Anda di halaman 1dari 199

RAHASIA

MARKAS BESAR TNI ANGKATAN DARAT


SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

NASKAH DEPARTEMEN
tentang

SEJARAH PERANG DAN PERKEMBANGAN


LINGKUNGAN STRATEGIS
JILID - 2

1. STRATEGI MILITER

2. PENGETAHUAN SIBER

3. DIPLOMASI MILITER

4. MILITER DAN POLITIK

untuk

PENDIDIKAN REGULER
SEKOLAH STAF DAN KOMANDO TNI AD
Nomor: MASALAH STRATEGI-01

DISAHKAN DENGAN KEPUTUSAN KOMANDAN SESKOAD


NOMOR KEP/ 223 /XII/2022 TANGGAL 30 DESEMBER 2022

DILARANG MEMPERBANYAK ATAU MENGUTIP SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI MODUL


TANPA IZIN KOMANDAN SESKOAD

RAHASIA
RAHASIA

MARKAS BESAR TNI ANGKATAN DARAT


SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

KEPUTUSAN KOMANDAN SESKOAD


Nomor Kep /223/ XII / 2022

tentang

PENGESAHAN NASKAH DEPARTEMEN


UNTUK PENDIDIKAN REGULER SESKOAD
SEBANYAK SATU JUDUL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KOMANDAN SEKOLAH STAF DAN KOMANDO TNI ANGKATAN DARAT,

Menimbang : bahwa untuk kelancaran jalannya pendidikan perlu segera


mengeluarkan Keputusan tentang Pengesahan Naskah Departemen
untuk Pendidikan Reguler Seskoad.

Mengingat : 1. Peraturan Kasad Nomor 26 Tahun 2019 tentang Organisasi


dan Tugas Markas Besar TNI Angkatan Darat lampiran
XXVI Organisasi dan Tugas Sekolah Staf dan Komando TNI
Angkatan Darat (Orgas Seskoad) Uji Coba;

2. Keputusan Kasad Nomor Kep/414/XI/2000 tanggal 22


November 2000 tentang Buku Petunjuk Administrasi
Penyusunan dan Penomoran Bahan Ajaran TNI AD;

3. Keputusan Kasad Nomor Kep/887/XII/2020 tanggal 1


Desember 2020 tentang Petunjuk Teknis Paket Instruksi;

4. Keputusan Kasad Nomor Kep/1059/XII/2022 tanggal 1


Desember 2022 tentang Kurikulum Program Studi Strategi
Operasi Darat Program Strata-2 (Magister) Terapan; dan

5. Surat Telegram Kasad Nomor ST/2649/2022 tanggal 7


Oktober 2023 tentang Revisi Kurikulum Pendidikan
Pengembangan Umum (Dikreg Seskoad) berbasis SKS.

Memperhatikan : Hasil perumusan Pokja Penyusunan Naskah Departemen


untuk Pendidikan Reguler Seskoad.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 1. Mengesahkan:
a. Judul bahan ajaran dengan status Naskah Departemen
dan nomor kode Naskah Departemen untuk Pendidikan
Reguler Seskoad seperti tersebut pada lampiran I
keputusan ini.

RAHASIA
RAHASIA
2

b. Isi bahan ajaran sesuai judul bahan ajaran seperti


tersebut pada lampiran II keputusan ini.

2. Naskah Departemen ini berklasifikasi RAHASIA.

3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

4. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam


keputusan ini akan segera diadakan pembetulan sebagaimana
mestinya.

Salinan keputusan ini dilampirkan dalam setiap Naskah


Departemen, untuk pendidikan reguler Seskoad yang telah
disahkan.

Ditetapkan di Bandung
Pada tanggal 30 Desember 2022
KOMANDAN SEKOLAH STAF DAN KOMANDO TNI AD,

Dr. ANTON NUGROHO, MMDS., M.A.


Kepada Yth : MAYOR JENDERAL TNI

Kepala Departemen Masstra Seskoad

Tembusan :
1. Irjenad
2. Dankodiklatad
3. Aspers Kasad
4. Ir Seskoad
5. Kakordos Seskoad
6. Para Dir Seskoad
7. Dankorsis Seskoad

RAHASIA
MARKAS BESAR TNI ANGKATAN DARAT Lampiran I Keputusan Danseskoad
SEKOLAH STAF DAN KOMANDO Nomor Kep / 223 / XII / 2022
Tanggal 30 Desember 2022

DAFTAR JUDUL DAN NOMOR KODE BAHAN AJARAN


NASKAH DEPARTEMEN MASALAH STRATEGI SESKOAD
SEBANYAK SATU JUDUL MATA KULIAH

JUDUL BAHAN AJARAN/ NOMOR KODE


NO KETERANGAN
MATA KULIAH HANJAR
1 2 3 4
SEJARAH PERANG DAN MASALAH STRATEGI-01 NASKAH
PERKEMBANGAN DEPARTEMEN
LINGKUNGAN STRATEGIS
1. Isu Kawasan strategis Jilid - 1
2. Sejarah Perang (Perang dari
masa ke masa)
3. Strategi Militer Jilid - 2
4. Pengetahuan Siber.
5. Diplomasi Militer.
6. Militer dan Politik.
7. Hubungan Internasional & Jilid - 3
Hukum Internasional.

KOMANDAN SEKOLAH STAF DAN KOMANDO TNI AD,

Dr. ANTON NUGROHO, MMDS., M.A.


MAYOR JENDERAL TNI
DAFTAR ISI JILID - 2

BAB IV STRATEGI MILITER

15. Penjelasan Umum Strategi ............................................... 261

16. Perkembangan Rumusan Strategi ................................... 273

17. Perkembangan Strategi Di Indonesia ............................... 273

18. Dasar-Dasar Strategi ....................................................... 282

19. Pengertian Strategi Nasional ........................................... 283

20. Kedudukan Strategi Dalam Ilmu Perang .......................... 283

21. Perkembangan Strategi .................................................... 285

22. Penerapan Azas Perang Dalam Strategi ............................ 294

23. Peranan Pra Peranggapan dan Analisa Ancaman Serta Pilihan


Strategi ............................................................................... 297

24. Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung Serta Operasi


Garis Dalam Garis Luar ............................................................ 300

25. Dasar Penyelenggaraan Perang ....................................... 306

26. Operasi Garis Dalam dan Garis Luar ............................... 314

27. Beberapa Prinsip Klasik ................................................... 314

28. Beberapa Prinsip Dasar dan Perkembangan .................... 318

29. Operasi Garis Dalam dan Garis Luar ............................... 322

30. Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis Luar dalam Strategi
dan Taktik ............................................................................... 324

BAB V PENGETAHUAN SIBER

31. Urgensi Pertahanan Siber ................................................... 330

32. Pokok Pertahanan Siber ................................................... 337


33. Penyelenggaraan Pertahanan Siber .................................. 340
34. Tahapan Penyelenggaraan Pertahanan Siber. .................. 352
35. Pentahapan Kegiatan Pertahanan Siber ........................... 353
2

BAB VI DIPLOMASI MILITER

36. Landasan Pemikiran .......................................................... 359

37. Sejarah Singkat Diplomasi ............................................... 372


38. Diplomasi Pertahanan ...................................................... 392
39. Diplomasi Militer TNI Saat Ini .......................................... 411

BAB VII MILITER DAN POLITIK

40. Sejarah Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia........ 431


41. Model Kontrol Sipil........................................................... 435

42. Tipologi Intervensi Militer. ................................................ 436

43. Militer dan Integrasi Politik. ............................................. 448

BAB VIII PENUTUP

44. Penutup ........................................................................... 453


RAHASIA

MARKAS BESAR TNI ANGKATAN DARAT Lampiran II Keputusan Danseskoad


SEKOLAH STAF DAN KOMANDO Nomor Kep/ 223 / XII / 2022
Tanggal 30 Desember 2022

BAB IV
STRATEGI MILITER

15. Penjelasan Umum Strategi


a. Umum.
Strategi awalnya dipahami untuk mengatur pendahuluan suatu
pertempuran sementara taktik dikontrol pelaksanaannya. Namun,
dalam perang dunia abad ke-20, perbedaan antara manuver dan perang,
strategi dan taktik, diperluas dengan kapasitas teknologi dan transit. Taktik
yang dulunya pasukan kavaleri diterapkan ke pasukan panzer. Seni
mendefinisikan strategi adalah untuk mencapai tujuan dalam sebuah
kampanye militer, sementara taktik merupakan metode untuk mencapai
tujuan tersebut. Sasaran-sasaran strategis dapat dinyatakan sebagai
berikut: "Kami ingin menaklukkan daerah X", atau "Kami ingin
menghentikan ekspansi negara Y di dunia perdagangan komoditas Z";
sementara keputusan-keputusan taktis berkisar dari pernyataan umum,
misalnya "Kami akan melakukan ini dengan invasi laut utara negara X",
"Kami akan memblokade pelabuhan-pelabuhan negara Y", untuk yang lebih
spesifik Peleton C akan menyerang sementara Peleton D melindungi" .
Dalam bentuknya yang paling murni, strategi semata-mata berurusan
dengan isu-isu militer. Dalam masyarakat sebelumnya, seorang raja atau
pemimpin politik sering kali sebagai pemimpin militer. Jika tidak, jarak
komunikasi antara politik dan pemimpin militer itu kecil. Tetapi sebagai
kebutuhan pengembangan tentara profesional, batas-batas antara para
politisi dan militer diakui. Dalam banyak kasus, maka diputuskan bahwa
akan dipisah sesuai kebutuhan. Sebagai negarawan Prancis Georges
Clemenceau berkata, "perang terlalu penting sebagai bisnis yang diserahkan
kepada prajurit." Hal ini melahirkan konsep grand strategi yang meliputi
pengelolaan sumber daya dari seluruh bangsa dalam melakukan
pertempuran/perang.
Dalam lingkungan grand strategi, komponen militer sebagian besar
dikurangi menjadi strategi operasional, perencanaan dan kontrol unit militer
seperti korps dan divisi. Sebagai pengembangan ukuran dan jumlah
pasukan serta teknologi berkomunikasi dan pengendaliannya, maka
perbedaan antara "strategi militer" dan "grand strategi" berkurang. Dasar
grand strategi adalah diplomasi melalui suatu bangsa bisa menjadi sekutu
atau tekanan bangsa lain pada kepatuhan, sehingga mencapai kemenangan
tanpa perang. Unsur lain dari grand strategi adalah manajemen pasca-
perang damai. Seperti dinyatakan Clausewitz, strategi militer yang sukses
mungkin merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ada banyak contoh dalam
sejarah, kemenangan di medan perang belum diterjemahkan dalam jangka
panjang perdamaian, keamanan atau ketenangan.
Prinsip-prinsip Strategi Militer Banyak ahli strategi militer telah
mencoba merangkum strategi yang berhasil dalam serangkaian prinsip. Sun
Tzu 13 prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam bukunya, Seni Perang,
sementara Napoleon terdaftar 115 peribahasa. Perang Saudara di Amerika
Jenderal Nathan Bedford Forrest hanya punya satu: "untuk git Thar Furst
262

dengan kebanyakan laki-laki" atau "ke sana pertama dengan kebanyakan


pria", diberikan sebagai konsep penting dalam Angkatan Darat Amerika
Serikat adalah:

1) Tujuan (Setiap operasi militer langsung ke arah yang jelas, tegas,


dan dapat dicapai)

2) Serangan (mempertahankan, dan mengeksploitasi inisiatif)

3) Massa (Konsentrat kekuatan tempur di tempat dan waktu yang


menentukan)

4) Kekuatan Ekonomis (Mengalokasikan minimum kekuatan


tempur untuk upaya sekunder)

5) Manuver (Tempatkan musuh dalam posisi yang kurang


menguntungkan melalui penerapan fleksibel kekuatan tempur)

6) Kesatuan Komando/Perintah (Untuk setiap tujuan, menjamin


kesatuan usaha di bawah satu komandan yang bertanggung jawab)

7) Keamanan (Jangan pernah membiarkan musuh untuk


mendapatkan keuntungan yang tak terduga)

8) Kejutan (Pukul langsung musuh pada waktu, disuatu tempat,


atau dengan cara yang tidak diduga oleh musuh)

9) Kesederhanaan (kesiapan secara tuntas dan jelas, rencana tidak


rumit dan jelas, perintah ringkas untuk memastikan pemahaman
menyeluruh)

Strategi (dan taktik) harus terus-menerus berkembang sebagai


respons terhadap kemajuan teknologi. Sebuah strategi yang sukses dari satu
era cenderung untuk tetap selalu mendukung setelah perkembangan baru
dalam persenjataan militer dan Materiil. Perang Dunia I, dan sebagian
besar Perang Saudara Amerika, melihat taktik Napoleon Bonaparte"serang
dengan segala cara" melawan kekuatan pertahanan parit, senapan mesin
dan kawat berduri. Sebagai reaksi dari pengalaman Perang Dunia
I, Prancis memasuki perang Dunia II dengan doktrin pertahanan murni
yang dicontohkan oleh Garis Maginot, tetapi benar-benar hanya dielakkan
oleh serangan kilat Jerman.

b. Tokoh Strategi Militer Dunia.

1) Sun Tzu. (400-320 SM) seorang prajurit praktis pada abad ke


lima sebelum masehi di Cina, mungkin merupakan ahli pikir militer
pertama yang menyelidiki dan mengembangkan seni perang secara
ilmiah. Dia sendiri tidak memberikan suatu definisi dari strategi, tetapi
membahas secara mendalam tentang pelaksanaan metode pendekatan
langsung dan pendekatan tidak langsung. Sun Tzu mengatakan
dalam semua perkelahian, metode langsung dapat dipergunakan
untuk mengadakan pertempuran, tetapi metoda tidak langsung akan
diperlukan untuk menjamin kemenangan.

Untuk menjamin kemenangan itu maka jalan terbaik ialah


dengan cara merebut negeri musuh dalam keadaan utuh dan
263

menawan tentara musuh tanpa menghancurkannya serta


mematahkan perlawanan musuh tanpa melaksanakan perkelahian.
Untuk mencapai hasil demikian itu, maka dibutuhkan seorang
panglima yang ulung. Seorang panglima dikatakan ulung dalam
serangan bila lawannya tidak tahu apa yang harus dipertahankan, dan
dia ulung dalam pertahanan bila lawannya tidak tahu apa yang akan
ia serang.

Dia tidak memperinci apa yang dimaksud dengan metode


pendekatan langsung dan tidak langsung, hanya dapat disimpulkan
bahwa penipuan dan pendadakan adalah pelaksanaan metode
pendekatan tidak langsung. Pendapat Sun Tzu ini tidak disepakati
oleh Clausewitz. Clausewitz sebagai penganut teori pendekatan
langsung, mengutamakan pelaksanaan pertempuran sebagai syarat
untuk mencapai kemenangan. Menurut Clausewitz Kemenangan itu
hanya dapat diwujudkan dengan membuat musuh tidak berdaya,
menghancurkan kekuatan militernya, merebut negerinya dan
menaklukkan kemauannya untuk melawan, dan ini hanya dapat
dicapai melalui pertempuran.

2) Napoleon 1769-1821. Mengatakan Strategi adalah taktik besar


yaitu bagaimana menggerakkan suatu pasukan dalam ruang dan
waktu yang tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Apa yang
dimaksudkan oleh Napoleon dengan taktik tidak dijelaskan, tetapi
dapat ditarik kesimpulan bahwa ada persamaan antara taktik dengan
strategi. Sudah tentu ada perbedaan antara strategi dan taktik, yang
menurut pengertian di atas terletak pada perbedaan gradual. Dalam
manuver strategi pasukan digerakkan dari daerah pangkalan atau dari
suatu medan tempur ke suatu medan tempur lain, untuk memaksa
musuh bertempur. Sedangkan manuver taktis menggerakkan
pasukan di medan tempur dari daerah persiapan ke sasaran dengan
tujuan strategi dan tujuan untuk mengalahkan musuh. Pendapat
Napoleon itu di tentang oleh Burne, karena Burne jelas membedakan
tujuan strategi dan tujuan taktik.

Strategi dilaksanakan dengan tujuan memaksa musuh


bertempur, sedangkan taktik bertujuan mengalahkannya. Kegiatan
strategi adalah membawa pasukan ke medan operasi dengan
manuver strategis, sedangkan kegiatan taktik adalah menggunakan
pasukan untuk mengalahkan musuh dengan gerakan atau manuver
taktis dan tembakan, demikian kata Burne. Definisi yang diberikan
Napoleon yang mempersamakan taktik dengan strategi dan hanya
berbeda dalam ruang lingkupnya sukar di terima, karena perbedaan
antar strategi dan taktik tidak hanya terletak pada ruang lingkupnya
saja. Strategi mencakup bidang pengembangan dan penggunaan
tenaga, sedangkan taktik hanya terbatas pada cara penggunaan alat
atau penggunaan kekuatan saja. Lebih lanjut strategi mengendalikan
taktik dengan menentukan tujuannya dan sarana yang dapat
digunakannya.

3) Jomini 1779-1869. Mengatakan Strategi adalah seni berperang


diatas peta yang meliputi seluruh kawasan atau theatre operasi taktik
besar ialah seni menempatkan pasukan di medan tempur sesuai
dengan sifat medan, mengerahkan dan melaksanakan pertempuran di
medan, yang berbeda dengan perencanaan di atas peta. Dalam operasi
264

militer, unsur waktu mempunyai peranan penting bahkan kerap kali


merupakan unsur yang menentukan karena waktu terbatas. Unsur
kedua yang mempengaruhi ialah ruang, karena setiap operasi militer
harus dilaksanakan dalam suatu ruang tertentu pula. Ruang
mempunyai hubungan yang erat dengan waktu, karena setiap operasi
militer dilakukan didalam ruang dan waktu yang terbatas. Waktu
merupakan dimensi yang ke empat dari ruang, karena waktu dapat
juga diartikan sebagai ruang, dalam pengertian sebagai ruang waktu.

Sebaliknya ruang dapat memberikan pembatasan atau


kelonggaran pada waktu, sehingga terdapat hubungan yang saling
memengaruhi antara ruang dan waktu. Semakin besar ruang yang
tersedia, bergantung pada bentuk operasi yang dilakukan, maka akan
semakin banyak waktu yang diperoleh atau semakin banyak waktu
yang diperlukan. Unsur ketiga yang mempengaruhi ialah daya gerak,
dimana kecepatannya akan mempengaruhi nilai waktu. Kemampuan
bergerak yang semakin besar dalam keadaan cuaca dan medan yang
bagaimanapun akan memperbesar manfaat ruang yang tersedia.
Kemampuan dan kecepatan bergerak yang semakin besar dari suatu
pasukan, akan memberikan keuntungan waktu yang lebih banyak
baginya dan dengan keunggulan tersebut, akan memiliki kebebasan
bertindak dan bergerak yang semakin besar. Salah satu persoalan
pokok dalam operasi militer ialah bagaimana memperoleh kebebasan
bergerak dan bertindak yang sebesar mungkin, serta sebaliknya
bagaimana membatasi kebebasan bergerak dan memelihara inisiatif.
Hal ini hanya dapat dicapai dengan membatasi ruang daya gerak
lawan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
Jomini dengan taktik besar adalah sama dengan taktik menurut
Burne dan tidak sama dengan taktik besar menurut Napoleon.
Selanjutnya tidak jelas apakah dibawah taktik besar masih ada taktik
lain, sehingga menimbulkan tanda tanya apakah Jomini mengenal
adanya taktik sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan perang.

4) Clausewitz 1780-1831. Mengatakan Strategi adalah ajaran


tentang penggunaan pertempuran untuk mencapai tujuan perang,
dan taktik adalah ajaran tentang penggunaan angkatan perang dalam
pertemuran. Definisi ini sangat menarik perhatian, karena sangat
mempengaruhui penyelenggaran perang pada kedua perang dunia
yang lewat dan juga karena menunjukkan hubungan antara perang,
strategi, taktik dan pertempuran. Oleh Clausewitz dikatakan bahwa
dalam mempergunakan pertempuran untuk mencapai tujuan perang,
strategi harus memberikan tujuan keseluruh kegiatan militer dan
tujuan itu harus sesuai dengan tujuan perang. Strategi menggariskan
rencana perang untuk mencapai tujuan perang yang telah digariskan,
menentukan rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan,
mengarahkan kampanye, menentukan tujuan dan sarana pertempur-
an yang harus dilakukan dalam tiap kampanye.

Bagaimana pentingnya peranan pertempuran dalam konsepsi


clausewitz dapat dilihat dalam uraian teori pendekatan langsung.
Clausewitz sebagai penganut teori pendekatan langsung mengatakan
perang adalah tindakan kekerasan untuk memaksa lawan tunduk
kepada kemauan kita. Untuk mencapai tujuan itu maka musuh harus
dibuat tidak berdaya, dengan cara menghancurkan kekuatan
militernya, merebut negerinya serta menaklukkan kemauannya untuk
265

melawan dan ini hanya dapat dicapai melalui pertempuran. Dengan


definisi ini clausewitz sebenarnya mempersempit arti strategi, yaitu
terbatas pada penggunaan pertempuran semata-mata, serta
selanjutnya memberikan wawasan bahwa hanya pertempuranlah alat
mencapai tujuan perang dan merupakan alat satu-satunya bagi
strategi. Dibawah pengaruh definisi ini, penganut yang kurang arif
akan mudah mengacaukan alat dengan tujuan dan bahkan bisa
terjerumus kepada wawasan bahwa tujuan membenarkan pertempur
an lebih diutamakan daripada setiap kepentingan dan pertimbangan
lain dalam rangka mencapai tujuan perang. Pendapat Clausewitz ini
tidak disepakati oleh beberapa pemikir militer lainnya. Du Picq
seorang prajurit Perancis menekankan, bahwa kemenangan
hendaknya dicapai tanpa perkelahian, yang telah kerap kali terbukti
dalam sejarah.

Liddlell Hart tidak sependapat dengan Clausewitz dan


mengkritiknya dengan mengatakan, bahwa definisi itu memasuki
bidang politik, yaitu penyelenggaraan perang pada tingkatan yang
lebih tinggi, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan
bukan pimpinan militer yang hanya merupakan pelaksana dalam
pengendalian operasi. Alat strategi, demikian juga alat untuk
mencapai tujuan perang bukan hanya pertempuran, bahkan ia
berpendapat pertempuran sedapat mungkin dihindari untuk
mencapai tujuan perang. Alat lainnya yang tersedia bagi strategi ialah
manuver strategis, usaha pertama dalam setiap perang adalah
manuver strategis dan kalau usaha ini tidak mugkin untuk mencapai
tujuan barulah dilaksanakan dengan pertempuran. Analisa Lenin
mengenai pendapat Clausewitz adalah bertentangan, ia mengatakan
kejiwaan adalah faktor penentu. Strategi yang paling tepat didalam
peperangan ialah menunda operasi sampai tercapai kekacauan moral
musuh, kemudian membalas dengan pukulan yang mematikan. Lenin
berpendapat Bagaimana berpikir sebagai seorang revolusioner dan
dihubungkan dengan kegiatan politik yang merupakan semacam
tembakan persiapan artileri yang bersifat kejiwaan, akan merupakan
imbalan yang tepat dari konsep militer klasik Clausewitz, yang
berpendapat bahwa moral musuh akan dihancurkan oleh
kemenangan militer atau kemenangan dalam pertempuran.

5) Burne 1833-1896. Mengatakan Strategi adalah cara membawa


musuh kedalam medan tempur dan taktik adalah cara mengalahkan
nya. Burne melihat aspek logistik dari strategi sebagai cara membawa
pasukan ke medan tempur dan taktik mengatur tindakannya. Salah
satu masalah strategi di satu pihak ialah memaksa musuh untuk
bertempur, jika mungkin pada waktu dan tempat yang kita pilih
sendiri. Waktu dan tempat yang dipilih itu tentunya yang
menguntungkan bagi kita. Segi lain yang terdapat dalam ini ialah
bahwa kita harus memegang inisiatif dan lawan berada dalam sikap
menunggu. Di lain pihak yang harus dipecahkan dalam hal ini ialah
bagaimana membawa pasukan kita ke tempat dan pada waktu yang
ditentukan itu, atau dengan kata lain bagaimana cara bermanuver
dari basis pasukan ke medan operasi.

Setelah pasukan sampai di medan operasi, maka mulailah


masalah taktik bagaimana menggunakan pasukan itu untuk
mengalahkan musuh. Dengan demikian terlihatlah hubungan antara
266

strategi dan taktik yang menurut pendapat Burne taktik itu dimulai
setelah strategi berakhir. Pendapat ini sukar diterima karena taktik
merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar yaitu strategi.
Dengan adanya masalah strategi, timbul masalah taktik untuk
mencapai tujuan yang ditentukan oleh strategi. Sebaliknya dengan
adanya masalah taktik, akan timbul masalah strategi karena strategi
harus memberi pengendalian kepada taktik. Dengan demikian strategi
dan taktik adalah dua kegiatan yang berjalan dan berhenti relatif
serempak.

6) Liddell Hart 1895-1896. Mengatakan Strategy Should mean the


art of employing military forces, to archive the ands set by political
policy, yang terjemahannya strategi seharusnya berarti seni
menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan oleh kebijaksanaan politik. Disini jelas terlihat bahwa
politik mengendalikan strategi dan berbeda dengan pendapat
Clausewitz yang lebih mengutamakan melakukan pertempuran
daripada setiap kepentingan dan perkembangan lain yang
menentukan. Menurut Liddel Hart mencapai tujuan perang hanya
dengan pertempuran adalah bertentangan dengan akal sehat. Didalam
pandangan Andre Becaufre definisi yang diberikan oleh Liddell Hart ini
adalah terlalu sempit karena hanya bersangkutan dengan kekuatan
militer.

7) Andre Becaufre.

a) Ia mengatakan strategy is the art of applying force so that


it makes most effective contribution towards achiving the ends sot
by political policy, yang terjemahannya strategi adalah seni
menerapkan kekuatan sedemikian rupa sehingga menghasilkan
sumbangan yang paling berdaya guna menuju tercapainya
tujuan yang ditetapkan oleh kebijaksanaan politik. Definisi ini
dapat diterapkan kepada semua seni perang, karena secara
tradisional seni perang dapat dibagi menjadi strategi, taktik dan
logistik. Jika strategi adalah suatu kegiatan di luar taktik dan
logistik, apakah strategi itu ?

Taktik ialah jenis seni menggunakan senjata, didalam


pertempuran dengan berbagai cara sedemikian rupa sehingga
menghasilkan pukulan yang semaksimal. Logistik adalah
pengetahuan tentang pembekalan dan gerakan. Keduanya
bersangkutan dengan pengaruh faktor material karena
keduanya melihat sifatnya adalah pengetahuan tentang alat
peralatan sebagaimana dengan pengetahuan tehnik. Strategi
harus didasarkan pada pemikiran dan pemberian alasan,
dengan demikian tidaklah merupakan pengetahuan mengenai
benda atau alat peralatan dan juga bukan aspek politik. Andre
Becaufre memberikan definisi lain kepada strategi yaitu seni
yang memungkinkan seseorang, tanpa mempersoalkan tehnik
yang digunakannya, untuk menguasai persoalan yang
ditimbulkan oleh pertentangan pendapat dan sebagai hasilnya
menggunakan tehnik yang tersedia dengan tepat guna yang
maksimal. Selanjutnya dikatakan oleh karenanya dapat juga
dikatakan seni dialektik dari kekuatan, atau lebih tepat lagi, seni
dialektik dari dua kemauan yang bertentangan, dengan
267

menggunakan kekerasan untuk memecahkan persoalannya.


Tujuan strategi ialah untuk mencapai sasaran yang ditentukan
oleh politik, menggunakan sarana yang tersedia padanya
dengan cara yang terbaik. Sasaran itu dapat dicapai dengan
menyerang, bertahan, atau memelihara status quo politik.

Didalam dialektik kemauan ini suatu keputusan diperoleh


jika unsur kejiawaan tertentu telah ditekankan kepada musuh,
sehingga dia menjadi yakin bahwa percuma memulai atau
meneruskan perjuangan dengan cara lain. Pada akhirnya Andre
Becaufre berpendapat bahwa aturan umum dapat dirumuskan
sebagai berikut suatu keputusan didapatkan dengan
menciptakan dan kemudian mengeksploitasi suatu situasi yang
akan menghasilkan kehancuran moril musuh yang memadai,
menyebabkan dia menerima syarat yang dipaksakan
kepadanya.

b) Menurut Andre Becaufre dalam rangka pengambilan


keputusan strategis, negarawan dan pimpinan militer harus
memilih alat atau cara yang paling tepat setelah memper
timbangkan semua unsur yang tersedia dan kemudian menata
hasilnya secara serasi sehingga paduannya menghasilkan
tekanan kejiwaan yang cukup untuk memperoleh efek moril
yang dibutuhkan.

(1) Berbagai unsur dalam pengambilan keputusan itu


ialah:

(a) Tujuan atau kepentingan.

(b) Sarana berupa alat hidup dan mati.

(c) Prasarana berupa ruang dan waktu.

(d) Psikologi nasional.

(e) Pengaruh situasi internasional terhadap


kebebasan bertindak sendiri.

(f) Pola strategi yang tersedia

(2) Rencana strategi pada umumnya dapat diklasifikasi


kan kedalam sejumlah pola yang berbeda bergantung
pada pengaruh unsur pengambilan keputusan bagi
masing-masing pihak dan pentingnya yang dipertaruh
kan. Selanjutnya Andre Becaufre berpendapat bahwa
beberapa pola strategi adalah :

(a) Jika tujuan tidak begitu penting dan sumber


yang tersedia cukup banyak, maka hanya dengan
ancaman sekedar akan menggunakan sumber ini,
cukup memaksa musuh menerima syarat yang
ingin ditekankan kepadanya. Pola strategi ini
dinamakan ancaman langsung.
268

(b) Jika tujuan tersebut tidak begitu penting,


sedangkan sarana yang tersedia tidak mencukupi
untuk memberikan ancaman yang menentukan,
usaha untuk mencapai tujuan yang diingini harus
diperoleh melalui metoda tipu muslihat, yang dapat
dilakukan dengan politik, diplomasi dan ekonomi.
Pola strategi ini dinamakan tekanan tidak langsung.

(c) Jika kebebasan bergerak terbatas dan sarana


yang tersedia terbatas tetapi tujuan sangat penting,
usaha untuk memperoleh tujuan dilaksanakan
melalui sejumlah kegiatan yang berurutan, dimana-
mana ancaman langsung dan tekanan tidak
langsung digabungkan dengan penggunaan
kekuatan secara terbatas. Pola strategi ini
dinamakan rangkaian kegiatan berurutan.

(d) Jika kebebasan bertindak besar, tetapi


sarana yang tersedia tidak mencukupi untuk
memaksakan suatu keputusan militer, sarana yang
harus digunakan adalah strategi untuk memper
panjang waktu perselisihan dengan maksud untuk
menurunkan semangat musuh dan membuatnya
letih. Pola strategi ini dinamakan perjuangan
berlarut.

(e) Jika sarana militer yang tersedia mencukupi,


keputusan akan diperoleh melalui kemenangan
militer, perang akan berlangsung keras dan
diusahakan untuk menyudahinya sesingkat
mungkin. Kolone kelima tentu saja dapat memain
kan peranan penting dalam membantu operasi
militer. Pola strategi ini adalah strategi klasik dari
zaman Napoleon dinamakan pertentangan kekeras
an yang bertujuan kemenangan militer.

8) Mao Tse Tung 1893-1975.

Tidak memberikan definisi strategi tetapi menunjukkan bidang


kegiatan strategi kampanye dan taktik. Menurut Mao Tse Tung Ilmu
strategi berhubungan dengan hukum yang mengatur situasi perang
sebagai suatu keseluruhan. Ilmu kampanye berhubungan dengan
hukum yang mengatur kampanye dan diaplikasikan dalam kampanye.
Ilmu taktik berhubungan dengan hukum yang mengatur pertempuran
dan diaplikasikan dalam pertempuran. Selanjutnya Mao Tse Tung
berpendapat strategi dan taktik mempunyai hubungan dengan ruang
dan waktu dan memainkan peranan yang sangat penting dalam
pelaksanaan perang berlarut dan atau gerilya. Waktu dan ruang harus
dapat digunakan untuk menciptakan situasi perang yang menguntung
kan.

Situasi perang sebagai keseluruhan dapat meliputi seluruh


dunia, seluruh negara atau suatu kwasan gerilya berdiri sendiri. Tugas
ilmu strategi ialah mempelajari kaidah perang, untuk mengerahkan
perang yang meliputi suatu situasi perang sebagai keseluruhan.
269

Sedangkan tugas ilmu kampanye dan ilmu taktik mempelajari kaidah


perang untuk mengerahkan perang yang meliputi sebagian dari situasi
itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara
strategi, kampanye dan taktik terletak pada ruang lingkupnya saja.

9) Sekolovski.

Ia mengatakan strategi militer adalah suatu sistem dari


pengetahuan teoritis yang menggariskan aturan pengendalian perang
sebagai kekuatan tempur untuk kepentingan klas tertentu. Strategi
menggunakan sebagai landasan, pengalaman militer, kondisi militer
dan politik, potensi ekonomi dan moral suatu negara, senjata-senjata
baru dan pandangan dari musuh potensial, mempelajari kondisi dan
sifat dari perang di masa depan, metoda untuk menyiapkan dan
memimpin setiap angkatan dari angkatan bersenjata dan landasan
penggunaan strateginya seperti material dan teknologi dasar serta
kepemimpinan untuk perang dan angkatan bersenjata.

Military strategy is a system of theoretical knowledge delaing with


rules governing war as armed combat for definitie class interest.
Strategy, using as a basic the military experience, military anda political
conditions, economic and morale potensial of the country, new weapons
and the views of potensial enemy, studies the conditions and the
nature of a fature war, the methods for it preparations and conduct
the branches of the armed and the basic for their strategy utilization, as
weil as material and technological base and leadership for war and the
armed forces.

Kemudian Sckolovski menulis penemu metoda ilmiah ini adalah


K. Marx dan F. Engels yang menunjukkan pengembangan industri,
konstruksi jalan kereta api, dan penemu senjata serta peralatan baru
menyebabkan perubahan didalam organisasi, pengembangan dan
perluasan dari konsep teori militer dan akibatnya menimbulkan
kebutuhan untuk mempelajari secara lebih konkrit masalah perang.
Sckolovski pendapatnya bertentangan dengan pendapat militer
Borjuis pengalaman membuktikan bahwa menyiapkan dan memimpin
kekuatan tempur tidak dapat dicakup didalam strategi saja.

Pada pertengahan abad ke 19 berbagai pengetahuan telah


dimulai mengembangkan diri dalam lingkungan ilmu militer. Sebagai
hasil dari proses ini, pertama-tama strategi dikembangkan dari semua
lingkungan pengetahuan militer kedalam taktik, artileri dan
perbentengan serta kemudian administrasi. Teori operasi, yang telah
diterangkan dengan gamblang hanya didalam ilmu kemiliteran Soviet
dikembangkan pada permulaan abad ini. Perumusan dari strategi
militer sebagai suatu disiplin adalah hasil langsung dari pengalaman
pemimpin militer dalam menyiapkan dan memimpin perang dari sudut
tinjauan strategi. Strategi militer bukan hanya hasil atau kesimpulan
pengalaman secara umum, tetapi juga meliputi perkiraan teoritis dari
kemungkinan kondisi, metoda dan kepemimpinan perang dimasa
datang. Dengan alasan ini, teori strategi masa kini tidak mungkin
dipisahkan dari praktek. Teori strategi militer senantiasa diperluas
dan dikembangkan oleh pengalaman praktek dari para pemimpin
angkatan bersenjata dan oleh perubahan perlengkapan dan
persenjataan militer sebagaimana halnya dengan latihan dan
270

manuver. Penerapan strategi secara tetap memungkinkan ia berfungsi


sebagai satu kriteria untuk ketepatan dari konsep lanjutan yang baru
dan juga menentukan pengembangannya lebih lanjut. Dengan
demikian, kesatuan dan hubungan teori strategi dengan praktek
adalah sangat penting didalam proses dialektik saling memperkaya
dan mengembangkan secara bertimbal balik. Menurut Sckolovski
dalam bukunya Soviet Military Strategy, ruang lingkup teori strategi
militer meliputi :

a) Dalam pengembangan kekuatan berlaku berbagai prinsip


teoritis tentang penyiapan negara dan angkatan bersenjata
untuk perang, serta perencanaan perang.

b) Dalam penggunaan kekuatan.

(1) Aturan umum pengendalian kekuatan tempur.

(2) Ramalan tentang kondisi dan sifat perang di masa


datang.

(3) Penentuan komposisi angkatan dari angkatan


bersenjata serta dasar penggunaan strateginya.

(4) Metoda memimpin kekuatan tempur.

(5) Strandarisasi material dan teknologi untuk


kekuatan tempur

(6) Prinsip-prinsip memimpin angkatan bersenjata dan


perang secara umum.

(7) Pandangan strategis dari musuh potensial.

10) A.H Nasuiton (1953).

Jenderal Besar AH Nasution pernah menulis tentang perang


gerilya yang saat ini banyak dipelajari di seluruh dunia sebagai satu-
satunya penulis yang berpengalaman dalam memimpin perang gerilya
sekaligus anti gerilya. Bukunya yang terkenal adalah pokok-pokok
gerilya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
"Fundamental Of Guerilla warfare” dan bahasa Jerman “Des Guerilla
Krieg”. Menurut beliau peperangan gerilya adalah perang rakyat
semesta perang gerilya tidak dapat secara sendiri membawa
kemenangan terakhir, tetapi hanyalah untuk memeras darah musuh,
kemenangan terakhir hanyalah dapat dengan menggunakan tentara
yang teratur dalam perang biasa, karena hanya tentara demikianlah
yang dapat menaklukkan musuh. Perang anti gerilya harus mengarah
kepada pemisahan gerilya dari rakyat dan pangkalannya karena itu
lebih mengutamakan gerakan politik, psikologis dan ekonomis, gerilya
hams dilawan dengan senjata sendiri, kegiatan ofensif, kemampuan
yang mobil dan fleksibel.

Berangkat dari teori perang gerilya ini untuk dapat


mempertahankan kedaulatan NKRI, menjaga keutuhan wilayah dan
keselamatan bangsa Indonesia, perjuangan mempertahankan wilayah
pertahanan harus bersatu padu dengan rakyat yang memiliki
271

kemampuan untuk bergerilya serta dalam suasana damai bahu


membahu, bergotong royong dalam membangun dan menyiapkan
kompartemen wilayah pertahanan. Kondisi demikian yang kita kenal
dengan “Kemanunggalan TNI-Rakyat” yang merupakan kekuatan TNI.
Adapun Pokok-pokok gerilya yang menjadi acuan sebagai berikut :

a) Pokok Pokok Gerilya.

(1) Peperangan Abad ini adalah perang rakyat semesta.

(2) Perang Gerilya adalah Perang sikecil/silemah


melawan sibesar/sikuat.

(3) Perang Gerilya tidak dapat secara sendiri membawa


kemenangan terakhir, perang gerilya hanya untuk
memeras darah musuh, Kemenangan terakhir. hanyalah
dapat dengan tentara yang teratur dalam perang biasa,
karena hanya tentara demikianlah yang dapat melakukan
offensif yang dapat menaklukkan musuh.

(4) Perang Gerilya biasanya adalah perang ideologi.


Perang Gerilya adalah perang rakyat semesta.

(5) Akan tetapi Perang gerilya tidak berarti bahwa


seluruh rakyat bertempur perang gerilya adalah adalah
perang rakyat semesta, perang militer, politik, sosial-
ekonomi dan psikologis.

(6) Perang Gerilya tidak boleh sembarang Gerilyaisme.

(7) Gerilya berpangkalan dalam rakyat. Rakyat


membantu merawat dan menyembunyikan gerilya, serta
menyidik untuk keperluannya.

(8) Gudang Senjata gerilya adalah gudang senjata


musuh.

(9) Menyimpulkan strategi dan taktik gerilya.

(a) Tentara regulerlah yang dapat membawa


keputusan hasil perang.

(b) Gerilya hanya :

i. Mengikat dan melelahkannya.

ii. Memeras darah keringat urat syarafnya


dimana saja dia berada.

iii. Siasat gerilya adalah mengikat musuh


sebanyak mungkin, melelahkan, memeras
darah dan keringatnya sebanyak mungkin.

iv. Gerilya adalah: muncul-menghilang,


mondar-mandir dimana mana, sehingga bagi
musuh, dia tiada dapat dicari dimanapun,
272

tapi dapat dirasakan menggempur dimana


mana.

v. Siasat Gerilya; untuk memaksa musuh


tersebar sebar kemana mana menjadi
immobil sebanyak banyaknya dan terpaksa
mengadakan stelsel perbentengan yang tetap.

vi. Salah kalau organisasi pemerintah


gerilya bersifat statis.

(10) Syarat Pokok perang gerilya ialah rakyat yang


membantu, ruangan geografis yang cukup dan adanya
perang yang lama. Sehingga membutuhkan rakyat yang
kuat batinnya, kuat idiologinya, kuat semangat
kemerdekaannya, kuat semangat perjuangannya dan
tabah menderita karena semangat perjuangan.

(11) Perang yang total memerlukan pimpinan yang total


pula, dan bukan saja pada puncak nasional melainkan
juga pada daerah daerah gerilya terbawah. Ada pun
beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya siasat
perang total, Militer, Politik, Ekonomi, Psikologi dan
Sosial.

(12) Perang anti gerilya harus menuju kepada memisah


gerilya dari rakyat pangkalannya, dan karena itu lebih
harus mengutamakan gerakan politik, psikologis dan
ekonomis. Gerilya harus dilawan dengan senjata-
senjatanya sendiri, kegiatan offensif, kemampuan yang
mobil dan fleksibel.

(13) Sarisari pengalaman Gerilya "tentara pembebasan


Rakyat Tiongkok" merupakan wujud perang si kecil
melawan si besar.

b) Gerilya Dan Perang Kita Yang Akan Datang.

Dalam Prinsipnya A.H Nasution menerapkan sedia


payung sebelum hujan, dan membuat rencana perang gerilya
selama 10 tahun kedepan karena masa sekarang dan masa yang
datang masih dalam kurun waktu perang anti gerilya, Gerilya
berakar dari rakyat, anti gerilyanya haruslah pertama-tama
menghilang kan akar-akar itu dari dalam rakyat yaitu dengan
Bagaimana si anti gerilya dapat menawan hati rakyat kembali?
bagaimana ia dapat menumbuhkan kepercayaan dan simpati
kembali? bagaimana si anti gerilya dapat menimbulkan ideologi
yang lebih tinggi lagi?

Perang gerilya yang lalu dimana masih menggunakan


kekuatan militer adalah perang gerilya tahap pertama kita harus
segera membentuk tantara regular yang sebenarnya. Dalam
bukunya Moa Tse tung membuat kajian “Dalam strategi satu
melawan sepuluh namun dalam taktik sepeluh melawan satu”
Walaupun kita lebih kecil dari musuh, namun kita mencari
273

sasaran sasaran dimana kita dengan konsentrasi sementara


memperoleh kelebihan yang mampu menghancurkan bagian
musuh yang kecil dan terputus. Dan didalam bukunya A.H
Nasution merencanakan organisasi dan pendidikan untuk
melatihankan perang gerilya yang akan datang dengan
memedomani:

(1) Perlawanan Tentara

(2) Perlawanan Partisan (Gerilya rakyat)

(3) Pertahanan Rakyat sipil.

16. Perkembangan Rumusan Strategi.

a. Beberapa penulis militer dari dunia timur dan barat, telah


mempelajari perang secara ilmiah dan pendapat mereka ditulis didalam
berbagai buku yang sampai masa kini digunakan sebagai pedoman untuk
mempelajari strategi. Bila pendapat para penulis itu didalam dan
dibandingkan satu dengan yang lain, jelas terlihat bahwa mereka tidak
sependapat tentang pengertian dari strategi itu. Keadaan ini
menggambarkan bahwa pengertian strategi berkembang mengikuti
perkembangan zaman, dan didasarkan pada falsafah dan pandangan
sesuatu negara.

b. Rumusan strategi yang luas. Secara umum strategi itu dapat


diartikan sebagai cara mencapai sesuatu dengan sarana yang tersedia.
Karena penekanannya pada cara mencapai sesuatu, sudah tentu cara itu
didasarkan pada falsafah setiap negara, karena tidak setiap negara
menghalalkan setiap cara mungkin mampu melaksanakannya secara teknis.
Sarana yang tersedia akan memperluas atau mempersempit ruang gerak
dari kemungkinan cara yang dapat digunakan, sebab semakin banyak
sarana yang tersedia akan semakin banyak cara yang mungkin
dilaksanakan tergantung dari kemampuan untuk menata secara harmonis.

Lebih lanjut dengan penekanan pada cara itu dapat disimpulkan


ruang lingkup strategi semula terbatas pada penggunaan sarana atau
dengan kata lain penggunaan kekuatan saja. Karena sarana yang tersedia
disatu pihak dapat menjadi fakta pendukung atau pengembang, dan di lain
pihak dapat pula menjadi faktor pembatas bagi ruang gerak cara yang
mungkin dilaksanakan, maka para negarawan dan pimpinan militer
berusaha mengembangkan sarana yang tersedia itu supaya makin luas
cakrawala kemungkinan cara pencapaian dan mengurangi pembatasannya
sehingga dapat digunakan secara kenyal setiap saat bila dibutuhkan.
Perkembangan pemikiran ini berakibat perluasan ruang lingkup strategi,
sehingga meliputi pengembangan dan penggunaan kekuatan.

17. Perkembangan Strategi Di Indonesia.

a. Perjuangan bangsa Indoensia merebut dan mempertahankan


kemerdekaannya, yang dilakukan melalui kekuatan diplomasi dan militer,
memberikan posisi yang lebih tinggi kepada pemimpin politik dalam
menentukan politik militer. Kaum politiklah yang bertanggung jawab atas
politik militer negara bahkan seterusnya politiklah yang menentukan
strategi daripada tentaranya. Pada kenyataannya menteri pertahananlah
274

tokoh politik militer itu. Demikianlah ditulis oleh Kol AH. Nasution dalam
bukunya catatan-catatan sekitar politik militer Indonesia. Selanjutnya ia
menuliskan Politik militer ialah kebijaksanaan perang, yang menentukan
baik buruknya serta besar kecilnya potensi dan kekuatan perang negara.

Dari uraian dan definisi diatas terlihat bahwa Indonesia sudah


mengenal politik militer dan strategi tentara tanpa penjelasan apa yang
dimaksud dengan strategi tentara dan selanjutnya tidak diuraikan ada
tidaknya strategi militer. Kol S. Soejohadiprodjo dalam bukunya Masalah
Pertahanan Negara memberikan definisi strategi militer sebagai berikut
strategi militer adalah ilmu dan kebijaksanaan tentang penggunaan
kekuatan militer untuk mencapai tujuan-tujuan militer dalam perang dan
pergulatan-pergulatan antara bangsa-bangsa. Definisi ini hanya meliputi
unsur penggunaan kekuatan saja dalam rangka mencapai tujuan militer,
sehingga identik dengan perumusan Liddell Hart yang mengatakan bahwa
strategi itu berarti seni menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan oleh kebijaksanaan politik. Para penulis militer lainnya yang
menulis tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan buku
pengetahuan militer melukiskan pelaksanaan pertahanan itu sendiri dan
kadang-kadang mengutarakan politik nasional, politik militer yang
dilaksanakan pada periode tertentu.

b. Gambaran Sejarah.

Karena strategi militer adalah pelaksanaan dari politik militer maka


dengan mengikuti perkembangan politik militer, tonggak perjuangan militer
yang telah dilaksanakan oleh TNI dapat diperoleh gambaran mengenai
perkembangan pandangan bangsa Indonesia tentang strategi. Adapun
tonggak itu adalah tahun 1948, 1952, 1958, 1962, 1965 di saat mana bangsa
Indonesia melaksanakan operasi militer untuk mempertahankan
kemerdekaan, kesatuan dan kedaulatannya.

1) Tahun 1948. Dalam keterangan pemerintah diucapkan oleh


Drs. Moh Hatta di muka sedang BPKN di Yogyakarta pada tahun 1948
yang dibukukan oleh kementrian Penerangan Republik Indonesia
dengan judul Mendayung antara dua karang dapat dikutip beberapa
kalimat yang berbunyi antara lain maka setelah dibicarakan matang-
matang dengan pimpinan angkatan perang, ditetapkan mengadakan
rasionalisasi dengan dasar tentara sederhana tetapi efektif.

Selain dari itu susunan tentara direorganisir, berdasarkan


undang-undang baru tentang susunan kementrian pertahanan dan
angkatan perang. Serentak dengan mengecilkan jumlah angkatan
perang, ditegaskan bahwa politik pertahanan negara berdasarkan
kepada tentara dan peole’s defence. People’s defence ini mengenai
seluruh rakyat dan ongkosnya harus dipikul oleh masyarakat. Dengan
dasar pertahanan negara menjadi usaha pemerintah dan masyarakat.
Organisasi people’s defence mesti sedemikian rupa, sehingga ia tidak
menarik orang dari pekerjaannya yang biasa dan karena itu tidak
mengurangi usaha produktif dalam masyarakat. Hanya perhubungan
yang nyata diadakan antara tentara people’s defence tadi. Selanjutnya
pemerintah akan menyiapkan dasar-dasar untuk menjadikan tentara
kita jadi tentara milisi.
275

Tentara milisi lebih baik daripada tentara gajian, karena milisi


menanam rasa kewajiban untuk mempertahankan tanah air, tentara
tetap menjadi kader. Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa sejak
perang kemerdekaan bangsa Indonesia sudah menggunakan politik
pertahanan dan untuk pelaksanaannya dituangkan dalam suatu
strategi pertahanan sehingga dengan demikian sebenarnya sudah
dikenal strategi pertahanan sebagai pengganti strategi militer yang
dikenal dunia barat. Bung Hatta mengatakan seperti telah kami
uraikan, wujud rasionalisasi ialah mencapai suatu angkatan perang
yang efektif yang dapat dijelajahi oleh negara.

Bahwa rasionalisasi itu akibatnya menghilangkan pertahanan


rakyat, itu tidak benar. Juga tak benar tuduhan-tuduhan Saudara
Tjugito yang mengatakan bahwa pertahanan rakyat kita akan disusun
semata-mata secara seperti di Jerman dan Jepang. Menurut pendapat
pemerintah people’s defence itu mestinya betul-betul pertahanan dari
rakyat seluruhnya, sehingga pada tiap-tiap desa ada pusatnya. People
defence ini tidak dibelanjai oleh negara, melainkan dipikul oleh
masyarakat seluruhnya. Rakyat yang ikut dalam people’s defence itu
dpat mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Hanya pada waktu-waktu
yang ditentukan ia dilatih dengan mengadakan percobaan-percobaan
melakukan pertahanan. Antara susunan people defence dengan
kesatuan-kesatuan tentara ada hubungannya, sehingga senantiasa
ada koordinasi dalam pertahanan rakyat. Bagaimana bentuk strategi
pertahanan Indonesia sebagai pelaksanaan politik pertahanan
diatas ?

Strategi pertahanan waktu itu tersirat dalam keterangan Bung


Hatta sebagai berikut tiap orang meskipun bukan militer bisa
mengerti, bahwa tentara rakyat kita mesti mencari kekuatannya
dalam cara-cara gerilya dan bumi hangus. Akan tetapi ini mesti
dipahamkan lebih dalam. Siasat kita mesti menghindarkan kekuatan
kita. Kekuatan lawan terletak pada technischc uitbusting dan
organisasi yang serba lengkap dan modern. Karena itu kita meng-
hindarkan pertempuran-pertempuran terbuka dimana ia bisa
menumpahkan sepenuhnya angkatan udaranya, tanknya, meriam
nya, motorisasinya dan sebagainya. Sebaliknya kita mesti menghenti
kan sifat pertahanan kita dulu yang statis dan harus membuat tiap
pelosok tanah air menjadi medan pertempuran gerilya.

Untuk semuanya ini perlu pelaksanaan persiapan yang banyak,


perlu pembagian tugas yang tepat dan spesialisasi pada tugas itu.
Tidak cukup dengan pidato-pidato yang berapi-api, tetapi perlu
organisasi dan persiapan-persiapan yang rinci. Inilah dasarnya
sekarang mengadakan organisasi teritorial untuk mempertahankan
pertahanan secara Wehrkreisc, dimana tentara rakyat menurut
pembagian tugas yang efektif mengadakan persatuan perjuangan
rakyat dengan wujud mengadakan total people attack di setiap
pelosok. Untuk mengefektifkan gerak cepat, organisasi kesatuan-
kesatuan bergerak dengan taktik gerilya.

2) Tahun 1952. Sebagai akibat rasionalisasi yang dijalankan oleh


pemerintah setelah perang kemerdekaan ke II, maka dengan cepat
kekuatan pertahanan kita mengalami penyusutan dalam jumlah
personel. Efisiensi yang diharapkan bakal dicapai dengan rasionalisasi
276

itu ternyata tidak tercapai sebagai akibat adanya tiga faktor


penghalang. Menurut Mayor Jenderal TB. Simatupang dalam bukunya
Pemerintah-Masyarakat-Angkatan Perang menyebut ketiga faktor
tersebut, yakni pertentangan dan perpecahannya dikalangan TNI,
kecurigaan dikalangan politik dan kurangnya kewibawaan di kalangan
TNI terhadap maksud dari kalangan politik akan kita temukan pula
didalam peristiwa-peristiwa yang menyusul peristiwa 17 Oktober 1952
itu. Bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah yang mengecil
kan angkatan perang, keadaan keamanan dalam negeri semakin
memburuk dengan timbulnya berbagai pemberontakan yang berbau
separatisme.

Dengan demikian timbulah kebutuhan untuk mengembangkan


angkatan perang. Dalam RUU Pertahanan sebelum 1950 dengan tegas
disebut pertahanan rakyat semesta yang dipimpin dan dipelopori
tentara. Usaha ini tidak berjalan lancar karena adanya tantangan dari
kekuatan politik. Kolonel AH. Nasution dalam bukunya catatan-
catatan sekitar politik militer Indonesia mengatakan tetapi dalam
pelaksanaannya pengembangan kekuatan ini mendapat tantangan
dari kekuatan politik yang memfitnah bahwa persiapan pertahanan
atau pembangunan tentara yang sewajarnya sebagai propaganda
perang. Mereka mendengung-dengungkan pertahanan rakyat dalam
arti yang keliru yakni gerilya saja dan menganggap tak perlu ada
tentara yang bernilai reguler yang disebutnya internasional dalam
perasaan anti nasional. Pelbagai agitasi dilancarkan oleh berbagai
kekuatan politik untuk menghindari penggalangan kekuatan tentara
rakyat tetap terbengkalai. Dilain pihak tiap partai mempunyai tentara
dan pion dalam tentara resmi. Keadaan ini berlangsung sampai
dengan pengakuan kedaulatan, bahkan sampai lima tahun
sesudahnya belum dimulai langkah positif kearah penciptaan tentara
reguler itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampai dengan
tahun 1955, Indonesia tidak merumuskan, apabila mengerjakan
suatu politik pertahanan tertentu, demikian lebih lanjut disimpulkan
oleh Kolonel AH Nasution.

Dengan keluarnya UU Pertahanan fungsi Angkatan Perang


semakin berkembang meliputi pertahanan negara, memelihara
keamanan dan ketertiban didalam negeri. Perkembangan ini dapat
kita lihat dalam pendapat Mayor Jenderal TB. Simatupang dalam
bukunya Pemerintah Masyarakat Angkatan Perang yang menyebut-
kan Pemerintah menjalankan pertahanan keluar dan memelihara
keamanan dan ketertiban dalam negeri. Angkatan Perang adalah alat
yang utama untuk mempersiapkan dan menjalankan pertahanan
keluar. UU Pertahanan pasal 16 berkata bahwa Angkatan Perang
merupakan pelopor pertahanan negara. Selain daripada itu Angkatan
Perang merupakan alat yang terakhir untuk memelihara keamanan
dan ketertiban didalam negeri.

a) Dengan perkembangan itu menurut Mayjen TB.


Simatupang tugas yang dihadapi Angkatan Perang adalah :

(1) Menjalankan tugas-tugas militer dalam hubungan


usaha-usaha untuk mengembalikan keamanan dalam
negeri.
277

(2) Menstabilkan AP sebagai sumbangan dalam usaha


untuk menegakkan stabilitas di Indonesia.

(3) Dengan tidak merugikan bagi tugas-tugas militer,


memberikan sumbangan dalam usaha-usaha
pembangunan.

(4) Mempersiapkan diri untuk menjadi pelopor dalam


pertahanan rakyat, sekiranya negara kita mengalami
serangan.

(5) Meletakkan sendi-sendi bagi pembangunan


Angkatan Perang di masa depan.

b) Fungsi Angkatan Perang berkembang meliputi :

(1) Sebagai alat negara Angkatan Perang adalah alat


dan abdi dari rakyat.

(2) Angkatan Perang adalah pelopor pertahanan negara


dan Angkatan Perang adalah alat terakhir untuk
memelihara keamanan dan ketertiban dalam negeri.

(3) Sebagai pelatih keprajuritan bagi rakyat, Angkatan


Perang turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa dan dengan tidak merugikan bagi kewajiban
militer, maka Angkatan Perang dapat memberikan
sumbangan dalam usaha memajukan kesejahteraan
umum.

(4) Pada hakekatnya Angkatan Perang harus bersedia


menjalankan kewajiban-kewajiban militer dan dapat
diakibatkan oleh kewajiban negara untuk turut
melakukan ketertiban dunia.

(5) Angkatan Perang mendukung dan membela undang


undang dasar terhadap ancaman-ancaman dari dalam
dan luar.

Dengan pengembangan fungsi dan tugas itu, maka


dapat dikatakan politik pertahanan negara berubah
menjadi politik pertahanan nasional yang sekaligus
meliputi ketertiban masyarakat didalam negeri. Akibat
lanjutanya adalah ditetapkannya strategi yang akan
melaksanakan politik pertahanan keamanan nasional itu
ikut berubah menjadi strategi pertahanan nasional
disingkat Strategi Hannas, istilah inilah yang digunakan
sampai saat ini.

c) Tahun 1958. Di dalam amanat Panglima Tertinggi TNI


memperingati sepuluh tahun angkatan perang yang terdapat
dalam Almanak Angkatan Perang tahun 1956 yang disusun
Darius Marpaung, pemerintah menegaskan kedudukan
Angkatan Perang dalam berbagai ketentuan sebagai berikut :
278

(1) Sebagai organisasi, ia adalah alat kekuasaan negara


untuk membela konstitusi negara.

(2) Sebagai alat teknis adalah salah satu alat pelaksana


politik negara, yang dalam demokrasi dipertanggung
jawabkan oleh pemerintah.

(3) Sebagai warga negara prajurit, warga negara militer


anggota-anggota angkatan perang tidak tepat ikut aktif
dalam keaktifan salah satu politik kepartaian, sebab
angkatan perang seharusnya adalah pembela penuh dan
pendukung daripada politik negara.

(4) Militer adalah alat politik negara dan politik negara


dipertanggung jawabkan oleh pemerintah, militer
dibawahi oleh pemerintah dan pemerintah ini
bertanggung jawab. Sebagai akibat pemberontakan PRRI-
Permesta maka negara dinyatakan dalam keadaan
perang, yang mengakibatkan tentara mempunyai
tanggung jawab politik. Dalam keadaan demikian ini
pimpinan politik dan pimpinan militer berada disatu
tangan, sehingga dengan demikian politik Hanneg menjadi
dominan dalam politik nasional dan startegi Hanneg
menjadi dominan dalam strategi nasional, serta
selanjutnya peranan Angkatan Perang dalam kehidupan
politik nasional semakin berkembang menjadi sejajar
bahkan kadang-kadang melebihi kekuatan sosial lainnya.

d) Tahun 1962. Pada tahun 1962 perjuangan nasional


untuk mewujudkan keutuhan wilayah nasional memuncak
dengan perintah Presiden yang bernama Trikora. Kedaulatan
keutuhan wilayah, kepentingan dan kehormatan negara harus
dipertahankan dan kedaulatan harus ditegakkan. Untuk
melaksanakan tugas itu, maka negara membangun angkatan
perang. Dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang
menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD
negara, maka kedudukan Angkatan Perang berubah menjadi
subyek dan obyek politik sekaligus. Dalam kedudukanya
sebagai kekuatan Hanneg militer atau Angkatan Perang adalah
alat politik. Karena politik negara dipertanggungjawabkan oleh
pemerintah, jadi Angkatan Perang dibawah pemerintah didalam
perjuangan nasional pengembalian Irian jaya kepangkuan
Republik Indonesia, uraian diatas dibuktikan sepenuhnya
politik menentukan tujuan dan mengendalikan strategi Hanneg
sepenuhnya. Kekuatan militer atau pertahanan negara harus
memberikan dukungan penuh pada politik pemerintah.

Dengan pembentukan Komando Mandala, Angkatan


Perang memberikan dukungan kuat pada politik pemerintah,
sehingga dapat memaksa Belanda untuk mengembalikan Irian
Jaya melalui diplomasi. Sebaliknya juga terbukti Angkatan
Perang dikendalikan dan tunduk kepada politik dengan
menghentikan kampanye pembebasan Irian Jaya, walaupun
tugas itu sebenarnya dapat dilaksanakan dengan kekuatan
militer. Lebih lanjut peristiwa ini membuktikan falsafah perang
279

bangsa Indonesia yang berbunyi kita cinta damai tetapi lebih


cinta kemerdekaan.

e) Tahun 1965. Dengan terjadinya pemberontakan G 30


S/PKI yang mau merubah ideologi Pancasila dengan ideologi
Komunis, maka keselamatan Negara Republik Indonesia
menjadi terancam. Dengan kedudukan militer sebagai alat
politik negara dan militer dibawahi oleh pemerintah, maka
timbul perpecahan diantara Ankatan Perang dan pemerintah
dalam usaha menumpas pemberontakan itu. Problema ini dapat
dituangkan dalam pertanyaan bagaimanakah kedudukan
angkatan perang sekiranya ada golongan yang merubah
Pancasila, sedangkan dalam Sapta Marga angkatan perang
adalah pembela Pancasila. Mayjen TB. Simatupang dalam buku
yang sama berpendapat Pandangan yang melihat angkatan
perang dengan kacamata militer formal saja, dapat berkata
angkatan perang adalah alat negara dan apabila sifat negara
berubah, maka sebagai alat militer teknis angkatan perang
dengan sendirinya menyesuaikan diri dengan perubahan itu.

Sebaliknya orang dapat pula bertolak dari revolusi dan


perjuangan kemerdekaan dan berkata angkatan perang telah
berjuang untuk Pancasila, oleh sebab itu ketaatan angkatan
perang itu terhadap suatu negara yang melepaskan Pancasila
tidaklah hal yang otomatis. Pendapat ini dihayati sepenuhnya
oleh Jenderal Soeharto dalam tindakannya mengambil alih
pimpinan sementara angkatan darat pada tanggal 1 Oktober
1965, dan selanjutnya menumpas Pemberontakan G 30 S/PKI.
Tindakan itu sesuai pula dengan kedudukan angkatan perang
yang digariskan Pangti TNI dalam amanat memperingati 10
tahun angkatan perang alat kekuasaan dan alat pelaksana.
Tetapi bukan alat yang mati seperti dalam kolonial, bukan alat
yang tidak berjiwa, melainkan suatu alat yang hidup satu alat
yang terdiri dari patriot-patriot dan pejuang-pejuang, alat-alat
yang beranggotakan prajurit-prajurit warga negara yang dalam
dadanya berkobar-kobar ideologi konstitusi negara yang
bersendikan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi


Hanneg akan tunduk dan melaksanakan sepenuhnya politik
Hanneg, kecuali dalam keadaan politik Hanneg itu melepaskan
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Strategi Masa Kini.

Dengan ditemukannya bom atom serta senjata nuklir lainnya yang


mempunyai daya penghancur sangat besar, maka bila terjadi perang nuklir
total akibatnya adalah kehancuran umat manusia. Akibatnya ini tidak
diinginkan dan bahkan ditakuti oleh bangsa yang telah mempunyai
kemampuan nuklir. Tetapi rasa takut secara bertimbal balik ini tidak tetap
dihantui rasa curiga, bila sewaktu-waktu diserang secara mendadak. Guna
menjamin keamanan nasional dikembangkanlah strategi penangkalan atau
strategi of defence terhadap perang total, apabila perselisihan tidak dapat
mencegah perang nuklir total dengan usaha apapun. Strategi penangkalan
didasarkan pada kebutuhan untuk memilki kemampuan pemukul pertama
280

atau strike first, berupa pukulan kejiwaan dan atau kekuatan militer
sehingga musuh merasa takut mendahului menyerang.

Suatu kemampuan memukul pertama, harus dapat menghancur kan


kekuatan musuh sehingga musuh tidak mampu melancarkan ofensif
kemampuan memukul pertama dapat diwujudkan berupa kemampuan
untuk mendahului menyerang atau pre-preventive strike atau kemampuan
untuk mengadakan pembalasan massal atau massive retaliation. Pada
strategi penangkalan, keamanan berarti mempunyai beberapa keunggulan
teknik terhadap lawan dan kebebasan bertindak akan tergantung pada
keunggulan potensi persekutuan dan kemampuan bertahan terhadap
ancaman apapun. Strategi penangkalan ini ternyata tidak cukup menjamin
keamanan nasional, sehingga perlombaan pengembangan senjata nuklir
antara negara super power tetap berlangsung dengan sengit.

Perlombaan pengembangan senjata nuklir ini melahirkan strategi


tanggapan kenyal atau strategy of flexible responce, yang intinya adalah akan
mengambil tindakan balasan yang seimbang terhadap setiap tindakan yang
dilancarkan lawan. Kemajuan teknologi yang dicapai oleh negara lain diluar
Amerika Serikat dan Uni Soviet (dulu) mengakibatkan semakin banyak
negara yang berkemampuan nuklir. Hal ini mengakibatkan keamanan dunia
semakin terancam, sehingga timbulah pemikiran dari negara super power
untuk membatasi pengembangan senjata nuklir dan negara yang ingin
memilikinya. Konsepsi ini dikenal dengan nama perundingan untuk
membatasi senjata strategi atau strategic arms limination talk, yang hasilnya
kurang memuaskan karena masing-masing negara yang berkemampuan
nuklir selalu dilandasi prasangka terhadap kejujuran negara lain untuk
menepati isi perundingan itu dan juga adanya beberapa negara yang tidak
bersedia meratifikasinya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
strategi yang berlandaskan pada ancaman penggunaan senjata nuklir tidak
efektif untuk pelaksanaan perang.

Perang dingin yang berlangsung antara blok barat dan timur dalam
rangka perebutan hegemoni dunia, memaksa masing-masing pihak untuk
mencari cara terbaik yang masih mungkin dilaksanakan untuk
memaksakan dan mewujudkan keinginan mereka. Jalan keluar yang
ditemukan ialah infiltrasi dan subversi, karena cara ini akan mampu
mempengaruhi, melemahkan, merubah sesuatu bangsa dari dalam. Kalau
infiltrasi dan subversi itu tidak berhasil mencapai tujuan, maka jalan lain
yang masih terbuka ialah perang terbatas yang dilakukan secara tidak
langsung oleh negara super power.

Dengan demikian ancaman yang akan dihadapi oleh setiap negara di


dunia, terutama negara yang sedang berkembang ialah infiltrasi, subversi
dan perang terbatas yang dilaksanakan dalam situasi perang dingin.

d. Ideologi.

Strategi modern tak dapat dikembangkan tanpa memperhitungkan


faktor ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini tidak
disebutkan faktor ideologi, karena faktor itu sudah otomatis tercakup dalam
setiap keputusan strategi. Pada blok barat yang menganut demokrasi liberal
kedudukan ideologi ini tidak diutarakan secara tegas. Dari fakta sejarah
dapat kita lihat dalam perang dunia II yang lewat, ideologi Komunis dan
Liberal dapat bekerja sama untuk menghancurkan ideologi Nazi dan Facis.
281

Sebaliknya kita lihat bahwa dengan ideologi yang sama, dapat terjadi
perbedaan kepentingan yang menimbulkan permusuhan antar negara.
Diantara Uni Soviet (dulu) dan RRC yang sama-sama menganut ideologi
komunis, terjadi insiden perbatasan dan perang ideologi yang disebabkan
oleh perbedaan kepentingan. Bagi Bangsa Indonesia, ideologi menduduki
posisi yang mencantumkan dalam strategi Hanneg dan militer, sebab
pelaksanaan perang bagi bangsa Indonesia adalah dalam rangka
mempertahankan ideologi dan kemerdekaannya. Ideologi merupakan dasar
bangsa Indonesia untuk hidup bernegara dan aspek ideologi dari agama
membimbing setiap orang menjadi warga negara yang bermoral agama dan
berbudi luhur dalam kehidupan bernegara.

e. Politik.

Menentukan tujuan pertahanan yang harus dicapai melalui strategi


pertahanan. Dengan demikian politik menjadi penentu bagi strategi dan
sekaligus membawahkannya. Pendapat ini ditentang oleh Ludendorff dengan
konsepsi perang totalnya. Menurut Ludendorf, sifat perang telah berubah.
Karakter dari politik telah berubah dan sekarang hubungan antara politik
dengan pelaksanaan perang harus berubah juga, semua teori Clausewitz
harus dibuang. Perang dan politik adalah untuk melindungi masyarakat,
tetapi perang adalah pernyataan yang tertinggi dari kehendak nasional
untuk hidup dan karenanya politik harus takluk kepada pelaksanaan
perang. Bangsa Indonesia tidak sependapat dengan Ludendorf dan tetap
berpendapat politik membawakan strategi karena strategi itu adalah
pelaksanaan dari politik.

f. Ekonomi.

Pelaksanaan strategi pertahanan didukung oleh suatu kemampuan


ekonomi, sebab tak mungkin melaksanakan suatu operasi militer tanpa
adanya dukungan logistik. Diantara strategi pertahanan sebagai prasarana
keamanan dengan strategi ekonomi sebagai prasarana kesejahteraan
terdapat hubungan timbal balik. Lebih lanjut diantara kesejahteraan dan
keamanan terdapat hubungan timbal balik dengan catatan bahwa hubungan
itu tidak mutlak sebanding kedudukannya. Dalam rangka pengembangan
kekuatan, faktor ekonomi memegang peranan yang besar, sebab
peningkatan kualitas dan kuantitas kekuatan pertahanan keamanan
nasional harus berada dalam batas jangkauan kemampuan ekonomi
nasional. Suatu hal yang perlu diperhatikan didalam kegiatan
pengembangan kekuatan ialah bahwa kekuatan yang dibangun itu harus
mempunyai daya tangkal yang mampu merubah menghentikan rencana dan
kegiatan lawan untuk mengadakan ancaman, hambatan dan gangguan
kepada perjuangan nasional.

g. Budaya.

Suasana kejiwaan atau psikologi nasional memegang peranan yang


penting dalam pengambilan dan pelaksanaan suatu keputusan strategi,
suatu keputusan strategi tidak akan dapat dilaksanakan secara berhasil bila
tidak mendapat dukungan dari bangsanya. Sebaliknya bagaimanapun
beratnya tekanan dari luar yang dialami, perlawanan suatu bangsa akan
tetap berlanjut bila didukung oleh semangat rakyat yang pantang menyerah.
Dalam mempertimbangkan suasana ini, maka pandangan dunia
internasionalpun perlu dipertimbangkan, sebab suatu keputusan strategi
282

yang tepat akan dapat menarik simpati atau antipati dunia internasional.
Kemajuan teknologi yang dicapai oleh setiap bangsa akan meningkatkan
industri, ekonomi serta bidang kehidupan lainnya. Dengan demikian
kemajuan teknologi akan meningkatkan budaya bangsa, sebab teknologi
adalah merupakan cermin kebudayaan. Industri yang berkembang akan
mampu menciptakan peralatan militer yang semakin hebat, dan mempunyai
efek strategis yang semakin besar, sehingga mampu memperluas ruang
gerak strategi dalam proses pengambilan keputusan. Kemampuan teknologi
setiap bangsa akan menentukan cakrawala strateginya, strategi tantangan
dan tuntutan kepada perkembangan teknologi bangsa dan sebaliknya
kemajuan teknologi yang dicapai akan memperluas ruang lingkup metoda
dan sarana yang dapat disediakan bagi strategi dalam pengambilan
keputusan.

h. Militer.

Pelaksanaan pertahanan nasional akan menggunakan semua


kekuatan nasional, dimana salah satu diantaranya adalah kekuatan militer.
Kekuatan Hanneg yang didalamnya tercakup kekuatan militer, harus
dikembangkan sedemikian rupa hingga mampu mendukung pelaksanaan
strategi Hanneg. Pengembangan kekuatan militer untuk Hanneg ditentukan
oleh politik Hanneg. Falsafah dan budaya bangsa sangat mempengaruhi cara
penggunaan kekuatan Hanneg. Dalam penggunaan kekuatan, hendaknya
diutamakan daya tangkalnya dan hanya dalam keadaan terpaksa digunakan
untuk menghancurkan kekuatan musuh, sebab tujuan pertahanan bangsa
Indonesia ialah untuk mendudukkan kembali agresor sebagai partisipan
yang baik dan tepat atau correct dalam tertib masyarakat dunia.

18. Dasar-Dasar Strategi.

Istilah Strategi yang semula dikenal adalah sebagai ilmu Kepanglimaan telah
tumbuh dan berkembang seiring dengan proses perkembangan ilmu kemiliteran
dalam arti luas lingkup pengertiannya, baik di dalam ilmu kemiliteran itu sendiri
maupun terhadap cabang ilmu lainnya yang bersangkutan erat dengan ilmu
kemiliteran. Strategi kemudian makin lama meluas pengetrapannya ialah dalam
menentukan upaya bela negara secara total. Mula-mula diawali oleh revolusi
Perancis yang mencetuskan konsep/gagasan bangsa bangsa bersenjata, kemudian
tumbuh Nation States dan revolusi industri yang mendorong penyelenggaraan
produksi alat peralatan perang secara massal. Pengertian strategi selanjutnya
tidak hanya menyangkut masalah militer di medan tempur saja, tetapi juga
meliputi segala upaya dalam penyiapan, pengarahan, perang, bahkan dalam
pengendalian dan menentukan tujuan perang itu sendiri. Melalui proses
perkembangan tersebut maka dikenal perbedaan istilah, taktik, operasi, strategi
operasional, strategi total dan strategi raya (grand strategy), kesemuanya
dimaksudkan untuk memberikan batas dan tingkatan/hirarki atau strategi dalam
upaya menangani masalah militer (dalam hal ini pertahanan nasional) didalam
lingkup kebijaksanaan, kebijaksanaan nasional secara menyeluruh. Pengertian
istilah strategi kemudian semakin luas dan diterapkan dalam pelbagai sektor
kehidupan politik negara, bahkan dipakai pula dikalangan masyarakat luas,
namun seringkali tanpa ada pembatasan dan tingkatan/hirarki jelas. Mengingat
akan pentingnya masalah strategi bagi kehidupan politik negara pada umumnya
dan pertahanan suatu bangsa pada khususnya, maka usaha untuk
memasyarakatkan pengertian strategi mengandung makna dan implikasi yang
luas, dalam arti untuk meningkatkan kesadaran bela negara setiap warga
283

masyarakat pada khususnya dan dalam optimal pelbagai upaya pertahanan


bangsa pada umumnya.

Optimasi upaya pertahanan adalah hasil upaya segenap masyarakat bangsa,


dalam mengamankan hasil perjuangan, cita-cita dan tujuan nasionalnya dalam
wujud postur pertahanan yang dapat diandalkan. Sesuatu kekuatan pertahanan-
keamanan yang dapat diandalkan sebagai hasil pengorbanan yang layak dan dapat
diterima oleh masyarakat suatu bangsa, merupakan suatu prasyarat bagi setiap
negara merdeka yang mendambakan kebebasan untuk menentukan keinginannya
sebagai bangsa yang berdaulat. Suatu upaya pertahanan yang tangguh pada
gilirannya akan bergantung pada konsep atau rumusan strategi yang harus baik
pula. Anggaran biaya untuk upaya pertahanan yang tidak didukung tiap tahap
rencana atau program pertahanan secara memadai ataupun usaha membangun
suatu angkatan bersenjata yang besar, berarti meningkat pula beban yang harus
dipikul oleh rakyat dan masyarakat, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma bila
tidak dirangkum didalam suatu pola dasar (master plan) yang mempertemukan
tujuan militer sedemikian pula, sehingga mampu menunjang segala upaya untuk
melindungi berbagai kepentingan nasional.

19. Pengertian Strategi Nasional.

a. Seperti halnya dengan taktik yang merupakan aplikasi dari strategi


(bidang) pada tingkat yang lebih rendah, maka strategi adalah aplikasi dari
strategi nasional (strategi dasar, strategi total). Sekalipun strategi nasional
ini sinonim dengan politik (kebijaksanaan) yang memimpin penyelenggaraan
perang (yang berbeda dengan politik yang lebih fundamental), istilah strategi
nasional dimaksudkan untuk menonjolkan arti dari politik (kebijaksanaan)
dalam pelaksanaan (baca buku hakekat perang bab hubungan perang
dengan politik, berbagai aspek perang dengan masalahnya, dan strategi
nasional menghadapi perang). Jadi strategi tidak berdiri sendiri, tetapi
merupakan bagian dari dan tunduk kepada yang lebih besar, yaitu politik.
Mengenai Moltke mengatakan strategy works for the onject of policy. Perlu
ditekankan disini, bahwa kekuatan militer hanya salah satu instrumen dari
strategi nasional.

b. Strategi nasional harus juga memperhitungkan penggunaan berbagai


kekuatan lainnya, dapat menggunakan berbagai macam kekuatan untuk
memberikan tekanan finansial, diplomasi, ekonomi dan perdagangan, moril,
psikologi dan sebagainya. Kekuatan tekanan etik juga harus dipergunakan,
maksud untuk mencapai tujuan dengan alasan yang baik adalah juga suatu
senjata dan perisai. Demikian juga ksatria dalam perang dapat merupakan
senjata yang sangat efektif dalam melemahkan kemauan untuk melawan
bagi musuh. Cakrawala strategi militer terbatas oleh masalah yang
menyangkut atau berhubungan dengan perang. Strategi nasional melepas
kan pandangan lebih lanjut jauh daripada perang, bahkan kepada
perdamaian yang berikutnya. Strategi nasional tidak hanya mengombinasi
kan berbagai instrumen yang beraneka ragam itu, tetapi juga mengatur
penggunaannya, untuk menghindari kerusakan didalam keadaan damai
yang akan datang, yaitu yang menyangkut keamanan dan kesejahteraan.

20. Kedudukan Strategi Dalam Ilmu Perang.

a. Dalam sejarah dunia telah terbukti bahwa perang selalu terjadi,


karena selalu ada pihak yang ingin memaksakan kehendaknya dengan
menggunakan kekerasan atau kekuatan. Berbagai cara digunakan manusia
284

dalam penggunaan kekerasan atau kekuatan itu. Metoda dan alat yang
digunakan makin maju dan akibat yang ditimbulkannya makin besar.
Manusia selalu berusaha untuk mencegah perang, baik oleh perorangan,
negara maupun badan internasional, tetapi usaha itu tidak selalu berhasil.
Sampai sekarang masih merupakan persoalan yang selalu terjadi dalam
kehidupan manusia. Bertolak dari kenyataan bahwa perang selalu terjadi,
orang mulai mempelajari hal yang bersangkutan dengan perang, antara lain
sebab timbulnya masalah yang dihadapi dan akibat yang ditimbulkan
perang. Dari hasil mempelajari perang yang telah lalu timbul berbagai teori
tentang perang. Apakah teori tentang perang itu ilmu atau seni, ada tiga
pendapat yaitu ilmu perang, seni perang serta ilmu dan seni perang. Disini
tidak akan dibahas pendapat mana yang benar selanjutnya yang akan
digunakan adalah istilah ilmu dan seni perang. Tujuan mempelajari ilmu
dan seni perang bergantung pada falsafah suatu bangsa. Untuk bangsa yang
cinta damai seperti Indonesia tujuan mempelajari ilmu dan seni perang
adalah untuk mencegah dan menghindari perang, mempersiapkan dan
memenangkan perang kalau terpaksa harus berperang serta mencegah dan
menghindari akibat perang yang negatif.

b. Untuk bangsa yang sedang berperang atau bangsa yang menganggap


bahwa perang itu ada untuk memenangkan perjuangan kelas dan
merupakan keadaan antara dua damai, tujuan mempelajari ilmu dan seni
hanya untuk mempersiapkan, melaksanakan dan memenangkan perang.
Sudah dijelaskan bahwa ilmu dan seni perang merupakan hasil mempelajari
perang yang telah lalu. Hal ini mengakibatkan perkembangan ilmu dan seni
perang dipengaruhi oleh perang yang telah lalu, sebaliknya sesuai dengan
tujuan mempelajarinya, ilmu dan seni perang akan mempengaruhi
persiapan dan pelaksanaan perang yang mungkin timbul. Perang masa kini
tidak lagi semata-mata bersifat militer, melainkan sudah bersifat total
dalam subyek, obyek dan metoda.

Kekuatan yang digunakan dalam perang total adalah kekuatan


nasional, demikian juga sasaran dan akibat yang ditimbulkan mencakup
masalah yang sangat luas yaitu kehidupan ideologi, politik, ekonomi,
budaya dan militer dari bangsa atau pihak yang saling berhadapan.
Selanjutnya metoda yang digunakan juga harus mempertimbangkan
kehidupan ideologi, politik, ekonomi, budaya dan militer pihak yang saling
berhadapan. Dengan demikian untuk mempelajari ilmu dan seni perang
diperlukan pengetahuan tentang ideologi, politik, ekonomi, budaya dan
militer. Pengetahuan militer mencakup antara lain kepemimpinan strategi
dan administrasi dalam arti yang luas. Letjen TB. Simatupang dalam buku
pengantar ilmu perang mengatakan bahwa menurut Sun Tzu ilmu perang
adalah vital bagi negara. Dia menentukan hidup atau matinya negara, dia
merupakan jalan kearah keamanan atau kearah keruntuhan. Oleh sebab itu
dia merupakan hal yang harus dipelajari, dia sekali-kali tidak boleh disia-
siakan. Ilmu dan seni perang yang diterapkan untuk kepentingan perang
atau pertahanan suatu negara dinamakan strategi perang atau bagi RI
strategi Hanneg. Strategi Hanneg ialah seni dan pengetahuan tentang
pengembangan dan penggunaan kekuatan pertahanan untuk mewujudkan
sasaran pertahanan dan mengamankan perwujudan sasaran nasional
lainnya.

c. Strategi perang ialah seni pengetahuan tentang pengembangan dan


penggunaan kekuatan perang untuk mewujudkan tujuan perang. Kekuatan
pertahanan perang atau kekuatan perang ialah kekuatan nasional yang
285

diperlukan untuk pertahanan atau perang. Dilihat dari kekuatan dan


pengetahuan yang diperlukan untuk menyusun strategi Hanneg atau
strategi perang maka dapatlah dikatakan bahwa strategi militer ialah aspek
militer dari strategi Hanneg/strategi perang.

BAGAN
KEDUDUKAN STRATEGI MILITER DALAM TATANAN ILMU PERANG.

PERANG

PENGETAHUAN ILMU DAN SENI PENGETAHUAN


PERANG MILITER
IPOLEKSOSBUD

STRATEGI PERANG/
STRATEGI HANNEG

IPOLEKSOSBUD STRATEGI MILITER

21. Perkembangan Strategi.

a. Tokoh-tokoh pemikir strategi.

1) Pemikiran mengenai strategi telah dimulai sejak beberapa abad


sebelum Masehi, beberapa tokoh pemikir strategi yang dapat
dikemukakan di antaranya adalah :

a) Sun Tzu (400-320 SM) menulis mengenai Seni Yudha atau


seni perang (The art war), suatu karya tulis dalam bentuk 13
buah essay yang masih dianggap karya terbaik untuk sepanjang
jaman.

b) Karl Von Clausewitz (1780-1831). Karya tulisanya


berjudul Masalah Perang (On War-Van Krige) melihat masalah
strategi dari sudut yang lain dan lebih memusatkan
perhatiannya terhadap hakekat perang mulai pendekatan yang
bersifat kefalsafahan, Ia telah berhasil mempengaruhi alam
pikiran para ahli strategi untuk beberapa generasi kemudian,
melebihi harapan yang diidam-idamkannya. Hal yang
fundamental yang dikemukakan oleh Von Clausewitz adalah
“……….bahwa tiada lain adalah merupakan kelanjutan dari
politik dengan sarana yang lain ……….” dan ………….. ” perang
adalah jalan, upaya atau tindak kekerasan untuk memaksa
286

Pihak lawan tunduk kepada kehendak kita”. Sedang strategi


adalah “…………. Suatu seni untuk menggunakan pertempuran
sebagai sarana untuk mencapai tujuan perang”.

c) Antoine Henri Jomini (1799 – 1869). Pandangan Jomini


lebih banyak menaruh perhatian kepada masalah perang
sebagaimana adanya, dengan penguraian yang lebih bersifat
deskriptif terhadap masalah strategi, dimana ia mengemukakan
“…. Strategi dan meliputi seluruh kawasan operasi ……. ”.

d) Von Holtke HH (1800-1891). Pandangan Von Holtke


mengenai strategi diantaranya bahwa strategi merupakan
adaptasi praktis dari sarana-sarana yang ditempatkan dibawah
kepemimpinan seorang Jenderal untuk mencapai sasaran.

e) HH. Liddell Hart (1921-1953). Liddell Hart mempelajari


perang secara global dan ia mengemukakan bahwa strategi
adalah suatu seni dalam mendistribusikan dan mengerahkan
sarana-sarana militer untuk mencapai tujuan politik.

2) Disamping tokoh-tokoh pemikir strategi tersebut diatas masih


terdapat sederetan nama lainnya ialah :

a) Noccole Macchiavelli (1469-1519). Seorang ahli teori


politik militer.

b) Frederick Der Grosze (1712-1786). Pemuka teori strategi


jalur komunikasi dari dalam (strategy of the interior lines)

c) Napoleon Bonaparte (1769-1821). Ia dianggap sebagai


seorang ahli strategi yang besar tidak dalam pemikiran teori
yang bersifat perintisan dan penemuan yang penting, tetapi
sebagai Panglima cemerlang dan dikenang sepanjang jaman.

d) Para Panglima tenar lainnya yang tercatat dalam sejarah


ialah Alexander The Great (Iskandar Zulkarnaen 356-323 SM)
Hanibal (249-183 SM) Scipio Africanus (236-184 SM) Julius
Caesar (100-44 SM) dan sebagainya.

b. Esensi dari strategi.

1) Hubungan antara politik dengan strategi dalam batasan yang


sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut, politik adalah yang
menetapkan tujuan (militer, perang, nasional dan sebagainya Sedang
strategi menetapkan (cara atau upaya) yang ditempuh untuk
mencapai tujuan tersebut.

2) Strategi militer, Strategi Raya dan Strategi Nasional.

a) Strategi Militer.

(1) Bertitik tolak dari batasan strategi yang


dikemukakan oleh HH. Liddell Hart bahwa “…… strategi
adalah suatu seni dalam mendistribusikan dan
mengerahkan sarana militer untuk mencapai tujuan
politik …..” maka dengan kata lain perkataan kekuatan
287

militer merupakan salah satu sarana (one of the


instrument) untuk mencapai tujuan politik tersebut.
Dalam hal ini tujuan atau sasaran kekuatan militer dapat
bersifat sasaran khusus (militer) atau sasaran yang
bersifat menunjang politik.

(2) Strategi militer harus meliputi semua unsur


kekuatan bersenjata yang dapat dikerahkan meliputi
komponen darat, laut dan udara baik secara terpadu
(gabungan antar matra) maupun secara berdiri sendiri
yang secara langsung dapat menunjang tujuan politik.

(3) Strategi untuk ketiga komponen tersebut secara


teoritis harus dapat dirangkum dalam satu strategi militer
yang terpadu, namun dalam praktek sering kali bagi
masing-masing komponen diadakan pemisahan ialah
strategi (komponen/matra) darat, laut dan udara yang
pada tingkat tertentu harus dapat saling membantu dan
saling menutup kekurangan masing-masing.

b) Strategi Raya.

(1) Pengertian strategi raya adalah seni ilmu


menggunakan kekuatan dalam semua keadaan untuk
memperoleh tingkat dan bentuk penguasaan yang diingini
terhadap lawan, melalui ancaman, kekuatan senjata,
tekanan tidak langsung, diplomasi, peng ingkaran
ataupun cara lain sehingga dengan demikian dapat
menunjang kepentingan keamanan nasional serta tujuan
nasional.

(2) Strategi Raya dan strategi militer saling berhubung


an dengan erat, tapi masing-masing mempunyai arti yang
berbeda, strategi militer dipersiapkan untuk menghadapi
ancaman kekerasan yang bersifat fisik, ia mencari
kemenangan melalui kekuatan bersenjata. Sebaliknya
strategi raya apabila berhasil maka tidak memerlukan
penggunaan kekuatan senjata, yang lebih penting
daripada itu ialah strategi raya menjangkau lebih jauh
daripada hanya mencapai kemenangan di medan perang
yaitu keadaan damai yang abadi. Dengan demikian
strategi raya adalah dunia profesi bagi para negarawan.
Strategi raya membimbing dan mengendalikan strategi
militer dan ini hanyalah merupakan salah satu unsur dari
strategi raya.

c) Strategi Nasional. Strategi nasional adalah upaya yang


menyatupadukan segenap kekuatan nasional (suatu negara)
dalam masa damai dan masa perang untuk mencapai
kepentingan dan tujuan nasional. Dalam lingkup strategi
nasional tersebut terdapat strategi politik secara menyeluruh
yang meliputi masalah hubungan luar negeri dan dalam negeri,
strategi ekonomi untuk luar negeri dan dalam negeri. Setiap
komponen mempengaruhi politik langsung maupun tidak
langsung.
288

c. Berbagai cara pendekatan terhadap strategi.

Apabila melalui pendekatan yang simplistik strategi diartikan sebagai


cara untuk memilih atau menentukan jalan atau haluan untuk mencapai
tujuan dengan sarana yang tersedia (Strategy is ways to achive ends
available means) maka dalam batas yang ditetapkan oleh tujuan dan dengan
mempertimbangkan berbagai kemungkinan ancaman yang timbul, para ahli
strategi dapat mengkaji atau mencari pemecahan masalah dalam upaya
mencapai tujuan tersebut melalui berbagai cara pendekatan (strategic
approach).

1) Strategi bertahap/berkelanjutan (Sequential strategy) meliputi


beberapa tahap secara berlanjut, dimana masing-masing tahap
merupakan kelanjutan dari tahap selanjutnya, yang pada akhirnya
mencapai tujuan/sasaran akhir. Segala lawan terhadap sekutunya,
mencegah lawan mendapat sekutunya, mencegah lawan mendapatkan
perbekalan (supply) dari luar dan menghancurkan sarana prasarana
komunikasi sebelum dilakukan invasi terhadap negaranya,
merupakan suatu bentuk dari strategi bertahap/berkelanjutan
(sequential strategy) tersebut.

2) Strategi Kumulatif (cumulative strategy). Berbeda dengan


strategi bertahap/berkelanjutan adalah apa yang disebut strategi
cumulative (cumulative strategy). Strategi kumulatif meliputi beberapa
macam upaya serangan terhadap masing-masing sasaran, yang jauh
terpisah (dikawasan perang dan diwilayah negara lawan), namun
secara keseluruhan serangan tersebut menghasilkan ambruknya
kekuatan perlawanan (potensi perang) lawan.

Serangan oleh pesawat pembom strategi terhadap sasaran jauh


dibelakang kawasan perang lawan dan oleh angkatan laut terhadap
armada maritimnya merupakan contoh yang jelas bagi strategi
kumulatif (cumulative strategy) tersebut. Strategi kumulatif dan
strategi bertahap/berkelanjutan (sequential strategy) keduanya tidak
mustahil untuk dipertemukan bahkan keduanya terhadap satu sama
lain harus dapat memperkuat upaya masing-masing.

3) Strategi langsung dan tidak langsung (direct and indirect


strategies). Jenderal Andre Becaufre mengkaji berbagai masalah
strategi dari sudut pandangan yang lebih maju, yang menggugah
pemikiran dibidang strategi dengan menunjukkan alternatif yang
dapat ditempuh melalui pendekatan strategi langsung dan tidak
langsung (strategies of direct and indirect approach) dalam berbagai
kombinasi. Ia mengemukakan lebih lanjut “…… meskipun strategi
langsung dan tidak langsung satu sama lain berbeda (dalam cara dan
upaya yang ditempuh), namun keduanya mempunyai tujuan yang
sama, ialah untuk menundukkan atau mematahkan kemauan lawan
….” Keduanya menggunakan cara yang sama, ialah atas dasar
pemikiran untuk memperoleh kebebasan atau keleluasaan dalam
bertindak. Masing-masing merupakan seperangkat cara kegiatan
yang dipilih dan tentukan secara spesifik karena cara pendekatan
tersebut lebih sesuai ditinjau dari segi sumber daya yang tersedia atau
dari segi kerawanan sasaran dipihak lawan.
289

Memilih cara pendekatan yang terbaik merupakan fungsi yang


paling penting, sedang pilihan yang dapat ditentukan adalah sangat
luas meliputi, saran/bujukan yang bersifat persuasi sampai dengan
penghancuran terhadap sasaran yang bersifat fisik (phycal
destruction/damage). Adalah merupakan peranan utama dari strategi
yang harus mampu mencari kemungkinan (peluang) yang baik dalam
berbagai situasi, dan karena peranan strategi pula maka memungkin
kan sipihak yang lemah dapat muncul sebagai pemenang. Cara
pengerahan kekuatan fisik (bersenjata) secara langsung untuk
menghancur luluhkan lawan telah mempengaruhi pemikiran strategi
sejak terjadinya perkelahian antara Cain dan Abel, seperti yang
dikisahkan dalam kitab suci. Dari sekian banyak pemikir, hanya
beberapa orang saja yang mampu melakukan Pembahasan pemikiran
secara mendasar, sebagai pengganti/alternatif terhadap peranan
kekuatan yang bersifat fisik, mereka ini adalah Alexander, Machiavelli,
Lenin Hard dan Mao.

4) Strategi Penangkalan dan Strategi Tempur (deterrent and


combative strategy). Pendekatan lainnya dalam strategi adalah suatu
pasangan pendekatan ialah apa yang disebut strategi penangkalan
(deterrent strategy) dan strategi tempur (combative strategy) yang
pertama bertujuan untuk mencegah perang atau membatasi luas
lingkup perang yang kedua untuk melaksanakan jika terjadi pecah
perang (jika memang dianggap perlu untuk perang).

a) Sejak tahun 1945, beberapa pemikir terkemuka di dunia


telah berusaha dalam menghadapi berbagai masalah untuk
mencegah perang nuklir. Hanya sedikit sekali para pemikir yang
berupaya dalam memecahkan cara untuk mencegah perang
nuklir yang tingkat pelibatannya masih jauh dibawah ukuran
perang tanpa batas (Low intensive conflicts).

b) Beberapa orang terkemuka berkeyakinan bahwa


revolusioner tidak mungkin untuk dicegah karena para
pembangkang atau pemberontak dari semula telah menyadari
bahwa kekuatan senjata dan tenaga manusia yang mereka
miliki jauh dibawah kekuatan lawannya dan merekapun telah
bertekad pula untuk memikul segala konsekuensinya.

c) Pendapat lainnya tidak begitu pesimistis, mereka


berpendapat bahwa para pemikir strategi dimasa yang akan
datang akan mampu memecahkan masalah tersebut. Sementara
itu sebelum dapat dinyatakan adanya suatu strategi perdamaian
yang kekal atau strategi pencegah perang (Zerowar strategy)
dalam hal ini adalah suatu tugas yang tidak ringan (tanpa
kesediaan kerja sama dipihak lawan) maka selama itu pula
strategi perang (war fighting strategy) akan tetap dipertahankan.

5) Strategi senjata penangkal dan strategi penghancur massal


(counter force countervalue strategies). Terdapat pandangan yang jauh
berbeda antara dua pemikir strategi ialah antara strategi senjata
penangkal disatu pihak (counter force strategy) dan strategi
penghancur massal (countervalue strategy) dipihak lain, terutama
dalam hak penyelenggaraan perang nuklir umum (general nuclir war).
290

Disatu pihak lebih mengutamakan cara penghancuran massal


terhadap kota-kota besar (countervalue kadang-kadang disebut juga
counter city), yang diperkirakan akan mengakibatkan pengorbanan
yang tidak mungkin dapat diterima oleh penduduk preman dan
potensi industri lawan. Tujuannya adalah untuk memantapkan suatu
keseimbangan dalam kecemasan (Balance of terror), agar dengan
demikian dapat melenyapkan bahaya ancaman suatu perang nuklir
bagi kedua pihak. Pandangan yang bernada skeptis mengemukakan
bahwa perlu dicarikan upaya karena tanpa senjata penangkal balas
dan hanya dengan mengancam lawan saja maka upaya gagal. Untuk
itu mereka lebih menyukai penggunaan senjata penangkalan terhadap
lawan. Operasi pencegahan dan tindakan mendahului lawan, agar
selalu memegang inisiatif, merupakan pilihan yang perlu untuk
dipertimbangkan, demikian juga dengan upaya untuk membatasi
kehancuran dipihak sendiri terhadap akibat tindakan lawan.
Pendekatan strategi senjata penangkalan (counter force) dan senjata
penghancur massal (countervalue) secara murni kiranya tidak dapat
dilaksanakan meskipun para penganjur yang berpendirian dogmatis
akan menyangkalnya. Pada akhirnya beberapa konsep pemikiran jalan
tengah dikembangkan lebih lanjut.

d. Mazhab Strategi.

1) Strategi Militer. Perkembangan sejarah dan teknologi telah


mempengaruhi pemikir-pemikir dalam masalah strategi dari sudut
pandang yang satu sama lain berlawanan, Kelompok mazhab tersebut
terbagi atas :

a) Mazhab Kontinental. Adalah penganjur kekuatan matra


darat, pengikut terdekat Von Clausewitz yang cenderung
membagi dunia dalam kawasan perang secara terpisah. Mereka
beranggapan bahwa penghancuran kekuatan darat musuh
adalah tujuan akhir dari perang. Angkatan Laut dan Angkatan
Udara hanya berperan untuk pengangkut pasukan-pasukan ke
medan perang dan membantunya setelah pasukan sendiri
mendarat dikawasan perang tersebut.

b) Mazhab Maritim/Bahari. Mazhab ini diprakarsai


pandangan Strategi Alfred Thayer Mahan (1840-1914) penulis
The Influence of Seapower upon Hictory (1660-1973) yang
mengemukakan bahwa siapa yang menguasai ketujuh lautan
dunia maka ia dapat memastikan kemenangan dipantai daratan
lawan. Tujuannya adalah menguasai jalur/selat penting
dilautan dan menutup titik penting yang dapat memaksa
kekuatan bahari lawan. Kekuatan darat kemudian dapat
dikalahkan dengan tekanan tidak langsung, termasuk blokade
atau dengan penyerangan terhadap sasaran tertentu didaratan.

c) Mazhab udara/dirgantara. Mazhab udara atau dirgantara


dipelopori oleh Gulilio Douhet dalam karya tulisnya berjudul The
Command of the air (diterbitkan pada tahun 1921), yang telah
meletakkan dasar mengenai teori pemboman strategis. Dasar
pemikirannya adalah bahwa kekuatan udara tanpa dibantu
ataupun dilindungi akan sangat menentukan peranannya. Bila
Angkatan Udara diberi kebebasan, maka cara perang diudara
291

maka semua potensi perang lawan akan dapat dihancurkan


terutama pusat pemukiman penduduk yang padat dan pusat
industrinya, kesemuanya adalah menjadi tugas dan peranan
Angkatan Udara.

d) Mazhab Revolusioner adalah mazhab ke empat, sifatnya


tidak konvensional Baru muncul belum lama berselang, para
pengajurnya adalah Mark, Lenin, Mao Ho Chi Minh, Che
Guevara dan Nguyen Giap. Bila mazhab darat, bahari dan
dirgantara yang diutamakan adalah kekuatan militer, maka
mazhab revolusioner berpandangan bahwa perang kekuatan
yang pokok adalah dalam faktor psykologis, social dan politis.
Mereka lebih mengutamakan cara pendekatan tidak langsung,
kumulatif dalam arti kemenangan diperoleh secara bertahap.
Mazhab revolusioner jarang melancarkan serangan besar-
besaran seperti yang dianjurkan mazhab pengikut Clausewitz.
Kemenangan Von Nguyen Giap di Dien Bien Phu tahun 1954,
serangan tahun baru Tet tahun 1968 dan invasi besar-besaran
pada tahun 1975, ke Vietman Selatan adalah suatu
pengecualian dari teori perang revolusioner.

Diperlukan suatu pandangan yang merangkum seluruh


mazhab adanya suatu pendapat bahwa pandangan atau
pemikiran ke empat mazhab mempunyai kelebihan masing-
masing, mungkin suatu pendapat yang tepat. Karena semuanya
tidak menjangkau seluas pemikiran Strategi Raya (Grand
Strategy). Pandangan mazhab revolusioner agak mendekati
strategi raya, namun dalam lingkup yang lebih spesifik yang
diperlukan adalah suatu pemikiran yang menyeluruh, yang
dapat mengendalikan segenap unsur kekuatan nasional
(National Power) dalam berbagai corak dan ragamnya. Agar
senantiasa dapat mengalihkan pusat kekuatan strategi
(Strategic center of gravity), terhadap lawan sehingga dapat
menjamin kepentingan nasional secara lebih menguntungkan.

e. Teori The Strategic Centre of Gravity (Clausewitz).

1) Teori ini mengandung petunjuk tentang bagaimana cara


pemberian bobot terhadap sasaran perang yang dapat mengakibatkan
atau menghasilkan kerusakan fisik maupun psikis dengan cara yang
paling efektif untuk mengakhiri perang dimana tujuan perang dapat
tercapai. Pada dasarnya perang akan berakhir, bila kerusakan yang
diderita salah satu pihak, apakah korban manusia baik kerusakan
material maupun moril telah sangat mengurangi kemampuan untuk
melanjutkan upaya perang. Namun demikian dengan perkembangan
hakekat perang yang dilatar belakangi oleh aspirasi dan cita-cita
rakyat yang menghendaki kemerdekaan, maka teori perangpun telah
menjadi usang (basi). Bahwa kerusakan fisik tidak menjamin lawan
akan menyerah, hal ini disebabkan cita-cita manusia lebih langgeng
dan bisa diteruskan oleh orang lain, walaupun ragamnya yang bersifat
fisik telah dihancurkan. Dengan demikian, penghancuran total harus
dilakukan melalui penghancuran fisik dan penghancuran jalan pikiran
orang.
292

2) Dalam hal ini Clausewitz mengemukakan bahwa sasaran perang


dapat ditentukan di medan perang (battefishd) dan dapat pula
diarahkan pada jalan pikiran orang (mind of the people). Kerusakan
yang ditimbulkan terhadap sasaran, pertama adalah fisik (physical
demage) sedangkan kerusakan kedua yang dapat ditimbulkan
terhadap sasaran adalah kerusakan psikologis/moral (psychological
damage). Tentunya akan lebih dahsyat lagi kerugian yang diderita
lawan bila the strategic centre of gravity sasaran secara simultan
diletakkan bersamaan, yang sekaligus bisa menghasilkan kehancuran
fisik dan psikis pada waktu yang sama.

3) Strategi demikian sama-sama dianut oleh dua negara Super


Power (Amerika Serikat dan Uni Soviet) melalui strategi penghancuran
sarana militer (counter force) dan strategi penghancuran massa
(countervalue), yang pada dasarnya menghasilkan keseimbangan
dalam kecemasan. Penguasaan jalan pikiran orang (mind of people)
dilaksanakan dengan menteror pikiran orang, bukannya dengan
menjual ide-ide yang lebih baik untuk mempengaruhi jalan pikiran
orang pada waktu itu. Targetting sasaran nuklir ke pusat penduduk
sipil dan pusat perindustrian pihak lawan, sengaja diumumkan untuk
membangkitkan ketakutan pada pihak lawan, sehingga pihak lawan
tersebut tidak akan berani memancing atau melancarkan peperangan.

Semenjak kedua super power mempunyai kemampuan


gempuran dua (second strike) terjadilah dampak penangkalan secara
timbal balik (mutual deterrent) karena kedua-duanya berada pada
keadaan seimbang dilihat dari kemampuan nuklir, maka lahirlah
peredaan ketegangan (detente) maupun kemacetan nuklir (nuclear
stalemate) Uni Soviet dalam implementasi mempengaruhi jalan pikiran
orang tersebut mampu menggunakan dua cara, yang pertama seperti
Amerika Serikat melalui penyebaran ideologi komunis. Dengan
demikian, posisi Uni Soviet dalam hal mempengaruhi jalan pikiran
orang mempunyai kelebihan cara daripada Amerika Serikat sehingga
setiap terjadi revolusi, sudah dapat dipastikan bahwa perang tersebut
sebagian besar didukung dan diilhami oleh pihak komunis (Uni Soviet
dan atau oleh RRC).

f. Pengaruh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

1) Ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh yang


besar strategi militer dan terhadap kemampuan atau postur strategi
militer, yang dimulai sejak revolusi industri + 1840.

a) Pada tahun 1860 penemuan jalan kereta api, kapal mesin


uap dan penyempurnaan senjata api telah memungkinkan
pengangkutan, pemindahan pasukan serta bantuan logistik
dalam jumlah besar dengan menempuh jarak yang jauh.

b) Pada tahun 1875-1910. Perkembangan industri listrik,


industri kimia dan mesin pemakai bahan bakar (combustion
engine) menghasilkan kapal selam, pesawat terbang tempur dan
tank yang digunakan pada perang dunia I (1914-1918).

c) Pada Perang Dunia II (1939-1945) dengan segala


kemajuan dibidang teknologi yang telah disempurnakan sejak
293

PD I, maka perang berkecamuk di seluruh dunia kecuali di


Benua Amerika Serikat dan Australia.

2) Pengaruh teknologi terhadap strategi tidak hanya memperluas


wilayah perang serta memungkinkan pengerahan sumber daya
lainnya dalam jumlah besar dilakukan dalam tiga dimensi (Darat,
Laut, Udara) untuk itu diperlukan pula sarana telekomunikasi yang
luas dan kompleks bagi pengomandoan dan pengendalian seluruh
upaya perang diseluruh kawasan dunia.

a) Tank dikerahkan dalam satuan divisi dan Panser Armed.

b) Satuan pesawat terbang tempur dan pembom dalam


jumlah besar.

c) Pendaratan amfibi di Kawasan Pasifik, Laut Tengah dan


Laut Atlantik Utara.

d) Peranan kapal selam dan anti kapal selam lebih


meningkat.

e) Untuk upaya perangnya Amerika memproduksi 10 kapal


tempur, 18 kapal induk (pengangkut pesawat terbang) 303.000
senapan M-1.

f) Produksi perang Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Jepang


dan Rusia akan menambah angka tersebut dengan jumlah yang
sangat mengesankan.

3) Pengaruh teknologi terhadap strategi mempunyai pengaruh


timbal balik, karena pemikiran strategi akan mendorong pula pada
penemuan dan penyempurnaan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, beberapa contoh diantaranya :

a) Penyempurnaan senapan mesin dan gas racun dalam


perang parit.

b) Penemuan tank sebagai kendaraan untuk menembus


pertahanan lawan.

c) Penemuan kapal selam untuk menembus blokade laut.

d) Penggunaan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki untuk


memaksa Jepang menyerah.

e) Kapal selam nuklir USA untuk peluncuran Rudal Balistik


(Submarine Launched Ballistic Missile) jenis polaris dan
Posseidon untuk menghindarkan deteksi tempat peluncuran
(silo’s) ICMB didaratan USA oleh Uni Soviet.

4) Pengaruh teknologi senjata nuklir terhadap strategi. Meskipun


strategi yang menyangkut penggunaan tenaga nuklir untuk maksud
tertentu kekerasan sebetulnya masih termasuk lingkungan strategi
militer namun sifatnya yang khas serta pengaruhnya yang begitu luas,
maka dampaknya terhadap strategi dan perang harus dikaji dalam
pembahasan tersendiri
294

a) Karena daya hancurnya yang begitu dahsyat, maka


pengaruhnya tidak hanya sekedar sebagai penemuan teknologi
baru, seperti halnya dengan penemuan tank pada PD I oleh
karena itu masalah harus diberi katagori sendiri.

b) Dalam lingkup politik internasional maka para ilmuwan


harus lebih mencurahkan perhatiannya secara tekun dan
sungguh-sungguh untuk mencegah setiap kemungkinan
terjadinya perang atau setidak-tidaknya membatasinya,
khususnya terhadap perang umum dengan senjata Thermo
nuclear.

c) Dikalangan militer berkembang suatu pemikiran


mengenai peranan militer bahwa fungsi utama adalah agar
pihak yang akan diperkirakan menjadi lawan dapat dicegah
menggunakan kekuatan militernya dengan melalui suatu upaya
yang disebut strategi penangkalan (deterrence strategy), dengan
lain perkataan kekuatan militer fungsinya adalah untuk
mencegah terjadinya perang dan mempertahankan situasi
damai.

22. Penerapan Azas Perang Dalam Strategi.

a. Para ahli strategi.

Para ahli strategi demikian pula halnya dengan para pemikir dibidang
taktik, pada waktu itu mereka harus menempuh perjalanan di suatu daerah
yang belum terjamah dan serba samar-samar keadaan lingkungannya, maka
mereka dengan sadar atau tidak sadar telah mendapat petunjuk dan
bimbingan dari apa yang disebut azas-azas (prinsip) perang ialah suatu
himpunan azas, hasil pemikiran sejak berabad-abad sebelumnya.

1) Tokoh perintis azas-azas (prinsip) perang. Azas-azas perang


menurut Napoleon adalah azas yang telah memberikan pedoman atau
bimbingan kepada para Panglima dan mereka mewariskan
keberhasilannya melalui catatan sejarah kepada kita sekalian. Mereka
itu adalah Alexander, Hannibal, Caesar, Gustavus Adolf Adolfhus,
Turene, Pangeran Eugene dan Frederick Agung. Sejarah
peperangannya yang dicatat secara cermat merupakan suatu studi
lengkap mengenai seni perang, azas-azasnya terurai secara jelas dapat
dijadikan pedoman untuk tujuan perang ofensif maupun defensif.

2) Namun sangat disayangkan bahwa para ahli strategi pada masa


itu, yang telah memberikan nilai arti bagi azas-azas tersebut, mereka
tidak membuat suatu catatan yang teratur, oleh karena itu maka
sumbangan mereka masing-masing dapat menimbulkan tafsir yang
terlalu luas, bahkan hasil tulisan riwayat hidup mereka oleh para
sejarah makin mempertajam perbedaan penilaian masing-masing.

3) Azas-azas perang yang khas diperkirakan berasal dari


Clausewitz, yang telah merumuskannya dalam lima buah azas ditulis
dalam suatu memorandum untuk disampaikan kepada putra mahkota
Prussia tahun 1812. Azas tersebut untuk pertama kali diedarkan
sebagai lampiran dari himpunan karya tulisnya yang berjudul On war
(judul aslinya Von Kruge). Tiga azas lainnya yang dapat diangkat
295

sebagai unsur tambahan muncul dalam buku III dengan judul yang
sama. Macinder, Mahan, Foah, Douhet dan Lenin memberikan
sumbangan tambahan azas berikutnya. JC. Fuller telah mempelopori
pengabdopsian azas bagi Amerika yang berlaku sampai sekarang ini,
untuk pertama kali ditentukan dalam publikasi War Departement
Training Regulation 10-5 pada tahun 1921. Azas-azas perang yang
dianut oleh suatu negara berbeda dengan negara lainnya. Britania
Raya (Inggris) misalnya mempunyai sepuluh azas, Uni Soviet (Rusia)
hanya mempunyai lima. Selanjutnya masih terdapat beberapa
perbedaan dengan negara lainnya. Pada tahun 1947 waktu terjadi
pemisahan Angkatan Udara dari Angkatan Darat USA menjadi
Angkatan yang berdiri sendiri, maka asas perang Angkatan Darat USA
yang semula sebagai Angkatan Azas Koordinasi diganti azas kekuatan
Komando sedangkan Angkatan Udara sebagai angkatan yang berdiri
sendiri tetap menggunakan azas koordinasi kendatipun demikian
beberapa azas lainnya yang masih tetap valid untuk tetap
diberlakukan. Ada beberapa azas yang nampaknya menonjol dalam
perbedaan dengan lain negara ialah RRC umpamanya, mengajukan
asas pemusnahan (annihibatio) sebagai suatu azas yang sama sekali
bersesuaian dengan versi azas negara lainnya.

b. Kegunaan azas-azas perang.

1) Kegunaan dari setiap azas perang telah sejak lama


dipermasalahkan orang, beberapa ahli pikir meragukan arti
kegunaannya termasuk diantaranya Liddell Hart sendiri (meskipun ia
sendiri mengajukan beberapa azas) antara lain ia mengemukakan
Kecenderungan dari abad modern sekarang ini adalah untuk
menemukan azas perang yang dapat diungkapkan dalam suatu patah
kata untuk kemudian dapat diurai dalam ribuan kata lebih
menjelaskannya. Meskipun demikian azas-azas ini masih demikian
abstrak sehingga dapat ditafsirkan lain oleh tiap-tiap orang, dan arti
dari tafsir itupun tergantung pada sejauh mana masing-masing orang
mempunyai pengertian masalah perang. Semakin jauh orang mencari
abstraksi dalam sekian banyak kemungkinan masalah yang dikajinya,
maka semakin tergambar ketidakjelasan manfaat kegunaannya
kecuali untuk kegiatan intelektual tertentu.

2) Memang benar tidak satupun dari azas (perang) tersebut dapat


dirubah atau diganti seperti halnya dengan hukum ilmu fisika ilmu
ekonomi dan pengetahuan alam lainnya dimana masing-masing
hukum tersebut hanya dapat diterapkan dalam suatu kondisi tertentu
dan hasil tertentu pula. Azas-azas tertentu bukan suatu ketentuan
yang demikian ketat sehingga mengakibatkan suatu kerugian tertentu
bagi setiap pelanggaran yang dilakukan terhadapnya.

Tidak semua azas dapat diterapkan secara tepat dan sama bagi
setiap keadaan, sedangkan azas yang satu nampaknya seperti bertolak
belakang terhadap azas lainnya. Namun demikian azas-azas perang
tersebut dapat dipakai sebagai ceklist yang praktis dalam membuat
perkiraan keadaan yang tepat, oleh para pengkaji dan perumus dalam
menyusun teori, konsepsi dan perencanaannya masing-masing,
asalkan mereka mampu mengolahnya secara tepat dan cermat. Dalam
mengetrapkan azas tersebut mereka harus sadar bahwa tidak pernah
296

terjadi dua peristiwa yang benar-benar sama dan karena itu pula maka
azas tersebut harus benar-benar tepat penerapannya.

3) Masalah yang bersangkutan dengan azas-azas perang. Dari


uraian yang disingkat dapat ditarik pelajaran sebagai suatu
kesimpulan bahwa ; seorang ahli strategi yang berhasil tak pernah
secara sadar melanggar azas-azas perang, kecuali setelah memper
timbangkan berbagai resiko dan memperhitungkan pengorbanan yang
mungkin akan dideritanya. Bagi mereka yang berminat untuk
menggunakan azas-azas perang tersebut sebagai tolok ukur bagi
setiap konflik atau ketegangan internasional yang terjadi dalam
rangkaian peristiwa sejarah, maka ia akan menyimpulkan bahwa
azas-azas perang tersebut, meskipun mendapatkan kritik yang telah
dilontarkan terhadapnya ternyata tetap berguna dan bermanfaat.
Catatan peristiwa sejarah telah membuktikan bahwa memperoleh
kemenangan di medan perang adalah mereka yang benar-benar
memperhatikan azas-azas perang tersebut. Mereka yang kalah
ternyata tidak terkecuali mereka yang menderita kalah karena ketidak
seimbangan yang begitu menyolok dalam kekuatan tenaga dan
material terhadap lawannya.

4) Untuk berabad-abad lamanya azas perang dipelajari terutama


hanya oleh para ahli taktik militer saja. Para ahli strategi raya harus
memiliki azas-azas khusus yang diperlukan, ialah dalam hal
menginterelasikan antara tujuan dan sarana pada tingkat nasional,
dan harus memperhatikan pula berbagai pertimbangan terhadap
banyak masalah lainnya disamping masalah angkatan bersenjata.
Pilihan azas-azas tersebut dibawah ini dihimpun dari azas yang telah
dimodifikasikan dan dianggap valid untuk diterapkan atas suatu
urutan secara khusus kecuali urutan untuk urutan ke 1 sampai
dengan 4.

a) Tujuan

b) Inisiatif

c) Fleksibilitas (kekenyalan)

d) Pemusatan

e) Penghematan

f) Manuver

g) Pendekatan

h) Eksploitasi

i) Pengamanan

j) Kesederhanaan

k) Kesatuan

l) Moril
297

23. Peranan Pra Peranggapan dan Analisa Ancaman Serta Pilihan Strategi.

a. Peranan Pra Peranggapan.

1) Dengan peranan pra anggapan kita dibawa untuk memahami


cepat tentang pra anggapan (asumsi), dimana asumsi dengan segala
segi positif maupun negatif, akan memandu hampir setiap keputusan
strategi. Dengan pra anggapan tersebut, sebenarnya benih keberhasil
an maupun kegagalan telah ditanamkan. Biasanya bagi pemikir-
pemikir yang suka memimpikan keindahan dan tidak suka membahas
masalah yang nyata maka ia membuat suatu pra anggapan yang
menetralisir kesulitan, sebaliknya pemikir-pemikir pesimistik
membuat pra anggapan demikian rupa sehingga akan menyebabkan
meroketnya biaya. Peranan pra anggapan dari segi lain adalah
menyangkut keberlakuan (vitalitas) perencanaan strategis itu sendiri.
Banyak pra anggapan kadang-kadang dapat diterima sebagian
meragukan sehingga akan menambah sampai detail daftar lampiran
pra anggapan, yang masing-masing akan mempengaruhi pendekatan
strategi dengan disertai kekhasan masalahnya sendiri.

2) Contoh dari beberapa pra anggapan yang menggambarkan


aneka ragam pendapat yang memadai strategi kontemporer yang
diperdebatkan di Amerika Serikat.

a) Kekuatan (tidak) diabaikan sebagai politik luar negeri.


b) Amerika Serikat (tidak) perlu menjadi super power nomor 1.
c) Kebutuhan dalam negeri (tidak) merupakan prioritas
diatas kebutuhan pertahanan.
d) Peredaan ketegangan (tidak) merupakan refleksi dari
itikad baik Soviet.
e) Perpecahan Uni Soviet (tidak) bersifat permanen.
f) Superioritas nuklir Amerika Serikat (tidak) mutlak
diperlukan.
g) Perang nuklir terkendali (tidak) mungkin terjadi.
h) Sekutu Amerika Serikat (tidak) menghendaki pertahanan
kolektif.
i) Amerika Serikat berupaya (tidak) menjadi Polisi Dunia.
j) Bantuan AS (tidak) hanya terbatas kepada rezim-rezim
demokrasi.
k) Asia supaya (tidak) mendominasi strategi regional AS.
l) Waktu (tidak) difikasi kita dalam perjuangan ideologi.
m) Pertimbangan anggaran supaya (tidak) mengatur strategi.
n) Kekuatan komponen cadangan (tidak) merupakan
keharusan Jepang.
o) Armada permukaan air (tidak) using.
298

b. Analisa Ancaman dan Pilihan Strategi.

1) Upaya pertahanan mutlak memerlukan intelijen kepentingan


pertahanan, tujuan nasional dan kebijaksanaan nasional harus
senantiasa dirumuskan atas dasar hakekat ancaman yang akan
dihadapi, dengan bahasa lain dapat ditegaskan bahwa membicarakan
strategi akan tidak berarti bila tidak berbicara tentang ancaman.
Hakekat ancaman meliputi baik ancaman dari luar maupun dari
dalam negeri. Ancaman militer adalah ancaman yang pertama paling
mudah diketahui dan paling mudah dilawan. Ancaman militer bersifat
langsung terbuka dan semua pihak berada pada masing-masing posisi
yang cukup diketahui. Ancaman dalam bentuk paksaan (coersion) dan
bentuk diam-diam (terselubung) bersifat tidak langsung sama
efektifnya dengan ancaman militer, tetapi jauh lebih sulit untuk
dihadapinya. Penipuan dan penyesatan (deception) dilakukan sebelum
kuda troya yang tidak kalah hebatnya dari komplotan dan
persekutuan rahasia yang dilakukan tidak tertentu. Wibawa dan
kepentingan nasional dapat terancam baik oleh kekuatan bersenjata,
yang akibatnya sama berat resikonya.

2) Evaluasi ancaman. Pertimbangan ditentukan oleh 3 hal yaitu


kemampuan musuh, intensitas musuh dan kerawanan musuh.

a) Kemampuan musuh. Pengkajian tentang apa yang bisa


dilakukan musuh, yang berlingkup strategi tanpa merusak
struktur sosial ekonominya atau membahayakan kepentingan
vitalnya. Kemampuan adalah suatu totalitas dari kekuatan
nasional, ideologi politik, ekonomi, sosial budaya, militer, ilmu
pengetahuan, teknologi, psikologi moral, geografi dan lain
sebagainya dipadukan dalam satu aplikasi yang tepat.
Kemampuan relatif tidak mudah berubah dengan cepat, dan
dapat diukur, direncanakan dan dianalisa secara obyektif.

b) Intensitas Musuh. Intensitas bersangkutan dengan


penentuan suatu negara dalam melaksanakan suatu rancangan
tertentu, berbeda dengan kapabilitas, intensitas tidak dapat
diperbandingkan seperti kemampuan, oleh karena pada
hakekatnya intensitas adalah keadaan batin, berupa semangat,
keinginan yang sifatnya subyektif, maka disembunyikan dan
peka terhadap perubahan. Dibentuk oleh kepentingan tujuan,
kebijaksanaan, serta strategi yang kadang-kadang tidak pernah
dan tidak akan diucapkan dengan nyata.

c) Kerawanan musuh. Kerawanan adalah keadaan suatu


bangsa yang dipengaruhi oleh faktor yang dapat mengurangi
potensi perangnya, efektifitas tempurnya, atau menghilangkan
kemauannya untuk meneruskan perjuangannya. Untuk
keperluan para ahli strategi, kerawanan harus dinyatakan
secara spesifik dan yang vital. Ada kaitannya dengan pemusatan
daya kekuatan strategi (strategy centre of gravity), seperti pusat
penduduk, pusat industri dan sasaran strategi lainnya.

3) Pada umumnya strategi adalah seni dan ilmu dari cara memilih
beberapa pendekatan strategi (strategic option), keberhasilan dalam
pencapaian tujuan nasional sesuatu negara itu sendiri. Oleh
299

karenanya strategi (Raya/nasional) adalah ilmu negarawan. Intuisi


dan judgment yang disertai analisa ilmiah tidak hanya mendasarkan
pada pengetahuan yang berorientasikan kepada referensi saja, namun
pada keseluruhan sudah merupakan seni tersendiri, oleh karena itu
pula adalah merupakan suatu pengertian yang salah bila menganggap
bahwa strategi negara lain bisa diterapkan oleh negara lainnya.
Kenegaraan Rosevelt adalah tidak sama dengan kenegaraan Stalin,
dan hal ini bisa dilihat dari cara-cara kedua negarawan tersebut,
mengimplementasikan strateginya untuk mencapai tujuan nasional
nya masing-masing yang tentunya berbeda pula.

4) Pilihan strategi mempunyai dampak terhadap postur negara itu


sendiri. Apakah menjadi negara agresif atau defensif, sangat
ditentukan oleh pilihan strategi yang ia pilih. Kadang-kadang suatu
negara memilih lebih dari satu pilihan strategi ataupun memilih
pilihan strategi untuk jangka panjang waktu tertentu, sesuai ancaman
yang dihadapi, dapat juga pilihan strategi diambil karena
dihubungkan dengan keperluan untuk menjawab matrik startegi yang
terdiri atas kepentingan tujuan/sasaran, kebijaksanaan dan
strateginya sendiri. Banyak sekali kombinasi strategi dibawah ini yang
membuat pasangan tiada lain dimaksudkan untuk memberi
penjelasan yang kontras, setelah salah satu strategi dari pasangan
strategi tersebut diputuskan sebagai strategi nasional suatu negara.

a) Perang Ofensif atau perang defensif

b) Perang mendahului serangan lawan (preemptive) atau


gempuran kedua

c) Pembalasan massif atau penanggapan secara responsive


d) Bala kekuatan tetap (forces in being) atau mobilisasi cepat
(rapid mobilization)

e) Perang regional atau perang umum

f) Perang kilat (blitzkrieg) atau perang penggerogotan


(attrition)

g) Pengerahan angkatan atau subversi bersenjata (armed


strike)

h) Perlawanan pasif atau perlawanan aktif

i) Isolationis atau keamanan kolektif

j) Senjata penangkalan (counter force) atau senjata


penghancur (countervalue) massal

k) Eskalasi terkendali (controlied escalation) atau serangan


mendadak besar-besaran (intesive attack). Amerika Serikat
misalnya mengembangkan strategi global dan strategi regional
secara simultan. Sebagai pemimpin dari kekuatan dunia ia
mengembangkan strategi khusus untuk setiap kawasan yang
tetap dikaitkan dengan kepentingan nasional dan global AS.
300

24. Pendekatan Langsung Dan Tidak Langsung Serta Operasi Garis Dalam
Garis Luar.

a. Umum.

Pada dasarnya manusia dalam melakukan kegiatannya untuk


mencapai tujuan, dapat mempergunakan dua cara yang selalu tersedia yaitu
cara atau metoda langsung dan tidak langsung. Salah satu metoda ini dapat
dipilih sesuai dengan keadaan dan suasana. Sekalipun ada dua metoda,
namun kedua metoda ini tidak dapat dipisahkan. Melalui tidak langsung,
yang langsung menemukan jalanya, kata Shakespeare. Ini dapat ditafsirkan
bahwa dalam metoda langsung juga tersimpul yang tidak langsung atau
bahwa metoda langsung perlu dibantu oleh yang tidak langsung, jelas bahwa
didalam metoda langsung dapat tersimpul yang tidak langsung dan
sebaliknya. Dihubungkan dengan penyelenggaraan perang, dapat kita lihat
ucapan Sun Tzu, kurang lebih 2000 tahun yang lalu sebagai berikut dalam
semua perkelahian, metoda langsung dapat digunakan untuk mengadakan
pertempuran, tetapi metoda tidak langsung akan diperlukan untuk
menjamin kemenangan. Ucapan ini menunjukkan, sekalipun metoda
langsung dapat digunakan untuk mengadakan pertempuran, untuk
menjamin kemenangan diperlukan pula metoda tidak langsung.

Pendekatan tidak langsung ini dapat digunakan baik pada tingkat


penyelenggaraan perang maupun penyelenggaraan operasi militer. Tentang
ini Andre Becaufre menggunakan istilah strategi langsung dan strategi tidak
langsung dalam bukunya An Introduction to Strategy. Ia menyatakan bahwa
dalam strategi tidak langsung keputusan dicari tidak secara langsung
menggunakan pertempuran oleh bala tentara tetapi dengan metoda yang
kurang langsung. Sifatnya dapat politik atau ekonomi atau dapat pula
menggunakan bala militer tetapi diselingi dengan perundingan-perundingan
politik (sebagai contoh ia kemukakan strategi Hitler dari tahun 1936 hingga
1939). Kedua model ini akan tetap ada dan akan saling isi mengisi.

b. Sejarah dan perkembangan Strategi.

Ada ucapan yang menyatakan bahwa tidak ada yang baru di bawah
matahari, demikian pula dengan metoda tidak langsung. Pikiran-pikiran
tentang metoda tidak langsung ini, 2000 tahun yang lalu telah ditulis oleh
Sun Tzu dalam bentuk aphorism. Dalam tulisan itu banyak disinggung hal-
hal yang bersangkutan dengan metoda tidak langsung, baik dalam
hubungan dengan strategi maupun taktik. Juga sudah dipergunakan istilah
manuver langsung dan tidak langsung. Metoda tidak langsung ini telah
digunakan sepanjang sejarah. Hal ini diungkapkan Liddell Hart dalam
bukunya strategy. Dalam buku tadi diuraikan penggunaan metoda tidak
langsung ini dari zaman Yunani pada abad ke lima SM sampai ke zaman
Romawi dan pada zaman modern. Bahwa Sun Tzu telah menulis tentang
metoda ini, maka tidak mustahil bahwa di Daratan Asia metoda tidak
langsung ini telah pula dipergunakan.

Apakah metoda ini telah pula digunakan di Indonesia, pada abad-abad


yang lampau, masih perlu penyelidikan dan penelitian, dengan semakin
cepatnya perkembangan ilmu dibidang teknologi dan sosial, maka metoda
tidak langsung ini semakin mendapat perhatian. Perkembangan ini
membawa akibat semakin berkembangnya berbagai jenis kekuatan yang
dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai jenis pertikaian. Hal ini
301

semakin memberikan bermacam-macam variasi dalam menyelesaikan


pertikaian dan memberi lebih banyak untuk penggunaan metoda tidak
langsung. Pada hakekatnya metoda tidak langsung ini tidak lain daripada
pengaplikasian dari azas-azas perang, baik pada tingkat penyelenggaraan
perang maupun pada tingkat penyelenggaraan operasi militer, yang sangat
penting dari azas-azas perang dalam hubungannya dengan metoda tidak
langsung ini adalah azas tujuan, penghematan tenaga dan mobilitas, ini
tidak berarti bahwa azas lain-lainnya, umpamanya pendadakan tidak
penting.

c. Perbandingan Pendekatan langsung dan tidak langsung.

1) Untuk memberikan gambaran dan perbedaan tentang metoda


langsung dan tidak langsung, maka akan diuraikan beberapa ajaran
dari dua pemikir dari dunia yang berlainan (Eropa dan Asia) dan
zaman yang berbeda pula. Pemikir yang ajarannya akan dipakai
sebagai perbandingan adalah Sun Tzu, seorang prajurit praktis pada
abad ke 5 SM di Tiongkok dan Clausewitz, seorang prajurit filosof dari
Jerman (Prusia) pada abad ke 19 SM.

2) Clausewitz.

a) Clausewtiz menyatakan bahwa perang itu sesuatu


pertarungan secara ekstensif, dimana masing-masing pihak
yang bertarung berusaha dengan kekuatan fisik memaksa
lawannya tunduk kepada kemauannya, masing-masing
berusaha keras untuk merobohkan lawannya dan membuat
tidak mampu untuk melanjutkan perlawanan. Oleh karena itu
perang tidak lain adalah tindakan kekerasan untuk memaksa
lawan tunduk kepada kemauan kita. Kekerasan itu
mempersenjatai diri dengan berbagai penemuan dalam bidang
seni dan ilmu, agar mampu menghadapi kekerasan dari pihak
lain. Kekerasan yaitu kekerasan fisik (karena tidak ada
kekerasan moral tanpa adanya gambaran tentang negara dan
hukum) adalah sarananya. Memaksakan kemauan kita kepada
lawan adalah tujuan akhir. Untuk mencapai tujuan tadi, musuh
harus terlebih dahulu dibuat tak berdaya, dilucuti dan membuat
musuh tak berdaya, secara teori menjadi sasaran yang
sebenarnya dari segala tindakan perang (Clausewitz On War,
Book Ons, Chapter I, Prgr 2).

b) Penggunaan kekerasan tanpa batas. Sekarang ini para


Philantropis dengan gegabah membayangkan, bahwa dengan
metoda-metoda yang penuh kemahiran dan artistik dapat
melucuti dan mengatasi lawan tanpa pertumpahan darah terlalu
banyak, dan inilah merupakan kecenderungan yang sebenarnya
dari seni perang. Tetapi walaupun ini tampak masuk akal, ia
tetap merupakan suatu kesalahan yang harus dihilangkan
karena pada persoalan yang berbahaya yang timbul dari
semangat kebajikan adalah paling jelek (On War-Book One,
Chapter I Prgr 3).

c) Membuat musuh tak berdaya. Telah dikatakan bahwa


tujuan dari segala tindakan dalam perang adalah melucuti
musuh hingga tak berdaya dan ini setidak-tidaknya secara teori
302

adalah sangat dipergunakan (indispensable). Jika lawan hendak


dipaksa tunduk kepada kemauan kita, kita harus
menempatkannya pada suatu situasi sedemikian rupa hingga
terancam akan hancur, tetapi posisi musuh yang tidak
menguntungkan ini hendaknya sifatnya jangan untuk
sementara atau tidak kekal, jangan sampai yang mestinya ia
menyerah tetapi akan bertahan terus sampai ada prospek
perubahan yang menguntungkan baginya. (On War-Book One,
Chapter I Prgr 4).

d) Sarana dalam perang. Sehubungan dengan rencana


kampanye untuk menundukkan musuh, kita harus mem-
perhatikan tiga hal, yang merupakan tiga sasaran umum,
yaitu :

(1) Kekuatan Militer. Ini harus dihancurkan yaitu


ditempatkan dalam kondisi sedemikian rupa hingga tidak
mampu melanjutkan perlawanan, di sini makna dari
penghancuran tidak selalu hancurnya kekuatan militer
lawan secara fisik.

(2) Negara. Harus direbut atau diduduki, karena kalau


tidak, lawan masih dapat membangun kekuatan militer
baru. Pendudukan negara lawan juga dengan maksud
agar penduduk melihat bahwa perang tidak dapat
dimenangkan lagi.

(3) Kemauan lawan. Ini sangat penting karena itu


harus diusahakan agar kemauan lawan untuk melanjut
kan perlawanan ditundukkan, sebab kalau tidak maka
kegiatan permusuhan akan berlangsung terus, berarti
perang belum selesai, walaupun kekuatan militer telah
dihancurkan dan negaranya telah diduduki.

Dari tiga hal tadi, kekuatan militer adalah untuk


mempertahankan negeri. Jadi untuk menundukkan lawan
kekuatan militer ini yang terlebih dahulu dihancurkan,
kemudian negerinya diduduki dan seterusnya sebagai
kelanjutan dari kedua hasil itu hendaknya musuh diajak
membuat perdamaian. Pada umumnya penghancuran bala
musuh dilakukan tahap demi tahap dan pada tiap tahap
pendudukan negara lawan segera menyusul (Book One –
Chapter II hal 124). Kita hanya mempunyai satu sarana dalam
perang yaitu pertempuran. Pertempuran adalah satu-satunya
kegiatan dalam perang, didalam pertempuran ini penghancuran
musuh yang menghadapi kita adalah sarana untuk mencapai
tujuan. Akibatnya penghancuran kekuatan militer musuh
adalah batu pondasi dari segala aksi dalam perang (On War
Book One Chapter II hal 133). Dari sini dapat kita lihat bahwa
Clausewtiz berpendapat bahwa pertempuran adalah satu-
satunya sarana untuk menghancurkan musuh, ini ditarik
pendapatnya bahwa perang adalah tindakan kekerasan, dimana
kekuatan perlu digunakan dengan sepenuhnya. Pertempuran
selamanya termasuk dalam konsepsi perang dan semua akibat
yang dimanivestasikan didalamnya, asal mulanya dari
303

pertempuran. Segala sesuatu yang terjadi dalam perang, terjadi


melalui kekuatan militer, tetapi di mana kekuatan militer
digunakan, ide pertempuran harus mendasari segala-galanya.

3) Sun Tzu.

a) Seni Perang. Didalam seni perang yang terbaik adalah


merebut negeri musuh dalam keadaan yang utuh, menghancur
kan tidaklah menguntungkan. Oleh karena lebih baik menawan
seluruh tentara, resimen, detasemen atau kompi musuh
daripada mengahancurkannya. Karena itu berkelahi dan
merebut negeri musuh dalam pertempuran habis-habisan
bukanlah suatu keistimewaan supreme. Keistimewaan supreme
(yang tertinggi) terjadi bila dapat mematahkan perlawanan
musuh tanpa berkelahi.

b) Kepanglimaan. Bentuk tertinggi dari kepanglimaan ialah


dapatnya menggagalkan rencana-rencana lawan, kemudian
yang terbaik adalah mencegah penggabungan dari pasukan
pasukan musuh, yang berikut dalam urutan ialah menyerang
tentara lawan di medan, sedang kebijaksanaan terjelek ialah
mengepung kota-kota yang dijadikan perbentengan karena ini
akan menjadikan perang menjadi berkepanjangan dan
menyebabkan penderitaan itu didasarkan pada tipuan
(deception). Seorang Jenderal yang trampil harus menguasai
seni membuat tiruan (simulasi) dan pura-pura (dissimulation)
sebagai tambahan dari seni perang, sementara ia menciptakan
kondisi untuk mengacau dan memperdayakan musuh, ia
menyembunyikan disposisi yang sebenarnya dan maksud yang
sebenarnya. Juga selain yang telah di sebut diatas, pikiran dari
musuh merupakan sasaran penting terutama komandannya.
Serangan terhadap pikiran musuh ini disadari amat pentingnya
oleh Sun Tzu, terutama untuk dilakukan sebelum terjadinya
pertempuran.

c) Kemenangan tanpa perkelahian. Pemimpin yang ulung


menaklukkan pasukan musuh tanpa perkelahian, ia merebut
kotanya tanpa mengepungnya, ia menundukkan mereka tanpa
operasi-operasi berlarut di medan. Ia harus mampu meng
gagalkan rencana musuh dan memecah belah persekutuannya,
menciptakan celah-celah atau jurang pemisah antara raja dan
para menterinya, antara atasan (superior) dengan bawahan
(inferior), antara para komandan dengan para bawahannya.
Untuk ini diperlukan aktivitas dari para spion, agen dimana
mana yang mengumpulkan keterangan, menyebar luaskan
pertikaian dan mengasuh subversi. Musuh dibuat terisolasi dan
didemoralisasi hingga kemauan untuk melawan dipatahkan
agar pasukan musuh dapat ditaklukan tanpa pertempuran.
Kekerasan bersenjata digunakan bila musuh tidak dapat
ditaklukkan dengan sarana-sarana tersebut tadi, tetapi
pelaksanaannya hingga tercapainya kemenangan harus :
304

(1) Dalam waktu yang sesingkat mungkin

(2) Dengan biaya yang sekecil mungkin baik upaya


maupun jiwa manusia.

(3) Dengan menimbulkan kerugian yang sekecil


mungkin pada musuh.

Sun Tzu juga menyadari akibat dari perang terhadap


ekonomi, ia menyinggung masalah harga-harga yang naik,
tingkat keborosan, kesukaran pembekalan dan tidak dapat
dielakkannya pembebanan segala kesulitan itu pada rakyat.
Oleh karena itu perlu dihindari terjadinya perang yang
berkepanjangan. No country has ever benefited from a protracted
war, tiada negara yang mendapat untung dari perang yang
berkepanjangan.

d) Untung Rugi. Jangan bergerak kecuali melihat


keuntungan, jangan pergunakan pasukan kecuali jika ada
sesuatu yang akan diperoleh. Bergeraklah hanya jika benar
benar ada keuntungan yang akan diperoleh. Pikirkan masak
masak sebelum membuat gerakan. Disini hanya boleh
menyerang bila serangan tadi nyata-nyata akan menghasilkan
kemenangan. Dalam hal ini Sun Tzu menyatakan bahwa
sebelumnya harus diciptakan situasi yang menguntungkan tadi,
dan ini adalah tanggung jawab dari kepanglimaan.

e) Pertahanan dan Serangan.

(1) Pertahanan.

(a) Sejak dahulu para pejuang yang cakap


pertama-tama menempatkan diri sedemikian rupa
agar ada diluar kemungkinan akan dikalahkan dan
menanti saat musuh menjadi lemah yang
merupakan kesempatan untuk menyerang dan
mengalahkannya.

(a) Di luar kemungkinan dikalahkan terletak


pada pertahanan, kemungkinan untuk menang ada
pada serangan, orang bertahan bila kekuatan tidak
mencukupi ia menyerang kekuatannya berlebih.

(c) Untuk dapat kepastian tentang apa yang kau


serang adalah menyerang suatu tempat yang tidak
dipertahankan oleh musuh. Untuk dapat kepastian
tentang apa yang dipertahan kan adalah memper
tahankan suatu tempat yang musuh tidak
menyerang. Karena itu seorang panglima dikatakan
ulung dalam serangan bila lawannya tidak tahu apa
yang harus dipertahankan, dan ia adalah ulung
dalam pertahanan bila lawannya tidak tahu dimana
harus menyerang.
305

(2) Serangan.

(a) Didalam serangan pada umumnya,


kebijaksanaan paling baik adalah merebut suatu
negara secara utuh, menghancurkannya berada
dibawah (inferior) kebijaksanaan tadi. Menawan
tentara musuh adalah lebih baik daripada
mengahancurkannya. Karena itu memperoleh
seratus kemenangan dalam seratus pertempuran
bukanlah merupakan puncak kemahiran.
Menaklukkan musuh tanpa perkelahian adalah
puncak kemahiran.

(b) Jadi yang teramat penting dalam perang


adalah penyerangan strategi musuh, tingkat
penting berikutnya adalah mengacau persekutuan-
nya (mencegah bergabungnya musuh-musuh),
tingkat penting di bawahnya adalah menyerang
tentara musuh, yang paling jelek adalah menyerang
kota-kotanya. Menyerang kota-kota hanya bila tidak
ada pilihan (alternative) lain.

(c) Jadi mereka yang mahir dalam perang,


menaklukkan tentara musuh tanpa pertempuran,
merebut kota-kotanya tanpa menyerbunya dan
merobohkan negaranya tanpa operasi-operasi yang
berlarut. Tujuanmu seharusnya untuk mengambil
segala yang dibawah langit ini utuh. Jadi
pasukanmu tidak akan capek (aus) dan yang kau
dapat akan lengkap. Inilah seni dari strategi ofensif.

f) Metoda Langsung dan Tidak Langsung.

(1) Dalam pertempuran hanya dua metoda untuk


menyerang, langsung dan tidak langsung, meskipun
demikian yang dua ini dikombinasikan, memberi
kemungkinan untuk mengadakan sejumlah rangkaian
manuver yang tidak berakhir. Seperti gerakan dalam
lingkaran, tidak akan sampai kepada akhirnya.

(2) Metoda langsung tidak dapat dipergunakan untuk


mengadakan pertempuran, tetapi metoda tidak langsung
diperlukan untuk menjamin kemenangan.

(3) Taktik tidak langsung, jika diaplikasikan dengan


baik, tidak akan habis seperti langit dan bumi, tidak
berakhir seperti aliran bengawan, seperti matahari dan
bulan, mereka mengakhiri perjalanannya hanya untuk
memulai hal yang baru.

(4) Menjamin seluruh tentara anda dapat menahan


tekanan serangan musuh dan tidak goyang, diperoleh
dengan manuver langsung dan tidak langsung.
306

(5) Semua peperangan didasarkan pada penipuan.


Untuk itu bila ada kemampuan berbuatlah seperti tidak
mampu, bila sedang aktif, berbuat seperti tidak aktif. Bila
dekat buat seakan-akan anda berada pada jarak yang
jauh, bila pada jarak jauh, seperti anda dekat dengan
musuh. Munculah pada tempat-tempat yang harus
dipertahankan oleh musuh secara terburu-buru,
bergeraklah cepat-cepat ke tempat-tempat dimana tuan
tidak diduga.

(6) Pikirkan masak-masak sebelum membuat gerakan.


Siapa yang mempelajari seni menipu ialah yang menang.
Bermanuver secara taktis adalah merubah penipuan
menjadi langsung dan nasib buruk menjadi keuntungan.

25. Dasar Penyelenggaraan Perang.

a. Tujuan Perang.

1) Cita-cita Manusia. Pada dasarnya manusia mencita-citakan


perdamaian, kesejahteraan dan kesentosaan dan tidak menginginkan
perang dan ini adalah sesuai dengan budi nuraninya. Jadi pada
dasarnya ia tidak menginginkan perang, karena perdamaian akan
memberikan kepadanya keamanan dan kesentosaan sepanjang masa.
Pada kebanyakan bangsa, cita-cita semacam ini dinyatakan didalam
ideologinya. Penyimpangan daripada ini adalah bertentangan dengan
budi nurani manusia. Dalam usahanya untuk mencapai cita-citanya
guna mencapai kesejahteraan, suatu negara kadang-kadang berselisih
dengan negara lain. Perselisihan ini ada kalanya tidak dapat
diselesaikan secara damai, lalu timbulah perang. Kalau perang sudah
terjadi maka harus diusahakan juga dalam penyelenggaraan perang,
agar sesudah perang sedapat mungkin diciptakan suatu perdamaian
yang memberikan jaminan hidup lebih baik bagi masyarakat dan
negara.

2) Penyelenggaraan Perang. Dengan memperhatikan hal-hal


diatas, maka adalah sangat esensial didalam penyelenggaraan perang
untuk selalu memperhatikan perdamaian yang diinginkan. Ini berlaku
bagi semua bangsa, baik ia yang disebut agresor maupun yang disebut
bangsa cinta damai yang hanya berjuang untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya, walaupun pendapat mereka tentang
perdamaian itu akan berbeda. Tetapi bagaimanapun juga yang
menjadi tujuan ialah keadaan perdamaian yang lebih baik, sekalipun
ditinjau dari pandangan sendiri.

b. Alat mencapai tujuan politik.

1) Perang sebagai alat. Perang yang dilakukan oleh suatu


masyarakat selamanya timbul dari suatu kondisi politik dan
dilahirkan oleh suatu motif politik. Jadi asal mulanya perang adalah
karena adanya tujuan politik yang hendak dicapai. Disini dapat kita
lihat adanya motif politik pada perang, juga kita lihat perang sebagai
tindakan politik sebagai alat politik dengan alat-alat lain (Clausewitz
mengatakan perang adalah kelanjutan dari politik dengan sarana lain,
On War prgr). Harus pula disadari, bahwa perang adalah hanya salah
307

satu dari tindakan dan bentuk dalam hubungan politik, jadi perang
adalah salah satu sarana politik. Negara mempunyai berbagai macam
kekuatan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik.
Dalam bukunya Hakekat Perang dinyatakan bahwa negara dalam
usaha mencapai tujuan nasionalnya menggunakan :

a) Kekuatan politik, yang terdiri didalamnya antara lain


kualitas diplomasi, kualitas pemerintahan dan kekuatan sosial.

b) Kekuatan moril, termasuk didalamnya moral bangsa dan


berbagai sifat nasional.

c) Kekuatan fisik, didalamnya termasuk kekuatan militer,


ekonomi dan teknologi.

2) Perhitungan keuntungan dan kerugian. Didalam menentukan


sarana atau kekuatan mana yang akan dipergunakan untuk mencapai
tujuan politik, hendaknya diperhitungkan untung ruginya. Tujuan
yang hendak dicapai hendaknya memadai dengan biaya dan korban
yang diberikan. Perang sebagai tindakan politik meminta biaya dan
korban yang tidak kecil. Selain daripada itu kekerasan fisik adalah
suatu lingkaran vicious, atau suatu lingkaran spiral, lingkaran setan
karena kekerasan akan memancing dan menimbulkan kekerasan. Ini
dapat dicegah, hanya jika kegunaannya dikendalikan oleh perhitung-
an yang sangat seksama dimana alasan yang sehat dipergunakan.

3) Alat untuk mencapai tujuan secara damai. Tujuan utama damai


hanya dapat dicapai dengan menggunakan sejumlah sarana dan cara
damai, terutama bila menghendaki perdamaian yang lebih kekal, jaya
dan sempurna. Clausewitz mengatakan bahwa perang adalah lanjutan
dari politik dengan alat dan cara lain, ia tidak membenarkan pendapat
bahwa hubungan politik suatu negara harus tetap diliputi atau
dibayangi oleh ancaman perang. Sekalipun dikatakan bahwa tujuan
dalam perang adalah perlucutan musuh, tujuan ini tidak merupakan
kondisi yang harus ada untuk perdamaian.

4) Perang adalah alat terakhir. Berdasar berbagai alasan diatas,


maka untuk menyelesaikan suatu pertikaian atau untuk mencapai
suatu tujuan politik, perang hanya dipergunakan jika alat dan cara
lain tidak berhasil. Tentang ini Clausewitz berkata perang adalah jalan
terakhir untuk menyelesaikan pertikaian politik dan dipergunakan
hanya apabila jalan lain tidak memberi hasil. Bila terpaksa perang
harus dilakukan, hendaknya diselesaikan secepat mungkin, jangan
sampai berlarut-larut agar korban dan penderitaan dapat ditekan
serendah mungkin.

5) Kehancuran harus dicegah. Sejarah banyak memberi bukti dan


contoh bahwa banyak negara beradab yang runtuh. Kebanyakan
negara ini runtuh akibat kehabisan tenaga karena peperangan yang
lama, jadi karena kehancuran dari dalam, bukan karena serbuan dari
luar. Serbuan dari luar ini biasanya hanya merupakan pukulan
terakhir yang mematikan. Suatu keadaan antara perang dan damai
kerap kali membuat orang perorangan bingung menghadapinya.
Namun demikian keadaan seperti ini adalah lebih baik daripada
keadaan perang, yang dapat membuat bangsa itu kehabisan tenaga
308

dalam mengejar khayal kemenangan. Lagi pula keadaan ini


memungkinkan bangsa itu melaksanakan pembangunan dan
pengembangan kekuatan, sedangkan keperluan akan kesiapsiagaan
membuat bangsa itu tetap waspada.

c. Peranan Politik.

1) Jika strategi nasional adalah politik dalam pelaksanaan dan jika


perang dilahirkan oleh politik merupakan tindakan, alat dan lanjutan
dari politik, maka politik harus mengendalikan strategi nasional dalam
penyelenggaraan perang. Ini mengandung arti bahwa politik tetap
menjadi pertimbangan utama dan tertinggi. Karena itu politik harus
menguasai seluruh tindakan perang dan terus menerus menekankan
pengaruhnya. Didalam mengendalikan penyelenggaraan perang,
politik perlu memperhatikan tujuan dari perang secara terus menerus.

2) Sekali diputuskan untuk melakukan perang, harus diberikan


tujuan. Perang sebagai kegiatan politik mempunyai tujuan politik,
tetapi ia juga mempunyai tujuan militer. Tujuan militer yang
ditetapkan harus merupakan syarat untuk mencapai tujuan politik
yang diinginkan. Tujuan yang hendak dicapai akan turut menentukan
alat yang hendak dipergunakan dan bagaimana mempergunakannya.
Juga tujuan harus menguasai alat, tidak boleh sebaliknya, disamping
itu tujuan harus jelas (baca Hakekat Perang yang menyangkut Tujuan
Perang). Tentang ini Clausewtiz memperingatkan bahwa mungkin
politik negara dapat mengambil arah yang salah dan lebih
menghendaki pencapaian beberapa tujuan yang ambisius,
kepentingan pribadi atau kesombongan (vanity) dari golongan yang
memerintah.

3) Sehat dan menguntungkan. Agar perang mempunyai nilai


untuk dilakukan, maka biaya dan korban harus sepadan, tujuan juga
harus sesuai dengan kekuatan yang ada. Jika tujuan sudah tidak
dapat dicapai lagi dengan usaha perang atau akan lebih menguntung-
kan bila mempergunakan sarana dan cara lain, maka perang harus
dihentikan atau tujuan yang harus dirubah.

4) Tujuan Terbatas. Seperti yang telah dikatakan, politik


menentukan sarana dan cara yang akan dipergunakan untuk
mencapai tujuan, tetapi politik juga harus mengetahui kemampuan
dari sarana yang tersedia. Karena itu didalam menentukan tujuan
hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dari sarana yang
tersedia. Berdasarkan ini maka ada kalanya perlu untuk menentukan
tujuan yang terbatas, agar dengan demikian usaha dapat
dilaksanakan dan perang akan lebih mungkin dan lebih mudah untuk
diatasi.

d. Usaha dan Kemampuan.

1) Usaha. Ketentuan terakhir dari keseluruhan perang tidak


selamanya dapat dianggap sebagai sesuatu yang absolute atau pasti.
Negara yang kalah kerap kali melihatnya hanya sebagai sesuatu masa
peralihan yang kondisinya tidak menguntungkan. Untuk mengatasi
keadaan ini masih dapat ditemukan suatu obat didalam suasana
politik untuk masa kemudian. Ia harus merubah atau mengadakan
309

modifikasi dari sikap yang keras dan tegas dengan berbagai usaha lain
secara intensif. Jika yang harus kita pertimbangkan adalah
perhitungan tentang berbagai kemungkinan yang datangnya dari
suasana dan orang-orang tertentu, maka dalam proses ini tujuan
politik sebagai motif yang sebenarnya harus menjadi faktor esensial.
Semakin kecil pengorbanan yang kita minta dari lawan, semakin kecil
usaha-usahanya yang dapat kita duga untuk melawan kita dan
semakin kecil usaha lawan, semakin kecil pula usaha kita yang
diperlukan.

2) Kemampuan. Hendaknya kemampuan yang dipergunakan


untuk usaha perang secukupnya saja, jangan berlebihan.
Kemampuan yang berlebih-lebihan dapat menggagalkan tercapainya
tujuan, dapat menghancurkan hasil yang sudah diperoleh, bahkan
dapat menjadi bumerang yang memukul diri sendiri. Lagi pula seperti
kata pepatah sedang kita makan, nafsu dapat semakin bertambah,
maka kemampuan yang berlebihan di kemudian hari dapat
melampaui batas tujuan hingga tidak diketahui dimana akan
berakhir. Di samping kekuatan dan kemampuan yang dikerahkan,
sehabis perang masih harus ada kekuatan untuk dapat
mengendalikan keadaan dan untuk dapat menarik keuntungan dari
perdamaian itu. Karena itu penghabisan tenaga (exhaustion) sendiri
harus dicegah.

e. Kemenangan, perdamaian dan kekerasan.

1) Kemenangan. Hanya merupakan alat, bukan tujuan (perhatikan


kata-kata Du Picq) jika kita secara ekslusif memusatkan perhatian dan
usaha kita kepada kemenangan, tanpa memperhatikan akibat
sesudahnya, kita akan kehabisan tenaga (exhaustion) untuk dapat
menarik keuntungan dari perdamaian. Lagi pula hampir boleh
ditentukan, bahwa perdamaian akan merupakan perdamaian yang
buruk, yang berisikan bibit untuk perang baru. Kemenangan dalam
arti sebenarnya berisikan keadaan perdamaian dan kondisi rakyat
sendiri yang lebih baik daripada sebelum perang. Kemenangan dalam
arti sebenarnya berisikan keadaan perdamaian dan kondisi rakyat
sendiri yang lebih baik dari pada sebelum perang. Kemenangan yang
demikian ini hanya mungkin kalau hasil dapat diperoleh dengan cepat,
atau jika usaha yang dilakukan secara ekonomis sebanding dengan
sumber-sumber nasional. Disini maka tujuan harus sesuai dengan
sarana. Jika ada kemungkinan untuk memperoleh kemenangan
dengan melalui kekerasan, setiap kemungkinan ada kesempatan
harus dipergunakan untuk memperoleh cara-cara lain, umpamanya
dengan merundingkan perdamaian.

2) Perdamaian. Didalam merencanakan dan melaksanakan


perang, maka perdamaian harus tetap menguasai pikiran para
perumus kebijaksanaan (policy makers), ini adalah salah satu syarat
dan merupakan syarat yang utama, untuk menjamin hasil-hasil yang
diperoleh dalam perang. Syarat-syarat perdamaian, walaupun harus
menguntungkan bagi pemenang, tetapi hendaknya ia dapat diterima
oleh yang kalah. Syarat-syarat yang terlalu berat akan menanamkan
bibit-bibit perang baru. Bagaimana juga hendaknya dicegah apa yang
dinamakan Perdamaian Cartago yaitu suatu perdamaian yang hanya
berupa gencatan senjata. Hanya dengan perdamaian yang benarlah
310

kemenangan dalam perang dapat berarti dan perdamaian dapat


dinikmati serta memberikan keuntungan.

3) Kekerasan. Tujuan yang tidak terbatas dan terlalu memusatkan


pada usaha untuk mencapai kemenangan dapat mengakibatkan
penggunaan kekerasan secara berlebih-lebihan dan sewenang-wenang
hanya akan menanamkan bibit untuk perang baru. Tujuan perang
bukan penghancuran musuh atau tentaranya, juga penghancuran
bukan satu-satunya syarat untuk memperoleh kemenangan,
Penghancuran musuh tidak akan banyak memberi keuntungan, tetapi
hanya akan menanamkan keinginan untuk membalas dendam.

f. Penghematan sarana.

Arti yang sebenarnya dari penghematan bukanlah semata-mata


menghemat sumber tenaga manusia tetapi dalam menggunakan tenaga baik
manusia maupun alat peralatan sesuai hukum ekonomi, memperoleh hasil
maksimum dengan biaya yang sedikit mungkin. Dalam perang sarana
penghematan ini dapat psikologis dengan menggunakan azas pendadakan
dan dapat fisik dengan pemusatan. Sarana tersebut terutama untuk
melakukan aksi ofensif secara ekonomis. Secara esensial penggunaan
metoda tidak langsung pada tingkatan penyelenggaraan perang atau strategi
nasional adalah pengaplikasian dari azas penghematan. Penerapan azas ini
tentu harus sesuai dengan kondisi-kondisi yang ditentukan oleh politik dan
strategi nasional. Kondisi ini telah dibahas dalam hubungan dengan
pengendalian politik tujuan serta usaha dan kemampuan.

Dalam Pembahasan yang lalu telah ditunjukkan, bahwa kalau dalam


menyelesaikan pertikaian terpaksa menggunakan perang, yang merupakan
jalan terakhir, maka penggunaan kekuatan militer atau kekerasan fisik
harus menjadi pertimbangan terakhir didalam perang. Dalam upaya
mencapai tujuan dengan perang, hendaknya diusahakan untuk melakukan
perang tanpa resiko (war without risk), atau to win the war without war.
Napoleon pernah berkata seorang penakluk (conqueror) pada hakekatnya
adalah pecinta perdamaian, ia menghendaki penyerbuan ke negara lain
tanpa perlawanan. Walaupun kekuatan militer harus dipergunakan, perlu
diberikan sejumlah kondisi yang dapat menjamin pencapaian hasil. Jika
hendak menembus tembok, lunakkan dulu tembok itu atau bungkus dulu
tangan agar tidak kesakitan.

Dengan demikian hasil dapat dijamin, tanpa menderita banyak


kerugian, strategi yang terbaik dalam perang ialah menunda operasi, sampai
terjadi disintegrasi moral pada musuh, hingga mudah dijatuhkan. Semua
hal tersebut diatas dapat dicapai dengan mempergunakan berbagai sarana
tidak langsung didalam menyelenggarakan perang maupun operasi.
Hendaknya diusahakan agar didalam memaksakan kemauan kepada lawan
dengan cara sedemikian rupa sehingga ia tidak menyadari bahwa diserang.
Kalaupun ia sadar akan diserang itu, maka dengan segala usaha tadi
hendaknya ia sudah tidak mampu memberi perlawanan dan kalaupun
mampu, perlawanan itu hendaknya sudah tidak berarti.

Pada dasarnya dalam penyelenggaraan perang bukan hanya kekuatan


bersenjata saja yang dikerahkan, tetapi juga sumber dan instrumen lain-
lainnya seperti politik, ekonomi, psikologi. Karena itu kita kenal berbagai
311

jenis perang seperti perang politik, ekonomi, psikologi disamping perang


militer. (Baca naskah hakekat perang mengenai berbagai aspek perang dan
masalahnya).

g. Penyelenggaraan Operasi Militer.

Penyelenggaraan operasi militer mengenal dua tingkatan, yaitu tingkat


strategi militer dan tingkat taktik. Taktik adalah pelaksanaan dari strategi
pada tingkatan yang lebih rendah. Dengan demikian strategi dan taktik
mempunyai azas-azas yang sama dan persoalan yang sama, walaupun
strategi mempunyai ruang lingkup yang lebih besar, hanya didalam
menerapkan azas-azas tadi untuk melakukan pendekatan tidak langsung,
kemungkinan dibidang taktik lebih kecil daripada dibidang strategi. Ini
disebabkan oleh ruang lingkup yang lebih kecil. Clausewitz menyatakan
bahwa strategi adalah seni menggunakan pertempuran sebagai sarana
untuk mencapai tujuan perang. Alat strategi untuk mencapai tujuan perang
menurut Liddell Hart bukan hanya pertempuran. Selanjutnya ia
menyatakan bahwa mencapai tujuan perang hanya dengan pertempuran
bertentangan sekali dengan akal sehat (Common Sense). Untuk mencapai
tujuan perang sedapat mungkin dihindari penggunaan pertempuran yang
banyak. Alat lain dari strategi adalah manuver strategi. Jadi usaha pertama
untuk mencapai tujuan dalam perang ialah melakukan manuver strategis,
kalau ini tidak mungkin barulah menggunakan pertempuran.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah strategi bukan hanya


mempergunakan alat perang dalam pertempuran, tetapi juga dalam
manuver strategis. Menyangkut hubungan antara strategi dengan taktik,
didalam pelaksanaannya garis batasnya sering kabur adalah sukar untuk
menetapkan secara tepat dimana gerakan strategis itu berhenti dan gerakan
taktis di mulai apalagi keduanya itu didalam konsepsinya tidak sama. Taktik
terletak pada bidang perkelahian, strategi tidak berhenti pada garis batas,
tetapi bagi pencapaian sasarannya mengusahakan pengurangan dari
perkelahian sampai propinsi yang sekecil mungkin (Lidell Hart mengatakan
Thoughts On War Part III Military Operations, Chapter 12).

h. Tujuan, sarana dan kondisi.

Hasil strategi bergantung pertama-tama dan bahkan terutama kepada


perhitungan mengenai tujuan dan kemampuan sarana. Tujuan harus
sebanding dengan jumlah dan kemampuan sarana yang tersedia dan sarana
yang dipergunakan untuk mencapai setiap tujuan antara yang diperlukan
untuk mencapai tujuan pokok, harus sebanding dengan nilai dan
kepentingan tujuan antara itu. Dengan demikian perlu dihindari
kemungkinan kehabisan tenaga pada waktu mencapai sejumlah tujuan
antara. Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat dipakai untuk menjadi
pegangan seperti :

1) Penghematan Tenaga. Dengan penyesuaian yang tepat akan


menghasilkan penghematan tenaga yang sebaik-baiknya. Tetapi hal
ini akan sukar diperoleh, karena perang itu sifatnya tidak menentu.
Kemampuan militer yang sebesar-besarnya tidak dapat mencapai
penyesuaian yang sebenarnya. Karena apa yang dapat dihasilkan
adalah kebenaran yang mendekati. Relativitas ini sudah menjadi sifat,
karena hingga berapa jauh pengetahuan kita tentang ilmu perang kita
luaskan, untuk aplikasinya ia akan bergantung pada seni. Seni tidak
312

hanya mendekatkan tujuan kepada sarana, tetapi dengan memberi


nilai yang lebih tinggi kepada sarana, dapat memungkinkan perluasan
tujuan. Ini yang membuat perhitungan menjadi sulit, karena tidak ada
manusia yang dapat secara tepat memperhitungkan kapasitas orang
yang genius dan yang bodoh, juga yang menyangkut kapasitas dari
kemauan.

2) Mengurangi perlawanan. Didalam perang, kemauan manusia


merupakan hal yang paling tidak dapat diperhitungkan, kemauan ini
dimanifestasikan dalam perlawanan. Strategi tidak untuk mengatasi
perlawanan, tujuannya ialah mengurangi kemungkinan perlawanan.
Untuk ini diusahakan dengan mengeksploitasi sejumlah unsure
gerakan dan pendadakan.

3) Gerakan dan pendadakan. Gerakan berada didalam alam fisik


dan bergantung kepada perhitungan yang menyangkut berbagai
kondisi mengenai waktu, topografi dan kapasitas transport. Yang
dimaksud dengan kapasitas transport adalah sarana yang digunakan
maupun tindakan untuk mengerahkan pasukan dan
pemeliharaannya. Pendadakan berada didalam alam psikologi.
Perhitungannya jauh lebih sukar daripada gerakan. Ia bergantung
kepada berbagai kondisi yang dalam setiap masalah akan berbeda dan
yang mungkin dapat mempengaruhi kehendak lawan.

i. Tujuan dan Tindakan Strategi.

Strategi yang baik menghasil kan ketentuan tanpa pertempuran yang


berarti, sekalipun strategi bermaksud untuk memperoleh keputusan secara
militer, tetapi dalam niat ini ia bertanggung jawab dan ia harus berusaha
agar diperoleh suasana yang menguntungkan. Agar bisa mendapat hasil
yang berfaedah semakin menguntungkan suasana itu, pertempuran akan
semakin berkurang. Penghancuran musuh tidaklah esensial untuk
memperoleh ketentuan guna pencapaian tujuan perang. Bagi suatu negara
yang berkehendak untuk memelihara keamanannya umpamanya, tujuan
sudah tercapai jika ancaman itu sudah tidak ada, artinya jika musuh sudah
meninggalkan niatnya. Sebagaimana kekuatan militer hanya merupakan
salah satu sarana untuk mencapai tujuan strategi nasional dalam
penyelenggaraan perang, maka pertempuran adalah hanya salah satu
sarana untuk mencapai tujuan strategi.

Pada kondisi tertentu, penggunaan pertempuran mempunyai efek


yang sangat baik, dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat, tetapi juga
kondisi tidak menguntungkan, maka tidaklah bijaksana untuk tetap
menggunakannya. Strategi bertanggung jawab untuk mengusahakan agar
diperoleh ketentuan militer dengan kondisi yang paling menguntungkan.
Dengan demikian maka akan ada jaminan bahwa kesudahan perang akan
menguntungkan, karena itu tujuan yang terutama bukanlah mengusahakan
pertempuran, melainkan mengusahakan situasi strategi yang sedemikian
rupa, sehingga bila situasi itu sendiri tidak menghasilkan ketentuan, maka
ketentuan ini diperoleh dengan pertempuran sebagai kelanjutan dari situasi
yang telah diciptakan tadi. Dengan lain perkataan, tujuan strategi adalah
pendislokasian dari musuh, kelanjutannya ialah apakah berupa peleburan
ataupun pematahan kekuatan musuh yang akan lebih mudah dalam
pertempuran. Pendislokasian secara fisik dapat diperoleh dengan berbagai
gerakan yang dapat :
313

1) Merusak disposisi musuh dengan memaksakan perubahan front


dengan tiba-tiba, mendislokasi distribusi dan organisasi pasukannya.

2) Memisah-misahkan kekuatannya.

3) Membahayakan perbekalan.

4) Mengacau rute pemunduran ke daerah pangkalan atau negara


asalnya.

Dislokasi dapat dihasilkan oleh salah satu dari empat hal diatas, tetapi
kebanyakan adalah akibat dari beberapa dari padanya. Pendislokasian
psikologi merupakan akibat dari impresi yang diperoleh dari efek tersebut
diatas kepada Komandan. Impresi ini semakin kuat, jika disadari bahwa ia
sekonyong-konyong berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Secara fundamental pendislokasian psikologi ditimbulkan oleh adanya
perasaan bahwa dirinya terjebak. Inilah alasan mengapa ia sering mengiringi
suatu gerakan fisik kearah belakang dari musuh. Sebaiknya bergerak secara
langsung menuju lawan akan mengkonsolidasikan keseimbangannya, baik
fisik maupun psikologis dan dengan konsolidasi ini kekuatannya semakin
bertambah. Di bidang kemiliteran berarti mendesak musuh kembali ke
daerah perbekalan dan perkuatannya. Di tingkat penyelenggaraan perang,
suatu serangan langsung yang dilakukan dengan kekuatan militer terhadap
suatu negara akan segera membangkitkan patriotisme rakyatnya, semangat
patriotisme ini akan mengakibatkan perlawanan fisik secara gigih. Demikian
pula halnya dengan tentara musuh yang langsung diserang di frontnya akan
segera memberi perlawanan yang sangat dan gigih. Jadi suatu gerakan
melingkari front musuh yang ditujukan terhadap belakangnya, seperti
halnya dengan menyerang suatu negara dengan berbagai kekuatan non
militer dan cara-cara tidak langsung lainnya, bukan hanya untuk
menghindari perlawanan didalam perjalanan menuju sasaran, tetapi juga
dalam mencapai tujuan atau dalam usaha memperoleh hasil.

Dengan lain perkataan metoda tidak langsung ini secara fisik


mengambil the line of least expectation. Keduanya ini merupakan dua muka
dari mata yang sama. Kearah belakang dari disposisinya saja, pendekatan
tidak langsung strategi tidak akan tercapai. Untuk berhasil diperlukan juga
berbagai gerakan tipuan yang tujuannya adalah membatasi kebebasan
bertindak dari musuh. Secara fisik gerakan ini hendaknya dapat
mengakibatkan pengalihan perhatian pasukan-pasukan lawan kepada
berbagai tujuan yang tidak menguntungkan, sehingga mereka tersebar
terlalu lebar dan terlalu terlibat di lain tempat. Dengan demikian
kemampuannya untuk menghadapi gerakan yang kita maksudkan menjadi
terbatas. Secara psikologis efek demikian ini dapat diperoleh dengan
mempergunakan rasa takut dan rasa tidak menentu serta dengan
mengadakan penipuan terhadap pimpinan lawan.

Dengan mengelabuhi dan menipu lawan mengakibatkan pengalihan


perhatiannya, sedang pendadakan adalah sebab esensial dari
pendislokasian psikologis. Stonwall Jackson menyadari ini pada waktu
menyusun moto strategisnya yaitu Mitify, mislead and surprise. Mengelabui
dan menipu mengakibatkan terjadinya kebingungan (distraction), sedangkan
pendadakan adalah sebab pokok terjadinya dislokasi.
314

j. Pemotongan Garis Komunikasi.

Didalam merencanakan suatu pukulan terhadap garis komunikasi


lawan, apakah itu dengan manuver melingkari lambungnya ataukah dengan
menerobos suatu lubang di frontnya, maka persoalan yang timbul ialah
bagaimana memperoleh hasil yang paling efektif. Masalahnya ialah apakah
pukulan itu sebaiknya ditujukan kepada suatu tempat dekat dibelakang
musuh, ataukah jauh dibelakang. Pada umumnya, makin dekat pemutusan
garis komunikasi dengan lawan, efeknya akan lebih segera, sedang makin
dekat dengan pangkalannya (jauh di belakang) efeknya akan makin besar.
Selain daripada itu bila pemutusan garis komunikasi itu dilakukan dekat
pada bagian belakang musuh, akibat terhadap moril pasukan musuh akan
besar, pemutusan garis komunikasi yang jauh di belakang efeknya akan
lebih dirasakan pada moril dari komandan musuh.

26. Operasi Garis Dalam Dan Garis Luar.

Sejarah perang hampir sama tuanya dengan sejarah perang yang dapat
ditemukan adalah pertempuran yang terjadi pada tahun 207 SM. Dalam
pertempuran tersebut yang dikenal dengan peristiwa Perang Phonix II di Metaurus
berlangsung antara pasukan Romawi yang dipimpin oleh Livius dan Nero melawan
pasukan Cartago yang dipimpin oleh Hasdrubal. Ternyata Livius dan Nero telah
keluar sebagai pihak pemenang. Kemenangan itu diperoleh dengan cara
melancarkan operasi garis dalam terhadap pasukan Hasdrubal. Demikian pula
halnya pada peristiwa PD-I penerapan strategi operasi garis dalam telah diterapkan
dengan tepat dan baik oleh pasukan Jerman di Front Timur yang dipimpin oleh
Hindenburg dalam mengalahkan pasukan Rusia yang dipimpin oleh Samsasof dan
Renekamp. Sedangkan dalam peristiwa yang lain yaitu pada PD-II pasukan-
pasukan Jerman dalam beberapa tahap operasinya terhadap Polandia, justru telah
memperoleh kemenangan besar dengan menerapkan operasi garis luar.

27. Beberapa Prinsip Klasik.

a. Tokoh Pemikir.

Beberapa tokoh pemikir dalam taktik strategi yang menulis tentang


pengetahuan, ilmu dan seni perang yang erat hubungan dengan bahan
ajaran ini antara lain adalah :

1) Pada akhir abad ke 16 : Loyd dan Von Bulow

2) Menjelang abad ke 19 : Jomini, Clausewitz dan Von Willisen

3) Pada akhir abad ke 19 : Criamerer, Von Molkte

4) Pada awal abad ke 20 : James

5) Pada akhir abad ke 20 : Burne, palit, Mao Tse Tung dan


Willoghley.

Dalam uraikan selanjutnya, tidak semua pendapat para tokoh pemikir


tersebut akan dikemukakan karena dalam beberapa hal, banyak pendapat
yang dikemukakan, disetujui oleh pemikir yang lain atau ada juga pendapat
yang sama sekali ditentang oleh karena substansi yang dikemukakannya
kurang didukung oleh kejadian serupa lainnya.
315

b. Pendapat Jomini.

Jomini adalah mantan Perwira Staf Crand Arme seorang pengagum


Napoleon, pendapat yang dikemukakannya dilandasi oleh tulisan-tulisan
tokoh pemikir sebelumnya yaitu Loyd dan Von Bulow yang kemudian ia
analisis melalui pendekatan historis. Selanjutnya ia berpendapat bahwa :

1) Operasi Garis Dalam. Dapat dilihat dari garis-garis manuver


yang digunakan oleh satu atau dua tentara untuk mengahadapi
pasukan lawan. Pengerahan pasukan yang demikian itu memungkin-
kan seorang panglima untuk mengombinasikan aspek pemusatan dan
manuver dalam waktu yang relatif cepat dibandingkan waktu yang
diperlukan oleh musuh yang beroperasi garis luar. Disini Jomini
menarik kesimpulan bahwa Kalahkanlah satu bagian dari musuh
secara total sebelum menyerang bagian yang lain. Demikian pula ia
berpendapat bahwa ruang operasi tidak boleh terlalu sempit karena
pasukan akan mudah dikepung lawan. Namun, juga tidak boleh
terlalu luas karena sayap dan lambung pasukan sendiri akan menjadi
lemah. Dari pendapat Jomini ini ternyata Operasi Garis Dalam dapat
berkembang menjadi beberapa kemungkinan seperti nanti akan
diuraikan pada bab berikutnya.

2) Operasi Garis Luar. Adalah kebalikan dari Operasi Garis Dalam,


semula ia berpendapat bahwa Operasi Garis Luar dilakukan oleh
suatu tentara yang pada waktu bersamaan bermanuver pada kedua
lambung musuh atau terhadap beberapa bagian dari posisi musuh.
Untuk ini ia mengemukakan teori garis memusat yaitu garis-garis
yang berangkat dari titik-titik yang tersebar lebar dan bertemu pada
titik yang sama (sasaran) didepan atau dibelakang pangkalan musuh.

c. Pendapat Burne.

Teori yang dikemukakan oleh Burne adalah merupakan kelanjutan


dari pendapat yang dikemukakan oleh Napoleon yang membedakan Operasi
Garis Dalam dan Operasi Garis Luar dari garis komunikasinya. Menurut
Burne pasukan yang melaksanakan Operasi Garis Dalam garis komunikasi-
nya akan menutup kedalam. Sedangkan pada Operasi Garis Luar garis
komunikasi tersebut akan memencar keluar, mengapa ia melihatnya dari
garis komunikasi. Dalam hal ini ia sependapat dengan Napoleon yang
menyatakan bahwa salah satu masalah strategi yang terpenting ialah
penguasaan garis komunikasi. Ini berarti pengamanan garis komunikasi
sendiri harus diutamakan dan sejauh mungkin mengusahakan,
mengacaukan garis komunikasi lawan. Ia berpendapat bahwa semakin
panjang garis komunikasi, semakin rawan dan semakin banyak diperlukan
pasukan untuk mengaman kannya.

Beroperasi pada garis-garis yang terpisah jauh tanpa komunikasi


adalah awal dari suatu kesalahan besar yang akan menyebabkan timbulnya
kesalahan-kesalahan besar kedua berikutnya. Kolone yang terpisah
mempunyai perintah hanya untuk hari pertama saja operasi pada hari
berikutnya sangat bergantung dari apa yang terjadi pada pasukan induk.
Jadi dalam keadaan ini, kolone akan kehilangan waktu dalam menunggu
perintah-perintah, atau akan bertindak saja sendiri-sendiri. Karena itu
sebagai azas hendaknya dipegang bahwa suatu tentara harus mengusaha-
kan supaya kolonenya bersatu sedemikian rupa sehingga musuh tidak dapat
316

menerobos diantara mereka. Jika karena alasan-alasan tertentu azas


dikesampingkan, pasukan yang dipisahkan harus mampu berdiri sendiri
dalam operasi-operasinya, dan bergerak ketitik yang ditentukan dimana
mereka akan bergabung. Mereka harus dapat bertindak dengan tidak ragu-
ragu dan tanpa menunggu perintah-perintah baru, agar mereka sesedikit
mungkin terbuka dari serangan lawan.

1) Operasi Garis Dalam.

Selanjutnya Burne berpendapat agar satu serangan dilakukan


pada satu waktu dan pada satu tempat. Pendapatnya ini disepakati
oleh Jomini dan tokoh pemikir lainnya seperti Dodge dan Grouard.
Seranglah hanya satu diantara mereka pada satu waktu baru
kemudian lanjutkan sampai mereka dilumpuhkan. Teori ini merupa-
kan tindak lanjut dari menempat kan keunggulan yang lebih besar
dari pada musuh pada suatu tempat yang menentukkan. Kekalahan
Jerman dari Jepang pada PD-II dapat dianalisis dari Teori ini. Ofensif
Jerman dan Jepang semula dilakukan dengan baik. Namun, yang
terjadi kemudian adalah sebelum operasi-operasi di Rusia selesai,
Jerman sudah membuka front baru di Afrika Utara, demikian pula
Jepang. Sebelum operasi di Tiongkok selesai, Jepang sudah memulai
membuka front baru di Asia Tenggara dan Pasifik. Teori lain yang
dikemukakannya dalam Operasi Garis Dalam adalah kemampuan
melaksanakan pengejaran cepat. Teori juga dibenarkan oleh Jomini
dan Dodge.

Suatu pasukan musuh yang diserang harus dikejar sampai


lumpuh, agar tidak lagi menjadi bahaya yang mengancam dan
membatasi kebebasan bertindak. Setelah memukul dengan berhasil,
pengejaran harus lebih cepat dari pada jika kita menyerang digaris
luar, sebab akan lebih sukar mencegah musuh meloloskan diri. Kita
seterusnya mengusik lawan keluar dari lingkaran kita sendiri. Satu-
satunya kompensasi untuk ini ialah mengejar dengan kecepatan yang
luar biasa, kecuali pada keadaan yang menguntungkan dengan
adanya rintangan seperti laut, pegunungan dan sebagainya. Pasukan-
pasukan Jerman yang kalah sebelum pertempuran Tannenberg tidak
dikejar oleh Rennekampf, sehingga pasukan-pasukan yang kalah ini
muncul di Tennenberg menghancurkan pasukan Samsarov.
Pengejaran harus cepat agar kolone-kolone lain dari musuh tidak
sempat membantu. Selanjutnya teori lain yang dikemukkan oleh
Burne adalah usahakan agar pasukan musuh harus terpisah. Ini
adalah satu kondisi untuk memenuhi kondisi-kondisi yang disebut
diatas.

Pendapatnya dibenarkan oleh Dodge, dengan kata lain


penggabungan pasukan musuh harus dicegah. Untuk ini diperlukan
manuver dan pasukan-pasukan untuk mengikat bagian-bagian yang
lain. Usahakanlah, supaya pasukan pengikat ini sekecil mungkin.
Livius dan Nero berhasil mencegah penggabungan Hanibal dan
Hasdrubel di Metaurus dan Hasdrubel kalah. Hindenburg berhasill
mengikat pasukan Rennenkampf dengan pasukan yang kecil sekali,
pasukan Samsarov hancur. Pendapat lain yang dikemukakan Burne
dan dibenarkan pula oleh Jomini, Dodge dan Grouard adalah tentang
insiatif, ruang, waktu. Ia berpendapat, dalam Operasi Garis Dalam
sama sekali tidak boleh menunggu. Sekali musuh sudah dalam posisi
317

untuk diserang, menyeranglah segera ditempat itu. Dapat pula


ditambahkan, sekali musuh sudah dalam posisi diserang, segeralah
serang. Dalam Operasi Garis Dalam, menunggu berarti bertahan,
bertahan berarti hancur. Di Ulm pasukan Austria menunggu
kemudian dihancurkan oleh pasukan-pasukan Napoleon yang
bergerak dari empat jurusan, Hannover, Antwerpen, Boulogne dan
Burgondia. Sedangkan mengenai ruang dan waktu merupakan syarat
mutlak untuk memenuhi kondisi-kondisi diatas. Tentang ini
dikatakan oleh Burne, bahwa syarat pertama untuk sukses ialah
adanya ruang dan waktu manuver, yang diperkuat oleh pendapat
Jomini, bahwa ruang tidak boleh terlalu terbatas, atau tuan akan
terkepung.

Jangan pula terlalu besar karena sayap pasukan pengikat akan


dihancurkan, sedangkan Grouard berpendapat bahwa peliharalah
kebebasan bertindak yaitu waktu dan ruang untuk manuver. Dasar
pikiran Operasi Garis Dalam ialah mengalahkan musuh indetail, ini
pasukan harus mempunyai ruang dan waktu untuk memanuverkan
bagian terbesar kekuatannya dari tempat yang satu ketempat yang
lain. Jika ruang waktu ini terlalu sempit, musuh berarti dapat
bergabung sehingga pasukan digaris dalam terkepung. Jika terlalu
besar penggabungan itupun tidak akan dapat dicegah, selain itu
pasukan pengikat akan dihancurkan oleh musuh sebelum dapat
dibantu. Ruang dan waktu harus juga di ukur dari kecepatan
bermanuver, ini kemudian antara lain bergantung dari mobilitas
pasukan, yang pada gilirannya juga bergantung dari besarnya
pasukan yang tersedia.

2) Operasi Garis Luar.

a) Keunggulan dalam jumlah. Operasi ofensif dari berbagai


jurusan memerlukan pasukan banyak, tentang ini Burne
berkata bahwa keunggulan dalam jumlah hampir merupakan
conditi sine quanon. Semua operasi garis luar, seperti yang
diperlihatkan oleh sejarah perang mempunyai keunggulan
dalam jumlah terhadap lawannya.

b) Komunikasi. Operasi Garis Luar memerlukan koordinasi


cermat dan seksama diantara kolone-kolone yang bergerak
terpisah, ini memerlukan komunikasi yang cepat dan aman.
Mengenai ini, tokoh-tokoh berikut memperkuat Burne yaitu
antara lain :

(1) Loiyd. Jika tidak memelihara komunikasi diantara


tentara (yang menyerang front) dan korps (yang
menyerang lambung dan belakang), mereka akan
mendapat kerugian jika lawan adalah seorang perwira
ulung.

(2) Napoleon. Adalah bertentangan dengan azas apabila


pasukan-pasukan yang satu sama lain tidak mempunyai
komunikasi, bertindak secara terpisah terhadap suatu
pasukan sentral yang mempunyai komunikasi baik.
Buruknya komunikasi didalam pasukan Rusia pada
318

waktu pertempuran di Tannenberg adalah salah satu


sebab kekalahan mereka.

c) Komandan-komandan Bawahan. Pasukan yang ber-


operasi digaris luar mempunyai kolone yang bergerak terpisah
dari berbagai jurusan. Karena itu komandan-komandan kolone
harus mempunyai inisiatif dan dapat dipercaya. Burne berkata
tentang ini Tuan harus mempunyai komandan-komandan
bawahan yang benar-benar dapat tuan percayai dan mereka
harus teguh dan berani (resolute), berwatak keras, bersedia
mengambil resiko dan bertindak jika nampaknya tidak terdapat
bantuan. Pada kenyataan nya terutama semangat kerjasama
adalah penting. Rennenkampf dan Samsarov mempunyai
pertikaian pribadi sejak perang Rusia-Jepang. Hofmann,
perwira operasi Hindenburg yang mengenal mereka di
Wladiwostok takala perang Rusia-Jepang itu, membuat rencana
operasi menyerang Samsarov berdasarkan pengetahuannya
tentang pertikaian kedua perwira Rusia ini dan berdasarkan
keyakinan, bahwa mereka tidak akan saling membantu.
Samsarov diserang Rennenkampf tidak berusaha membantu.
Peristiwa ini terjadi di Tannenberg sama halnya dengan Livius
dan Nero menjelang pertempuran di Mataurus seperti yang
dapat kita ketahui dari pelajaran sejarah perang.

d) Tekananan sepanjang garis. Perlu diusahakan untuk


membatasi dan mempersempit ruang bagi lawan, untuk ini
harus diadakan tekanan yang cukup kuat sepanjang garis.
Tentang ini dikatakan oleh Burne yang diperkuat oleh pemikir
lain yaitu Henderson, bahwa sepanjang seluruh garis harus
dipelihara tekanan yang cukup untuk mencegah musuh
memindahkan pasukan-pasukan dari bagian yang satu ke yang
lain, karena ia dapat saja melakukan ini lebih cepat daripada
tuan. Supaya berhasil strategi garis luar memerlukan tekanan
kuat dan terus menerus terhadap pasukan utama musuh
dengan merampas waktu dan ruang yang diperlukan olehnya
untuk pukulan pembalasan. Jika ini tidak mungkin, musuh
yang mahir akan segera mempergunakan posisi sentralnya.
Tidak adanya tekanan ini sepanjang garis oleh pasukan-
pasukan Federal di Chanchelloreville tahun 1863 memberikan
kemungkinan kepada Lee. Secara strategis ia meningkatkan
Divisi Early satu brigade untuk mengikat Sedewick di
Fredericksburg dan menggerakkan massanya ke
Chanchellersville. Di dalam pertempuran tersebut, Lee mengikat
pasukan-pasukan federal secara frontal dengan kekuatan
17.000 orang. Sedangkan Kopr Jackson dengan 26.000 orang
digerakkan untuk menggulung punggung dan lambung
pasukan-pasukan federal.

28. Beberapa Prinsip Dasar dan Perkembangan.

a. Sebelum sampai kepada ditemukannya beberapa prinsip dasar dari


Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis Luar.

Ada baiknya disimak terlebih dahulu beberapa hasil pengamatan


sederhana para pemikir zaman dahulu yang menjadi awal dari
319

berkembangnya ilmu dan seni perang. Yang pertama, diambil contoh tentang
bagaimana seharusnya dilakukan untuk melubangi saputangan.
Saputangan yang melayang di udara adalah sulit untuk dilubangi, lubang
akan mudah dibuat apabila saputangan diletakkan pada landasan yang kuat
dan kemudian dipukul oleh benda keras misalnya palu. Kemudian diambil
pula contoh lain yaitu untuk menumbuk benda menjadi bubuk diperlukan
lubang sebagai landasan dan palu sebagai pemukul. Dengan demikian pula
diambil contoh bahwa memotong leher, diperlukan landasan yang kuat dan
kampak yang tajam untuk memotongnya. Dari contoh-contoh tersebut
diatas ternyata telah melahirkan beberapa prinsip yang sangat mendasar
dalam taktik dan strategi perang. Beberapa pandangan yang dikemukakan
antara lain :

1) Dalam operasi militer, landasan dalam contoh diatas dapat


berbentuk :

a) Bagian dari tentara sendiri

b) Pasukan dari kesatuan/korps lain

c) Medan rintangan geografis

2) Agar landasan sebagai tumpuan dalam menghancurkan musuh


dapat diperoleh, maka dilakukan cara bertindak seperti melancarkan
pelambungan, pelingkaran, penetrasi rangkap, memanfaatkan laut,
pegunungan, rawa, sungai, hutan lebat dsb.

3) Faktor kecepatan. Dari beberapa pengamatan selanjutnya


ternyata saputangan yang melayang di udara juga dapat dilubangi
asalkan ia ditembak oleh peluruh yang berkecepatan tinggi, dari
pengamatan ini lahir pendapat bahwa musuh yang melarikan diri
akan dapat dengan mudah dihancurkan apabila dikejar oleh pasukan
yang kecepatan manuvernya melebihi manuver pasukan yang dikejar.
Dari contoh cara memotong leher ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam pengejaran itu cukup dilakukan oleh pasukan yang tidak
terlalu besar, tetapi memiliki daya tempur yang tinggi.

b. Teori Operasi Garis.

Jomini adalah pemikir pertama yang secara sistematis


mengemukakan pikirannya tentang teori operasi garis. Ia mengatakan
bahwa garis operasi adalah satu atau beberapa rute yang ditempuh dan
dipergunakan oleh suatu tentara (army) dalam melaksanakan tugasnya pada
suatu zona operasi, kemudian ia membedakannya kedalam :

1) Garis Operasi Tunggal (GOT) ialah garis operasi suatu tentara


yang tidak terbagi menjadi dua pasukan yang berdiri sendiri.

2) Garis Operasi Rangkap (GOR) ialah garis-garis operasi dari 2


(dua) tentara yang masing-masing berdiri sendiri, atau tidak berdiri
sendiri (dipimpin satu Panglima saja), tetapi terpisah jauh dalam jarak
atau waktu.

3) Operasi Garis Dalam dan Garis Luar. Namun pandangan


selanjutnya Jomini mengatakan bahwa penentuan garis-garis operasi
merupakan hal yang fundamental. Persoalan bagi seorang Panglima
320

perang adalah bagaimana mengkombinasikan garis-garis operasi yang


sesuai pada waktu dan keadaan yang tepat. Disini ia menunjukkan
bahwa seni perang antara lain terletak pada bagaimana memberikan
arah yang tepat kepada kekuatan menjadi dasar dari berkembangnya
seni dalam strategi perang. Bakat, kemahiran, inisiatif, energi akan
menentukan kecepatan dalam memahami keadaan, kecepatan itu
akan sangat berpengaruh pada pemilihan kombinasi yang tepat dari
teori operasi garis.

c. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih Teori Operasi


Garis.

1) Pemusatan dalam satu kesatuan komando. Janganlah


menyusun dua tentara yang berdiri sendiri-sendiri pada satu front
yang sama, terkecuali apabila dalam hubungan koalisi yang besar atau
jika pasukan-pasukan itu terlalu besar untuk bergerak dalam zone
operasi yang sama. Bahkan dalam hal ini lebih baik membagi pasukan
dan menempatkan semua itu dibawah satu komandan yang sama.
Komandan ini mengikuti bagian utama dari keseluruhan pasukan
tersebut.

2) Arah garis manuver. Sebagai azas umum juga dinyatakan


bahwa jika musuh membagi pasukannya pada satu front yang lebar
maka arah garis manuver pasukan kita terbaik ialah kepusatnya tetapi
dalam kondisi lainnya, arah yang terbaik ialah kepada salah satu
lambungnya dan kemudian kepada bagian belakang dari garis
pertahanannya atau front operasinya. Dalam pada itu perlu
diperhatikan hal-hal berikut :

a) Keuntungan dari manuver ini lebih banyak ditimbulkan


oleh kesempatan dan kemungkinan yang diberikan untuk
menyerang bagian belakang garis pertahanan karena penyerang
hanya berhadapan dengan suatu bagian dari pasukan musuh.

b) Sekalipun ujung-ujung front operasi musuh dapat dicapai


tidaklah selalu aman (safe) untuk bertindak terhadap belakang
nya, karena banyak kemungkinan penyerang akan terputus
garis komunikasinya.

3) Dua tentara yang beroperasi pada garis dalam dan secara timbal
balik saling membantu dan menghadapi dua tentara yang lebih unggul
dalam jumlah tidak boleh membiarkan diri mereka berjejal didalam
ruang yang semakin sempit, dimana pasukan-pasukan itu dapat
sekaligus tergilas, Napoleon di Leipzig 1813.

4) Garis dalam jangan dirusak dengan terlalu melebar dengan


berbuat demikian maka musuh diberikan kesempatan untuk
menggulung pasukan pelindung kita.

5) Walaupun operasi garis tengah lebih menguntungkan daripada


garis rangkap (karena ada pemusatan kekuatan), akan tetapi ada
kalanya Operasi Garis Rangkap terpaksa kita lakukan. Ini dapat
terjadi karena keadaan topografi atau karena musuh telah
mempergunakan garis-garis rangkap sehingga perlu menghadapkan
bagian dari pasukan kita kepada tiap bagian dari pasukan musuh.
321

Dalam hal ini garis dalam atau garis sentral lebih baik dari pada garis
lurus, karena pada yang pertama bagian-bagian dari tentara itu dapat
dipusatkan sebelum musuh memusatkan diri. Garis rangkap dapat
dipergunakan apabila kita mempunyai keunggulan kekuatan yang
menentukan dan bila setiap kesatuan dapat mengimbangi kekuatan
lawan yang dikerahkan terhadapnya. Garis tunggal akan menyesak
kan pasukan sedemikian rupa sehingga dapat menghalangi
pengembangan pasukan, tetapi adalah selamanya bijaksana memper
kuat kesatuan yang karena sifat daerah operasi dan posisinya
responsive terhadap pihak lawan dan mempunyai tugas terpenting.
Selain itu operasi garis rangkap sangat berbahaya, karena akan
memisahkan pasukan kecuali kalau pasukan-pasukan ini dapat
dipersatukan dengan cepat dan kembali ke garis operasi tunggal.
Karena itu dalam mempergunakan garis operasi rangkap, semua
pasukan perlu tetap berada dibawah satu komando.

6) Garis memusat. Garis memusat terdapat pada Operasi Garis


Luar, garis memusat lebih menguntungkan dari pada dua garis
memencar karena lebih sesuai dengan azas-azas strategi dan
mempunyai keuntungan yaitu menguasai dan melindungi garis
komunikasi dan perbekalan, tetapi supaya bebas dari bahaya
hendaknya masing-masing tidak terbuka secara terpisah terhadap
masa musuh yang menggabung, sebelum kita sendiri dapat
bergabung.

7) Garis memencar. Garis memencar terdapat pada Operasi Garis


Dalam. Jika pusat musuh telah ditembus atau dibelah dan
pasukannya terpisah karena pertempuran atau gerakan strategi,
maka dalam hal ini operasi memencar dapat menambah penyebaran
musuh. Garis memencar seperti ini sebaiknya didalam, agar pengejar
dapat memusatkan diri lebih cepat dari pada yang dikejar.

8) Perubahan garis operasi. Perubahan garis operasi kadang-


kadang perlu dalam pertengahan sesuatu kampanye walaupun hal ini
adalah suatu tindakan yang berbahaya akan tetapi karena penting
untuk dapat menghasilkan sukses besar. Kunci keberhasilan adalah
harus dilaksanakan dengan kuat, tegas dan berani, biasanya ini hanya
dilakukan untuk membebaskan suatu tentara dari posisi yang tidak
menguntungkan.

9) Garis Komunikasi. Napolen berkata bahwa salah satu masalah


strategi yang terpenting ialah penguasaan garis komunikasi, ini berarti
pengamanan komunikasi sendiri dan mengacaukan komunikasi
lawan. Semakin panjang garis komunikasi semakin rawan dan
semakin banyak pasukan yang diperlukan untuk mengamankannya.

10) Maksim No. 4. Dalam bergerak untuk menaklukkan musuh


dengan dua atau tiga tentara dan masing-masing mempunyai garis
operasi yang terpisah maka bila sampai pada satu titik dimana mereka
harus bersatu, faktor yang harus diperhatikan ialah penyatuan dari
berbagai pasukan ini tidak boleh dilakukan dekat musuh karena
musuh dengan memusatkan pasukan-pasukannya bukan hanya
dapat mencegah penggabungan, tetapi mengalahkannya secara
terpisah atau satu persatu.
322

29. Operasi Garis Dalam dan Garis Luar.

a. Sebelum kita bahas penerapan Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis
Luar dalam strategi dan taktik, perlu kiranya dilihat terlebih dahulu
hubungan keterkaitan antara strategi dan taktik itu sendiri. Salah satu
pandangan yang patut dikenal adalah pandangan Clausewitz yang lebih
banyak mengandung kebenaran universal. Ia mengatakan bahwa dalam
strategi tidak ada kemenangan, akan tetapi strategi yang tepat akan
mengantar kemenangan taktik dan hasil strategis pada akhirnya akan
ditentukan oleh kemenangan-kemenangan taktis dalam pertempuran. Dari
apa yang dikemukan Clausewitz tersebut terkandung kebenaran bahwa
strategi adalah tidak kaku, ia harus fleksible dan mampu menarik
keuntungan dari kemenangan-kemenangan taktis yang tak terduga untuk
dieksploitasikan menjadi sukses yang lebih besar.

Kedua yang harus kita cermati adalah teori Operasi Garis Dalam dan
Operasi Garis Luar lahir dari sejarah perang Infanteri berjalan kaki, apa yang
diakui sebagai lingkup strategi pada jamannya, jauh berbeda dengan
pengertian lingkup strategi masa sesudahnya. Terlebih-lebih pada era Iptek
persenjataan yang modern masa kini. Peperangan masa kini tidak lagi
berupa pertempuran antara prajurit, akan tetapi seluruh kekuatan dan
potensi Ipoleksosbud turut serta dikerahkan bersama kekuatan militer. Oleh
karena itu masa depan penerapan Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis
Luar dalam taktis dan strategi akan semakin bervariasi lagi dan tidak
tertutup kemungkinan ditemukannya prinsip-prinsip baru yang dulu belum
pernah terbaca.

b. Beberapa azas yang bermanfaat dalam lingkup strategis.

Dari temuan masa lalu, azas-azas yang dinilai penting dalam Operasi
Garis Dalam dan Operasi Garis Luar terbatas pada :

1) Kondisi medan dan pendadakan. Pihak yang bertahan memiliki


keuntungan penguasaan medan, sedangkan pihak penyerang
memegang inisiatif sepenuhnya untuk memiliki waktu yang tepat
kapan ia sebaiknya menyerang, yang patut diperhatikan ialah
pendadakan strategis jauh lebih ber manfaat dan akan memperoleh
hasil yang besar daripada pendadakan dalam lingkup taktis. Jika
pihak yang bertahan terlanjur mengembangkan pasukannya
sedemikian tersebar, maka pihak penyerang dapat segera menyerang
untuk melumpuhkan satu titik yang menentukan. Keuntungan ini
bahkan dapat dengan segera menentukan kemenangan perang dalam
waktu yang sangat singkat. Inilah arti pendadakan strategis yang
dimaksud (contoh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mungkin
memenuhi premis tersebut).

2) Serangan dari beberapa jurusan. Bila pihak yang bertahan


diserang dari beberapa jurusan, maka dalam waktu yang bersamaan
ia tidak akan dapat menembaki penyerang dari semua arah, yang
terjadi malah sebaliknya. Namun dalam lingkup strategis dimana
ruang begitu luas, peringatan tersebut tidak sepenuhnya benar, pihak
yang bertahan dapat saja mengacaukan garis komunikasi penyerang
sepanjang garis komunikasinya sendiri masih dapat diamankan. Oleh
karena itu pihak yang bertahan (jadi ia melakukan Operasi Garis
Dalam) harus memelihara garis operasinya agar tidak terlalu panjang.
323

Jadi disini pelajaran yang dapat kita ambil adalah adanya hubungan
yang saling berpengaruh antara garis komunikasi dan inisiatif.

3) Bantuan dari kawasan perang. Dulu, pihak penyerang hampir


selalu harus meninggalkan negerinya sendiri untuk menyerang negara
lain, oleh karena itu garis logistiknya semakin panjang. Kondisi ini
akan sangat menguntungkan pihak yang bertahan karena kawasan
perang sepenuhnya akan membantu pihaknya. Namun pada perang
modern rupanya prinsip ini sudah tidak merupakan hambatan lagi
kini depot-depot logistik dapat saja diajukan ke depan jauh sebelum
perang. Setidak-tidaknya untuk mendukung penyelenggaraan perang
dalam kurun waktu terbatas. Apabila pihak yang bertahan menganut
strategi perang berlarut (hasil temuan pada abad 20) maka prinsip ini
masih dapat dipertahankan sepanjang peperangan tidak meng-
gunakan senjata penghancuran massal. Dalam perkembangan
selanjutnya bantuan dari kawasan perang yang diperoleh tidak lagi
terbatas pada unsur logistik saja tetapi juga bantuan dari tenaga
rakyat (Indonesia Hanrata).

c. Konvergen dalam strategi dan taktik.

1) Sebagaimana teori operasi garis luar dan operasi garis dalam


manuver-manuver operasi juga dapat dilakukan secara memencar
(konvergen) atau memusat (divergen). Kedua bentuk/ garis operasi ini
harus dikaitkan dengan faktor medan/geografi, musuh, pasukan
sendiri waktu dan faktor-faktor lainnya, serta memiliki keuntungan
dan kerugian masing-masing.

2) Operasi yang bersifat konvergen dilakukan dengan memilih


beberapa titik sebagai pangkal manuver, untuk selanjutnya bergerak
memusat kedalam, operasi ini identik dengan operasi garis luar.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh pasukan yang
melaksanakan operasi yang bersifat konvergen adalah kekuatan yang
lebih besar dibandingkan dengan kekuatan musuh. Dengan pasukan
yang lebih besar dan bergerak dari titik-titik luar ini maka musuh
dapat dikepung dan dipikul pada titik-titik terlemahnya. Keberhasilan
operasi juga ditentukan oleh koordinasi dan sinkronisasi, termasuk
komando dan pengendalian yang efektif. Pengepungan dan
penghancuran pasukan Jerman di Argentina pada Perang Dunia II
oleh pasukan Sekutu adalah contoh operasi yang bersifat konvergen.

d. Divergen dalam strategi dan taktik.

1) Operasi yang bersifat devergen adalah identik dengan operasi


garis dalam, pasukan yang melaksanakan operasi ini bergerak dari
titik sentral (pusat) kemudian bergerak memencar keluar.

2) Operasi yang bersifat devergen dilaksanakan bila kekuatan


pasukan sendiri relatif lebih kecil dari pasukan musuh, keuntungan
dari bentuk operasi ini adalah mudah dan cepatnya pasukan sendiri
merubah titik berat serangan apabila keadaan memerlukan. Faktor
utama yang menunjang keberhasilan operasi bersifat divergen adalah
mobilitas dan kecepatan untuk merubah formasi-formasi serangan
berikut perubahan unsur-unsur bantuan tembakan, bantuan tempur
dan bantuan administrasinya. Keberhasilan pasukan Jerman di
324

Tannenberg pada Perang Dunia II adalah contoh sejarah yang bersifat


klasik.

30. Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis Luar dalam Strategi dan Taktik.

a. Sebelum kita bahas penerapan Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis
Luar dalam strategi dan taktik, perlu kiranya dilihat terlebih dahulu
hubungan keterkaitan antara strategi dan taktik itu sendiri. Salah satu
pandangan yang patut dikenal adalah pandangan Clausewitz yang lebih
banyak mengandung kebenaran universal. Ia mengatakan bahwa dalam
strategi tidak ada kemenangan, akan tetapi strategi yang tepat akan
mengantar kemenangan taktik dan hasil strategis pada akhirnya akan
ditentukan oleh kemenangan-kemenangan taktis dalam pertempuran. Dari
apa yang dikemukan Clausewitz tersebut terkandung kebenaran bahwa
strategi adalah tidak kaku, ia harus fleksible dan mampu menarik
keuntungan dari kemenangan-kemenangan taktis yang tak terduga untuk
dieksploitasikan menjadi sukses yang lebih besar.

Kedua yang harus kita cermati adalah teori Operasi Garis Dalam dan
Operasi Garis Luar lahir dari sejarah perang Infanteri berjalan kaki, apa yang
diakui sebagai lingkup strategi pada jamannya, jauh berbeda dengan
pengertian lingkup strategi masa sesudahnya. Terlebih-lebih pada era Iptek
persenjataan yang modern masa kini. Peperangan masa kini tidak lagi
berupa pertempuran antara prajurit, akan tetapi seluruh kekuatan dan
potensi Ipoleksosbud turut serta dikerahkan bersama kekuatan militer. Oleh
karena itu masa depan penerapan Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis
Luar dalam taktis dan strategi akan semakin bervariasi lagi dan tidak
tertutup kemungkinan ditemukannya prinsip-prinsip baru yang dulu belum
pernah terbaca.

b. Beberapa azas yang bermanfaat dalam lingkup strategis. Dari temuan


masa lalu, azas-azas yang dinilai penting dalam Operasi Garis Dalam dan
Operasi Garis Luar terbatas pada :

1) Kondisi medan dan pendadakan. Pihak yang bertahan memiliki


keuntungan penguasaan medan, sedangkan pihak penyerang
memegang inisiatif sepenuhnya untuk memiliki waktu yang tepat
kapan ia sebaiknya menyerang, yang patut diperhatikan ialah
pendadakan strategis jauh lebih bermanfaat dan akan memperoleh
hasil yang besar daripada pendadakan dalam lingkup taktis. Jika
pihak yang bertahan terlanjur mengembangkan pasukannya
sedemikian tersebar, maka pihak penyerang dapat segera menyerang
untuk melumpuhkan satu titik yang menentukan. Keuntungan ini
bahkan dapat dengan segera menentukan kemenangan perang dalam
waktu yang sangat singkat. Inilah arti pendadakan strategis yang
dimaksud (contoh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mungkin
memenuhi premis tersebut).

2) Serangan dari beberapa jurusan. Bila pihak yang bertahan


diserang dari beberapa jurusan, maka dalam waktu yang bersamaan
ia tidak akan dapat menembaki penyerang dari semua arah, yang
terjadi malah sebaliknya. Namun dalam lingkup strategis dimana
ruang begitu luas, peringatan tersebut tidak sepenuhnya benar, pihak
yang bertahan dapat saja mengacaukan garis komunikasi penyerang
sepanjang garis komunikasinya sendiri masih dapat diamankan. Oleh
325

karena itu pihak yang bertahan (jadi ia melakukan Operasi Garis


Dalam) harus memelihara garis operasinya agar tidak terlalu panjang.
Jadi disini pelajaran yang dapat kita ambil adalah adanya hubungan
yang saling berpengaruh antara garis komunikasi dan inisiatif.

3) Bantuan dari kawasan perang. Dulu, pihak penyerang hampir


selalu harus meninggalkan negerinya sendiri untuk menyerang negara
lain, oleh karena itu garis logistiknya semakin panjang. Kondisi ini
akan sangat menguntungkan pihak yang bertahan karena kawasan
perang sepenuhnya akan membantu pihaknya. Namun pada perang
modern rupanya prinsip ini sudah tidak merupakan hambatan lagi
kini depot-depot logistik dapat saja diajukan ke depan jauh sebelum
perang. Setidak-tidaknya untuk mendukung penyelenggaraan perang
dalam kurun waktu terbatas. Apabila pihak yang bertahan menganut
strategi perang berlarut (hasil temuan pada abad 20) maka prinsip ini
masih dapat dipertahankan sepanjang peperangan tidak meng-
gunakan senjata penghancuran massal. Dalam perkembangan
selanjutnya bantuan dari kawasan perang yang diperoleh tidak lagi
terbatas pada unsur logistik saja tetapi juga bantuan dari tenaga
rakyat (Indonesia Hanrata).

c. Konvergen dalam strategi dan taktik.

1) Sebagaimana teori operasi garis luar dan operasi garis dalam


manuver-manuver operasi juga dapat dilakukan secara memencar
(konvergen) atau memusat (divergen). Kedua bentuk/garis operasi ini
harus dikaitkan dengan faktor medan/geografi, musuh, pasukan
sendiri waktu dan faktor-faktor lainnya, serta memiliki keuntungan
dan kerugian masing-masing.

2) Operasi yang bersifat konvergen dilakukan dengan memilih


beberapa titik sebagai pangkal manuver, untuk selanjutnya bergerak
memusat kedalam, operasi ini identik dengan operasi garis luar.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh pasukan yang
melaksanakan operasi yang bersifat konvergen adalah kekuatan yang
lebih besar dibandingkan dengan kekuatan musuh. Dengan pasukan
yang lebih besar dan bergerak dari titik-titik luar ini maka musuh
dapat dikepung dan dipikul pada titik-titik terlemahnya. Keberhasilan
operasi juga ditentukan oleh koordinasi dan sinkronisasi, termasuk
komando dan pengendalian yang efektif. Pengepungan dan
penghancuran pasukan Jerman di Argentina pada Perang Dunia II
oleh pasukan Sekutu adalah contoh operasi yang bersifat konvergen.

d. Divergen dalam strategi dan taktik.

1) Operasi yang bersifat devergen adalah identik dengan operasi


garis dalam, pasukan yang melaksanakan operasi ini bergerak dari
titik sentral (pusat) kemudian bergerak memencar keluar.

2) Operasi yang bersifat divergen dilaksanakan bila kekuatan


pasukan sendiri relatif lebih kecil dari pasukan musuh, keuntungan
dari bentuk operasi ini adalah mudah dan cepatnya pasukan sendiri
merubah titik berat serangan apabila keadaan memerlukan. Faktor
utama yang menunjang keberhasilan operasi bersifat divergen adalah
mobilitas dan kecepatan untuk merubah formasi-formasi serangan
326

berikut perubahan unsur-unsur bantuan tembakan, bantuan tempur


dan bantuan administrasinya. Keberhasilan pasukan Jerman di
Tannenberg pada Perang Dunia II adalah contoh sejarah yang bersifat
klasik.

e. Pengaruh Geopolitik terhadap Operasi Garis Dalam dan Operasi


Garis Luar.

Pada dasarnya letak geografi suatu negara terhadap negara lain akan
sangat menentukan apakah lebih menguntungkan penggunaan strategi
Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis Luar. Beberapa contoh dapat
dikemukakan misalnya :

1) Jerman. Sebelum Perang Dunia II mempunyai 11 renungan


tetangga dan waktu Perang Dunia II musuh-musuhnya yang utama
ialah Perancis dan Rusia.

2) Jepang. Permusuhan dengan Tiongkok, Rusia, Amerika dan


Belanda pada Perang Dunia II dan letaknya yang sentral memaksa ia
mempergunakan garis dalam dan lawan-lawannya berada di garis
luar.

Dengan memperhatikan bahwa strategi nasional adalah politik


nasional dalam pelaksanaan maka didalam penggunaan garis dalam
faktor-faktor dan sasaran-sasaran politik lainnya harus dipertimbang-
kan dan dipergunakan. Jika doktrin operasi garis dalam menyatakan
bahwa harus selalu menyerah di suatu tempat hanya satu tempat yang
diserang dan berdasarkan doktrin operasi garis luar, operasi garis
dalam harus berusaha supaya tekanan dari jurusan lain jangana
terlalu berat maka dalam menyerang di satu tempat harus pula
mengikat musuh dilain tempat. Kebijaksanaan dan pertimbangan
keadaan dan kondisi mempertimbangkan alat-alat politik apa atau
kekuatan-kekuatan apa yang akan dipergunakan untuk menyerang di
suatu tempat dan mengikat di lain tempat. Perjanjian saling tidak
menyerang perundingan-perundingan dan lain sebagainya lazim juga
dipergunakan untuk mengikat.

Cara klasik ialah dengan mengikat dan mempergunakan


kekuatan militer, cara ini kita lihat dipergunakan oleh Jerman pada
Perang Dunia II dengan melancarkan serangan utama di front barat
dan dengan kekuatan militer lainnya menahan gerakan maju
pasukan-pasukan Rusia dari Timur.

Contoh berikut adalah pengikatnya dengan alat-alat non militer


yang dapat kita lihat pada PD II yang lalu :

a) Jerman. Berunding dengan Inggris tetapi menyerang di


Austria dan Cekoslovakia.

b) Jepang. Mengadakan perjanjian saling tidak menyerang


dengan Rusia tetapi menyerang ke Tiongkok, Asia Tenggara dan
Pasifik. Zaman sesudah PD II memperlihatkan cara-cara baru
yaitu memulai pertikaian disatu tempat untuk menarik
perhatian lawan-lawan ketempat itu untuk memperoleh
kebebasan di lain tempat, dengan tujuan mengkonsolidasikan
327

kemenangan yang diperoleh, ataukah untuk melancarkan


serangan di tempat ini. Contoh Blok Komunis memulai
pertikaian di Quemoy untuk memperoleh kebebasan di Berlin.

f. Beberapa Diktum Operasi Garis Dalam dan Operasi Garis Luar


dalam Strategi Perang.

1) Bentuk memusat memberikan hasil-hasil brillian, yang


memencar lebih terjamin.

2) Bentuk memusat adalah bentuk yang lebih lemah tetapi


mempunyai tujuan yang lebih positif dan efektif.

3) Bentuk memencar adalah bentuk yang lebih kuat tetapi dapat


mengundang resiko.

4) Suatu pertahanan strategis selalu mengambil OGD akan tetapi


untuk memperoleh tujuan perang (kemenangan) kita harus beralih
kepada ofensif strategis. Keunggulan ini harus dicapai dengan
memperoleh kemenangan-kemenangan taktis walaupun kecil, yang
semakin lama semakin menumpuk menjadi kemenangan besar. Untuk
ini adalah perlu mempergunakan ofensif-ofensif taktis didalam
defensif strategis. Melakukan pertempuran yang berkesudahan cepat
(quick decision) didalam protected war, dan melakukan pertempuran-
pertempuran garis luar didalam garis dalam. Mao Tse Tung berkata
pusatkan suatu kekuatan besar untuk memukul pasukan musuh
yang kecil, ini tetap menjadi dasar dari pada operasi garis luar dalam
strategi operasi garis dalam.

5) Clausewitz berkata peralihan yang cepat dan kuat ke ofensif


adalah segi yang paling jitu dari pada pertahanan, siapa yang tidak
memperhatikan ini mulai dari permulaan, siapa yang tidak
memasukkan ini mulai dari permulaan kedalam konsepsi
pertahanannya, tidak akan dapat memahami keunggulan pertahanan.

6) Loyd. Berpendapat bahwa tidak ada musuh, bagaimanapun


kuatnya yang dapat bertahan jika tuan bergerak terhadapnya di front
dan pada waktu yang bersamaan melepaskan satu korps yang kuat
bertindak terhadap lambung-lambung dan belakangnya. Jika dalam
hal ini dilancarkan serangan pada waktu yang bersamaan, maka
dalam kondisi demikian tuan harus mempunyai komunikasi yang
baik.

7) Bulow. Dengan mengatakan operasi ofensif terhadap musuh


seharusnya konsentrik, ia lebih menyukai operasi garis luar.

8) Napoleon . “ ……….. saya selamanya berada digaris dalam”.


Dapat dimengerti bahwa ia tidak menyukai garis luar, garis luar
menghendaki komandan-komandan kolone yang mempunyai inisiatif
dan dapat dipercaya untuk bertindak sendiri. Ia tidak mempercayai
komandan-komandan bawahannya dan karena itu lebih suka
beroperasi dari posisi yang sentral sehingga ia dapat memimpin sendiri
segala-galanya. Manakala ada tentaranya yang beroperasi sendiri
dibawah pimpinan seorang komandan bawahan yang jauh dari
pengawasannya seperti di Spanyol tentaranya ini umumnya menderita
328

kekalahan. Walaupun demikian penelitian sejarah kampanye-


kampanye yang dilakukan oleh Napoleon menunjukkan bahwa tidak
selamanya ia berada di garis dalam. Pada kampanye Ulm dan lainnya
ia berada digaris luar, kemenangannya pertama yaitu tahun 1796 di
Montenotte memang dihasilkan oleh operasi garis dalam. Di Leipzig
dan Waterloo operasi garis dalamnya menderita kegagalan. Menurut
Caemmerer ini antara lain disebabkan oleh kelambatan tentaranya,
dasar-dasar strateginya disimpulkan dengan bergeraklah cepat,
persatukan kekuatan-kekuatanmu dan seranglah segera. Diperlihat-
kan ketidaksenangannya kepada garis luar dengan mengatakan
beroperasi dari jurusan-jurusan yang berlainan yang jauh tanpa
komunikasi yang baik adalah suatu kesalahan.

9) Jomini. Sangat mengagumi mendukung bahkan menelan


doktrin Napoleon dan menyebut garis dalam sebagai conner stone
daripada strategi. Didalam tulisan-tulisannya ia mengakui Jika saya
pernah memimpin tentara, saya tidak ragu-ragu mempergunakan
garis dalam, setiap waktu saya melihat bahwa itu menguntungkan (ia
tidak pernah menjadi komandan). Disebutnya empat kondisi untuk
menyelenggarakan operasi garis dalam yang berhasil :

a) Ruang tidak boleh terlalu terbatas karena tuan akan


terkepung.

b) Juga jangan terlalu besar karena sayap pengikat akan


tergulung.

c) Seranglah ujung-ujung jangan pusat garis musuh.

d) Kalahkan hanya satu bagian secara total.

10) Dodge. Penganut teori garis dalam, ia mengambil kesimpulan


yang banyak persamaanya dan memberikan empat kondisi pula :

a) Tuan harus menyerang

b) Seranglah satu tempat pada satu waktu

c) Jika tuan menyerang selesaikanlah serangan itu

d) Dengan cara bertindak diatas, tuan harus mengusahakan


supaya musuh berada pada suatu jarak sehingga pengepungan
taktis dari lawan dapat dihindari.

11) Wartenburg. Membenarkan strategi Napoleon tetapi mengakui


bahwa komunikasi hampir menghilangkan satu dari bahaya-bahaya
yang tadinya ada yaitu kerja sama/aksi bersama dalam berbagai
operasi. Secara berhati-hati dikatakannya lagi Operasi Garis Dalam
itu seharusnya jangan ditolak lagi.

12) Bernhard. Secara positif menyatakan usaha-usaha harus


dilakukan untuk memegang garis-garis luar dan kita harus
memberikan sejumlah keunggulan tertentu kepada garis-garis luar.
Mengenai garis dalam ia berpendapat bahwa ini memerlukan
329

pertimbangan seksama dan secara esensial adalah suatu operasi yang


sukar.

13) Henderson. Menonjolkan segi-segi kekuatan garis dalam pada


masa perang saudara Amerika tetapi ia melunakkan pendapatnya
dengan mengakui bahwa ada kalanya garis-garis luarlah yang terbaik
dengan mengambil Waterloo, Koniggrate, Chancheillorsbille sebagai
contoh. Dikemukakannya bahwa strategi garis dalam, supaya berhasil
memerlukan tekanan kuat dan terus menerus terhadap tentara utama
musuh dan merampas waktu dan ruang daripadanya yang
diperlukannya untuk pukulan pembalasan. Jika ini tidak mungkin,
musuh yang ulung akan segera mempergunakan posisi sentralnya.
330

BAB V
PENGETAHUAN SIBER

31. Urgensi Pertahanan Siber.

a. Umum.

Urgensi pertahanan siber ditujukan untuk mengantisipasi datangnya


ancaman-ancaman dan serangan siber yang terjadi dan menjelaskan posisi
ketahanan saat ini, sehingga diperlukan kesiapan dan ketanggapan dalam
menghadapi ancaman serta memiliki kemampuan untuk memulihkan akibat
dampak serangan yang terjadi di ranah siber.

b. Ancaman dan Serangan Siber.

1) Ancaman Siber.

a) Sumber Ancaman.

Sumber Ancaman adalah entitas yang berkeinginan atau


memiliki niat dan benar-benar secara nyata akan melakukan
kegiatan yang melanggar norma dan hukum, aturan dan
ketentuan serta kaidah atau kontrol keamanan informasi serta
aset fisik lainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang bersifat materiil dan immateriil. Ancaman dan
serangan tersebut dapat dilakukan oleh pelaku yang mewakili
pemerintah (State Actor) atau non pemerintah (Non State Actor),
sehingga pelaku bisa bersifat perorangan, kelompok, golongan,
organisasi atau bahkan sebuah negara.

Secara umum unsur-unsur yang dapat diidentifikasi


memiliki potensi sebagai sumber ancaman terdiri atas :

(1) Sumber Internal dan Eksternal.

(2) Kegiatan Intelijen.

(3) Kekecewaan.

(4) Investigasi.

(5) Organisasi Ekstremis.

(6) Hacktivists.

(7) Grup Kejahatan Terorganisir.

(8) Persaingan, Permusuhan & Konflik.

(9) Teknologi.

b) Aspek Ancaman. Aspek ancaman adalah segala sesuatu


yang melatarbelakangi terjadinya ancaman dan serangan siber,
yang meliputi aspek-aspek Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial,
331

Budaya, Kebangsaan, Militer, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


serta aspek lain yang terkait dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat termasuk kepentingan pribadi.

c) Bentuk Ancaman. Bentuk ancaman siber yang sering


terjadi saat ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut :

(1) Serangan Advanced Persistent Threats (APT), Denial


of Service (DoS) dan Distributed Denial of Service (DDoS),
biasanya dilakukan dengan melakukan overloading
kapasitas sistem dan mencegah pengguna yang sah untuk
mengakses dan menggunakan sistem atau sumber daya
yang ditargetkan. Serangan ini bertujuan untuk
mengganggu operasional sistem, dengan cara
menghadapkan sistem pada permintaan akses dan proses
yang jauh lebih besar dari yang bisa ditangani sistem.
Sehingga sistem menjadi terlalu sibuk dan crash,
akibatnya menjadi tidak dapat melayani atau tidak dapat
beroperasi. Permasalahan ini merupakan ancaman yang
berbahaya bagi organisasi yang mengandalkan hampir
sepenuhnya pada kemampuan internet guna
menjalankan roda kegiatannya.

(2) Serangan Defacement, dilakukan dengan cara


melakukan penggantian atau modifikasi terhadap
halaman web korban sehingga isi dari halaman web
korban berubah sesuai dengan motif penyerang.

(3) Serangan Phishing, dilakukan dengan cara


memberikan alamat website palsu dengan tampilan persis
sama dengan website aslinya. Tujuan dari serangan
phishing ini adalah untuk mendapatkan informasi penting
dan sensitif seperti username, password dan lain-lain.

(4) Serangan Malware, yaitu suatu program atau kode


berbahaya yang dapat digunakan untuk mengganggu
operasi normal dari sebuah sistem komputer. Biasanya
program malware telah dirancang untuk mendapatkan
keuntungan finansial atau keuntungan lain yang
direncanakan. Jumlah serangan malware terus
berkembang, sehingga saat ini telah menjadi pandemi
yang sangat nyata. Malware telah terjadi dimana-mana
dan mempengaruhi semua orang yang terlibat dalam
setiap sektor kegiatan. Istilah virus generik digunakan
untuk merujuk setiap program komputer berbahaya yang
mampu mereproduksi dan menyebarkan dirinya sendiri.

(5) Penyusupan siber, yang dapat menyerang sistem


melalui identifikasi pengguna yang sah dan parameter
koneksi seperti password, melalui eksploitasi kerentanan
yang ada pada sistem. Metode utama yang digunakan
untuk mendapatkan akses ke dalam sistem adalah :

(a) Menebak. Sandi yang begitu jelas, seperti


nama pengguna, nama pasangan atau anak,
332

tanggal lahir atau berbagai hal yang penting yang


berkaitan dengan diri dan keluarganya, sangat
mudah untuk ditebak dan dipecahkan.

(b) Account yang tidak terlindungi. Pengguna


juga dapat melakukan kesalahan, dengan tidak
memasang password atau dengan mudah
memberikan password kepada orang lain.

(c) Penipuan dan Rekayasa Sosial, misalnya


pelaku dapat mengaku dan bertindak sebagai
administrator dan meminta password dengan
beberapa alasan teknis. Dalam sejumlah besar
kasus, pengguna akan mengungkapkan data
mereka. Pelaku dapat menipu melalui telepon atau
pesan elektronik. Beberapa orang pelaku tidak
faham komputer, tetapi ternyata pelaku dapat
memperoleh kunci sesuai dengan sistem yang
mereka inginkan untuk ditembus.

(d) Mendengarkan lalu lintas komunikasi data.


Penyadap akan mendengarkan data yang tidak
terenkripsi yang dikirimkan melalui jaringan
melalui protokol komunikasi. Mereka beroperasi
menggunakan PC dengan cara mengendus (Sniffing)
dan menganalisis data dalam transit di jaringan,
kemudian mengekstraksi password terenkripsi
yang ditularkan oleh pengguna selama koneksi.
Jika pelaku tidak bisa mengandalkan keterlibatan
dari dalam organisasi dalam mendapatkan
password secara langsung, maka dengan bantuan
perangkat elektronik mereka dapat mencegatnya
dari protokol komunikasi atau mengakses file yang
berisi semua password.

(e) Trojan Horse. Program mata-mata yang


spesifik dan sangat berbahaya (Spyware) secara
diam-diam dapat merekam parameter yang
digunakan untuk menghubungkannya ke sistem
remote. Trojan adalah sebuah program kecil yang
umumnya pengganti dirinya untuk kode login yang
meminta pengguna untuk menangkap atau
memberikan identifikasi dan password, dengan
keyakinan bahwa ia berada dalam lingkungan
operasi normal, dimana sandi segera ditransmisi-
kan ke server sebagai pesan anonim dari pelaku.

(f) Sistem Otentifikasi. Semua password pengguna


harus disimpan pada sebuah server. Pelaku akan
mengakses file yang menyimpan semua password
user yang dienkripsi, untuk kemudian dibuka
dengan utilitas yang tersedia pada jaringan.

(g) Cracking Password Terenkripsi. Jika pelaku


atau cracker tahu algoritma cypher, ia bisa menguji
333

semua permutasi yang mungkin, yang dapat


merupakan kunci untuk memecahkan password.
Serangan ini dikenal sebagai brute force. Alternatif
lain adalah dengan menggunakan kamus untuk
menemukan password terenkripsi, yang disebut
serangan kamus. Dengan perbandingan berturut-
turut, bentuk kode password yang terdapat dalam
kamus kriminal dapat digunakan untuk menebak
password terenkripsi yang digunakan.

(h) Memata-matai. Hal ini dilakukan dengan


merekam parameter koneksi mereka dengan
menggunakan software, spyware atau perangkat
multimedia, seperti kamera video dan mikrofon,
guna menangkap informasi rahasia, seperti
password untuk mengakses sistem yang dilindungi.

(6) Spam. Spam adalah pengiriman e-mail secara


massal yang tidak dikehendaki, dengan tujuan :

(a) Komersial atau publisitas.

(b) Memperkenalkan perangkat lunak ber-


bahaya, seperti malware dan crimeware ke dalam
sistem.

(c) Pada situasi terburuk, spam menyerupai


serangan bom email, dengan akibat mail server
mengalami kelebihan beban, mailbox user penuh
dan ketidaknyamanan dalam pengelolaan.
Sebelumnya spam hanya dianggap sebagai
gangguan, tapi saat ini e-mail spam merupakan
ancaman nyata. Hal tersebut telah menjadi vektor
istimewa untuk penyebaran virus, worm, trojans,
spyware dan upaya phishing.

(7) Penyalahgunaan Protokol Komunikasi. Sebuah


serangan spoofing Transmision Control Protocol (TCP)
bergantung pada kenyataan bahwa protokol TCP
menetapkan koneksi logis antara dua ujung sistem untuk
mendukung pertukaran data. Pengidentifikasi logis
(nomor port) digunakan untuk membangun sebuah
koneksi TCP. Sebuah serangan TCP nomor port akan
melibatkan kegiatan menebak atau memprediksi nomor
port berikutnya yang akan dialokasikan untuk pertukaran
data dalam rangka menggunakan angka-angka bukan
pengguna yang sah. Hal ini memungkinkan untuk
melewati firewall dan mendirikan sebuah hubungan yang
aman antara dua entitas, yaitu hacker dan target.

d) Jenis Ancaman Menurut Michael D. Mcdonnell dan


Terry L. Sayers, jenis ancaman siber dikelompokkan dalam :

(1) Ancaman Perangkat Keras (Hardware threat), yaitu


ancaman yang disebabkan oleh pemasangan peralatan
334

tertentu yang berfungsi untuk melakukan kegiatan


tertentu dalam suatu sistem, sehingga peralatan tsb
merupakan gangguan terhadap sistem Jaringan dan
Perangkat Keras lainnya, contoh : Jamming dan Network
Intrusion.

(2) Ancaman Perangkat Lunak (Software threat), yaitu


ancaman yang disebabkan oleh masuknya software
tertentu yang berfungsi untuk melakukan kegiatan
seperti : Pencurian Informasi (Information Theft),
Perusakan Informasi/Sistem (Information/System
Destruction), Manipulasi Informasi (Information Corruption)
dan lain sebagainya, ke dalam suatu sistem.

(3) Ancaman Data/Informasi (data/information threat),


adalah ancaman yang diakibatkan oleh penyebaran
data/informasi tertentu yang bertujuan untuk
kepentingan tertentu, seperti yang dilakukan dalam
information warfare termasuk kegiatan propaganda.

2) Serangan Siber.

a) Serangan Siber (Cyber Attack) terjadi ketika intensitas dan


skala ancaman siber meningkat dan berubah dari ancaman
yang bersifat potensial menjadi faktual berupa kegiatan atau
tindakan yang bertujuan untuk memasuki, menguasai,
memodifikasi, mencuri atau merusak, atau menghancurkan
atau melumpuhkan sistem atau aset informasi, yang
dikategorikan, sebagai berikut :

(1) Perang Siber (Cyber war), adalah semua tindakan


yang dilakukan secara sengaja dan terkoordinasi dengan
tujuan mengganggu kedaulatan negara. Perang siber
dapat berupa serangan terorisme (Cyber terrorism)
maupun spionase (Cyber espionage) yang mengganggu
keamanan nasional. Adapun serangan siber memiliki
karakteristik sebagai berikut :

(a) Intentional (disengaja).

(b) Kegiatan aktif.

(c) Skala besar.

(2) Gangguan Siber (Cyber Violence), adalah serangan


siber yang memiliki karakteristik sebagai berikut :

(a) Unintentional (Tidak disengaja).

(b) Kegiatan pasif.

(c) Skala kecil.


335

b) Penanggulangan Serangan Siber. Kegiatan penanggulang


an serangan siber menggunakan pendekatan yang menyesuai
kan diri dengan sumber dan bentuk serangan yang dihadapi.
Bentuk penanggulangan serangan siber yang dilakukan dapat
berupa :

(1) Pertahanan Siber (Cyber Defense), adalah suatu


upaya untuk menanggulangi serangan siber yang
menyebabkan terjadinya gangguan terhadap penyeleng
garaan negara secara normal. Pertahanan siber disiapkan
sebagai suatu upaya penanggulangan serangan siber
semacam ini.

(2) Penanganan secara hukum. Melakukan koordinasi


dengan aparat keamanan terkait apabila telah diketahui
pelaku kejahatan siber.

(3) Serangan balik siber (Cyber Counter-Attack), adalah


suatu tindakan serangan balik terhadap sumber serangan
dengan tujuan memberikan efek jera terhadap pelaku
serangan siber.

c) Sasaran Serangan Siber. Berdasarkan tujuan dan


sasarannya, serangan siber ditujukan kepada :

(1) Perorangan, masyarakat umum, organisasi,


komunitas tertentu, yang bersifat kejahatan siber.

(2) Obyek Vital Infrastruktur Kritis Nasional (National


Critical Infrastructure), yaitu sistem-sistem infrastruktur
fisik yang sangat penting dimana bila sistem ini tidak
berfungsi atau rusak, maka dapat berdampak
melemahkan pertahanan atau keamanan serta ekonomi
bangsa.

(3) Kepentingan nasional, yaitu seluruh aspek yang


terkait dengan tujuan nasional, lambang/simbol negara,
politik negara serta kepentingan bangsa.

d) Dampak Serangan Siber. Dampak yang mungkin dialami


dari sebuah serangan siber dapat berbentuk :

(1) Gangguan fungsional.

(2) Pengendalian sistem secara remote.

(3) Penyalahgunaan informasi.

(4) Kerusuhan, ketakutan, kekerasan, kekacauan,


konflik.

(5) Serta kondisi lain yang sangat merugikan, sehingga


memungkinkan dapat mengakibatkan kehancuran.
336

c. Kondisi Saat Ini.

Kondisi Pertahanan Siber saat ini di lingkungan Kemhan/TNI dapat


diuraikan sebagai berikut :

1) Kebijakan.

Kebijakan untuk pertahanan siber sudah mulai disusun dan


pelaksanaannya dilakukan pada tahapan berikutnya. Kebijakan
tersebut melengkapi kebijakan yang ada, yang pada umumnya masih
fokus pada pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi di
lingkungan Kementerian secara umum. Salah satu kebijakan pijakan
yang ada adalah Peraturan Menhan Nomor 16/2010 tentang
Organisasi dan Tatakerja Kemhan, yang salah satunya menguraikan
peranan dari Pusdatin Kemhan dan Unit-unit Datin di Satker Kemhan.
Selain itu telah disusun pula kebijakan yang diperlukan dalam
menunjang pertahanan siber. Kebijakan tersebut pada masa yang
akan datang akan menjadi acuan bagi persiapan, pengembangan,
pelatihan dan pengoperasian pertahanan siber.

2) Kelembagaan.

Sebagaimana diuraikan dalam butir a, kelembagaan pada saat


ini masih bersifat mendukung teknologi informasi secara umum dan
belum mendukung keperluan pertahanan siber yang lebih spesifik.
Langkah-langkah pembentukan kelembagaan pertahanan siber sudah
mulai diambil, tetapi masih dalam bentuk penambahan tugas dan
fungsi pertahanan siber ke dalam struktur yang ada.

3) Teknologi dan Infrastruktur pendukung.

Teknologi dan Infrastruktur pendukung yang tersedia saat ini


baik yang bersifat umum maupun khusus menunjang pertahanan
siber, masih dalam proses peningkatan.

4) Sumber Daya Manusia.

Persiapan untuk penyediaan SDM dalam rangka mendukung


pertahanan siber sudah mulai dilakukan, meskipun baru persiapan
awal dalam bentuk program peningkatan kesadaran (awareness) dan
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan keamanan informasi.
Implementasi Pertahanan siber pada masa yang akan datang akan
memerlukan program peningkatan SDM yang jauh lebih besar dan
substantif.

d. Kebutuhan Pertahanan Siber.

Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia memiliki dua


kepentingan dalam pertahanan siber. Pertama, untuk mengamankan semua
sistem elektronik dan jaringan informasi di lingkungannya. Kedua,
mendukung koordinasi pengamanan siber di sektor-sektor lainnya sesuai
kebutuhan. Memperhatikan dua kepentingan tersebut maka diperlukan
antisipasi bagi kebutuhan pertahanan siber yang meliputi aspek-aspek :
337

1) Kebijakan.

Kebijakan-kebijakan yang menjadi acuan bagi seluruh kegiatan


pertahanan siber termasuk pengembangan, pengoperasian dan
koordinasi sangat penting untuk dirumuskan dan ditetapkan.
Kebijakan-kebijakan ini meliputi aspek pengembangan kelembagaan,
persiapan infrastruktur dan teknologi, persiapan Sumber Daya
Manusia dan penetapan peran, fungsi dan wewenang dalam
pertahanan siber di lingkungan Kemhan/TNI. Kebutuhan ini perlu
diwujudkan dalam bentuk peraturan, pedoman, petunjuk teknis dan
bentuk-bentuk kebijakan lain yang dapat memastikan kegiatan
pertahanan siber dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2) Kelembagaan.

Kelembagaan yang kuat dan efektif sangat diperlukan dalam


menjalankan tugas-tugas dan kegiatan pertahanan siber, dengan
mengacu kepada kebijakan yang ditetapkan. Hal ini meliputi struktur
organisasi, pembagian tugas dan wewenang, dan mekanisme kerja
serta pengawasan. Kelembagaan ini perlu diwujudkan melalui kajian
pengembangan kelembagaan di seluruh satker Kemhan/TNI yang
diikuti dengan langkah-langkah persiapan, dan pembentukan,
penyesuaian dan/atau penguatan kelembagaan sehingga tersedia
kelembagaan yang efektif dalam mendukung pertahanan siber.

3) Teknologi dan Infrastruktur pendukung.

Teknologi dan infrastruktur pendukung yang lengkap,


diperlukan sebagai sarana dan kelengkapan bagi kegiatan pertahanan
siber yang diselenggarakan, agar pertahanan siber dapat terlaksana
dengan efektif dan efisien. Teknologi dan infrastruktur pendukung ini
perlu diwujudkan melalui kajian pengembangan yang diikuti dengan
langkah-langkah persiapan, dan pembentukan, penyesuaian
dan/atau penguatan teknologi dan infrastruktur yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dalam memenuhi kebutuhan
pertahanan siber.

4) Sumber Daya Manusia.

Sumber Daya Manusia merupakan satu unsur yang terpenting


dalam memastikan terlaksananya pertahanan siber sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Pengetahuan dan ketrampilan
khusus pertahanan siber harus dimiliki dan dipelihara sesuai dengan
perkembangan kondisi kebutuhan pertahanan siber. Sumber Daya
Manusia diwujudkan dalam bentuk program rekruitmen, pembinaan
serta pemisahan yang mengacu pada ketentuan yang berlaku.

32. Pokok Pertahanan Siber.

a. Umum.

Dalam rangka persiapan, pembangunan, pengembangan dan


penerapan pertahanan siber di lingkungan Kemhan/TNI, diperlukan
persamaan pemahaman tentang prinsip-prinsip, sasaran serta tugas, peran
dan fungsi pertahanan siber yang akan dilaksanakan. Hal ini menjadi acuan
338

dalam penetapan resiko yang ditimbulkan sehingga menentukan langkah-


langkah pertahanan siber yang akan diambil.

b. Prinsip-prinsip Pertahanan Siber.

1) Memiliki model pengamanan informasi yang terstruktur dan


terintegrasi serta mengadopsi berbagai standar dan panduan
pengamanan informasi yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang.

2) Faktor kerahasiaan, integritas dan ketersediaan pertahanan


siber harus dipastikan sejak tahap perancangan sebagai salah satu
prinsip dasar keamanan informasi.

3) Pertahanan siber mengandung unsur kebijakan, kelembagaan,


teknologi dan infrastruktur pendukung serta Sumber Daya Manusia.

4) Implementasi pertahanan siber harus dilakukan oleh SDM yang


memiliki kompetensi, integritas yang tinggi dan terlindungi.
Dilakukan secara efektif dan efisien dalam bentuk keamanan fisik dan
keamanan logis secara terintegrasi dengan memanfaatkan semaksimal
mungkin teknologi terbuka dan produk Indonesia dalam rangka
kemandirian dan kedaulatan.

5) Penetapan zona pengamanan berdasarkan klasifikasi SDM yang


terlibat seperti administrator, pengguna dan tipe lain.

6) Mengacu kepada prinsip-prinsip tata kelola yang menjamin


terwujudnya pengawasan melekat dalam pertahanan siber.

7) Menjamin bahwa implementasi sistem siber aman dan tahan


terhadap serangan siber lawan.

8) Mengembangkan kondisi yang lebih menguntungkan untuk


tindakan ofensif.

9) Menghindari kerugian pada sistem komputer yang tidak


diinginkan.

c. Sasaran Pertahanan Siber.

Sasaran yang hendak dicapai pedoman ini adalah : Terdapatnya


pemahaman atas situasi dan kondisi terkini menyangkut ancaman dan
serangan siber khususnya dalam sektor pertahanan termasuk penanganan
nya baik di dalam dan luar negeri. Terbangunnya kesadaran (Awareness)
akan arti penting pertahanan siber dalam rangka pengamanan sumber daya
informasi khususnya sektor pertahanan dan secara umum bagi
infrastruktur kritis nasional. Terlibatnya semua pihak terkait secara penuh
dan terpadu dalam inisiatif pertahanan siber di lingkungan Kemhan/TNI.

Terbangunnya potensi sumber daya dalam pengembangan pertahanan


siber sebagai bagian dari sistem pertahanan negara. Terumuskannya
strategi penangkalan, penindakan dan pemulihan bidang pertahanan siber.
Tersedianya acuan bagi penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana serta
pengetahuan dan ketrampilan guna mendukung langkah langkah persiapan,
pembangunan, pengembangan dan penerapan pertahanan siber.
339

d. Tugas, Peran dan Fungsi Pertahanan Siber.

Dalam rangka memastikan pertahanan siber dapat dijalankan secara


baik, maka diperlukan dukungan kelembagaan yang kuat, profesional dan
andal untuk memastikan tujuan dari pertahanan siber dapat tercapai.
Kegiatan pengorganisasian ini diharapkan dapat mewujudkan peran dan
fungsi sebagai integrator, inisiator, koordinator dan mediator dari seluruh
kegiatan pengamanan informasi di lingkungan Kementerian Pertahanan dan
TNI.

1) Tugas Pertahanan Siber.

a) Menjamin terwujudnya ketahanan siber di lingkungan


Kemhan dan TNI.

b) Menjaga sumber daya informasi Kemhan/TNI agar


terlindung dari gangguan dan penyalahgunaan atau pemanfaat
an pihak-pihak lain;

c) Menjaga keamanan informasi infrastruktur kritis TIK


Kemhan/TNI;

d) Mendorong partisipasi aktif pemanfaatan ruang siber yang


aman melalui kerjasama kemitraan nasional dan internasional
lintas sektoral;

e) Membangun kapasitas pertahanan siber berupa


kemampuan penangkalan, penindakan dan pemulihan; dan

f) Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan


kelembagaan Pertahanan Siber yang bertanggung jawab, efektif,
efisien dan akuntabel;

2) Peran Pertahanan Siber.

a) Sebagai jaringan data antara satuan jajaran yang aman.


Hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan jaringan strategis
antara lembaga dalam upaya menjaga kerahasiaan dan
ketersediaan/keberlangsungan jaringan yang diterapkan secara
konsisten pada semua lembaga terkait.

b) Sebagai model pusat data dan sarana pendukung yang


aman. Hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan informasi
strategis yang dapat menjadi contoh/acuan bagi semua
lembaga. Model pusat data dan sarana pendukung harus
memberi acuan yang memperhatikan:

(1) Pemanfaatan teknologi tepat guna (Usability)

(2) Kemampuan pengelolaan dan pengoperasian yang


efisien dan mandiri (Manageability)

(3) Kemampuan pengembangan lebih lanjut


(Scalability)
340

3) Fungsi Pertahanan Siber.

a) Menjamin tercapainya sinergi kebijakan pertahanan siber.

b) Membangun organisasi dan tata kelola sistem


penanganan keamanan siber.

c) Membangun sistem yang menjamin ketersediaan


informasi dalam konteks pertahanan siber.

d) Membangun sistem penangkalan, penindakan dan


pemulihan terhadap serangan siber.

e) Mewujudkan kesadaran keamanan siber.

f) Meningkatkan keamanan sistem siber sektor pertahanan.

g) Mewujudkan riset dan pengembangan untuk mendukung


pembinaan dan pengembangan kemampuan Pertahanan Siber.

h) Menyelenggarakan kerjasama nasional dan internasional


guna pembinaan dan pengembangan kemampuan Pertahanan
Siber.

33. Penyelenggaraan Pertahanan Siber.

a. Umum.

Pedoman pertahanan siber digunakan sebagai acuan di lingkungan


Kemhan/TNI dalam rangka perencanaan, pembangunan pengembangan dan
implementasi pertahanan siber. Selanjutnya dalam pedoman ini diuraikan
persyaratan untuk masing-masing kebutuhan kebijakan, kelembagaan,
teknologi/infrastruktur dan SDM.

Penangkalan, penindakan dan pemulihan dari ancaman siber tidak


akan efektif jika tidak ada pengaturan kewenangan yang jelas. Dalam skala
kompleksitas yang tinggi dalam penyelenggaraan pertahanan siber,
pengaturan kewenangan dilakukan melalui optimalisasi masing-masing
peran.

Pada satu eskalasi kejadian yang masuk dalam kategori luar biasa,
koordinasi pelaksanaan pertahanan siber akan diatur melalui rujukan
strategi pertahanan siber nasional. Hal ini memungkinkan Presiden selaku
Kepala Negara mengambil tindakan yang diperlukan sesuai kewenangannya
dalam mengelola sistem pertahanan negara, termasuk pertahanan siber.
Kewenangan tersebut sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dapat
didelegasikan kepada Menteri Pertahanan atau pejabat lain.

b. Kerangka Kerja Penyelenggaraan Pertahanan Siber.

Pengembangan, pembangunan dan implementasi pertahanan siber


memerlukan kerangka kerja yang akan menjadi acuan agar implementasi
dapat terjadi secara berkesinambungan dan dapat diukur kinerjanya setiap
saat. Kebutuhan ini dipenuhi dengan pengembangan kerangka kerja yang
meliputi kebijakan/regulasi, kelembagaan, teknologi dan SDM. Masing-
masing bagian dari kerangka kerja tersebut diuraikan sebagai berikut :
341

1) Kebijakan/regulasi.

Sesuai dengan tata kelola kepemerintahan yang baik (good


corporate governance) yang menjadi fondasi pelaksanaan tugas-tugas
instansi pemerintah, termasuk Kemhan/TNI, maka diperlukan
kebijakan/regulasi sebagai landasan hukum. Kebijakan dan regulasi
juga diperlukan untuk menjaga arah dari kegiatan-kegiatan
pengembangan pembangunan dan penerapan pertahanan siber agar
senantiasa sesuai dengan peraturan perundangan. Pada tingkatan
operasional kebijakan regulasi berbentuk pedoman, petunjuk
pelaksanaan, petunjuk teknis yang menjadi acuan utama bagi
pertahanan siber. Tata cara perumusan penetapan dan penerapan
kebijakan pertahanan siber mengikuti tata cara berdasarkan
peraturan perundangan dan dilakukan dengan mempertimbangkan
kebutuhan nasional, perkembangan situasi dan kondisi pertahanan
siber serta perkembangan teknologi.

a) Kebijakan dasar/pijakan untuk regulasi pertahanan siber

(1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi


Elektronik (UU ITE) No. 11/2008.

(2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang


Pertahanan Negara.

(3) Peraturan Pemerintah Penyelenggara Sistem dan


Transaksi Elektronik (PP PSTE) No. 82/2012.

(4) Peraturan Menhan Nomor 16 Tahun 2010 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kemhan.

b) Kebijakan strategis pertahanan siber Kemhan/TNI

(1) Kebijakan umum pertahanan siber.

(2) Kebijakan kelembagaan pertahanan siber.

(3) Kebijakan pengembangan SDM pertahanan siber.

(4) Kebijakan pembangunan teknologi, pengembangan


dan pemanfaatan infrastruktur pertahanan siber.

(5) Kebijakan kerjasama lintas sektor pertahanan siber.

(6) Kebijakan pembinaan potensi pertahanan siber.

(7) Kebijakan kerjasama luar negeri.

(8) Kebijakan pembangunan fasilitas dan sarana


prasarana pendukung.

c) Kebijakan operasional penyelenggaraan pertahanan siber

(1) Perencanaan Keamanan Informasi (Information


Security Planning).

(2) Tanggap Darurat (Incident Response).


342

(3) Manajemen resiko TIK (IT Risk Management).

(4) Pemulihan (Disaster Recovery).

(5) Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Disaster Rehabilitation


and Reconstruction).

(6) Manajemen Rekanan (Vendor Management).

(7) Operasi Jaringan (Network Operations).

(8) Keamanan Sistem dan Aplikasi (System and


Application Security).

(9) Kontrol Akses (Access Control).

(10) Kontrol Perubahan (Change Control).

(11) Keamanan Fisik (Physical Security).

(12) Klasifikasi data, penanganan dan pemusnahan


(Data Classification, Handling, and Disposal).

(13) Keamanan personel (Personnel Security).

(14) Akses sistem dan penggunaan baku (System


Access and Acceptable Use).

(15) Privasi daring (Online Privacy).

(16) Pelatihan dan kesadaran keamanan (Security


Training and Awareness).

(17) Asesmen diri (Self Assessment).

(18) Metrik dan pengukuran keamanan (Security Metrics


and Measurement).

(19) Komputasi bergerak (Mobile Computing).

