BAB 8
Jangan Ganggu Daerah Kekuasaan Kami: Berbagai Kendala Yang Menghambat
Kemajuan
Disusun oleh:
UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU PEMERINTAHAN 2022/2023
Resume BAB 8
Pada saat itü Sultan Ahmed III menerbitkan dekrit yang berisi izin pendirian
usaha percetakan kepada Ibrahim Müteferrika. Namun izin yang sangat terlambat ini
masih diembel-embeli dengan berbagai persyaratan. Meskipun dekrit sultan tadi
menyatakan, "pada hari yang penuh berkah ini, selubung alat cetak dari Barat ini akan
tersingkap seperti cadar seorang mempelai wanita dan tak akan lagi pernah
disembunyikan, jelas dikatakan di situ bahwa usaha percetakan milik Müteferrika itü
akan diawasi dengan ketat. Pada dekrit tersebut juga dinyatakan: agar kitab-kitab yang
dihasilkan nanti bebas dari salah cetak, maka hasil cetakannya terlebih dahulu harus
diperiksa oleh para ahli hükum Syariah İslam yang bijak cendekia dan mulia; al-
mukarrom Hakim Kota Istanbul, Mevlana Iskak, al-mukarrom Hakim kota Selaniki,
Mevlana Sahib, serta almukarrom Hakim kota Galata, Mevlana Asad (semoga Allah
meninggikan derajat mereka), dan agar kitab-kitab itü nanti sesuai dengan ajaran
2
agama, maka isinya akan diperiksa oleh seorang ulama mulia, Syekh Kasim Paşa
Mevlevihane, Mevlana Musa (semoga Allah meluaskan ilmu dan kebijak• sanaan
baginya).
Artinya, Müteferrika boleh menjalankan usaha percetakan, tapi apa pun yang dia cetak
harus diawasi dengan ketat oleh sebuah panel yang terdiri atas tiga pakar hukum dan agama,
yaitu para Hakim atau Kadi. pada tahun 1743, hanyn tujuh belas judul buku yang bisa dia
hasilkan, Keluarganya berusaha mcncetuskan usaha tcrsebut tapi akhirnya menyerah pada
tabun 1797 dan hanya berhasil mcrilis tujuh judul buku safra, Di Iltar wilayah kckuasaan
imperium Ottoman, perkcmbangan teknik cctak pres jauh Icbih tersendat-sendat, Di Mesir,
misalnya, percctakan pers pcrtama baru diresmikan pada tahun 1798 oleh scorang lelaki
Prancis yang sempat terlibat dalam penyerbuan pasukan Napoleon Bonaparte untuk
menguasai negeri itu. Hingga memasuki paruh kedua abad ke19, proses penggandaan buku
di wilayah Ottoman masih dilakukan oleh para juru tulis yang menyalin kitab-kitab yang
sudah ada secara manual. Pada awal abad ke-18, tercatat di negara itü terdapat delapan puluh
ribu juru tulis yang bekerja aktif di Istanbul.
Aksi pemasungan terhadap teknik cetak pres jelas terasa dampaknya pada keaksaraan,
pendidikan, serta kesejahteraan ekonomi rakyat pada umumnya. Pada tahun 1800 mungkin
hanya 2 atau 3 persen rakyat Ottoman yang mengenal aksam, porsi itü jauhlebih rendah dari
Inggris, yang 60 persen warga pria dan 40 persenwanitanya bisa menulis dan membaca.
Tingkat keaksaman rakyat Belanda dan Jerman bahkan lebih tinggi. Rakyat Ottoman bahkan
masih tertinggal jauh dari negara-negara yang tingkat pendidikannya paling rendah, misalnya
Portugal, yang hanya 20 persen dari total warga prianya mengenal aksara. Kalau mengingat
watak institusi politik Ottoman yang begitu ekstraktif, tak sulit bagi kita untuk memaklumi
sikap sultan yang sangat anti terhadap teknik cetak pers. Buku akan menyebarkan ilmu
pengetahuan dan membuat rakyat menjadi sulit diatur.
3
Absolutisme adalah kekuasaan yang tidak diatur undang-undang dan tidak mengindahkan
aspirasi pihak lain, meskipun Dalam praktiknya kekuasaan Absolut selalu didukung oleh
gender elite atau kelompok kepentingan. Basis penggerak perekonomian dari industri
ekstraktif tak lain adalah sistem kerja paksa dan penindasan terhadap kaum pekerja serta
petani Rusia yang terkenal amat serakah dan menyengsarakan.
Di beberapa wilayah sub-Sahara Afrika kondisinya bahkan jauh lebih buruk, seperti
yang pernah dielaskan bahwa tnegara tanpa sentralisasi kekuasaan politik yang berfungsi
menjamin ketertiban umum. penegakan hukum, serta perlindungan hak-hak kekayaan
rakyat akan kesulitan membangun institusi yang inklusif. Absolutisme dan ketiadaan dalam
kurung atau lemahnya sentralisasi politik merupakan dua penghalang utama bagi mekarnya
industrialisasi. Kedua faktor itu memiliki keterkaitan yang kuat; absolutisme dan minimnya
sentralisasi politik terkadang sengaja dipertahankan. Pertama karena pihak penguasa takut
pada gelombang penghancuran kreatif dan kedua karena sentralisasi politik pemerintahan
cenderung melahirkan absolutisme .
