Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH REVOLUSI PERANCIS TERHADAP

KETIDAKPUASAN PADA ANCIEN REGIME


1789-1799

Nama : Amelia Putri


Kelas : XII MIPA 3

SMA AN NURMANIYAH
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................i
PEMBAHASAN.................................................................................1
A. Latar Belakang Revolusi Perancis................................................1
B. Penyebab Terjadinya Revolusi Perancis.......................................3
C. Dampak dari Revolusi Perancis..................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................17
LAMPIRAN.....................................................................................18

i
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Revolusi Perancis


Prancis sebenarnya diatur oleh apa yang di zaman modern disebut
“jaringan”. Anggota organisasi seperti itu berpura-pura melayani kedaulatan atau
public, dan dalam beberapa hal benar-benar melakukannya tetapi penghargaan
mereka ditentukan oleh intrik dan kemurahan hati, dan sepenuhnya tidak
proposional dengan layanan mereka. Mereka umumnya lebih suka kecurangan
daripada mengambil langsung dan akan menghabiskan jutaan uang negara untuk
usaha yang tidak perlu, untuk mengalihkan beberapa ribu ke kantong mereka
sendiri. Mereka bertahan bersama melawan seluruh dunia, sambil memcoba saling
mengelak.

Jaringan seperti itu di Prancis kuno adalah istana. Dengan jaringan seperti
itu, setiap negara akan di atur, di mana penguasa yang memiliki kekuatan politik
akan kurang kuat dalam karakter moral atau tidak peduli dengan kepentingan
umum apakah penguasa itu seorang raja, sebuah dewan, atau massa rakyat. Istana
Prancis yang ditakdirkan untuk memiliki pengaruh yang sangat besar pada
jalannya peristiwa di masa pemerintahan ini dan di awal Revolusi Prancis, terdiri
dari orang-orang yang dekat secara pribadi dengan raja. Keluarga kerajaan dan
anggota kelompok bangsawan tingkat tinggi diperbolehkan masuk ke dalam
jaringan dengan hak lahir, tapi tempat yang lebih luas hanya bisa didapatkan
dengan bantuan.

Istanalah yang mengontrol sebagian besar pengangkatan, karena tidak ada


raja yang dapat mengenal semua pelamar jabatan secara pribadi dan amat dekat.
Kehormatan dan honorarium dari air mancur kekuasaan kerajaan dialihkan, oleh
para menteri dan pejabat istana, ke saluran mereka sendiri. Para pejabat istana,
dipihak mereka, menganggap diri mereka sebagai tatanan orang yang berbeda dari
seluruh bangsa. Upacara pemberian gelar adalah paspor bagi masyarakat mereka,
tetapi tidak semua orang yang memiliki gelar resmi ini dianggap sebagai bagian
dari lingkaran dalam. Istana dianggap sebagai kekuatan yang paling sah,

1
meskipun kadang kadang sangat dibenci, dan dengan sangat tepat menanggung
sebagian besar kebencian atas kesalahan pemerintah.

Dibawah monarki, orang tidak selalu membedakan dalam pikiran mereka


sendiri antara kebaikan negara dan kesenangan pribadi raja, juga tidak sepenuhnya
diakui bahwa raja ada untuk rakyatnya dengan cara apapun. Ketika Count Artois
mengatakan kepada Parlemen Paris pada 1787 bahwa mereka tahu kalau
pengeluaran raja tidak dapat diatur oleh kuitansi, tetapi kuitansi harus diatur oleh
pengeluarannya, namun tidak terpikir olehnya bahwa ada perbedaan antara
kebutuhan untuk mempertahankan pasukan yang efisien, dan keinginan memiliki
anjing pemburu, pelatih, dan istana-istana.

Dia tidak berpikir bahwa mungkin penting bagi kehormatan Prancis untuk
memberi makan para prajurit tua di Hotel des Invalides, dan cukup berlebihan
untuk membayar sejumlah besar uang kepada para jenderal yang tidak pernah
turun ke lapangan dan kepada para kolonel yang jarang mengunjungi resimen
mereka. Tidaklah mudah, dalam memandang pemerintahan Prancis di abad ke 18,
untuk memutuskan dimana administrasi kerja berakhir, dan di mana istana yang
tidak layak yang sebenarnya tidak bisa menjawab permasalahan dimulai. Para
menteri negara dianggap sebagai bagian dari istana. Begitu pula banyak pegawai
negeri sipil tingkat tinggi, staf militer raja, dan dalam arti tertentu, para penjaga
dan pasukan kerumahtanggaan.

Demikian juga dengan “pelayanan hebat” yang mengambil bagian dari


sifat jabatan publik, penghormatan seremonial, dan pekerjaan rumah tangga. Dari
jenis ini adalah Divisi Rumah Tangga, Kamar, Ruang Depan dan Lemari,
Kandang Besar dan Kecil, dengan Pengawal Agung, Pengawal Pertama, dan
pelayan, yang harus membuktikan kemuliaan untuk kepuasan bentara kerajaan.
Aturannya telah dirancang untuk mencegah kebingungan dan untuk mengatur
pendekatan para bangsawan kepada raja. Karena semua penghargaan dan
penghormatan berasal dari keinginan kerajaan, orang-orang pasti akan
mengerumuni raja, dan saling berdesak desakan dengan tidak sopan dan
berbahaya, kecuali jika mereka diatur dengan ketat.

