Anda di halaman 1dari 6

KONFLIK BAHASA

Banyak yang menghubungkan bahasa secara


kausatif dengan konflik; bahasa merupakan (salah
satu) faktor terjadinya konflik. Beberapa catatan
tentang konflik, misalnya di Catalonia, Irlandia, India,
dan beberapa negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia
sering kali dikaitkan dengan bahasa! Barangkali
kasus termasyhur—karena secara historis menjadi
latar penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional 12
Februari 2000—yang dikaitkan dengan konflik
bahasa adalah konfrontasi masyarakat Bangla
terhadap mayoritas penutur Urdu di Pakistan yang
pada akhirnya memisahkan Bangladesh dari
Pakistan. Apa ya begitu? Benarkah bahasa memicu
perpecahan dan perseteruan?
Bahasa sebagai pemicu konflik tampaknya
merupakan pernyataan yang dipersonifikasi dan
terlalu disederhanakan. Bahasa-bahasa tak pernah
ribut dan belum pernah melakukan keributan,
apalagi memancing perpecahan dan kerusuhan.
Manusialah sesungguhnya sebagai pemilik dan
pengguna bahasa yang melakukan itu atas nama
bahasa maupun melalui bahasa demi berbagai
kepentingan dan untuk aneka tujuan. Dengan kata
lain, secara ontologis, bahasa bukanlah sumber
konflik, tetapi secara epistemologis dan aksiologis
memang ya. Sebagai atribut identitas etnik dan
kelompok sosial, bahasa acapkali dimanfaatkan
sebagai pembangun ideologi kelompok untuk
meneguhkan kesamaan sejarah, nasib, keistimewaan
nilai-nilai sosial yang dimiliki dan menjadikannya
sebagai pembeda dengan kelompok lain. Konflik
biasanya akan mengemuka, ketika lebih jauh bahasa
(dan juga variasinya) dijadikan sebagai alat dominasi
dan hegemoni.
Sama halnya dengan politik atau agama yang
kerap dimanipulasi, bahasa dan berbagai atributnya
sejak lama telah dimanfaatkan oleh umat manusia
untuk tujuan-tujuan yang tak selalu linguistis atau
terkait dengan hal-ihwal kebahasaan. Baik politik,
agama, maupun bahasa tak lebih dari sistem sosial
yang netral, tetapi kemudian berbagai kelompok
sosial memanfaatkannya sebagai alat subordinasi,
diskriminasi, dan peminggiran kelompok-kelompok
tertentu. Ibarat kendaraan, bahasa dapat ditunggangi
oleh pemilik kepentingan, baik ke jalur positif
maupun negatif.
Instrumentasi bahasa untuk berbagai tujuan
bukanlah fenomena baru. Sebagai sistem sosial yang
berhubungan dengan hampir seluruh aspek
kehidupan manusia, sejak dahulu, bahasa telah
dimanfaatkan sebagai salah satu alat rekayasa sosial.
Bahasa dapat menjadi piranti penting kelancaran
komunikasi sekaligus pemersatu dan pemerkuat
kohesi sosial masyarakat heterogen, misalnya melalui
kebijakan bahasa yang menjamin kesetaraan dan
keadilan berbagai latar belakang sosial dan budaya.
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dapat menjadi contoh kasus untuk hal ini.
Sebaliknya, bahasa juga kerap kali dimanfaatkan
sebagai alat dominasi, diskriminasi, pengabaian, dan
peminggiran kelompok sosial dan budaya tertentu,
misalnya melalui pemberian privilese bagi penutur
bahasa tertentu. Manipulasi dan sabotase bahasa
yang terakhir itulah sebenarnya yang memantik
konflik sebagaimana dalam kasus protes penutur
Bangla yang berujung pada pemisahan Banglades
dari Pakistan seperti telah disinggung di awal tulisan
ini.
Sesungguhnya yang menjadi akar/pemicu
konflik bukanlah bahasa, melainkan manusia sebagai
aktor (penutur dan penggunanya) dengan sederet
nilai dan motif kepentingan yang memengaruhi cara-
cara mereka menggunakannya. Sikap sosial dan
perilaku berbahasa yang positif konstruktif akan
melahirkan kedamaian dan kesejahteraan sosial,
tetapi perilaku bahasa yang negatif dan destruktif
pasti memicu konflik dan ketidakharmonisan antar
sesama.
Perspektif bahasa sebagai sumber konflik
kemungkinan dipengaruhi oleh mitologi Menara
Babilonia yang dalam beberapa versi menempatkan
keragaman bahasa sebagai pemicu perselisihan dan
perpecahan umat manusia. Konon cerita ini menjadi
salah satu landasan hipotesis dogmatis asal-usul
perbedaan bahasa. Tuhan menciptakan perbedaan
bahasa untuk mengacaukan komunikasi masyarakat
Babilonia dan menimbulkan percekcokan di antara
mereka ketika dengan angkuh dan sombong
berupaya mendirikan menara super tinggi untuk
melihat Tuhan. Dalam versi ini, keragaman bahasa
merupakan kutukan dan hukuman.
Namun dalam perspektif Islam, keragaman
bahasa, etnik, dan ciptaan merupakan rahmat, ujian,
sekaligus manifestasi kuasa Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Pencip

Pada kasus-kasus di atas, dampak bahasa tampak


sangat berbahaya karena secara langsung
membengkokkan pemahaman publik atas realitas
dunia. Objek yang kompleks dan kerap kali pradoksal
dipahami terlalu sederhana sesuai kata yang
dilekatkan kepadanya. Bahasa menjebak
penggunanya pada realitas artifisial yang berbeda
atau bahkan bertentangan dengan realitas
objektifnya.
Secara konseptual, bahasa diawali dengan proses
mental. Konsep-konsep dirumuskan, disimpan dalam
pikiran. Kata-kata menjadi bermakna karena
memperantarai konsep dalam pikiran dengan realitas
objektif yang ada di luar. Relasi antara antara
keduanya bersifat konstruktif karena dibentuk
melalui pengalaman. Karena sifat kontrsuktif itulah
makna bahasa bisa direkayasa agar meninggalkan
makna konvensional menuju makna baru yang sesuai
kepentingan pihak tertentu.

Anda mungkin juga menyukai