Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AKHLAK KEPADA SESAMA MANUSIA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akhlaq
Dosen Pengampu : Ahmad Azhari Nasir, S.H.I., M.S.I.

Disusun oleh :
Muhammad Syahrul Efendi 201240001008
Muhammad Rizqi Maulana R 201240001001
Sonya Dian Wahyuni 201240001017

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami selaku penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
Akhlak dengan tema Akhlak Kepada Sesama Manusia.
Dalam makalah ini, kami mengkaji atau mengulas beberapa hal yaitu tentang
pengertian akhlak terhadap sesama manusia.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Ahmad Azhari Nasir, S.H.I, M.S.I
selaku dosen mata kuliah Akhlak.
Kami selaku penulis menyadari bahwa masih perlu adanya penyempurnaan dalam
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan saran, kritik, dan masukan yang bersifat
konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca serta khususnya bagi
penulis sebagai penerapan dalam kehidupan sehari-hari serta penambah wawasan dan
pengetahuan.

Waalaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jepara 19 Juni 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................iii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................................1
BAB II....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN....................................................................................................................................2
2.1 Pengertian Akhlak.......................................................................................................................2
2.2 Ciri-Ciri Perbuatan Akhlak.......................................................................................................2
2.3 Akhlak sesama manusia..............................................................................................................2
2.4 Akhlak terpuji (Mahmudah)......................................................................................................4
2.5 Akhlak tercela (Mazmumah)......................................................................................................7
BAB III.................................................................................................................................................12
PENUTUP............................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................12
3.2 Saran..........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan
syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang
hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai
formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja,
semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang
menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang
didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah
jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-
tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia
melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah
membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia
bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang
baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri,
hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya
itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang
mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Pengertian Akhlak ?
2. Macam – macam akhlak pada sesama manusia?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Akhlak
2. Untuk mengetahui macam – macam akhlak sesama manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akhlak


Kata “Akhlak” berasal dari Bahasa Arab, Jamak dari khuliq, yang artinya tabiat, budi
pekerti, watak, atau kesopanan. Sinonim kata akhlak ialah tatakrama, kesusilaan, sopan santun
(Bahasa Indonesia), moral, ethic (Bahasa Inggris), ethos, ethikos (Bahasa Yunani).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas,
sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka
timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau
isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang
sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada
berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M) yang selanjutnya
dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat
mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul
Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham
yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

2.2 Ciri-Ciri Perbuatan Akhlak


1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan
dari luar.
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Dilakukan dengan ikhlas.

