Anda di halaman 1dari 19

24

BAB II
KESADARAN DAN KEPATUHAN HUKUM

2.1. Kesadaran Hukum

2.1.1 Asal Mula Permasalahan Kesadaran Hukum

Menurut sejarahnya, permasalahan kesadaran hukum tersebut


timbul di dalam kerangka mencari dasar sahnya hukum merupakan
kosekwensi dari masalah yang timbul di dalam penterapan tata hukum
atau hukum positif tertulis. Dasar sahnya hukum adalah pengendalian
dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat. Masalahnya tersebut
timbul karena ada hukum yang tidak ditaati oleh warga-warga
masyarakat. Jadi, terpusat pada hukum dalam arti tata hukum. Misalnya
apakah yang menjadi dasar sahnya Undang-undang Pokok Agraria
(Undang-Undang nomor 5 tahun 1960), yaitu pengendalian dari
penguasa atau kesadaran warga-warga masyarakat. (Soerjono
Soekanto, Mustafa Abdullah 1980, 210) . Hal itu sangat penting untuk
dapat mengukur efektivitas Undang-Undang tersebut, yang antara lain
tergantung pada ketaatan atau kepatuhan para warga masyarakat,
termasuk pemimpin-pemimpinnya.
Pada mulanya, kesadaran hukum sebagian besar berkisar pada
pola pikir yang beranggapan bahwa kesadaran dalam diri warga
masyarakat merupakan faktor yang menentukan sebagai sahnya suatu
hukum. Ajaran ini dinamakan paham rechtsgefuhl (perasaan memiliki
atau berhak) serta rechtsbewusstzein (kesadaran hukum). Masalah
kesadaran hukum bersumber pada ketidakserasian proporsional antara
pengadilan sosial oleh penguasa, kesadaran para warga masyarakat dan
kenyataan dipatuhi hukum positif tertulis. Ada baiknya untuk
mendapatkan masalah-masalah tersebut ke dalam kerangka yang lebih
luas, yaitu di dalam wadah negara kesejahteraan (welfare-state).
(Soerjono Soekanto 1983, 129). Ada sementara anggapan yang
25

menyatakan, bahwa kesadaran hukum bukan merupakan suatu


penilaian hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Namun
kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap apa yang
dianggap sebagai hukum yang baik dan hukum yang tidak baik.
Penilaian terhadap hukum tersebut didasarkan pada tujuannya, yaitu
apakah hukum tadi adil atau tidak, oleh karena keadilan yang
diharapkan oleh warga masyarakat. Suatu kesadaran hukum dianggap
ada, bila misalnya, seseorang memberi penilaian apakah peraturan
tertulis yang mengatur soal pemakaman di wilayah DKI Jakarta adalah
adil atau tidak adil. Jadi kesadaran hukum tersebut merupakan suatu
proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul
dan mungkin pula tidak timbul. Akan tetapi, tentang azas kesadaran
hukum itu terdapat pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia
mempunyai rasa keadilan.
Penilaian tentang adil tidaknya suatu hukum positif tertulis itu
senantiasa tergantung pada taraf kesesuaian antara rasa keadilan
pembentuk hukum dengan rasa keadilan warga masyarakat yang
kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tadi. Secara logis maka
prosesnya adalah, bahwa seseorang harus memahami hukum tersebut
sebelum dia mempunyai kesadaran hukum.

