Anda di halaman 1dari 26

AKHLAK SESAMA MANUSIA

Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing: SAMINGAN, S.Ag., S.pd., M.Pd.I

Disusun Oleh:

SITI NUR LATIFAH


(21030068)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS


JURUSAN EKONOMI
STIE MANDALA JEMBER
2021/2022
KATA PENGANTAR

ِ ‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن الر‬


‫َّحيْم‬

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
islamiyah, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul "AKHLAK SESAMA MANUSIA" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama Islam. Selain


itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang ilmu agama bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak SAMINGAN, S.A., S.pd.,


M.Pd.I. selaku guru Mata Pelajaran Agama Islam. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah
ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 27 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................5

PENDAHULUAN...................................................................................................5

1.1 Latar Belakang...............................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................6

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................6

2.1Pengertian Akhlak...........................................................................................6

2.2Ciri-Ciri Perbuatan Akhlak:............................................................................7

2.3 Akhlak sesama manusia.................................................................................7

2.4 Akhlak terpuji (Mahmudah).........................................................................10

1) Husnuzan....................................................................................................10

2) Tawaduk.....................................................................................................11

3) Tasamu.......................................................................................................12

4) Ta’awun......................................................................................................13

2.5 Akhlak tercela (Mazmumah)........................................................................14

1) Hasad..........................................................................................................14

2) Dendam......................................................................................................16

3) Gibah dan Fitnah........................................................................................18


4) Namimah....................................................................................................20

BAB III..................................................................................................................22

PENUTUP..............................................................................................................22

3.1 Kesimpulan...................................................................................................22

3.2 Saran.............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

BIODATA PENULIS............................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan
menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak
yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan
Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang
hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah
merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah
pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila
adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan
tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak,
sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah
menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana
manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan
buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak
boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus
manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak
patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah
yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu,
sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek
yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya itu.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pengertian Akhlak ?
2. macam – macam akhlak pada sesama manusia?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Akhlak
2. Untuk mengetahui macam – macam akhlak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akhlak


Kata “Akhlak” berasal dari Bahasa Arab, Jamak dari khuliq, yang artinya
tabiat, budi pekerti, watak, atau kesopanan. Sinonim kata akhlak ialah tatakrama,
kesusilaan, sopan santun (Bahasa Indonesia), moral, ethic (Bahasa Inggris), ethos,
ethikos (Bahasa Yunani).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya
kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak.
Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara
linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang
tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian
adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk
kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibnu Miskawaih (w. 421
H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan
terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal
sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela
Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas
dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

2.2 Ciri-Ciri Perbuatan Akhlak:


1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi
kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar.
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Dilakukan dengan ikhlas.

2.3 Akhlak sesama manusia


Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun bi at
tob'i). Integritas manusia dapat dilihat secara bertingkat, integritas pribadi,
integritas keluarga dan integritas sosial. Diantara ketiga lembaga; pribadi,
keluarga dan masyarakat terdapat hubungan saling mempengaruhi. Masyarakat
yang baik terbangun oleh adanya keluarga-keluarga yang baik, dan keluarga yang
baik juga terbangun oleh individu-individu anggauta keluarga yang baik,
sebaliknya suasana keluarga akan mewarnai integritas individu dan suasana
masyarakat juga mewarnai integritas keluarga dan individu.
            Hubungan antar anggota masyarakat ada yang diikat oleh faktor domisili
pertetanggaan, ada juga yang diikat oleh kesamaan profesi, atau kesamaan asal
usul dan kesamaan sejarah. Oleh karena itu disamping ada masyarakat lingkungan
juga ada masyarakat pers, masyarakat pendidikan, masyarakat ekonomi,
masyarakat politik dan sebagainya, juga ada masyarakat etnik dan masyarakat
bangsa.
            Dalam perspektip ini kita mengenal ungkapan yang mengatakan bahwa
seorang pemimpin adalah anak zaman, artinya kualitas masyarakat seperti apa
akan melahirkan pemimpin seperti apa. Seorang penulis juga anak dari zamannya,
artinya pemikiran yang muncul dari seorang penulis mencerminkan keadaan
masyarakat zamannya. Bagi orang yang sadar akan makna dirinya sebagai
makhluk sosial maka ia bukan hanya dibentuk oleh masyarakatnya, tetapi secara
sadar berusaha membangun masyarakat sesuai dengan konsep yang dimilikinya.
            Secara berencana ia membangun institusi-institusi yang akan menjadi pilar
terbangunnya masyarakat yang diimpikan, satu pekerjaan yang sering disebut
dengan istilah rekayasa sosial, social enginering. Islam mengajarkan bahwa antara
individu dengan individu yang lain bagaikan struktur bangunan (ka al bun yan),
yang satu memperkuat yang lain. Masyarakat yang ideal adalah yang berinteraksi
secara dinamis tetapi harmonis, seperti yang diumpamakan oleh Nabi bagaikan
satu tubuh (ka al jasad al wahid), jika satu organ tubuh menderita sakit maka
organ yang lain ikut merasakannya dan keseluruhan organ tubuh melakukan
solidaritas.
            Dari sudut tanggung jawab anggauta masyarakat, suatu masyarakat itu
diibaratkan Nabi dengan penumpang perahu, jika ada seorang penumpang di
bagian bawah melubangi kapal karena ingin cepat memperoleh air, maka
penumpang yang di bagian atas harus mencegahnya, sebab jika tidak, yang
tenggelam bukan hanya penumpang yang di bawah, tetapi keseluruhan
penumpang perahu, yang bersalah dan yang tidak.