2.3 Akhlak sesama manusia


Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun bi at tob'i). Integritas
manusia dapat dilihat secara bertingkat, integritas pribadi, integritas keluarga dan integritas sosial.
Diantara ketiga lembaga; pribadi, keluarga dan masyarakat terdapat hubungan saling mempengaruhi.
Masyarakat yang baik terbangun oleh adanya keluarga-keluarga yang baik, dan keluarga yang baik
juga terbangun oleh individu-individu anggauta keluarga yang baik, sebaliknya suasana keluarga akan
mewarnai integritas individu dan suasana masyarakat juga mewarnai integritas keluarga dan individu.
            Hubungan antar anggota masyarakat ada yang diikat oleh faktor domisili pertetanggaan, ada
juga yang diikat oleh kesamaan profesi, atau kesamaan asal usul dan kesamaan sejarah. Oleh karena itu
disamping ada masyarakat lingkungan juga ada masyarakat pers, masyarakat pendidikan, masyarakat
ekonomi, masyarakat politik dan sebagainya, juga ada masyarakat etnik dan masyarakat bangsa.
            Dalam perspektip ini kita mengenal ungkapan yang mengatakan bahwa seorang pemimpin
adalah anak zaman, artinya kualitas masyarakat seperti apa akan melahirkan pemimpin seperti apa.
Seorang penulis juga anak dari zamannya, artinya pemikiran yang muncul dari seorang penulis
mencerminkan keadaan masyarakat zamannya. Bagi orang yang sadar akan makna dirinya sebagai
makhluk sosial maka ia bukan hanya dibentuk oleh masyarakatnya, tetapi secara sadar berusaha
membangun masyarakat sesuai dengan konsep yang dimilikinya.
            Secara berencana ia membangun institusi-institusi yang akan menjadi pilar terbangunnya
masyarakat yang diimpikan, satu pekerjaan yang sering disebut dengan istilah rekayasa sosial, social
enginering. Islam mengajarkan bahwa antara individu dengan individu yang lain bagaikan struktur
bangunan (ka al bun yan), yang satu memperkuat yang lain. Masyarakat yang ideal adalah yang
berinteraksi secara dinamis tetapi harmonis, seperti yang diumpamakan oleh Nabi bagaikan satu tubuh
(ka al jasad al wahid), jika satu organ tubuh menderita sakit maka organ yang lain ikut merasakannya
dan keseluruhan organ tubuh melakukan solidaritas.
            Dari sudut tanggung jawab anggauta masyarakat, suatu masyarakat itu diibaratkan Nabi dengan
penumpang perahu, jika ada seorang penumpang di bagian bawah melubangi kapal karena ingin cepat
memperoleh air, maka penumpang yang di bagian atas harus mencegahnya, sebab jika tidak, yang
tenggelam bukan hanya penumpang yang di bawah, tetapi keseluruhan penumpang perahu, yang
bersalah dan yang tidak.
            Jadi disamping setiap individu memiliki HAM yang perlu dilindungi, dan setiap keluarga
memiliki kehidupan privacy yang perlu dihormati, maka suatu masyarakat juga memiliki norma-norma
dan tatanan sosial yang harus dipelihara bersama. Pelanggaran atas norma-norma sosial akan berakibat
terjadinya kegoncangan sosial yang dampaknya akan dirasakan oleh setiap keluarga dan setiap
individu. Akhlak terhadap masyarakat adalah bertujuan memelihara keharmonisan tatanan masyarakat
agar sebagai lembaga yang dibutuhkan oleh semua anggauta masyarakat ia berfungsi optimal.
            Di dalam lingkungan masyarakat yang baik, suatu keluarga akan berkembang secara wajar, dan