Kesadaran hukum merupakan salah satu asas dari pada


pembangunan nasional di Indonesia. Hal ini menyebabkan, bahwa
masalah kesadaran hukum harus mendapatkan penyorotan tersendiri,
dengan maksud untuk dapat menjelaskan aspek-aspek yang terkait
dengannya. Kesadaran hukum merupakan faktor yang sangat penting di
dalam proses berfungsinya sistem hukum secara menyeluruh. Di
Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat yang sangat
penting di dalam politik hukum nasional. Hal ini dapat diketahui
sebagaimana tercermin dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973
26

tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa :


(Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah 1980, 210)

1. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan


menampung kesadaran hukum Rakyat yang berkembang
kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban
dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus
ditujukkan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa
sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh, dilakukan dengan :
(a) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum
nasional dengan antara lain mengadakan
pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di
bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat.
(b) Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum
menurut proporsinya masing-masing.
(c) Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-
penegak hukum.
2. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan
membina sikap para penguasa dan parapejabat
pemerintahan kearah penegakan hukum, keadilan serta
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan
ketertiban serta kepastian hukumsesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. (Otje Salman, Anthin F. Susanto 2000,
52)
Di Indonesia adakalanya hukum diartikan sebagai keputusan
pejabat atau pejabat itu sendiri. Misalnya, keputusan lisan dari
kampung atau lurah untuk memungut iuran untuk keperluan
27

pemeliharaan jalan di kampung tersebut merupakan hukum atau


keputusan kepala kampung untuk mendamaikan perselisihan antara
warga-warga kampungnya, merupakan hukum. jadi kesadaran hukum
ada pada warga masyarakat, apabila mereka memberikan suatu
penilaian terhadap keputusan tersebut. (Soerjono Soekanto, Mustafa
Abdullah 1980, 210)
Hal ini terlepas dari adil tidak adilnya keputusan tadi, oleh
karena adanya kesadaran hukum ditentukan oleh adanya penilaian
tersebut. Masyarakat umum kadang-kadang menganggap bahwa
pejabat itu adalah hukum. Adakalanya tukang becak, misalnya,
menganggap polisi lalu-lintas atau jaksa atau hakim adalah hukum.
Terlepas dari benar tidaknya anggapan tersebut, hal itu merupakan
suatu kenyataan. Suatu kesadaran hukum akan ada, apabila warga
masyarakat mempunyai pendapat tertentu terhadap perikelakuan yang
nyata dari pejabat-pejabat dan atribut-atribut tertentu dari pejabat
tersebut yang dikaikan dengan rasa keadilan. Misalnya, ada pejabat
yang menyalah gunakan uang pengganti rugi penduduk yang digurus
dari tempat tinggalnya, pejabat tersebut dianggap tidak adil dan bahkan
curang. Soerjono Soekanto 1983, 212)
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran hukum
warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para
warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran hukum warga
masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah
pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam
masyarakat atau afektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan
hukum dalam masyarakat. Fungsi hukum sangat tergantung pada
efektivitas menanamkan hukum dimaksud. Misalnya, apabila ada
peraturan perundang-undangan yang baru mengenai perpajakan maka
pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengumuman melalui
28

macam-macam alat media massa. Kemudian perlu diambil jangka


waktu tertentu untuk menelaah reaksi dari masyarakat. Apabila jangka
waktu tersebut telah lampau, barulah bisa diambil tindakan yang tegas
terhadap para pelanggarnya. Bila cara tersebut ditempuh, warga
masyarakat akan lebih menaruh respon terhadap hukum termasuk
penegak dan pelaksanaannya. (Soerjono Soekanto 1983, 212) Dengan
demikian, secara konstitusional supremasi hukum diakui di Indonesia,
yang berarti pengakuan terhadap penagakkan rule of law baik dalam
arti formal maupun material atau ideologis dengan tekanan pada yang
terakhir. Hal ini berarti masalah kesadaran hukum dan kepatuhan
hukum terkait disini, oleh karena penegakkan rule of law dalam arti
material berarti:
1. Penegakan hukum yang sesuai dengan ukuran-ukuran
tentang hukum yang baik atau bukan hukum yang buruk.
2. Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap kaedah-
kaedah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-
badan legislative, eksekutif, judikatif.
3. Kaedah-kaedah hukum harus selaras dengan hak-hak azasi
manusia.
4. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-
kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-
aspirasi manusia dan pengahargaan yang wajar terhadap
martabat manusia.
Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan
dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-
wenang dari badan-badan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian
maka masalah keasadaran hukum tersebut perlu dapat sorotan yang
lebih mendalam di Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang
yang menuju pada Negara hukum material yang nyata. (Soerjono
Soekanto 1983, 212).
29