Namun pada berbagai kasus lain yang terjadi justru sebaliknya, dan proses
sentralisasi politik mulai memberi jalan masuk bagi berbagai pihak yang berkepentingan
untuk melestarikan gaya pemerintahan absolut. Hal ini bisa dilihat pada sejarah asal usul
absolutisme di Rusia, yang dibangun oleh tsar peter yang agung sejak tahun 1982 hingga
kematiannya pada tahun 1725. Dia bahkan membubarkan lembaga perwakilan bernama
Boyar Duma yang pernah berperan mengusungnya menjadi seorang Tsar. Tsar Juga ikut
campur dalam urusan gereja, persis dengan apa yang dilakukan Raja Henry VIII Ketika
penguasa Inggris itu Tengah mengupayakan sentralisasi politik kerajaan pada masa
pemerintahannya. Meskipun Peter yang agung sukses menggalang sentralisasi kekuasaan
serta melibas musuh-musuh politiknya, berbagai kelompok penentang misalnya pasukan
streltsty yang tidak mau melepaskan dominasi politiknya itu justru berhasil menaklukkan
beberapa bagian dunia yang lain akan tetapi, lemahnya sentralisasi politik di wilayah jajahan
mereka itu telah menyuburkan berbagai institusi politik yang ekstraktif dan menindas
rakyat.
Kalau pada abad ke-17 kekuasaan Absolut Kerajaan Inggris runtuh, di Spanyol justru
pemerintahan totalitas Malah semakin menjadi-jadi. parlemen Spanyol yang disebut
4
cortez memang ada namun itu hanya sebagai hiasan. Kerajaan Spanyol berdiri pada
1492 lewat bergabungnya kerajaan kastille dan Aragon, yang dikukuhkan melalui
pernikahan Ratu Isabella dan raja Ferdinand. peristiwa itu bertepatan dengan berakhirnya
serbuan besar-besaran pasukan Spanyol yang mengusir bangsa Arab yang menduduki
Wilayah selatan Spanyol dan membangun sejumlah kota besar seperti Granada, Cordova
dan Sevilla. Bersatunya kerajaan Kastille dan Aragon, yang diperkokoh dengan perkawinan
antara dua dinasti dan tradisi warisan kekuasaan itu telah menciptakan sebuah negara
adidaya di Eropa. ketika ayahnya wafat, kekuasaan raja semakin luas, dia mewarisi negeri
Belanda dan French-Comte yang dia gabungkan ke dalam wilayah kekuasaannya Iberia dan
Amerika Latin. Sejak tahun 1492 Spanyol yang hanya berasal dari dua kerajaan menjelma
menjadi sebuah Imperium multi-kontinental yang menguasai beberapa benua dan raja
Charles satu tanpa bosan terus membangun dan melebarkan wilayah kekuasaan negara
Absolut yang dirintis oleh kedua orang tuanya.
5
mereka berhasil mengungguli Spanyol atau Portugal karena dalam ekspedisi dagang dan
berbagai aktivitas ekonomi di daerah-daerah koloninya Kerajaan Inggris melibatkan banyak
kalangan. Dan ketika momentumnya tiba, kaum pedagang kelas menengah Inggris tampil
sebagai motor utama penggerak dinamika ekonomi Inggris, sekaligus menjadi kekuatan utama
dalam sebuah koalisi yang sukses mendongkel kekuasaan absolut kerajaan.
Di Spanyol tidak pernah ada proses politik yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
dan reformasi institusi. Menyusul ditemukannya benua baru oleh Columbus, Ratu Isabella
dan Raja Ferdinand mengorganisir perdagangan antara bangsa-bangsa jajahan baru mereka
dengan Spanyol melalui sebuah asosiasi pedagang yang berbasis di kota Sevilla. Asosiasi
tersebut mengontrol semua aktivitas perniagaan dan menjamin pihak kerajaan menikmati
cipratan rezeki hasil jarahannya dari bumi Amerika.
6
Tanpa adanya perombakan pada struktur kekuasaan dan institusi politik seperti yang
terjadi di Inggris setelah tahun 1688, negara-negara penganut paham absolutisme pasti
kesulitan memetik faedah dari berbagai inovasi dan kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh
Revolusi Industri Di Spanyol, misalnya, lemahnya perlindungan terhadap hak dan kekayaan
rakyat serta semakin parahnya kebangkrutan negara telah mematikan inisiatif segenap warga
untuk berinvestasi, maupun mengorban- kan kepentingan pribadi mereka demi kemajuan
bangsa. Ketika Revolusi Industri sedang marak-maraknya, peta politik Eropa pada abad ke-18
dan 19 sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang ini. Ketika Revolusi Industri sedang
marak-maraknya, peta politik Eropa pada abad ke-18 dan 19 sangat berbeda dengan apa yang
kita lihat sekarang ini. Takhta Suci Roma yang menaungi sekitar empat ratus negara kecil yang
sebagian di antaranya kelak akan bergabung menjadi Republik Federal Jerman, menguasai
sebagian besar wilayah Eropa Tengah. Pada akhir abad ke-18, Dinasti Habsburg menguasai
daratan di sebelah barat yang sekarang dikenal sebagai negara Belgia (dulu disebut Austrian
Netherlands) Bentang daratan terluas yang dikuasai imperium tersebut sebenarnya berada di
seputar wilayah Austria dan Hungaria, termasuk Republik Cheska dan Slovakia di sebelah
utara, juga Slovenia, Kroasia, dan sebagian besar wilayah Italia dan Serbia di sebelah selatan.
