Anda di halaman 1dari 31

FISOTERAPI

PADA
STROKE

OLEH : TIMBUL SIAHAAN DIP.PT

1
NORMALISASI TONUS POSTURAL DAN MENGAJAR PASIEN BERGERAK SECARA SELEKTIF
TANPA MENGELUARKAN TENAGA SECARA BERLEBIHAN

Salah satu tugas yang sangat penting dan sulit dari fisioterapis ialah
menormalkan tonus otot pasien stroke, dimana ini tidak boleh terlalu rendah juga terlalu
tinggi. Bagaimana cara pasien bergerak dan posisi pasien sangat mempengaruhi tonus otot.
Oleh karenanya sejak awal pengobatan pasien harus mendapat bimbingan dan bantuan
secukupnya, sehingga spastisitas dapat dikurangi semaksimal mungkin dan pola gerakan
yang abnormal tidak menjadi kebiasaan. Selama pengobatan, prinsip-prinsip fasilitasi harus
diikuti, setelah tonus dibuat senormal mungkin. Setelah itu latih gerakan-gerakan selektif
yang fungsional.

1. Aktifitas dalam posisi Lying.


1.1. Inhibisi spastisitas ekstensor ekstremitas inferior.

Pasien tidur terlentang dengan kedua tungkai bawah ditekuk dan tangan pasien melingkar
di lututnya. Kepala diangkat dari bantal, pasien bergoyang perlahan-lahan menjadi lebih
fleksi dan kembali. Gerakan ini mengurangi spastisitas ektensor dari tungkai bawah dan
secara simultan membawa scapula dalam posisi protraksi dimana ini akan menginhibisi
spastisitas fleksor dari lengan. Angkat tangan yang terlipat dari knee dan pasien disuruh
mempertahankan kedua tungkai tetap dalam posisi fleksi, dan kemudian secara aktif pasien
disuruh memfleksikan kedua tungkainya. Aktifitas yang sama dapat dilakukan dengan hanya
memegang tungkai yang lemah, sedangkan tungkai yang lain terletak flat diatas tempat
tidur.

Gambar:

1.2. Mengontrol Tungkai bawah.

Terapis memegang kaki pasien dalam posisi dorsi fleksi dan pronasi dengan tungkai
difleksikan. Terapis membimbing tungkai kearah ekstensi, dan pasien mempertahankan
beban kaki secara aktif, hindarkan pengaruh gerakan mass sinergis. Pasien disuruh

2
mempertahankan posisi tungkai dalam posisi fleksi tanpa abduksi dan eksternal rotasi pada
hip, dan pada saat pasien menggerakkan tungkai kearah tempat tidur, dia disuruh
mencegah kaki terdorong ke adduksi dan internal rotasi. Aktifitas ini dilatih hingga pasien
dapat mengontrol kakinya dengan baik.

Gambar:

1.3. Menempatkan tungkai dalam berbagai macam posisi.

Terapis menempatkan tungkai pasien dalam berbagai macam posisi dan pasien disuruh
mempertahankannya. Pada mulanya hip dan knee masih dalam posisi full fleksi dan kaki
masih terletak diatas tempat tidur. Jika control tungkai makin meningkat, maka latihan
dapat lebih diperberat. Perhatikan fungsi gerakan yang penting yaitu fleksi hip dengan
internal rotasi dan adduksi. Juga fleksi hip dengan knee dalam berbagai macam derajat
ekstensi.

1.4. Inhibisi ekstensi knee dengan hip ekstensi.

Tungkai yang lemah diletakkan tergantung ditepi bed dengan knee fleksi. Terapis
menginhibisi plantar fleksi secara penuh dengan mengangkat jari-jari kaki full dorsi fleksi
dengan jari tangannya dan memberikan counter pressure dengan ibu jarinya pada daerah
tarsal. Pada saat yang bersamaan terapis mendorong knee kearah fleksi sehingga semua
tahanan yang melawan gerakan menghilang (gbr.a). Pasien kemudian mengangkat kakinya
keatas bed secara aktif (gbr.b). Apabila diperlukan terapis dapat membantu dengan
memegang knee pasien. Pasien kemudian disuruh menurunkan kembali kakinya dengan
mempertahankan knee tetap dalam posisi fleksi. Kemampuan melakukan fleksi knee pada
saat hip dalam posisi ekstensi sangat diperlukan untuk memulai fase Swing dalam latihan
berjalan. Aktifitas ini juga memampukan pasien mengangkat kakinya ketepi tempat tidur
sebelum dia duduk.

Gambar: a
&b

3
1.5. Kontrol aktif hip.

Pasien tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk. Pasien menggerakkan lutut yang lemah
menjauh dari yang sehat, sedangkan lutut yang sehat dijaga tetap tegak. Gerakan dilakukan
secara halus dan diberhentikan pada titik-titik tertentu yang ditetapkan terapis. Jaga kaki
tidak jatuh kearah abduksi. Pasien dapat melatih kebalikannya. Knee yang lemah dijaga
tetap diam, sedangkan lutut yang sehat digerakkan menjauh.

1.6. Bridging (selektif ekstensi hip).

Pasien disuruh mengangkat pantat, sedangkan terapis memfasilitasi dengan satu tangan
memegang paha yang lemah dan menekan lutut kebawah, sedangkan tangan yang lain
memberikan tapping pada gluteal yang lemah untuk merangsang aktifitasnya (gbr.a). Pasien
kemudian disuruh mengangkat kaki yang sehat sehingga berat badan tersangga sepenuhnya
pada tungkai yang sakit (gbr.b). Pasien disuruh mempertahankan perlvis tetap satu level
dengan yang sehat. Terapis kemudian mengurangi bantuannya dan pasien mengontrol
gerakannya dengan tidak membiarkan knee terdorong keposisi ekstensi atau jatuh
kesamping. Jika control makin baik, maka pasien disuruh mengangkat dan menurunkan
pinggul dengan tumpuan hanya pada tungkai yang lemah. Apabila pasien sudah dapat
melakukan gerakan ini dengan baik, maka dia akan sanggup mencegah knee terkunci
saat dia berjalan. Selama aktifitas bridging, makin jauh kaki diletakkan makin besar aktifitas
selektif yang diperlukan untuk mempertahankan fleksi knee.

Gambar:

a&b

1.7. Isolasi ekstensi knee.

Pasien tidur terlentang dengan kaki ditahan dalam


posisi full dorsi fleksi oleh tubuh terapis, pasien
disuruh melakukan gerakan static kontraksi
ekstensor knee. Terapis merangsang aktifitas
tersebut dan meminta pasien untuk tidak
mendorongkan kaki atau jari-jari kaki ketubuhnya.
Untuk memudahkan pasien, mula-mula suruh pasien

4
melakukannya pada tungkai yang sehat dulu. Atau dapat juga dengan mengizinkan pasien
memfleksikan lutut sedikit, baru melakukan gerakan static kontraksi. Tetapi apabila pasien
sudah dapat mengontrol gerakan ini, pasien tidak boleh melakukan gerakan knee sama
sekali. Latihan ini akan memampukan pasien untuk berdiri tanpa menekankan kaki
keplantar fleksi. Aktifitas ini juga menghambat spastisitas pada calf muscle, dan dapat juga
digunakan sebelum kita melatih gerakan dorsi fleksi kaki.