2.1.2 Konsepsi Kesadaran Hukum


Seperti yang telah kita ketahui bahwa sulit untuk dapat
merumuskan suatu konsep tentang kesadaran hukum. Di dalam ilmu
hukum, adakalanya dibedakan antara kesadaran hukum dengan
perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum
yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya
dengan maslah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan
perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang
telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia
tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
(Otje Salman 2000, 51) Dengan demikian yang ditekankan dalam hal
ini adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan terhadap
kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
Bila demikian kesadaran hukum menekankan tentang nilai-nilai
masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum
dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat
dikatakan bahwa persoalannya kembali kepada masalah dasar dari
validitas hukum yang berlaku, yang akhirnya harus dikembalikan pada
nilai-nilai masyarakat.
Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan
adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian
hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat
yang bersangkutan. (Soerjono Seokanto 1983, 155)
Suatu konsepsi lain yang erat kaitannya dengan kesadaran
hukum atau yang mencakup kesadaran hukum, adalah konsepsi
mengenai kebudayaan hukum (legal culture). Konseepsi ini relatif baru
dikembangkan, dan salah satu kegunaannya untuk dapat mengetahui
perihal nilai-nilai terhadap prosedur hukum maupun substansinya.
30

Apabila ajaran-ajaran tentang kesadaran hukum dibandingakan dengan


konsepsi kebudayaan hukum, konsepsi kebudayaan hukum lebih luas
ruang lingkupnya. Hal ini desebabkan hukum terdapat di dalam setiap
masyarakat manusia, betapa pun sederhana dan kecilnya masyarakat
tersebut. Oleh karena hukum tersebut merupakan bagian dari
kebudayaan, maka hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara
berfikir masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Bahkan
lebih jauh lagi, dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan
dari jiwa dan cara berfikir masyarakat yang bersangkutan. (Otje
Salman, Mustafa Abdulla, 2000, 51)
Apabila ajaran-ajaran tentang kesadaran hukum tersebut
dibandingkan dengan konsepsi kebudayaan hukum, maka konsepsi ini
lebih luas. Ajaran-ajaran kesadaran hukum lebih banyak
mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator
antara hukum dengan perikelakuan manusia baik secara individual
maupun kolektif. Konsep kebudayaan hukum lebih tepat, oleh kerena
kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif
dan perasaan yang seringkali dianggap sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola
perikelakuan manusia dalam masyarakat. (Soerjono Soekanto,1983,
154)
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan
utama dan di dalam memenuhi kebutuhan utamanya para warga
masyarakat para warga masyarakat mendapatkan pengalaman-
pengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang
menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan utama
tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut dikonsilidir, maka terciptalah
system nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-
patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan dianggap buruk.
31