Kaisar Francis I yang memerintah sebagai penguasa terakhir Imperium Suci Roma dari tahun
1792 sampai 1806 kemudian menjadi kaisar di Kekaisaran Austria-Hungaria sampai akhir
hayatnya pada tahun 1835. adalah sosok diktator tulen. Dia tidak sudi kekuasaannya dibatasi,
dan pokoknya dia bertekad akan mempertahankan status quo.
Strategi dasar yang menjadi andalannya adalah menolak segala jenis perubahan. Pada
tahun 1821 lewat sebuah pidato yang disampaikan dengan gaya khas scorang penguasa
keturunan Habsburg, dia berpesan kepada para guru yang mengajar di sebuah sekolah di
Laibach: "Aku tidak butuh orang pintar; yang kuinginkan hanya rakyat yang patuh dan jujur.
Kalian cukup mendidik para pemuda agar memiliki mentalitas seperti itu. Guru yang mengabdi
padaku harus mengajar seperti yang kuperintahkan. Jika kalian tidak sanggup atau mempunyai
gagasan lain, silakan pergi atau akan kusingkirkan. Maharatu Maria Theresa yang memerintah
antara tahun 1740 sampai 1780 punya jawaban khas kalau dimintai petunjuk mengenai
perombakan atau peningkatan mutu institusi kemasyarakatan di negaranya:"Biarkan semua
seperti apa adanya." Meskipun demikian, bersama putranya, Joseph ll yang naik takhta pada
tahun 1780 sampai 1790, sang maharatu sempat berusaha mengonsolidasikan kekuasaan
politik kerajaan sekaligus membangun sistem administrasi pemerintahan yang efektif. Namun
7
ini dilakukan dalam konteks sistem politik yang tidak mampu mengontrol tindakan mereka dan
nyaris tidak memiliki elemen-elemenpluralisme.
Ketika datang utusan dari Provinsi Tyrol yang membacakan petisi berisi tuntutan agar
Kaisar Francis menyusun konsitusi, pemimpin diktator itu menyahut: "Jadi kalian minta
konstitusi! ... Baiklah, tidak jadi masalah buatku. Kuberi kalian konstitusi, tapi ketahuilah, aku
punya angkatan perang yang loyal, dan aku tidak perlu berembuk dengan kalian kalau aku
butuh uang pajak. Jadi sebaiknya kalian hati-hati kalau mau bicara." Mendengar jawaban
seperti itu para pemuka masyarakat dari Provinsi Tyrol membalas, " Kalau Baginda berpikir
begitu, lebih baik tidak ada konstitusi di negara ini," dan langsung dijawab oleh Kaisar
Francis," Maksudku juga begitu. Francis membubarkan Majelis Permusyawaratan Negara yang
dahulu dibentuk oleh Maria Theresa sebagai forum konsultasi dengan para menterinya.
Mobilitas kaum pekerja sangat dikekang, sementara beremigrasi ke daerah lain merupakan
tindakan ilegal pada masa itu. Ketika pegiat kemanusiaan dan filantropis Inggris bernama
Robert Owen berusaha mendesak pemerintah Austria agar menggalang reformasi sosial untuk
mengentaskan rakyat dari ke miskinan, seorang pembantu dekat Metternich yang bernama
Friedrich von Gentz menjawab: "Kami memang tidak ingin rakyat jadi kaya-raya dan mandiri...
Kalau itu yang terjadi, siapa yang sanggup mengendalikan.
8
Kaisar Francis menutup rapat-rapat setiap celah yang mengarah pada kemajuan industri
dan pertumbuhan ekonomi dan membiarkan negaranya dirundung kemunduran dan
keterbelakangan. Sebagai contoh, hingga tahun 1883, ketika 90 persen industri besi tuang
sudah memakai arang kayu, lebih dari 50 persen pabrik pengecoran besi di wilayah kekuasaan
Dinasti Habsburg tetap menggunakan batu bara meski sudah terbukti bahan bakar itu kurang
efisien. Para pekerja ladang dikenai kewajiban kerja tanpa upah selama tiga hari dalam
sepekan. Filsuf radikal Peter Kropotkin, salah satu penggagas paham anarkisme,
menggambarkan kondisi kerja para pekerja ladang pada zaman pemerintahan Tsar Nicholas I
yang berkuasa dari tahun 1825 sampai 1855. Berikut adalah petikan catatan yang dia tulis
berdasarkan pengalaman masa kecilnya cerita tentang lelaki dan perempuan yang dipaksa
meninggalkan sanak kerabat dan tanah kelahiran mereka untuk dijadikan budak belian,
nasibnya dipertaruhkan di meja judi atau tubuhnya dibarter dengan beberapa ekor anjing
pemburu, lalu dibawa tempat-tempat jauh yang terpencil di Rusia Nukilan sejarah Kekaisaran
Austria-Hungaria tadi merupakan bukti bahwa rezim yang berwatak absolut tidak hanya
menyuburkan seperangkat institusi kemasyarakatan yang anti kemakmuran. Penguasa bukan
saja bersikap anti terhadap penghancuran kreatif, tetapi juga takut kepada pembangunan
industri maupun jaringan rel kereta api. Tokoh yang secara ekstrem merepresentasikan sikap
penguasa absolut itu adalah Count Egor Kankrin yang menjabat sebagai menteri keuangan
sejak tahun 1823 hingga tahun 1844, dan tampil terdepan menolak segala perubahan yang
berpotensi memakmurkan rakyat. Semua kebijakan Kankrin didesain untuk memperkokoh
pilar-pilar politik tradisional rezimnya, terutama kekuasaan kaum aristokrat yang memiliki
lahan pertanian, serta mempertahankan struktur masyarakat pedesaan yang agraris.
lbarat sekali dayung dua pulau terlampaui, taktik Kankrin ini benar-benar "genius".
