Bismillah Fix Laporan PPG Bab 1-6
Bismillah Fix Laporan PPG Bab 1-6
Dosen Pengampu
Ir. Purwanti susantini, M.Kes
Ria Purnawian Sulistiani, S.Gz, M.Gz
Sri Hapsari SP., S.Gz, M.Gz
Disusun Oleh Kelompok 5
1. G2B020037 Al Annissa Sukma Amalia
2. G2B020038 Putra Aji Wibowo
3. G2B020041 Tiara Andar Kusuma
4. G2B020042 Azka Dina Adila
5. G2B020045 Nur Ika Listyaningsih
Kelas A / Semester 5
Gizi merupakan asupan yang penting bagi tumbuh kembang anak. Kecukupan gizi
untuk anak akan mendorong perkembangan anak secara optimal. Sebaliknya kekurangan
gizi atau malnutrisi akan menimbulkan berbagai risiko kesehatan, diantaranya hambatan
pertumbuhan tulang, lemah otot, degeneratif otak serta gangguan mental. Orang tua
harus memahami standar kebutuhan gizi pada anak yang harus terpenuhi. Ada beberapa
masalah gizi yang mungkin timbul pada anak usia 1-5 tahun atau balita. Masalah yang
sering timbul diantaranya adalah sulit makan, atau hanya sedikit makanan yang dimakan,
pilih-pilh makanan. Masalah tersebut dapat disebabkan karena kebiasaan makan camilan
diantara waktu makan utama dapat mengurangi nafsu makan pada waktu makan. Menurut
riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat (2014), sebanyak
97,7 % untuk anak Indonesia yang berusia di bawah lima tahun kurang mengkonsumsi sayur
dan buah. Kelompok anak usia balita (0-59 bulan) memang menjadi proporsi penduduk yang
paling sedikit mengkonsumsi sayur (86,2%).
Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan gizi dan
gizi buruk (Notoatmodjo, 2010). Menurut UNICEF (2013) tercatat ratusan juta anak di dunia
menderita kekurangan gizi yang artinya permasalahan ini terjadi dalam populasi yang
jumlahnya sangat besar. Balita termasuk dalam kelompok rentan gizi, dimana pada umur 0 –
4 tahun merupakan saat pertumbuhan bayi yang relatif cepat. Dan pada masa ini merupakan
masa pertumbuhan besar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya (Marimbi, 2010).
Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka stunting di
Indonesia mengalami penurunan menjadi 27,7%. Sedangkan menurut data Riskesdas tahun
2018 menunjukkan angka stunting di Indonesia yaitu 30,8%. Angka tersebut masih diatas
batasan yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) untuk Negara
Berkembang yaitu 20%. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) di Jawa Tengah,
menunjukkan hasil bahwa prevalensi balita stunting di Jawa Tengah pada tahun 2015
sampai tahun 2017 juga masih di atas 20%, yaitu 24,8% pada tahun 2015, 23,9% pada
tahun 2016 dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 28,5%. Pada tahun 2017,
prevalensi stunting balita Kota Semarang meningkat menjadi 21%, terdiri dari 7,7% balita
sangat pendek dan 13,3% balita pendek (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2017).
Berdasarkan studi pendahuluan, terdapat beberapa permasalahan terkait pencatatan dan
pelaporan status gizi balita di kelurahan Gajah Mungkur yang berjalan saat ini. Kader
posyandu maupun puskesmas dapat memantau secara real time/tepat waktu terhadap
jumlah kasus yang terjadi di daerahnya.
Bagaimana dan apa penyebab permasalahan gizi pada balita yang terjadi di Kecamatan
Gajah Mungkur dan faktor apa yang mempengaruhinya?
Stunting adalah keadaan gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek dari standar WHO 2005 (Kemenkes RI, 2013). Masalah
balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis yang dipengaruhi oleh
kondisi ibu/ calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang
diderita selama masa balita serta masalah lainnya yang secara tidak langsung
mempengaruhi kesehatan (Kemenkes, 2016).
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini menunjukkan status gizi
yang kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis) (Candra, 2020).
Stunting pada anak menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya
risiko kesakitan dan kematian, gangguan pada perkembangan otak, gangguan terhadap
perkembangan motorik dan terhambatnya pertumbuhan mental anak (Rahayu et al.,
2018).
1. Faktor Langsung
a. Pola Konsumsi
Pola makan balita sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan
pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi. Gizi merupakan
bagian penting dalam pertumbuhan. Gizi tersebut memiliki keterkaitan yang
sangat erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Apabila pola makan
tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan balita akan terganggu,
tubuh kurus, pendek bahkan terjadi gizi buruk pada balita (Purwani dan
Mariyam, 2013). Pola pemberian makan anak harus disesuaikan dengan usia
anak supaya tidak menimbulkan masalah kesehatan (Yustianingrum dan Adriani,
2017). Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG), umur dikelompokkan menjadi
0-6 bulan, 7-12 bulan, 1-3 tahun, dan 4-6 tahun dengan tidak membedakan jenis
kelamin. Takaran konsumsi makanan sehari dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(Departemen Kesehatan RI, 2000).