2
Oleh karena itu, setiap orang harus mendapatkan tempatnya secara pasti
yang diberikan kepadanya. Berada di dekat raja setiap saat, memiliki kesempatan
untuk mengucapkan kata-kata pada waktu yang tepat ke telinganya, adalah hak
istimewa yang tak ternilai. Aturan tidak dapat dengan mudah direvisi, karena
masing-masing pemerintahan Louis XVI telah ditetapkan oleh para pendahulunya
ketika tata krama berbeda. Kaum bangsawan memegang peranan yang sangat
penting. Sehingga, segala sesuatunya ditentukan oleh mereka, sedangkan raja
hanya mengesahkan. Ketidakadilan dalam bidang ini dapat dilihat dari pemilihan
pegawai-pegawai pemerintah yang ditentukan berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan profesi atau keahlian.

Hal ini menyebabkan administrasi negara menjadi kacau dan berakibat


munculnya tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak
diperkenankannya masyarakat kecil untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan
pemerintahan. Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut, dimana raja
dianggap selalu benar. Louis XIV menganut semboyan I’etat c’est moi yang
artinya negara adalah saya. Untuk mempertahankan keabsolutannya itu, ia
mendirikan penjara Bastille untuk siapa aja yang berani menentang raja.
Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja.
Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (letter du cas). Absolustime
Louis XIV ini tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak dibatasi undang-
undang.

B. Penyebab Terjadinya Revolusi Perancis


Penyebab Utamanya adalah adanya ketidakpuasan terhadap ancien regime.
Ancien regime adalah suatu system aristokratik di Perancis dibawah pemerintahan
dinasti Valois dan Bourbon pada abad ke-14 sampai 18. Masalah tersebut
kemudian berpengaruh dengan adanya perekonomian yang tidak sehat, panen
yang buruk, kenaikan harga pangan, dan system transportasi yang tidak memadai,
sehingga menimbulkan rasa benci dari rakyat terhadap pemerintah. Kenaikan
pajak yang memicu penyerbuan Palais-Royal merefleksikan pemborosan yang
dilakukan Keluarga Bourbon, keluarga kerajaan tempat Louis dilahirkan.

3
Keluarga Bourbon mengeluarkan uang secara tidak teratur untuk
mendirikan bangunan-bangunan mewah di Paris; perang terus menerus terhadap
Spanyol dan Austria juga bank bangkrut. Untuk membiayainya, Kardinal
Mazarin, menteri utama sang raja, mengeluarkan serangkaian pajak antara 1644
dan 1648. Mazarin memberi alasan penerapan pajak itu dengan mengatakan kalau
kelompok aristokrat Prancis umumnya bisa menanggungnya. Parlemen Paris,
sebuah law court (kelompok pembuat undang-undang) yang terdiri dari para
aristokrat yang tidak terikat pada raja, sangat tidak setuju.

Parlemen menuntut kerajaan menghentikan kebijakan eskpansi militernya


dan menjalankan reformasi konstitusi dan finansial. Ini menandai awal dari The
Fronde, perang sipil yang nengambil namanya dari sebuah ketapel yang
digunakan anak-anak jalanan untuk mengganggu figur-figur yang mewakili
kekuasaan. The Fronde terdiri dari dua pemberontakan dalam 5 tahun : Fronde de
Parlement pada 1648-49, yang bertujuan untuk menahan kekuatan absolut
monarki yang semakin besar dan Fronde des Nobles pada 1650-53, sebuah
perebutan kekuasaan diantara para aristokrat yang merasa tidak puas. Kerusuhan
pertama, termasuk penyerbuan Palais-Royal, membuat raja takut, dan para
anggota Parlemen yang di penjara pun dibebaskan.

Namun ini tidak menghentikan kerusuhan-kerusuhan itu. Louis serta


ibunya, Anne, lalu meninggalkan kota. Di sisi lain, Kelompok perusuh Fronde
(Frondeur) mendapat lebih banyak keberhasilan dan menguasai penjara Bastille.
Untuk memecahkan kebuntuan, Conde menawarkan amnesti bagi para Frondeur
jika mereka meletakkan senjata. Setelah hal ini disepakati, Louis dan Anne pun
kembali ke ibu kota. Namun, dalam sebuah tindakan pengkhianatan yang lazim
dilakukan politikus pendukung Raja Prancis saat itu dan seterusnya, Kardinal
Mazarin menangkap Conde. Ia takut kalau Conde akan bergabung dengan
kelompok Frondeur setelah merebut kembali Paris untuk raja dengan
menangkapnya, Mazarin memastikan kalau hal ini terjadi.

Kini Conde pun memimpin orang-orangnya untuk melawan raja, dan


jalan-jalan ibu kota pun dengan cepat dikuasai oleh para perusuh. Louis dan Anne
dikenai tahanan rumah di Palais-Royal, sebuah penghinaan lain yang tidak akan

4
dilupakan Louis dan ia juga tidak dapat memaafkan para bangsawan yang
bertanggung jawab atas kejadian itu. Bagi Louis, Paris, para bangsawan, dan
rakyatnya adalah sebuah wadah ancaman dan bahaya yang mematikan; ia akan
meninggalkan kota itu secepat mungkin. Pada kenyataannya, hanya ada sedikit
yang dapat diharapkan oleh siapapun yang tinggal di Paris saat itu. Paris telah
jatuh ke dalam kelaparan, penderitaan, dan ketiadaan hokum seperti dahulu.

