Anda di halaman 1dari 4

Agama dan Sastra  

yang subsistem di antara agama dan budaya menjadi kurang


relevan. Kenyataannya, terdapat banyak bukti adanya konstruksi
Membicarakan sastra dan agama berarti harus menilik adakah Sastra Pesantren:Relasi Agama dan Budaya Lokal sosial mengenai agama sebagai sistem kebudayaan yang
pengaruh agama dalam sebuah karya sastra, atau adakah
merupakan hasil produksi dan reproduksi manusia. Di sisi lain,
sebuah karya sastra bernafaskan agama. Seorang pengarang Secara konseptual, kajian tentang sastra pesantren dan budaya sulit juga dibantah bahwa agama memiliki andil yang signifikan
tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang lokal dapat didekati dengan menggunakan perspektif teori relasi dalam mengonstruksi budaya sebagaimana yang dikatakan oleh
tumbuh dalam masyarakat. Hal itu berkaitan erat dengan proses agama dan budaya. Teori relasi agama dan budaya sejak lama Elliot (1989: p. 106) di atas.
penciptaan sebuah karya sastra karena karya sastra tidak lahir menjadi perhatian para pakar sosial dan antropologi. T.S. Elliot
dalam situasi kekosongan budaya. Sastra keagamaan merupakan (1989: p. 106) menegaskan bahwa tidak ada satu budaya pun
jalinan erat antara karya sastra dan agama, di dalamnya  Penelitian yang dilakukan oleh Nur Syam (2005: pp. 2-3)
yang lahir atau berkembang kecuali dalam hubungannya dengan menunjukkan bahwa secara teoretis relasi antara tradisi Islam
mengandung nilai-nilai ajaran agama, moralitas, dan unsur agama. Clifford Geertz (1992:p. 1) menyebut agama sebagai
estetika. dan budaya lokal dapat dilihat menurut dua tipologi, yaitu
sebuah sistem kebudayaan. Itulah sebabnya, studi antropologis tipologi sinkretik dan akulturatif. Kajian dengan corak sinkretik
mengenai agama, demikian menurut Geertz (1992: p. 49), antara agama (Islam) dengan budaya lokal dilakukan oleh Geertz
Genre sastra seperti itu merupakan hasil perpaduan dua merupakan kajian yang mengaitkan sistem-sistem makna agama (1981), Firth (1990), Ali (1990), Beatty (1996), Mulder (1999),
kebudayaan yang berlatar belakang berbeda, yaitu budaya pada struktur sosial dan proses-proses psikologis, selain suatu dan Hutoma (2001). Adapun kajian yang bercorak akulturatif
bangsa dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang analisis atas sistem-sistem makna yang terkandung dalam antara Islam dengan budaya lokal terdapat dalam tulisan Hefner
telah dihayatinya. Sebagai kepercayaan yang dipegang teguh simbol-simbol agama itu sendiri. (1985), Woodward (1989), Muhaimin (2001), dan Hilmy (2001).
oleh sastrawan, budaya dan nilai-nilai tersebut diekspresikan
kembali dalam bentuk karya sastra. Karya sastra seperti itu juga Sementara itu, Pohlong (2004: p. 19) menyatakan bahwa agama Dua perspektif tentang tradisi agama, termasuk tradisi sastra
menunjukkan adanya reaksi aktif pengarang dalam menghayati memiliki dua lipatan dalam hubungannya dengan budaya. Pada pesantren, dalam hubungannya dengan budaya lokal itu hingga
kehadiran agama yang dipeluknya secara teguh. Karya sastra lipatan pertama, aspek-aspek agama sebagai institusi yang kini diyakini masih menjadi bagian dari cara bagaimana
yang menghadirkan pesan-pesan keagamaan berdasarkan Kitab tersembunyi dapat dilihat sebagai bagian dari budaya, dan pada masyarakat mengonstruksi tradisi Islam lokal yang dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, misalnya, Di Dalam Taman lipatan kedua, agama merupakan institusi nyata seperti lembaga konteks masyarakat tertentu kecenderungan itu tampak
Eden, Dosa Pertama, dan  Banjir Besar. Adapun karya sastra yang keluarga, institusi sosial dan politik, sistem komunikasi, estetika, semakin menguat, yaitu ketika praktik penyelenggaraan budaya
isinya berdasarkan kitab Alquran, antara lain, Kisasul dan lain-lain. Institusi-institusi ini saling berkompetisi sekaligus dan tradisi lokal semakin ramai, bahkan ketika gerakan
Anbiya (Kisah Para Nabi), yang mengisahkan Nabi Adam as dan saling memperkuat dan masing-masing saling bergantung. pemurnian Islam semakin intensif berkembang di Tanah Air.
kisah Nabi Nuh as.  Selain itu,  karya sastra bernafaskan Islam
dalam bentuk novel, antara lain, Di Bawah Lindungan Namun demikian, betapa pun agama tidak bisa dipisahkan Kitab-kitab berbahasa Arab, yang dikategorikan sebagai karya
Ka’bah (Hamka), Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), dengan kebudayaan, hubungan antara entitas agama dengan sastra pesantren, dicipta oleh penulis masa lampau (kiai) sebagai
dan Perjalanan ke Akhirat (Djamil Suherman). budaya tetaplah tidak mudah diidentifikasi dan dipahami dengan refleksi atas pemikiran dan pengalaman sosialnya bergaul
menggunakan perspektif yang sama. Dalam hubungan itu, dengan masyarakat. Dalam konteks ini, karya sastra pesantren,
Keterkaitan antara sastra dan agama ini juga tampak dalam kedudukan dan fungsi agama dalam struktur secara historis, merupakan bentuk ekspresi, refleksi, dan
novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Ayat- kebudayaan3 berbeda antara satu agama dengan agama lainnya representasi masyarakat pesantren (kiai dan santri) yang
Ayat Cinta yang termasuk salah satu novel Islami karena (Roy, 2010: p. 23). Bahkan, gagasan Geertz (1992: p. 1) tentang kemudian menciptakan budaya lokal yang khas, yaitu budaya
mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Hal itu dapat disimak dari agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan yang kemudian lokal yang hidupnya tidak terpisahkan dari tradisi pesantren.
gambaran para tokohnya, terutama tokoh Fahri. Tokoh Fahri menjadi salah satu perspektif dalam memahami relasi budaya Salah satu ciri tradisi pesantren adalah adanya kehidupan sastra
menggambarkan karakter yang memiliki sikap dan kepribadian dan agama, ditengarai tidak diterima oleh komunitas agama- khas pesantren yang dibangun oleh kiai dan santri dalam
sesuai dengan Alquran dan hadis nabi. Menurut hemat penulis, agama. Terlebih komunitas Islam yang justru meyakini perjalanan historisitas kesusastraannya itu.
tidak berlebihan kalau disebut bahwa pengarang dalam novel kebudaya-an yang merupakan salah satu bagian dari
tersebut telah telah mengambil teladan dari ayat-ayat Alquran keberagamaan.
Historisitas kesusastraan, menurut estetika Marxis ortodoks,
ke dalam novelnya. Tokoh Fahri juga digambarkan sebagai tokoh memberikan interpretasi dialektik terhadap konsep refleksi.
yang meneladani akhlak nabi. Dengan demikian, novel Ayat-Ayat Dalam konteks kajian tentang sastra pesantren dikaitkan dengan Esensi historis suatu karya sastra tidak hanya besandar pada
Cinta tersebut juga bisa menjadi “teladan” bagi pembacanya. budaya lokal, perbincangan tentang mana yang sistem dan mana fungsi ekspresif dan representasinya, tetapi juga didasarkan
pada hubungan suatu karya dengan karya yang lain. Hubungan acara tertentumasih tetap semarak meskipun kritik yang Adapun komunitas pesantren memandang perayaan Maulid
ini menghasilkan interaksi antara karya itu dengan manusia serta disampaikan pendukung gerakan pemurnian Islam7 semakin sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan rasa cinta yang
koherensi karya-karya historis di antara karya-karya tersebut tajam. Pada rangkaian acara Maulid Nabi tersebut biasanya mendalam terhadap Nabi, sebagai makhluk utama ciptaan Allah
yang dilihat sebagai hubungan timbal balik antara produksi dan dibacakan teks-teks selawat yang populer di masyarakat yang swt, yang berjasa besar terhadap agama dan umat Islam.
resepsi (Jauss, 1983: pp. 11-15). Dalam hal ini, karya sastra tertulis dalam naskah, misalnya al-Barzanjy, ad-Dibâ’iy, Perayaan Maulid Nabi, menurut kelompok ini, bukanlah hanya
pesantren tidak hanya sebagai produk kiai yang isinya adalah dan Kasidah Burdah. Ketiga naskah sastra religius ini pada intinya acara seremonial belaka, tetapi merupakan ekspresi umat untuk
ekspresi, refleksi, dan representasidari pandangan adalah berisi ungkapan cinta, rindu, dan sanjungan penyair membahagiakan Nabi dengan membacakan selawat Al-
keagamaannya, tetapi juga merupakan hasil interaksi yang kepada Nabi. Pada acara Maulid Nabi, khususnya di sejumlah Burdah pada acara-acara ritual Islam.
koheren antara produksi dari pengarangnya dan resepsi dari besar pesantren, teks salawat Al-Burdah, misalnya, dibacakan
pembacanya. secara bersama-sama oleh kiai dan santri-santrinya Kritik tajam dari pendukung gerakan pemurnian Islam tidak
denganmodel lagu yang berbeda-beda. Pembacaannya ada yang mengendurkan tradisi pembacaan dan penghayatan masyarakat
Kitab-kitab berbahasa Arab yang disambut di dunia pesantren hanya menggunakan suara vokal, tetapi ada juga yang diiringi pesantren terhadap karya sastra Islam semisalAl-Burdah karya
pada hakikatnya adalah mempunyai fungsi ekspresif, reflektif, dengan musik irama padang pasir. al-Bushiry.Kecintaan al-Bushiry,pengarang Al-Burdah, kepada
dan representatif dari dunia keislaman pada umumnya dan Nabi diekspresikan, antara laindalam beberapa bait dalam Al-
dunia sastra Islam pada khususnya.Selain itu, sastra pesantren — Bagi para pendukung gerakan pemurnian Islam, ungkapan cinta, Burdah. Dalam bait-bait itual-Bushiry terlihat begitu rindunya
dalam wujudnya kitab-kitab berbahasa Arab— juga tidak dapat rindu, sanjungan, dan pujian kepada Nabi dalam teks salawat Al- ingin bertemu dengan Nabi yang sangat dicintainya. Hatinya
dipisahkan dari kitab-kitab lain yang menjadi hipogramnya. Jadi, Burdahadalah berlebih-lebihan. Bahkan bagi mereka, peringatan terus bergejolak dan air matanya mengalir dengan deras seolah-
sastra pesantren merupakan satu entitas yang memiliki Maulid Nabi itu dimaknai sebagai “hal baru” dalam agama yang olah menyeru Nabi. Al-Bushiry tidak mau tidur sebelum bertemu
hubungan timbal balik antara pengarang yang memproduksinya tidak dicontohkan oleh Nabi. Kelompok ini mengakui bahwa dengan Nabi; dia hanya bisa mengenang dan memandang pohon
dengan masyarakat pesantren yang meresepsinya atau kelahiran Nabi adalah hari yang istimewa, tetapi menyikapi Ban yang biasa dilalui oleh Nabi. Al-Bushiry merasa sakit yang
membacanya. Proses produksi dan resepsi itu dilahirkan dari keistimewaannya harus dilakukan dengan cara yang lain dari cukup parah karena air mata darah terus bercucuran mengenang
semesta budaya lokal yang mengitari dan mempengaruhinya biasanya. Nabi. Air mata al-Bushiry yang terus bercucuran itu menjadikan
secara terus-menerus karena sastra pesantren dan budaya lokal kedua pipinya basah, tetapi menghembuskan aroma harum
hidup dalam satu universum kebudayaan. Hal lain yang penting Kelompok pendukung gerakan pemurnian Islam memandang seperti harumnya Nabi. Cinta al-Bushiry kepada Nabi yang begitu
juga adalah historisitas sastra pesantren mengandung keistimewaan Maulid Nabi dengan mengutip Hadis sahih dari mendalam ternyata mengajarkan kepadanya tentang kehidupan
interpretasi dialektik antara refleksi Islam sebagai ajaran dengan Abu Qatâdah yang menceritakan bahwa seorang Arab (Baduwy) di dunia yang tidak akan terlepas dari kenikmatan dan
masyarakat pesantren yang memahami ajaran Islam melalui bertanya kepada Rasulullâh saw: “Bagaimana penjelasan kekurangan. Kisah cinta al-Bushiry dalam kasidahnya itu
sastra. Berdasarkan pandangan ini muncullah konsep relasi Baginda tentang berpuasa pada hari Senin? Rasulullâh saw menggambarkan bahwa puisi Arab panjang berisi tema-tema
antara sastra pesantren dan budaya lokal. Dalam konteks ini, menjawab: ”Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan tradisional yang bersifat universal seperti cinta seseorang
sastra pesantren dilahirkan dari kegiatan keagamaan yang Alquran kepadaku”.8 Hari Maulid Nabi adalah istimewa kepada orang yang sangat dihormatinya.
dipraktikkan oleh kiai dan santri, sedangkan budaya lokal dicipta berdasarkan Hadis tersebut, tetapi tidak terdapat di dalamnya
oleh masyarakat setempat yang dekat dengan pesantren. Oleh perintah untuk merayakannya. Seandainya masyarakat Muslim  
karena itu, tepatlah apabila pada penelitian ini dimanfaatkan setuju dengan istilah “merayakan” Maulid Nabi, maka bentuk
teori relasi agama dan budaya. perayaannya seharusnya dengan cara berpuasa pada hari Senin Kasidah Burdah sebagai puisi Arab tradisional sebagian besar
secara rutin sebagaimana tersurat dalam Hadis tersebut, bukan berisi cinta kepada Nabi yang kemudian disebut puisi pujian.
Agama dan budaya, dalam hal ini antara pesantren dan budaya dengan cara yang membutuhkan biaya besar yang cenderung Keberadaan Kasidah Burdah dalam khazanah sastra Arab itu
lokal, menunjukkan adanya relasi saling keterhubungan antara boros dan berhura-hura. (Manshur, 2010).Jadi, para pendukung menimbulkan polemik berkepanjangan seiring dengan “gairah
sastra pesantren –sebagai produk kegiatan keagamaan– dengan gerakan pemurnian Islam menyatakan bahwa merayakan Maulid cinta” kepada Nabi dari berbagai lapisan masyarakat Arab dan
budaya lokal sebagai entitas dari kebudayaan. Hal itu tampak Nabi seharusnya dengan berpuasa pada hari Senin secara rutin, non-Arab serta dari berbagai periode zaman (al-Anshâry, 1959:
pada tradisi pembacaan dan pemaknaan masyarakat pesantren bukan dengan acara-acara seremonial seperti yang dilakukan p. 3).
terhadap syair-syair dalam Al-Barzanjy4, Ad-Dibâ’iy5, dan Al- secara tradisional oleh masyarakat Muslim.
Burdah6 (Kasidah Burdah). Tradisi pembacaan dan pemaknaan Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah sastra Arab, khususnya
komunitas pesantren atas tiga karya sastra Islam itu pada acara- yang berkaitan dengan kasidah, isi kandungan sebagian besar
teksnya berbicara tentang ungkapan cinta para penyair kepada Barzanji Nadzam). Isinya sama-sama menceritakan riwayat Pemaknaan dan penghayatan masyarakat pesantrenatas bait-
Nabi yang dimaknai oleh masyarakat Muslim puritan sebagai hidup Nabi Muhammad. Prosa dan puisi tentang riwayat bait syair Al-Barzanji berkembang menjadi tradisi dan budaya
cinta yang berlebih-lebihan dan cenderung mempersamakan Rasulullah ini sering dibacakan dalam banyak upacara seperti yang mengaitkannya dengan proses kelahiran Muhammad yang
posisi Nabi dengan posisi Allah swt. Penegasian kelompok maulid nabi, perayaan kelahiran bayi, mencukur rambut bayi dilukiskan sebagai suatu kegembiraan yang disertai dengan
puritan ini didasarkanpadaobjektivitastekstual yang melihat (akikah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya.Al- berbagai mukjizat. Masyarakat pesantren mempercayai dan
sebuah teks seperti apa adanya. Artinya, mereka memaknai teks Barzanji erat kaitannya dengan perayaan kelahiran Muhammad meyakini adanya keajaiban-keajaiban yang menyertai proses
sastra dengan perspektif yang bukan sastra sehingga muncullah yang pada mulanya dirintis oleh Shalahuddin Al-Ayubi. kelahiran Muhammad, baik sebelum, sesudah maupun pada saat
makna-makna baru dalam teks tersebut. Peringatan kelahiran Nabi oleh Al-Ayubi ini dimaksudkan untuk kelahiran dapat dibaca dalam beberapa literatur. Merujuk pada
menghidupkan kembali tradisi maulid yang pernah ada pada penelitian Kenneth L. Woodward (2001: pp. 202-204) tentang
Di pihak lain, kelompok kontekstual memberi makna terhadap masa Dinasti Fatimiyah (Captein, 1994). Tujuannya adalah untuk berbagai keajaiban dalam tradisi agama-agama besar, tradisi dan
cinta kepada Nabi akan lebih bermanfaat apabila diungkapkan membangkitkan semangat jihad dan ittihad (persatuan) tentara budaya masyarakat pesantren di Indonesia meyakini sejumlah
melalui sarana sastra sehingga orang yang melakukannya akan Islam melawan musuh-musuhnya. Dari itulah muncul anggapan keajaiban yang menyertai kelahiran Muhammad. 
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kelompok ini bahwaAl-Ayubi adalah penggagas dan peletak dasar peringatan
berargumentasi bahwa mencintai Nabi adalah suatu kewajiban Maulid Nabi.Menurut Annemarie Schimmel (1991), teks asli Al- Pengaruh sastra sastra pesantren terhadap budaya lokal di
dan perbuatan wajib apabila diabaikan akan mendapat dosa, Barzanji dalam bahasa Arab sesungguhnya berbentuk prosa. Indonesia sejatinya dapat ditelusuri dalam sejarah sastra di
sedangkan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala. Konsep Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu Indonesia jauh ke belakang, antara lain pada karya sastra Sunan
dosa dan pahala inilah yang membuat masyarakat menjadi menjadi untaian syair. Kitab ini telah dikomentari atau disyarahi Bonang.9 Pengalaman dan gagasan sastra Sunan Bonang
bergairah dalam membaca kasidah-kasidah yang berisi selawat, para ulama antara lain oleh keturunan Syeikh Al-Barzanji, yaitu disampaikan melalui ungkapan simbolik dan metaforis. Dalam
cinta, dan pujian kepada Nabi. Ja’far ibn Isma’il Al-Barzanji (w. 1900), yang juga salah seorang mengemukakan pengalaman keruhanian melalui jalan tasawuf,
Mufti Syafi’i di Madinah, dengan judul syarah ‘Al-Kawkâb al- Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau
Jadi, ada dua kelompok yang berbeda pendapat yang saling Anwâr ‘alâ ‘Iqd al-Jawhâr fî Mawlîd an-Nabi al-Azhar’. Kitab ini perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan
mempertahankan argumentasinya masing-masing yang sama- juga disyarahi oleh Muhammad ‘Ulayisy (1802-1881) dengan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal.