2x selingan
1-3 tahun Makanan keluarga :
½ mangkuk sayur
1 gelas susu
b. Pola Asuh
Pada penelitian Widyaningsih dkk., (2018) diketahui bahwa variabel pola
asuh berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan dengan
nilai p=0,015. Rendahnya pola asuh asuh menyebabkan buruknya status gizi
balita (Aramico dkk., 2013). Jika hal ini terjadi pada masa golden age maka akan
menyebabkan otak tidak dapat berkembang secara optimal dan kondisi ini sulit
untuk dapat pulih kembali. Pola asuh yang kurang dalam penelitian ini adalah
pada indikator praktek pemberian makan. Ibu yang memiliki anak stunting
memiliki kebiasaan menunda ketika memberikan makan kepada balita. Selain
itu, ibu memberikan makan kepada balita tanpa memperhatikan kebutuhan zat
gizinya. Kondisi ini menyebabkan asupan makan balita menjadi kurang baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya sehingga balita rawan mengalami stunting.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk., (2018) menyatakan bahwa ada
hubungan antara praktik pemberian makan kepada balita dengan status gizi.
Praktik pemberian makan berhubungan dengan kualitas konsumsi makanan yang
pada akhirnya akan meningkatkan kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat
gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita.
Asuhan nutrisi dan stimulasi yang kurang memadai pada masa awal
kehidupan anak, terutama anak usia 1–3 tahun berdampak pada pertumbuhan
dan perkembangan yang tidak optimal. Pada usia tersebut anak tumbuh dan
berkembang secara pesat. Peran orangtua dalam proses pengasuhan sangat
penting, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (asah, asuh, asih),
salah satunya adalah asuhan nutrisi dan stimulasi (Erliana Ulfah dkk., 2018).
c. Pemberian Asi Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu upaya untuk memperoleh
tumbuh kembang bayi yang baik. Karena ASI mengandung semua nutrisi
penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh kembangnya dan mengandung zat
antibodi untuk kekebalan tubuh bayi. Seringkali ibu tidak dapat memberikan
ASI kepada anaknya dengan baik disebabkan oleh banyak faktor. Pemberian
ASI secara eksklusif menurut DepKes (2003) adalah pemberian ASI saja kepada
bayi tanpa diberi makanan dan minuman lain sejak dari lahir sampai usia 6
bulan, kecuali pemberian obat dan vitamin. Sekitar 40% penyebab kematian bayi
dikarenakan oleh penyakit infeksi, yaitu pneumonia dan diare. (Umami, Wilda,
and Ani Margawati. "Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Asi
Eksklusif." Diponegoro Medical Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro) 7.4
(2018): 1720-1730.)
ASI sangat berperan dalam pemenuhan nutrisi bayi. Konsumsi ASI juga
dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga mampu menurunkan risiko
penyakit infeksi. Sampai usia 6 bulan, bayi direkomendasikan hanya
mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi
sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral). Setelah
usia 6 bulan, di samping ASI kemudian bisa diberikan makanan tambahan.
(Kemenkes RI, 2016).
d. Penyakit Infeksi
Kejadian infeksi merupakan suatu gejala klinis suatu penyakit pada anak
yang akan mempengaruhi pada penurunan nafsu makan anak, sehingga asupan
makanan anak akan berkurang. Apabila terjadi penurunan asupan makan dalam
waktu yang lama dan disertai kondisi muntah dan diare, maka anak akan
mengalami zat gizi dan cairan. Hal ini akan berdampak pada penurunan berat
badan anak yang semula memiliki status gizi yang baik sebelum mengalami
penyakit infeksi menjadi status gizi kurang. Apabila kondisi tersebut tidak
termanajemen dengan baik maka anak akan mengalami gizi buruk
(Yustianingrum dan Adriani, 2017). Kejadian penyakit infeksi yang berulang
tidak hanya berakibat pada menurunnya berat badan atau rendahnya nilai
indikator berat badan menurut umur, tetapi juga akan berdampak pada indikator
tinggi badan menurut umur (Welasasih dan Wirjatmadi, 2008)
e. BBLR
Berat Badan Lahir Rendah atau sering disebut dengan BBLR merupakan
salah satu penyebab dari stunting. Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi yang
lahir dengan berat kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan
(Unicef & WHO, 2019). Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
mengalami keterlambatan dalam proses tumbuh kembang karena sejak dalam
kandungan telah mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine dan akan
berlanjut sampai setelah dilahirkan (Soetjiningsih, 2013). Berat badan lahir yang
rendah bisa disebabkan oleh keadaan ibu yang kurang gizi selama kehamilan
sehingga menyebabkan Intrauterine Growth Retardation dan ketika lahir
dimanifestasikan dengan rendahnya berat badan lahir (Wijayanti, 2019).
Bayi dengan BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat karena
pada bayi dengan BBLR sejak dalam kandungan telah mengalami retardasi
pertumbuhan atau pertumbuhan yang terhambat saat masih didalam kandungan
(Intra Uterine Growth Retardation/IUGR), hal ini akan menyebabkan bayi
BBLR mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi
yang dilahirkan normal, dan sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang
seharusnya dicapai pada usianya setelah lahir. Bayi yang lahir dengan kondisi
BBLR bisa mengalami gangguan saluran pencernaan karena belum berfungsi
sempurna sehingga penyerapan makanan kurang baik dan mengalami gangguan
elektrolit. Bayi BBLR juga mengalami gangguan pemberian ASI karena ukuran
tubuh bayi yang kecil, lemah dan lambungnya kecil serta tidak dapat menghisap
dengan baik. Akibatnya pertumbuhan bayi akan terganggu, bila keadaan ini
berlanjut dengan pemberian makan yang tidak sesuai seperti tidak ASI Eksklusif
maka anak sering mengalami infeksi dan tumbuh menjadi stunting (Sari, 2017).