Melalui kebijakan pengalihan aset antarbank, otomatis tak banyak dana pemerintah tersisa
untuk mengongkosi proyek-proyek pembangunan industri. Tsar Nicholas menulis pesan
kepada Grand Duke Mikhail: "Rusia sudah berada di ambang revolusi, tapi selama saya masih
bernyawa, saya jamin itu tak akan pernah terjadi di negeri ini.'Nicholas mengkhawatirkan
perubahan-perubahan sosial yang ditimbulkan oleh pranata perekonomian modern. Seperti
yang dia ucapkan pada acara pertemuan sejumlah industriawan di sebuah pekan pameran
industri di Moskow: negara dan para industriawan harus lebih waspada dan memusatkan
perhatian pada satu isu besar. Tsar Nicholas mencemaskan amukan gelombang penghancuran
kreatif yang ditimbulkan perekonomian industrial modern, yang pasti akan menerjang dan
mengoyak kemapanan politik alias status quo di Rusia. Atas desakan Tsar Nicholas, Kankrin
9
segera mengambil langkah-langkah khusus untuk menghambat potensi berkembangnya
perindustrian di Rusia. Dia melarang
Pada akhirnya, usaha pemintalan benang tenun sama sekali dilarang beroperasi,
Peraturan baru itu sesungguhnya didesain untuk mencegah berkumpulnya para buruh yang
disinyalir akan menyulut pemberontakan Penolakan terhadap proyek jalur kereta api juga
terjadi seiring dengan sikap anti industrialisasi, persis seperti yang terjadi di Kekaisaran
Austria-Hungaria. Sebelum tahun 1842, di Rusia hanya terdapat satu perusahaan kereta api,
yaitu Tsarskoe Selo Railway yang melayani jalur sepanjang sekitar 27,5 kilometer dan
menghubungkan kota Saint Petersburg dengan kompleks tempat tinggal kaum ningrat di
Tsarskoe Selodan Pavlovsk. Selain sangat menentang industrialisasi, Menteri Kankrin juga
tidak melihat dampak positif apa pun dari pembangunan jalur rel kereta api yang menurut
hematnya hanya akan meningkatkan mobilitas rakyat yang mengancam keamanan, karena
transportasi kereta api bukanlah kebutuhan dasar, melainkan kebutuhan orang untuk
bermewah-mewah. Arah kebijakan Kankrin ini diteruskan oleh Count Kleinmichel yang
dilantik sebagai kepala urusan Transportasi dan Bangunan Publik. Dengan jabatannya
Kleinmichel memiliki kewenangan untuk mengurusi perizinan pembangunan transportasi
kereta api, dan jabatan ini dia gunakan sebagai landasan untuk terus menghambat
pembangunan jalur kereta api.
10
perdagangan antarbangsa telah memainkan peran utama dalam me nyulut konflik politik
dan beragam perubahan institusi di bumi Eropa modern. Kaisar Hongwu bahkan
menghukum mati ratusan orang yang ditengarai memperdagangkan barang-barang yang
menjadi upeti bagi kaisar. Antara tahun 1377 dan 1397 pemerintah China melarang segala
jenis misi pelayaran yang membawa upeti.
Keputusan menghentikan misi dagang internasional ini diteruskan oleh penggantinya,
yaitu Kaisar Hongxi yang memerintah dari tahun 1424 sampai tahun 1425. Kaisar Hongxi yang
mati mendadak digantikan oleh Kaisar xuande yang mengizinkan Laksamana ZhengHe
melancarkan misi dagang internasional terakhir pada tahun 1433 Sesudah misi ini terlaksana,
segala bentuk kontak dagang antarbangsa diharamkan. Memasuki tahun 1436 penguasa China
bahkan melarang pembangunan kapal laut, Larangan terhadap aktivitas perdagangan
internasional baru dicabut pada tahun 1567. Rezim Dinasti Ming digilas habis oleh serbuan
para prajurit suku Jurchen yang merupakan keturunan bangsa Manchu di pedalaman Asia.
Setelah merebut kekuasaan, mereka kemudian membangun Dinasti Qing. Sejak itu China
seakan tak henti dirundung instabilitas politik. Harga bahan pangan cukup murah tapi kami tak
pernah bisa kenyang. Bahan sandang juga murah, tapi tak cukup untuk menutupi tubuh kami.
Kapal-kapal membawa muatan dari satu bandar ke bandar lainnya, tapi penjualnya selalu
merugi. Pejabat-pejabat yang meninggalkan pekerjaannya tak tahu bagaimana harus
menghidupi keluarganya. Sungguh keempat lapisan masyarakat itu sama-sama miskinnya Pada
tahun 1661 Kaisar Kangxi memerintahkan agar semua penduduk yang hidup di sepanjang
pesisir dari Vietnam sampai Chekiang pendeknya pesisir selatan China yang merupakan
kawasan perdaganganyang paling ramai pindah ke pedalaman sejauh hampir 27,5 kilometer
dari garis pantai.