Secara terperinci maka nilai-nilai tersebut sebagai berikut: (Soerjono


Soekanto,1983,153)
a. Merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi,
sebagai akibat dari pada proses interaksi sosial yang kontiniu.
b. Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis, oleh karena didasarkan
pada interaksi sosial yang dinamis pula.
c. Merupakan sesuatu kriterium untuk memilih tujuan-tujuan
didalam kehidupan sosial.
d. Merupakan suatu yang menjadi penegak manusia kearah
pemenuhan hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor
yang sangat penting di dalam pengarahan kehidupan sosial
maupun kehidupan pribadi manusia.
Walaupun sistem nilai-nilai timbul dari proses interaksi sosial
namun pada akhirnya apabila sitem tersebut telah melembaga dan
menjiwai, maka sistem nilai-nilai tersebut dianggap sebagai seolah-olah
berada di luar dan di atas para warga masyakat yang bersangkutan.
Nilai-nilai tersebut mencakup pula nilai-nilai agama secara sosiologis
sangat penting, terutama apabila dihubungakan dengan bidang-bidang
kehidupan di mana pengetahuan, ilmu pengetahuan dan keterampilan
manusia tidak dapat memenuhi kebutuan-kebutuhannya untuk
mengadakan proses adaptasi atau di mana tidak terdapat mekanisme
penyesuaian diri. Secara sosiologis, maka terdapat suatau
kecenderungan yang kuat, bahwa agama mempunyai fungsi-fungsi
tertentu di dalam interaksi sosial, yaitu : (Soerjono Soekanto,1983, 154)
1. Dengan adanya kepercayaan pada kekuatan serta kekuasaan yang
berada di atas manusia yang berkaiatan dengan tujuan hidup dan
kesejahteraan manusia, agama memberikan dukungan dan rasa
damai pada kehidupan pribadi manusia maupun kehidupan
bersama.
32

2. Agama memberikan ketenteraman hidup dan identitas yang lebih


kuat kepada manusia di dalam khidupan yang kadang-kadang
bersifat goyah dan penuh dengan perubahan-perubahan yang
cepat.
3. Agama dapat memberikan dasar yang sakral bagi nila-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, agama juga dapat
memelihara keserasian antara kepentingan-kepentingan individu
dengan kepentingan kelompok serta mempertahankan ketertiban
kelompok
4. Dasar untuk memberikan penilaian terhadap norma-norma, dapat
pula diberikan atau ditentukan oleh agama.
5. Agama memberikan identitas bagi warga-warga masyarakat.
6. Agama menunjang proses pertumbuhan, perkembangan dan
pendewasaan manusia di dalam masyarakat.
Fungsi-fungsi dari agama tersebut di atas, merupakan salah satu
dasar bagi kesadaran hukum manusia, oleh karena lengkap atau yang
paling banyak kemampuannya. Di dalam hukum Islam dikenal adanya
al-ahkam al- khamsa yang merupakan lima skala kualifikasi keagamaan
terhadap perikelakuan yang mencakup wajib, sunnah, mubah, makruh
dan haram. Disamping itu terdapat suatu skala yang menyangkut
kebenaran atau sahnya perbuatan menurut hukum, yang didasarkan
pada konsepsi masyru’, yang berarti diakui oleh hukum dan sesuai
dengan hukum. Sesuai dengan dasar tersebut, maka suatu transaksi
adalah :
1. Sah, apabila sifat dan keadaannya sesuai dengan hukum.
2. Boleh, apabila sifat dan keadaannya sesuai dengan hukum, akan
tetapi ada kaitannya dengan hal-hal yang dilarang oleh hukum.
3. Fasid, bila hanya sifatnya yang sesuai dengan hukum.
33

4. Haram, yaitu tidak sah, oleh karena baik sifatnya maupun


keadaannya tidak sesuai dengan hukum. (Soerjono Soekanto,1983,
154)
Kedua skala tersebut di atas mempunyai hubungan timbal balik
yang erat sekali, oleh karena biasanya diterapkan terhadap fakta yang
sama. Hal itu sekaligus membuktikan betapa agama merupakan salah
satu dasar dari kesadaran hukum, sehingga hukum sebenarnya dapat
dikembalikan pada “the divine ordinance” dan “the human decision”.
(Soerjono Soekanto,1983, 154). Dengan demikian, masalah kesadaran
hukum warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor
apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati,
dan dihargai? apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya
suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah
dari mereka yang memahaminya, dan seterusnya. (Soerjono
Soekanto,1983, 154). hal ini yang lazimnya dalam kalangan sosiologi
hukum dinamakan “legal consciousness” atau “knowledge and opinion
about law” (KOL).
Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-
masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu :
a. Pengetahuan hukum
Pengetahuan tentang hukum tertentu dalam wujud peraturan
mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu, merupakan salah satu
petunjuk akan adanya kesadaran hukum yang minimal. Akan tetapi
warga masyarakat ayang hanya mengetahui peraturan belaka, belum
tentu mempunyai kesadaran hukum yang cukup tinggi oleh karena
kesadaran hukum tidak hanya mencakup pengetahuan tentang
peraturan belaka, akan tetapi libih-lebih ditentukan oleh sikap hukum
dan pola perikelakuan hukum. (Soerjono Seokanto1983, 172)
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai
beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa
34

hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perliku yang dilarang
ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat
dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang
mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh
hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa
masyarakat dianggap mengetahui isi sustu peraturan manakala
peraturan tersebut telah diundangkan. (Otje Salman, Anthon F. Susanto,
56)
Secara tradisonal ada suatu peraturan-peraturan, misalnya, telah
sah secara legislatif, maka dengan sendirinya peraturan-peraturan tadi
akan tersebar luas dan diketahui umum. Setidaknya hal itu menjadi
suatu asumsi bagi para pembentuk hukum. Kenyataannya tidaklah
selalu demikian hal itu terbukti dari hasil beberapa penelitian yang
telah diadakan di beberapa Negara. Dapat dikemukakan disini,
umpanya, hasil-hasil penelitian terhadap suicide act (bunuh diri) dari
tahun 1961 yang dilakukan oleh Walker dan Argyle (pada tahun 1964)
di Inggris. Yang tahu bahwa sejak suicide act (bunuh diri) berlaku
percobaan untuk bunuh diri bukanlah merupakan suatu kejahatan.
Seringkali suatu golongan tertentu di dalam masyarakat tidak
mengetahui atau kurang mengetahui tentang ketentuan-ketentuan
hukum yang khusus berlaku bagi mereka.
Pengetahuan hukum masyarakat dapat diketahui bila diajukan
seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu.
Pertanyaan dimaksud dijawab oleh masyarakat itu dengan benar
sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu sudah
mempunyai pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila
pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat
dikatakan masyarakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan
hukum. (Zainuddin Ali: 2015, 114)
35

b. Pemahaman hukum
Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi
yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum
tertentu. Dengan lain pemahaman hukum adalah sesuatu pengertian
terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum
tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal
pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu
mengetahui adanya aturan tertulis yang mengatur sesuatu hal. Akan
tetapi yang dilihat di sini adalah bagamana persepsi mereka dalam
menghadapi berbagai hal, dalam kaitananya dengan norma-norma yang
ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap
mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. (Otje Salman, Anthon F.
Susanto2000, 59). Pengetahuan hukum ini dapat diperoleh bila
peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga
masyarakat. Bila demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakah
perumusan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Apabila pengetahuan hukum saja dimiliki oleh masyarakat, hal
itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang
berlaku. Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan
memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya
bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundang-
undangan dimaksud. Pemahaman hukum masyarakat akan dapat
diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman
hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu
dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa itu sudah
mempunyai pemahaman hukum yang benar. Sebaliknya, bila
pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat
dikatakan bahwa masyarakat itu belum memahami hukum.
36

c. Sikap hukum (legal attitude)


Sikap hukum adalah suatu kecenderunagn untuk menerima
hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu
yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.
Sebagaimana terlihat di sini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan
nila-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan
melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-
nilai yang ada di dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat
menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.

d. Pola perilaku hukum (legal bahavior).


Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam
kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan
berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai
seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari
pola perilaku hukum suatu masyarakat. (Otje Salman, Anthon F.
Susanto2000, 59)
2.2. Kepatuhan Terhadap Hukum
2.2.1 Suatu Orientasi
Salah satu tugas hukum yang penting adalah mengatur
kepentingan-kepentingan para warga masyarakat (dalam arti luas).
Kepentingan-kepentingan warga masyarakat tersebut lazimnya
bersumber pada nilai-nilai yang berlaku, yaitu anggapan tentang apa
yang baik dan pa yang haru dihindari. Ketaatan masyarakat terhadapa
hukum, dengan demikian, sedikit banyaknya tergantung pada apakah
kepentingan-kepentingan warga masyarakat dalam bidang-bidang
tertentu dapat ditampung oleh ketentuan-ketentuan hukum tersebut.
(Soerjono Soekanto 1983, 219)
37

Di dalam sosiologi maka masalah kepatuhan terhadap kaedah-


kaedah telah menjadi pokok permasalahan yang cukup banyak
dibicarakan.yang pada umumnya menjadi pusat perhatian adalah-
adalah basis-basis atau dasar-dasar dari pada kepatuhan tersebut.
Menurut bierstedt, maka dasar-dasar kepatuhan hukum adalah :
(Soerjono Soekanto 1983, 219)
1. Indoctrianation (Indoktrinasi)
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi
kaedah-kaedah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat
demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi
kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Sebagaimana
halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaedah-
kaedah telah ada waktu seseorang dilahirkan, dan semula
manusia menerimanya secra tidak sadar. Melalui proses
sosialisasi manusia dididik untuk mengenal mengetahui kaedah-
kaedah tersebut.

2. Habituation (tempat tinggal)


Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka
lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-
kaedah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali
untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang seolah-olah mengekang
kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari ditemui, maka
lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya
terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-
perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama.
3. Utility (kegunaan)
Pada dasarnya manusia mempunyai sifat kecenderungan
untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan
teratur untuk seseorang belum tentu pantas dan teratur untuk
38

orang lain. Oleh karna itu diperlukan suatu patokan tentang


kepantasan dan keteraturan tersebut, patokan-patokan tadi
merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang
tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikan, maka salah
satu faktor yang menyebabkan orang taat kepada keadah adalah
karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manuisia menyadari,
bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka
diperlukan kaedah-kaedah.
4. Group Identification (Identitas Kelompok)
Salah satu sebab mengapa orang patuh pada kaedah,
adalah kerena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana
untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang
mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya
bukan karena dia menganggap kolompoknya lenih dominan dari
kelompo-kelompok lainnya, akantetapi justru ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompoknya tadi.bahkan seseorang
mematuhi kaedah-kaedah lain, karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompok lain tersebut. (Soerjono Soekanto
1983, 219)
2.2.2 Teori-Teori Tentang Kepatuhan Hukum
Masalah kepatuhan hukum sebenarnya menyangkut proses
internalisasi (internalization) dari hukum tersebut. Proses internalisasi
dimulai pada saat seseorang dihadapkanpada pola perikelakuan baru
sebagaimana diharapakan oleh hukum, pada suatu situasi tertentu.
Awal dari pada proses inilah yang biasanya disebut sebagai proses
belajar, dimana dimana terjadi suatu perubahan pada pendirian
seseorang.yang esensial pada proses ini adalah adanya penguat
terhadap respon yang diinginkan melalui imbalan dan hilangnya
respon-respon terdahulu karena tidak adanya penguatan atau mungkin
39

oleh adanya sanksi yang negative terhadap perikelakuan demikian.


(Soerjono Soekanto 1983, 219)
Jadi hanya respon-respon yang dipelajari yang memperoleh
imbalan secara berulang-ulang, sedangkan respon-respon yang
kehilangan kekuatan penunjangnya lama kelamaan hilang.
Seorang individu taat pada kaedah-kaedah karena dia mmpunyai
perasaan keadilan yang bersifat timbal-balik. Kepatuhan dari individu
pada hakekatnya merupakan hasil dari proses internalisasi yang
disebatkan oleh pengaruh-pengaruh sosial yang memberikan efek pada
kognisi sesorang, sikap-sikap maupun pola perikelakuannya dan hal itu
bersumber pada orang-orang lain di dalam kelompok-kelompok
tersebut. Sebenarnya masalah kepatuhan yang merupakan suatu
derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses, yaitu:
1. Compliance
Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan
pada harapan akan suatu imabalan dan usaha untuk menghindarkan
diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali
tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaedah hukum
yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari
pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuahan akan ada,
apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaedah-
kaedah hukum tersebut.
2. Identificatiom
Identification terjadi apabila kepatuhan terhadap kaedah hukum
ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan
kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang
diberi wewenang untuk menetapkan kaedah-kaedah hukum tersebut.
Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari
hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhanpun tergantung
kepada baik buruknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak
40