1.8. Merangsang aktifitas dorsi fleksi kaki dan jari-jari kaki.

Gerakan dorsi fleksi paling mudah dirangsang pada


saat pasien dalam posisi lying dengan tungkai
difleksikan dan kaki tersangga diatas bed. Pada posisi
lying, spastisitas ekstensor tungkai bawah berkurang
karena tidak dipakai untuk tegak melawan gravitasi.
Pasien disuruh melakukan gerakan dorsi fleksi tepat
hanya mengangkat jari-jari kakinya saja, kemudian
turun kembali. Pasien tidak boleh melakukannya
dengan sekuat tenaga, karena ini dapat merangsang
antagonisnya atau menarik kaki kearah supinasi.
Untuk memudahkan pasien disuruh menggerakkan kaki yang sehat dulu. Untuk
menginhibisi otot antagonis sebelum melakukan gerakan tersebut diatas, terapis memegang
erat kaki pasien dari depan ankle dan menggerakkannya dari adduksi ke abduksi sehingga
kaki dipronasikan. Gerakan ini membebaskan tarikan otot kearah supinasi dan merileksasi
otot-otot kecil dikaki. Terapis kemudian menekan ankle dari depan dengan menggunakan
web antara jari jempol dan telunjuk, sedangkan tangan lain mengangkat jari-jari kaki / kaki
full dorsi fleksi dan pronasi. Pada saat tidak ada lagi tahanan pada kaki, terapis merangsang
dorsi fleksi dengan partisipasi aktif dari pasien. Terapis dapat juga menggunakan rangsangan
yang dapat menimbulkan dorsi fleksi dalam pola normal tanpa supinasi. Rangsangan
tersebut antara lain:

 Mengusap ujung jari-jari kaki dengan es, atau mendorong es diantara jari kaki
terluar.
 Mengusap ujung jari-jari kaki atau bagian dorsumnya dengan sikat botol.
 Mentapping dorsolateral kaki dengan sikat botol.

Kadang-kadang kaki direndam air es terlebih dahulu sebelum diusap dengan sikat botol.
Apabila sudah memungkinkan, pasien disuruh menggerakkan kakinya sendiri secara aktif
dan terapis mengurangi rangsangan. Prosedur diatas juga dilakukan dengan posisi
pasien duduk. Apabila pasien sudah dapat mendorsifleksikan kakinya secara aktif tanpa
supinasi, berarti pasien tidak perlu alat bantu untuk kakinya, sehingga latihan tersebut
diatas sangat penting.

5
Gambar:

2. Aktifitas dalam posisi duduk.

2.1. Isolasi ekstensi dan fleksi pelvis.

Pasien hampir selalu duduk dengan hip ekstensi dan fleksi spine sebagai kompensasinya
(gbr.a). Akibatnya aktifitas seperti bangkit berdiri dari posisi duduk menjadi terhambat dan
pasien melengkungkan badannya untuk membawa berat badan kedepan. Duduk dengan hip
ekstensi dalam waktu yang lama akan meningkatkan tonus ekstensor seluruh tungkai bawah
membuat fungsinya menjadi lebih terganggu. Oleh karenanya kita harus mengkoreksi postur
tubuh mulai dari dasar dengan menolong pasien mengkoreksi posisi pelvisnya. Terapis
berdiri atau berlutut didepan pasien , dengan satu tangan pada lumbalnya terapis
membantu pasien mengekstensikannya dengan trunk vertical terhadap pelvis. Dengan satu
tangan terapis membantu pasien mempertahankan shoulder tetap diam, sambil pasien
memfleksikan lumbal dan mengekstesikan kembali(gbr.b). Untuk memudahkan pasien
mengerti, kita dapat menyuruh pasien mendorong pusar kedepan dan belakang. Gerakan
harus makin selektif hingga tidak terjadi gerakan tambahan pada upper trunk. Tergantung
problem pasien, terapis mempertahankan knee pasien saling bertemu atau saling menjauh.
Gerakan trunk ini akan mengurangi spastisias disekitar hip dan knee.

Gambar:

a&b

2.2. Memfasilitasi gerakan tungkai yang lemah menyilang diatas tungkai yang sehat.

Terapis memfasilitasi gerakan menyilangkan tungkai yang lemah ke atas tungkai yang sehat
dengan satu tangan mempertahankan jari-jari kaki pasien dalam dorsi fleksi dan dengan
tangan yang lain menolong pasien mengangkat tungkainya tanpa eksternal rotasi dan
abduksi dari hipnya. Pasien kemudian disuruh mencoba mengembalikan tungkainya ketanah
secara perlahan-lahan. Pertahankan postur tubuhnya tetap tegak, jangan bersandar

6
kebelakang atau meretraksi sisi tubuh yang lemah. Latihan ini diperlukan untuk aktifitas
memakai celana atau memasang kaus kaki. Pasien melakukan latihan ini tanpa dibantu
tangan yang sehat dan tanpa meluncurkan tumit yang sehat pada lantai.

Gambar:

A&b

2.3. Menjejakkan tumit ke lantai.

Pada saat tumit pasien dijejakkan ke lantai, akan terbangun tonus otot ekstensor knee dan
akan menstimulisasi dorsi fleksi dari kaki. Dia juga akan lebih dapat merasakan tumitnya
pada lantai. Aktifitas ini sangat baik sebagai persiapan untuk berdiri dan mebebankan berat
badan pada tungkai yang lemah yang mengalami hipotonus dan sensasi yang buruk. Terapis
dengan satu tangan memegang jari-jari kaki dan kaki dalam full dorsifleksi dan tangan yang
lain diletakkan diatas lutut. Terapis mengangkat tungkai pasien dengan tetap
mempertahankan kaki dalam posisi full dorsifleksi dan menjejakkan tumit pada lantai
(gbr.a). Hindarkan tonjolan metatarso-palangeal joint kontak dengan lantai. Pasien dapat
berpartisipasi melakukan gerakan ini secara aktif karena ini juga akan memfasilitasi gerakan
selektif ekstensi hip dengan knee fleksi. Jika pasien kurang dapat merasakan tumitnya pada
lantai, terapis dapat menggesekkan tumit pasien pada lantai kearah belakang. Terapis
mempertahankan kaki tetap dalam posisi full dorsifleksi dan dengan web antara ibu jari dan
jari telunjuk mendorong ankle pasien kebelakang. Tangan yang lain mempertahankan jari-
jari kaki full dorsifleksi (gbr.b).

7
Gambar:

a&b

2.4. Menumpukan berat badan dengan selektif ekstensi.

Apabila lower extremities pasien sudah dipersiapkan dengan baik untuk mulai menumpukan
berat badan, maka pasien harus dilatih bangkit berdiri dengan menggunakan pola gerakan
yang normal. Banyak pasien dilatih dengan cara yang kurang tepat, yaitu bangkit dengan
menekankan tangan yang sehat sehingga sehingga sisi yang sehat yang lebih banyak
menumpu berat badan, sedangkan sisi yang sakit dalam posisi pola ekstensi total. Beban
tubuh ditarik terlalu jauh kebelakang, aktifitas dilakukan dengan bersusah payah dan
menghasilkan postur asimetris yang merangsang pola spastic.

Duduk dengan kaki flat dilantai, pasien meletakkan tangan yang dilipat diatas stool
didepannya. Stool diposisikan sedemikian rupa sehingga pada saat tangan diletakkan
diatasnya, elbow dalam posisi ekstensi. Kepala dijulurkan kedepan melewati kakinya untuk
menjamin terjadinya pola gerakan yang normal pada saat bangkit berdiri. Terapis
membimbing dengan satu tangan memegang knee pasien yang lemah dan menarik kedepan
melewati kaki,sedangkan tangan yang lain membantu pasien bangkit berdiri dengan
memegang trochanter sisi yang berlawanan. Terapis menahan scapula pasien dengan
dadanya untuk mencegah pasien terdorong kembali kebelakang (gbr.a). Pasien disuruh
mempertahankan posisi tersebut saat terapis melepaskan bantuannya dan berlatih
menggerakkan hipnya dari sisi yang satu kesisi yang lain. Apabila pasien sudah dapat
melakukannya dengan baik, maka latihan tersebut diatas dilakukan dengan kedua telapak
tangan diletakkan di stool (gbr.b). Akhirnya pasien disuruh berdiri tanpa bantuan stool
(gbr.c).