Alasan di balik sikap rezim Dinasti Ming dan Dinasti Qing yang melarang aktivitas
perdagangan internasional itu tak begitu sulit ditebak sekarang, mereka takut dengan
penghancuran kreatif. Satu-satunya agenda yang memenuhi benak penguasa adalah menjaga
stabilitas politik. Perdagangan antarbangsa berpotensi menggoyang kekuasaan politik, sebab
pedagang yang sukses dan kaya akan punya nyali serta kekuatan untuk membangkang, seperti
yang ditunjukkan oleh para saudagar Inggris pada saat perdagangan internasional di kawasan
Atlantik mendatangkan untung besar bagi kelompok mereka. Absolutisme penguasa Kerajaan
Abyssinia ternyata berlangsung lebih lama daripada yang terjadi di negara-negara Eropa, sebab
tantangan-tantangan serta momentum sejarah yang dihadapi para penguasa Abyssinia sangat
berbeda Keputusan Raja Ezana untuk memeluk agama Kristen dikuti oleh sebagian besar
11
rakyat Ethiopia, dan pada abad ke-4 beredar mitos tentang Raja Prester John. Prester John
adalah seorang raja Kristen yang terpu-tus kontaknya dari peradaban Eropa dikarenakan
berkembangnya peradaban Islam di kawasan Timur Tengah. Pada awalnya mitos itu
menyebutkan kerajaan Raja Prester John terletak di India.
Ketika pengetahuan bangsa Eropa tentang negara India semakin meningkat, orang pun
sadar bahwa informasi itu tidak benar. Raja Ethiopia yang beragama Kristen iu akhirnya
dimitoskan oleh orang-orang Eropa. Sebenarnya raja-raja Ethiopia sudah lama berusaha
menjalin kontak dan aliansi dengan para penguasa Eropa untuk menangkal serbuan bangsa
Arab. Mereka berulang kali mengirimkan misi diplomatik ke Eropa sejak tahun 1300-an. Raja
Prester John yang dimitoskan itu banyak meninggalkan centa tentang negeri Ethiopia.
Beberapa catatan menarik mengenai aspek ekonomi kerajaan itu ditulis oleh Francisco Alvares,
seorang pengurus gereja yang mengikuti misi diplomatik bangsa Portugal, yang berada d
Ethiopia dari tahun 1520 sampai tahun 1527. Di samping itu ada juga catatan yang ditulis Jesuit
Manoel de Almeida yang tinggal di Ethiopia sejak tahun 1624, juga catatan yang dibuat John
Bruce, seorang petualang yang berada di sana antara tahun 1768 sampai 1773. Di negeri itu
tidak ada sedikit pun institusi kemasyarakatan yang bersifat pluralis, apalagi lembaga yang
mengontrol dan mengimbangi kekuasaan baginda raja yang berkuasa sewenang-wenang
karena konon dia adalah keturunan King Solomon dan Queen of Sheba yang legendaris itu,
dikenal juga sebagai Raja Sulaiman dan Ratu Balqis Gaya pemerintahan absolut dan strategi
politik raja Ethiopia jelas-jelas merampok hak dan kekayaan rakyat.
12
dunia, intensitas absolutisme rezimnya kemungkinan akan melahirkan rezim berikutnya yang
lebih keji. Sebagai ilustrasi, ketika perdagangan internasional berkembang pesat, penguasa
Ethiopia langsung berinisiatif mengontrol dan memonopoli semua kegiatan itu, tak terkecuali
dalam misi perdagangan budak yang sangat menguntungkan.
Meski dikepung dari segala penjuru oleh negara-negara Islam, rakyat Ethiopia masih
bisa tidur nyenyak selama hampir seribu tahun tanpa mengacuhkan dunia yang telah
melupakan mereka. Ketika bangsa Eropa mulai menjajah Afrika pada abad ke-19, Ethiopia
masih kokoh berdiri sebagai negara merdeka di bawah kekuasaan Ras (Duke) Kassa yang
dinobatkan sebagai kaisar dengan gelar Kaisar Tewodros I pada tahun 1855. Tewodros bekerja
keras membangun negara modern, membenahi sistem birokrasi dan peradilan, serta
membangun angkatan perang yang mampu menjaga keamanan negar dan bisa menandingi
kekuatan bangsa Eropa. Dia yang dikenal alot dalam bernegosiasi dengan bangsa-bangsa Eropa
pernah naik pitam dan menjebloskan konsul Inggris ke penjara. Tewodros memilih jalan pintas
dengan bunuh diri Meskipun demikian, pemerintahan Tewodros pernah mencatat kesuksesan
dalam perang melawan bangsa kolonial pada abad ke-19, yaitu ketika mereka berhasil
memukul mundur pasukan Italia. Pada tahun 1889 Kaisar Menelik II naik takhta. Penguasa
baru itu harus berurusan dengan orang-orang Italia yang bernafsu untuk membangun koloni di
Ethiopia Pada tahun 1885 Kanselir Jerman, Bismarck, menggelar konferensi di Berlin.