menyukai penegak hukum akan tetapi prosees identifikasi terhadapnya


berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif
terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan
berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan positif terhadapnya.

3. Internalization
Internalization seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh
karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi
kaedah-kaedah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak
semula pengaruh terjadi, atau oleh karena dia merubah nilai-nilai yang
semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas
yang didasarkan pada motivasi secara intrinsic. Pusat kekuatan proses
ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaedah-kaedah
bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap
kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
(Soerjono Soekanto 1983, 219)

Teori tersebut di atas berorientasi pada psikologi akan tetapi


sangat penting dalam pembahasan tetang kepatuhan hukum. Di dalam
sosiologi hukum pada umumnya teori tentang kepatuhan hukum pada
umumnya dapat digolongkan ke dalam teori paksaan (dwang theorie)
dan teori consensus (consensus theorie). Salah seorang tokoh dari teori
paksaan adalah Max Weber yang yang bertitik tolak pada asumsi,
bahwa penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana
paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk
mencapai tata tertib atau ketertiban. Paksaan tersebut hanya dapat
dilakukan oleh kelompok orang-orang yang memang mempunyai
wewenang untuk berbuat demikian. (Soerjono Soekanto 1983, 219)
Teori-teori selanjutnya berkisar pada penerapan sanksi-sanksi
sebagai faktor yang menyebabkan kepatuhan hukum. Sanksi pada
41

hakekatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah


kelompok. Sanksi tersebut dapat berwujud sebagai sanksi positif dan
negatif. (Soerjono Soekanto 1983, 219)
Sanksi positif adalah unsur-unsur yang mendorong terjadinya
kepatuhan hukum atau perikelakuan yang sesuai dengan kaedah-
kaedah. Sebaliknya sanksi negatif menjatuhkan hukuman kepada
pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok.

2.3. Hubungan Antara Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum


Kesadaran hukum merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di
dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketenteraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Kesadaran
hukum tersebut mencakup unsure-unsur pengetahuan tentang hukum,
pengetahuan tentang isi hukum, sikap hukum dan pola perikelakuan
hukum. Masing-masing unsur tersebut hendak dihubungkan dengan
kepatuhan hukum, untuk memperoleh keterangan-keterangan sampai
sejauh manakah unsur-unsur tersebut berpengaruh terhadap derajat
kepatuhan hukum. Atas dasar asumsi pokok bahwa derajat kepatuhan
hukum yang tinggi disebabkan oleh proses internalisasi
(internalization) dimana hukum adalah sesuai dengan nilai-nilai yang
dianut warga-warga masyarakat. (Soerjono Soekanto 1983, 219)
Kesadaran hukum seringkali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum
sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum
dianggap sebagai variable bebas, sedangkan taraf ketaan merupakan
variable tergantung. Selain itu kesadaran hukum dapat merupakan
variable antara, yang terletak antara hukum dengan perilaku manusia
yang nyata. Perilaku yang nyata dapat terwujud dalam ketaatan hukum,
namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum mendapat dukungan
sosial, dukungan sosial hanya diperoleh, apabila ketaatan hukum
tersebut didasarkan kepada kepuasan hukum, oleh karena kepuasan
42

merupkan hasil pencpaian hasrat akan keadilan. Pada umunya


kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan atau efektifitas hukum.
Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah
ketaatan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai