Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

A. UPAYA HUKUM BIASA

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk


memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan,
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim
itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat
mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya
hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau
memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115).

Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila


siterdakwa merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan.
Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan
dan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila hak
untuk mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan oleh siterdakwa, maka
pengadilan wajib menerimanya. Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP pada
rumusan pasal 67 yang menyatakan: “terdakwa atau penuntut umum berhak untuk
minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat”

KUHAP membedakan upaya hukum kepada dua macam, Upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa (istimewa). Upaya hukum biasa terdiri dari dua
bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding, dan bagian kedua
adalah pemeriksaan kasasi. Sedangkan uapaya hukum luar biasa adalah
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.

Hukum Acara Perdata Page 1


1. Banding

Banding merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak
menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama, ketentuan
dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan
Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang mencabut ketentuan banding yang
terdapat pada Herziene Inlandsche Reglement (HIR) . Namun demikian, untuk
ketentuan banding bagi yurisdiksi pengadilan tingkat banding di luar Jawa dan
Madura ketentuan tersebut masih diatur dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal
205 Rechtsglement Buitengewesten (RBg).

1. Landasan Hukum Banding


Sebenarnya banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda
peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam
pasal 350-356 HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580,
sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de
strafvordering voor de raden van justitie op java en het hooggerechtshof van
indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam
perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP.
Sedangkan banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-
194 HIR. Tetapi dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-
pasal itu sudah tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang
RI tahun 1947 no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa
dan Madura ialah Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004
tentang perubahan atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947
tentang peradilan ulangan.
2. Alasan Permohonan Banding
Adapun alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan banding
diantaranya adalah:
a. Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan
pengadilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh
adanya putusan itu.

Hukum Acara Perdata Page 2


b. Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil.
Asas peradilan ini bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pada tingkat
pertama belum tentu tepat atau benar sehingga perlu pemeriksaan ulang oleh
pengadilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan
tinggi untuk menelitti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan
menurut cara yang ditentukan UU dengan cukup teliti, dan juga pengadilan tinggi
berwenang untuk memeriksa putusan dan mengambil sikap atas putusan-putusan
tersebut seperti:
a. Dalam hal putusan dianggap telah benar, putusan pengadilan tingkat
pertama akan dikuatkan.

b. Dalam hal putusan dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan


pengdailan tinggi akan memberi putusan lain.

c. Dalam hal putusan yang kurang tepat, maka pengadilan tinggi akan
memperbaiki putusan sebelumnya.
3. Prosedur Pengajuan Banding
Putusan yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri
mengenai perkara yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini
sesuai pasal 6 UU 1947 no. 20 bahwasannya “dari putusan-putusan pengadilan
negeri di jawa dan madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa
besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari
pihak-pihak (partizen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan
pertama diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum
masing-masing” (komentar HIR, 2005:170).
Jadi dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir)
Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang
berkepentingan adalah pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama
dikalahkan dan juga jika ada gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada
pihak yang dikalahkan maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan
banding (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151).

Hukum Acara Perdata Page 3


Sedang dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke
pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau
penunttut umum (pasal 67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana
ini dapat diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir sebagaiman dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP.
Permohonan banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu
14 hari terhitung mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947
“permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau
dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk
mengajukan permintaan itu, kepada panitera pengadilan negeri, yang
menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya
hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.”
Untuk mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih
dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri.
Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Jika pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus
dibuktikan dengan surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no.
20 tahun 1947 bahwasannya “jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan
tidak dengan biaya maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari
pemberitahuan putusan pengadilan tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua
pengadilan negeri.”

Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui


bank pemerintah atau kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim
bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan
biaya banding harus diperhitungkan:
a. Biaya pencatatan pernyataan banding,
b. Besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi,
c. Biaya pengiriman uang melalui bank/kantor pos,

