Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian Kafa’ah

Secara bahasa, al-kafa'ah berarti kesamaan dan kesetaraan . Secara istilah, ulama fiqh
mendefinisikannya dengan "kesetaraan antara suami istri dalam hal-hal tertentu, untuk mencegah
terjadinya pertikaian”. Namun demikian ulama berbeda pendapat tentang hal-hal khusus tersebut.
Menurut Hanafiyah ada enam jenis kafa'ah, yakni nasab, Islam, hirfah (mata pencaharian suami
seimbang dengan mata pencaharian keluarga istri), merdeka, diyanah (ada keseimbangan dalam
ketaatan beragama, misalnya wanita salihah tidak dikawinkan dengan laki-laki fasik seperti
penjudi, pemabuk, dan lain-lain), dan harta. Menurut Malikiyah, kafa'ah meliputi agama dan al-
salamah, yakni tidak ada cacat yang menyebabkan pihak istri berhak atas khiyar (memilih untuk
meneruskan pernikahan atau membatalkannya), misalnya gila, impoten, dan lain-lain. Menurut
Shafi'iyah, kafa'ah meliputi nasab, agama, merdeka, dan hirfah. Sementara menurut Hanabilah,
kafa'ah terdiri dari lima hal, yakni al-diyanah, al-şina'ah (seorang putri pemilik usaha/industri kelas
atas, misalnya, dinilai tidak seimbang jika dinikahkan dengan putra seorang pembekam, dan lain-
lain), harta, merdeka, serta nasab.1

B. Pendapat para ulama Tentang Kafa’ah

Para ulama berbeda pendapat mengenai unsur-unsur dan batasan- batasan kafa'ah. Menurut
madzhab Malikiyah, unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam konsep kafa'ah adalah addin
wal hal. Addin adalah at-tadayyun yang artinya muslim yang tidak fasiq. Sedangkan, yang
dimaksud dengan hal adalah Selamat dari cacat (aib) yang dapat dijadikan suatu ukuran boleh
melakukan khiyar (opsi) dari suami, seperti penyakit lepra, gila dan lain sebagainya.

Menurut madzhab Hanafiyah unsur kafa'ah adalah agama, Islam, merdeka, nasab, harta
dan profesi. Sementara dari kalangan madzhab Syafi'iyah berpendapat bahwa unsur kafa'ah adalah
Islam, iffaah (terjaga agamanya), merdeka, nasab, selamat dari aib, dan profesi. sedangkan
menurut Hanabilah, unsur kafa'ah adalah Islam, merdeka, nasab, harta dan profesi.2

Ibnu Hazm melontarkan pendapat yang cukup longgar. Menurut beliau, kafa'ah bukan hal
yang wajib dalam pernikahan. Yang penting, sepasang kekasih yang akan merajut hubungan suami
istri harus memiliki nilai keimanan dan ketaqwaan. Pada akhirnya, Ibnu Hazm sampai pada titik
kesimpulan bahwanya dalam permasalahan kafa'ah tidak ada komponen yang pasti untuk dijadikan
landasan sebagai syarat keabsahan nikah. Pendapat beliau sealur dengan pemikiran Imam al-
Tsauri, Hasan Basri, al-Karokhi (termasuk kelompok Hanafiyah) yang berpendapat bahwa kafa'ah
bukanlah persyaratan baik syarat sah nikah ataupun syarat luzum (syarat yang harus dipenuhi).

Jadi dapat digaris bawahi, kelompok ini tidak mensyaratkan kafa'ah secara mutlak.