kepribadian individu akan tumbuh secara sehat.
Diantara akhlak terhadap masyarakat adalah:
1. Memelihara perasaan umum. Masyarakat yang telah terjalin lama akan memiliki nilai-nilai
yang secara umum diakui sebagai kepatutan dan ketidakpatutan. Setiap individu hendaknya
menjaga diri dari melakukan sesuatu yang dapat melukai perasaan umum, meski perbuatan itu
sendiri halal, misalnya berpesta di tengah kemiskinan masyarakat, memamerkan kemewahan
di tengah masa krisis ekonomi, menunjukkan arogansi kekuasaan di tengah masyarakat yang
lemah, menyelenggarakan kegiatan demontratif yang mengganggu kekhustyu'an orang
beribadah, dan sebagainya.
2. Berperilaku disiplin dalam urusan publik. Disiplin adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan
kemestiannya, menyangkut waktu, biaya, dan prosedur. Seorang yang disiplin, datang dan
pulang kerja sesuai dengan jadwal kerja, membayar atau memungut bayaran sesuai dengan
tarifnya, menempuh jalur urusan sesuai dengan prosedurnya. Pelanggaran kepada disiplin,
misalnya' menyuap atau menerima suap, meski dirasa ringan secara ekonomi, tetapi
bayarannya adalah rusaknya tatanan dan sistem kerja. Demikian juga nepotisme dalam
menggolkan urusan, meski tidak terbukti secara administratip, tetapi sebenarnya merusak
aturan main, yang pada gilirannya akan menjadi bom waktu. Korupsi waktu sebenarnya juga
suatu perbuatan yang merugikan orang lain, meski tak diketahui secara pasti siapa yang
dirugikan. Mark up atau manipulasi biaya/kualitas dari suatu proyek pelayanan publik pada
dasarnya merupakan perbuatan penghancuran terhadap masa depan generasi.
3. Memberi kontribusi secara optimal sesuai dengan tugasnya. Ulama dan cendekiawan
menyumbangkan ilmunya, Pemimpin (umara) mengedepankan keadilan dan
tanggungjawab(amanah), pengusaha mengutamakan kejujuran, orang kaya mengoptimalkan
infaq dan sedekah, orang miskin mengutamakan keuletan, kesabaran dan doa, politisi
memelihara kesantunan dan kelompok profesional mengedepankan profesionalitasnya.
4. Amar makruf nahi munkar. Setiap anggauta masyarakat harus memiliki kepedulian terhadap
hal-hal yang potensil merusak masyarakat, oleh karena itu mereka harus aktip menganjurkan
perbuatan baik yang nyata-nyata telah ditinggalkan masyarakat dan mencegah perbuatan buruk
yang dilakukan secara terang terangan oleh sekelompok anggota masyarakat.
            Banyak sekali rincian yang dikemukakan al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap
sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan atau hal negatif,
seperti membunuh, mencuri, menyakiti badan atau yang lainnya. Namun disisi lain al-qur’an
menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar, tidak masuk ke rumah orang lain
tanpa izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan yang dikeluarkan adalah ucapan baik,
benar dan tidak mengucilkan orang lain atau kelompok, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa
alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, memanggil dengan sebutan buruk. Lalu dianjurkan
untuk menjadi orang yang pandai memaafkan, pandai menahan hawa nafsu, dan mendahulukan
kepentingan orang daripada kepentingan kita.  Allah berfirman dalam QS. An-Nur, 24: 58, QS. Al-
Baqarah, 2: 83