Untuk mendapatkan dukungan kota itu dan mengembalikan ketertiban,


Conde menyusun sebuah pertemuan antara anggota Fronde, kelompok borjuis,
dan kelompok pendeta disebuah aula pertemuan di Hotel de Ville. Namun
pembicaraan mereka memanas saat muncul saran untuk melakukan rekonsilisasi
dengan raja. Peluru-peluru ditembakkan dan orang-orang Conde menyerang
pertemuan itu. Sementara Para Riflemen (tentara yang dipersenjatai senapan rifle)
dan musketeers (tentara yang di persenjatai senapan musket) menembak dari
jendela. Pembantaian Hotel de Ville adalah usaha terakhir rakyat Paris yang sudah
lelah dengan pertempuran; itu juga akhir dari politik Conde.

Jenderal yang telah jatuh itu diam-diam melarikan diri dari kota itu dan
kelompok Fronde pun membubarkan diri. Itu adalah bentuk perlawanan bersenjata
yang terakhir atas kekuasaan kerajaan Perancis, sampai revolusi pada 1789. Kini
Louis berkuasa, dan ia akan menghabiskan sisa masa kekuasaannya dengan
menjadikan kekuasaannya absolut. Louis menunjukkan niatnya dengan sangat
jelas. Ia menempatkan kedudukannya di istana Louvre. Menghukum semua
anggota Fronde, dan mengangkat hanya para loyalisnya ke posisi administrative.
Untuk merayakan satu tahun Pembantaian Hotel de Ville. Louis mengadakan
pesta untuk kota itu dan mendirikan sebuah patung dirinya di luar balai kota.

Affair of the Poisons menjadi symbol berakhirnya kedudukan Louis di


Paris. Dibawah kekuasaan Louis, Prancis menjadi salah satu negara superpower
Eropa, dan hanya ia yang bertanggung jawab atas semua keputusan. Kelompok
Third Estate (rakyat jelata) yang dieksploitasi adalah yang paling menderita.
Mereka adalah masyarakat yang tidak masuk kelompok pendeta maupun
bangsawan, dan menjadi satu-satunya anggota masyarakat Prancis yang
membayar pajak. Pajak ini memberi Louis dan ratusan pengiringnya semua

5
kemewahan yang dapat dibayangkan sementara rakyatnya tidak mendapat apa-
apa.

Namun, kelompok Third Estate ini akan mendapat kesempatan untuk


membalas dendam pada 1789, saat mereka bangkit melawan monarki.
Kepindahan Louis ke Versailles, sekitar 20 km (12 mil) disebelah barat daya
Paris, adalah bagian dari rencananya yang lebih besar untuk mengendalikan para
bangsawan. Louis telah memerintahkan 350 apartemen dibangun di istananya
yang luas itu untuk para penghuninya. Setiap aspek kehidupan penghuni istana ini
dikoreografi (diatur) secara rumit. Ketidakpatuhan dapat berarti akhir dari
kebaikan hati raja dan, dalam kasus ekstrem, pengasingan atau kematian.

Louis telah membangun Versailles sebagai sebuah sangkar emas tempat


ia dapat mengendalikan semua aspek kehidupan para bangsawannya. Ia akan
membuat mereka tetap sibuk dengan jamuan-jamuan mewah, pesta-pesta dansa,
acara-acara berburu, serta pertunjukan drama, dan sebagai imbalannya, para
pengiringnya itu akan menyerahkan kemerdekaan mereka kepadanya. Pernikahan
antara Louis-Auguste, yang tak lama kemudian menjadi Louis XV, dan pengantin
wanitanya yang berusia 14 tahun, Marie Antoinette, oleh banyak orang dianggap
sebuah pertanda buruk. Saat perayaan, sebuah pertunjukan kembang api di Place
de la Concorde berlangsung kacau.

Sebuah kembang api roket yang salah arah membakar satu kotak
kembang api dan api pun melanda lapangan itu 132 orang tewas dalam kekacauan
itu. Dalam waktu dua dekade, ada lebih banyak nyawa orang Prancis yang lenyap
di Place de la Concorde, walaupun kali ini terjadi di depan massa yang marah,
menuntut hukuman dilaksanakan. Kesenjangan antara kaya dan miskin di Paris
tidak pernah sebesar di abad ke-16. Saat tidak berada di Versailles, para
bangsawan Paris menghabiskan waktu mereka menikmati hiburan, mengunjungi
teater, dan mengadopsi mode dan gaya baru.

Mulai 1760-an, membawa payung dan pantins menjadi sebuah tren.


Pantins adalah sebuah boneka kecil yang dapat dimainkan saat sedang bermalas-
malasan di Pont Neuf. Memakai wig, membawa sapu tangan dan kotak tembakau,
dan pengadopsian gaya berpakaian yang agak kewanitaan dilakukan untuk

6
membedakan dengan kebiasaaan dan pakaian rakyat kecil, yang dikenal dengan
sebutan sans-culottes. Culotess adalah gaya berpakaian celana pendek di atas lutut
yang dilakukan para bangsawan; mengenakan celana yang lebih panjang adalah
tanda paling jelas yang menunjukkan kelas sosial rendah.

