yaitu wilayah antara Palembang dan Jambi, setelah zaman itu di
Muntilan peninggalan candi Borobudur di di Yogyakarta Candi Prambanan, zaman Majapahit
berkembang toleransi agama tantrayana, di Sumatera peninggalan Kerajaan Samudra Pasai
dan lain sebagainya. Kenyataan pandangan hidup yang merupakan filsafat hidup bangsa
Indonesia ini jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan bangsa dalam membentuk
negara.
Manusia dalam menghadapi segala macam problema dalam hidupnya yang harus diselesaikan
berdasarkan sikap dan pandangan hidupnya. Dalam masalah ini manusia harus memiliki
prinsip-prinsip sebagai suatu sikap dan pandangan hidup agar di dalam hidupnya tidak
terombang-ambing. Bagaimanapun sulit dan rumitnya problema dalam hidup manusia
haruslah dihadapi secara mendalam, kritis dan terbuka. Dengan demikian akan
menumbuhkan keseimbangan pribadi ketenangan dan penuh dengan pengendalian diri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu filsafat?
2. Apa itu pandangan hidup
3. Bagaimana filsafat dan pandangan hidup itu?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu filsafat.
2 . Mengetahui apa itu pandangan hidup.
3. Mengetahui apa itu filsafat dan pandangan hidup.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman
praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi filsafat Berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran
(love of Wisdom) orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Harun Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa dengan
wazan (timbangan) fa'lala, dan fa’lalah dan fi'lal. Dengan demikian menurut Harun Nasution
kata benda dari falsafah seharusnya falsafah dan filsafat menurutnya dalam bahasa Indonesia
banyak terpakai kata filsafat padahal bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan dari
kata Inggris filosofi Harun Nasution mempertanyakan Apakah kata fil berasal dari bahasa
Inggris dan Safah diambil dari kata Arab sehingga terjadilah gabungan keduanya yang
kemudian menimbulkan kata filsafat?
Harun Nasution berpendapat bahwa istilah filsafat berasal dari bahasa Arab karena orang
Arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan
bahasa Inggris. Oleh karena itu dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat.
Buku-bukunya mengenai “filsafat” ditulis dengan falsafat seperti falsafat agama dan falsafat
dan mitisisme dalam Islam.
Kendati istilah filsafat yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari bahasa Arab, kata
filsafat sebenarnya bisa diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang di
Indonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid menjadi masjid
dan karamah menjadi keramat. Karena itu, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah
bisa di tolelir. Lagi pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan
pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Permulaan filsafat sejarawan Yunani herodotus (484-424 SM) tampaknya adalah yang
pertama menggunakan kata kerja “berfilsafat”. Dia meminta kue Croesus memberitahu solon
bagaimana dia mendengar bahwa dia “karena hasrat akan pengetahuan, berfilsafat,
melakukan perjalanan melalui banyak negeri”. Kata “berfilsafat” tampaknya menunjukkan
bahwa Solon mengajar pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan itulah yang kita sebut
sebagai penyelidik. Adapun kata “filsuf” (secara etimologis, pecinta kebijaksanaan), suatu
tradisi yang agak tidak dapat diandalkan melacaknya kembali ke Pythagoras (sekitar 528-500
SM). Bagaimanapun, baik kata filsuf dan filsafat digunakan secara bebas dalam tulisan para
murid socrates dan ada kemungkinan bahwa ia adalah orang pertama yang menggunakan
kedua kata itu. Gelar filsuf yang tampaknya sederhana karena secara etimologis itu adalah
bentuk yang sederhana meskipun telah berhasil mendapatkan makna yang sangat berbeda
seiring dengan berlalunya waktu kesederhanaan gelar tersebut secara alami akan menarik
bagi seseorang yang mengaku banyak tidak tahu, seperti socrates, dan Plato menggambarkan
dia membedakan antara pecinta kebijaksanaan dan orang bijak dengan alasan bahwa Hanya
Tuhan saja yang bisa disebut bijak titik sejak tanggal itu hingga sekarang, kata filsuf tetap ada
bersama kita, dan kata itu berarti banyak hal bagi banyak orang. Tetapi selama berabad-abad
rusuk bukan hanya penyelidik juga bukan hanya pecinta kebijaksanaan.