Hukum Acara Perdata Page 4


d. ongkos kirim berkas,
e. biaya pemberitahuan berupa:
(1) Biaya pemberitahuan akta banding.
(2) Biaya pemberitahuan memori banding.
(3) Biaya pemberitahuan kontra memori banding.
(4) Biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan
terbanding.
(5) Biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding.
Pasal 10 uu no. 20 tahun 1947 menyatakan “(1) permintaan pemeriksaan
ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh panitera pengadilan negeri di dalam
daftar. (2) panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta
pemeriksaan ulangan.” Jadi sudah jelas dalam hal ini panitera harus memberitahu
pihak terbanding supaya siap-siap juga menyiapkan kontra memori bandingnya.
Begitupun KUHAP mengatur tentang kewajiban panitera perkara pidan untuk
memberitahukan kepada pihak-pihak terkait tentang adanya permintaan banding
yang diatur dalam pasal 233.
Setelah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh panitera,
maka pihak lawan diberitahu panitera tentang permintaan banding itu selambat-
lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk melihat surat-surat dan berkasnya di pengadilan negeri
selama 14 hari sesuai dengan pasal 11 ayat 1 uu no. 20 tahun 1947, 202 Rbg
(Sudikno Mertokusumo, 1998:235).
Surat-surat termaksud adalah memori banding yang harus dipelajari oleh
pihak terbanding sehingga bisa menjawabnya dengan kontra memori banding.
Memori banding harus memuat alasan-alasan pembanding menganggap bahwa
putusan pengadilan tersebut adalah salah. Akan tetapi hal ini tidak merupakan
syarat mutlak asalkan syarat-syarat lain yang ditentukan UU terpenuhi. Kedua
belah pihak boleh memasukkan surat keterangan dan bukti-bukti baru.
Setelah pemeriksaan di panitera Pengadilan Negeri selesai, maka surat
pemeriksaan harus dikirim ke Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 7 hari
setelah pemeriksaan selesai (pasal 13 UU no.20 tahun 1947). Dalam perkara

Hukum Acara Perdata Page 5


pidana selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permintaan banding
diajukan, panitera mengirimkan berkas-berkas ke pengadilan tinggi. Selama 7 hari
sebelum pengiriman berkas perkara ke pengadilan tinggi, pemohon banding wajib
diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan
negeri.
Menurut pasal 15 ayat 1 uu no 20 tahun 1947 dan pasal 238 KUHAP,
pengadilan tinggi dalam pemeeriksaan ulangan, memeriksa dan memutuskan
dengan tiga hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri kedua belah
pihak atau saksi. Ayat ini dirubah oleh pasal 2 undang-undang darurat no. 11
tahun 1955 “jika dipandang perlu, pengadilan tinggi atau seorang hakim
pengadilan tinggi itu dapat mendengar sendiri para pihak yang berperkara.”
Bukanlah maksudnnya ssupaya semua perkara bandingan diperiksa oleh seorang
hakim, melainkan supaya semua pengadilan tinggi tidak diwajibkan lagi untuk
memeriksa semua perkara dengan tiga orang hakim, juga perkara-perkara yang
tidak sulit (R. Soepomo, 1993:114).
Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan
atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri (Sudarsono, 1994:153). Dan
putusannya harus segera diberitahukan kepada pihak pembanding dan terbanding.
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada
dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya
terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan (pasal 242 KUHAP).
Dalam tingkat banding hakim harus membiarkan putusan dalam tingkat
peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding (tantum
devolatum quantum appelatum) sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal
19 Juni 1971 (Sudikno Mertokusumo, 1998:237). Dan mengenai pencabutan
permohonan banding dapat dilakukan setiap saat oleh pihak pembanding dengan
persetujuan pihak lawan selama perkara tersebut belum diputus oleh pengadilan
tinggi.

Hukum Acara Perdata Page 6


4. Putusan Peradilan Tingkat Banding
Putusan yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan
Pengadilan Negeri/Agama bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang
diberiakan hakim pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti
penetapan ahli waris. Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding
akan tetapi langsung mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar
Oeripkartawinata, 2009:149).
Jika putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di
tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika
untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat
mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh
pengadilan negeri.
Ketentuan pasal 9 mengemukakan “(1) dari putusan pengadilan negeri
yang bukan putusan penghabisan dapat diminta pemeriksaan ulangan hanya
bersama-sama dengan putusan penghabisan. (2) putusan dalam mana pengadilan
negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkarannya,
dianggap sebagai putusan penghabisan.” Dari pasal satu kita tahu bahwa apabila
dalam suatu perkara telah dijatuhkan suatu putusan provisionil, insidentil ataupun
putusan sela lainnya, dan pihak yang dikalahkan mengajukan permohonan
banding, permohonannya dicatat oleh pengadilan negeri akan tetapi berkasnya
baru akan dikirim ke pengadilan tinggi setelah putusan final ada.
Pengadilan tinggi juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam
memutus perkara jika menganggap bahwa pemeriksaan semula belum cukup
bukti. Karena dalam taraf banding asasnya “ bahwa perkara mentah kembali” dan
kedudukan pengadilan tinggi sebagai judex factie, yaitu hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara baik mengenai fakta maupun mengenai hukumnya, dan
wewenang yang dipunyai pengadilan tinggi dalam pemeriksaan perkara yang
sama dengan wewenang hakim pengadilan negeri, sebelum pemeriksaan
tambahan, pengadilan tinggi harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata,
2009:160)