Para aristokrat petualangan akan mengenakan pakaian rakyat kecil untuk


mengunjungi daerah kelas pekerja diluar kota Paris yang padat; mereka yang
tinggal di sana dianggap tidak lebih baik dari orang-orang liar yang ditemukan
dikoloni-koloni jauh di luar negeri. Banyak kelas pekerja Paris yang sebenarnya
adalah imigran dari provinsi lain, yang pindah ke Paris untuk mengisi lowongan
kerja yang disebabkan tingginya angka kematian di kota itu. Penduduk Paris yang
tidak meninggal di medan perang di negara lain, atau akibat penyakit cacar, sering
kali meninggal akibat penyakit lain yang muncul akibat keadaan yang tidak bersih
dan rumah-rumah yang sesak.

Penyakit kelamin tumbuh subur, pada saat itu sifilis adalah sebuah
penyakit mengerikan yang tidak dapat disembuhkan, dan banyak bayi yang lahir
terkena penyakit ini, sebuah produk dari prostitusi di Paris. Sebuah perkiraan
konservatif pada 1760, jumlah pelacur di kota sekitar 20.000 orang, meski angka
sebenarnya dan jumlah mereka yang terlibat dalam kegiatan seks berbayar itu
jelas lebih tinggi. Hanya ada sedikit makanan bagi kelas pekerja yang menderita.
Rumah sakit utama kota itu adalah Hotel-Dieu, yang menempatkan enam orang
disebuah ranjang dan memiliki tingkat kematian satu dari empat orang.

Namun, ide-ide baru tentang kebersihan dan sanitasi sudah mulai


diterapkan dalam kebijakan para perencana kota membuang feses dan urine rumah
tangga ke jalan semakin tidak dapat diterima mereka yang meninggal mulai
dimakamkan di luar pusat kota. Rumah-rumah sakit yang lebih kecil dibuka
dengan tujuan untuk menyembuhkan mereka yang sakit, bukan hanya sekadar
menerima mereka.

Kelompok borjuis ambisius dan banyak membaca, mempelajari teori-


teori Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire, dan para pemikir Masa Pencerahan
lain yang dikenal sebagai ‘philosophes’ (filsuf). Para philosophes yakin bahwa
diperlukan reformasi sosial, ekonomi, dan politik untuk memperbarui institusi-

7
institusi feudal Prancis dan menciptakan sebuah negara yang mewakili kehendak
rakyatnya. Manusia memiliki hak alami dan berhak untuk memperoleh
kemerdekaan, kebahagiaan, dan pengetahuan.

Namun, sementara kelas menengah berusaha mendapatkan kekuatan


politik, tidak ada filosofi sentral yang melandasi revolusi Prancis, juga tidak ada
satu kelompok bersatu yang memimpin revolusi itu. Sebaliknya, ada hasrat besar
dari kelompok borjuis dan petani dari Third Estate untuk memiliki perwakilan di
dalam pemerintahan dan hak penuh untuk memiliki tanah. Tanpa krisis ekonomi
dan politik, tidak jelas apakah Third Estate dapat bangkit. Namun pada akhir
1780-an, krisis dating, saat Prancis dibebani oleh utang, panen yang buruk,dan
monarki yang telah membuat negara bangkrut.

Pada 1789, Prancis mengalami keresahan akibat ketidakpuasan dan


frustrasi. Sebagai respon atas tuntutan system perpajakan yang lebih adil, Louis
XVI mengadakan Estates General (rapat legislative dan konsultatif yang dihadiri
perwakilan dari kelas-kelas masyarakat), sebuah pertemuan pmerintahan yang
belum pernah dilakukan selama lebih dari 200 tahun. Tindakan putus asa ini
menyebabkan para perwakilan dari Third Estate menduduki sebuah lapangan tenis
di Versailles, dan menolak untuk membubarkan diri sampai Louis mengakui
mereka sebagai sebuah National Constituent Assembly (Majelis Konstituante
Nasional). Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan Warga Negara) akan menjadi manifesto pemerintahan baru ini.

Pada 20 Juni 1789, saat Third Estate mendeklarasikan sendiri Parlemen


yang baru, segalanya tampak mungkin terjadi. Namun, dibulan Juli, keputusasaan
dan kemarahan sekali lagi timbul. Louis bereaksi dengan memperkuat keberadaan
militernya di sekitar Paris dan Versailles. Kemarahan politis semakin di dorong
oleh kelangkaan makanan. Tanpa disadari oleh raja, massa ini membentuk sebuah
pasukan rakyat; saat Louis memecat penasihatnya, Jacques Necker yang popular,
angkatan bersenjata bergerak menuju Versailles. Namun, protes itu berjalan damai
dan hanya menuntut agar Necker diangkat kembali. Louis mengabaikan tuntutan
itu dan dengan demikian menyalakan sumbu mesiu yang menyalakan revolusi.

8
Pada 14 Juli, sekelompok massa yang marah menyerbu barak-barak
Invalides dan mempersenjatai diri mereka dengan senjata-senjata yang mereka
temukan disana. Sambil memegang tombak,musket, dan pedang, massa itu
bergerak menuju penjara Bastille, sebuah simbol kekuasaan kerajaan yang
dibenci. Kepala penjara itu berusaha berunding dengan massa. Ketika
perundingan gagal, ia memerintahkan orang-orangnya untuk menembak lebih dari
100 orang terbunuh. Massa merespon dengan kemarahan besar mereka menyerbu
tembok-tembok penjara dan membebaskan tujuh tahanan didalamnya mereka
membakar Bastille hingga rata dengan tanah, menangkap kepala penjara,
memotong kepalanya dan menancapkannya di sebuah tombak.