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang.
Upaya dalam mencegah stunting pada bayi dan balita sudah dapat dilaksanakan
sejak masa kehamilan. Prinsipnya adalah peningkatan asupan gizi pada ibu hamil
dengan memastikan selama kehamilan dapat mengkonsumsi makanan yang
berkualitas. Asupan yang mengandung asam folat dan zat besi merupakan kombinasi
nutrisi yang sangat penting bagi ibu hamil. Saat bayi lahir dilanjutkan dengan
memastikan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama serta
dilanjutkan sampai usia dua tahun. Dampak kejadian stunting tidak dapat
dikembalikan seperti semula. Kekurangan gizi pada anak usia dini dapat mengganggu
tumbuh kembang anak, kemampuan intelektual rendah, meningkatkan kematian bayi
dan anak, saat dewasa berpotensi terjadi gangguan metabolisme, sehingga gangguan
pertumbuhan ini harus segera ditangani dengan tepat (Ningrum et al., 2020).
2.1.6 Penyuluhan
1. Definisi Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan
menyebar pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak hanya sadar,
tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melaksanakan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Supriasa, 2014). Penyuluhan gizi merupakan
proses belajar untuk mengembangkan pengertian dan sikap yang positif terhadap
gizi agar yang bersangkutan dapat memiliki dan membentuk kebiasaan makan yang
baik dalam kehidupan sehari-hari (Depkes dalam Supriasa, 2014).
2. Tujuan Penyuluhan Gizi
Tujuan penyuluhan gizi merupakan bagian dari tujuan penyuluhan kesehatan.
Jika tujuan penyuluhan kesehatan ruang lingkupnya lebih luas, namun tujuan
penyuluhan gizi khusus di bidang usaha perbaikan gizi. Secara umum, tujuan
penyuluhan gizi adalah untuk meningkatkan status gizi masyarakat, khususnya pada
golongan rawan gizi (ibu hamil, Ibu menyusui dan anak balita) dengan cara
mengubah perilaku masyarakat ke arah yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip gizi
(Supariasa, 2014).
Adapun tujuan yang lebih khusus yaitu
a. Meningkatkan kesadaran gizi masyarakat melalui peningkatan pengetahuan gizi.
b. Menyebarkan konsep baru tentang informasi gizi.
c. Membantu individu, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan berperilaku
positif sehubungan dengan gizi.
d. Mengubah perilaku masyarakat sehubungan dengan pola konsumsi sehingga
tercapai status gizi yang baik (Supariasa, 2014).
3. Metode Penyuluhan
Menurut Supriasa (2014) metode ceramah ada beberapa jenis yaitu sebagai
berikut:
a. Metode ceramah
Metode ceramah adalah menyampaikan atau menjelaskan suatu pengertian
atau pesan secara lisan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pembicara
kepada sekelompok pendengar dengan dibantu beberapa alat peraga yang
diperlukan (Supariasa, 2014).
b. Metode diskusi kelompok
Metode diskusi kelompok adalah percakapan yang direncanakan atau
dipersiapkan diantara 3 orang atau lebih tentang topik tertentu dengan seorang
pemimpin. Dalam diskusi kelompok beberapa orang mempunyai minat bersama
terhadap suatu permasalahan, bertemu, daan bertukar pikiran (Supariasa, 2014).
c. Metode diskusi panel
Metode diskusi panel adalah suatu pembicaraan yang dilakukan oleh
beberapa orang yang dipilih (3 sampai 6 orang) yang dipimpin oleh seorang
moderator dihadapan sekumpulan pendengar (Supariasa, 2014).
d. Metode curah pendapat (Brainstorming)
Metode curah pendapat adalah suatu penyampaian pendapat atau ide untuk
pemecahan suatu masalah tanda adanya kritik. Dalam curah pendapat, pemikiran
kreatif lebih diperlukan daripada pemikiran praktis (Supariasa, 2014).
e. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah peragaan atau menunjukkan kepada peserta
bagaimana melakukan atau menggunakan sesuatu. Demonstrasi yang dilakukan
penyuluh biasanya diikuti dengan redemonstrasi oleh sebagian atau seluruh
peserta (Supariasa, 2014).
f. Metode bermain peran
Dalam metode ini, peserta memerankan seperti dalam kenyataan. Mereka
berbuat sesuai pendapatnya. Peserta kemudian mencoba untuk memecahkan
masalah yang dihadapi (Supariasa, 2014).
g. Metode simulasi (permainan)
Metode simulasi adalah permainan yang direncanakan yang maknanya
dapat diambil untuk kepentingan sehari-hari. Metode ini dapat dilaksanakan
untuk memaknai masalah hubungan antarmanusia (Supariasa, 2014).
h. Metode meninjau lapangan (Field Trip)
Metode ini adalah pergi ke tempat-tempat, baik di komunitas atau tatanan
lain yang dianggap perlu untuk menetapkan hasil belajar (Supariasa, 2014).
i. Metode studi kasus
Metode ini adalah sekumpulan situasi masalah yang dianalisis secara
mendalam atau mendetail. Biasanya permasalahan adalah “bagian dari
kehidupan” yang memerlukan diagnosis dan penanganan (Supariasa, 2014).
j. Metode symposium
Metode ini adalah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan
seorang pemimpin. Para pakar metode pendidikan mengemukakan bahwa
simposium adalah beberapa orang pakar membahas tentang berbagai aspek dari
suatu subjek tertentu dan disampaikan didepan peserta secara singkat (Supariasa,
2014).