1
Dr. Hj. Iffah Muzammil, Fiqih Munakahat, Hukum Pernikahan dalam Islam, (Tangerang: Tira Smart,
2019), hlm. 63.
2
Afafzuhri, (Studi Analisis Tentang Korelasi Hak Kafa’ah Terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah), Vol. 6,
Asy-Syari’ah, 2020. Hlm. 37
Yang dijadikan dasar oleh mereka adalah Ayat al-Qur'an dalam surat al-Hujurat:13

َ ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلنَّاس ِإنَّا َخلَ ْقنَكم ِمن ذَك ٍَر َوأنثَى َو َج َع ْلنَك ْم شعوبًا َو َقبَآَٰئِ َل ِلتَ َع‬
‫ارف َٰٓو ۟ا ۚ ِإ َّن أَ ْك َر َمك ْم ِعندَ ٱ َّّللِ أ َتْقَىك ْم ۚ ِإ َّن ٱ َّّللَ َع ِليم َخ ِبير‬

Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu". Sekalipun pengertian ekualitas sebenarnya menurut sebuah
pendapat yang kurang setuju dengan pandangan kelompok pertama ini hanya berkisar dalam
persamaan hak dan kewajiban tidak lainnya.3

Sementara menurut Mayoritas fuqoha' termasuk Madzhahib al- Arba'ah (Hanabilah,


Syafi'iyah, dan Malikiyah) berpendapat bahwa kafa'ah merupakan syarat lazim dari ikatan
pernikahan bukan merupakan syarat sah pernikahan. Argumen yang dijadikan alat legalitasnya,
Rasulullah bersabda kepada Ali ra:"Ada tiga hal yang tidak boleh diakhirkan; shalat bila tiba
waktunya sudah sampai, jenazah bila sudah hadir, dan janda bila sudah menemukan yang
sepadan dengannya. "(HR Hakim dan Turmudzi).

Sementara Menurut Hanafiyah kafa'ah itu diperhitungkan dalam pernikahan oleh karena
itu seorang wali wajib mengawinkan anak perempuannya dengan laki laki yang sepadan. Kafa'ah
ini hanya berlaku pada seorang perempuan saja, artinya seorang laki-laki boleh mengawini
perempuan yang tidak sepadan dengannya.

Menurut Malikiyah, menurut kalangan Hanafiyah bahwa Wali dan perempuan boleh
meninggalkan kafa'ah, dalam artian seorang wali boleh mengawinkan anaknya dengan laki-laki
yang tidak sepadan dengannya dan begitu pula perempuan boleh kawin dengan laki-laki yang tidak
sepadan dengan dirinya. Menurut Syafi'iyah ketika seorang perempuan rela maka dimakruhkan
bagi wali untuk mengawinkan dengan seorang laki-laki yang tidak sepadan. Sementara menurut
Hanabilah pendapatnya sama dengan hanafiyah.

Dari uraian di atas tampak pendapat para ulama' yang sangat beragam dalam memasukkan
unsur-unsur yang terdapat dalam kafa'ah Mereka hanya sepakat dalam soal unsur agama,
sedangkan untuk komponen yang lain masih belum ditemukan kata sepakat di antara mereka.
Misalnya, masalah nasab, profesi dan kemerdekaan tampaknya madzhab yang berani tidak
memasukkan unsur-unsur tersebut hanyalah dari kalangan Malikiyah. Sementara ulama' lainnya
begitu mengikat kuat untuk menjadikan unsur tersebut sebagai bagian dari kafa'ah. Dengan
demikian, ukuran kafa'ah hanya bermuara pada sejauh mana tingkat pemahaman dan komitmen
dengan agama sebagaimana pendapat Malikiyah. Jadi, siapapun, meski bukan keturunan Arab
tidak masalah menikah dengan Arab. Begitu halnya keturunan rakyat jelata tidak ada persoalan
menikah dengan keturunan darah biru. Karena, yang dipandang adalah tingkat ketakwaannya.

3
Ibid
C. Ayat Alquran tentang Kafa’ah

Berikut ini adalah ayat Alquran tentang Kafa’ah serta penafsiran singkatnya,yang
berbunyi:

QS An-Nur Ayat 26:

ُ‫ق‬ ِ َ‫تُُۚأ ۟و َٰ َٰٓلَئِكَ ُمبَ َّرءون‬


َ ٌ‫ُم َّماُيَقولُونَ ُُۖلَهمُ َّم ْغ ِف َرة‬
ٌ ‫ُو ِر ْز‬ ِ َ‫ُوٱل َّطيِبونَُُ ِلل َّطيِ َٰب‬
َُ َ‫ُۖوٱل َّطيِ َٰبَتُُ ِلل َّطيِ ِبين‬ ِ َ‫ٱ ْل َخبِي َٰث َتُُ ِل ْل َخبِيثِينَ ُ َُوٱ ْل َخبِيثونَُُ ِل ْل َخبِي َٰث‬
َُ ُ‫ت‬
ُ)٢٦ُ:ُ‫ك َِري ٌُم )النور‬

Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita- wanita yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka ( yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”4

Ditafsirkan: Pada ayat ini Allah menerangakan bahwa perempuan- perempuan yang tidak
baik bisanya menjadi istri laki-laki yang tidak baik pula. Begitupula sebaliknya laki-laki yang tidak
baik adalah untuk perempuan-perempuan tidak baik pula, karena bersamaan sifat-sifat dan akhlaq
itu mengandung adanya persahabatan yang akrab dan pergaulan yang erat. Perempuan-perempuan
yang baik adalah untuk laki-laki yang baik-baik pula sebagaimana diketahui keramahan-
keramahan antara satu dengan yang lain terjalin karena adanya persamaan dalam sifat-sifat,
akhlaq, cara bergaul dan lain-lain. Begitu juga laki-laki yang baik-baik adalah untuk perempuan-
perempuan yang baik pula, ketentuan itu tidak akan berubah dari yang demikian itu.

 Tafsir Jalalain:

ُ َ‫( ا ْل َخ ِبيث‬Wanita-wanita yang keji) baik perbuatannya maupun perkataannya َُ‫( ِل ْل َخ ِبيثِين‬adalah untuk
‫ات‬
laki-laki yang keji) pula َُُ‫( َوا ْل َخ ِبيثون‬dan laki-laki yang keji) di antara manusia ُ‫ت‬ ُِ ‫( ِل ْل َخ ِبيثَا‬adalah buat
wanita-wanita yang keji pula) sebagaimana yang sebelumnya tadi ُ‫( َوال َّط ِيبَات‬dan wanita-wanita
yang baik) baik perbuatan maupun perkataannya َُُ‫( ِلل َّط ِي ِبين‬adalah untuk laki-laki yang baik) di
antara manusia َُ‫( ُ َوال َّط ِيبون‬dan laki-laki yang baik) di antara mereka ُ‫( ِلل َّط ِيبَات‬adalah untuk wanita-
wanita yang baik pula) baik perbuatan maupun perkataannya. Maksudnya, hal yang layak adalah
orang yang keji berpasangan dengan orang yang keji, dan orang baik berpasangan dengan orang
yang baik.

َُ‫(أولَ ِئك‬Mereka itu) yaitu kaum laki-laki yang baik dan kaum wanita yang baik, antara lain ialah Siti
Aisyah dan Sofwan َُ‫ونَُم َّماُيَقولون‬ ِ ‫( مبَ َّرء‬bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka) yang keji dari
kalangan kaum laki-laki dan wanita. ُُ‫( لَه‬Bagi mereka) yakni laki-laki yang baik dan wanita yang
َ ٌ‫( َّم ْغ ِف َرة‬ampunan dan rezeki yang mulia) di surga.
baik itu ‫ُو ِر ْزقٌُك َِري ٌُم‬

4
Kementrian Agama RI, Alquran Terjemah, (Bandung: Syiqma, 2017), hlm. 456.
 Tafsir Ibnu Katsir:

‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Maksudnya, kata-kata yang buruk hanya pantas bagi laki-
laki yang buruk. Dan laki-laki yang jahat yang pantas baginya hanyalah kata-kata yang buruk.
Kata-kata yang baik hanya pantas bagi laki-laki yang baik dan laki-laki baik, yang pantas baginya
hanyalah kata-kata yang baik. Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Aisyah dan ahlul ifki.”