Gelombang kekerasan melanda Paris: biara di Roi Soleil dijarah


bangunan-bangunan Hotel de Ville dihancurkan dan banyak tokoh yang dibenci
dipenggal dan kepala mereka dipajang. Louis, yang merasa yakin kalau ia sudah
cukup berbuat untuk memuaskan massa, benar-benar terkejut mendengar berita
dari Paris. Ketika kembali ke Versailles setelah acara berburu, sang raja bertanya
kepada para pembantunya, ‘ Apakah ini sebuah pemberontakan?’ ‘ Bukan tuan,’
jawab mereka, ‘Ini sebuah revolusi’.

Khawatir Versailles akan diserbu dan keluarga kerajaan dibantai, Louis


pergi ke Paris. Penampilan luarnya menunjukkan kalau ia telah menerima
keinginan rakyat dan menegosiasikan kembali kekuasaan kerajaannya. Namun
pada kenyataannya, Louis hanya mengulur waktu. Banyak bangsawannya yang
melarikan diri ke negara tetangga seperti Prussia, untuk mengumpulkan dukungan
bagi sang raja. Louis mengenakan pakaian hitam yang muram dan mengendarai
sebuah kereta biasa menuju Paris, tempat ia diberi sebuah simpul pita berwarna
merah, putih, dan biru, warna revolusi, dan menemui massa. Nada suaranya damai
dan lembut, ia sambut dengan sorak-sorai dan tembakan meriam. Saat Louis
kembali ke Versailles, kekuasaannya, dan ancient regime, sudah berakhir.

Penduduk Paris salah kalau mereka membayangkan kejadian revolusioner


yang baru terjadi dan sikap tunduk Louis akan meningkatkan kualitas hidup
mereka. Pada 1789, inflasi sangat tinggi dan biaya hidup menjadi hampir tidak
masuk akal. Kepercayaan apapun yang ada antara Versailles dan rakyat Paris

9
menguap saat Louis membuat sebuah pernyataan yang menyetujui hanya beberapa
ketetapan konstitusi Prancis yang baru, sambil menunjukkan keraguan atas
Deklarasi Hak Asasi Manusia. Puncaknya datang pada pagi hari, ketika
sekelompok wanita di pasar yang marah karena tingginya harga makanan,
mempersenjatai diri mereka dengan pisau dapur dan persenjataan buatan sendiri,
lalu menyerbu Hotel de Ville, merampas persediaan makanan, persenjataannya,
dan bahan makanan lain.

Namun, sebagian dasar massa tetap tidak dapat ditenangkan dan terus
menduduki halaman-halaman istana. Khawatir melihat kebencian yang
ditunjukkan oleh massa itu, Louis secara sukarela segera menyetujui setiap pasal
dalam konstitusi yang baru dan mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Sang
raja yakin kalau ini akan membubarkan massa, lalu ia pergi tidur, demikian juga
Lafayette. Di sisi lain, tentara Lafayette tetap tinggal di luar dan berbaur dengan
para pemrotes. Pagi harinya, banyak dari prajurit ini yang telah bergabung ke
dalam pemberontakan.

Sekitar pukul 6 pagi, para pemrotes menemukan sebuah pintu masuk ke


istana yang tidak dijaga, lalu menyerbu masuk. Swiss Guard (Pasukan Pengawal
Swiss, pasukan Swiss yang bertugas mengawal istana – istana negara lain di
Eropa) raja mencoba menghalangi pintu – pintu dalam istana, bahkan menembak
seorang pemrotes, tetapi dengan cepat dikalahkan. Mereka yang melawan
mengalami hukuman revolusioner, yaitu dipenggal, dan kepalanya ditancapkan
diujung tombak – tombak. Marie Antoinette dan para pelayan pribadinya berusaha
masuk ke kamar raja, dan baru diizinkan masuk saat para pemrotes telah terlihat.
Lafayette sendiri, bangun dari tidur selama beberapa jam, berhasil mengusir para
pemrotes dari kamar tidur Louis lalu meninggalkan istana.

Hal ini tampaknya meredakan kemarahan para demonstran, mereka setuju


untuk meninggalkan istana dengan syarat keluarga kerajaan ikut dengan mereka
ke Paris. Itu adalah sebuah perjalanan yang ramai, senapan – senapan musket
ditembakkan untuk merayakan dan kepala – kepala mereka yang terbunuh
diangkat tinggi – tinggi dengan tombak. Sekarang tidak ada lagi pertanyaan siapa
yang berkuasa, raja dan ratu ada untuk melayani rakyat. Ketika mereka tiba di

10
Tuileries, yang kini menjadi penjara bagi keluarga kerajaan, mereka mendapati
istana itu dalam keadaan runtuh.

Lemparan dadu (kesempatan) terakhir Louis datang pada 1791. Diam –


diam melarikan diri lewat lorong – lorong rahasia dibawah Tuileries, sang raja,
keluarga, dan para pengiringnya meninggalkan Paris. Rencana mereka adalah
menyeberangi perbatasan dan melakukan kontra revolusi dengan 10.000 tentara
kerajaan yang ditempatkan di kota perbatasan Prancis, Montmedy. Perjalanan
bertambah lama dengan beberapa kali perhentian untuk beristirahat dan saat
perhentian itu keluarga kerajaann mengobrol dengan orang – orang yang lewat.
Kereta kuda itu dikenali dan di hentikan di sebuah kota kecil, Varennes, 50 km
(31 mil) dari Montmedy. Louis dibawa kembali ke Paris dengan dikawal pasukan
bersenjata revolusi.

Hal yang dirasakan oleh orang banyak adalah rasa terkejut, raja mereka
telah mengkhianati mereka. National Constituent Assembly (Majelis Konstituante
Nasional), kekuatan yang kini menguasai Paris, menganjurkan agar Louis tetap
dapat menjadi raja jika ia menandatangani konstitusi. Namun, sebuah surat
bernada tajam yang ditinggalkan Louis di Tuileries kepada kelompok revolusioner
menunjukkan niatnya yang sebenarnya. Louis menguraikan penghinaan –
penghinaan yang ia dan keluarganya derita, mengakui kalau sumpahnya pada
konstitusi tidak tulus, dan memerintahkan kembalinya monarki. Surat itu
membongkar tipu muslihat raja dan menghapus semua kesempatan rekonsiliasi
antara kerajaan dengan rakyat.

Pandangan – pandangan yang saling bertentangan di dalam Majelis itu


tidak disukai oleh penduduk Paris, yang khawatir Majelis itu menjadi lemah dan
tidak efektif. Pada 1791, dua hari setelah Majelis mengeluarkan sebuah ketetapan
bahwa Louis akan tetap menjadi raja di bawah sebuah monarki konstitusional,
50.000 penduduk Paris turun kejalan – jalan untuk memprotes. Banyak pemrotes
itu yang telah dipanas-panasi oleh kelompok Cordelier, yang mengumpulkan
tanda tangan untuk petisi mereka yang menuntut agar Louis turun takhta. Petisi itu
diperlihatkan di Champ de Mars, tetapi saat para pemrotes tiba, sebuah

11
perkelahian pecah dengan pasukan Pengawal Nasional (National Guard) yang ada
di sana.

Tanpa diketahui oleh massa, Wali Kota Paris, Jean Sylvain Bailly, telah
memerintahkan para pengawal untuk membubarkan massa. Setelah batu – batu
dilemparkan, Marquis de Lafayette sebagai kepala pengawal memerintahkan
mereka untuk menembak kerumunan itu. Bayonet – bayonet dipasang, dan sebuah
police roit (kerusuhan yang dipicu tindakan polisi) pun terjadi. Antara 12 dan 100
orang tewas dalam kejadian yang disebuat Pembantaian Champ de Mars. Para
saksi mata melaporkan kalau jumlah itu kecil karena para pengawal, yang
sebagian besar adalah warga sukarelawan, umumnya adalah penembak yang
buruk dan tidak ingin menimbulkan luka pada tubuh.

Namun, kerusakan hubungan antara Pengawal Nasional dan rakyat telah


timbul reputasi Lafayette hancur. Bailly dikirim ke guillotine oleh Legislative
Assembly (Majelis Legislatif), pemerintah baru yang menggantikan Majelis
Konstituante Nasional. Bailly, salah satu pahlawan awal revolusi, adalah yang
pertama dari banyak kepala yang dipenggal atas dakwaan sikap anti revolusi.
Sebagai pemerintahan konstitusional Prancis yang pertama menjalankan cita-cita
revolusi adalah tugas Majelis Legislatif. Peran raja dalam pemerintahan ini tetap
tidak bisa dimengerti, Louis sendiri masih menjadi tahanan rumah di Tuileries.

Pada 1792, Prancis berperang melawan Austria dan Prusia. Marie


Antoinette adalah seorang tokoh penting yang dapat menyebabkan perang, dengan
menyakinkan saudaranya, Kaisar Suci Roma, Leopold II, untuk menginvasi
Prancis dan memulihkan kembali monarki. Hal ini mendatangkan dua hasil yang
penting. Pertama adalah timbulnya gelombang nasionalisme, yang menyebabkan
banyak orang Prancis bergabung dengan pasukan revolusi. Kedua adalah pre-
emptive strike (tindakan menyerang lebih dulu), yang diserukan oleh Paris
Commune (pemerintahan kota Paris selama Revolusi Perancis yang didominasi
oleh kelas pekerja), pemerintahan baru kota itu, dan jurnalis revolusi terkenal,
Jean-Paul Marat.

Commune lalu memobilasi sebuah massa pengacau untuk menyerbu


Tuileries dan membantai Pasukan Pengawal Swiss yang melindungi raja.

12
Berikutnya, Commune memenjarakan keluarga kerajaan dibenteng Temple dan
membuat sebuah daftar ‘musuh – musuh Revolusi’ sambil menutup gerbang –
gerbang menuju kota. Rumah – rumah bangsawan dijarah dan ratusan orang di
masukan ke penjara. Akhirnya, Commune memerintahkan pembantaian
September, pembantaian massal 2.000 tahanan yang dianggap musuh negara,
termasuk 200 pendeta Katolik.

Kekerasan tidak hanya terjadi di Paris saja, karena pembantaian serupa


atas para bangsawan dan pendeta terjadi di seluruh Prancis. Kekacauan terus
berlangsung sampai sebuah Majelis baru, National Convention (Konvensi
Nasional), bersidang untuk mengembalikan ketertiban. Hal ini kebetulan terjadi
bersamaan dengan kekalahan pasukan Prusia di Valmy. Didorong oleh kabar baik
itu, tindakan pertama Konvensi Nasional adalah membubarkan monarki dan
menyatakan Prancis sebagai sebuah republik. Perang dan konflik internal di antara
Girondin yang moderat dan Montagnard yang radikal menyebabkan Konvensi
Nasional pada 1793 membentuk Committee of Public Safety (Komite Keamanan
Publik) yang terkenal kekejamannya.