4. Media Penyuluhan
Menurut Maulana (2009) alat peraga promosi kesehatan dibagi menjadi
beberapa yaitu sebagai berikut.
Pembagian alat peraga secara umum
a. Alat bantu lihat (visual aids). Alat bantu digunakan untuk membantu
menstimulasi indra penglihatan pada saat proses penyuluhan.
Terdapat dua bentuk alat bantu lihat.
1) Alat yang diproyeksikan (misalnya, slide, overhead projector/OHP dan film
strip).
2) Alat yang tidak diproyeksikan (misalnya, dua dimensi seperti gambar, peta,
dan bagan. Termasuk alat bantu cetak atau tulis, 13 misalnya leaflet, poster,
lembar balik, dan booklet. Termasuk tiga dimensi seperti bola dunia dan
boneka).
b. Alat bantu dengar (audio aids). Alat bantu ini digunakan untuk membantu
menstimulasi indra pendengaran (misalnya, radio, tape, dan CD).
c. Alat bantu dengar dan lihat (audio visual aids) Alat bantu ini digunakan untuk
membantu menstimulasi indera pendengaran dan penglihatan. Seperti TV, film
dan video.
Pembagian alat peraga berdasarkan fungsinya
a. Media cetak
1) Booklet, media untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan dalam bentuk
buku, baik berupa gambar maupun tulisan.
2) Leaflet, bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui
lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat berupa kalimat, gambar atau
kombinasi.
3) Flyer (selebaran), bentuk seperti leaflet tetapi tidak dilipat.
4) Flip cart (lembar balik), biasanya dalam bentuk buku, setiap lembar
(halaman) berisi gambar yang diinformasikan dan lembar baliknya
(belakangnya) berisi kalimat sebagai pesan atau informasi yang berkaitan
dengan gambar tersebut.
5) Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang membahas
suatu masalah kesehatan atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
6) Poster, bentuk media yang berisi pesan-pesan atau informasi kesehatan yang
biasanyaa ditempel di dinding, tempat-tempat umum, atau kendaraan umum.
Biasanya isinya bersifat pemberitahuan atau propaganda.
7) Foto yang mengungkap informasi kesehatan.
b. Media elektronik
1) Televisi, penyampaian pesan kesehatan melalui media televisi dapat
berbentuk sandiwara, sinetron, forum diskusi, pidato (ceramah), TV Spot, dan
kuis atau cerdas cermat.
2) Radio, bentuk penyampaian informasi di radio dapat berupa obrolan (tanya
jawab), konsultasi kesehatan, sandiwara radio, dan radio spot.
3) Video, penyampaian informasi kesehatan melalui video.
4) Slide, bentuk ini dapat juga digunakan untuk menyampaikan informasi
kesehatan.
5) Film strip.
Formula yang diberikan pada anak yang mengalami gizi buruk/kurang sesuai
standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) adalah terbuat dari
bahan minyak, gula, susu, air serta tepung. Selain itu, PMT dapat dibuat sendiri
dengan komposisi yang mengandung asupan energi dan protein dan terbuat dari
bahan-bahan yang mudah diperoleh oleh masyarakat dengan biaya yang terjangkau.
Bahan-bahan tersebut dapat digantikan dengan bahan-bahan makanan lokal yang kaya
kandungan vitamin dan protein.
2.2 Obesitas
Chan, D, at.al (2010) menyatakan obesitas adalah kondisi akumulasi lemak yang
abnormal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas pada anak merupakan masalah
kesehatan karena prevalensi obesitas anak di dunia semakin meningkat.
Obesitas adalah suatu keadaan di mana terjadi penimbunan lemak tubuh secara
berlebihan sehingga berat badan tubuh seseorang jauh di atas normal, hal ini akibat
ketidakseimbangan asupan (intake) dan pemakaian (expenditure) energy (Octari Cici,
Liputo NI, Edison, 2014).
a. Faktor Lingkungan
Obesitas terjadi akibat interaksi antara faktor biologis, karena kerentanan sosial,
lingkungan dan gaya hidup. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada obesitas
terdiri atas faktor sosial dan faktor budaya. Lingkungan yang aktif, kesempatan
bermalas – malasan, waktu bermain yang aktif, konsumsi tinggi gula dan tinggi
lemak dan adanya edukator berhubungan dengan status berat badan pada anak
(Prihaningtyas, 2018).
b. Faktor Keturunan
Faktor keturunan akan menentukan jumlah unsur sel lemak dalam lemak yang
melebihi ukuran normal, sehingga secara otomatis akan diturunkan kepada bayi
selama kandungan. Sel lemak pada kemudian hari akan menjadi tempat
penyimpanan kelebihan lemak atau ukuran sel lemak akan mengecil tetepi masih
tetap berada di tempatnya (Henuhili, 2010)
c. Sosial Ekonomi
Faktor ekonomi yang cukup dominan dalam konsumsi pangan adalah pendapatan
keluarga dan harga pangan. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang
untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya
penurunan pendapatan keluarga akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan
baik secara kualitas maupun kuantitas (Nurfatimah, 2014).
Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat, pengaruh promosi iklan,
serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan
timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah
ke atas. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang
cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari – hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan
pada pertimbangan selera dibandingkan dari aspek gizi (Sulistyoningsih, 2011).
d. Jenis Kelamin
Kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan ini
disebabkan karena jaringan penyusun tubuh dan aktivitasnya. Jaringan lemak pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Sedangkan laki-laki
cenderung lebih banyak memiliki jaringan otot. Hal ini menyebabkan lean body
mass laki-laki menjadi lebih tinggi dari pada perempuan (Sulistyoningsih, 2011)
Obesitas lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan dengan laki – laki
disebabkan proporsi lemak tubuh pada wanita lebih tinggi dan banyak tersimpan di
daerah panggul dibandingkan pria yang tersimpan di perut (Anggraini, 2012).
e. Riwayat BBLR
Barasi, EM (2009) menyatakan bayi yang mengalami gizi kurang dalam rahim
ibunya sehingga lahir dengan berat badan lahir rendah mungkin menunjukkan
tumbuh kejar, harus dipastikan bahwa yang meningkat ialah massa tubuh bebas
lemak bukan jaringan lemaknya, karena lemak terkait dengan risiko obesitas di
kemudian hari. Butte (2009) obesitas juga dipengaruhi oleh berat badan bayi saat
lahir. Anak dengan berat lahir rendah akan memiliki resiko terkena obesitas,
menderita penyakit jantung, diabetes tipe 2 dan sindrom metabolism pada saat
dewasa nanti.
Tinggi2 > +3 SD
Secara umum penilaian status gizi dapat dikelompokan menjadi 2(dua) yaitu penilaian
statuss gizi langsung dan status gizi tidak langsung.
Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik.
Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) ialah menentukan atau melihat status
gizi seseorang dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan seseorang.
Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Atas dasar
itu,ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi dengan
melakukan pengukuran antropometri (Kemenkes, 2010). Pengukuran IMT dapat
dilakukan pada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Pada remaja pengukuran
IMT sangat terkait dengan umurnya, karena dengan perubahan umur terjadi
perubahan komposisi tubuh dan densitas tubuh, pada remaja digunakan indikator
IMT/U. Rumus Perhitungan IMT adalah sebagai berikut: (Supariasa et al., 2016).
Berat badan dalam satuan kg, sedangkan tingi badan dalam satuan meter. Remaja
usia 5-19 tahun nilai IMT-nya harus dibandingkan dengan referensi WHO/NCHS
2007 (WHO, 2007). Pada saat ini yang paling sering dilakukan untuk menyatakan
indeks tersebut dengan nilai Z-score. Z-score dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(Supariasa et al., 2016).
Nilai individu subyek (NIS) merupakan hasil dari IMT kemudian nilai median baku
rujukan (NMBR) dan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR) dapat dlihat pada buku
standar antropometri tahun 2010.
Indeks IMT/U anak umur 5-18 tahun:
Obesitas : > 2SD
(Kemenkes, 2010)
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survei konsumsi
makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode ini akan
diuraikan sebagai berikut:
1) Statistik vital Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisa dari beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan
umur, angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya
yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian
dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi secara tidak langsung
pengukuran status gizi masyarakat.
1. Tempat Penelitian
Penelitianan ini dilakukan di Posyandu Mekar Sari RW. VIII Kelurahan Gajah Mungkur,
Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tahapan penelitian sebagai berikut:
Pembuatan proposal: 29 September – selesai
Waktu penelitian: 17 November - 21 November 2022
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 110 balita yang tinggal di Kelurahan
Gajahmungkur, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang Jawa Tengah.
3.3.2 Sampel
Sampel yang diteliti yaitu 50 balita yang tercatat di Posyandu Mekar Sari RW
VIII Kelurahan Gajahmungkur, Kota Semarang Jawa Tengah. Kriteria inklusi eksklusi
1. Teknik Pengolahan
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dengan menggunakan
program yang meliputi:
a. Data status gizi balita
Pengolahan data status gizi balita mengggunakan aplikasi WHO Anthro.