Demikianlah diriwayatkan dari Mujahid, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan al-
Bahsri, Habib bin Abi Tsabit, adh-Dhahhak dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.
Intinya, perkataan yang buruk lebih pantas ditujukan kepada orang-orang yang jahat dan perkataan
baik hanya pantas bagi orang-orang yang baik.5

D. Macam-macam Kafa’ah

 Agama

Yakni kebenaran dan ketaatan pada hukum-hukum agama. Agama merupakan hal yang
paling pokok dalam mewujudkan pernikahan yang baik. Kafa’ah sangat memperhatikan
tentang agama, keimanan, kesucian, dan ketakwaan kepada Allah SWT. Orang yang sering
maksiat dan fasik atau sering melakukan dosa tidak sebanding dengan perempuan suci dan
shalihah karena laki-laki akan menjadi imam dalam rumah tangga dan kemuliaan istri
terletak pada kemuliaan suami juga.

 Islam

Yakni menurut Madzhab Hanafi disini ialah Islam asal-usulnya hingga nenek
moyangnya. Kesempurnaan nasab diperhatikan dalam bangsa Arab, orang yang memiliki
satu nenek moyang islam tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang nenek
moyang islam,karena kesempurnaan nasab terdiri dari bapak dan kakek

 Kemerdekaan

Budak lelaki yang tidak sekufu dengan perempuan yang merdeka dan sebaliknya. Laki-
laki sholeh dan kakeknya yang pernah menjadi budak,tidak sekufu dengan perempuan yang
kakeknya tidak pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka bila kawin dengan laki-
laki budak maka ia akan tercela,begitu pula kawinnya seorang laki-laki yang salah seorang
kakeknya pernah menjadi budak.

 Nasab (Kedudukan)

Menurut Madzhab Hanafi,laki-laki asing tidak setara dengan perempuan bangsa


Arab,meskipun laki-laki tersebut adalah seorang yang terkenal ilmuwan ataupun

5
https://pecihitam.org/surah-an-nur-ayat-26-terjemahan-dan-tafsir-al-quran/
pengusahanya. Nasab ini bagi bangsa Arab sangatlah dijunjung tinggi,bahkan sangat
menjadi kebanggaan tersendiri apabila mempunyai keturunan nasab yang baik. Sedangkan
dalam masyarakat biasa,nasab tidak terlalu penting,yang terpenting adalah kecocokan
antara kedua calon.

 Harta dan Kekayaan

Harta dan kekayaan bukan merupakan segalanya dalam memilih jodoh yang baik.
Namun,banyak orang yang mencari pasangan hidup dengan memilih harta sebagai tolak
ukur yang utama,dan menjadi jaminan kehidupan yang harmonis. Dalam agama Islam,ada
banyak ulama yang menyebutkan bahwa harta itu bukan tolak ukur yang mutlak untuk
mencari pasangan hidup yang baik karena sifat harta yang pasang dan surut atau tidak tetap.

 Pekerjaan dan Profesi

Dalam menjalani kehidupan rumah tangga,pekerjaan menjadi hal yang paling penting
untuk memberi kebutuhan hidup. Jumhur ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa
profesi masuk kedalam unsur Kafa’ah dengan menjadikan profesi suami serta keluarganya
sebanding dan setara dengan profesi istri serta keluarganya. Dalam masyarakat,profesi juga
sebagai tolak ukur sesorang dalam memilih pasangan sehingga kecocokan dapat dirasakan
oleh keduanya.6

E. Hikmah & Tujuan Kafa’ah

Hikmah Kafa’ah terbagi menjadi 3,yaitu:

a. Kafa’ah merupakan wujud dari keadilan dan konsep kesetaraan yang diajarkan
islam dalam pernikahan agar tentram dalam menjalankan rumah tangga
b. Dalam islam peran suami dan istri berbeda,suami memiliki peran sebagai imam
dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
c. Derajat seorang istri sangat ditentukan oleh derajat suaminya,ketika suaminya baik
maka derajat istri juga baik,begitu juga sebaliknya

Tujuan Kafa’ah adalah sebagai jalan menuju ketentraman dan kelanggengan dalam menjalani
kehidupan berumah tangga.

6
https://www.academia.edu/43912517/BUKU_SAKU_KAFAAH_MEMILIH_PASANGAN_SEKUFU

Anda mungkin juga menyukai