Hukum Acara Perdata Page 7


Wewenang pengadilan tinggi juga untuk membatalkan putusan pengadilan
tingkat pertama meskipun putusan pengadilan negeri tersebut berdasarkan sumpah
penambah atau supletoir. Apalagi jika sumpah tersebut dimintakan kepada
penggugat yang tidak mempunyai bukti yang harus ditambah. Lain halnya dengan
sumpah pemutus atau decisoir, sumpah seperti ini dalam tingkat banding maupun
kasasi tidak dapat mengubah putusan. Karena pada hakikatnya sumpah decisoir
ini adalah melepaskan hak untuk menang.
Berkaitan dengan putusan sela, pengadilan tinggi pun dapat melakukannya
misalnya saja dalam hal sita jaminan. Pengadilan tinggi berwenang untuk
memerintahkan pengadilan negeri terkait melakukan sita tersebut (R. Subekti,
1977:152).

2. KASASI
1. Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga
hukum yang dilahirkan di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata
kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu
tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI) sebagai pengawas
tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti
merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi
tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya
diperiksa masalah-masalah hukumnya/penerapan hukumnya. Sehingga yang
dapat mengajukan permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak
berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1)
huruf a UU no 3 tahun 2009).
Pada asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan
pasal 24 A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun
2009, penjelasan umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.

2. Prosedur Permohonan Kasasi


Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi
permohonan kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam

Hukum Acara Perdata Page 8


tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan
kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP yang menyatakan tenggang
waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan. Prosedural berikutnya
adalah apabila biaya kasasi telah dibayar lunas semuanya, pengadilan wajib
membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register
kasasi, kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari.
Perlu juga disampaikan dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi,
pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi dan berdasarkan ketentuan
pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa, “Pemohon kasasi
wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal
permohonan kasasi didaftarkan.”
Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu
surat keterangan panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud
sebagai tanggal permohonan kasasi adalah tanggal pada waktu biaya perkara
diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang
diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak
ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan
mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP.
Kemudian berdasarkan Ketentuan pasal 12 ayat (3) UU No. 37 tahun
2004: “Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra
Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi
menerima memori kasasi dan panitra Pengadilan wajib menyampaikan kontra
memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra
memori kasasi diterima.”
Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun
2004: “Panitra wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan
kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada
Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal
permohonan kasasi di daftarkan.”
Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A
dan bundel B. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas

Hukum Acara Perdata Page 9


kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada
dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan
dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu
di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas:
− Surat permohonan;
− Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;
− Penetapan hari sidang;
− Relaas-relaas panggilan;
− Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan
dalam berita acara);
− Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara;
− Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi;
− Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada);
− Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada);
− Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila
ada)
− Surat-surat bukti Pemohon;
− Surat-surat bukti Termohon;
− Surat-surat lainnya;
− Naskah Asli Putusan.
Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi
serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya
menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri atas:
− Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua
belah pihak yang berperkara;
− Akta permohonan kasasi;
− Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi;
− Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak
mengajukan memori kasasi;

Hukum Acara Perdata Page 10


− Tanda terima memori kasasi;
− Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi;
− Kontra memori kasasi;
− Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan
Niaga; dan
− Surat-surat lain yang sekiranya ada.
Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi
yang ditentukan oleh Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung
ditambah dengan biaya pemberitahuan, berupa :
· Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi.
· Biaya pemberitahuan memori kasasi.
· Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.
· Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke
Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau
penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan
tidak dapat diterima. Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan alasan-
alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-
keberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan
perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak
diterimanya permohonan kasasi.

3. Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi


Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilan-
pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang
dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah
ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka
dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah
adalah “pelanggaran hukum” yang telah dilakukan oleh pengadilan yang
bersangkutan.