      “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan
orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari)
yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan
sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur 24:58)

      “Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-
orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling.” (Al-Baqarah 2: 83)

2.4 Akhlak terpuji (Mahmudah)


1) Husnuzan
Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni
berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib,
wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain :
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul Nya
Adalah untuk kebaikan manusia.
 Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat
buruk.
 Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan).
Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia
telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif
baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain.

2) Tawaduk
Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati,  tidak sombong. Pengertian yang lebih
dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah
yang lainnya.  Orang yang tawadhu’  adalah orang  menyadari bahwa semua kenikmatan yang
didapatnya bersumber dari Allah SWT.  Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak
pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain,
tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri
dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap
menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan
takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya kita
sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji
yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : 
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta karena sedekah, dan
Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada
seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh
Allah. (HR. Muslim).
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah SWT
telah mewahyukan kepadaku: “Bertawadhu’lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri
terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim).
Rasulullah SAW  bersabda,    “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia.” (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya,
Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-
sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan
hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan
tanpa menganggap dirinya tinggi.
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka
semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah
amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah
usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya
maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap
kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan
manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah
hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan  segala nikmat yang
didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersyukur atau kufur.

3) Tasamuh
Tasamuh artinya toleransi. Adapun toleransi menurut istilah tasamuh ialah suatu sikap
yang menghargai dan menghormati orang lain yang memiliki perbedaan dengan dirinya. Baik
suku bangsa, ras, golongan, mahzab, organisasi, agama, dan sebagainya. Dengan sikap
tasamuh, seseorang dapat berhubungan dan bergaul secara rukun dan harmonis dengan orang
lain, tanpa menghiraukan adanya perbedaan tertentu diantara mereka. Memiliki sikap tasamuh,
artinya menyadari tentang kelemahan yang dimiliki. Didunia ini, tidak ada manusia yang
sempurna, yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Pentingnya Tasamuh Sikap tasamuh memiliki peranan penting bagi kehidupan
manusia. Orang memiliki seikap tasamuh, niscaya dapat hidup berdampingan secara aman dan
damai dengan siapapun. Meskipun diantara mereka terdapat berbagai perbedaan, namun
perbedaan itu tidak dijadikan sebagai sumber masalah dan permusuhan. Sebagai muslim yang
beriman, hendaknya kita memiliki sikap tasamuh dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat
menjalin persaudaraan yang harmonis dengan siapapun. Dengan demikian sikap tasamuh
bukan hanya wajib dimiliki oleh setiap umat Islam, melainkan juga bagi siapapun yang ingin
hidupnya damai, tenteram, aman dan rukun.
Tasamuh Terhadap Sesama Muslim Islam menganjurkan umatnya agar senantiasa
menjalin persaudaraan dengan sesama muslim, dari kalangan manapun, apapun suku
bangsanya dan warna kulitnya. Tasamuh terhadap sesama muslim ini merupakan landasan
kehidupan bagi umat Islam. Jika persatuan telah terwujud maka kekuatan akan diraih sehingga
mereka dapat menghadapi berbagai tantangan dan gangguan yang dapat merugikan kaum
muslimin.
Dalam hal ini Umar Ibnu Khatab berkata:
Artinya : Sesungguhnya Islam itu menghimpun diantara kamu satu sama lain, dan memandang
sama antara raja dan rakyat dari segi hukum (Umar bin Khatab). Tasamuh Terhadap Non-
Muslim Dalam ajaran Islam, perbedaan agama tidak harus menimbulkan pertikaian,
permusuhan, apalagi peperangan. Bahkan Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa dapat
bekerjasama dengan siapapun dalam hal-hal kebaikan meskipun denganorang yang lain agama
sekalipun. Nilai Positif DariTasamuh Dalam Fenomena Kehidupan Orang yang berakhlak
tasamuh, sikap prilakunya akan mengandung nilai-nilai terpuji dan mulia. Sehingga dapat
mendatangkan nilai- nilai luhur yang bermanfaat baik bagi pelakunya maupun masyarakat
lingkungannya.

4) Ta’awun
Ta’awun artinya sikap tolong menolong, bantu-membantu, dan bahu-membahu antara
satu dengan yang lain. Taawun juga dapat diartikan sebagai sikap kebersamaan dan rasa
saling memiliki dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat
mewujudkan suatu pergaulan yang harmonis dan rukun.

Qs. Al maidah ayat 2


)‫البرِّ َوال َّت ْق َوى َوالَ َت َع َاو ُنوا َعلَى اِإل ْث ِم َوالع ُْد َوان َوال َّتقُواهللا ِإنَّ هلل َشدِي ُدال ِع َقا ب ( الما ئده‬
ِ ‫َو َتعا َ َو ُنوا َعلَى‬

Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Qs Al maidah : 2)

2.5 Akhlak tercela (Mazmumah)


1) Hasad
Hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain.
Bukanlah definisi yang tepat untuk hasad adalah mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang
lain, bahkan semata-mata merasa tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain itu
sudah terhitung hasad baik diiringi harapan agar nikmat tersebut hilang ataupun sekedar merasa tidak
suka. Demikianlah hasil pengkajian yang dilakukan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau
menegaskan bahwa definisi hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada
orang lain.

Hasad memiliki banyak bahaya di antaranya:

1. Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah
berikan kepada orang lain pada hakikatnya adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah
takdirkan dan menentang takdir Allah.
2. Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api melahap kayu bakar yang kering
karena biasanya orang yang hasad itu akan melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai
dengan menyebutkan kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya,
merendahkan martabatnya dll. Ini semua adalah dosa besar yang bisa melahap habis berbagai
kebaikan yang ada.
3. Kesengsaraan yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan tambahan
nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa sesak dan bersusah hati. Akan
selalu dia awasi orang yang tidak dia sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat
kepada orang lain maka dia berduka dan susah hati.
4. Memiliki sifat hasad adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi. Karena siapa saja yang
memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam ciri khas tersebut.
Nabi bersabda, “Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.”
(HR Ahmad dan Abu Daud, shahih)
5. Seberapa pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk menghilangkan
nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari bahwa itu adalah suatu yang mustahil
mengapa masih ada hasad di dalam hati.
6. Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Nabi bersabda, “Kalian tidak akan
beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya
sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim). Tuntutan hadits di atas adalah merasa tidak suka dengan
hilangnya nikmat Allah yang ada pada saudara sesama muslim. Jika engkau tidak merasa susah
dengan hilangnya nikmat Allah dari seseorang maka engkau belum menginginkan untuk
saudaramu sebagaimana yang kau inginkan untuk dirimu sendiri dan ini bertolak belakang
dengan iman yang sempurna.
7. Hasad adalah penyebab meninggalkan berdoa meminta karunia Allah. Orang yang hasad selalu
memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak pernah berdoa meminta karunia
Allah padahal Allah ta’ala berfirman,

ْ َ‫َألُوا هَّللا َ ِم ْن ف‬N‫اس‬


‫لِ ِه‬N‫ض‬ ْ ‫ ْبنَ َو‬N‫يبٌ ِم َّما ا ْكت ََس‬N‫َص‬
ِ ‫َصيبٌ ِم َّما ا ْكتَ َسبُوا َولِلنِّ َسا ِء ن‬
ِ ‫ال ن‬ َ ‫َوال تَتَ َمنَّوْ ا َما فَض ََّل هَّللا ُ بِ ِه بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَع‬
ِ ‫ْض لِلرِّ َج‬
ْ ‫ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء َعلِي ًما‬

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an Nisa': 32)

2) Dendam
Dendam merupakan salah satu perilaku yang tercela. Dendam artinya adalah keinginan keras
di dalam hati untuk membalas orang lain. Apabila orang lain berbuat suatu kesalahan kepada
seseorang, maka di dalam hati memiliki keinginan untuk membalasnya pada waktu yang lain.
Keinginan tersebut tertanam di dalam hati, dan berusaha mencari kesempatan  untuk melampiaskan
dendamnya tersebut.
Islam tidak menginginkan umatnya menjadi pendendam, walaupun kepada orang kafir
sekalipun. Akan tetapi, Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk menjadi hamba yang pemaaf.
Rasa benci dan amarah yang ada di dalam hati, hendaklah ditahan untuk tidak dilampiaskan pada
waktu yang lain. Orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain termasuk
orang yang bertakwa yang akan disediakan surga oleh Allah swt.
Allah swt. berfirman  dalam surah Ali Imran [2]:133-134
133. Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,

134. (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang ber-buat kebaikan, 

Rasulullah saw bersabda:

‫الش ِديْ ُد‬ ُّ ِ‫الش ِديْ ُد ب‬


َّ ‫ ِإنَّ َم ا‬،‫الص ْر َع ِة‬ َّ ‫س‬ َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ ل َْي‬:‫ال‬
ِ ِ
َّ ُ‫ضي اهللُ َع ْنه‬
َ ‫َأن َر ُس ْو َل اهلل‬ ِ
َ ‫َع ْن َأبى ُه َر ْي َرةَ َر‬
ِ‫ض‬
)‫ب (رواه البخارى ومسلم‬ َ َ‫ك َن ْف َسهُ ِع ْن َد الْغ‬
ُ ِ‫يَ ْمل‬

Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah saw bersabda, Orang yang hebat itu bukanlah orang yang kuat
pukulannya, sesungguhnya orang yang kuat adalah lyang mampu mengekang hawa nafsunya kegika
marah. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Orang yang memiliki rasa dendam, memiliki ciri-ciri sebagai berikut.