Kaisar Menelik melancarkan strategi yang lazim ditempuh oleh raja-raja Eropa pada
Abad Pertengahan. Dia membentuk pasukan perang dengan meminta para bangsawan
menghimpun kekuatan militer. Pasukan yang dibentuk secara mendadak seperti ini jelas sulit
diharapkan bisa bertahan lama dalam berbagai misi perang jangka panjang, namun untuk
kebutuhan jangka pendek kekuatannya jelas tak boleh dianggap remeh Dan ternyata pasukan
yang dibentuk dengan tergesa-gesa itu berhasil memukul bala tentara Italia. Lima belas ribu
tentara Italia diobrak-abrik oleh pasukan Menelik yang berjumlah seratus ribu tentara pada
Perang Adowa yang terjadi pada tahun 1896. Itulah kemenangan militer paling telak terhadap
bangsa Eropa yang bisa diraih oleh sebuah negara Afrika prakolonial. Kaisar terakhir Ethiopia,
Ras Tafari, dinobatkan sebagai penguasa tertinggi dengan nama kebesaran Haile Selassie pada
tahun 1930. Kekuasaan Haile Selassie tumbang menyusul serbuan kedua oleh bangsa Italia
yang dimulai pada tahun 1935. Kaisar Haile Selassie kembali ke negeri- nya dari pengasingan
berkat bantuan bangsa Inggris pada tahun 1941 Dia kembali berkuasa hingga takhtanya
didongkel oleh sekelompok perwira militer berhaluan Marxisme yang tergabung dalam
gerakan The Committee' pada tahun 1974-sebuah perbuatan makar yang semakin memiskinkan
13
dan menyengsarakan bumi Ethiopia. Bila dibandingkan, negara Ethiopia dan Inggris akan
menghasilkan rekor kesenjangan yang teramat lebar. Berbeda dengan sejarah bangsa Inggris,
bangsa Ethiopia masih terpuruk hingga sekarang karena absolutisme pemerintah mereka yang
sangat alot dan sulit direformasi, dan belum terlalu lama matinya. Absolutisme pemerintah
niscaya melahirkan perangkat institusi politik-ekonomi ekstraktif yang berbuntut pada
kemiskinan segenap anak bangsa Ethiopia, meskipun ada juga pihak yang diuntungkan, siapa
lagi kalau bukan kaisar dan para bangsawan pendukungnya. Namun implikasi terparah yang
diwariskan oleh absolutisme adalah kegagalan bangsa Ethiopia menangkap peluang emas dan
momentum sejarah yang mengiringi industrialisasi pada abad ke-19 atau awal abad ke-20,
sehingga bangsa itu semakin sengsara sebagaimana yang sekarang kita saksikan bersama.
Pada awal abad ke-19 banyak negara di berbagai belahan dunia, terutama di Afrika,
yang belum memiliki pemerintahan; pemerintahan yang bisa menjamin keamanan dan
ketertiban demi terciptanya sebuah sistem perekonomian modern Di negara-negera tersebut
belum ada pemimpin sekaliber Tsar Peterdari Rusia yang memelopori sentralisasi politik
kemudian mengukuhkan model pemerintahan absolut, atau penguasa sekelas raja-raja Dinasti
Tudor di Inggris yang mengupayakan sentralisasi pemerintahan tanpa sepenuhnya memasung
wewenang Parlemen (sejatinya mereka sangat bernafsu untuk melakukannya, tetapi gagal
total). Dir, Darod, Isaq, dan Hawiye, konon merupakan keturunan dari satu moyang yang
dimitoskan, yaitu Samaale. Kelompok-kelompok klan itu berasal dari wilayah utara Somalia.
Mereka beranak-pinak dan menyebar ke pelosok selatan dan timur Somalia, dan hingga
sekarang mereka masih hidup sebagai penggembala yang secara musiman menggiring
kambing, domba, dan unta berpindah-pindah tempat merumput Sedangkan dua kelompok lain
yang berasal dari klan Digil dan Rahanweyn, adalah kaum petani yang hidup menetap.
Sistem pengelompokan dalam klan itu diatur menurut kelompok pembayar diya, yaitu
kelompok kekerabatan terdekat yang berkewajiban membayar atau mengumpulkan diya alias
"harta pengganti darah", yaitu denda berupa uang atau harta yang harus dibayarkan kepada
salah satu kelompok jika ada anggota keluarganya yang tewas dibunuh. Ada beberapa klan dan
kelompok pembayar diya yang secara turun-temurun selalu bertikai dan saling membunuh
karena memperebutkan berbagai aset langka, seperti sumber air dan padang rumput yang subur
sebagai sumber pakan ternak.
14
Di sana setiap warga lelaki dewasa punya hak memberi pendapat tentang berbagai
keputusan yang menyangkut hajat hidup bersama. Musyawarah pengambilan keputusan
biasanya dihelat dalam berbagai majelis informal yang melibatkan seluruh warga pria dewasa.
Bangsa Somalia tidak mengenal hukum tertulis, di sana tidak ada polisi, apalagi sistem
peradilan kecuali hukum Syariah yang menjadi kerangka acuan hukum informal mereka.
Aturan-aturan informal yang mengikat kelompok pembayar diya disebut beer, yaitu
seperangkat hak, kewajiban, dan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh sebuah kelompok
pembayar diya dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya. Bersama dengan masuknya
pemerintah kolonial, peraturan yang disebut beer tadi akhirnya dijadikan hukum tertulis.
Sebagai contoh, kelompok klan keturunan Hassan Ugaas membentuk kelompok pembayar diya
dengan anggota seribu lima ratus orang. Mereka adalah sub-kelompok klan Din yang hidup di
Somalia selama masa penjajahan Inggris. Pada tanggal 8 Maret 1950, seorang komisaris distrik
Inggris mencatat hukum informal beer tadi. Berikut adalah contoh dari hasil transkripsi tiga
klausul pertama:
1. Jika seorang keturunan Hassan Ugaas dibunuh oleh kelompok lain, maka dua puluh ekor
unta yang merupakan harta pengganti darah atau diya (dari total 100 ekor unta yang harus
dibayarkan) akan diserahkan keluarga terdekatnya,sementara 80 ekor sisanya akan dibagi rata
untuk seluruh anggota kelompok Hassan Ugaas.