Hukum Acara Perdata Page 11


Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan
dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 adalah :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens
kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut
(absolute competentie). Konkretnya, yudex facti incasu Pengadilan Niaga
telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut seolah-olah merupakan
kewenangannya, padahal sebenarnya tentang yudex factie tidak
berwenang/bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan alasan kasasi
disebabkan yudex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa yudexfacti
telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan
dalam UU.
Kemudian, melampaui batas wewenang ini dapat juga di artikan
bahwa yudexfacti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa
yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana
adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun
hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari penerapan hukum
yang berlaku.
Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu
sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan
seharusnya yang digariskan oleh UU.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan
Dalam doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah
melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan
formal (formele nietigheid atau formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo

Hukum Acara Perdata Page 12


lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak
dipenuhi oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi
Mahkamah Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. Apabila batalnya putusan
atau perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian ditentukan oleh undang-
undang, maka terdapat kebatalan formal (formele nietigheid atau formele
nulliteit).
Kemudian, tentang kebatalan formal ini misalnya dapat disebutkan
apabila sidang pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan terbuka untuk umum
mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum (Pasal 19 ayat 1, 2 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2009), begitu pula halnya semua putusan hanya sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapakan dalam sidang terbuka
untuk umum dan apabila tidak dilakukan demikian akan batal (Pasal 13 ayat 1
dan 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 334 K/Sip?1972 tanggal 4 Oktober 1972.

Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa didalam


tingkat kasasi tidak diperiksa tentang duduknya perkara atau faktanya melainkan
tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan
diperiksa. Penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi. Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah
diputuskan dalam tingkat terakhir, jadi pada tingkat kasasi peristiwanya tidak
diperiksa kembali. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk
perkaranya, maka pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap
sebagai pemeriksaan tingkat ke-3.
Dasar hukum bagi pengadilan kasasi yang dilakukan Mahkamah Agung
diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun
1970, yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir
oleh pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada
Mahkamah Agung.” UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985, mengatur Hukum
Acara bagi Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tugasnya untuk memberi

Hukum Acara Perdata Page 13


putusan dalam tingkat kasasi. Bab III UU no. 14 Tahun 1985, mengatur tentang
kekuasaan Mahkamah Agung. Pada Pasal 28, menyatakan sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksudkan ayat
(1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam
Mahkamah Agung.
Pada pasal 28 dinyatakan : “Mahkamah Agung memutus permohonan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari
semua Lingkungan Peradilan”.

4. Putusan peradilan tingkat kasasi


Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan
putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan,
yakni :
1) Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan
yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas
perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung
yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi.
2) Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum,
maka Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan
sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah
final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara
tersebut “duduk di atas kursi judex facti” karena ia memutusi apa yang
biasanya menjadi wewenang “judex facti” (Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tinggi).
Menurut ketentuan hukum yang berlaku dan yurisprudensi konstan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, peradilan kasasi dalam putusannya
terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis semata-mata yaitu apakah

Hukum Acara Perdata Page 14


benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak
sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia
memeriksa terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan
pembuktian sehingga kedudukannya sebagai yudex yuris. Dengan demikian, aspek
peristiwa dan penilaian mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
terhadap suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan/tidak tunduk dalam
pemeriksaan kasasi sebagaimana ditegaskan putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983.
Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan
ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima
Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada
ontvankelijkeheid (dapat diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu
permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal (formalitas) untuk
mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang waktu melakukan kasasi,
surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi syarat, tidak ada/terlambat
mengajukan memori kasasi, dan lain sebagainya, sehingga hal demikian dapat
diklasifikasikan bahwa permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima.
Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam aspek ini hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut:
− Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi: ................... tersebut tidak dapat diterima;
− Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam Peradilan
Kasasi ini sebesar Rp ................ (..............)
2. Permohonan kasasi ditolak
Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah
menerapakan hukum, bahwa pemohon kasasi dalam memori kasasi
mempersoalkan tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang
hakim kasasi, misalnya tentang penilaian hasil pembuktian, penghargaan atas
suatu fakta dan lainnya. Dapat pula permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah

Hukum Acara Perdata Page 15


Agung Republik Indonesia karena pemohon kasasi dalam mengajukan memori
kasasi tidak relevan (irrelevant) dengan pokok perkara.
Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia pada pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut:
− Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ... tersebut;
− Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
peradilan kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp ......
3. Permohonan kasasi dikabulkan
Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau
keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi
oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena yudex facti dianggap telah
salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan hukum atau karena alasan-
alasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). Dalam
hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau
karena alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan
membatalkan putusan yudex facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan
sikap dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu:
- Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara tersebut ke
pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskannya.
Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2009 yaitu mengabulkan permohonan kasasi
berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun
2009 bahwa pembatalan itu didasarkan kepada tidak berwenang/
melampaui batas wewenangnya yudex facti yang dimohonkan kasasi,
berkas perkara oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia akan dikirim
kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa dan diputus.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri perkara yang
dimohonkan kasasi itu
Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti
dibatalkan karena alasan Pasal 30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009 dan menurut ketentuan Pasal 51 ayat 2 Undang-undang

Hukum Acara Perdata Page 16


Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus
perkara yang dimohonkan kasasi itu. Dengan demikian, putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah final, yang menurut istilah
R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam memutus perkara
tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia memutusi apa yang
biasanya wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi).