Data TB/U:
1) Sangat pendek < - 3 SD
2) Pendek – 3 SD sampai dengan < - 2 SD
3) Normal – 2 SD sampai dengan 2 SD
4) Tinggi > 2 SD
Data BB/U:
1) Sangat kurang < - 3 SD
1) BB kurang -3 SD sampai dengan - 2 SD
2) BB normal -2 SD sampai dengan + 1 SD
3) BB lebih > + 1 SD
Data BB/TB:
1) Gizi buruk < -2 SD
2) Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
3) Gizi baik -2 SD sampai dengan +1 SD
4) Berisiko gizi lebih > +1 SD sampai dengan +2 SD
5) Gizi lebih > +2 SD sampai dengan +3 SD
6) Obesitas > +3 SD
Data IMT/U:
1) Gizi buruk < - 3 SD
2) Gizi kurang - 3 SD sampai dengan < - 2 SD
3) Gizi baik - 2 SD sampai dengan + 1 SD
4) Berisiko gizi lebih > + 1 SD sampai dengan + 2 SD
5) Gizi lebih > + 2 SD sampai dengan + 3 SD
6) Obesitas > + 3 SD
Pengolahan data asupan makanan pada balita didapat dari kuesioner pengetahuan
menurut Gibson 2005 dibagi menjadi 5 kategori yaitu sebagai berikut:
1) Defisit tingkat berat < 70%
2) Defisit tingkat sedang 70 - 79%
3) Defisit tingkat ringan 80 - 89%
4) Normal 90 – 119%
5) Kelebihan > 120%
Pengolahan data pengetahuan ibu terkait gizi didapat dari kuesioner menurut Arie Kunto
2013 dibagi menjadi 3 kategori yaitu sebagai berikut:
1) Kurang < 60%
2) Cukup 60 - 75%
3) Baik 76 - 100%
Data pola asuh didapatkan dari pengisian kuesioner yang telah disediakan,
terdapat beberapa pertanyaan terkait pola asuh ibu pada balita. Hasil dari pengisian
kuesioner tersebut akan diolah dengan kategori penilaian yang telah ditentukan.
Total Nilai Jawaban
× 100
Total Nilai Soal
e. Hygiene Sanitasi
Data hygiene sanitasi didapatkan dari pengisian kuesioner yang telah disediakan,
terdapat beberapa pertanyaan terkait hygiene dan sanitasi. Pertanyaan tersebut terkait
hygiene personal, sanitasi lingkungan, ketersediaan air bersih, dan penyediaan air minum.
Hasil dari pengisian kuesioner tersebut akan diolah dengan kategori penilaian yang telah
ditentukan. Kategori dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Memadai, jika ketersediaan air bersih, penyediaan air minum, dan lingkungan
bersih
2) Tidak memadai, jika ketersediaan air bersih, penyediaan air minum, dan
lingkungan tidak bersih
f. Penyakit Infeksi
Data penyakit infeksi didapatkan dari pengisian kuesioner yang telah disediakan,
terdapat beberapa pertanyaan terkait penyakit infeksi. Pertanyaaan tersebut terkait
balitanya tersebut pernah mengalami penyakit-penyakit tertentu. Hasil dari pengisian
kuesioner tersebut akan diolah dengan kategori penilaian yang telah ditentukan. Kategori
dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Iya. Jika pernah menderita penyakit infeksi, seperti ISPA, diare, dan batuk
2) Tidak. Jika tidak pernah menderita penyakit infeksi seperti ISPA, diare, dan batuk
2. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan distribusi
frekuensi dan persentase pada masing-masing variabel bertujuan untuk mengetahui
gambaran dan jumlah kejadian stunting pada balita berdasarkan pengetahuan ibu terkait
gizi, pola makan, asupan makan, hygiene sanitasi, jumlah keluarga, akses air bersih,
pekerjaan orang tua, pola asuh, riwayat pendidikan, data antropometri dan penyakit infeksi.
a. Analisis Univariat
1) Dalam kategori status gizi BB/TB, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori gizi baik (84%).
2) Dalam kategori status gizi BB/U, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori BB normal (72%).
3) Dalam kategori status gizi TB/U, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori normal (68%).
4) Dalam kategori status gizi IMT/U, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori gizi baik (43%).
5) Dalam kategori pola makan, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori kurang (52%).
6) Dalam kategori pengetahuan ibu, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori kurang (52%).
7) Dalam kategori pola asuh, persentase paling tinggi adalah responden dengan kategori
cukup baik (66%).
8) Dalam kategori higiene dan sanitasi, persentase paling tinggi adalah responden
dengan kategori memadai (90%).
9) Dalam kategori penyakit infeksi, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori tidak (72%).
10) Dalam kategori sosial ekonomi bapak, persentase paling tinggi adalah responden
dengan kategori >UMK (58%).
11) Dalam kategori sosial ekonomi ibu, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori tidak berpenghasilan (64%).
12) Dalam kategori asupan energi, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori kelebihan (40%).
13) Dalam kategori asupan protein, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori kelebihan (36%).
14) Dalam kategori asupan lemak, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori kelebihan (46%).
15) Dalam kategori asupan karbohidrat, persentase paling tinggi adalah responden dengan
kategori defisit tingkat berat (54%).
b. Analisis Bivariat
1) Ada hubungan yang signifikan antara gaji ayah dengan status gizi berdasarkan TB/U
(p = 0,029).
2) Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan status gizi berdasarkan
TB/U (p = 0,004)
3) Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan status gizi berdasarka
TB/U (p = 0,003)
4) Ada hubungan yang signifikan antara higiene dan sanitasi dengan status gizi
berdasarkan TB/U (p = 0,000).
a. Laki-laki : kode 1
b. Perempuan : kode 2
Untuk mengetahui umur balita (dalam tahun) dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. 1 tahun : kode 1
b. 2 tahun : kode 2
c. 3 tahun : kode 3
Untuk mengetahui tingkat pendidikan ayah dapat digunaan kode sebagai berikut:
a. SD : kode 1
b. SMP : kode 2
c. SMA : kode 3
d. Diploma/Sarjana : kode 4
Untuk mengetahui tingkat pendidikan ibu dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. SD : kode 1
b. SMP : kode 2
c. SMA : kode 3
d. Diploma/Sarjana : kode 4
a. Buruh : kode 1
b. Swasta : kode 2
c. PNS : kode 3
d. Koki : kode 4
e. BUMN : kode 5
f. Wiraswasta : kode 6
g. Lainnya : kode 7
a. >UMK : kode 1
b. <UMK : kode 2
c. Tidak Berpenghasilan : kode 3
a. >UMK : kode 1
b. <UMK : kode 2
c. Tidak Berpenghasilan : kode 3
Untuk mengetahui status gizi balita dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. Gambaran status gizi balita dihitung berdasarkan BB/TB
1. Gizi buruk : kode 1
2. Gizi kurang : kode 2
3. Gizi baik : kode 3
4. Berisiko gizi lebih : kode 4
5. Gizi lebih : kode 5
6. Obesitas : kode 6
Untuk mengetahui kategori pola makan dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. Baik : kode 1
b. Cukup : kode 2
c. Kurang : kode 3
Untuk mengetahui kategori pengetahuan ibu dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. Baik : kode 1
b. Cukup : kode 2
c. Kurang : kode 3
Untuk mengetahui kategori pola asuh dapat digunakan kode sebagai berikutL
a. Baik : kode 1
b. Cukup : kode 2
c. Kurang : kode 3
a. Memadai : kode 1
b. Tidak Memadai : kode 2
a. Ya : kode 1
b. Tidak : kode 2
Untuk dapat mengetahui sosial ekonomi bapak dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. >UMK : kode 1
b. <UMK : kode 2
c. Tidak Berpenghasilan : kode 3
Untuk dapat mengetahui sosial ekonomiibu dapat digunakan kode sebagai berikut:
a. >UMK : kode 1
b. <UMK : kode 2
c. Tidak Berpenghasilan : kode 3
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Gajahmungkur
Kategori n %
Laki-laki 28 56
Perempuan 22 44
Total 50 100.0
Berdasarkan Tabel 1. Jumlah laki laki lebih banyak yaitu 28 balita (56%),
sedangkan balita perempuan 22 (44%).
Kategori n %
1 tahun 16 32
2 tahun 28 56
3 tahun 6 12
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 2. usia balita yang paling banyak 2 tahun (56%).
Kategori n %
BB Sangat Kurang 1 2
BB Kurang 8 16
BB Normal 36 72
Risiko BB Lebih 5 10
Total 50 100
Kategori n %
Sangat Pendek 4 8
Pendek 9 18
Normal 34 68
Tinggi 3 6
Total 50 100
Kategori n %
Gizi Buruk 1 2
Gizi Kurang 3 6
Gizi Baik 43 86
Gizi Lebih 1 2
Obesitas 2 4
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 6. dapat disimpulkan bahwa 2% balita dalam kategori
gizi buruk, 6% balita dalam kategori gizi kurang, 2 % balita dalam kategori
gizi lebih
4.2.4 Data Asupan Gizi Balita
2. Kategori Asupan Energi Balita
Kategori n %
Defisit Tingkat Berat 13 26
Defisit Tingkat Sedang 5 10
Defisit Tingkat Ringan 2 4
Normal 10 20
Kelebihan 20 40
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 7. dapat disimpulkan bahwa asupan energi 40%
mengalami defisit dari kebutuhan dan 40% balita mengalami kelebihan asupan
energi. Jadi terdapat 2 masalah yang dapat menjadi faktor gizi kurang dan
obesitas.
3. Kategori Asupan Protein Balita
Kategori n %
Defisit Tingkat Berat 3 6
Defisit Tingkat Sedang 1 2
Defisit Tingkat Ringan 4 8
Normal 6 12
Kelebihan 36 72
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 8. dapat disimpulkan asupan protein 16% mengalami defisit
dari kebutuhan dan 72% balita mengalami kelebihan asupan protein. Jadi terdapat
2 permasalahan yang dapat menjadi faktor gizi kurang dan obesitas. Asupan
protein 16% mengalami defisit dari kebutuhan.
4. Kategori Asupan Lemak Balita
Kategori n %
Defisit Tingkat Berat 10 20
Defisit Tingkat Ringan 1 2
Normal 16 32
Kelebihan 23 46
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 9. dapat disimpulkan bahwa asupan lemak 22%
mengalami defisit dari kebutuhan serta 46% balita mengalami kelebihan
asupan lemak. Jadi terdapat 2 permasalahan yang dapat menjadi faktor gizi
kurang dan obesitas. Asupan lemak 22% mengalami defisit dari kebutuhan.
a. Kategori Asupan Karbohidrat Balita
Kategori n %
Defisit Tingkat Berat 27 54
Defisit Tingkat Sedang 2 4
Defisit Tingkat Ringan 1 2
Normal 10 20
Kelebihan 10 20
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 10. dapat disimpulkan bahwa 60% asupan balita
mengalami defisit dari kebutuhan , dan 20% balita mengalami kelebihan
asupan karbohidrat. Jadi terdapat 2 permasalahan yang dapat menjadi faktor
gizi kurang dan obesitas.
b. Pola Makan
Kategori n %
Baik 5 10
Cukup 19 38
Kurang 26 52
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 11. dapat disimpulkan bahwa 52% dalam kategori pola
makan kurang. Pola makan pada balita karena kurang nya pengetahuan ibu
dan kurangnya pola asuh pada balita hal ini menjadi salah satu faktor
terjadinya stunting.