8
Gambar: a, b, c.

Pasien biasanya akan menggunakan total ekstensi sinergis ekstremitas bawah pada
saat bangkit berdiri. Tungkai yang lemah akan adduksi, internal rotasi, dan mungkin tumit
dijinjitkan. Terapis mengkoreksi dengan berlutut didepan pasien. Terapis memegang kedua
knee dan menariknya kedepan sambil menjauhkannya satu sama lain. Secara perlahan-
lahan bantuan dilepas dan pasien disuruh merasakan posisi yang benar.

Pada saat berdiri pasien disuruh mempertahankan hip dalam ekstensi, abduksi,
eksternal rotasi, dan menekuk knee sejauh mungkin tanpa jinjit. Untuk peningkatan pasien
dapat jongkok keposisi squat atau duduk ke kursi yang lebih rendah.

Gambar: a, b

3. Aktifitas dalam posisi berdiri untuk melatih menumpukan berat badan ke tungkai
yang lemah.

3.1. Meningkatkan ekstensi hip dengan eksternal rotasi.

9
Pasien berdiri pada tungkai yang lemah dan menempatkan kaki yang sehat ke depan dan
belakangnya.

Gambar:

A&B

3.2. Berdiri dengan jari-jari kaki yang lemah diganjal gulungan bandage untuk
mempetahankan dorsi fleksi.

Pasien berdiri dengan jari-jari kaki yang lemah


diganjal gulungan bandage, sedangkan kaki yang
sehat tergantung diudara, kemudian pasien disuruh
menekuk dan meluruskan lutut yang lemah tanpa
ada sentakan kebelakang. Terapis mempertahankan
posisi pelvis yang baik dengan memegang crista
iliacanya. Latihan ini sangat berguna untuk
menginhibisi Clawing Toes, dan plantar fleksor kaki
dengan sangat efektif sehingga seringkali setelah
itu dapat untuk merangsang dorsifleksi. Cara ini
juga baik untuk mencegah pemendekan dari
archiles tendon.

Pasien yang mengalami gangguan sensasi dari tungkainya


yang lemah harus dilatih merasakan tumpuan berat badan
pada tungkainya yang lemah dan belajar mengembalikannya
sendiri. Pada mulanya terapis harus memfasilitasi dengan
memberikan total support. Terapis berdiri disamping tubuh
pasien yang lemah, dan mengepit kedua knee pasien dengan
kedua kneenya. Dengan kedua tangan memeluk pasien,
terapis menarik badan pasien kearah dirinya dan menyuruh
pasien mengangkat kakinya yang sehat. Terapis kemudian

10
menggerakkan knee pasien yang dikepitnya dalam fleksi dan ekstensi dengan cara
mengadduksi dan mengaabduksikan lututnya secara bergantian. Pada saat terapis
merasakan pasien sudah mulai dapat melakukannya sendiri, secara perlahan-lahan terapis
melepaskan supportnya dan secara verbal memerintah pasien untuk melakukannya sendiri
dengan benar.

3.3. Turun dari bed yang tinggi pada tungkai yang lemah.

Pasien disuruh bergerak ketepi bed dan meletakkan kakinya


yang lemah flat pada lantai dengan tungkai eksternal rotasi.
Terapis membimbing kakinya kelantai dan memegang jari-
jari dan kakinya dalam dorsifleksi. Pasien mengekstensi dan
memfleksikan kneenya secara selektif. Pasien
mengekstensikan kneenya sejauh mungkin, tapi jangan
sampai tersentak kebelakang dan terjadi claw toes. Pasien
menurunkan tungkai yang sehat dari bed dan berdiri dengan
knee yang lemah sedikit fleksi. Dia kemudian mengangkat
tungkai yang sehat dan merotasikan pelvisnya untuk duduk
kembali pada bed. Aktifitas ini berguna karena meminta gerakan ekstensi dari hip yang
lemah secara independen dari komponen rotasi.

3.4. Naik tangga dengan kaki yang lemah.

Pasien seringkali mengalami kesulitan membebani tungkai


yang lemah tanpa memfiksasinya pada suatu posisi tertentu.
Untuk memberi pasien perasaan mobilitas saat menumpu
berat badan, kaki yang lemah diletakkan ditangga dan
kemudian naik keatas mengangkat kakinya yang sehat.
Pasien kembali menurunkan kaki yang sehat secara perlahan-
lahan. Tinggi dari tangga dapat disesuaikan apabila
kemampuan pasien meningkat. Terapis menolong pasien
menempatkan kakinya dengan benar ditangga. Satu tangan
terapis diletakkan diatas knee yang lemah dan menariknya
kedepan pada kaki yang lemah. Dengan salah satu pelvisnya
terapis memfasilitasi ekstensi hip yang lemah. Dengan tangan
yang lain pada hip yang berlawanan, terapis menggunakan
lengan dan shouldernya membawa trunk pasien kedepan.
Pasien mengurangi bantuannya sampai pasien dapat
melakukannya sendiri.

11
4. Aktifitas pada posisi berdiri untuk melatih gerakan tungkai yang lemah secara
selektif.

Pasien seringkali mengalami kesulitan pada saat dia melangkahkan tungkai yang lemah, dan
seringkali dibawa kedepan tanpa memfleksikan hip dan kneenya. Pasien mengangkat
pelvisnya seolah-olah memakai long leg brace. Yang lain mengangkat tungkai yang lemah
dengan pola total fleksi dengan mensupinasikan kakinya. Banyak pasien tidak dapat
memindahkan berat badan dengan benar ke tungkai yang sehat, dan berusaha
menggerakkan tungkai yang lemah pada saat masih menjejakkan sebagian beban ke tungkai
yang lemah.

4.1. Releasing hip dan knee.

Pasien berdiri dengan kedua kaki berdampingan dan membiarkan knee dan hip rileks dan
jatuh kearah depan. Pelvis dirilekskan juga kearah bawah dan depan pada saat yang
bersamaan. Terapis berlutut didepan pasien, memfasilitasi gerakan dengan satu tangan
membimbing pelvis ke arah depan dan bawah, dan tangan yang lain menarik knee kedepan
dari depan (gbr.a). Aktifitas yang sama dilakukan dengan kaki yang lemah diletakkan
dibelakang seolah-olah hendak melangkah. Gerakan ini lebih sulit karena hip yang lemah
dalam posisi ekstensi dimana ini akan menambah spastisitas ekstensor seluruh tungkai.
Sekarang, pada saat hip dan knee jatuh kearah depan, tumit harus terangkat dari lantai, dan
terapis membantu mencegah kaki mendorong kearah inverse, dengan meminta pasien
membiarkan tumit jatuh
kearah dalam (gbr.b). Jika
knee fleksi, tungkai cenderung
diabduksikan dalam pola total
fleksi dan pasien mencoba
membiarkan kneenya rileks
kearah knee yang lain. Karena
koordinasi masih sulit,
kebanyakan pasien
membengkokkan kedua
lututnya dengan maksud
membuat agar knee yang
lemah fleksi. Jika pasien tidak
dapat mencegah fleksi kedua
lutut tersebut secara bersamaan, maka terapis dapat duduk distool dan mengeblok lutut
yang sehat dengan lututnya. Pada saat dia merasa tungkai pasien yang sehat mulai dapat
tetap ekstensi, maka secara bertahap support dikurangi.

Gambar: a , b, c

4.2. Melangkahkan tungkai yang lemah


kebelakang.