B. Upaya Hukum Luar Biasa


1. Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali
Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan
kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf
(a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara
diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal
putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan alasannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2
huruf (b) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan
hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal ini senada dengan pasal 69 Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang
mengatur tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali. Pasal tersebut
menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan berdasarkan
alasan harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk :
(a) Yang tersebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat
atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara.

Hukum Acara Perdata Page 17


(b) Yang disebut pada huruf b sejak diketemukan surat-surat bukti, yang hari
serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat berwenang.
(c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan meperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.
Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar
perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang
telah dibayar lunas. Dalam menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan
dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan
pertama dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan
biaya berupa:
 Biaya registrasi (pencatatan)
 Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali
 Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan
 Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar
lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan
mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan
kembali.
Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitra
Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan
peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali
berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan pada tanggal permohonan
peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan menyampaikan salinan
permohonan Peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada
termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap
permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra
Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitra Mahkamah Agung

Hukum Acara Perdata Page 18


dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan (pasal 297 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004).
Kemudian setelah itu berkas perkara peninjauan kembali berupa bundel A
dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada hakikatnya,
bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan
semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan
pada Pengadilan negeri, bundel A ini isinya sama seperti bundel A perkara Kasasi.
Sedangkan mengenai bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang
diawali dengan permohonan pernyataan kasasi dan peninjauan kembali serta
semua kegiatan berkenaan dengan adanya peninjauan kembali dan Kasasi yang
akhirnya menjadi berkas perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun
mengenai bundel B untuk perkara peninjauan kembali terdiri atas:
 Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung kepada Pemohon
dan Termohon atau relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan negeri (bila
permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas Putusan Pengadilan negeri)
 Akta permohonan peninjauan kembali
 Surat permohonan peninjauan kembali, dilampiri dengan surat bukti
 Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali
 Surat Kuasa Khusus
 Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali
kepada pihak lawan
 Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
 Tanda bukti setoran biaya peninjauan kembali dari Bank dan
 Surat-surat lainnya yang sekiranya ada.
Dalam praktik, setelah para pihak selesai mempelajari/memeriksa berkas perkara
(inzage) dan di tuangkan dalam akta ekploit lalu berkas peninjauan kembali
dikirim kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
2. Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali
Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan
secara tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan

Hukum Acara Perdata Page 19


dengan lisan dan menyebut alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan dan
dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap
diajukan Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada
umumnya Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP
dengan menyebutkan alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan
Pengadilan yang berkekuatan hokum tetap adalah:
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang
pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum
ditemukan.
Pada asasnya, Aspek ini lazim disebut dengan istilah Novum, dan
mengenai tenggang waktunya adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari
setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 dengan hari dan tanggal ditemukan Novum dibuat dibawah sumpah serta
disahkan pejabat berwenang (Pasal 69 huruf b Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009).
b. Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata
Pada dasarnya, pembentuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak
menyebutkan bagaimana dimensi dari ketentuan Pasal 295 ayat 2 huruf b
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang, dalam putusan hakim yang
bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Dikaji dari praktik peradilan,
hakikat kekeliruan yang nyata diartikan secara letterlijke tentang kekeliruan
yang nyata sebagaimana bunyi Undang-Undang dan kemudian di
implementasikan sebagai kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Dalam pasal 67 Undang-undang No. 15 tahun 1985 dinyatakan, bahwa
permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
beikut:

Hukum Acara Perdata Page 20


(a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
(b) Apabila setelah pekara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksan tidak dapat diketemukan.
(c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut.
(d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
(e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lain.
(f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
(a) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohonan secara tertulis
dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar
permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama.
(b) Apabila pemohon tidak pandai menulis, maka ia menguraikan
permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan
tersebut.
3. Putusan Peradilan Peninjauan Kembali
Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam
perkara perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
a. Putusan yang menyatakan bahwa permohona peninjauan kembali tidak
dapat diterima
Suatu permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard) karenan pemohon terlambat mengajukan Peninjauan

Hukum Acara Perdata Page 21


Kembali sebagaimana ditentukan Pasal 69 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,
permohonan Peninjauan Kembali Tanpa adanya surat kuasa, atau surat kuasa tidak
khusus dibuat untuk Peninjauan Kembali, atau dapat juga disebabkan Peninjauan
Kembali diajukan untuk kedua kalinya, serta Peninjauan Kembali dimohonkan
terhadap Putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hokum tetap
( inkracht van gewisjde ). Tegasnya, permohonan Peninjauan Kembali dilakukan
tidak memenuhi syarat formal (formalitas) sebagaimana ditentukan oleh Undang-
undang.
b. Putusan yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali ditolak
Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah
Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali
yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan (Pasal 74 ayat 2 Undang-undang
nomor 3 Tahun 2009). Alasan ini dapat disebabkan permohonan Peninjauan
Kembali tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan
menjadi dasar permohonan Peninjauan Kembali, atau dapat pula disebabkan
alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali tidak sesuai alasan-alasan yang
ditetapkan secara limitative sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf a Undang-
undang nomor 3 Tahun 2009 atau juga dapat disebabkan putusan yudex facti yang
dimohonkan Peninjauan Kembali tidak melanggar alas an-alasan permohonan
Peninjauan Kembali.
c. putusan yang meyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali
dikabulkan
Suatu Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan apabila
Mahkamah Agung Republik Indonesia membenarkan alasan-alasan permohonan
Peninjauan Kembali karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-undang
nomor 3 Tahun 2009. Dalam hal Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung akan
membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut dan
selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri Perkaranya (Pasal 74 ayat 1 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2009.

Hukum Acara Perdata Page 22


Pada hakikatnya dalam putusan perdata niaga pada umumnya pembatalan
putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali atau pengabulan permohonan
Peninjauan Kembali dapat mengenai seluruh bagian putusan atau sebagian
/seluruhnya dari gugatan.
Sedangkan putusan di bidang pidana berdasarkan pasal 266 ayat 2
KUHAP dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
pidana ringan, menolak tuntutan jaksa jika alasan-alasan permohonan dibenarkan
MA. Dan jika alasan permohonan tidak dibenarkan maka permintaan PK akan
ditolak MA.

C. ANALISIS KASUS

POSISI KASUS

Kasus ini berawal dari peminjaman atas uang dan emas oleh Parlindungan
Harahap (selanjutnya disebut sebagai Tergugat I) ) dan Nuria br. Simatupang
(selanjutnya disebut Tergugat II) dari almarhum Imbalo Harahap pada tanggal 8
Juli 1978. Pinjaman tersebut diberikan dengan jaminan rumah dan pekarangan
milik kedua tergugat. Dalam perjanjian utang-piutang tersebut dinyatakan bahwa
Tergugat I dan Tergugat II akan melunasi utangnya pada tanggal 3 Januari 1979.
Jatuh tempo pinjaman tersebut kemudian diperpanjang hingga tanggal 1 Mei
1979.

Ternyata sampai dengan tanggal jatuh tempo, Tergugat I dan Tergugat II


tidak melunasi utang tersebut. Bahkan ketika Imbalo Harahap meninggal dunia,
hutang tersebut belum juga dibayar. Sedangkan tanah jaminan berikut bangunan
diatasnya, dengan tanpa hak, telah ditempati oleh Pendi Harahap, Deliana br
Lubis, Ishak Pane dan Sayur Siregar (selanjutnya disebut Tergugat III, Tergugat
IV, Tergugat V dan Tergugat VI). Atas piutang ini, Hj. Badariah Mawar Harahap
(isteri almarhum Imbalo Harahap) kemudian mengajukan gugatan Wanprestasi ke
PN Padang Sidempuan dengan nomor register 16/Pdt.G/1997PN.Psp.
Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Padang Sidempuan memenangkan gugatan
Penggugat untuk sebagian serta menghukum Tergugat I dan Tergugat II

Hukum Acara Perdata Page 23


membayar hutang uang sebanyak Rp. ½ x 6.708.357 = Rp.3.354.178,5 kepada
Penggugat. Selain itu, Majelis Hakim dalam putusannya juga menghukum
Tergugat I dan Tergugat II membayar hutang emas 24 karat seberat 11,250 gram
sekaligus dan tunai. Majelis Hakim PN Padang Sidempuan juga menyatakan
penguasaan Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat VI atas rumah
dan tanah perkara adalah tanpa hak dan menghukum Tergugat III, Tergugat IV,
Tergugat V dan Tergugat VI atau orang lain yang mendapat hak dari mereka atau
orang lain yang mendapat hak dari orang lain untuk menyerahkan rumah dan
tanah perkara dalam keadaan baik dan kosong kepada Penggugat untuk dijual
lelang oleh PN Padang Sidempuan melalui Kantor Lelang Negara.

