Anda di halaman 1dari 8

CHAPTER 1.

A. Posisi fiskal secara agregat berkelanjutan


a. Paragraf 1-2 (Adel)
Indonesia terus mengalami defisit fiskal. Kendati hal tersebut, defisit
yang dialami masih berada di bawah batas yang ditetapkan undang-undang
yaitu 3,0 persen. Rata-rata yang terjadi antara tahun 2014-2019 adalah 2,3
persen dari PDB. Defisit fiskal yang terjadi umumnya dibiayai oleh pinjaman
sekuritas (mata uang dalam negeri), penerbitan obligasi global dalam mata
uang asing, dan pinjaman. Demikian pula terjadi pada rasio utang terhadap
PDB pada 2019, yaitu sebesar 30,2 persen atau satu per tiga lebih rendah dari
tahun 2000 yang mencapai 90 persen akibat krisis keuangan Asia. Angka ini
masih jauh di bawah batas yang ditetapkan undang-undang yaitu 60,0 persen
dari PDB. Ini terjadi karena beberapa hal, yaitu ledakan harga, rendahnya suku
bunga riil, nilai tukar yang stabil, dan surplus neraca primer. Namun, terjadi
sedikit kenaikan antara 2012-2019 karena kenaikan suku bunga riil,
pergeseran pinjaman komersial, dan depresiasi nilai mata uang.
Opini Bagian:
Defisit fiskal yang masih terkendali merupakan keadaan yang patut
diapresiasi. Namun, karena adanya COVID-19 dan potensi bencana yang
besar di Indonesia, diperlukan kebijakan dari pemerintah sebagai solusi atas
hal tersebut. Tercatat bahwa gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004
menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi hingga mencapai Rp 51,4
triliun (USD3,5 miliar), sedangkan kemampuan APBN untuk mengalokasikan
dana bagi penanggulangan risiko bencana hanya sebesar Rp3-10 T setiap
tahunnya. Ditambah lagi, pandemi COVID-19 telah mengakibatkan banyak
kerugian dari sisi perekonomian, kesehatan, maupun sosial bagi Indonesia,
sehingga COVID-19 juga dikategorikan sebagai bencana nasional. Dengan
memperhatikan bencana yang telah terjadi di Indonesia selama beberapa
kurun waktu terakhir, kebijakan pemerintah berupa penerbitan Perppu No. 1
Tahun 2020 yang menaikkan batas maksimal defisit fiskal serta strategi PARB
(pembiayaan dan asuransi risiko bencana ) dapat menjadi solusi untuk
memastikan pembiayaan bencana dapat disediakan dengan memadai untuk
melindungi keuangan negara, aset pemerintah dan masyarakat, namun tanpa
memberatkan anggaran negara.

b. Paragraf 3-5 (Alivia)


Dampak fiskal dan penanganan untuk mengatasi COVID-19 akan
menyebabkan kenaikan signifikan rasio utang terhadap PDB. Agar defisit fiskal
bisa menjadi lebih tinggi, Pemerintah mencabut aturan batas defisit fiskal untuk
sementara, selama tiga tahun dari 2020 sampai 2022 melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Risiko
fiskal dan kewajiban kontinjensi masih dapat dikelola, tetapi utang Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini mulai meningkat dan perlu
pemantauan yang lebih ketat, terutama karena paket penanganan COVID-19
mungkin meliputi perluasan penjaminan. Indonesia juga menghadapi risiko
fiskal dari bencana alam karena Indonesia adalah salah satu negara yang
paling rawan bencana di dunia.
Opini Bagian:
Saya setuju bahwa pengeluaran belanja Pemerintah dan rasio utang
yang meningkat memerlukan pemantauan yang lebih ketat. Defisit fiskal dan
rasio utang Indonesia selama 20 tahun terakhir memang mengalami
penurunan dan masih di bawah ambang batas yang ditentukan. Namun,
adanya Covid-19 membuat Indonesia mengalami dampak fiskal yang cukup
serius. Karena pandemi, penerimaan Indonesia mengalami penurunan, namun
belanja negara terus mengalami kenaikan. Sehingga mau tidak mau
melakukan penambahan melalui pembiayaan yang menyebabkan naiknya
rasio utang. Rasio yang tinggi tersebut terlihat dari utang BUMN dan risiko
fiskal bencana alam. Defisit fiskal sendiri dapat dibiayai dengan pinjaman
sekuritas dalam mata uang dalam negeri. Oleh karena itu, Pemerintah perlu
menaikkan proporsi kepemilikan obligasi dalam mata uang dalam negeri
melalui sosialisasi kepada masyarakat karena (sekitar 40 persen) masih
dimiliki bukan penduduk, yang menunjukkan bahwa pasar keuangan dalam
negeri masih dangkal. Pemerintah juga perlu mengintegrasikan dampak
perubahan iklim dan bencana alam lebih lanjut lagi dalam siklus pengelolaan
investasi pemerintah untuk menciptakan aset publik yang lebih tangguh agar
mengurangi kewajiban kontijensi.

c. Kotak 1.4 (Lecika)


Indonesia adalah negara rawan bencana karena terletak di cincin api
pasif sehingga risiko terkena gempa bumi, tsunami, banjir, dan bencana alam
lainnya cukup tinggi. Bencana alam sering berujung pada realokasi anggaran
karena kontingensi anggaran yang disiapkan tidak cukup (disiapkan 269 juta,
tapi untuk rekonstruksi pasca bencana sebesar 300-500 jt dollar). Untuk
mengelola risiko fiskal dan keuangan akibat bencana alam, pemerintah
meluncurkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana pada Oktober
2018 dengan mencakup mekanisme instmen keuangan dan asuransi aset
publik utama. Penilaian pengelolaan investasi pemerintah melihat ada ruang
untuk menanggulangi dampak bencana alam lewat siklus pengelolaan
investasi pemerintah untuk menciptakan aset publik yg lebih kuat dan program
bansos yang lebih adaptif merespon kejadian pascabencana.
Opini Bagian:
Saya

B. Belanja publik rendah karena penerimaan yang rendah


a. Paragraf 1-2 (Arga)
Tingkat belanja Indonesia secara keseluruhan relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara pasar berkembang dan negara-negara
berkembang lainnya(EMDEs). Indonesia hanya membelanjakan sekitar
setengah dari rasio belanja PDB EMDEs, yang berarti hanya di kisaran rata-
rata 16% dari total PDB atau 20% ketika harga komoditas melonjak.
Alasan utama rendahnya tingkat belanja adalah tingkat penarikan
penerimaan yang rendah secara struktural. Berdasarkan data world bank, rasio
penerimaan terhadap PDB Indonesia lebih rendah 13,2% dari rata-rata rasio
EMDEs. Hal ini ditengarai oleh adanya kesenjangan yang besar antara
penerimaan aktual dan potensial dimana tingkat penerimaan aktual kurang dari
50% potensi penarikan pajak.
Opini Bagian:

b. Poin 1-4 dan Paragraf 3 (Bintang)


Empat tantangan untuk meningkatkan pengumpulan penerimaan yaitu
siklis (berkaitan dengan harga komoditas), struktur ekonomi (ketergantungan
terhadap sektor ekstraksi SDA dan besarnya ekonomi informal), kapasitas
administrasi penerimaan (kapasitas TI dan staf yang rendah berujung pada
basis pajak yang sempit dan kepatuhan pajak yang rendah), serta kebijakan
pajak yang kurang optimal. Indonesia berada pada peringkat 112 pada
indikator Pembayaran Pajak dibandingkan dengan negara setara lainnya pada
peringkat Doing Business Bank Dunia tahun 2019. Kerumitan yang ada saat
ini dan perlakuan yang tidak setara dalam peraturan pajak meningkatkan
inefisiensi sistem perpajakan., contohnya yaitu pembebasan PPN yang luas
menghasilkan “efek penurunan (cascading effect)”. Selain itu, terjadi juga
kerumitan pada sistem pajak penghasilan badan, tarif pajak efektif untuk wajib
pajak badan/perusahaan yang berbeda-beda, dan adanya berbagai insentif
pajak dan sistem dugaan pajak untuk sektor konstruksi dan UMKM.
Opini Bagian:

c. Paragraf 4-5 (Salwa)


Reformasi Penerimaan Pemerintah Indonesia -> untuk meningkatkan pagu
belanja
1. Menyusun perubahan undang-undang pajak utama
2. Menyusun strategi reformasi pajak jangka menengah dan jangka
panjang
3. Program Amnesti Pajak (PAP) 2016
4. Meningkatkan kemudahan membayar pajak, seperti faktur PPN
elektronik, sistem elektronik e-filling, dan pemotongan pajak dari gaji
karyawan
Berapa hasil dari upaya reformasi -> peningkatan penerimaan pajak sebesar
0,6% PDB di tahun 2018
Pengurangan subsidi energi -> 20% menjadi 8,2% PDB.
● Subsidi solar menjadi subsidi per liter
● LPG menjadi satu-satunya subsidi dengan paparan langsung harga
komoditas sebesar 0,3% PDB 2015-2018
● Reformasi struktural untuk mengalihkan permintaan bensin kelas rendah
disubsidi menjadi bensin kelas tinggi tanpa subsidi
● Sebagian beban subsidi BBM dialihkan ke perusahaan minyak milik
negara (Pertamina)

Opini
Berdasarkan data yang telah disediakan, saya setuju bahwa tingkat belanja
publik rendah. Pemerintah telah menerapkan kebijakan anggaran defisit
sebesar 3%. Akan tetapi, anggaran defisit ini tidak dimaksimalkan mencapai
angka 3% tersebut. Selain itu, optimalisasi belanja memang perlu dilakukan.
Oleh karena itu, kebijakan defisit anggaran ini sebaiknya dimaksimalkan dan
dialokasikan pada sektor-sektor yang dapat menghasilkan multiplier effect
yang besar bagi perekonomian indonesia.

C. Diskresi pemerintah pusat terhadap anggarannya terbatas


a. Bagian C (Rafiq)
Sebagian besar belanja dasar pemerintah bersifat terikat (non-
diskresioner) dan sulit untuk dialokasikan kembali. Belanja terikat ini memakan
sekitar dua pertiga dari total belanja pemerintah pusat, seperti belanja wajib
untuk pendidikan dan kesehatan. Sedangkan belanja tidak mengikat,
menyumbang 27,9%. Belanja untuk program yang sedang berjalan
menyisakan sedikit untuk belanja baru. Dengan demikian, tidak cukup untuk
menciptakan ruang fiskal bagi belanja prioritas.
Belanja publik sangat terdesentralisasi di Indonesia, dimana Pemda
memakan 43 persen belanja publik karena berperan penting dalam pemberian
layanan. Jumlah kabupaten/kota juga cenderung meningkat. Pemerintah
provinsi dan kabupaten mengelola anggaran mereka sendiri dan bertanggung
jawab kepada DPRD. Dengan demikian Pemda memiliki tingkat pengambilan
keputusan belanja yang relatif tinggi, tetapi mereka memiliki otonomi terbatas
terhadap penerimaan.
Opini Bagian:
Kasian lo pemerintah ni, dituntut untuk “ciptakan lagi ruang fiskal”.
padahal belanjanya udah mentok, anggarannya udah diabisin semua terutama
buat transfer ke pemda (ngabisin ⅔ belanja). Di lain sisi, karena pemda itu
otonom (mengelola anggaran sendiri), akhirnya belanja seenak jidat, padahal
mereka ngga terlalu ngurusin penerimaan (otonomi terbatas terhadap
penerimaan).

b. Kotak 1.5 (Sarah)


Earmarking atau alokasi khusus dan mengikat merupakan praktik
pengelolaan keuangan publik yang umum diterapkan di banyak negara.
Meskipun terdapat justifikasi untuk menerapkan earmarking dalam keadaan
tertentu, pengalaman lintas negara menunjukkan earmarking berdampak
buruk pada fleksibilitas anggaran dan efisiensi penggunaan sumber data
publik.
Memperkuat Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dapat
mengatasi masalah yang disebabkan earmarking karena memberi kepastian
atas ketersediaan sumber daya. Untuk belanja earmarking yang sudah ada
harus difokuskan pada pemberian insentif untuk meningkatkan efisiensi
dengan pengawasan ketat.
Opini Bagian:

D. Indonesia dapat memperbesar ruang fiskal melalui perbaikan kualitas


penerimaan & belanja
a. Bagian D (Ajeng)
Diperlukan belanja tambahan sebesar 4,6% dari PDB tahunan untuk
mencapai SPM bidang kesehatan, bansos, dan infrastruktur. Diperlukan
penciptaan ruang fiskal sambil melanjutkan pengelolaannya yg hati hati
dengan cara peningkatan penerimaan dan realokasi belanja dan subsidi tidak
tepat sasaran.
Opini Bagian:

b. Kotak 1.6 Paragraf 1-3 (Aida)


Untuk mengumpulkan pajak lebih banyak, pemerintah dapat
memperluas basis perpajakan. Langkah - langkah untuk memperluas basis
pajak meliputi: (a) menurunkan batas registrasi PPN dan menjadikan registrasi
opsional untuk usaha usaha kecil di bawah ambang batas dan yang memenuhi
persyaratan pembukuan minimum; (b) menurunkan batas untuk UMKM sejalan
dengan batas PPN ; (c) mengurangi pengecualian PPN dan menghapus
kategori perlakuan ‘tidak kena pajak’ dari UU PPN; (d) merasionalisasi insentif
pajak dan perlakuan istimewa dalam rezim PPh badan; (e) memperkenalkan
perpajakan lingkungan.
Reformasi mencakup (a) menaikkan tingkat marginal PPh untuk kelas
pendapatan atas menjadi mendekati rata rata OECD; (b) perubahan dalam
tingkatan dan ambang batas PPh untuk memastikan kelas menengah
membayar bagian mereka; (c)memperkenalkan pajak atas transfer kekayaan
yang membantu mengatasi masalah keadilan antar generasi. Reformasi
penting ini termasuk menghidupkan kembali dan memperkuat roadmap
penyederhanaan tembakau tahun 2018.
Opini Bagian:
- Dengan menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak, diyakini
dapat meningkatkan penerimaan pajak baik dari sisi PPh maupun PPN.
World bank dalam laporannya yang berjudul Global Economics
Prospect edisi Juni 2021 mengimbau agar pemerintah Indonesia
menurunkan thresold PKP dari 4,8 M menjadi 600 juta.
- Pada 7 Oktober 2021, pajak karbon lahir melalui UU Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan menambah sederetan kebijakan
fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan
iklim.Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia
terutama dari negara kekuatan ekonomi baru (emerging).

c. Kotak 1.6 Paragraf 4-7 (Anita)


Indonesia perlu merancang strategi kebijakan fiskal untuk
meningkatkan kepatuhan pajak secara signifikan, sebagian caranya dengan
mengurangi beban administrasi pembayaran pajak dan memperbaiki tingkat
kepercayaan masyarakat. Reformasi meliputi: (a) investasi signifikan dalam
sistem IT milik DJP dan reformasi business process-nya; (b) meningkatkan
kapasitas dan mengembangkan fungsi utama seperti analisis data dan audit;
(c) mengurangi risiko clientelism dan korupsi, termasuk menyederhanakan
aturan pajak, menegakkan hukum yang kuat kepada oknum-oknum yang
terlibat korupsi, menegakkan integritas, transparansi dan akuntabilitas dalam
manajemen kinerja DJP. Reformasi juga perlu dilakukan pada penerimaan
negara bukan pajak (PNBP). Hal ini akan meningkatkan pembiayaan lebih
lanjut dan mendukung pengelolaan aset sumber daya alam berkelanjutan.
Opini Bagian:
Pajak merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk
melakukan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Untuk mengumpulkan pajak lebih banyak, pemerintah dapat memperluas tax
base (jenis barang dan jasa yang dikenai pajak) melalui pengawasan dan
penegakkan hukum. Dalam upaya memperluas basis pajak adalah dengan
menaikkan pajak tembakau dan menyederhanakan struktur yang multiple-lier,
dengan begitu Indonesia dapat meningkatkan penerimaan dan menurunkan
prevalensi merokok, menyelamatkan nyawa serta mengurangi belanja sektor
kesehatan untuk penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh tembakau. Selain itu,
untuk meningkatkan penerimaan melalui pajak, Indonesia perlu meningkatkan
kepatuhan pajak secara signifikan dengan beberapa reformasi seperti
penyederhanaan aturan pajak, penegakan hukum yang kuat untuk oknum
yang berbuat korupsi, dan meningkatkan integritas, transparansi dan
akuntabilitas dalam manajemen kinerja DJP. Hal tersebut didukung dengan
sosialisasi secara menyeluruh dengan cara mudah dipahami dan
diimplementasikan agar mengurangi kebingungan, dengan demikian akan
meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan sukarela dari warga dan pelaku
usaha. Reformasi juga dilakukan pada penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) salah satu caranya dengan meningkatkan penerimaan PBB melalui
kenaikan tarif dan memastikan fiskal kadaster (sistem administrasi tentang
pendaftaran tanah) terupdate secara sistematis dan rutin. Contoh lainnya yaitu
pada tarif perikanan yang didasarkan pada jenis kapal dan berat ikan.

d. Poin 1 (Fitri)

e. Poin 2 dan 3 (Shasita)


Poin 2. Melakukan Realokasi Belanja dari Subsidi Energi dan Subsidi
Pupuk yang Tidak Tepat Sasaran →
Ada kesempatan untuk mengalihkan subsidi energi dan pupuk (8,5%
dari belanja pempus) menjadi bantuan tunai tepat sasaran. Bantuan tunai yang
tepat sasaran kepada 40% penduduk termiskin dapat mengkompensasi
dampak dari reformasi kepada yang paling membutuhkan, menghemat 0,7%
dari PDB, dan menghasilkan keuntungan fiskal bersih sebesar 0,4% dari PDB.
Poin 3. Akan Menciptakan Ruang Fiskal Tambahan untuk Belanja di
Sektor-Sektor Prioritas dan Memberikan Banyak Manfaat Ekonomi,
Sosial, dan Lingkungan →
Reformasi penerimaan dan belanja dapat menghasilkan tambahan
ruang fiskal rata-rata tahunan sebesar 1,3% dari PDB untuk belanja pada
sektor prioritas. Manfaatnya dari sisi belanja meliputi menurunkan pengaruh
fluktuasi harga komoditas terhadap belanja, produksi dan konsumsi energi
yang lebih efisien bahan bakar, mengurangi polusi udara lokal dan emisi gas
rumah kaca, defisit neraca perdagangan yang menurun akibat berkurangnya
impor produk bensin olahan, mendorong perusahaan menjadi lebih produktif.
Reformasi belanja pertanian termasuk reformasi subsidi pupuk dapat
digunakan Kementerian Pertanian untuk berbagai program signifikan yang
memperkuat pertanian, masyarakat, dan landscape level tanah air, serta
berinvestasi lebih baik dalam R&D pertanian dan pendidikan pertanian dengan
harapan meningkatkan keanekaragaman nutrisi dari sistem pangan.
Opini Bagian:
Realokasi belanja dari subsidi energi dan pupuk sudah semestinya
dilakukan. Meskipun sudah ada reformasi, secara agregat, masyarakat miskin
dan rentan hanya menerima 21% subsidi minyak tanah dan LPG, 3% subsidi
diesel, dan 15% subsidi listrik. Sedangkan 60% subsidi pupuk dinikmati oleh
40% petani terkaya serta >30% subsidi pupuk oleh produsen yang bukan
merupakan target penerima subsidi. Jadi, subsidi energi dan pupuk sudah
justru dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, bukan masyarakat kelas
bawah atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Indonesia sudah
tepat untuk mengubah 30% total subsidi menjadi cash transfer (BLT) kepada
40% kelompok terbawah. Subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah justru
tidak berdampak pada kesejahteraan petani. Dibandingkan memberi pupuk
secara langsung, lebih baik pemerintah mengubah bentuk subsidi kepada
petani. Salah satu solusinya, yaitu dengan memberikan akses bagi petani
untuk mempelajari teknologi pertanian untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi. Hal tersebut dapat memberikan dampak langsung bagi
petani yang ingin mengembangkan usahanya dan lebih tepat sasaran
ketimbang memberikan subsidi pupuk.
Reformasi penerimaan dan belanja dapat direalokasikan untuk sektor
prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat. Reformasi belanja pertanian dapat dimanfaatkan
Kementerian Pertanian untuk program R&D. Berdasarkan data 2018, petani di
Indonesia rata-rata umurnya sudah cukup tua, mayoritas di atas 45 tahun.
Lembaga Penelitian CIPS (Center for Indonesian Policy Studies) menyebut
regenerasi petani masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh
pemerintah Indonesia agar bisa mewujudkan ketahanan pangan secara
berkelanjutan. Petani muda di bawah 30 tahun di Indonesia baru sekitar 10%.
Alasannya karena anggapan pertanian yang harus berpanas-panasan, kotor,
berlumpur. Oleh karena itu, perlu adanya investasi lebih banyak pada bidang
pertanian agar pemerintah dapat dengan massif mengembangkan
penggunaan teknologi pertanian seperti irigasi otomatis. Tujuannya agar
menarik anak muda untuk di sektor pertanian dan pendidikan pertanian dengan
harapan meningkatkan keanekaragaman nutrisi dari sistem pangan jangka
panjang.

Kewajiban kontinjensi = jaminan yg diberikan pemerintah terkait proyek


infrastruktur dan risiko lainnya; program off budget yang mengandung risiko
beban fiskal
contoh : PDAM, PLN, Tol, BUMN, BPJS, bencana alam.

dimaksud penurunan batas registrasi PPN adalah misal bahwa rumah harga
1M maka PPN ditanggung pemerintah, lalu misal 1M-5M ditanggung 50%,
maka penurunannya itu bisa misal 1M-2M saja seperti itu.
Konsepnya mobil menghasilkan emisi, maka akan dikenai cukai, kalau ini ditetapkan

maka objeknya akan terlalu luas karena semua mobil yang menghasilkan emisi akan

dikenai cukai," kata Aris menjelaskan.

Di sisi lain, barang kena cukai harus merupakan barang konsumsi yang menimbulkan

dampak negatif. Sementara emisi karbon tidak dikonsumsi, melainkan dihasilkan oleh

suatu kegiatan dan dilepaskan.

Anda mungkin juga menyukai