            Jadi disamping setiap individu memiliki HAM yang perlu dilindungi, dan
setiap keluarga memiliki kehidupan privacy yang perlu dihormati, maka suatu
masyarakat juga memiliki norma-norma dan tatanan sosial yang harus dipelihara
bersama. Pelanggaran atas norma-norma sosial akan berakibat terjadinya
kegoncangan sosial yang dampaknya akan dirasakan oleh setiap keluarga dan
setiap individu. Akhlak terhadap masyarakat adalah bertujuan memelihara
keharmonisan tatanan masyarakat agar sebagai lembaga yang dibutuhkan oleh
semua anggauta masyarakat ia berfungsi optimal.
            Di dalam lingkungan masyarakat yang baik, suatu keluarga akan
berkembang secara wajar, dan kepribadian individu akan tumbuh secara sehat.
Diantara akhlak terhadap masyarakat adalah:
1. Memelihara perasaan umum. Masyarakat yang telah terjalin lama akan
memiliki nilai-nilai yang secara umum diakui sebagai kepatutan dan
ketidakpatutan. Setiap individu hendaknya menjaga diri dari melakukan
sesuatu yang dapat melukai perasaan umum, meski perbuatan itu sendiri
halal, misalnya berpesta di tengah kemiskinan masyarakat, memamerkan
kemewahan di tengah masa krisis ekonomi, menunjukkan arogansi
kekuasaan di tengah masyarakat yang lemah, menyelenggarakan kegiatan
demontratif yang mengganggu kekhustyu'an orang beribadah, dan
sebagainya.
2. Berperilaku disiplin dalam urusan publik. Disiplin adalah mengerjakan
sesuatu sesuai dengan kemestiannya, menyangkut waktu, biaya, dan
prosedur. Seorang yang disiplin, datang dan pulang kerja sesuai dengan
jadwal kerja, membayar atau memungut bayaran sesuai dengan tarifnya,
menempuh jalur urusan sesuai dengan prosedurnya. Pelanggaran kepada
disiplin, misalnya' menyuap atau menerima suap, meski dirasa ringan
secara ekonomi, tetapi bayarannya adalah rusaknya tatanan dan sistem
kerja. Demikian juga nepotisme dalam menggolkan urusan, meski tidak
terbukti secara administratip, tetapi sebenarnya merusak aturan main, yang
pada gilirannya akan menjadi bom waktu. Korupsi waktu sebenarnya juga
suatu perbuatan yang merugikan orang lain, meski tak diketahui secara
pasti siapa yang dirugikan. Mark up atau manipulasi biaya/kualitas dari
suatu proyek pelayanan publik pada dasarnya merupakan perbuatan
penghancuran terhadap masa depan generasi.
3. Memberi kontribusi secara optimal sesuai dengan tugasnya. Ulama dan
cendekiawan menyumbangkan ilmunya, Pemimpin (umara)
mengedepankan keadilan dan tanggungjawab(amanah), pengusaha
mengutamakan kejujuran, orang kaya mengoptimalkan infaq dan sedekah,
orang miskin mengutamakan keuletan, kesabaran dan doa, politisi
memelihara kesantunan dan kelompok profesional mengedepankan
profesionalitasnya.
4. Amar makruf nahi munkar. Setiap anggauta masyarakat harus memiliki
kepedulian terhadap hal-hal yang potensil merusak masyarakat, oleh
karena itu mereka harus aktip menganjurkan perbuatan baik yang nyata-
nyata telah ditinggalkan masyarakat dan mencegah perbuatan buruk yang
dilakukan secara terang terangan oleh sekelompok anggota masyarakat.
            Banyak sekali rincian yang dikemukakan al-Qur’an berkaitan dengan
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya
dalam bentuk larangan atau hal negatif, seperti membunuh, mencuri, menyakiti
badan atau yang lainnya. Namun disisi lain al-qur’an menekankan bahwa setiap
orang hendaknya didudukkan secara wajar, tidak masuk ke rumah orang lain
tanpa izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan yang dikeluarkan
adalah ucapan baik, benar dan tidak mengucilkan orang lain atau kelompok, tidak
wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan
seseorang, memanggil dengan sebutan buruk. Lalu dianjurkan untuk menjadi
orang yang pandai memaafkan, pandai menahan hawa nafsu, dan mendahulukan
kepentingan orang daripada kepentingan kita.  Allah berfirman dalam QS. An-
Nur, 24: 58, QS. Al-Baqarah, 2: 83