Atas Putusan PN Padang Sidempuan tersebut, para Tergugat kemudian


mengajukan Banding melalui Pengadilan Tinggi (PT) Medan dengan Nomor
385/Pdt.G/1997/PT.Mdn. Dalam putusannya, PT Medan membatalkan Putusan
PN Padang Sidempuan dan mengadili sendiri. Isi dari putusan PT itu sendiri sama
dengan putusan PN Padang Sidempuan, hanya saja dalam putusan PT dinyatakan
bahwa putusan tersebut merupakan putusan verstek.
Atas putusan PT Medan, para Tergugat kemudian mengajukan Kasasi. Atas
permohonan Kasasi tersebut Mahkamah Agung dalam Amar Putusannya yang
terdaftar dengan Nomor 4080 K/Pdt/1998, menolak Permohonan Kasasi para
Pemohon/Tergugat asal (Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat VI)
dengan pertimbangan bahwa terhadap putusan verstek tidak dapat diajukan kasasi.
Namun apabila ada pihak yang keberatan dengan putusan verstek tersebut maka
pihak yang keberatan tersebut dapat mengajukan verzet.
Sebelum Putusan dari MA turun (13 Juni 2002), Hj. Badariah Mawar Harahap
selaku Pengugat Asal meninggal dunia, sehingga kemudian perkara ini
dilanjutkan oleh ahli warisnya, yaitu H. Muchtar Siregar. Berdasarkan Putusan
MA tersebut, ahli waris Penggugat Asal kemudian mengajukan permohonan
eksekusi pada tanggal 14 Oktober 2002 kepada Ketua PN Padang Sidempuan agar
segera melakukan eksekusi atas putusan tersebut. Sebelumnya, pada tanggal 9 Juli
2002 Muchtar Siregar juga telah mengajukan permohonan kepada Kepala PT

Hukum Acara Perdata Page 24


Medan yang intinya adalah sudah lewatnya tenggang waktu pengajuan Verzet
sehingga memohon kepada Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara untuk
menyatakan bahwa Putusan PT Medan telah berkekuatan hukum tetap dan agar
putusan dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Padang Sidempuan,
memohon agar Tergugat/Terbanding/Pemohon Kasasi dipanggil agar dapat
diperiksa surat kuasa Tergugat I dan Tergugat II guna memastikan keberadaanya.
Kemudian pada tanggal 14 Januari 2003, Ketua PN Padang Sidempuan
memberikan laporan kepada Ketua PT Medan sehubungan dengan permohonan
Muchtar Siregar terhadap pelaksanaan putusan tersebut yang berisi jawaban atas
permohonan Muchtar Siregar. Ketua PN Padang Sidempuan mengatakan bahwa
para Tergugat telah diberi peringatan (aanmaning). Namun karena Penggugat
belum menyetorkan biaya maka eksekusi tidak bisa dilakukan karena tidak ada
biaya eksekusi. Kemudian pada tanggal 12 Februari 2003 Muchtar Siregar melalui
kuasa hukumnya Melur Lubis SH, kemudian mengajukan permohonan kepada
Ketua PT Medan mengenai eksekusi atas putusan MA tersebut, sekaligus
mengkoreksi laporan Ketua PN Padang Sidempuan karena pada tanggal 14
Januari 2003 Muchtar Siregar telah mendatangi Ketua PN Padang Sidempuan
untuk menyetor biaya eksekusi tersebut. Namun Muchtar Siregar tidak berhasil
menemui Ketua PN karena Ketua PN menolak untuk bertemu dan menugaskan
Panitera Kepala untuk bertemu dengan Muchtar Siregar.

Pada tanggal 18 Februari 2003 Ketua PN Padang Sidempuan memberikan


informasi kepada Muchtar Siregar bahwa Tergugat II masih hidup terbukti dengan
surat kuasa yang diberikan Tergugat II kepada Supratman Sidahuruk, SH. Untuk
kebenarannya, Pengadilan minta kuasa hukumnya untuk menghadirkan Tergugat
II dan Muchtar Siregar diminta hadir pada tanggal 24 Februari 2003 untuk
menyaksikannya. Berdasarkan surat tertanggal 25 Februari 2003, Muchtar Siregar
meminta segera dilaksanakan eksekusi terhadap Tergugat III dan Tergugat IV
yang telah menempati tanah jaminan tersebut. Sedangkan kepada Tergugat II
pelaksanaan eksekusinya masih menunggu penyidikan lebih lanjut atas pengaduan
dari Muchtar Siregar yang menganggap Tergugat II melakukan penipuan dengan

Hukum Acara Perdata Page 25


cara menghilangkan diri dari tuntutan perdata yang mengiringinya, Hal tersebut
diikuti pula somasi yang diajukan oleh Kuasa Hukum Muchtar Siregar, terhadap
Tergugat II tanggal 14 Maret 2003.

Pada tanggal 21 Maret 2003 Ketua PN Padang Sidempuan mengajukan


jawaban tertulis atas surat Kuasa Hukum Muchtar Siregar tertanggal 14 Maret
2003 yang mempertanyakan kembali perihal pelaksanaan eksekusi kepada
Tergugat III dan Tergugat IV. Adapun isi dari jawabannya tersebut adalah KPN
Padang Sidempuan membatalkan putusan PN, PT dan MA mengenai eksekusi
atas tanah jaminan dimaksud. Pertimbangan pembatalan Putusan tersebut antara
lain karena Tergugat II telah membayar seluruh hutang-hutangnya secara sukarela
kepada Penggugat, pembayaran tersebut dititipkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Padang Sidempuan. Dengan demikian Ketua PN Padang Sidempuan
menilai eksekusi pengosongan tidak perlu dilaksanakan.

Menurut penulis bahwa perkara peminjaman atas uang dengan


memberikan jaminan rumah dan pekarangan, dalam kasus ini tergugat I dan
tergugat II tidak mau melaksanakan putusan pengadilan Negri sidempuan yang
menjatuhkan putusan bahwa tergugat I dan Terguagat II harus membayar hutang
uang sebanyak Rp. ½ x 6.708.357 = Rp.3.354.178,5 kepada Penggugat. Selain itu,
Majelis Hakim dalam putusannya juga menghukum Tergugat I dan Tergugat II
membayar hutang emas 24 karat seberat 11,250 gram sekaligus dan tunai dalam
putusan tingkat pertama, akan tetapi tergugat I dan Tergugat II tidak puas dengan
putusan dari pengadilan negri sidempuan sehingga mengajukan banding dengan
Nomor 385/Pdt.G/1997/PT.Mdn untuk mendapatkan putusan yang adil menurut
para terguagat, dan putusan yang di berikan oleh pengadilan tinggi medan
dinyatakan bahwa putusan tersebut merupakan putusan verstek artinya tergugat
tidak hadir dalam persidangan di pengadilan tinggi saat mengajukan banding
sehingga hasil putusanya sama dengan pengadilan Negri sidempuan, para tergugat
merasa tidak puas, sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam
Amar Putusannya yang terdaftar dengan Nomor 4080 K/Pdt/1998, menolak
Permohonan Kasasi para Pemohon/Tergugat asal (Tergugat III, Tergugat IV,

Hukum Acara Perdata Page 26


Tergugat V dan Tergugat VI) dengan pertimbangan bahwa terhadap putusan
verstek tidak dapat diajukan kasasi. Namun apabila ada pihak yang keberatan
dengan putusan verstek tersebut maka pihak yang keberatan tersebut dapat
mengajukan verzet. Dari hasil analisis kasus di atas penulis bisa menunjukkan
bahwa upaya hukum yang di berikan oleh pengadilan Negri di mana kasus itu di
persidangkan adalah jenis upaya hukum biasa karena dalam upaya hukum biasa
terdiri dari mengajukan Verzet, Banding dan Kasasi, itu semua adalah hak yang
dimiliki para tergugat untuk membela dirinya dalam mendapatkan putusan yang
seadil – adilnya dalam perkara tersebut.

KESIMPULAN

Dari kedua jenis upaya hukum yang telah dipaparkan di atas dengan
berbagai persamaan dan perbedaannya maka perlulah kita mengetahui tujuan dari
upaya hukum itu sendiri adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan
mengadakan peradilan di tingkat yang berbeda. Transparansi hukum juga akan
terlihat, karena pada hakikatnya orang yang melakukan upaya hukum adalah
orang yang mempertahankan haknya untuk mendapatkan rasa keadilan yang
tentunya relatif dan subjektif. dan dalam kasusu yang di bahas oleh penulis
termasuk dalam pemberian upaya hukum biasa dengan hak – hak yang dimiliki
oleh para terguagat.

Hukum Acara Perdata Page 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Krisna Harahap S.H. 2003. Pengdilan Negeri, Poengadilan Tinggi,


Mahkamah Agung Dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Rineka Cipta.

2. Mr. R . Tresna. 2005. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.

3. Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. 1982. Hukum Acara Perdata


Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

4. Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana


Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.

5. Prof. Dr. Soepomo, S.H. 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri.
Jakarta: pradnya paramita.

6. Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata S.H. 2002, Hukum


Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung,.

Hukum Acara Perdata Page 28

Anda mungkin juga menyukai