Kategori n %
>UMK 29 58
<UMK 21 42
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa 42% tingkat pendapatan
ayah <UMK, sehingga berpengaruh pada ketersediaan pangan dalam rumah
tangga.
f. Tingkat Pendapatan Ibu
Kategori n %
>UMK 12 24
<UMK 6 12
TIDAK BERPENGHASILAN 32 64
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 21. dapat disimpulkan bahwa 64% ibu balita tidak
berpenghasilan, sehingga berpengaruh pada ketersediaan pangan dalam rumah tangga
dan pemilihan pangan yang baik.
g. Pengetahuan Ibu
Gambar 19. Diagram Kategori Pengetahuan Ibu Balita
Tabel 22. Data Kategori Pengetahuan Ibu Balita
Kategori n %
Baik 12 24
Cukup 12 24
Kurang 26 52
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 22. dapat disimpulkan bahwa 52% ibu mengalami
pengetahuan gizi yang kurang. Kurangnya pengetahuan ibu terkait zat gizi
pada makanan ditandai dengan pengisian kuesioner banyak yang salah saat
menjawab pertanyaan terkait zat gizi makro.
h. Pola Asuh
Gambar 20. Diagram Kategori Pola Asuh Ibu Balita
Tabel 23. Data Pola Asuh Ibu Balita
Kategori n %
Baik 7 14
Cukup Baik 33 66
Kurang Baik 10 20
Total 50 100
Berdasarkan Tabel 23. dapat disimpulkan bahwa 20% pola asuh ibu
terhadap balita kurang baik. Ditandai dengan pengisian kuesioner ibu masih
kurang memperhatikan atau mengasuh anak.
BAB V
PERENCANAAN PROGRAM GIZI
5.1 Identifikasi Masalah
a. Pertumbuhan anak terhambat dimana tinggi dan berat badan tidak sesuai atau dibawah
angka rata-rata pertumbuhan anak seusianya
b. Daya tangkap anak kurang maksimal
c. Prestasi anak dibidang akademik kurang baik
d. Anak cenderung pendek dibandingkan teman seusianya
e. Anak mudah terserang penyakit
1. Masalah : Stunting
2. Penyebab Langsung : Asupan makan
3. Penyebab Tidak Langsung : Penyakit infeksi
4. Masalah Utama : Pendidikan dan pengetahuan
5. Masalah Dasar : Pendapatan dan pendidikan rendah
Stunting Pada
Balita
Asupan Makan
Defisit Energi (40%), Defisit Protein (16%), Defisit Lemak (22%),
Pendidikan Ayah
Pendidikan ayah
rendah (22%)
a. Tujuan Umum
Menurunkan prevalensi kasus stunting dari 26% menjadi 25% dalam waktu 1 tahun
b. Tujuan Khusus
- Meningkatkan pengetahuan terkait kebutuhan gizi balita, variasi menu makanan, dan
waktu pemberian makan pada balita.
- Meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi dan pencegahan stunting
- Meningkatkan pengetahuan ibu terkait terhadap pencegahan gizi buruk dan penanganan
gizi buruk
Tujuan Meningkatkan pengetahuan tentang gizi dan pencegahan stunting pada balita
Sasaran Wanita usia subur, Ibu hamil, orang tua balita, calon pasangan pengantin di
Posyandu Mekar Sari di Kecamatan Gajah Mungkur
Materi - Pemberian edukasi mengenai 1000 hari pertama kehidupan
- Pemberian edukasi mengenai dampak stunting dan cara pencegahan
- Pemberian edukasi mengenai pemenuhan gizi balita
Metode Ceramah dan Tanya Jawab
Media PPT, Video, dan Leaflet
Waktu 4x/tahun
Pelaksana Ahli Gizi/ Kader
Tempat Posyandu Mekarsari RW 08 Kelurahan Gajah Mungkur, Kecamatan Gajah
Mungkur, Kota Semarang
Tujuan Memperbaiki status gizi balita dan pencegahan gizi buruk pada balita
Sasaran Orang tua balita yang mengalami gizi buruk, dan orang tua balita yang
mengalami gizi kurang di Posyandu Mekar Sari di Kecamatan Gajah Mungkur
Materi - Pentingnya pemenuhan gizi seimbang
- Pemberian PMT pemulihan
- Pemberian edukasi pencegahan gizi buruk & pendampingan gizi buruk
Metode Konseling, Ceramah, dan Tanya Jawab
Media PPT, Leaflet, Form Recall untuk anak yang mengalami gizi buruk
Waktu 4x/tahun
Pelaksana Ahli Gizi/ Kader
Tempat Posyandu Mekarsari RW 08 Kelurahan Gajah Mungkur, Kecamatan Gajah
Mungkur, Kota Semarang
6.1 Kesimpulan