1. Terdapat rasa benci di dalam hati terhadap orang yang didendami
2. Merasa tidak senang jika orang yang didendami mendapat suatu kebahagiaan atau kenikmatan
3. Merasa senang jika orang yang didendami mendapat kesengsaraan, musibah atau cobaan
4. Ingin berbuat jahat atau membalas kejahatan terhadap orang yang didendami
5. Memengaruhi orang lain, untuk mencelakakan atau menjauhi orang yang didendami.
Sifat dendam sangat membahayakan. Di antara bahaya sifat dendam sebagai berikut.
1. Menghilangkan ketenangan jiwa
2. Berusaha menghindar bila bertemu dengan orang yang didendami
3. Selalu marah ketika orang lain menceritakan kebaikan orang yang kita dendami
4. Membatasi pergaulan
5. Menimbulkan rasa iri hati, benci, dan marah kepada orang lain,
6. Suka mengumpat, membohongi dan membuka aib orang lain,
7. Merusak tali persaudaraan,
8. Menimbulkan perselisihan dan permusuhan,
9. Menimbulkan penyesalan di kemudian hari
10. Mendapat murka Allah swt.  

3) Gibah dan Fitnah

Ghibah adalah Anda menceritakan tentang sesuatu yang dibenci oleh seseorang untuk
diceritakan, baik berkaitan dengan bentuk fisik, agama, dunia, kejiwaan, budi pekerti, harta, anak,
suami, istri, pembantu, pelayan, pakaian, cara berjalan, cara bergerak, senyuman, kecemberutan, dan
lain sebagainya. Apakah Anda menceritakannya lewat lisan, tulisan, atau sekadar isyarat dengan mata,
tangan, kepala, dan sejenisnya.

Berkaitan dengan fisik, seperti kata-kata Anda: buta, pincang, pincang sebelah, botak, pendek,
tinggi, hitam, kuning, dan seterusnya. Berkaitan dengan agama seperti kata-kata Anda: pendosa,
pencuri, khianat, zhalim, meremehkan shalat, meremehkan najis, tidak berbakti kepada orangtua, tidak
meletakkan zakat pada tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan lainnya.

Dalam hal dunia seseorang seperti kata-kata Anda: kurang ajar, meremehkan orang lain,
meremehkan hak orang lain, banyak omong, banyak makan, banyak tidur, tidur tidak pada waktu-nya,
duduk tidak pada tempatnya. Pada hal-hal yang berkaitan dengan orangtuanya, seperti kata-kata Anda:
bapaknya adalah pendosa, orang kulit hitam, pekerja kasar, dan sebagainya.

Pada budi pekerti seperti Anda katakan: akhlaknya buruk, sombong, suka cari perhatian, suka
bikin malu, bengis, lemah, penakut, suka ngawur, angkuh, dan seterusnya. Berkaitan dengan pakaian,
seperti kata-kata Anda: lebar lobang tangannya, panjang buntut pakaiannya, kotor pakaiannya, dan
seterusnya. Pokoknya yang menjadi pedoman adalah menceritakan tentang keadaan orang lain yang
keadaan tersebut tidak dia sukai. Imam Abu Hamid al-Ghazali telah mengutip kesepakatan seluruh
kaum muslimin, bahwa ghibah adalah apabila Anda menceritakan tentang orang lain dengan cerita
yang tidak disukainya.

Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan dengan maksud untuk mencapai tujuan benar dan
tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah.
Ghibah yang diperbolehkan tersebut sebagai berikut:
1. Melaporkan perbuatan aniaya yang dilakukan oleh seseorang.
2. Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat
3. Ghibah untuk tujuan meminta nasehat.

 Sebab-sebab terjadinya perbuatan Ghibah antara lain :

1. Karena dendam dalam hati.


2. Ingin menunjukkan kelebihan dirinya dengan menyebutkan aib atau kekurangan orang lain.
3. Rasa dengki atas kesuksesan yang telah dicapai orang lain
4. Sebagai perlampiasan rasa marah.
5. Karena ingin menarik perhatian orang lain.
6. Sengaja untuk menghina dan menjelekkan orang lain.

 Contoh-contoh perilaku Ghibah :

1. Membicarakan keburukan orang lain melalui lisan, seperti teman, tetangga.


2. Membicarakan keburukan orang lain melalui bahasa isyarat.
3. Membicarakan keburukan orang lain melalui media massa tanpa ada maksud untuk kebaikan

 Bahaya sifat Ghibah :

1. Menimbulkan kedengkian dan permusuhan


2. Menjatuhkan nama baik seseorang.
3. Merusak persatuan dan persaudaraan.
4. Merusak iman.
5. Menghapus amal kebaikan

 Menghindari Perilaku Ghibah

Beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku Ghibah :

1. Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah.
2. Selalu mengingat bahwa amal kebaikan akan pindah kepada orang yang digunjingkannya.
3. Hendaklah orang yang melakukan ghibah mengingat terlebih dahulu aib dirinya sendiri dan
segera berusaha memperbaikinya.
4. Menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan terjadinya ghibah.
5. Senantiasa mengingatkan orang-orang yang melakukan ghibah

4) Namimah
Adu domba atau namimah, yakni menceritakan sikap atau perbuatan seseorang yang
belum tentu benar kepada orang lain dengan maksud terjadi perselisihan antara keduanya.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
[QS. Al Hujurat:10]
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina(10), yang banyak mencela,
yang kian ke mari menghambur fitnah(11), yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas
lagi banyak dosa, sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12), yang
kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13),karena dia mempunyai (banyak) harta dan
anak (14).
[QS. Al Qalam:10-14]
 

Imam Abu Hamid al-Ghazali rahimahullâh mengatakan, “Namimah biasanya dipakai untuk
menyebutkan aktivitas seseorang dalam memindahkan suatu perkataan dari satu orang atau kelompok
kepada orang lain atau kelompok lain, seperti jika Anda katakan kepada seseorang, ‘Ketahuilah bahwa
si fulan mengatakan demikian dan demikian tentang kamu.’

Tetapi, namimah tidak hanya terbatas pada hal seperti itu. Definisi namimah adalah
mengemukakan apa yang tidak disukai kedua belah pihak atau bahkan orang ketiga.
Mengemukakannya bisa secara lisan, tulisan, isyarat, atau lainnya. Yang dipindahkan bisa perkataan
atau perbuatan, bisa aib ataupun bukan. Sehingga hakikat namimah adalah mengemukakan apa yang
dirahasiakan, menyingkap tabir dari apa yang tidak disukai untuk dikemukakan.

 Contoh-contoh perilaku Namimah

1. Mempunyai maksud yang tidak baik terhadap orang lain terutama orang yang sedang diadu
domba.
2. Terlalu mudah percaya pada orang lain tanpa mengetahui kebenarannya.
3. Suka menggosip.
4. Menjadi provokator.

 Bahaya Memiliki Sifat Namimah

1. Tersebarnya fitnah.
2. Timbulnya kekacauan dalam masyarakat.
3. Timbulnya permusuhan.
4. Cara Menghindari Perilaku Namimah.

 Beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku namimah:

1. Menyadari bahwa perilaku namimah menyebabkan seseorang tidak masuk surga meskipun
rajin beribadah.
2. Jangan mudah percaya pada seseorang yang memberikan informasi negatif tentang orang lain.
3. Menghindari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku namimah, seperti berkumpul
tanpa ada tujuan yang jelas, menggosip dll.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia karena akhlak mencakup
segala pengertian tingkah laku, tabi'at, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang
buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama makhluk. Akhlak merupakan
hal yang paling penting dalam pembentukan akhlakul karimah seorang manusia. Dan manusia
yang paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah S.A.W.

3.2 Saran
Dan diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun
dapat menerapkan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari-
hari. Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W, setidaknya kita termasuk kedalam
golongan kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa: Bandung


Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
http://riwayat.wordpress.com/2008/05/01/urgensi-akhlak-dalam-ritual-islam/.

Anda mungkin juga menyukai