Teror dimulai dengan sungguh – sungguh, dengan eksekusi Louis XVI dan
Marie Antoinette. Louis, dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan
meninggal pada 1793. Setelah upacara doa pagi terakhir, ia dibawa jalan jalan
melewati Paris yang dingin dan berkabut menuju Place de la Revolution kini
dikenal dengan nama Place de la Concorde. Disana, para pengawal nasional
berdiri empat lapis mengelilingi guillotine, setelah ada laporan tentang sebuah
rencana untuk menyelamatkan raja. Sebuah bentrokan memang terjadi beberapa
blok dari sana, tetapi dengan cepat diredakan oleh para penjaga. Pada pukul 10
pagi, Louis menaiki panggung dan membiarkan tangannya diikat.

Sang raja mengulurkan tangannya, sementara pendeta yang menerima


pengakuan dosanya menempelkan sebuah salib Kristus di bibirnya. Dua asisten
mengikat kedua tangannya yang sebelumnya memegang sebuah tongkat kerajaan.
Ia lalu menaiki tangga menuju panggung, sambil dibantu pendeta itu. “Apakah
suara drum ini akan terus terdengar?” katanya. Saat sampai diatas panggung, ia
berjalan menuju sisi tempat paling banyak penonton berkerumun, dan membuat

13
sebuah tanda memerintahkan para penabuh drum untuk berhenti sejenak.
“Penduduk Perancis!” serunya dengan suara keras, “Kalian liat raja kalian siap
mati untuk kalian. Semoga darah saya memperbesar kebahagiaan Anda! Saya mati
walau tidak bersalah atas apa yang dituduhkan kepada saya!”.

Ia akan melanjutkan kalimatnya lagi saat Santerre, yang pernah menjadi


kepala stafnya, memerintahkan para pemain drum untuk kembali menabuh, dan
tidak ada lagi yang dapat didengar. Sejenak ia diikat di papan penyangga (weigh-
plank), dan beberapa detik setelahnya, saat saya masih menyentuhnya, pisau
meluncur turun, ia masih dapat mendengar suara pendeta yang mengatakan
kalimat ini, “Putra Santo Louis, naiklah ke Surga!”... ketika Gros, asisten saya,
menunjukkan kepala sang raja kepada orang banyak, terdengar beberapa seruan
kemenangan sebagian besar massa berpaling dengan rasa takut yang besar.

C. Dampak dari Revolusi Perancis


Setelah terjadinya Revolusi Perancis, sistem politik di Perancis jelas
terlihat, dimana kekuasaan absolut sangat dikecam oleh rakyat. Paham liberal pun
juga muncul yang kemudian menyebar hingga ke penjuru dunia. Pada bidang
sosial dampak yang terjadi yaitu stratifikasi sosial di negara Perancis telah
dihapuskan, serta memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh
rakyat. Kemudian memberikan kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan,
dan pekerjaan. Dihapusnya sistem glide, yaitu sistem dalam peraturan
perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Perancis.
Selain itu, kehidupan petani juga mengalami peningkatan, karena dihapusnya
pajak feodal. Petani juga diberikan hal untuk memiliki tanah.

Revolusi Perancis memberikan implikasi dalam segala aspek kehidupan,


namun yang paling menonjol adalah revolusi ilmu pengetahuan dan lahirnya
paham – paham baru yang sangat signifikan, seperti liberalisme, demokrasi, dan
nasionalisme sebagai perkembangan dari semboyan yang di gaung – gaungkan
ketika revolusi, yakin Liberte (kebebasan), egaliter (kesamaan), dan fraternette
(persaudaraan). Salah satu implikasi revolusi Perancis adalah lahirnya paham
liberalisme. Paham liberalisme mulai berkembang pada abad ke-18 dan 19 di
Perancis serta Inggris. Munculnya paham liberalisme di Perancis tidak terlepas

14
dari sejarah revolusi Perancis. Kaum liberalis menentang adanya pembatasan,
khususnya dari pemerintah dan agama.

Perkembangan liberalisme di Perancis berawal dari pergerakan kaum


borjuis pada abad 18 yang berjuang menentang kekuasaan dan kepemimpinan
Raja Louis XVI yang hidup bermewah-mewah sementara rakyatnya kelaparan.
Rakyat Paris melakukan penyerangan terhadap penjara Bastille, yang sering
digunakan untuk memenjarakan para tahanan politik yang tidak sejalan dengan
kerajaan dianggap sebagai simbol kekuasaan absolut yang dimiliki oleh kaum
bangsawan dan keluarga kerajaan. Pada akhirnya, Perancis bertransformasi dari
kerajaan ke republik yang diperintah oleh rakyatnya. Perancis telah menjadi
negara yang terlibat dalam beberapa peristiwa paling penting dalam sejarah Eropa.