sama kuat. Akan tetapi, dalam kenyataan masyarakat Islam di judul ‘Al-Qawl al-Munji ‘Alâ Mawlîd Al-Barzanji’. Muhammad
Indonesia dan juga di sejumlah negara yang mayoritas ‘Ulayisy adalah seorang ulama bermazhab Maliki dan Mufti Penggunaan tamsil pencinta dan kekasih misalnya terdapat
berpenduduk Muslim (terutama Mesir), ternyata kelompok Mazhab Maliki di Mesir (Katz, 2007:169). Selain itu, ulama dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk
masyarakat yang membaca kasidah-kasidah cinta (pujian kepada kelahiran Banten, Jawa, Imam Nawawi al-Bantani turut menulis tembang wirangrong (Abdul Hadi, 2003).  Suluk ini
Nabi) tidak sedikit jumlahnya. Fenomena ini menunjukkan syarah Al-Barzanjidengan judul ‘Madârij ash-Shu`ûd ilâ Iktisâ al- menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu
bahwa ada kerinduan Burûd’. Diduga, proses perubahan dari prosa menjadi untaian kedatangan kekasihnya. Semakin larut dalam kerinduan dan
yangmendalamdikalanganmasyarakatMuslim untuk selalu syair itu terjadi karena berkembangnya komentar atau syarah kegelisahannya, semakin mengusiknya, dan semakin dalam larut,
mengenang perjuangan dan dakwah Nabi, dan atas Al-Barzanji. berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika kekasihnya datang
berupayameneladani serta perilakunya yang mulia, baik sebagai dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah
Rasul, pemimpin umat, panglima perangmaupun sebagai Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad. Karya ini kekasihnya. Demikianlah setelah itu sang pencinta akhirnya
manusia biasa. terbagi dua ini,‘Natsar’ dan ‘Nadzam’. Bagian ‘Natsar’ terdiri hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan Pengambilan unsur budaya lokal oleh Sunan Bonang juga
Karya sastra Islam lain yang mendapatkan apresiasi luas dari mengolah bunyi ‘ah’ pada tiap-tiap rima akhir. Bait-bait syair itu tampak pada SulukKhalifah,di mana Sunan Bonang menceritakan
komunitas pesantren adalah kitab Maulid Al-Barzanji (lebih berisi riwayat Nabi Muhammad, mulai dari saat-saat menjelang kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka
dikenal dengan Al-Barzanji). Al-Barzanji berisi kisah hidup Nabi ia dilahirkan hingga masa-masa tatkala ia mendapat tugas mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam.
Muhammad yang ditulis dalam bentuk prosa dan puisi yang kenabian. Sementara, bagian ‘Nadzam’ terdiri atas 16 subbagian Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan
ditambah dengan puji-pujian dan doa-doa kepada Nabi. Kitab yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir pengalamannya selama beradadi Pasai bersama guru-gurunya
itumerupakan karya sastra ketimbang karya sejarah, karena “nun”.Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, tampak serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya
lebih menonjolkan aspek keindahan bahasa (sastra).Kitab ini ada sekali keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Nabi. yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur.
dua macam, yang satu disusun dalam bentuk prosa (Maulîd Al- Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup
Barzanji Natsr) dan lainnya dalam bentuk puisi (Maulîd Al- panjang.Gentur atau Bentur berarti lengkap atau sempruna. Di
dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi asumsi dasar bahwa tidak ada satu budaya pun yang lahir atau
untuk mencapai kesadaran tertinggi. Dalam perjalanannya itu ia berkembang kecuali dalam hubungannya dengan agama.
akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang
maut kemana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang Sastra pesantren dan budaya lokal merupakan produk dari
penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. institusi budaya yang bernama pesantren, yang kemudian
Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun menjadi salah satu sumber produksi karya sastra Islam
dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerak-gerik khususnya yang bernuansa pesantren. Sastra pesantren juga
jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan adalah produk agama Islam, yaitu agama yang sudah dipahami
keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal sekitar pesantren.
tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam Dalam hal ini, antara sastra pesantren dan budaya lokal saling
kekosongan. Demikian pula apabila manusia mencapai berkompetisi, saling memperkuat, dan saling bergantung.
keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang
lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan Relasi intensif antara sastra pesantren dengan budaya lokal
jasmaninya (Abdul Hadi, 2003).Dalam suluknya ini Sunan Bonang selalu menarik untuk dikaji karena ternyata agama Islamlah yang
juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang menyerap keyakinan tradisi atau budaya lokal, bukan sebaliknya,
ialah fana’ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau tradisi atau budaya lokal yang menyerap agama Islam sehingga
pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya terjadilah proses menarik ajaran lokal ke dalam agama Islam.
kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan Selanjutnya, hal inilah yang disebut lokalisasi Islam dalam tradisi
penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang masyarakat sehingga agama Islam (baca; sastra pesantren)
Tunggal’. terkonstruksikan dalam budaya lokal.

Penggunaan citraan-citraan simbolik dari budaya lokal oleh Kelahiran sastra pesantren pada masyarakat lokal tidak
Sunan Bonang memperkuat adanya relasi antara sastra terpisahkan dari proses substitusi, sinkretisme, penambahan,
pesantren dan budaya lokal. Keterkaitan antara sastra pesantren penggantian, originasi, dan penolakan. Melalui proses substitusi,
dan budaya lokal antara lain juga tampak pada keterkaitan yang pengarang (kiai), dalam karyanya, menggeser unsur budaya lama
bersifat imperatif. Budaya lokal secara imperatif mewarnai dan ke budaya baru sehingga pembaca menemukan hal baru dalam
menjiwai karya-karya sastra pesantren. Adapun sastra pesantren pembacaannya. Melalui proses sinkretisme, pengarang
dipakai untuk memberikan petunjuk atau nasihat yang secara memadukan unsur-unsur budaya lama dengan unsur-unsur
substansial merupakan nasehat yang bersumber pada ajaran budaya baru sehingga membentuk sistem baru. Melalui proses
Islam yang berkembang dalam komunitas pesantren. Budaya penambahan, pengarang masih mempertahankan unsur budaya
lokal mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra pesantren lama, tetapi ia menambah dengan unsur baru sehingga
sehingga karya-karya sastra pesantrenmemuat konvergensi memberikan nilai lebih. Melalui proses penggantian, pengarang
antara Islam dan unsur-unsur budaya lokal. mengganti unsur budaya lama dengan unsur budaya baru.

  Adapun proses originasi, pada mulanya, pengarang memasukkan


unsur budaya baru yang sebelumnya tidak dikenal yang
Simpulan kemudian menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan
masyarakatnya. Melalui proses penolakan, pengarang dalam
            Pemahaman terhadap sastra pesantren dan budaya lokal karyanya memasukkan isu perubahan sosiobudaya yang begitu
tidak dapat dilakukan dengan cara pendekatan dogmatisme dan cepat sehingga menimbulkan dampak negatif berupa penolakan
absolutisme yang menempatkan agama sebagai suprasistem. dari sebagian anggota masyarakatnya.
Akan tetapi, hubungan kedua entitas itu perlu didekati dengan
menggunakan perspektif teori relasi agama dan budaya dengan

Anda mungkin juga menyukai