      “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita)


yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta
izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh,
ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah
sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak
(pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian
kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (An-Nur 24:58)
      “Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu
bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada
kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Al-Baqarah 2: 83)

2.4 Akhlak terpuji (Mahmudah)


1) Husnuzan
Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan
berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah
suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah
dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain
:
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan
Rasul Nya Adalah untuk kebaikan manusia.
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama
pasti berakibat buruk.
 Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh
dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh
kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan
berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri
maupun orang lain.
2) Tawaduk
Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati,  tidak sombong. Pengertian yang
lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih
dibandingkan hamba Allah yang lainnya.  Orang yang tawadhu’  adalah
orang  menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari
Allah SWT.  Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah
terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari
orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah
dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal
shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal
ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi
perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain
amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah
selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu
merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat
islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : 
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta karena
sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan
melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah,
melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya
Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: “Bertawadhu’lah hingga seseorang
tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya
terhadap lainnya.(HR. Muslim).
Rasulullah SAW  bersabda,    “Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam
kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang
haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah
sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan
hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa
menganggap dirinya tinggi.
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah
ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya.
Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali
bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia
dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka
serta bersikap rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu
menyadari akan  segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT,
untuk mengujinya apakah ia bersyukur atau kufur.

