Anda di halaman 1dari 2

Catatan Pengalaman Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe Yang Memiriskan

Aceh Utara
Banyak yang mengaku miris dan menyesalkan terhadap kondisi Aceh Utara dan Kota
Lhokseumawe selama dekade terakhir dimana tingkat kemiskinan dan pengangguran tertinggi di
Aceh. Dimana letak kesalahan dan mengapa harus terjadi
Pasalnya, kekayaan alam yang melimpah-ruah di dua daerah ini adalah fakta yang tak terbantahkan.
Namun, pemandangan memilukan ketika masih cukup banyak masyarakat miskin dan pengangguran di
daerah yang pernah dijuluki petro dolar juga tak dapat dimungkiri.
Beranjak dari situasi tersebut, semuanya harus diakui karena sebelumnya, terutama ketika hiruk pikuknya
Zona Industri Lhokseumawe (ZIL), Pemda Aceh Utara dan Pemko Lhokseumawe hanya menjadi
penonton dari kekayaan alamnya yang dikuras selama puluhan tahun.. Semua hasil kekayaan alam Aceh
Utara, terutama migas dan hutan, dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara tidak diikutsertakan dalam pembangunan dan tidak memiliki saham.
Karena Pemerintah Pusat berpegang kepada undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi, pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya migas menjadi otoritas kewenangan pusat baik dari segi pengaturan,
pengelolaan dan pemanfaatannya. UU Migas berpijak kepada ketentuan pasal 33 UUD 1945 bahwa
seluruh kekayaan (sumberdaya) alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Dasar inilah yang menjadi ligitimasi bahwa penguasaan oleh negara yang ditafsirkan sebagai pengawasan
oleh pemerintah pusat. Maka pusatlah yang memiliki wewenang dan pusat pula yang akan
mendistribusikan kemanfaatan tersebut ke daerah-daerah. .
Namun disayangkan, dalam realitasnya ada kekayaan alam yang cukup melimpah seperti Aceh Utara
ternyata masih kurang dapat menikmati hasilnya. Aceh Utara tetap menyandang sebagai Daerah
Tertinggal (DT) ketika ratusan kargo gas alam diangkut keluar negeri.
Lebih menyedihkan lagi, ketika dibangunnya industri industri raksasa di wilayah Aceh Utara dan
Lhokseumawe  rakyatnya tetap dalam kondisi miskin sementara para pekerja di industri migas tersebut
memperoleh kehidupan eksklusif dengan segala kemewahannya. Komunitas kehidupan ekonomi mareka
jauh berbeda hingga kepada pola hidup.
Semua ini dapat dipahami, karena pengelola industri migas, memiliki aturan dan standar khusus dalam
memberikan kesejahteraan pegawainya, apalagi beberapa standar kebutuhan hidup mereka
membandingkannya  dengan standar perusahaan-perusahaan asing dalam bidang industri yang sama.
Jadi realitas kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi antara masyarakat industri dengan masyarakat
lokal memang merupakan suatu konsekuensi dari jenis kegiatan industri yang high tech yang  berdampak
kepada pendapatan yang cukup tinggi. Hal ini menjadi kontras dengan realitas keberadaan sosial ekonomi
masyarakat disekitar industri yang nota bene sebagai petani dan nelayan.
Aceh Utara memang daerah yang membanggakan sekaligus menggiurkan banyak orang. Berbagai sumber
daya alam tersimpan di Bumi Pasee. Daerah ini juga memiliki lahan subur yang begitu luas. Hampir
semua tanaman dapat tumbuh subur. Daratannya yang berbatasan dengan Selat Malaka juga
menempatkan Aceh Utara sebagai daerah strategis yang dekat dengan Singapura dan Malaysia sangat
mungkin untuk dikembangkan.
Namun lagi lagi sangat disesalkan, infastruktur dan fasilitas yang terbangun bagi kelancaran beroperasi
industri industri tersebut seperti pelabuhan dan bandara tidak membawa manfaat kepada daerah karena
hanya untuk kepentingan industri bahkan hingga beberapa industri tersebut sudah tidak beroperasi lagi
fasilitas tersebut tidak juga mampu dikembangkan.
Badan Investigasi dan Promosi Aceh Utara  mencatat bahwa Aceh Utara memiliki SDA yang sangat
komplit, diantaranya adalah sumber daya pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan potensi yang
dimiliki, Aceh Utara memang pantas disebut sebagai daerah kaya. Tak heran, kalau Aceh Utara pernah
dijuluki sebagai kabupaten terkaya kedua di Indonesia setelah Kutai Kertanegara.
Namun sayang dan memiriskan, Aceh Utara yang begitu kaya dengan hasil alamnya namun penduduknya
banyak yang terhimpit kemiskinan. “Angka kemiskinan masyarakat Aceh Utara mencapai lebih 20 persen
dari jumlah penduduk , sekitar 700 ribu jiwa lebih,”ungkap Sofyan Hanafiah, Anggota DPRK Aceh Utara
saat diminta tanggapannya, Rabu (27/7)
Hingga dia meminta Pemkab Aceh Utara sekarang ini untuk  serius memikirkan  lapangan kerja dan
memberdayakan ekonomi masyarakat bagi mengatasi angka kemiskinan dan pengangguran  yang terus
bertambah  setiap tahunnnya. Sofyan Hanafiah menyebutkan, tepat bila Aceh Utara  diistilahkan sebagai,
“ayam hidup di lumbung padi mati kelaparan, itik berenang di air mati kehausan”.
Dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di daerah kaya bernama Aceh Utara
memperlihatkan kalau daerah ini menyandang banyak permasalahan.Diantaranya, kriminalitas dan
permasalahan tersebut harus segera dipecahkan. Upaya pemerintah selaku pemangku amanah  merupakan
penentu keberhasilan. Salah satunya yang perlu segera dilakukan adalah membangun dan
memberdayakan kantong kantong kemiskinan baik dikota maupun pedesaan.
Hal ini menjadi sangat penting dilakukan mengingat industri industri yang pernah dibangun di Aceh
Utara semua sudah hengkang. Kecuali PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Bahkan PIM juga dilaporkan
masih sulit untuk berkembang akibat berbagai hambatan. “Sebuah pengalaman yang sangat menyakitkan,
ladang gas ada di Aceh Utara, pengelolaannya diatur melalui UU Migas, tidak ada urusan dengan
kemiskinan dan pengangguran di sekitar ladang gas,” pungkas Sofyan Hanafiah.

Anda mungkin juga menyukai