Penyelidikan tentang asal usul kata-kata, Betapapun menarik dalam dirinya sendiri, tidak
dapat banyak memberitahu kita tentang kegunaan kata-kata setelah kata-kata itu muncul. Jika
kita beralih dari etimologi kesejarah dan mengulas kerja keras orang-orang yang dunia Telah
sepakat untuk memanggilnya para filsuf, kita dikejutkan oleh fakta bahwa mereka yang
mengepalai daftar itu secara kronologis tampaknya telah disibukkan dengan spekulasi fisik
yang kasar, dengan upaya-upaya untuk menebak dari apa dunia terbuat, alih-alih dengan
sesuatu yang agak kabur yang kita sebut filsafat saat ini.
Mahasiswa sejarah filsafat biasanya memulai studi mereka dengan spekulasi filsuf Yunani
Thales (lahir 624 SM). Kita diberitahu bahwa dia menganggap Air sebagai prinsip universal
yang darinya semua benda dibuat, dan bahwa dia berpendapat bahwa"semua benda penuh
dengan Dewa." Kita menemukan bahwa anaximander, yang berikutnya dalam daftar itu
menganggap"yang tak terbatas dan tak tentu” sebagai sumber dari mana segala sesuatu
berjalan dan kemana segala sesuatu kembali dan bahwa anaximenes yang mungkin adalah
muridnya menggunakan udara yang meliputi segalanya sebagai prinsipnya.
Akan tetapi rasa penasaran ini hilang ketika orang yang menyadari bahwa kemunculan para
pemikir ini benar-benar merupakan hal penting. Karena orang-orang ini memalingkan wajah
mereka dari cara puitis dan mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu, yang telah sampai
pada zaman mereka, dan mengarahkan wajah mereka ke arah sains. Aristoteles menunjukkan
kepada kita bagaimana Thales mungkin telah terdorong untuk merumuskan tesis utamanya
dengan mengamati fenomena alam. Anaximenes menjelaskan keberadaan api, angin, awan,
air, dan tanah, sebagai akibat kondensasi dan perluasan prinsip universal udara. Keberanian
spekulasi mereka dapat kita Jelaskan karena keberanian yang lahir dari ketidaktahuan tetapi
penjelasan yang mereka tawarkan bersifat ilmiah, setidaknya.
Apalagi orang-orang ini tidak berdiri sendiri titik mereka adalah pengawal terdepan sebuah
pasukan yang perwakilan terbarunya adalah orang-orang yang mencerahkan dunia pada hari
ini. Evolusi sains memakai kata itu dalam arti luas sebagai pengetahuan terorganisir dan
sistematis harus dilacak dalam karya para filsuf Yunani dari Thales ke bawah. Di sini kita
memiliki sumber dan anak sungai kemana kita dapat melacak kembali aliran besar yang
mengalir melewati pintu kita sendiri titik tampaknya tidak penting dalam permulaannya,
evolusi itu pasti untuk sementara waktu tetap tampak tidak signifikan bagi orang yang
mengikuti dengan mata yang tidak reflektif jalannya arus tersebut.
Saya akan melangkah terlalu jauh jika harus memberikan penjelasan tentang aliran-aliran
Yunani yang segera menggantikan aliran lonia untuk menceritakan tentang pythagoras, yang
berpendapat bahwa segala sesuatu dibentuk oleh angka-angka tentang orang-orang eleatik,
yang berpendapat bahwa " satu-satunya wujud adalah ", dan menyangkal kemungkinan
perubahan, dengan demikian mereduksi pergeseran panorama segala sesuatu di sekitar kita ke
dunia penampakan yang khayal tentang heraclitus, yang begitu terkesan dengan perubahan
yang terus-menerus sehingga ia menyimpulkan pandangannya tentang alam dalam kata-kata "
semuanya mengalir " tentang Empedocles, yang menemukan penjelasannya tentang dunia
dalam kombinasi 4 elemen yang sejak itu menjadi tradisional, yakni bumi, air, api, dan udara
tentang democritus yang mengembangkan atomisme materialistis yang mengingatkan kuat
pada doktrin atom seperti yang telah muncul dalam sains modern anaxagoras, yang
menelusuri sistem benda-benda ke pengaturan dalam tatanan suatu multiplisitas tak terbatas
unsur-unsur yang berbeda "benih segala sesuatu," yang pengaturannya dalam tatanan
disebabkan oleh aktivitas benda terbaik, pikiran.
Sangat menyenangkan menemukan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan yang datang ke
benak orang-orang ini dan, di sisi lain, lucu melihat betapa cerobohnya mereka meluncurkan
diri di laut Tanpa Batas ketika mereka tidak dilengkapi dengan bagian dan Kompas. Mereka
seperti anak-anak cerdas, yang hanya tahu sedikit tentang bahaya dunia besar tetapi siap
melakukan apapun. Pada filosofi ini menganggap semua pengetahuan sebagai wilayah
mereka, dan tidak putus asa dalam mengatur Sebuah bidang yang begitu besar. Mereka siap
menjelaskan seluruh dunia dan segala isinya Tentu saja Ini hanya dapat berarti bahwa mereka
memiliki sedikit konsepsi tentang seberapa banyak yang harus dijelaskan dan Apa yang
dimaksud dengan penjelasan ilmiah. Merupakan ciri khas dari seri para filsuf ini bahwa
perhatian mereka diarahkan terutama pada dunia luar. Wajar kalau memang begitu. Baik
dalam sejarah ras dan sejarah individu, kita menemukan bahwa perhatian pertama-tama disita
oleh hal-hal materi, dan bahwa itu jauh sebelum konsepsi yang jelas tentang pikiran dan
pengetahuannya tercapai. Pengamatan mendahului refleksi. Ketika kita mulai berpikir pasti
tentang pikiran kita semua cenderung memanfaatkan gagasan yang telah kita peroleh dari
pengalaman kita tentang hal-hal eksternal. Kata-kata yang kita gunakan untuk menunjukkan
operasi mental dalam banyak kasus diambil dari dunia luar ini. Kita "mengarahkan" perhatian
kita berbicara tentang "pemahaman," tentang "konsepsi," tentang "intuisi," pengetahuan kita
"jelas" atau "tidak jelas" orasinya "Brilian" emosinya "manis" atau "pahit." Betapa
mengherankannya, ketika kita membaca fragmen-fragmen yang sampai kepada kita dari pada
filsuf Pea-Sokrates, kita akan dikejutkan oleh fakta bahwa mereka kadang-kadang
meninggalkan semuanya dan kadang-kadang menyentuh sedikit pada beberapa hal yang hari
ini kita anggap secara khusus berada dalam wilayah filsuf. Mereka menimbulkan diri dengan
dunia seperti yang mereka lihat, dan hal-hal tertentu belum datang dengan pasti di Cakrawala
mereka.
2. Pandangan Hidup
Manusia dalam menghadapi segala macam problema dalam hidupnya yang harus
diselesaikan berdasarkan sikap dan pandangan hidupnya. Pengetahuan tentang hidup sehari-
hari tak dapat digambarkan lepas dari bahasa. Dalam setiap kata dilahirkan sesuatu rasa
heran. Dalam kata-kata manusia barang-barang dan peristiwa-peristiwa memperoleh
bentuknya yang dinamis yang tak pernah bulat selesai, yaitu selama suara manusia meraba-
raba dan memeteraikan barang-barang, selama mulut kanak-kanak berulang kembali
mengumandangkan penemuan-penemuan bahasa. Menurut Wilhelm von Humboldt, ahli pikir
terkenal mengenai hakikat kata dan bahasa, Maka manusia baru menjadi manusia sepenuhnya
karena bahasanya. Baru di dalam bahasa manusia menjadi sadar mengenai dunianya. Bahasa
lain dan lebih tinggi daripada jeritan seekor binatang atau pun isyarat semata-mata. Dalam
bahasa dirangkum dan sekaligus dibuka sesuatu. Bahasa selalu berkaitan dengan kenyataan
yang mau diberi arti. Hal-hal sekitar kita baru memperoleh wajahnya bila kita dapat
memberinya sebuah nama dan baru setelah itu terjadi kita dapat bermukim di tengah-
tengahnya dengan tenang. Lewat kata kenyataan menjadi dunia kita. Manusia tidak dapat
langsung menghubungi dunia, seperti sebuah lock langsung dapat dihubungkan dengan
sebuah gerbong, atau seperti hewan yang terdorong oleh nalurinya tahu apa yang harus ia
perbuat. Manusia membutuhkan lambang bahasa, kata. Dengan kata-kata yang diucapkannya
manusia memberi nama kepada barang-barang, yang julukannya serta menafsirkannya. Hidup
dengan sadar, berpikir, menjalani hidup ini sebagai seorang makhluk rohani, itu semuanya
dapat dilakukan manusia bila ia lewat bahasa mengungkapkan sesuatu tentang kenyataan, bila
ia menanggapi kenyataan tadi Dengan mengatakan sesuatu. Bagi manusia macam-macam hal
ihwal dan peristiwa tidak dapat diterima demikian saja seperti diperbuat oleh hewan lewat
lewat bahasa hal itu disuarakannya dijadikan bersuara.
Maka apabila kita bicara tentang pandangan dunia Jawa seharusnya kita tidak hanya
berbicara tentang agama (salam arti sempit Barat) dan mitos, melainkan juga tentang
menanam padi dan perayaan panenan, tentang kehidupan keluarga dan seni tari-tarian tentang
mistik dan susunan desa. Berikut ini saya terpaksa membatasi diri pada beberapa unsur saja
yang saya anggap paling penting. Akhirnya perlu diperhatikan bahwa “pandangan dunia
jawa” bukanlah suatu pandangan dunia dengan ciri-ciri dan batas-batas yang pasti melainkan
suatu penghayatan yang terungkap dalam sebagai lapisan masyarakat dalam wujud-wujud
dan dengan nada yang berbeda-beda. Jadi kita sebetulnya juga bisa bicara tentang pandangan-
pandangan dunia Jawa. Namun pertama, ciri umum pandangan dunia Jawa yang tadi saya
berikan berlaku bagi semua untuk itu. Dan kedua semua unsur itu berada dalam suatu
kesinambungan yang koheren dengan batas-batas diantaranya yang tidak jelas. Jadi ungkapan
yang berbeda itu tidak saling mengecualikan. Berbeda dengan Clifford Geertz yang secara
provokatif menyebut pandangan dunia Jawa sebagai agama Jawa yang kemudian diterangkan
sebagai agama Abangan Abang santri, dan agama priyayi, menurut lapisan-lapisan dalam
masyarakat, saya sendiri Berikut ini akan membedakan empat titik berat atau lingkaran
bermakna dalam “pandangan dunia jawa”.
Lingkaran pertama lebih bersifat ekstrovert intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang
dialami sebagai kesatuan nunus antara alam, masyarakat dan alam adikodrati berarti yang
keramat, yang dilaksanakan dalam meritus, tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin
sendiri, wujud ini lebih kuat di desa dan dalam lapisan masyarakat yang tidak bersastra;
Clifford Geertz telah menggambarkannya sebagai agama Abangan lingkaran kedua memuat
penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam no minus, suatu segi yang oleh
Clifford Geertz agak dikesampingkan, barangkali karena segi ini dalam lingkungan yang
diselidikinya di Jawa Timur sudah tidak memainkan peranan lagi namun pandangan itu
rasanya tetap cukup berpengaruh sebagaimana terutama diperlihatkan oleh Anderson.
Lingkaran ketiga berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan
dengan yang no minus. Disini unsur-unsur dari lingkungan pertama “diterjemahkan” ke
dalam dimensi pengalaman kebatinan sendiri dan sebaliknya alam lahir disebut struktur
dengan bertolak dari dimensi batin. Lingkungan itu oleh Clifford Geertz digambarkan sebagai
agama priyayi. Puncak wujud ini adalah usaha untuk mencapai pengalaman mistik.
Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran pengalaman oleh yang Ilahi, oleh
takdir.
Dalam lingkaran pertama pandangan dunia Jawa dunia luar dihayati sebagai lingkungan
kehidupan individu yang homogen di dalamnya yang menjamin keselamatannya dengan
menempatkan diri dalam keselarasan terhadap dunia itu. Dunia itu terlebih-lebih adalah dunia
petani tetapi juga pada umumnya dunia orang sederhana yang jika pun tinggal di kota besar
biasanya masih mempunyai hubungan erat ke daerah. Ciri-ciri pandangan dunia ini ialah
penghayatan terhadap masyarakat, alam dan alam Adi kodrati sebagai kesatuan yang tak
terpecah belah. Dari kelakuan yang tepat terhadap kesatuan itu tergantung keselamatan
manusia.

Anda mungkin juga menyukai