3) Tasamu
Tasamuh artinya toleransi. Adapun toleransi menurut istilah tasamuh ialah
suatu sikap yang menghargai dan menghormati orang lain yang memiliki
perbedaan dengan dirinya. Baik suku bangsa, ras, golongan, mahzab,
organisasi, agama, dan sebagainya. Dengan sikap tasamuh, seseorang dapat
berhubungan dan bergaul secara rukun dan harmonis dengan orang lain,
tanpa menghiraukan adanya perbedaan tertentu diantara mereka. Memiliki
sikap tasamuh, artinya menyadari tentang kelemahan yang dimiliki. Didunia
ini, tidak ada manusia yang sempurna, yang dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Perhatikan firman Allah SWT.
Artinya ;
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seseorang laki-
laki dan seseorang perempuan kemudian Kami jadikan kamu berbagnsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti (Qs. Al-Hujurat :13)
Pentingnya Tasamuh Sikap tasamuh memiliki peranan penting bagi
kehidupan manusia. Orang memiliki seikap tasamuh, niscaya dapat hidup
berdampingan secara aman dan damai dengan siapapun. Meskipun diantara
mereka terdapat berbagai perbedaan, namun perbedaan itu tidak dijadikan
sebagai sumber masalah dan permusuhan. Sebagai muslim yang beriman,
hendaknya kita memiliki sikap tasamuh dalam kehidupan sehari-hari, agar
dapat menjalin persaudaraan yang harmonis dengan siapapun. Dengan
demikian sikap tasamuh bukan hanya wajib dimiliki oleh setiap umat Islam,
melainkan juga bagi siapapun yang ingin hidupnya damai, tenteram, aman
dan rukun. Tasamuh Terhadap Sesama Muslim Islam menganjurkan umatnya
agar senantiasa menjalin persaudaraan dengan sesama muslim, dari kalangan
manapun, apapun suku bangsanya dan warna kulitnya. Tasamuh terhadap
sesama muslim ini merupakan landasan kehidupan bagi umat Islam. Jika
persatuan telah terwujud maka kekuatan akan diraih sehingga mereka dapat
menghadapi berbagai tantangan dan gangguan yang dapat merugikan kaum
muslimin. Dalam hal ini Umar Ibnu Khatab berkata:
Artinya ; Sesungguhnya Islam itu menghimpun diantara kamu satu sama lain,
dan memandang sama antara raja dan rakyat dari segi hukum (Umar bin
Khatab). Tasamuh Terhadap Non-Muslim Dalam ajaran Islam, perbedaan
agama tidak harus menimbulkan pertikaian, permusuhan, apalagi peperangan.
Bahkan Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa dapat bekerjasama
dengan siapapun dalam hal-hal kebaikan meskipun denganorang yang lain
agama sekalipun. Nilai Positif DariTasamuh Dalam Fenomena Kehidupan
Orang yang berakhlak tasamuh, sikap prilakunya akan mengandung nilai-
nilai terpuji dan mulia. Sehingga dapat mendatangkan nilai- nilai luhur yang
bermanfaat baik bagi pelakunya maupun masyarakat lingkungannya.

4) Ta’awun
Ta’awun artinya sikap tolong menolong, bantu-membantu, dan bahu-
membahu antara satu dengan yang lain. Taawun juga dapat diartikan sebagai
sikap kebersamaan dan rasa saling memiliki dan saling membutuhkan antara
satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mewujudkan suatu pergaulan yang
harmonis dan rukun.
Qs. Al maidah ayat 2
ِ ‫َوتَعا َ َونُوا َعلَى البِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َوالَتَ َعا َونُوا َعلَى اِإل ْث ِم َوال ُع ْد َوان َوالتَّقُواهللا ِإ َّن هلل َش ِديد‬
)‫ُالعقَا ب ( الما ئده‬

Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(Qs Al maidah : 2)

2.5 Akhlak tercela (Mazmumah)


1) Hasad

Artinya iri hati, dengki. Iri berarti merasa kurang senang atau cemburu melihat
orang lain beruntung. Hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah
Allah berikan kepada orang lain. Bukanlah definisi yang tepat untuk hasad adalah
mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain, bahkan semata-mata
merasa tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain itu sudah
terhitung hasad baik diiringi harapan agar nikmat tersebut hilang ataupun sekedar
merasa tidak suka. Demikianlah hasil pengkajian yang dilakukan oleh Syaikul
Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau menegaskan bahwa definisi hasad adalah merasa
tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain.

Hasad memiliki banyak bahaya di antaranya:

1. Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka dengan
nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya adalah
tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang takdir
Allah.
2. Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api melahap
kayu bakar yang kering karena biasanya orang yang hasad itu akan
melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai dengan menyebutkan
kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya,
merendahkan martabatnya dll. Ini semua adalah dosa besar yang bisa
melahap habis berbagai kebaikan yang ada.
3. Kesengsaraan yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia
saksikan tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya
terasa sesak dan bersusah hati. Akan selalu dia awasi orang yang tidak dia
sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat kepada orang lain
maka dia berduka dan susah hati.
4. Memiliki sifat hasad adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi.
Karena siapa saja yang memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi
bagian dari mereka dalam ciri khas tersebut. Nabi bersabda, “Barang
siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.” (HR
Ahmad dan Abu Daud, shahih)
5. Seberapa pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk
menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari
bahwa itu adalah suatu yang mustahil mengapa masih ada hasad di dalam
hati.
6. Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Nabi bersabda,
“Kalian tidak akan beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-
hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tuntutan hadits di atas adalah merasa tidak suka dengan hilangnya nikmat
Allah yang ada pada saudara sesama muslim. Jika engkau tidak merasa
susah dengan hilangnya nikmat Allah dari seseorang maka engkau belum
menginginkan untuk saudaramu sebagaimana yang kau inginkan untuk
dirimu sendiri dan ini bertolak belakang dengan iman yang sempurna.
7. Hasad adalah penyebab meninggalkan berdoa meminta karunia Allah.
Orang yang hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain
sehingga tidak pernah berdoa meminta karunia Allah padahal Allah ta’ala
berfirman,

‫يبٌ ِم َّما‬x‫َص‬ ِ ‫ا ِء ن‬x‫بُوا َولِلنِّ َس‬x‫يبٌ ِم َّما ا ْكت ََس‬x‫َص‬ ِ ‫ ا ِل ن‬x‫ْض لِل ِّر َج‬ َ ‫ ِه بَع‬xِ‫ َل هَّللا ُ ب‬x‫ض‬
ٍ ‫ ُك ْم َعلَى بَع‬x‫ْض‬ َّ َ‫ا ف‬x‫َوال تَتَ َمنَّوْ ا َم‬
‫ا ْكتَ َس ْبنَ َوا ْسَألُوا هَّللا َ ِم ْن فَضْ لِ ِه ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ًما‬

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an
Nisa': 32)

8. Hasad penyebab sikap meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang


yang hasad berpandangan bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang
dia dengki-lah yang mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada
nikmat yang Allah berikan kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut
akan meremehkan nikmat yang ada pada dirinya sehingga dia tidak mau
menyukuri nikmat tersebut.
9. Hasad adalah akhlak tercela. Orang yang hasad mengawasi nikmat yang
Allah berikan kepada orang-orang di sekelilingnya dan berusaha
menjauhkan orang lain dari orang yang tidak sukai tersebut dengan cara
merendahkan martabatnya, meremehkan kebaikan yang telah dia lakukan
dll.
10. Ketika hasad timbul umumnya orang yang di dengki itu akan dizalimi
sehingga orang yang di dengki itu punya hak di akhirat nanti untuk
mengambil kebaikan orang yang dengki kepadanya. Jika kebaikannya
sudah habis maka dosa orang yang di dengki akan dikurangi lalu diberikan
kepada orang yang dengki. Setelah itu orang yang dengki tersebut akan
dicampakkan ke dalam neraka.

2) Dendam
Dendam merupakan salah satu perilaku yang tercela. Dendam artinya adalah
keinginan keras di dalam hati untuk membalas orang lain. Apabila orang lain
berbuat suatu kesalahan kepada seseorang, maka di dalam hati memiliki keinginan
untuk membalasnya pada waktu yang lain. Keinginan tersebut tertanam di dalam
hati, dan berusaha mencari kesempatan  untuk melampiaskan dendamnya tersebut.
Islam tidak menginginkan umatnya menjadi pendendam, walaupun kepada orang
kafir sekalipun. Akan tetapi, Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk
menjadi hamba yang pemaaf. Rasa benci dan amarah yang ada di dalam hati,
hendaklah ditahan untuk tidak dilampiaskan pada waktu yang lain. Orang yang
mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain termasuk orang
yang bertakwa yang akan disediakan surga oleh Allah swt.
Allah swt. berfirman  dalam surah Ali Imran [2]:133-134
133. Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa,

134. (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah
mencintai orang yang ber-buat kebaikan, 

Rasulullah saw bersabda:

َّ ‫ا‬--‫ ِإنَّ َم‬،‫الص ْر َع ِة‬


‫ ِد ْي ُد‬-‫الش‬ ُّ ِ‫ش ِد ْي ُد ب‬
َّ ‫س ال‬ َ ‫ لَ ْي‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َأنَّ َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫عَنْ َأبِى ُه َر ْي َرةَ َر‬
)‫ب (رواه البخارى ومسلم‬ ِ ‫ض‬ َ ‫يَ ْملِ ُك نَ ْف‬
َ ‫سهُ ِع ْن َد ا ْل َغ‬

Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah saw bersabda, Orang yang hebat itu
bukanlah orang yang kuat pukulannya, sesungguhnya orang yang kuat adalah
lyang mampu mengekang hawa nafsunya kegika marah. (H.R. Bukhari dan
Muslim)

Orang yang memiliki rasa dendam, memiliki ciri-ciri sebagai berikut.


1. Terdapat rasa benci di dalam hati terhadap orang yang didendami
2. Merasa tidak senang jika orang yang didendami mendapat suatu kebahagiaan
atau kenikmatan
3. Merasa senang jika orang yang didendami mendapat kesengsaraan, musibah
atau cobaan
4. Ingin berbuat jahat atau membalas kejahatan terhadap orang yang didendami
5. Memengaruhi orang lain, untuk mencelakakan atau menjauhi orang yang
didendami.
Sifat dendam sangat membahayakan. Di antara bahaya sifat dendam sebagai
berikut.
1. Menghilangkan ketenangan jiwa
2. Berusaha menghindar bila bertemu dengan orang yang didendami
3. Selalu marah ketika orang lain menceritakan kebaikan orang yang kita dendami
4. Membatasi pergaulan
5. Menimbulkan rasa iri hati, benci, dan marah kepada orang lain,
6. Suka mengumpat, membohongi dan membuka aib orang lain,
7. Merusak tali persaudaraan,
8. Menimbulkan perselisihan dan permusuhan,
9. Menimbulkan penyesalan di kemudian hari
10. Mendapat murka Allah swt.  

3) Gibah dan Fitnah

Ghibah adalah Anda menceritakan tentang sesuatu yang dibenci oleh seseorang
untuk diceritakan, baik berkaitan dengan bentuk fisik, agama, dunia, kejiwaan,
budi pekerti, harta, anak, suami, istri, pembantu, pelayan, pakaian, cara berjalan,
cara bergerak, senyuman, kecemberutan, dan lain sebagainya. Apakah Anda
menceritakannya lewat lisan, tulisan, atau sekadar isyarat dengan mata, tangan,
kepala, dan sejenisnya.

Berkaitan dengan fisik, seperti kata-kata Anda: buta, pincang, pincang sebelah,
botak, pendek, tinggi, hitam, kuning, dan seterusnya. Berkaitan dengan agama
seperti kata-kata Anda: pendosa, pencuri, khianat, zhalim, meremehkan shalat,
meremehkan najis, tidak berbakti kepada orangtua, tidak meletakkan zakat pada
tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan lainnya.

Dalam hal dunia seseorang seperti kata-kata Anda: kurang ajar, meremehkan
orang lain, meremehkan hak orang lain, banyak omong, banyak makan, banyak
tidur, tidur tidak pada waktu-nya, duduk tidak pada tempatnya. Pada hal-hal yang
berkaitan dengan orangtuanya, seperti kata-kata Anda: bapaknya adalah pendosa,
orang kulit hitam, pekerja kasar, dan sebagainya.

Pada budi pekerti seperti Anda katakan: akhlaknya buruk, sombong, suka cari
perhatian, suka bikin malu, bengis, lemah, penakut, suka ngawur, angkuh, dan
seterusnya. Berkaitan dengan pakaian, seperti kata-kata Anda: lebar lobang
tangannya, panjang buntut pakaiannya, kotor pakaiannya, dan seterusnya.
Pokoknya yang menjadi pedoman adalah menceritakan tentang keadaan orang lain
yang keadaan tersebut tidak dia sukai. Imam Abu Hamid al-Ghazali telah
mengutip kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa ghibah adalah apabila
Anda menceritakan tentang orang lain dengan cerita yang tidak disukainya.

Ada beberapa jenis ghibah yabg diperbolehkan dengan maksud untuk mencapai
tujuan benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah.
Ghibah yang diperbolehkan tersebut sbb:

1. Melaporkan perbuatan aniaya yang dilakukan oleh seseorang.


2. Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari
perbuatan maksiat
3. Ghibah untuk tujuan meminta nasehat.

Sebab-sebab terjadinya perbuatan Ghibah antara lain:

1. Karena dendam dalam hati.


2. Ingin menunjukkan kelebihan dirinya dengan menyebutkan aib atau
kekurangan orang lain.
3. Rasa dengki atas kesuksesan yang telah dicapai orang lain
4. Sebagai perlampiasan rasa marah.
5. Karena ingin menarik perhatian orang lain.
6. Sengaja untuk menghina dan menjelekkan orang lain.