Revolusi Perancis dianggap sebagai peristiwa yang membawa perubahan


dan perkembangan yang sangat politis dibidang hukum. Eksplorasi terhadap
literatur sejarah Revolusi Perancis menjadi sebuah literatur yang mengkaji sejarah
awal perkembangan konsep – konsep hukum. Pada kasusnya, Revolusi Perancis
membawa perubahan didalam hak asasi manusia dan konsep kedaulatan, karena
pasca terjadinya Revolusi Perancis, beberapa wilayah mengembangkan konsep,
paham, serta perjuangan yang sama dalam upaya membebaskan diri dari
penindasan absolutisme dan monarki. Revolusi Perancis dijuluki sebagai revolusi
politik dan sosial, karena menyebabkan pergeseran budaya.

Berdasarkan sejarah Revolusi Perancis tersebut, ada beberapa faktor yang


menjadi dasar berkembangnya ilmu hukum, salah satunya mengenai konsep
kedaulatan. Konsep Kedaulatan diyakini sudah lama ada, namun implementasi
pemikirannya berbeda – beda. Sebagai contoh pada masa abad ke-14 hingga abad
ke-17, sistem pemerintahan berbentuk kerajaaan mengkonsep dirinya berdasarkan
kedaulatan Tuhan dan kedaulatan Raja, namun pasca terjadinya Revolusi Perancis
muncul adanya Kedaulatan Negara dan Kedaulatan Rakyat. Hal tersebut ditandai
dengan adanya perubahan sistem pemerintahan di Perancis yang sebelumnya
sistem monarki absolut kerajaan menjadi sistem pemerintahan republik.

Revolusi Perancis memiliki dampak yang lebih besar dan hebat daripada
revolusi Amerika. Bahkan revolusi ini menyebabkan revolusi budak di daerah

15
Karibia, dan masih banyak lagi. Revolusi Perancis adalah suatu penanda dan bukti
nyata bahwa raja bukanlah pemimpin yang absolut. Kemanusiaan dan persamaan
adalah hak semua orang. Penindasan adalah sesuatu yang salah. Akibat lain yang
ditimbulkan adalah berkurang dan menurunnya jumlah feodalisme di dunia. Hal
ini terjadi karena feodalisme adalah sesuatu yang kurang disukai rakyat kecil
karena ketidakadilannya.

Lahirnya paham – paham baru pasca Revolusi Perancis hingga kini


berkembang dan diadopsi kedalam sistem hukum dan pemerintahan. Paham –
paham ini dianggap sangat mempengaruhi sistem pemerintahan dan kedaulatan
hingga sekarang dalam hukum internasional. Hal ini dapat dilihat mayoritas
negara – negara hingga sekarang menerapkan pola pembagian kekuasaan dalam
memerintah serta menerapkan demokrasi dalam memilih pemimpin mereka. Tidak
hanya berlaku terhadap negara. Bahkan organisasi internasional juga mengadopsi
paham – paham tersebut dalam upaya menjalankan organisasinya. Hal ini terbukti
paham – paham yang lahir pasca Revolusi Perancis membawa dampak yang besar
dalam sistem pemerintahan dan konsep – konsep kedaulatan, dimana rakyat
berperan langsung dalam membangun negara.

Ada pula faktor yang berpengaruh didalam Revolusi Perancis dalam


mendorong perkembangan hukum internasional. Gagasan hak asasi manusia itu
muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenang ini mendorong seseorang yang
merasa haknya tertekan untuk berjuang menyatakan keberadaannya sebagai
makhluk yang bermartabat dalam menjunjung hak asasi manusia. Secara harfiah
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah oleh-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta


perlindungan harkat dan martabat manusia.

Tidak adanya prinsip kesetaraan didalam masa ini menyebabkan rakyat


berjuang untuk bangkit dari penderitaan mereka. Rakyat mengalami kelaparan dan
kelangkaan bahan pangan, ditambah mereka harus tetap membayar pajak terhadap
kerajaan. Hal inilah yang kemudian menyuarakan terjadinya Revolusi. Peristiwa

16
pada masa Revolusi Perancis ini menggaungkan slogan “Liberte, Egaliter, et
Fraternite” atau kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi suatu
dasar dari hal yang ingin dicapai dalam hak asasi manusia bagi warga negara
Perancis. Dari adanya semboyan inilah yang melahirkan paham-paham seperti
Liberalisme, Demokrasi, dan Nasionalisme.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Hubbard, Ben. 2019. Bloody History : Paris. PT Elex Media Komputindo.

Lowell, Edward J. 2022. Sejarah Revolusi Perancis The Eve Of The French
Revolution. PT Indoliterasi.

Sumber Jurnal :

Christmas, Sandy K, Purwanti, Evi. 2020. Perkembangan Sistem Pemerintahan


dan Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Perancis Terhadap Hukum
Internasional. 2 (2) : 225—233

Sumber Skripsi :

Christmas, Sandy K. 2017. Pengaruh Revolusi Perancis Terhadap Perkembangan


Hukum Internasional. Pontianak:Universitas Tanjungpura

Sumber Internet :

Adryamarthanino, Verelladevanka. Revolusi Perancis: Penyebab, Dampak, dan


Pengaruh terhadap Indonesia. Kompas.com. 2 Mei 2021,
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/02/122013379
/revolusi-perancis-penyebab-dampak-dan-pengaruh-
terhadap-indonesia

17
LAMPIRAN

Gambar 1.1
Mencari Sumber Buku
17 Desember 2022
Perpustakaan Nasional

18
Gambar 1.2
Proses Pengerjaan
15 Januari 2023

19

Anda mungkin juga menyukai