12
Kemampuan berjalan mundur kebelakang diperlukan untuk banyak fungsi, sebagai contoh
untuk duduk dibangku. Gerakan mundur juga merupakan mekanisme keseimbangan
protektif. Latihan gerakan ini akan memampukan pasien menggerakkan tungkainya secara
selektif, sambil memindahkan berat badan secara penuh ketungkai yang sehat. Dan ini juga
akan meningkatkan kemampuannya untuk melangkah kedepan. Pasien berdiri dengan berat
badan dibebankan kesisi yang sehat dan melangkahkan kaki yang lemah kebelakang. Terapis
berlutut disamping sisi yang lemah dan dengan satu tangan memegang crista iliaca untuk
mencegah pasien mengangkat pelvisnya keatas pada saat pasien mencoba menggerakkan
tungkainya kebelakang dengan pola total ekstensi. Dengan tangan yang lain terapis
memegang jari-jari dan kaki pasien dalam dorsifleksi dan memfasilitasi gerakan normal
melangkah kebelakang (knee secara aktif difleksikan dengan hip ekstensi). Pasien belajar
melangkah kebelakang dengan step yang pendek secara bergantian. Apabila pasien sudah
dapat melangkah kebelakang secara otomatis, maka terapis dapat memfasilitasi dengan
meletakkan tangannya pada kedua sisi pelvisnya. Terapis juga dapat melatih pasien
melangkah kedepan dengan cara, pada saat kaki yang lemah berada dibelakang, terapis
menyuruh pasien stop melangkah dengan kaki yang lemah tidak menekan lantai. Terapis
membimbing gerakan tungkai yang lemah kedepan seperti pendulum seperti pola jalan yang
normal.

Gambar: a & b

4.3. Placing tungkai yang lemah.

Agar supaya pasien dapat melangkahkan tungkai yang lemah kedepan, pasien harus
sanggup berdiri pada tungkai yang sehat tanpa melibatkan tungkai yang sakit untuk
mempertahankan keseimbangan. Pasien berdiri pada tungkai yang sehat sambil
mempertahankan keseimbangannya, dan membiarkan terapis menggerakkan tungkai yang
lemah diudara (gbr.a). Pasien berusaha menahan kakinya secara aktif pada saat terapis
meletakkan kakinya kelantai tanpa menekan lantai. Placing dalam posisi berdiri sangat susah
karena pasien harus menjaga tetap tegak melawan gravitasi. Dan ini akan meningkatkan
tonus ekstensor tungkai. Spastisitas ekstensor seluruh tungkai akan lebih bertambah lagi
pada saat hip diekstensikan. Untuk menginhibisi spastisitas dan juga memberikan
kemampuan pasien berdiri diatas kaki yang sehat dengan mudah, terapis memfleksikan

13
lutut pasien dan mengkepitnya diantara kedua lutut terapis (gbr.b). Terapis menyuruh
pasien mempertahankan pelvisnya dalam satu level dan membiarkan lututnya rileks kearah
lutut yang lain. Pada saat terapis merasa tidak ada lagi tarikan kearah fleksi atau dorongan
kearah ekstensi, dia menurunkan kaki pasien perlahan-lahan kelantai. Pasien berkonsentrasi
untuk tidak mendorong, dan mencoba membiarkan kakinya terletak dilantai dibelakangnya.

Gambar:

A,b.c

4.4. Membiarkan tungkai yang lemah ditarik kedepan secara pasif.

Kaki pasien yang lemah diletakkan pada bandage yang lebar,


sambil mencoba menginhibisi aktifitas seluruh tungkai,
terapis menarik kaki pasien kedepan dengan bandage.
Gerakan ini ialah fase swing dari berjalan dan meningkatkan
release dari hip dan knee dibelakang, ekstensi knee didepan.
Karena pasien mencoba tetap inaktif, kaki tidak tertarik
dalam supinasi oleh adanya overaktif m.tibialis anterior.
Rileksasi semacam ini diperlukan untuk fase swing. Pada
permulaan latihan, pasien boleh berpegangan, tetapi
selanjutnya harus bisa mempertahankan rileksasi dengan
tanpa pegangan.

4.5. Berjalan sepanjang garis dengan tungkai yang lemah eksternal rotasi.

Pasien mencoba berjalan dengan hanya kedua tumit menyentuh suatu garis atau bandage
yang digelar. Eksternal rotasi tungkai yang sehat meningkatkan selektif ekstensi dari hip
yang lemah selama fase stance. Fase swing juga mengikuti menjadi lebih selektif.

14
Melatih kembali reaksi keseimbangan dalam posisi duduk dan berdiri.

Kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai macam posisi


merupakan dasar dari peningkatan skill gerakan dari penderita stroke. Oleh karena itu
latihan keseimbangan harus dilatih sesegera mungkin.

1. Aktifitas dalam posisi duduk.

Melatih keseimbangan dalam posisi duduk mula-mula dilakukan dengan kaki tidak
tersangga. Ini lebih ditujukan untuk merangsang aktifitas kepala dan trunk. Kemudian
dilakukan dengan kaki tersangga karena posisi ini memang paling banyak diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari.

1.1. Bergerak menumpukan elbow kesamping.

Pasien bergerak kesamping kesisi yang sakit maupun yang sehat menumpukan elbow
ketempat tidur dan kembali keposisi duduk. Pada saat kembali keposisi tegak pasien tidak
boleh menggunakan tangannya untuk membantu. Terapis memfasilitasi gerakan dengan
berdiri didepan pasien dan mensupport bahunya dengan lengan bawah terapis, sedangkan
tangan yang lain membimbing tangan atau lengan pasien. Dengan mensupport bahu pasien,
terapis memfasilitasi head righting reaction.

15
1.2. Memindahkan berat badan kesamping.

Terapis duduk disisi yang lemah dan membawa berat badan pasien kearahnya. Trunk sisi
yang lemah harus diulur. Oleh karenanya terapis memegang axilla pasien untuk
memfasilitasi penguluran ini. Sedangkan tangan yang lain memegang side fleksor sisi yang
berlawanan untuk memfasilitasi pemendekannya (gbr.a). Gerakan diulang dan pasien
disuruh berpartisipasi lebih aktif. Terapis dapat menyuruh pasien menahan sejenak posisi
tersebut sambil terapis mengurangi supportnya.

Pasien juga disuruh memindahkan berat badan kesisi yang sehat dimana ini
memerlukan pemendekan sisi yang lemah dengan head righting ke vertical. Dengan
menggunakan web tangannya, terapis merangsang side fleksor sisi yang lemah. Dengan
tangan yang lain terapis menekan shoulder kebawah untuk memfasilitasi righting reaction
kepala pasien (gbr.b). Pasien tidak boleh menggunakan tangan yang sehat untuk menumpu,
tetapi harus mengangkatnya keatas.

Gambar: a, b

1.3. Dudu
k

dengan tungkai bersilang, pemindahan berat badan kesisi tungkai yang dibawah.

16
Aktifitas ini akan memfasilitasi eksternal rotasi tungkai. Pasien memerlukan keseimbangan
yang baik untuk melakukannya, dimana latihan ini berguna pada saat pasien ingin
menggunakannya untuk memakai sepatu atau kaus kaki. Terapis berdiri didepan pasien
dengan satu tangan merangkul pasien dan tangan yang lain memegang trochanter sisi yang
berlawanan untuk membantu pemindahan berat badan dan menolong pasien mengangkat
pinggulnya. Lama kelamaan pasien disuruh melakukannya sendiri.

Gambar: a,b

Pada saat memindahkan berat badan kesisi yang sehat pasien menyilangkan tungkai yang
lemah diatas tungkai yang sehat, untuk memfasilitasi reaksi normal dari penguluran sisi yang
menumpu berat badan.

Pemindahan berat badan dengan kaki bersilang dilakukan pada kedua sisi dengan kaki
tungkai yang dibawah tersangga diatas lantai.

Gambar:

1.4. Merangsang reaksi kepala dan trunk dengan memutar kedua lutut yang tertekuk
ke samping.

Terapis duduk didepan pasien dan menyangga kaki pasien


dengan lututnya. Satu tangan memegang tangan pasien yang
sehat untuk keamanan. Dengan tangan yang lain terapis
memutar kedua knee pasien, mula-mula perlahan-lahan,
kesatu sisi. Kemudian dia mengulang kesisi yang lain, dan
selanjutnya dapat menambah kecepatan perubahan dan
arah dirubah secara tiba-tiba untuk meningkatkan respon
pasien.

Gambar:

17
1.5. Membungkuk kedepan menyentuh lantai.

Terapis berlutut didepan pasien yang duduk distool


dengan kedua kaki menapak dilantai. Terapis
membimbing tangan pasien menyentuh jari-jari
kakinya, membuat dia menyadari bahwa tangan
yang lemah harus sampai terlebih dahulu. Kedua kaki
pasien harus tetap flat dilantai tanpa menekan.
Latihan ini ditingkatkan secara hati-hati, mula-mula
hanya menjangkau kebawah sejauh mungkin dimana
dia masih dapat kembali keposisi duduk tegak tanpa
tumit terangkat dari lantai. Pasien juga latihan
membungkuk kedepan dengan kedua tangan terlipat.

1.6. Membungkuk kedepan dengan tangan terlipat.

Pasien mengulurkan kedua tangan yang terlipat kedepan kesegala arah, sedangkan kedua
kaki tetap menapak dilantai, dengan terapis mensupport knee pasien mula-mula. Reaksi
otomatis dapat dirangsang dengan membiarkannya memukul bola yang dilemparkan
kearahnya, atau memukul balon.

Gambar:

2. Aktifitas berdiri dengan berat badan ditumpu pada kedua tungkai.


2.1. Kedua lutut difleksikan – berat tubuh dipindahkan kesamping.

Dari posisi awal pasien memindahkan berat badannya dari


satu sisi ke sisi dengan kedua hip sedikit fleksi, dan rotasi
seolah-olah dia sedang main ski. Tangannya diayunkan
dengan rileks disamping tubuhnya. Terapis memfasilitasi
gerakan dengan kedua tangannya memegang kedua pelvis,
menjaga pelvis kedepan dan membantu rotasi.

Gambar:

2.2. Mendorong bola menjauh dengan kedua tangan terlipat.

18
Pasien seringkali takut membawa beban tubuhnya
kedepan, tetapi pada saat berkonsentrasi pada
aktifitas seperti mendorong bola menjauh, mereka
mengerjakannya dengan spontan. Terapis
memfasilitasi gerakan dengan kedua tangan dikedua
pelvis pasien, menenangkannya sambil menjaga
berat badannya tetap tersangga pada kedua tungkai.
Aktifitas ini dapat juga dilatih dalam posisi walk-
standing untuk memberanikan pasien menumpukan
beban tubuh pada satu tungkai didepan.

2.3. Bermain dengan balon.

Pasien bermain dengan balon, memukulnya menjauh atau memukulnya keatas berulang-
ulang dengan kedua tangan terlipat.

2.4. Berdiri diatas tumit dengan tubuh condong kebelakang.

Pada saat berdiri diatas tumit, pasien harus belajar reaksi


keseimbangan yang normal. Mula-mula terapis memberikan
total support, dan membimbing gerakan kedepan dari trunk
dan kedua lengan. Pasien cenderung menjaga hip tetap
ekstensi dan jatuh kebelakang jika reaksi yang benar tidak
betul-betul dilatih. Gerakan dilakukan secara perlahan-lahan
dengan pasien secara sadar mengkoreksi posisi kepala,
trunk, dan kedua lengannya. Kecepatan kemudian ditambah
sampai reaksi terjadi secara otomatis bahkan pada saat
terapis menggeser pelvisnya secara tiba-tiba kebelakang
tanpa memberinya peringatan. Oleh karena dorsalfleksi kaki
merupakan bagian dari reaksi keseimbangan yang normal,
gerakan ini juga berguna untuk merangsang aktifitas kaki
yang lemah.

3. Aktifitas berdiri dengan berat badan ditumpukan pada tungkai yang lemah.

Jika pasien ingin berjalan dengan meyakinkan tanpa support, maka pasien harus mampu
menumpu berat badan pada tungkai yang lemah tanpa takut kehilangan keseimbangan.
Dengan menumpukannya, membuat pasien dapat merasakan tumpuan pada tungkai yang
lemah dimana ini akan meningkatkan sensasi dan menormalkan tonus. Hip harus dijaga
tetap ekstensi dan jangan beri kesempatan lutut yang lemah hiperekstensi. Hiperekstensi
dari knee disebabkan oleh retraksi pelvis sisi yang lemah dan tidak sempurnanya aktif
ekstensi hip. Tungkai menjadi seperti pilar yang kaku, biasanya dengan kaki mendorong

19
kearah plantarfleksi dalam pola total ekstensi. Oleh karena support oleh kaki menjadi static,
maka reaksi keseimbangan dinamis menjadi tidak dimungkinkan, dan langkah cepat dari
tungkai tersebut untuk mendapatkan keseimbangan kembali menjadi sulit bahkan tidak
dapat dimungkinkan. Selama aktifitas penumpuan berat badan, terapis menolong pasien
mencegah lutut hiperekstensi dengan cara mentiltingkan pelvisnya kebelakang yaitu dengan
cara membantu ekstensi hipnya.

a. Berdiri dengan tumpuan pada tungkai yang lemah, pasien


melakukan langkah kecil kedepan dan belakang dengan kaki
yang sehat, juga kesamping. Dia tidak boleh memindahkan
tumpuan dengan segera ke tungkai yang sehat, melainkan
tetap pada tungkai yang lemah.

Gambar:

b. Pasien meletakkan kaki yang sehat pada anak tangga


didepan dan disampingnya. Dia meletakkannya secara
perlahan-lahan, tanpa hentakan. Jika langkah dilakukan
kesamping, berarti kita sedang merangsang aktifitas
ekstensor dan abductor hip yang lemah. Dia meletakkan
kakinya pada anak tangga tanpa memindahkan berat
badan ke anak tangga tersebut.

Gambar:

c. Berdiri pada tungkai yang lemah, pasien disuruh menendang bola dengan kaki yang
sehat. Lakukan secara bersemangat tetapi tetap dapat mengontrol tungkai yang
lemah dan mencegahnya dari pola total ekstensi.
d. Pasien meletakkan kakinya yang sehat pada timbangan, yang dapat diletakkan
ditempat yang berlainan didepan atau disampingnya. Dia mencoba mengurangi
tekanan yang nampak pada angka timbangan sampai nol pada saat dia
menyentuhkan kakinya ke timbangan.
Kedua latihan diatas (bola dan timbangan) sangat baik karena melatih keseimbangan
pasien menumpukan tungkai yang lemah tanpa menahan kepala dalam posisi
terfiksir untuk menstabilkan dirinya. Dia secara otomatis akan melihat bola dan
timbangan.

20
e. Pasien berdiri bersandar kebelakang, pasien secara perlahan-lahan meletakkan kaki
yang sehat pada lutut terapis yang berlutut didepannya. Dia kemudian meletakkan
kakinya dibelakang dia sambil tetap mempertahankan beban tubuhnya kedepan
pada tungkai yang lemah. Peningkatan latihan ini ialah pasien disuruh
mengekstensikan dan memfleksikan lutut yang lemah untuk melatih penumpuan
berat badan secara dinamis. Jika keseimbangan pasien berdiri pada tungkai yang
lemah sudah meningkat, terapis dapat memegang kaki pasien yang sehat dan
menggerakkan keberbagai arah secara perlahan-lahan.

4. Aktifitas menumpukan berat badan pada tungkai secara bergantian.


4.1. Naik turun tangga.
4.2. Bergerak pada Tilt-board dari samping kesamping

4.2.2. Memindahkan berat badan kedepan dan belakang.

4.3. Jalan menyilang.

4.3.1. Kearah sisi yang lemah.

21
4.3.2. kearah sisi yang sehat.

5. Aktifitas berdiri dengan menumpukan berat badan pada tungkai yang sehat.

5.1. Menyepak bola dengan kaki yang lemah.

5.2. Menggeser handuk atau kertas kedepan dengan kaki


yang sakit.

MENGEMBALIKAN AKTIFITAS LENGAN DAN TANGAN SERTA MEMINIMALISIR REAKSI


ASOSIASI.

Oleh karena kita lebih memfokuskan diri pada mengajar pasien untuk dapat berjalan
lagi dan menjadi mandiri dalam ADL, lengan dan tangan sering kita abaikan. Pasien menjadi
lebih terlatih melakukan segala aktifitas dengan satu tangan. Bahkan walaupun tangan
mempunyai potensi yang besar untuk sembuh, sering menjadi tidak dapat berkembang
dengan baik. Oleh karenanya, walaupun Nampak tidak ada aktifitas dari lengan yang
terkena, tetap penting untuk menterapi mereka sebagai bagian dari tubuh yang dapat
mempengaruhi bagian tubuh yang lain. Apabila Nampak ada reaksi asosiasi, menarik dengan
kuat dalam pola fleksi spastic, ini akan mempengaruhi cara jalan pasien,menghambat reaksi
keseimbangan dan mengganggu ADL. Pasienpun akan merasa minder karena tangan yang
lemah selalu tertarik keatas.
Dari mulai onset penyakit, lengan pasien harus dijaga tetap mobil dan spastic fleksi
harus diinhibisi. Latihan-latihan berikut ini harus dilakukan dengan hati-hati walaupun
lengan dalam keadaan hipotonik. Inhibisi penuh spastisitas pada lengan dan trunk, dan
fasilitasi dari berbagai macam gerakan aktif merupakan bagian integral dari pengobatan
dalam semua fase rehabilitasi.
Latihan-latihan berikut ini yaitu yang dilakukan pada posisi lying, sitting, dan standing
, menunjukkan bagaimana spastisitas dilengan dapat dikurangi dengan proksimal dan distal
inhibisi, dan bagaimana gerakan aktif dapat dirangsang. Jika ada gerakan-gerakan yang
terbatas oleh adanya pemendekan otot yang menimbulkan rasa sakit, terapis harus bekerja

22
secara hati-hati untuk mendapatkan kelenturan yang hilang. Rasa sakit dan kontraktur akan
menghambat kembalinya gerakan aktif, atau mencegah pasien dapat melakukan gerakan
yang seharusnya dapat dia lakukan.

1. Aktifitas dalam posisi supine lying (tidur terlentang).

a. Sebelum menggerakkan tangan, terapis


harus mengurangi spastisitas ditrunk untuk
memungkinkan scapula dapat bergerak
dengan bebas. Terapis mengulur sisi yang
lemah dan membawa pelvis kedepan,
menempatkan tungkai dalam posisi fleksi
dengan knee bersandar pada tungkai yang
lain. Terapis bekerja hingga pelvis tetap
dalam posisi kedepan (forward) dan tungkai
terletak rileks dalam posisi diatas tanpa
harus dipegangi (tonus otot sudah betul-betul rileks). Terapis boleh juga mengganjal
pinggul dengan sand bag. Apabila tungkai terjatuh kesamping atau tergelincir ke
ekstensi, maka terapis harus mengulang inhibisi sebelum melanjutkan gerakan.

b. Satu tangan terapis memegan lengan yang


lemah, sedangkan yang lain diletakkan dibawah
spina scapula dan menggerakkan scapula
kedepan dan atas, sambil meminta pasien
untuk rileks. Dengan menggerakkan scapula
seperti diatas, terapis akan mengurangi
spastisitas baik proksimal maupun distal.
Kemudian terapis membawa lengan pasien
keposisi eksternal rotasi secara perlahan-lahan.

c. Pada saat scapula sudah dapat digerakkan dengan bebas, terapis mengelevasikan
lengan pasien sambil mempertahankan scapula dalam protraksi dan elbow dalam
keadaan ekstensi. Terapis kemudian membuka ibu jari dan jari-jari tangan serta
mendorsalfleksikan wrist secara penuh.

Gambar:

d. Pada saat terapis sudah dapat mengelevasikan lengan secara penuh, terapis harus
juga membawa lengan kehorisontal abduksi dengan lengan bawah supinasi. Dengan
elbow terapis dibawah elbow pasien dia mempertahankannya dalam ekstensi dan
pada saat yang bersamaan mencegah shoulder tertarik ke posisi retraksi. Gerakan ini
akan menjaga ekstensibilitas dari fleksor dan internal rotator shoulder.

23
Gambar:

e. Pada saat spastisitas dilengan sudah berkurang, dan gerakan pasif sudah dapat
dilakukan tanpa ada tahanan, pasien dapat berusaha menggerakkan lengannya
dengan aktif tetapi tanpa usaha yang berlebihan. Terapis menyuruh pasien
meletakkan tangan yang lemah pada dahi terapis, kemudian menyuruh
menggerakkan tangannya keshoulder sisi yang lain, kedahinya sendiri dan kembali
kedahi terapis.

Gambar:

f. Latihan dapat ditingkatkan dengan menggerakkan lengan keberbagai posisi dengan


tangan bebas melakukan placing. Juga latihan-latihan yang dapat dipengaruhi oleh
pola spastic dan sinergis, misalnya; menggerakkan lengan perlahan-lahan kebawah
ke sisi tubuhnya tanpa fleksi elbow atau tangan terkepal.

Gambar:

2. Aktifitas dalam posisi duduk.

Pada kegiatan sehari-hari kita menggunakan tangan terutama pada saat kita duduk
atau berdiri, seperti; berpakaian, makan, menulis, bekerja dan bermain. Pasien lebih suka
diterapi dalam posisi duduk atau berdiri pada saat bergerak secara aktif dengan fasilitasi.
Posisi ini juga memungkinkan terapis menggunakan prinsip inhibisi hipertoni dengan
menggerakkan bagian proksimal tubuh melawan komponen distal spastic.

a. Pasien duduk dibed dengan kedua lengan diekstensikan dan dieksternal rotasikan
dibelakang tubuhnya. Pasien menggerakkan beban tubuhnya dari satu sisi kesisi yang
lain sambil mempertahankan kedua tangannya flat pada bed. Terapis memfasilitasi
gerakan yang diperlukan dengan kedua tangannya. Pada saat pasien memindahkan
berat badannya kekiri, sisi kiri akan terulur yang memungkinkan shoulder girdle dan
scapula elevasi. Sebaliknya sisi kanan akan memendek dan shoulder girdle depressi.
Terapis menggunakan elbownya untuk mempertahankan lengan pasien tetap dalam
posisi ektensi sampai pasien dapat melakukannya sendiri.

Gambar:

b. Terapis meletakkan lengan yang lemah disisi pasien dalam eksternal rotasi dengan
jari-jari tangan terbuka. Dengan menggunakan lengan bawahnya terapis membantu
elbow tetap ekstensi dan tangan mempertahankan shoulder menumpu kedepan.
Terapis membantu pasien memindahkan tumpuan kesisi yang lemah. Sekali lagi
scapula harus dielevasikan dan sisi yang lemah diulur. Pasien memindahkan
tumpuannya dari satu sisi kesisi yang lain, menggerakkan bagian proksimal melawan
lengan yang spastic. Pada saat spastisitas sudah berkurang, terapis melepaskan
bantuannya dan menyuruh pasien melakukan gerakan fleksi dan ekstensi elbow

24
secara selektif dengan tanpa menggerakkan trunknya, dan tanpa menggunakan
gerakan internal rotasi shoulder untuk memperkuat ekstensi.

Gambar:

c. Oleh karena scapula seringkali menjadi biang keladi dari spastisitas diseluruh
ekstremitas atas, maka terapis harus memberikan perhatian khusus untuk
menginhibisi hipertonik didaerah ini.
1. Terapis menggerakkan ujung shoulder pasien kearah hidung pasien (kedepan dan
atas), sedemikian sehingga melawan pola spastic. Terapis menyuruh pasien
untuk tidak melawan gerakan, dan pada saat terapis merasa bahwa tidak ada lagi
tahanan, pasien boleh membantu secara aktif. Terapis tetap mempertahankan
tangan pasien dalam full dorsifleksi dengan jari-jari ekstensi,sementara pasien
bergerak secara aktif.

Gambar:

2. Dengan kedua tangan fleksi menyilang dada, pasien menggunakan tangannya


yang sehat menarik scapula yang lemah kedepan kearah protraksi. Tangan yang
lemah rileks pada shoulder yang berlawanan pada saat dia merotasikan trunk
dengan gerakan yang halus dan berkesinambungan kedepan dan belakang.
Perhatikan lutut harus tetap dalam starting position, jangan sampai hip
menggantikan menggantikan gerakan rotasi trunk. Pada saat spastisitas sudah
berkurang, secara bertahap pasien mengurangi support pada lengan yang lemah
sampai akhirnya lengan dapat bergerak sendiri ke shoulder. Dengan bantuan
terapis pasien menggerakkan tangannya menjauh dari shoulder dan kembali lagi.

d. Pasien duduk dengan tangan yang terlipat diletakkan diatas bed didepannya.
Dengan menjaga kedua elbow tetap ekstensi pasien bergerak mula-mula kesatu sisi
dan kemudian kesisi yang lain untuk menginhibisi spastisitas dilengan dan tangan.
Mendorongkan kedua tangan kedepan pada sisi yang sehat akan membawa scapula
dalam protraksi. Mendorong kedepan pada sisi yang lemah akan membawa beban
tubuh kesisi yang lemah.

Gambar:
Dengan elbow tetap diatas bed, terapis menolong pasien meletakkan tonjolan sendi
metacarpopalangeal kedua tangan dibawah dagu, membiarkan jari-jari terletak pada
wajah. Pada saat terapis merasa bahwa jari-jari tangan sudah rileks, terapis
membawa tangan yang lemah menjauh dari wajah dan kemudiaan menyuruh pasien
mengembalikannya kembali secara perlahan-lahan. Gerakan ini akan memungkinkan
gerakan selektif fleksi elbow dalam supinasi tanpa memfleksikan jari-jari. Jika tangan
tetap rileks, pasien disuruh membawanya keekstensi sebelum menempatkannya
kembali ke bawah dagu.

Gambar:

25
e. Pasien meletakkan tangan yang lemah pada tangan terapis, dan terapis menyuruh
pasien mengikuti gerakan tangan terapis. Derajat kesulitan dapat ditambah dengan
menambah kecepatan dan perubahan arah. Atau juga dapat dengan kedua tangan
yang digerakkan secara serempak.

Gambar:

f. Pasien meletakkan tangan yang lemah pada tangan terapis dan menggerakkannya
kedepan dan atas. Terapis memberikan rangsangan dengan memberikan
approximasi.

Gambar:

g. Latihan dengan menggunakan bola.


1. Pasien meletakkan tangannya yang terlipat diatas bola dan menggerakkannya
kedepan sejauh mungkin kearah sisi yang sakit maupun yang sehat. Aktifitas ini
akan menginhibisi spastisitas.

Gambar:
2. Pada saat hipertonus sudah berkurang, aktifitas dapat dilakukan dengan
menggerakkan kedepan lengan yang lemah pada bola tanpa memfleksikan jari-
jari.Juga dari samping kesamping.

3. Aktifitas dalam berdiri.

Mendorong bola menjauh dengan punggung tangan. Pasien dalam posisi ini lebih leluasa
mengayunkan lengan yang lemah. Terapis memfasilitasi gerakan dan mencegah gerakan
abnormal seperti adduksi hip atau retraksi shoulder.

Gambar:

Menjatuhkan dan menangkap bola dengan menggunakan kedua tangan, dibimbing


terapis yang memegang ibu jari dan jari-jari supaya tetap ekstensi.

Gambar:

Latihan dengan menggunakan balon akan merangsang aktifitas ekstensor tanpa


pengeluaran tenaga yang berlebihan. Dan koordinasi mata tangan akan terjadi secara
spontan. Pasien memukul balon dapat dengan kedua tangan yang terlipat atau dengan
tangan yang lemah saja. Ada hal yang menarik dari latihan ini ialah, banyak otot-otot
disekitar shoulder yang tadinya tidak aktif menjadi aktif setelah scapula dibawa kedepan
pada saat memukul balon. Langkah otomatis juga didapat pada latihan ini pada saat pasien
mengikuti balon.

26
Spastisitas harus berulang-ulang diinhibisi sebelum gerakan dapat terjadi dengan
normal. Dan posisi standing menawarkan banyak cara dengan menggunakan prinsip
menggerakkan bagian proksimal untuk mengurangi spastisitas ekstremitas.

1. Pasien meletakkan kedua tangannya dimeja didepannya dengan jari-jari ekstensi.


Terapis menjaga elbow tetap ekstensi hingga spastisitas berkurang dan pasien dapat
mempertahankan sendiri posisi ini. Pasien dapat memindahkan berat badan dari
satu sisi ke sisi lain atau sambil memutar trunknya dengan shoulder tetap terfiksasi.
Pasien juga dapat memfleksikan thoracic spine dengan penuh, dengan demikian
membawa scapula dalam protraksi dan mengekstensikannya berulang-ulang. Dalam
hal ini pasien menggerakkan thoraxnya terhadap scapula untuk menginhibisi
spastisitas.

Gambar:

Pasien melangkahkan tungkai yang sehat kebelakang dan depan dengan tetap
mempertahankan hip yang lemah tetap nempel dimeja. Disini pasien akan
menumpukan berat badannya pada sisi yang lemah, dan merangsang ekstensi aktif
lengan yang menyangga. Lengan dapat diletakkan makin eksternal rotasi dengan
supinasi untuk inhibisi penuh. Selektif ekstensi elbow dapat dilatih pada saat inhibisi
sudah didapat.

2. Pasien berdiri membelakangi meja dan menumpukan kedua tangan dimeja. Dengan
bantuan terapis pasien menggerakkan pinggulnya menjauh dari meja dan
mengekstensikan hip dan spine sepenuh mungkin. Ekstensi kedua hip akan
bertambah apabila pasien disuruh meluruskan kedua lututnya. Dia dapat
memindahkan berat badan dari satu sisi kesisi yang lain atau merotasikan pelvisnya.

Gambar:

3. Mengulur sisi yang lemah dan membebaskan scapula gerakan, terapis memegang
lengan pasien dalam full elevasi dan eksternal rotasi. Dengan satu tangan terapis
mempertahankan full inhibisi tangan pasien dan dengan tangan yang lain dia
menjaga shoulder kedepan dan eksternal rotasi. Terapis mungkin memerlukan stool
untuk melakukan ini. Pasien menggerakkan berat tubuhnya kearah ke tungkai yang
lemah dan kembali lagi, untuk menambah penguluran dan inhibisi. Spasitisitas
seluruh lengan dikurangi dengan inhibisi proksimal.

Gambar:

4. Pasien seringkali mengalami kesulitan mempertahankan elbow tetap ekstensi saat


dia mengabduksikan lengannya. Untuk menginhibisi tarikan dari fleksor elbow,
terapis berdiri dibelakang pasien. Dengan satu tangan terapis memegang wrist dan
jari-jari dalam full dorsifleksi dengan ibu jari abduksi, dan dengan tangan yang lain
dia mencegah gerakan kompensasi dari shoulder. Sambil mempertahankan lengan

27
dalam posisi eksternal rotasi dan ekstensi, pasien membukan lengannya yang lain
sejauh mungkin. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang sampai spastisitas berkurang.

Gambar:
5. Dengan memegang kedua tangan pasien, terapis menggerakkan kedua lengan pasien
kesamping dan atas, dan pasien mencoba membantunya secara aktif. Pasien juga
berusaha untuk tidak membiarkan elbownya tertarik ke fleksi pada saat terjadi
penambahan derajat abduksi. Segera saat terapis merasa ada gerakan fleksi elbow,
dia menurunkan lengan pasien lagi. Apabila terapis tidak dapat meraih kedua tangan
pasien, dia dapat menyuruh pasien menggerakkan sendiri tangannya yang sehat
dengan benar. Terapis dapat membantu merangsang ekstensi elbow dengan
tangannya yang bebas.

Gambar:
6. Pasien mula-mula melipat kedua tangannya dan membalikkannya sehingga telapak
tangan menghadap kedepan. Pasien kemudian mendorongkan kedua tangannya
kedada terapis yang sementara terapis menolongnya memprotraksikan scapula dan
mengekstensikan elbow. Dengan tangan dalam posisi ini, pasien membawa kedua
tangan keatas kepalanya hingga shoulder full elevasi. Pasien mendorong kedua
tangannya keatas melawan satu tangan terapis, sementara tangan terapis yang lain
menjaga shoulder tetap kedepan. Pasien kemudian menggerakkan berat badannya
kesisi yang lemah dan mengulur sisi yang lemah sejauh mungkin. Gerakan ini
diulang-ulang untuk mendapatkan penguluran yang maksimal. Spastisitas fleksor
tangan akan secara dramatis berkurang, sehingga ekstensi jari-jari tangan dapat
dirangsang setelah itu.

Gambar:

MERANGSANG GERAKAN AKTIF DAN BERFUNGSI

1. Dengan menerapkan Excitatory Stimulus (Rangsangan pencetus).

Mengaktifkan ekstensor jari-jari dapat dilakukan dengan 3 metode rangsangan.

a. Terapis menyangga lengan pasien dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain
menggosok grup otot ekstensor lengan bawah, dari elbow sampai ujung jari-jari. Gosokan
dilakukan secara berulang-ulang. Setelah beberapa kali gosokan, pasien akan secara
spontan mengekstensikan jari-jarinya, atau dapat juga kita suruh menggerakkannya secara
perlahan-lahan.
Pada saat reedukasi ekstensi jari-jari, yang paling penting dihindarkan ialah dorsal
fleksi dari wrist hingga pasien dapat mempertahankan ekstensi jari-jari secara aktif sambil
mengekstensikan wristnya. Jika dia disuruh menekstensikan wristnya sebelum dia dapat
mengekstensikan jari-jarinya, aksi tenodesis akan memperkuat spatisitas fleksor dan tangan
tidak dapat dibuka atau digunakan secara fungsional. Setelah dirangsang terapis harus

28
menyuruh pasien mencoba mengangkat hanya ujung jari-jarinya sedemikian rupa sehingga
ekstensi jari-jari mendahului ekstensi wrist.

Gambar:

b. Merendam tangan pasien dalam campuran air dan batu es yang akan menyebabkan
terjadinyareflek rileksasi dari spatisitas fleksor jari-jari dan wrist. Biasanya akan terjadi
rileksasi yang absolute sehingga tidak ada tahanan pada saat kita melakukan pasif dorsal
fleksi, segera setelah tangan direndam dalam es, dan mungkin pasien setelah itu mampu
mengektensikan jari-jarinya. Terapis memegang tangan pasien pada saat direndam untuk
memperkirakan berapa lama tangan harus direndam. Sudah diketahui bahwa dengan tiga
kali rendaman dengan durasi masing-masing tiga detik dan dengan interval beberapa detik
dapat mengakibatkan inhibisi spatisitas total.

Gambar:

c. Terapis menyangga lengan pasien kedepan dalam ekstensi. Terapis menyuruh psien
memegang sikat botol dengan sangat pelan dan terapis menariknya keluar dari tangannya,
kemudian pasien disuruh mencoba memegang lagi. Sering kali latihan ini membuat pasien
mampu mengekstensikan jari-jarinya.

Gambar:

Pada saat aktifitas jari-jari sudah mulai ada, terapis melatih gerakan funsional dengan
memilih objek-objek tertentu yang dapat merangsang gerakan. Sebagai contoh:

a. Pasien memegang tongkat kayu secara horizontal atau vertikal. Dengan bantuan
terapis ( apabila diperlukan) pasien memindahkan pegangan dari tangan yang lemah
ke tangan yang sehat dari bawah keatas secara berganti-gantian. Terapis menjaga agar
lengan yang lemah tidak tertarik kearah fleksi, dan pasien menjaga ke dua elbownya
lurus.
Apabila kemampuan pasien meningkat, pasien dapat memegang tongkat kayu
secara vertical dengan tangannya yang lemah, pasien mengendorkan pegangannya
dan menangkapnya kembali.

b. Latihan dengan menggunakan tamborin dengan berbagai cara.

2. Dengan menggunakan reaksi protektif ekstensi

Pada saat pasien menjatuhkan tubuhnya kearah sisi yang lemah, kebanyakan pasien
tidak dapat melindungi dirinya dengan tangan yang lemah. Ini dinamakan Reaksi Parasut

29
yang gagal, karena lemahnya aktifitas ekstensor, terutama pada saat tonus fleksor
meningkat karena takut jatuh. Pada pasien yang mempunyai sedikit gerakan aktif pada
ekstremitas atas, protektif ekstensi dapat difasilitasi. Ini tidak hanya berguna untuk proteksi,
tetapi juga merangsang aktifitas ekstensor dan mempercepat fungsi motorik yang ada.

2.1. Dalam posisi duduk.

Untuk mempersiapkan reaksi protektif ekstensi di lengan, pasien disuruh menggerakkan


tubuhnya kesisi yang lemah dan menumpukan lengan yang lemah. Terapis memberikan
tarikan ringan untuk menghilangkan keseimbangan pasien dan kemudian menekan kembali
tangan pasien keatas.Tindakan ini memberikan penekanan pada persendian yang akan
menimbulkan kontraksi otot penyangga. Pada mulanya terapis mensupport elbow dengan
menggunakan satu tangannya. Apabila pasien makin kuat, maka support dihilangkan dan
pasien diingatkan supaya tetap mempertahankan shoulder kedepan.

2.2. Dalam posisi berdiri dan jalan.

Terapis memegang tangan yang sehat, dan mendorong tubuh pasien kedepan dan samping
kearah meja atau bed. Pasien mencoba menumpukan tangan yang lemah sebagai
perlindungan.

2.3. Dalam posisi kneeling (berlutut).

Pasien berlutut di matras. Pasien didorong kesisi yang lemah dan melakukan reaksi protektif
dengan menumpukan tangan yang lemah.

3. Dengan menggunakan tangan untuk aktifitas sederhana.

Pada saat aktifitas lengan dan tangan yang lemah sudah mulai muncul, maka tangan dan
lengan tersebut harus digunakan sebanyak mungkin. Cara yang paling baik untuk mencegah
munculnya associated reaction ialah dengan menggunakan tangan

30
31

Anda mungkin juga menyukai