Contoh-contoh perilaku Ghibah


1. Membicarakan keburukan orang lain melalui lisan, seperti teman,
tetangga.
2. Membicarakan keburukan orang lain melalui bahasa isyarat.
3. Membicarakan keburukan orang lain melalui media massa tanpa ada
maksud untuk kebaikan

Bahaya sifat Ghibah

1. Menimbulkan kedengkian dan permusuhan


2. Menjatuhkan nama baik seseorang.
3. Merusak persatuan dan persaudaraan.
4. Merusak iman.
5. Menghapus amal kebaikan

Menghindari Perilaku Ghibah

Beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku Ghibah:

1. Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan


dan kemurkaan Allah.
2. Selalu mengingat bahwa amal kebaikan akan pindah kepada orang yang
digunjingkannya.
3. Hendaklah orang yang melakukan ghibah mengingat terlebih dahulu aib
dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya.
4. Menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan terjadinya ghibah.
5. Senantiasa mengingatkan orang-orang yang melakukan ghibah.

4) Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan
seseorang yang belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi
perselisihan antara keduanya.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.
[QS. Al Hujurat:10]
 
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina(10),
yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah(11), yang sangat
enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, sangat enggan
berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12), yang kaku kasar,
selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13),karena dia mempunyai (banyak)
harta dan anak (14).
[QS. Al Qalam:10-14]
 
Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba (menebar fitnah)
[HR. Bukhari dan Muslim]
 

Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullâh mengatakan, “Namimah biasanya


dipakai untuk menyebutkan aktivitas seseorang dalam memindahkan suatu
perkataan dari satu orang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain,
seperti jika Anda katakan kepada seseorang, ‘Ketahuilah bahwa si fulan
mengatakan demikian dan demikian tentang kamu.’

Tetapi, namimah tidak hanya terbatas pada hal seperti itu. Definisi namimah
adalah mengemukakan apa yang tidak disukai kedua belah pihak atau bahkan
orang ketiga. Mengemukakannya bisa secara lisan, tulisan, isyarat, atau lainnya.
Yang dipindahkan bisa perkataan atau perbuatan, bisa aib ataupun bukan.
Sehingga hakikat namimah adalah mengemukakan apa yang dirahasiakan,
menyingkap tabir dari apa yang tidak disukai untuk dikemukakan.

Contoh-contoh perilaku Namimah


1. Mempunyai maksud yang tidak baik terhadap orang lain terutama orang
yang sedang diadu domba.
2. Terlalu mudah percaya pada orang lain tanpa mengetahui kebenarannya.
3. Suka menggosip
4. Menjadi provokator.

Bahaya Memiliki Sifat Namimah

1. Tersebarnya fitnah.
2. Timbulnya kekacauan dalam masyarakat.
3. Timbulnya permusuhan
4. Cara Menghindari Perilaku Namimah

Beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku namimah:

1. Menyadari bahwa perilaku namimah menyebabkan seseorang tidak masuk


surga meskipun rajin beribadah.
2. Jangan mudah percaya pada seseorang yang memberikan informasi negatif
tentang orang lain.
3. Menghindari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku
namimah, seperti berkumpul tanpa ada tujuan yang jelas, menggosip dll.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak
mencakup segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang
baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama
makhluk. Akhlak merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan
akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia yang paling baik budi
pekertinya adalah Rasulullah S.A.W.

3.2 Saran
Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun
penyusun dapat menerapkan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam
dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad
S.A.W, setidaknya kita termasuk kedalam golongan kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa: Bandung


Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
http://riwayat.wordpress.com/2008/05/01/urgensi-akhlak-dalam-ritual-islam/.
BIODATA PENULIS

SITI NUR LATIFAH lahir pada 08 Oktober 2003 di


Situbondo sebagai anak pertama dari dua bersaudara, setelah
menempuh pendidikan formal di TK Assidiqy, SDN Bletok,
SMPN 1 Suboh, dan MA Nurur rahma. Saat ini, menjadi
mahasiswa di STIE Mandala Jember.

Riwayat Pendidikan:
 TK Assiddiqy
 SDN Bletok
 SMP 1 Suboh
 MA Nurur Rahma

Nama Ayah : Raji Sunarto


Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Nur Sutria
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hobi : Membaca
Cita-cita : Pengusaha

Anda mungkin juga menyukai