2. Jika seorang keturunan Hassan Ugaas dilukai oleh kelompok lain dan cedera yang
dideritanya dihargai tiga puluh tiga dan sepertiga ekor unta, maka dia berhak mendapat seekor
unta dan sisanya akan diserahkan kepada kelompok jifo dari sikorban (iffo adalah subkelompok
dari diya).
3. Jika terjadi pembunuhan sesama warga keturunan Hassan Ugaas, maka besarnya diya yang
harus dibayarkan kepada masing-masing keluarga korban adalah tiga puluh tiga dan sepertiga
ekor unta. Jika pelaku pembunuhan tidak sanggup membayar diya, maka seluruh kerabatnya
wajib membantunya secara tanggung-renteng Keseriusan bangsa Somalia mengatur perkara
diya alias harta pengganti darah itu menunjukkan tingginya frekuensi peperangan antar
kelompok pembayar diya atau antarklan, dan pertikaian yang tak kenal henti itu dimotivasi
oleh nafsu untuk mendapatkan diya atau sekadar saling membalas kesumat, Kejahatan terhadap
seorang warga diterjemahkan sebagai kejahatan yang menimpa seluruh anggota kelompok, dan
harus diselesaikan dengan penyerahan diya yang akan dibagi rata. Jika sipelaku pembunuhan
15
tidak mampu melunasi kewajibannya, maka orang tersebut terancam akan dibalas secara
beramai-ramai oleh seluruh anggota kelompok korbannya.
Konflik antarkelompok penggembala selalu terjadi silih berganti. Kondisi seperti inilah
yang membuat bangsa Somalia tidak memiliki sentralisasi politik. Kekuasaan politik terbagi
sama rata, dan kondisinya nyaris menyerupai sebuah masyarakat yang pluralistik. Namun tanpa
adanya otoritas pemerintahan yang berfungsi menegakkan ketertiban dan melindungi harta
kekayaan rakyat, jangan harap akan lahir institusi inklusif di bumi Somalia. Jangankan
menghormati otoritas kolonial Inggris sebagai pendatang asing, bangsa Somalia bahkan tidak
menghargai dan menghormati otoritas kelompok lainnya, sehingga tidak seorang pun sanggup
menegakkan hukum dan ketertiban di sana. Kurangnya sentralisasi politik itulah yang
menyulitkan negara Somalia memetik berkah dari Revolusi Industri. Dalam iklim politik yang
semrawut dan penuh pertikaian itu, sulit dibayangkan bakal ada investasi atau penyerapan
teknologi baru yang berasal dari Inggris, apalagi membangun institusi maupun organisasi untuk
menanganinya Ajang perpolitikan Somalia yang centang-perenang telah menimbulkan
implikasi yang lebih tersamar terhadap kemajuan ekonominya.
Kerajaan Taqali didirikan pada akhir abad ke-18 oleh kawanan bersenjata yang
dipimpin seorang Ielaki bernama Isma'il. Kerajaan independen itu akhirnya menjadi jajahan
Kerajaan Inggris pada tahun 1884. Raja-raja Taqali dan rakyatnya sudah mengenal aksara Arab,
namun hanya para raja yang menggunakannya- untuk keperluan komunikasi diplomatik, selain
untuk menjalin hubungan dengan para pemimpin negara tetangga. Pada awalnya keadaan ini
terasa sungguh ganjil. Menurut sejarah, teknologi aksara berasal dari peradaban Mesopotamia.
Rakyat juga alergi pada aksara, sebab mereka takut sistem baca tulis hanya akan membuat
sistem perpajakan menjadi lebih sistematis Dinasti penguasa yang dibangun oleh Isma'il
memang masih kesulitan mengendalikan rakyat. Sebesar apa pun nafsu mereka untuk
mengonsolidasikan kekuasaan, mereka dibuat tak berdaya oleh sikap rakyat yang
membangkang. Di balik semua itu ternyata ada faktor penghambat lain yang misterius seperti
siluman, bahwa berbagai kelompok elite politik kerajaan Taqali juga menolak sentralisasi
kekuasaan dan lebih suka berinteraksi dengan masyarakat secara lisan, tanpa memakai media
tulisan,sebab tanpa hukum atau peraturan tertulis mereka bebas bertindak seenak perutnya.
Aturan atau perintah tertulis sangat sulit dicabut, apa lagi disangkal; standardisasi hukum dan
perundangan inilah yang justru dijauhi dan ditolak sebagian elite politik. Itulah yang sejatinya
terjadi di Kerajaan Taqali, rakyat yang diperintah maupun elite yang memerintah sama-sama
16
bimbang menyikapi sosialisasi teknologi aksara, sebab mereka melihat lebih banyak mudarat
ketimbang faedahnya.
Meskipun bangsa Somalia tidak memiliki struktur pemerintahan atau dikuasai oleh elite politik
yang jelas, keengganan mereka untuk mengadopsi budaya baca tulis dan teknologi dasar
lainnya kemungkinan dilandasi oleh motif yang sama Kasus bangsa Somalia menunjukkan
beratnya konsekuensi dari lemahnya sentralisasi politik terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak
pernah ada catatan sejarah yang merekam upaya-upaya serius untuk menciptakan sentralisasi
politik di Somalia. Meskipun begitu, tidak sulit bagi kita untuk memahami penyebabnya. Untuk
memusatkan kekuatan politik di Somalia, pasti perlu ada kelompok penguasa yang
mendominasi kelompok-kelompok lain. Tapi tentu saja orang Somalia tidak sudi didominasi
kelompok mana pun, sebab mereka akan kehilangan kekuatan politiknya; perimbangan
kekuatan militer antarklan juga menyulitkan usaha menciptakan sentralisasi politik di sana.
Kelompok mana saja yang berusaha mendominasi kekuatan politik bukan hanya akan menuai
perlawanan, tetapi juga kehilangan kekuatan maupun hak-hak istimewanya Sebagai
konsekuensi dari lemahnya sentralisasi politik dan tidak adanya perlindungan terhadap harta
kekayaan warga, bangsa Somalia tidak pernah bisa berinvestasi di bidang teknologi yang bisa
meningkatkan produktivitas. Ketika proses pembangunan industrialisasi sedang gencar-
gencarnya dilakukan di berbagai belahan dunia pada abad ke 19 dan awal 20, bangsa Somalia
masih saja sibuk saling menyerang dan berjuang
Revolusi Industri pada abad ke-19 dan masa sesudahnya menjanjikan perubahan yang
signifikan bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Negara-negara yang sigap dalam menyambut
dan mendorong perkembangan teknologi di sektor industri diyakini akan mencapai kemajuan
dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, kenyataannya banyak negara yang gagal
memanfaatkan peluang tersebut, bahkan menolaknya secara terang-terangan.
Contoh nyata dari kegagalan ini dapat ditemukan di Spanyol dan Ethiopia, di mana
penguasa yang memiliki kendali absolut terhadap institusi politik dan ekonomi telah
menghambat prospek menuju kemakmuran. Fenomena ini tidak terbatas pada abad ke-19,
melainkan telah terbukti sebelumnya dalam sejarah di negara-negara seperti Kekaisaran
Austria-Hungaria, Rusia, Imperium Ottoman, dan China. Para penguasa di negara-negara ini,
takut akan dampak negatif dari revolusi industri dan perubahan yang radikal, tidak hanya gagal
mendorong rakyatnya untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga secara aktif menghambat
17
proses industrialisasi dan menolak pengenalan teknologi baru yang dapat mempercepat
kemajuan industri.
Revolusi Industri pada abad ke-19 memiliki dampak yang berbeda-beda di berbagai
negara, tergantung pada faktor institusional dan politik yang ada. Institusi politik-ekonomi
inklusif yang didukung oleh sentralisasi politik mampu menciptakan insentif bagi pertumbuhan
ekonomi dan industrialisasi. Namun, banyak negara yang tidak memiliki sentralisasi politik
dan mengalami kekacauan sosial, seperti Afghanistan, Haiti, Nepal, dan Somalia, gagal
memanfaatkan peluang industri dan menciptakan insentif ekonomi bagi masyarakatnya. Selain
penguasa absolut, elit politik tradisional dan kelompok klan yang dominan juga menolak
perubahan dan sentralisasi politik, karena khawatir kekuasaan politik akan berpindah tangan.
Akibatnya, negara-negara ini terpuruk dalam era industrialisasi dan kehilangan momentum
emas untuk pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Prancis, yang
membangun institusi politik-ekonomi inklusif dan melawan absolutisme, berhasil
memanfaatkan peluang ekonomi dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Dalam
kesimpulannya, revolusi industri memberikan dampak fundamental terhadap kemakkuran atau
kemelaratan suatu bangsa, tergantung pada faktor institusional dan politik yang ada. Institusi
politik-ekonomi inklusif dan sentralisasi politik mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara
penolakan terhadap perubahan dan ketidakstabilan sosial menghambat kemajuan
industrialisasi.
Buku "Mengapa Negara Gagal" memiliki Bab 8 yang membahas tentang kegagalan
negara-negara dalam menghadapi revolusi industri dan pertumbuhan ekonomi pada abad
18
ke-19. Bab ini menyoroti beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut. Salah satu
faktor yang dikemukakan adalah kurangnya sentralisasi politik dalam negara-negara
tertentu. Negara-negara yang tidak memiliki struktur politik yang kuat dan terorganisir tidak
mampu menegakkan hukum, menjaga ketertiban sosial, dan melindungi hak kepemilikan
harta dan kekayaan rakyat. Akibatnya, ketidakstabilan sosial terjadi, menghambat
perkembangan industri dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penolakan terhadap perubahan juga menjadi faktor yang
signifikan. Penguasa politik yang takut akan kehilangan kekuasaan dan pengaruh mereka
enggan menghadapi perubahan dan berinvestasi dalam teknologi baru yang dapat memacu
laju industrialisasi. Hal ini terlihat pada negara-negara seperti Spanyol dan Ethiopia, di
mana penguasa absolut secara terang-terangan menolak perkembangan teknologi dan
menghambat proses industrialisasi.
Elit politik tradisional dan kelompok klan yang dominan juga terlibat dalam
menghambat pertumbuhan ekonomi. Mereka cenderung mempertahankan kepentingan
mereka sendiri dan menolak perubahan struktur perekonomian yang dapat mengancam
posisi mereka. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menentang sentralisasi politik dengan
alasan bahwa perubahan akan mengubah distribusi kekuasaan politik yang ada. Dalam
kesimpulannya, Bab 8 dalam buku "Mengapa Negara Gagal" menyoroti bahwa kegagalan
negara-negara dalam menghadapi revolusi industri dan pertumbuhan ekonomi pada abad
ke-19 disebabkan oleh kurangnya sentralisasi politik, penolakan terhadap perubahan, dan
dominasi elit politik tradisional. Faktor-faktor ini menghambat perkembangan industri dan
menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
19