(20) Keamanan Nirkabel (Wireless Security).

d) Manajemen Pengamanan Informasi di lingkungan


Kemhan/TNI. Sistem ini merupakan bagian dari sistem
manajemen secara keseluruhan yang menetapkan, menerap
kan, mengoperasikan, memantau, mengkaji, meningkatkan dan
memelihara keamanan informasi berdasarkan pendekatan
risiko. Sistem manajemen mencakup struktur, kebijakan,
kegiatan perencanaan, tanggung jawab, praktek, prosedur,
proses dan sumber daya organisasi.

(1) Dalam manajemen pengamanan informasi, satker


pelaksana bidang data dan informasi di lingkungan
Kemhan/TNI harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

(a) Menetapkan ruang lingkup dan batasan


pengamanan informasi sesuai dengan tugas pokok,
343

organisasi, lokasi, aset dan teknologi, termasuk


rincian dari setiap pengecualian dan dasar
justifikasi dari ruang lingkup.

(b) Menetapkan kebijakan pengamanan


informasi sesuai dengan tugas pokok, organisasi,
lokasi, aset dan teknologi yang :

i. Mencakup kerangka kerja untuk


menyusun sasaran dan menetapkan arahan
dan prinsip tindakan secara menyeluruh
terkait dengan pengamanan informasi.

ii. Mempertimbangkan persyaratan ber-


kaitan dengan hukum atau regulasi, serta
kewajiban pengamanan informasi sesuai
tugas pokok.

(2) Selaras dengan manajemen risiko strategis


organisasi dalam konteks penetapan dan pemeliharaan
pengamanan informasi yang akan dilaksanakan.

(3) Menetapkan kriteria terhadap risiko yang akan


dievaluasi.

(4) Ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan/Dirjen


atau lainnya sesuai struktur organisasi yang ada.

e) Menetapkan pendekatan asesmen risiko pada organisasi


dengan :

(1) Mengidentifikasi suatu metodologi asesmen risiko


yang sesuai dengan manajemen pengamanan informasi,
persyaratan hukum dan perundang- undangan yang
berlaku.

(2) Mengembangkan kriteria untuk menerima risiko


dan mengidentifikasi tingkat risiko yang dapat diterima.
Metodologi asesmen risiko yang dipilih harus memastikan
bahwa asesmen risiko memberikan hasil yang dapat
dibandingkan dan direproduksi.

f) Mengidentifikasi risiko, yaitu :

(1) Mengidentifikasi aset informasi dalam ruang


lingkup manajemen pengamanan informasi dan kebijakan
pimpinan.

(2) Mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap aset


informasi.

(3) Mengidentifikasi kelemahan yang mungkin


dieksploitasi oleh ancaman.

(4) Mengidentifikasi dampak hilangnya kerahasiaan,


integritas dan ketersediaan dari aset informasi.
344

g) Menganalisis dan mengevaluasi risiko yaitu :

(1) Menganalisis dampak yang mungkin berasal dari


kegagalan pengamanan informasi, dengan memper
timbangkan konsekuensi hilangnya kerahasiaan,
integritas atau ketersediaan aset informasi.

(2) Menganalisis kemungkinan terjadinya kegagalan


pengamanan informasi yang realistik, berkenaan dengan
ancaman dan kelemahan, dan dampak yang terkait
dengan aset serta pengendalian yang diterapkan saat ini.

(3) Memperkirakan tingkat risiko.

(4) Menetapkan apakah risiko dapat diterima atau


memerlukan perhatian lain.

h) Mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan perlakuan


risiko yang mencakup :

(1) Penerapan pengendalian yang tepat.

(2) Penerimaan risiko secara sadar dan objektif, jika


risiko tersebut memenuhi kebijakan organisasi dan
kriteria risiko yang dapat diterima.

(3) Pencegahan risiko.

(4) Pengalihan risiko kepada pihak lainnya seperti


pihak asuransi atau pemasok.

i) Memilih sasaran pengendalian dan pengendalian untuk


perlakuan risiko. Sasaran pengendalian dan pengendalian
harus dipilih dan diterapkan untuk memenuhi persyaratan yang
diidentifikasi melalui proses asesmen risiko dan proses
perlakuan risiko. Pemilihan ini harus mempertimbangkan
kriteria risiko yang dapat diterima dan juga persyaratan hukum,
perundang-undangan dan persyaratan lainnya.

j) Memperoleh persetujuan pimpinan terhadap risiko residu


yang diajukan.

k) Menyiapkan pernyataan pemberlakuan yang mencakup :

(1) Sasaran pengendalian yang dipilih dan alasan-


alasan pemilihannya.

(2) Sasaran pengendalian yang diterapkan saat ini.

(3) Pengecualian setiap sasaran pengendalian dan


dasar untuk pengecualiannya.

(4) Penerapan dan Pengoperasian Manajemen


Pengamanan informasi. Dalam menerapkan dan
mengoperasikan sistem manajemen ini, setiap satker
harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
345

(a) Merumuskan rencana perlakuan risiko yang


mengidentifikasi tindakan manajemen sumber
daya, tanggung jawab dan prioritas secara tepat
untuk mengelola risiko pengamanan informasi.

(b) Menerapkan rencana perlakuan risiko untuk


mencapai sasaran pengendalian yang
teridentifikasi, yang mencakup pertimbangan
pendanaan dan alokasi peran dan tanggung jawab.

(c) Menerapkan pengendalian yang dipilih untuk


memenuhi sasaran pengendalian.

(d) Menetapkan bagaimana mengukur ke


efektifan pengendalian atau kelompok pengendalian
yang dipilih dan menerangkan bagaimana
pengukuran tersebut digunakan untuk mengakses
keefektifan pengendalian untuk memperoleh hasil
yang dapat dibandingkan dan direproduksi.

(e) Menerapkan program pelatihan dan


kepedulian.

(f) Mengelola operasi dalam manajemen


pengamanan informasi.

(g) Mengelola sumber daya untuk manajemen


pengamanan informasi.

(h) Menerapkan prosedur dan pengendalian


lainnya yang mampu melakukan deteksi secara
cepat terhadap setiap kejadian dan insiden.

(3) Memantau dan mengkaji Manajemen Pengamanan


Informasi. Setiap satker pelaksana data dan informasi di
lingkungan Kemhan/TNI harus melakukan hal-hal
berikut :

(a) Melaksanakan prosedur pemantauan,


pengkajian dan pengendalian lainnya untuk :

i. Mendeteksi kesalahan hasil pengolahan


secara cepat.

ii. Mengidentifikasi secara cepat terhadap


pelanggaran dan insiden pengamanan
informasi baik dalam bentuk upaya maupun
yang telah berhasil.

iii. Memungkinkan pimpinan untuk


menentukan apakah kegiatan pengamanan
informasi didelegasikan kepada orang atau
diterapkan dengan teknologi informasi yang
dilaksanakan sebagaimana diharapkan.
346

iv. Membantu mendeteksi kejadian


keamanan sehingga mencegah insiden
keamanan dengan menggunakan indikator.

v. Menentukan apakah tindakan-tindak


an yang diambil untuk memecahkan masalah
pelanggaran keamanan telah efektif.

(b) Melaksanakan tinjauan keefektifan


manajemen pengamanan informasi dengan
mempertimbangkan hasil audit pengamanan
informasi, insiden, efektifitas, pendapat dan umpan
balik dari semua pihak terkait.

(c) Mengukur keefektifan pengendalian


pengamanan informasi.

(d) Mengkaji asesmen risiko pada interval yang


direncanakan dengan mengkaji risiko residu dan
tingkat risiko yang dapat diterima serta telah
diidentifikasi dengan mempertimbangkan perubah
an terhadap :

i. Organisasi.

ii. Teknologi.

iii. Sasaran dan tata kelola.

iv. Ancaman yang diidentifikasi.

v. Keefektifan dari pengendalian yang


diterapkan.

vi. Kejadian eksternal seperti perubahan


terhadap lingkungan hukum dan regulator,
kewajiban kontrak yang berubah dan
perubahan lingkungan sosial.

(e) Melaksanakan audit internal manajemen


pengamanan informasi pada interval yang
direncanakan, dimulai dari satker yang terkecil.

(f) Melaksanakan kajian manajemen pengaman


an informasi secara reguler untuk memastikan
bahwa ruang lingkup masih mencukupi dan
peningkatan proses manajemen pengamanan
informasi yang diidentifikasi.

(g) Memutakhirkan rencana pengamanan


informasi dengan mempertimbangkan temuan dari
kegiatan pemantauan dan pengkajian .

(h) Merekam tindakan dan kejadian yang dapat


mempunyai dampak terhadap keefektifan atau
kinerja manajemen pengamanan informasi.
347

(4) Peningkatan dan Pemeliharaan Manajemen


Pengamanan Informasi. Dalam peningkatan dan
pemeliharaan sistem manajemen pengamanan informasi,
organisasi harus melakukan secara reguler hal berikut :

(a) Menerapkan peningkatan yang diidentifikasi


dalam manajemen pengamanan informasi.

(b) Mengambil tindakan korektif dan pencegahan


yang tepat.

(c) Mengambil pelajaran dari pengalaman


keamanan informasi organisasi lain.

(d) Mengkomunikasikan tindakan dan


peningkatan kepada semua pihak yang terkait
dengan tingkat rincian sesuai situasi dan kondisi,
dan jika relevan, menyetujui tindak lanjutnya.

(e) Memastikan bahwa peningkatan tersebut


mencapai sasaran yang dimaksudkan.

l) Standar Pertahanan Siber. Dalam pengembangan dan


penerapan pertahanan siber, kebijakan-kebijakan yang ada
akan mengacu pada standar-standar nasional maupun
internasional antara lain :

(1) SNI (Standar Nasional Indonesia) 27001 tentang


Sistem Manajemen Keamanan Informasi.

(2) ISO/IEC 20000 Information Technology Service


Management System (ITSM).

(3) ISO/IEC 22000 Business Continuity Management


(BCM).

(4) Control Objectives for Information and related


Technology (COBIT).

(5) Baseline Requirements for the Issuance and


Management of Publicly-Trusted Certificates.

(6) TIA-942 Data Center Standards.

(7) Open Web Application Security Project (OWASP).

(8) Open Source Security Testing Methodology Manual


(OSSTMM).

(9) Information Systems Security Assessment


Framework (ISSAF).

(10) National Institute of Standards and Technology


(NIST) SP 800.
348

2) Kelembagaan/Organisasi.

Kelembagaan yang dibangun harus disesuaikan dengan


kebutuhan penyelenggaraan pertahanan siber, guna memastikan
tujuan dari pertahanan siber dapat tercapai secara optimal.
Kelembagaan tersebut dapat dikembangkan tersendiri secara terpisah
yang pada tahap awal dapat dipimpin pejabat setingkat Eselon II.
Dalam penyusunan kelembagaannya harus dipenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a) Perumusan tugas dan fungsi yang lengkap dan jelas,
sesuai dengan kebutuhan pertahanan siber. Pada tahap awal,
rancangan struktur organisasi dituangkan pada lampiran I.

b) Kewenangan lembaga diuraikan jelas termasuk untuk


melakukan koordinasi

c) Struktur organisasi efektif untuk mendukung spesialisasi


dan pembagian peran agar SDM dapat fokus pada tugas masing
masing.

d) Bentuk kelembagaan dapat bertahap sesuai kesiapan dan


kebutuhan dari bentuk tim, satker, gugus tugas, struktural
sampai dengan badan independen.

e) Ada kebijakan formal untuk menjadi dasar butir 1, 2, 3


dan 4 di atas.

3) Teknologi/Infrastruktur.

Sesuai dengan ruang lingkup dan kewenangan serta skala


prioritas, kelembagaan pertahanan siber memerlukan dukungan
teknologi/infrastruktur sebagai berikut :

a) Sarana prasarana gedung/lokasi pusat data, NOC,


laboratorium dan fasilitas pendukung lainnya.

b) Pusat Data dan pusat pemulihan (Disaster Recovery


Center/DRC).

c) Jaringan Data.

d) Aplikasi administrasi pertahanan siber.

e) Aplikasi khusus teknis pertahanan siber.

f) Teknologi khusus (Perangkat keras dan perangkat lunak


pendukung kegiatan spesifik pertahanan siber).

Rancangan umum spesifikasi teknis teknologi dan infrastruktur


pertahanan siber dituangkan di lampiran II.

4) Sumber Daya Manusia.

a) Aset utama dalam cyber security adalah personel atau


SDM yang memainkan peran sangat penting dalam pertahanan
siber. Tantangan terbesar dalam implementasi pertahanan siber
349

adalah menyediakan SDM yang kompeten dan senantiasa cepat


dan sigap mengikuti dinamika lingkungan siber yang terus
berkembang seiring berkembangnya teknologi dan kondisi sosial
masyarakat. Untuk itu strategi pengembangan SDM harus
didukung dengan program peningkatan kompetensi yang
berkesinambungan.

b) Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka


beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan oleh
lembaga pertahanan siber dalam pengembangan SDM adalah
sebagai berikut :

(1) Rekrutmen SDM. Proses ini harus melewati uji


kesiapan mental melalui tes psikologi agar sesuai dengan
profil dari SDM untuk pertahanan siber, seperti : harus
dapat bekerja di bawah kondisi penuh tekanan,
berintegritas tinggi, disiplin, memiliki kemampuan belajar
dan lain-lain, sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Rekrutmen ini harus melalui kajian dan perlu ditinjau
ulang secara berkala untuk mengakomodasi
perkembangan situasi teknologi dan kebutuhan
Pertahanan Siber Nasional. Kajian kebutuhan kompetensi
ini meliputi ruang lingkup tugas, persyaratan
pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki,
persyaratan lain untuk memastikan adanya kemampuan
untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan pertahanan siber
dan desain jenjang karir profesional yang terkait dalam
Pertahanan Siber. Kajian kebutuhan kompetensi
berkaitan erat dengan jenjang karir, yang digambarkan
secara umum sebagai berikut :

(2) SDM terpilih harus memiliki kompetensi sesuai


dengan kebutuhan, dalam hal pengetahuan dan
ketrampilan sesuai penempatan dan penugasan dalam
pertahanan siber serta terjaminnya pembinaan karier
SDM yang bersangkutan.

(3) Untuk tugas-tugas khusus yang bersifat rahasia


dan strategis, SDM terpilih harus memiliki status
kepegawaian yang tidak menyalahi prinsip-prinsip
organisasi pertahanan, khususnya untuk tugas yang
bersifat ofensif atau dalam kondisi perang siber.
350

c) Pembinaan latihan dan peningkatan kemampuan SDM


dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(1) Program promosi/peningkatan kesadaran


(Awareness) bagi seluruh stakeholder TIK.

(2) Peningkatan pengetahuan/ketrampilan melalui


program pelatihan dalam kelas, on the job, online dan
kombinasinya. Program pelatihan dimaksud terdiri dari
antara lain :

(a) Information Security and Risk Management.

(b) Access Control Systems and Methodology.

(c) Cryptography.

(d) Physical Security.

(e) Telecommunications and Network Security.

(f) Security Architecture and Models.

(g) Business Continuity Planning and Disaster


Recovery Plan.

(h) Applications Security.

(i) Operations Security.

(j) Legal, Regulations, Compliance and


Investigations.

(k) Implementasi SNI 27001.

(3) Pengetahuan dan ketrampilan penanganan Insiden


yang harus dimiliki meliputi sekurang- kurangnya
dibidang :

(a) Pengetahuan Digital Forensic.

(b) Pengetahuan Incident Response.

(c) Pengetahuan sistem operasi.

(d) Pengetahuan tentang jaringan komunikasi


data.

(4) Pengetahuan dan ketrampilan untuk melakukan uji


penetrasi (Penetration Test) yang dibutuhkan adalah
sekurang-kurangnya :

(a) Pengetahuan dan ketrampilan keamanan


informasi secara umum.

(b) Pengetahuan dan ketrampilan menggunakan


alat-alat bantu penetration testing.
351

(c) Pengetahuan dan ketrampilan pengujian TI


dan pelaporan.

(d) Pengetahuan dan ketrampilan pengembangan


aplikasi berbasis web/online.

(5) Pengetahuan dan ketrampilan uji kesesuaian


(System Assurance).

(6) Pengetahuan dan ketrampilan sistem yang


meliputi :

(a) Network Security (TCP/IP, LAN/WLAN,


Routing: Static & RIP, Sniffing, Firewall).

(b) Operating Systems Security (Windows, Linux,


Virtualization).

(c) Systems Infrastructure and Database Security


(DHCP, DNS, RADIUS, OTP, CA, LDAP, FTP, Email,
Web, MySQL).

(d) Digital Control System.

(e) System Development .

(7) Pengetahuan dan kemampuan untuk merehabilitasi


dan rekonstruksi kerusakan- kerusakan yang terjadi pada
jaringan TIK dan muatannya.

(8) Kurikulum bagi pendidikan dan latihan tersebut


secara berkala harus ditinjau ulang kesesuaiannya
dengan kompetensi SDM Pertahanan Siber, mengingat
cepatnya perkembangan teknologi dan dinamisnya peta
kondisi keamanan siber global. Pengembangan kurikulum
dan materi ajar yang diberikan harus disesuaikan dengan
profil pembelajaran yang dapat berbeda-beda sesuai
dengan instansi yang terlibat dalam Pertahanan Siber.
Selengkapnya penyusunan kurikulum dan materi ajar
perlu mengacu pada kerangka kerja yang terdapat pada
bagan di bawah ini :
352

34. Tahapan Penyelenggaraan Pertahanan Siber.

a. Tahap Pencegahan Serangan.

1) Menerapkan arsitektur pengamanan informasi tingkat tinggi.

2) Membuat, mengimplementasikan dan mengoperasikan secara


efektif arsitektur yang mencakup seluruh tahap siklus pertahanan
siber agar mampu mengatasi ancaman terhadap faktor orang, logikal
dan teknologi dari penyerang yang memiliki sumber daya yang besar
dan akses yang luas dari berbagai aspek antara lain keuangan,
teknologi, intelijen dan politik.

3) Kebijakan dan Prosedur pengamanan informasi tingkat tinggi.

4) Kebijakan dan prosedur pengamanan yang mengintegrasikan


faktor pengamanan SDM, logikal dan fisik agar mampu mengatasi
berbagai ancaman tingkat tinggi secara efektif.

5) Pengamanan SDM tingkat tinggi.

6) Memiliki personel yang berintegritas tinggi dan profesional


untuk membangun dan mengimplementasikan arsitektur
pengamanan informasi serta mengoperasikannya secara efektif.

7) Pengamanan logikal tingkat tinggi, yang berlapis dan


terstruktur, serta terintegrasi dengan faktor pengamanan SDM dan
fisik.

8) Pengamanan fisik tingkat tinggi, yang berlapis dan terstruktur,


serta terintegrasi dengan faktor keamanan orang dan keamanan fisik.

b. Tahap Pemantauan Pengamanan Informasi.

1) Pengawasan yang aman melakukan pengawasan logikal dan


fisik yang berintegritas dan berkerahasiaan tinggi serta mampu
mendeteksi setiap proses yang tidak terotorisasi.

2) Analisa Kelemahan yang aman. Menganalisa manajemen


pengamanan yang mampu menjaga kerahasiaan informasi.

3) Pengalih Serangan. Melakukan pengalihan serangan agar sistem


utama terhindar dari ancaman dan dapat mempelajari teknik
serangan yang dilakukan.

4) Peringatan yang aman. Memberikan peringatan real time


berlapis agar dapat menjamin ketersediaan, kerahasiaan dan
integritas dari peringatan yang diberikan.

c. Tahap Analisis Serangan.

1) Analisa Peringatan Serangan. Menganalisa serangan dengan


dukungan implementasi yang efektif dari arsitektur pengamanan
tingkat tinggi yang telah ditetapkan.

2) Analisa Piranti Lunak Berbahaya. Menganalisa secara


mendalam piranti lunak berbahaya yang ditemukan.
353

3) Investigasi dan Forensik Digital. Melakukan proses investigasi


dan forensik digital secara efektif sesuai dengan prosedur untuk
memastikan integritas hasil dari proses yang dilakukan.

d. Tahap Pertahanan.

1) Isolasi Serangan. Mengisolasi serangan dengan dukungan


implementasi yang efektif dari arsitektur pengamanan tingkat tinggi
yang telah ditetapkan, guna mengurangi dampak yang ditimbulkan.

2) Pencarian Malware. Menemukan backdoor, trojan dan malware


lainnya agar tidak menjadi potensi ancaman dikemudian hari.

3) Perbaikan Sistem dan Data. Memperbaiki sistem dan data yang


telah diserang.

4) Pemulihan Bencana. Melakukan pemulihan sistem dan data


ketika terjadi bencana.

5) Pertimbangan Hukum dan Diplomatik. Melakukan


pertimbangan hukum dan diplomatik untuk menentukan langkah-
langkah selanjutnya, termasuk untuk melaporkan ke otoritas hukum
dan memilih opsi serangan balik atau tidak.

6) Koordinasi Dengan Organisasi Terkait. Melakukan koordinasi


penanganan serangan dengan organisasi-organisasi terkait.

e. Tahap Serangan Balik.

Serangan balik merupakan suatu pilihan yang harus dipertimbangkan


secara matang baik dari sisi hukum dan diplomasi. Beberapa contoh
serangan balik yang dapat dilakukan oleh tim khusus, antara lain peretasan,
penanaman malware, perusakan sistem dan rekayasa kondisi.

f. Tahap Peningkatan Pengamanan Informasi.

Peningkatan pengamanan informasi harus selalu dilakukan


berdasarkan hasil-hasil pada tahapan-tahapan sebelumnya. Peningkatan
pengamanan dapat dilakukan pada salah satu atau keseluruhan dari faktor-
faktor arsitektur pengamanan informasi meliputi pengamanan SDM,
pengamanan logikal dan pengamanan fisik.

Tata cara lebih rinci dari implementasi masing-masing tahapan


penyelenggaraan pertahanan siber seperti di atas, akan dibuat oleh satker
pelaksana di bidang pertahanan siber. Tahapan tersebut di atas
digambarkan dalam siklus pertahanan siber yang terdapat pada lampiran
III.

35. Pentahapan Kegiatan Pertahanan Siber.

Dalam mendukung aspek-aspek persiapan, pengembangan dan


pengoperasian pertahanan siber sebagaimana diuraikan di atas, perlu disediakan
anggaran yang terprogram agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara
lengkap dan tepat waktu. Selanjutnya pentahapan operasional Pertahanan Siber
Kemhan/TNI dilaksanakan sebagai berikut :
354

a. Tahap Persiapan.
Dalam tahapan ini dilaksanakan dua fokus kegiatan yaitu :

1) Tim Kerja (Desk) Pertahanan Siber Kementerian Pertahanan,


melaksanakan penyusunan produk kebijakan Pertahanan Siber,
sebagai berikut :

a) Peta Jalan Strategi Nasional Pertahanan Siber.

b) Peta Jalan Pembinaan Kemampuan SDM Pertahanan


Siber.

c) Rancangan Permenhan tentang Pusat Operasi Pertahanan


Siber.

d) Rancangan Permenhan tentang pengamanan informasi di


lingkungan Kemhan/TNI.

2) Pusdatin Kemhan melanjutkan kegiatan pembangunan


teknologi dan infrastruktur (Cyber Operation Center/COC) pertahanan
siber, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 27001 tentang
Sistem Manajemen Keamanan Informasi yang handal.

Output:

(1) Produk Kebijakan yang dihasilkan Tim Kerja (Desk)


Pertahanan Siber Kementerian Pertahanan, yaitu :

(a) Peta Jalan Strategi Nasional Pertahanan Siber.

(b) Peta Jalan Pembinaan Kemampuan SDM


Pertahanan Siber.

(c) Rancangan Permenhan tentang Pusat Operasi


Pertahanan Siber.

(d) Rancangan Permenhan tentang pengamanan


informasi di lingkungan Kemhan/TNI.

(2) Layanan sistem informasi dan keamanan infrastruktur


TIK internal Kemhan/TNI sebagai langkah persiapan bagi
manajemen informasi yang baik.

b. Tahap Pematangan.

Pada tahap ini dilaksanakan fokus kegiatan Pertahanan Siber sebagai


berikut :

1) Implementasi Penyelenggaraan Pertahanan Siber Kementerian


Pertahanan dimulai dengan penetapan kelembagaan organisasi
Pertahanan Siber.

2) Melaksanakan pengawasan audit sistem manajemen


pengamanan informasi Kemhan/TNI secara independen dengan
cakupan SDM, Proses dan Teknologi sesuai dengan SNI 27001 dan
praktik terbaik pengamanan informasi yang ditetapkan Kemkominfo
355

(ISSAF, OWASP, PCI-DSS, dll) dalam melihat kesiapan pertahanan


siber Kemhan/TNI.

3) Melaksanakan perekrutan dan pembinaan SDM Pertahanan


Siber yang kompetitif berstandar nasional dan berskala internasional,
peningkatan pelatihan pertahanan siber antara lain melalui kegiatan
pelatihan, seminar, lokakarya pengamanan informasi di dalam dan
luar negeri.

4) Menyiapkan dashboard sistem informasi infrastruktur yang


tersambung dengan sistem infrastruktur Pertahanan Siber lintas
sektoral guna updating kebijakan dan strategi pertahanan siber.

5) Pengembangan ruang komando dan pengendalian sistem


pertahanan siber (Cyber Operation Center) termasuk sistem sarana dan
prasarana pelatihan dan penelitian, dengan mengacu kepada praktik
terbaik (Best Practises) dan memperhatikan kemandirian dan
kedaulatan.

6) Menyusun konsep dan implementasi kemandirian infrastruktur


teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka kedaulatan siber
menggunakan satelit pertahanan secara mandiri, dengan kajian yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

7) Penyempurnaan dan peningkatan Grand Design Arsitektur


Enterprise Sisfohanneg dan sistem informasi Pertahanan Siber yang
selalu memperhatikan kemajuan teknologi dan kondisi sosial
masyarakat.

8) Menyusun IT Security Technology Policy berbasis risiko bagi


Pertahanan Siber untuk perangkat lunak maupun perangkat keras.

9) Melaksanakan kegiatan kerjasama operasional dengan


kementerian/lembaga nasional.

Output :

a) Terlaksananya implementasi Penyelenggaraan Pertahan


an Siber Kementerian Pertahanan, yang dimulai dengan
penetapan kelembagaan organisasi Pertahanan Siber.

b) Terlaksananya pengawasan audit sistem manajemen


pengamanan informasi Kemhan/TNI secara independen dengan
cakupan SDM, Proses dan Teknologi sesuai dengan SNI 27001
dan praktik terbaik pengamanan sistem informasi yang
ditetapkan Kemkominfo (ISSAF, OWASP, PCI-DSS, dll) dalam
melihat kesiapan pertahanan siber Kemhan/TNI.

c) Terlaksananya perekrutan dan pembinaan SDM


Pertahanan Siber yang kompetitif berstandar nasional dan
berskala internasional, peningkatan pelatihan pertahanan siber
antara lain melalui kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya
pengamanan informasi di dalam dan luar negeri.

d) Tersedianya dashboard sistem informasi infrastruktur


yang tersambung dengan sistem infrastruktur Pertahanan Siber
356

lintas sektoral guna updating kebijakan dan strategi pertahanan


siber.

e) Terwujudnya pengembangan ruang komando dan


pengendalian sistem pertahanan siber (Cyber Operation Center)
termasuk sistem sarana dan prasarana pelatihan dan
penelitian, dengan mengacu kepada praktik terbaik (best
practises) dan memperhatikan kemandirian dan kedaulatan.

f) Terwujudnya konsep dan implementasi kemandirian


infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka
kedaulatan siber menggunakan satelit pertahanan secara
mandiri, dengan kajian yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan terkait.

g) Terwujudnya penyempurnaan dan peningkatan Grand


Design Arsitektur Enterprise Sisfohanneg dan sistem informasi
Pertahanan Siber yang selalu memperhatikan kemajuan
teknologi dan kondisi sosial masyarakat.

h) Tersusunnya IT Security Technology Policy berbasis risiko


bagi Pertahanan Siber untuk perangkat lunak maupun
perangkat keras.

i) Terlaksananya kegiatan kerjasama operasional dengan


kementerian / lembaga nasional.

c. Tahap Pemanfaatan.

Pada tahap ini diharapkan akan dihasilkan kemampuan daya tangkal,


daya tindak dan daya pulih dalam menghadapi serangan siber. Adapun
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahap ini adalah :

1) Implementasi sertifikasi standar terbaik pengamanan informasi


berbasis SNI/ISO 27001.

2) Kelanjutan pembenahan pertahanan siber internal Kemhan/TNI


berdasarkan hasil audit pengamanan TIK di tahap sebelumnya.

3) Pengembangan Infrastruktur teknologi Informasi dan


komunikasi, melalui kegiatan riset dan pengembangan yang
melibatkan lembaga profesional dibidang siber.

4) Pengembangan kemampuan profesional SDM TIK bersertifikasi


sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah.

5) Pengembangan Sistem Informasi Pertahanan Siber.

6) Pengembangan kerja sama operasional lintas sektoral dan


fasilitas strategis nasional.

7) Peningkatan kemampuan pertahanan siber yang optimal.

8) Kerja sama internasional sistem pertahanan siber.

Output :
357

a) Terlaksananya implementasi sertifikasi standar terbaik


pengamanan informasi berbasis SNI/ISO 27001.

b) Terlaksananya kelanjutan pembenahan pertahanan siber


internal Kemhan/TNI berdasarkan hasil audit pengamanan TIK
di tahap sebelumnya.

c) Terwujudnya pengembangan Infrastruktur teknologi


Informasi dan komunikasi, melalui kegiatan riset dan
pengembangan yang melibatkan lembaga profesional dibidang
siber.

d) Tercapainya peningkatan pengembangan kemampuan


profesional SDM TIK bersertifikasi sesuai dengan standar yang
ditetapkan Pemerintah.

e) Tercapainya peningkatan pengembangan Sistem


Informasi Pertahanan Siber.

f) Terlaksananya kerja sama operasional lintas sektoral dan


fasilitas strategis nasional.

g) Tercapainya peningkatan kemampuan pertahanan siber


yang optimal.

h) Terwujudnya kerja sama internasional sistem pertahanan


siber.

d. Tahap Optimalisasi.

Fokus dalam tahap ini adalah memastikan kesiapan kemampuan


(Capability) dalam pertahanan siber yang lebih maju dalam segala
pengertiannya, yang diharapkan sudah harus siap pada tahap ini. Kegiatan
yang dilakukan pada tahun ini adalah :

1) Melaksanakan uji coba pertahanan siber terhadap serangan


yang berskala luar biasa (massive) dengan instansi lain, dalam melihat
kesiapan CSIRT (Computer Security Insident Response Team) dan
sosialisasi pengamanan informasi berdasarkan hasil kegiatan di atas.

2) Melanjutkan kegiatan riset dan pengembangan dalam hal


pertahanan siber.

3) Pengembangan pertahanan dan optimalisasi sistem TIK


Kemhan/TNI.

4) Melakukan pengembangan pelatihan pertahanan siber dan


mengikuti kompetisi pertahanan siber di lokal dan internasional.

5) Melakukan asesmen risiko keamanan sistem TIK oleh pihak


independen dengan lingkup SDM, Proses dan Teknologi terhadap aset
TIK di Kemhan/TNI.

6) Maintenance sertifikasi terhadap standard praktik terbaik


pengamanan informasi berbasis SNI 27001.
358

Output:

a) Terlaksananya uji coba pertahanan siber terhadap


serangan yang berskala luar biasa (massive) dengan instansi
lain, dalam melihat kesiapan CSIRT (Computer Security Insident
Response Team) dan sosialisasi pengamanan informasi
berdasarkan hasil kegiatan di atas.

b) Berlanjutnya kegiatan riset dan pengembangan dalam hal


pertahanan siber.

c) Terwujudnya pengembangan pertahanan dan optimalisasi


sistem TIK Kemhan/TNI.

d) Terlaksananya pengembangan pelatihan pertahanan siber


dan mengikuti kompetisi pertahanan siber di lokal dan
internasional.

e) Terlaksananya asesmen risiko pengamanan sistem TIK


oleh pihak independen dengan lingkup SDM, Proses dan
Teknologi terhadap asset TIK di Kemhan/TNI.

f) Terlaksananya maintenance sertifikasi terhadap standard


praktik terbaik pengamanan informasi berbasis SNI 27001.
359

BAB VI
DIPLOMASI MILITER

36. Landasan Pemikiran.

a. Umum.

1) Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional,


memiliki kepentingan nasional di bidang pertahanan negara yang
tidak hanya berdimensi nasional, tetapi juga berdimensi internasional.
Hal tersebut mendorong Indonesia untuk mengembangkan pola
diplomasi militer dengan cara melaksanakan kerja sama bidang
pertahanan dan militer dengan negara lain untuk memenuhi
kepentingan pertahanan negara secara berkelanjutan serta
mendukung kebijakan politik negara. Sejalan dengan politik luar
negeri yang bebas dan aktif, serta sebagai negara pemrakarsa gerakan
nonblok, Indonesia dalam menyelenggarakan kerja sama militer tidak
melakukan aliansi dengan negara manapun. Namun demikian,
Indonesia tetap berupaya aktif dalam percaturan internasional guna
terciptanya kawasan yang damai, baik pada lingkup regional maupun
global.

2) Diplomasi militer yang salah satunya diimplementasikan dalam


kerja sama militer, merupakan salah satu bentuk peran aktif dalam
menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hasil-
hasil pelaksanaan kerja sama militer internasional, tentunya harus
dapat mendukung terwujudnya stabilitas keamanan nasional dan
keamanan regional serta mendukung terwujudnya tujuan nasional.
Untuk itu pelaksanaan kerja sama militer yang dilaksanakan oleh TNI,
perlu menggunakan paradigma nasional yang dianut bangsa
Indonesia, yakni: Pancasila sebagai landasan idiil, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan
konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai landasan visional,
Ketahanan Nasional sebagai landasan konsepsional, Peraturan
Perundang-undangan terkait sebagai landasan operasional, dan perlu
dilandasi dengan teori-teori yang digunakan serta tinjauan pustaka
yang relevan.

b. Paradigma Nasional.

1) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum berfungsi


memberikan orientasi ke depan yang mengharuskan bangsa Indonesia
selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya, sebagai
langkah antisipasi adanya tantangan dan interdependensi di kalangan
bangsa-bangsa di dunia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
antara lain: nilai kemanusiaan yang universal (humanity) yang
menghormati hak asasi manusia sebagai hak yang mendasar di antara
bangsa-bangsa, nilai keadilan yang beradab, nilai permusyawaratan,
nilai keadilan sosial dalam kesejahteraan, dan nilai kesederajatan
360

yang bersifat universal merupakan nilai yang mendunia dan menjiwai


politik luar negeri Indonesia1.

2) Secara simultan dan komprehensif, kekuatan internal bangsa


termaktub dalam pasal 30 ayat (1), (2) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan tegas menyatakan usaha
pertahanan dan keamanan negara, dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai
kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung, dengan
memberikan hak dan mewajibkan keikutsertaan setiap warga negara,
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, oleh TNI
dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung. Selanjutnya pada pasal 30 ayat (3) mengamanatkan
kepada TNI yang terdiri atas TNI AD, TNI AL dan TNI AU sebagai alat
negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara. Usaha-usaha di bidang pertahanan
dan keamanan negara tersebut tentunya dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, antara lain melalui kerja sama militer di kawasan
regional guna menjaga stabilitas dan perdamaian untuk kepentingan
bersama.

3) Selanjutnya Wawasan Nusantara sebagai doktrin dasar nasional


dalam penyelenggaraan negara, perlu dipahami dalam dua dimensi
pemikiran, yakni: dimensi realita/kewilayahan (karakteristik geografi)
dan dimensi fenomena/kemanfaatan (bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara), yang keduanya berinteraksi sebagai wadah (negara), isi
(aspirasi rakyat) dan tata laku (pemerintahan) dalam dinamika
kehidupan yang diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Pada
konteks kebangsaan wawasan tersebut dimaknai sebagai wawasan
nasional, yang mencakup rasa dan kesadaran kebangsaan, faham
kebangsaan, yakni nasionalisme. Pada konteks kewilayahan
penerapan konsep Wawasan Nusantara merupakan upaya untuk
mewujudkan kedaulatan, integrasi, keutuhan wilayah kepulauan
nusantara yang didukung pembangunan infrastruktur nasional yang
mempertimbangkan karakteristik wilayah dalam memberikan nilai
tambah pada kesejahteraan dan keamanan. Dalam upaya
meningkatkan kewaspadaan nasional bangsa Indonesia dan sebagai
konsekuensi adanya tantangan bersama. TNI pada tataran operasional
telah mengimplementasikan doktrin dasar Wawasan Nusantara
tersebut dalam bentuk kerja sama militer dengan Angkatan Bersenjata
negara-negara di kawasan regional.

4) Konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan


dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan seluruh aspek
kehidupan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Wawasan Nusantara, merupakan
pedoman untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhan bangsa
yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional
dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Ketahanan
nasional diperlukan untuk menghadapi perkembangan dunia dari
masa ke masa. Ketahanan nasional sebagai kondisi perlu dibina secara

1 Modul BS. Pancasila dan UUD NRepublik Indonesia Tahun 1945, PPSA XX, Lemhannas Republik
Indonesia , 2015.
361

terus-menerus dan menjadi sumber nilai-nilai moral pribadi, keluarga,


lingkungan, daerah dan nasional. Ketahanan Nasional sebagai konsep
harus menjadi pedoman untuk peningkatan keuletan, ketangguhan
dan kekuatan. Sehingga kondisi kehidupan pertahanan dan
keamanan yang stabil dan dinamis, diharapkan akan meyakinkan
kebenaran ideologi, memberikan iklim yang kondusif untuk
pengembangan kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya bangsa
Indonesia2. Oleh karena itu, usaha peningkatan sistem pertahanan
dan keamanan negara melalui bentuk kerja sama militer dengan
negara-negara sahabat, merupakan bentuk kewaspadaan nasional
yang diperankan oleh TNI dalam membangun ketahanan nasional
bangsa Indonesia.

c. Peraturan dan Perundang-undangan Terkait.

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum seluruh


perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Terkait
tugas TNI dalam pelaksanaan diplomasi militer tercantum dalam
alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 yang berisi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini berkaitan
langsung dengan diplomasi militer sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982, tentang Pengesahan


Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol
Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna
Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna
Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of
Nationalily), 1961 dan Pengesahan Konvensi mengenai Hubungan
Konsuler beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hal Memperoleh
Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and
Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations
Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3211).

2 Modul BS. Ketahanan Nasional, PPSA XX, Lemhannas Republik Indonesia , 2015.
362

Esensi dari Undang-Undang tersebut adalah mengatur tentang


hubungan diplomasi dan menyatakan tentang fungsi dari misi
diplomasi adalah sebagai berikut:

a) Representing the sending State in the receiving State.

b) Protecting in the receiving State the interests of the seding


State and of its national, within the limits permited by
international law.

c) Negotiating with the Government of the receiving State.

d) Ascertaining by all lawful means conditions and


developments in the receiving State and reporting thereon to the
Government of the sending State.

e) Promoting friendly relations between the Sending State and


the receiving state, and developing their economic, cultural and
scientific relations.

3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar


Negeri.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang


merdeka dan berdaulat, dalam melaksanakan hubungan luar negeri
didasarkan pada asas kesetaraan derajat, saling menghormati, saling
menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri
masing-masing, seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaan kegiatan
hubungan luar negeri, baik regional maupun internasional, melalui
forum bilateral atau multilateral, diabdikan pada kepentingan
nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif 3.
Politik luar negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif,
dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip
dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan4. Dalam
hal kerja sama bidang pertahanan dan militer dengan negara-negara
sahabat, maka kandungan substansi politik luar negeri dan diplomasi
telah mewarnai pelaksanaannya.

4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, tentang Perjanjian


Internasional.

Esensi dari Undang-Undang ini adalah mengatur kebijakan satu


pintu dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam hubungan
internasional. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara
lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain
adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat
negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan
dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan
dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan

3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 37, Tahun 1999, tentang Hubungan Luar Negeri, Diktum
Pertimbangan huruf (a) dan (d).
4 Ibid, Pasal 4.
363

instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula5. Sebagai


tindak lanjut pemikiran Undang-Undang ini, dalam hal pelaksanaan
kerja sama pertahanan termasuk di bidang kerja sama militer bilateral
maupun multilateral dengan negara-negara sahabat penting bagi
Indonesia, implementasinya telah dituangkan ke dalam bentuk
perjanjian kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement)
maupun pengaturan pelaksanaannya (Implementing Arrangement).

5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan


Negara.

Usaha pertahanan negara dilaksanakan dengan membangun,


memelihara, mengembangkan, dan menggunakan kekuatan
pertahanan negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi
manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum
nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta
prinsip hidup berdampingan secara damai6. 16 Sesuai dengan pasal 4
undang-undang ini, dinyatakan bahwa pertahanan negara bertujuan
untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia , dan keselamatan segenap
bangsa dari segala bentuk ancaman. Pasal 10 ayat (1) menyatakan
peran TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia , sedangkan ayat (3) menyatakan tugas TNI melaksanakan
kebijakan pertahanan negara untuk: mempertahankan kedaulatan
negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan
keselamatan bangsa, melaksanakan Operasi Militer Selain Perang,
dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian
dunia. Sehingga dalam hal kerja sama militer dalam upaya
peningkatan stabilitas keamanan nasional dan keamanan regional,
serta perdamaian dunia telah terakomodasikan dengan baik dalam
Undang-Undang ini.

6) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia,


bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah,
dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan Operasi Militer
untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang, serta ikut secara aktif
dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional7.
Tugas pokok TNI secara eksplisit tertuang pada pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang ini, yakni untuk menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan
terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Pada masa damai dan era globalisasi saat ini terdapat tantangan
bersama yang memerlukan perhatian dan kerja sama negara-negara

5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 24, Tahun 2000, tentang Perjanjian Internasional, Diktum
Pertimbangan huruf (d).
6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 3, Tahun 2002, tentang Pertahanan Negara, Diktum Pertimbangan

huruf (d).
7 Undang-Undang Republik Indonesia No. 34, Tahun 2004, tentang TNI, Diktum Pertimbangan huruf (c).
364

di kawasan untuk kepentingan bersama. Sehingga dalam rangka


implementasi kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan
kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia , pada tataran operasional di lapangan TNI
melaksanakan hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan dalam
rangka tugas operasional, kerja sama teknik serta pendidikan dan
latihan8. Kerja sama militer ini, tentunya juga merupakan konsekuensi
dari tugas Operasi Militer Selain Perang yang dibebankan kepada TNI.

7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Agar kegiatan
pembangunan berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan adanya
perencanaan dalam pembangunan nasional yaitu Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025
yang merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional
untuk periode (20) tahun terhitung sejak tahun 2005-2025. Dalam
Undang-Undang ini ditetapkan visi Indonesia 2005-2025 yaitu
Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Misi pembangunan
nasional, khususnya butir 2 tentang penguatan daya saing bangsa dan
butir 8 tentang peningkatan hubungan dalam pergaulan dunia
internasional dapat menjadi dasar bagi pengembangan hubungan
bilateral dan multilateral Indonesia dengan negara-negara di kawasan
regional.

8) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011, tentang Intelijen Negara


pada pasal 11 dijelaskan bahwa fungsi intelijen pertahanan dan atau
militer diselenggarakan oleh TNI.

9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam Bagian Kedua Pasal 431 ayat (1) menyatakan bahwa


tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari
Operasi Militer Selain Perang dan ayat (2) menyatakan bahwa dalam
mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI.

10) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-
2019, Sebagai Landasan Operasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


Tahun 2015-2019 adalah pedoman untuk menjamin pencapaian visi
dan misi Presiden, sekaligus untuk menjaga konsistensi arah
pembangunan nasional sesuai RPJPN Tahun 2005–2025. Visi
pembangunan nasional tahun 2015-2019 adalah: “Terwujudnya
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong-Royong”, yang diupayakan dapat diwujudkan melalui tujuh
Misi Pembangunan. Selanjutnya apabila berbicara tentang kerja sama
militer regional, maka hal tersebut merupakan salah satu

8 Ibid, pasal 70
365

implementasi dari misi ke-1, yakni: “Mewujudkan keamanan nasional


yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian
ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan”,
sekaligus implementasi dari misi ke-3, yakni: “Mewujudkan politik
luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara
maritim”.

11) Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015, tentang Kebijakan


Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019.

Kebijakan Umum Pertahanan Negara ini ditetapkan sebagai


dasar bagi Menteri Pertahanan dalam menetapkan kebijakan
mengenai penyelenggaraan pertahanan negara dan bagi pimpinan
kementerian/lembaga dalam menetapkan kebijakan sesuai dengan
tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing terkait bidang
pertahanan9.19 Kebijakan umum ini, mengarahkan prioritas kerja
sama internasional pada peningkatan kerja sama pertahanan militer
dan nirmiliter secara bilateral maupun multilateral mengacu pada
kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif dan memperkuat jati diri
sebagai negara kepulauan dan negara maritim. Bentuk kerja sama
internasional dikembangkan untuk membangun rasa saling
pengertian (Confidence Building Measures), pembangunan kapasitas
(Capacity Building), ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia,
pendidikan dan pelatihan, serta upaya-upaya diplomasi sesuai
kebijakan pemerintah.

12) Doktrin Tentara Nasional Indonesia “Tri Dharma Eka Karma”


yang disyahkan dengan Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/555/VI/2018 tanggal 6 Juni 2018.

Doktrin TNI “Tri Dharma Eka Karma” merupakan dasar dari


semua doktrin yang berada pada strata di bawahnya serta menjadi
panduan bagi pengerahan dan penggunaan satuan-satuan TNI.
Doktrin Tridek juga merupakan dasar pelaksanaan tugas TNI baik
pada Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer
Selain Perang (OMSP) baik pada masa kini maupun mendatang, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.

13) Peraturan Panglima TNI Nomor 42 Tahun 2017, tentang kerja


sama Internasional di Lingkungan TNI.

TNI sebagai pelaksana kebijakan kerja sama internasional


melaksanakan kerja sama bidang militer dan pertahanan guna
meningkatkan hubungan persahabatan dengan Angkatan Bersenjata
negara lain di forum internasional atas dasar saling menghormati,
saling menguntungkan dan tidak mencampuri urusan internal dalam
negeri. Peraturan Panglima TNI ini mengamanatkan tentang tujuan
dan sasaran dilaksanakannya kerja sama internasional adalah (1)
menciptakan kepercayaan dan meningkatkan persahabatan
(Confidence Building Measure) dengan sasaran terwujudnya hubungan
persahabatan yang lebih kondusif dan saling menguntungkan antara

9Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 97, Tahun 2015, tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara
Tahun 2015-2019, Pasal 3.
366

TNI dengan Angkatan Bersenjata negara lain, terwujudnya rasa saling


menghormati dan itikad baik untuk menjaga hubungan bilateral
dalam memandang suatu potensi konflik yang dapat bermuara pada
persengketaan dan terselenggaranya kerja sama internasional yang
saling menguntungkan, bertingkat dan berlanjut. (2) Mengupayakan
diplomasi mencegah konflik (Preventive Diplomacy) dengan sasaran
menurunnya tingkat konflik dan pertikaian antara TNI dengan
Angkatan Bersenjata negara lain, meningkatnya pengaruh dan
diplomasi TNI dalam upaya menciptakan stabilitas keamanan dan
mencegah konflik di kawasan regional, pengakuan dan penerimaan
peran dan kontribusi TNI sebagai mediator dalam penyelesaian konflik
pada skala regional dan internasional. (3) Meningkatkan kemampuan
militer dan pertahanan (Defense Capacity) dengan sasaran
meningkatnya kemampuan dan profesionalitas personel TNI,
meningkatnya efektivitas dan efisiensi operasional TNI dalam
melaksanakan tugas pokok TNI dan mengoptimalkan penggunaan dan
pemeliharaan terhadap Alutsista dan sistem Kodalops TNI guna
melaksanakan Tupok TNI. (4) Menciptakan keamanan kawasan
(Security Enhancement) dengan sasaran meningkatnya keamanan dan
menurunnya tingkat kejahatan transnasional di wilayah nasional dan
wilayah regional, tersusunnya Standard Operating Procedure (SOP)
Multinational Forces (MNF) guna memelihara keamanan di kawasan
regional, dan meningkatnya pengakuan dunia terhadap peran dan
kontribusi TNI dalam upaya memelihara stabilitas keamanan kawasan
regional. (5) Melaksanakan misi damai dalam memberikan bantuan
kemanusiaan dan penanggulangan bencana serta pemeliharaan
perdamaian dunia (Humanitarian Assistance/ Disaster Relief dan
Peace Keeping Operation) dengan sasaran meningkatnya kemampuan
dan peran serta TNI dalam misi damai di forum internasional untuk
bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana, meningkatnya
pengakuan dunia terhadap profesionalitas Satgas TNI pada misi
perdamaian PBB, dan terpenuhinya standar kemampuan alutsista dan
peralatan pendukung yang dipersyaratkan kepada Satgas TNI pada
misi perdamaian PBB.

d. Landasan Teori.

1) Teori Diplomasi.

Menurut S.L Roy, diplomasi sangat berkaitan dengan


penelaahan hubungan antar negara. Diplomasi adalah seni
mengedepankan kepentingan sesuatu (negara) melalui negoisasi yang
dilakukan dengan cara-cara damai apabila dimungkinkan untuk
dilaksanakan. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh
tujuan yang diinginkan diplomasi memberikan pilihan untuk
menggunakan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk
mencapai tujuan. Menurut George A Lopez dan Michael S., Sthol,
diplomasi adalah proses dimana setiap pemerintahan melaksanakan
hubungan dengan negara lain. Teknik diplomasi adalah suatu cara
atau teknik yang digunakan seorang diplomat di dalam melakukan
perundingan diplomasi. Cara itu biasa berupa tawar-menawar,
persuasif (bujukan) melakukan ancaman dan membuat komitmen.
Tujuan diplomasi adalah memberikan mekanisme personalia politik
luar negeri. Jadi suatu politik suatu negara ditujukan untuk
367

memajukan dan melindungi kepentingan nasional10. Tujuan diplomasi


menurut S L Roy (1991) adalah sebagai berikut:

a) Tujuan Politik. Hal ini berhubungan dengan kebebasan


politik dan integritas teritorialnya, dalam konteks Indonesia
adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diperoleh
dan juga melindungi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

b) Tujuan Ekonomi. Hal ini berhubungan dengan


pembangunan ekonomi nasional.

c) Tujuan Kultur/Budaya, yaitu melestarikan dan juga


memperkenalkan kebudayaan nasional pada dunia
internasional.

d) Tujuan Ideologi, yaitu mempertahankan keyakinan dan


kepercayaan yang diyakini oleh suatu bangsa dalam konteks
Indonesia adalah Pancasila11.

2) Teori Hubungan Internasional.

Hubungan Internasional (Hubungan Internasional) merupakan


bagian hubungan sosial dari sistem tindakan manusia, yang
dimaksudkan untuk mencari dan mempertahankan perdamaian
antarmanusia sebagai warga suatu negara. Hubungan Internasional
juga merupakan rencana, gagasan, doktrin, sistem prinsip-prinsip,
nilai-nilai serta sasaran-sasaran sebagai upaya mencapai tujuan
tertentu dari suatu negara tertentu maupun kelompok negara
tertentu12.

a) Secara umum, Hubungan Internasional merupakan suatu


proses yang di dalamnya terdapat tiga konsep penting yang
menonjol, yaitu:

(1) Ideologi yang mencakup kepentingan nasional dan


sasaran jangka panjang.

(2) Faktor-faktor sebagai unsur kekuasaan atau


kekuatan seperti faktor ekonomi, politik, hankam,
kependudukan, geografi, sosial budaya dan lain-lain.

(3) Kebijakan yang tercermin dalam pelaksanaan atau


rangkaian tindakan-tindakan yang diambil dan ditujukan
terhadap sasaran tertentu13.

b) Robert Jackson, Profesor Ilmu Politik dari University of


British Columbia, Canada dan George Sorensen, Profesor Ilmu
Politik dari University of Arctus, Denmark (dalam buku
“Introduction to International Relations: Theories and
Approaches”, 1999) menyebutkan bahwa dalam teori Hubungan

10 http://konsultasiskripsi.com/2017/09/06/teori-diplomasi-skripsi-dan-tesis.
11 http://www.spengetahuan.com/2017/09/pengertian-diplomasi-menurut-para-ahli-fungsi-tujuan.html.
12 Syahmin Ak, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta, 2001.
13 Romli Atmasamita, Hukum Pidana Internasional, PT. Gramedia, Jakarta, 2003.
368

Internasional, maka tanggung jawab pemerintahan pada


dasarnya terdiri dari tiga dimensi, yakni:

(1) Dimensi nasional, yaitu bertanggung jawab kepada


warga negaranya berupa keamanan nasional.

(2) Dimensi internasional, yaitu bertanggung jawab


kepada negara lainnya berupa perdamaian internasional.

(3) Dimensi humaniter, yaitu bertanggung jawab


kepada mahluk manusia berupa Hak Asasi Manusia14. 24

3) Teori Geopolitik dan Regionalisme.

Dalam karya besarnya, “The States as an Organism”, Kjellen


menggambarkan bahwa negara adalah sebuah organisasi yang
menempati suatu wilayah geografis tertentu. Bentuk fisik wilayah
suatu negara akan menentukan tatanan politik, ekonomi, sosial dan
sistem pertahanan keamanan. Sedangkan letak geografis suatu negara
akan memengaruhi hubungannya dengan negara lain di kawasannya.
Sebagai sebuah organisasi, negara tidak bisa hidup menyendiri tetapi
membutuhkan organisasi lain dalam suatu pola simbiose tertentu.
Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang
memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu wilayah
tertentu, meskipun demikian kedekatan geografis saja tidak cukup
untuk menyatukan negara dalam satu kawasan 15. Hettne dan
Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu
didukung adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah
yang sama16.

Selanjutnya untuk menelaah keamanan regional secara lebih


mendalam, terdapat dua paham yang dapat dikombinasikan, yaitu
paham realis dan institusionalis (idealis). Perbedaan utama ke dua
paham ini adalah perbedaan aspek terpenting dalam menentukan
keamanan regional, dimana kaum realis memandang bahwa militer
adalah faktor terpenting dari keamanan17. Hal ini dapat dianalogikan
dengan kehadiran kekuatan militer di kawasan regional. Sementara
itu, kaum institusionalis mengatakan tidak hanya militer saja yang
merupakan aspek terpenting dari keamanan regional, tetapi juga
bidang politik dan sosial. Sehingga perpaduan dua prespektif dalam
menganalisa keamanan regional tersebut akan saling melengkapi dan
terkait secara komprehensif.

4) Teori Stabilitas Kawasan.

Suatu entitas kawasan tentunya membutuhkan adanya


stabilitas yang kuat untuk menjamin terlaksananya hubungan-
hubungan antar negara dengan baik. Dalam hal pencapaian stabilitas
kawasan memerlukan berbagai kerja sama yang saling

14 Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to International Relations: Theories and Approaches,
Oxford University Press, Oxford, 1999.
15 Edward D. Mansfield and Helen V. Milner, The new wave of regionalism, Elisabeth Kartikasari, dalam “FTA

ASEAN-China Sebagai Upaya Perluasan Mitra Dagang”, Program Pasca sarjana, HI UGM, 2010, hal. 590
http://www.scribd.com/doc/57298695/Tugas-Akhir-Regionalisme#scribd,
16 Ibid, hal. 4.
17 https://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/teori-regionalisme/,
369

menguntungkan sehingga lingkungan kawasan dapat menjadi aman


dan damai. Konsep tentang stabilitas kawasan dikemukakan oleh
Jhon Spanier, bahwa “Stabilitas kawasan adalah adanya kesepakatan
diantara negara-negara mengenai perbedaan-perbedaan diantara
mereka dengan tujuan untuk mempertahankan sistem internasional
yang telah ada18. Upaya-upaya untuk meningkatkan stabilitas
kawasan antara lain dapat dilakukan melalui kerja sama militer di
kawasan yang diharapkan dapat meningkatkan Ketahanan Nasional
negara masing-masing guna mendukung stabilitas kawasan regional
dan internasional. Dari ke empat pendapat ilmiah tersebut, lebih
lanjut akan dijadikan landasan teoritis dalam pemikiran penyusunan
konsepsi Cetak Biru (Blue Print) Diplomasi Militer yang dilaksanakan
TNI Tahun 2019 s.d. Tahun 2024.

e. Tinjauan Pustaka.

1) Diplomasi.

Diplomasi merupakan suatu alat yang membawa kepentingan


negara dalam level tertentu. Dari diplomasi tersebut, sebuah negara
akan menghasilkan keputusan kerja sama antar negara untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi. Oleh sebab itu, perlu adanya
penyelesaian agar negara-negara tersebut aman untuk ditinggali.
Seperti yang dikatakan oleh Reza Bayu Oktavian Arief, S.I.P. bahwa
tujuan dari diplomasi ini adalah untuk menciptakan worldpeace,
artinya dapat menciptakan rasa aman dan sejahtera untuk
masyarakat dunia. Untuk itu perlu adanya gerakan atau tempat yang
bisa dijangkau oleh masyarakat luas untuk menyalurkan
pendapatnya terkait dengan penyelesaian konflik di negara-negara
yang berkonflik19.

Fungsi Diplomasi menurut Norman dan Howard C. Parkins


(1957) adalah:

a) Representing, yaitu mewakili negara asalnya dalam


melakukan perundingan dan sebagainya dengan membawa
nama negara asal.

b) Negotiating, yaitu melakukan negosiasi dengan negara


lain berkait dengan permasalahan negara asal.

c) Rotecting, yaitu melindungi kepentingan nasional dan


warga negara di negara lain, dan

d) Reporting, yaitu, melaporkan setiap perkembangan yang


terjadi di negara lain yang diperkirakan dapat memengaruhi
kepentingan nasional.

Sementara itu, Diplomasi Pertahanan adalah aktivitas kerja


sama baik kerja sama multilateral maupun bilateral, yang dilakukan
oleh militer dan infrastruktur terkait masa damai dengan melibatkan

18 Jhon Spanier, Games National Play: Analysing International Politics, Fifth Edition, Holt, Reinhard
&Winston, New York, 1984.
19 http://www.umy.ac.id/tujuan-diplomasi-adalah-untuk-ciptakan-perdamaian-dunia.html
370

kerja sama militer dalam isu yang lebih luas, mulai dari peran militer
sampai peran nirmiliter, seperti penjaga keamanan (peacekeeping),
penegakan keamanan (peace enforcement), promosi good-governance,
tanggap bencana, melindungi Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.
Berbeda dengan masa lalu, di mana militer hanya bekerja sama
dengan sekutunya, saat ini kerja sama militer juga dilakukan antara
negara bahkan negara yang sedang bersaing. Diplomasi pertahanan
juga dilakukan dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan
infrastruktur terkait sebagai alat kebijakan keamanan dan kebijakan
luar negeri. Lebih lanjut, diplomasi pertahanan dilakukan antara lain,
untuk mencari perimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan
stabilitas keamanan regional, peningkatan kapabilitas pertahanan,
dan kemandirian pertahanan suatu negara. Keberhasilan pelaksanaan
diplomasi pertahanan negara sangat bergantung pada upaya-upaya
diplomatik yang dilakukan pada tingkat global, regional, dan
bilateral20. Diplomasi pertahanan juga merupakan sebuah proses yang
tidak hanya melibatkan aktor negara saja (seperti politisi, kekuatan
bersenjata atau badan intelijen) tetapi juga organisasi non pemerintah,
think tank dan masyarakat sipil. Inilah yang menjadi pembeda dengan
diplomasi militer, dimana diplomasi militer hanya fokus pada
penggunaan kekuatan militer terkait pada isu-isu keamanan saja.
Diplomasi pertahanan bertujuan untuk memperbaiki hubungan antar
negara baik melalui jalur-jalur formal maupun informal, dengan
pemerintah maupun non pemerintah dan dengan risiko dan biaya
yang rendah. Diplomasi pertahanan, saat ini telah menjadi alat
penting dalam kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri suatu
negara.

Diplomasi banyak dipahami sebagai proses yang mengedepan-


kan kepentingan negara melalui negosiasi dengan negara lain yang
diidentikkan dengan suasana damai antara negara yang melakukan
proses diplomasi. Diplomasi sendiri mengutamakan penyelesaian
masalah tanpa menimbulkan masalah. Militer dapat digunakan
sebagai sarana meningkatkan bargaining position dalam diplomasi21.
Penggunaan sarana militer bukan kekuatan nyata militer sebagai alat
untuk mempengaruhi negara lain secara langsung dan tujuan
strategisnya adalah untuk deterrence (menggentarkan)22.

2) Kerja Sama Internasional.

Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang


dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara
di dunia, meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan
keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar
negeri masing-masing negara. Dalam suatu kerja sama internasional,
bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara
dan bangsa yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri23.
Dalam bukunya yang berjudul Hubungan Internasional Sistem
Interaksi dan Perilaku, Soeprapto menggolongkan kerja sama

20 https://id.wikipedia.org/wiki/Diplomasi_pertahanan
21 http://lembagakeris.net/militer-sebagai-sarana-meningkatakan-bergaining-position-dalam-diplomasi.
22 https://www.kompasiana.com/mrasyaaditya/diplomasi-militer_55006696a333117f72510e6d
23 Perwita AA. & Yani Y.M, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,

2005, hal. 33.


371

internasional ke dalam empat bentuk, antara lain yakni: kerja sama


global dan kerja sama regional24. Sedangkan menurut K.J. Holsti
dalam buku Politik Internasional: Suatu Kerangka Teoritis, ada
beberapa alasan mengapa negara melakukan kerja sama antara lain:
karena adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan
bersama25. Selanjutnya menurut Muhadi Sugiono ada beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam kerja sama internasional, yakni:

a) Negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam politik


internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi
politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan
aktor-aktor ekonomi dan masyarakat sipil.

b) Kerja sama internasional tidak lagi semata-mata


ditentukan oleh kepentingan masing-masing negara yang
terlibat di dalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional,
karena institusi internasional seringkali bukan hanya bisa
mengelola berbagai kepentingan yang berbeda dari negara-
negara anggotanya, tetapi juga memiliki dan bisa memaksakan
kepentingannya sendiri26.

3) Konsep kerja sama Regional.

Kerja sama regional mempunyai wilayah kegiatan yang


bersifat regional dan keanggotaan hanya diberikan bagi negara-negara
pada kawasan tertentu saja. Kesamaan budaya, ekonomi, politik,
ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat
memunculkan organisasi yang lebih efektif. Menurut Michael Mihalka
dalam bukunya Cooperative Security: New Horizons for International
Order, menyatakan bahwa isu non-tradisional dapat didefinisikan
suatu aktivitas untuk memperbaiki keamanan lingkungan di mana
negara-negara tersebut berada pada suatu kawasan27. Cooperative
security dapat dibentuk oleh dua negara atau lebih dan untuk
mewujudkannya hanya dapat dilakukan saat negara-negara
membangun rasa kesamaan ke depan (common future) dalam
mengatasi masalah keamanan bersama. Cooperative security
menekankan upaya untuk menciptakan keamanan melalui dialog,
konsultasi, pembentukan rasa saling percaya tanpa harus melalui
pendekatan formal institusional, sehingga model kerja sama seperti ini
sangat efektif bagi stabilitas keamanan regional. Hal senada tentang
konsep kerja sama regional yang juga ditawarkan oleh Prof. Dr. Moh.
Mahfud M.D. dalam tulisannya “Sistem Pertahanan Keamanan Dalam
Perspektif Indonesia Baru”, menyatakan bahwa Regional Security
merupakan konsep security pada dua negara atau lebih yang berada
pada wilayah tertentu, yang terbagi dalam: Collective Security, Common

24 R. Suprapto, Hubungan internasional sistem interaksi, dan perilaku, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1997.
25 KJ.Holsti, Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, Bina Cipta, Jakarta, 1997, hal. 362-363.
26 Muhadi Sugiono, Global Governance Sebagai Agenda penelitian Dalam Studi Hubungan
Internasional,Jakarta,
27 Michael Mihalka dan Richard Cohen, Cooperative Security: New Horizons for International Order, Marshall

Center Paper No. 3 Garmisch-Partenkirchen, Germany: George C. Marshall European Center for Security
Studies, April 2001.
372

Security dan Comprehensive Security. Dalam hal ini, Comprehensive


Security merupakan konsep keamanan menyeluruh yang dilakukan
dua negara atau lebih dalam bentuk forum kerja sama dan dialog
keamanan dengan fokus pada Peace Resolution, Preventive Diplomacy,
CBM, Peacekeeping Operation dan berbagai bentuk kerja sama
keamanan pada aspek lainnya termasuk militer, sangatlah tepat
menjadi acuan kerja sama militer regional saat ini.

Berdasarkan ke tiga tinjauan kepustakaan di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa diplomasi militer yang diwujudkan dalam kerja
sama internasional dimaksudkan untuk mencapai kepentingan
sebuah negara dan kepentingan kerja sama untuk menghadapi
tantangan bersama. Cetak Biru (Blue Print) Diplomasi Militer Tahun
2019 s.d. 2024 ini lebih menekankan bagaimana pembangunan kerja
sama militer internasional yang berlandaskan kepada asas kemitraan
global (Collective Security).

37. Sejarah Singkat Diplomasi.

a. Umum.

Sejumlah ilmuwan telah mencoba menelusuri sejarah awal mula


diplomasi dipraktikkan guna mengetahui perkembangan dan pola diplomasi
yang komprehensif dalam berbagai masa. Tulisan ini akan memaparkan
sejarah diplomasi sejak masa kuno hingga saat ini, dengan memeriksa
pendapat dari para ilmuwan sehingga kita dapat membandingkan
karakteristik diplomasi kuno dan diplomasi modern serta mengetahui
bagaimana diplomasi berevolusi.

b. Sejarah Diplomasi Internasional.

1) Diplomasi Kuno. Diplomasi kuno dapat kita klasifikasikan ke


dalam beberapa tempat dan tahap, yaitu sebagai berikut :

a) Diplomasi Era Prasejarah. Diplomasi dan hubungan


antar negara memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana
sejarah peradaban manusia dan dunia. Dietrich Kappeler dalam
tulisannya yang berjudul “The Birth and Evolution of Diplomatic
Culture” mengungkapkan bahwa praktik-praktik diplomasi
sederhana telah berjalan sejak manusia hidup secara
berkelompok. Dalam periode awal sejarah, terdapat
kecenderungan dalam hubungan yang dijalin oleh sekelompok
manusia yang tinggal di wilayah yang sama, yaitu bahwa
hubungan tersebut dilakukan dalam rangka perburuan
makanan. Hubungan seperti ini sebagian besar bersifat
permusuhan dan mengakibatkan kelompok-kelompok tersebut
saling menjauh. Namun karena populasi manusia semakin
meningkat, pertarungan mereka untuk memperebutkan wilayah
menjadi lebih ganas dan lebih sering terjadi. Ketika pertarungan
terjadi, hubungan diplomatik pertama lahir diantara kelompok
kelompok yang bermusuhan ini yang dilakukan demi
menyetujui gencatan senjata dan untuk memulihkan kekuatan
para petarung. Diplomat-diplomat pertama ini telah memiliki
karakteristik tertentu yaitu mereka datang tanpa senjata dan
373

mencoba menggunakan persuasi demi mendapatkan apa yang


mereka inginkan (Kappeler, 2004).

Ketika beberapa kelompok manusia mulai menetap,


mereka mulai berinteraksi baik dengan kelompok menetap
terdekat lainnya maupun kelompok yang nomaden. Ketika
hubungan yang terjadi tidak melibatkan tindakan kekerasan,
kelompok-kelompok ini saling melakukan pertukaran barang,
hewan, dan bahkan tahanan dari pertarungan sebelumnya.
Untuk memungkinkan pertukaran ini berjalan dengan baik,
harus ada suatu perjanjian perdamaian yang disepakati oleh
masing-masing pihak. Para utusan yang aktif dalam hubungan
ini perlu memiliki status sosial tertentu dan memiliki
pengetahuan yang diperlukan mengenai isu-isu yang
bersangkutan. Terkadang mereka diharuskan tetap menjadi
sandera untuk menjamin pelaksanaan perjanjian. Seringkali
mereka adalah individu yang berhubungan dengan penguasa
kelompok mereka. Sebagai sandera, mereka menjadi akrab
dengan budaya kelompok yang menahan mereka (Kappeler,
2004).

Pendapat Kappeler ini senada dengan apa yang


diungkapkan oleh Peter Karavites dalam tulisannya yang
berjudul “Diplomatic Envoys in the Homeric World”. Menurutnya,
meskipun teori tentang kedutaan permanen baru benar-benar
diperkenalkan setelah Perjanjian Westphalia (1648 M), praktik
diplomasi telah dilakukan oleh orang-orang di Mesopotamia dan
daerah Pesisir Timur, bangsa Mesir Kuno, bangsa Yunani Kuno,
dan bangsa Romawi Kuno. Bahkan menurutnya, praktik
diplomasi juga terjadi secara alami diantara ras primitif dari
kepulauan Pasifik dan dibeberapa suku aborigin Australia.
Jauh sebelum adanya Perjanjian Westphalia, perwakilan
permanen atau kuasi permanen merupakan hal yang tidak asing
dibeberapa istana Mesopotamia. Zimrilim, raja Asiria, telah
memiliki beberapa koresponden sejenis di Babilonia,
sebagaimana yang dimiliki Hammurabi di Mari (Karavites,
1987).

b) Diplomasi Era India Kuno. Diplomasi pada masa India


Kuno dapat kita pelajari dari tulisan Kautilya, penasehat utama
dari raja India Chandragupta Maurya (sekitar 317-293 SM) yang
pertama kali menyatukan anak benua India menjadi sebuah
kerajaan. Literatur yang ditulis Kautilya ini berjudul Arthaśāstra
yang diterjemahkan sebagai “Science of Politics”. Dalam
Arthaśāstra, Kautilya menawarkan diskusi yang luas dan benar-
benar menarik mengenai perang dan diplomasi (Boesche, 2003).
Peran penting diplomasi menurut Kautilya adalah “raja yang
memahami implikasi sejati dari diplomasi menaklukkan seluruh
dunia”. Kautilya percaya bahwa negara-negara bertindak dalam
kepentingan politik, ekonomi, dan militer mereka sendiri
sehingga diplomasi akan dipraktekkan selama diplomasi
melayani kepentingan pribadi negara, karena setiap negara
bertindak dengan cara memaksimalkan kekuatan dan
kepentingan pribadi. Menurutnya, dunia berada dalam keadaan
dimana sebuah kerajaan sedang berperang atau sedang bersiap
374

untuk perang dan diplomasi adalah senjata lain yang digunakan


dalam peperangan konstan ini. Dia percaya bahwa diplomasi
adalah serangkaian tindakan yang diambil oleh sebuah kerajaan
sehingga memperoleh kekuatan dan akhirnya menaklukkan
negara yang dengannya hubungan diplomatik tercipta. Kautilya
juga percaya bahwa perjanjian harus dibuat sedemikian rupa
sehingga raja melayani kepentingan pribadi kerajaan. Untuk
lebih memahami konsep diplomasi Kautilya, kita harus
memahami konsep Mandala mengenai enam jenis kebijakan
luar negeri dan empat solusi (Chandrasekaran, 2006).

c) Diplomasi era Yunani kuno. Sumber paling awal mengenai


diplomasi Yunani adalah dalam karya Homer yang berjudul
“Illiad and Odyssey”. Elemen pertama mengenai urusan antar
negara dapat diamati pada olimpiade tahun 776 SM. Sejak abad
ke-6 SM, Liga Amphictonic mempertahankan majelis antar
negara bagian dengan hak ekstra teritorial dan sekretariat
permanen. Pada pertengahan abad ke-6 SM, Sparta secara
dinamis mengembangkan aliansi dan telah membentuk Liga
Peloponnesia sejak 500 SM. Selama perang Yunani-Persia,
Athena melakukan Liga Delian pada abad ke 5 SM. Sementara
itu sebagai semacam institusi diplomatik, terdapat tiga
perwakilan di Yunani, yaitu (mammadova, 2016):

(1) Angelos atau presbys, adalah utusan dan penatua


yang dikirimkan untuk misi singkat dan spesifik;

(2) Keryx, adalah pembawa berita yang memiliki hak


khusus atas keselamatan pribadi; dan

(3) Proxenos, adalah penduduk Yunani resmi maupun


tidak resmi.

d) Diplomasi Era Romawi. Diplomasi di era Romawi banyak


dipengaruhi oleh diplomasi Yunani kuno. Pada masa Romawi,
penggunaan diplomasi sebagian besar bersifat legal dan
komersial, salah satunya adalah penggunaan jalur diplomatik
dalam mempertahankan hubungan dagang di dalam suatu
provinsi. Orang Romawi tidak banyak menggunakan praktik
diplomasi untuk tujuan administratif. Sebaliknya, mereka
banyak berinvestasi dalam membangun kapabilitas militer dan
keahlian militer mereka. Perwakilan diplomatik Romawi disebut
Legatus, yang ditunjuk dari dan oleh Senat. Legatus memiliki
beberapa kewenangan untuk bebas bertindak. Kebutuhan
seorang utusan sebagian besar dipenuhi oleh Komandan Militer
dan Gubernur Provinsi yang dihadiri (Kurazaki, 2011).

e) Diplomasi era Bizantium (Romawi Timur). Setelah


keruntuhan Kekaisaran Romawi pada 476 SM, Kekaisaran
Bizantium muncul dengan praktik diplomasi yang merajalela.
Kekaisaran Bizantium tidak memiliki kapabilitas militer yang
kuat namun hal ini justru mendorong kekaisaran ini untuk
menjaga hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya
melalui cara-cara lain. Karena itu, diplomasi dilembagakan oleh
Bizantium (Chaniotis & Ducrey, 2002). Kekaisaran ini memiliki
375

beberapa cara untuk mencapai kesuksesan dalam membangun


hubungan diplomatik. Cara pertama adalah dengan memanfaat
kan rasa kekaguman. Tujuannya adalah untuk mengesankan
utusan negara tetangga yang berkunjung dengan tampilan
“superioritas absolut, kemewahan, dan kekayaan”.

Sebagai kekaisaran Kristen, metode diplomasi kedua yang


dilakukan oleh Bizantium adalah dengan mengeksploitasi
penyuapan secara maksimal demi memperoleh keamanan dari
kerajaan-kerajaan tetangganya yang kuat dan sebagian besar
merupakan pengikut agama Islam. Penyuapan ini dilakukan
dengan penuh kehati-hatian sehingga tidak terlihat secara jelas,
melalui upeti atau dengan memberikan persediaan perdagang
an. Jika dua metode diplomatik ini gagal mencapai tujuan yang
diinginkan, metode lain yang digunakan adalah melalui jalur
perkawinan. Praktik ini diperkuat dengan sarana mas kawin
dan hadiah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
upacara pernikahan. Metode terakhir dari diplomasi Bizantium
adalah kebijakan memisahkan tetangga dan mengadu-domba
mereka.

Untuk mencapai tujuan ini secara efektif, praktik


pengumpulan informasi merupakan bagian penting dari
administrasi Bizantium. Karena itu, terdapat bukti nyata
intelijen di arena diplomatik. Para pembesar Bizantium tidak
hanya dikirimkan untuk mewakili kerajaan mereka tetapi juga
untuk mengumpulkan cukup informasi. Mereka memiliki badan
yang dinamakan Skrinion Barbaron yang berfungsi sebagai biro
hubungan luar negeri yang bertanggungjawab untuk
mengumpulkan intelijen.

Badan ini bisa dianggap sebagai salah satu badan intelijen


pertama di dunia. Merangsang permusuhan antara negara-
negara asing adalah sarana mengulur-ulur waktu yang akan
membuat Bizantium memiliki lebih banyak waktu untuk
mencegah perang. Metode-metode diplomasi ini berkontribusi
pada umur panjang Kekaisaran Bizantium hingga jatuhnya
Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Turki Ottoman.
Metode tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh city-
state Italia selama periode Renaissance (Hamilton & Langhorne,
2011).

f) Diplomasi di negara Italia. Kemunduran Kekaisaran


Bizantium berarti meningkatnya ancaman Turki Utsmani ke
arah barat. Sementara itu disisi lain dinasti Valois yang berhasil
menyatukan Prancis tengah berusaha memperluas wilayahnya
dengan menyerang Italia. Ancaman-ancaman eksternal dan
kesadaran akan militer yang lemah memaksa negara-negara
kota Italia yang awalnya saling berkelahi satu sama lain mulai
mencari keamanan bersama dengan menciptakan aliansi
dengan memperkuat hubungan mereka melalui saluran
diplomatik, yang melahirkan penandatanganan Perjanjian Lodi
yang membahas mengenai konsep non agresi antara satu sama
lain.
376

Perwakilan dari berbagai negara kota ditempatkan di


istana raja di ibu kota. Praktik ini muncul akibat dua alasan
utama. Pertama, ada sedikit kepercayaan di dalam negara-
negara kota Italia karena sebelum adanya perjanjian Lodi
mereka saling permusuhan. Oleh karena itu, membangun
kepercayaan terhadap kerja sama dan koordinasi lebih lanjut
merupakan suatu kebutuhan awal yang harus digenapi. Kedua,
keseimbangan kekuasaan sangat rapuh dan sangat bergantung
pada intelijen yang dikumpulkan untuk mempersiapkan resiko
yang mungkin terjadi jika ada negara kota yang membelot dari
perjanjian tersebut (Kurazaki, 2011). Oleh karena itu
dibutuhkan adanya duta besar residen untuk memperingatkan
raja kembali ke negara-kotanya. Kebutuhan akan duta besar
residen menghasilkan adanya dua kedutaan, yaitu kedutaan
permanen dan duta besar residen yang melembagakan praktik
diplomasi di bagian utara Italia.

Pada saat perang tiga puluh tahun pecah, seluruh eropa


telah mengadopsi sistem kedutaan permanen dan duta besar
residen. Kedamaian ini ternyata hanya bertahan hingga
datangnya invasi Charles VIII dari Perancis pada 1494 M.
Namun meskipun begitu, serangan ini telah mendorong negara-
negara eropa lainnya untuk mengadopsi konsep diplomasi
Italia (Mattingly, 1955).

g) Praktik Diplomasi di Abad Ke-16 hingga abad 20 M. Praktik


diplomasi yang intensif dan perbaikan di bidang diplomasi
berlangsung pada periode ini dikarenakan adanya Perang Tiga
Puluh Tahun (1618-1648). Semakin banyak negara bagian yang
menjadi mandiri dan berdaulat telah membentuk kedutaan
permanen dan duta besar residen. Oleh karena itu, sebuah
kebutuhan dirasakan untuk membentuk semacam kekebalan
diplomatik untuk membebaskan duta besar dari perlakuan
sewenang-wenang oleh para raja penerima. Ditetapkan juga
bahwa dikarenakan para duta besar mewakili raja itu sendiri,
maka mereka harus diperlakukan secara setara (Ahonen-Ström
& Andgren, 2006). Tokoh yang prestisius dalam diplomasi pada
periode ini adalah Cardinal Richelieu yang pada tahun 1624
mendirikan kementerian urusan luar negeri pertama yang
memusatkan semua urusan luar negeri di bawah satu
departemen terpisah (Islam, 2005). Dia juga berjasa dalam
memberikan dua inovasi utama dalam praktek diplomasi. Kita
mungkin mengingat pendapat Kissinger yang mendefinisikan
negosiasi sebagai praktik yang melibatkan “konsesi
perdagangan” (Kissinger, 1994).

Ternyata praktik ini diperkenalkan pertama kali oleh


Richelieu yang menganggap konsesi dan kontra konsesi
merupakan bagian negosiasi yang sangat signifikan. Dia juga
menekankan bahwa perdagangan konsesi ini perlu dipraktikkan
secara pribadi karena menjadi tidak praktis saat dipublikasikan.
Oleh karena itu, rincian mengenai negosiasi perlu dijaga
kerahasiaannya (Kurazaki, 2011). Inovasi Richelieu yang lainnya
adalah penekanannya pada aspek kontinuitas diplomasi, yang
menyatakan bahwa upaya diplomatik akan lebih bermanfaat
377

jika berjalan secara terus-menerus baik di masa perang maupun


damai (Richelieu, 1961). Peristiwa penting lainnya yang
menandai perkembangan diplomasi pada periode ini adalah
Perjanjian Westphalia (1648), Kongres Wina, pembentukan Liga
bangsa-bangsa, dan perang dingin.

2) Diplomasi modern. Setelah berakhirnya perang dunia kedua,


Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun 1945. Namun
karena adanya perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet,
PBB seringkali mengalami keterbatasan dalam menjalankan tugasnya.
Kekuatan veto dieksekusi secara ekstensif oleh satu sama lain. Dengan
runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, segala sesuatunya mulai
berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Periode tersebut bisa dianggap
sebagai periode kemunculan diplomasi modern. Pada diplomasi
modern, telah terjadi pergeseran fokus diplomasi dari yang awalnya
bersifat politik menjadi ekonomi, menyebabkan para duta besar harus
memasukkan hubungan komersial dan ekonomi di dalam lingkup
kerja mereka.

Masuknya aspek ekonomi ke dalam diplomasi dilatarbelakangi


oleh keberhasilan hubungan ekonomi dalam mengurangi ketegangan
antara negara-bangsa secara efektif. Karena itu, aspek ekonomi suatu
bangsa juga memainkan peran utama dalam diplomasi berbasis
negara. Di samping itu, penugasan duta besar tertentu juga
memegang peranan penting. Ketika negara A menugaskan seorang
duta besar untuk negara B, perlu dicatat jika duta besar tersebut
menjalankan kekuasaan atas pemimpin negara A. Dalam istilah yang
lebih sederhana, pilihan duta besar yang ditugaskan oleh negara
untuk negara lain menunjukkan pentingnya hubungan dengan negara
tersebut. Sehingga proyeksi kebijakan luar negeri suatu negara tidak
lagi terbatas pada Kementerian Luar Negeri. Akhir-akhir ini, kepala
pemerintahan dan juga kepala negara telah secara aktif berpartisipasi
di dalam diplomasi. Perubahan ini adalah apa yang saat ini kita kenal
dengan istilah diplomasi publik (Islam, 2005).

Adanya LBB dan PBB juga membawa pola baru dalam


hubungan diplomatik yang awalnya hanya bersifat bilateral menjadi
bersifat multilateral. Pendekatan multilateral ini semakin meningkat
pasca 1945 (KCMG, 2009). Diplomasi modern juga mengalami
perubahan dari segi aktor. Seiring munculnya aktor-aktor non-negara
yang berperan penting dalam sistem internasional, saat ini diplomasi
tidak hanya merupakan otoritas pemerintah pusat. Diplomasi juga
melibatkan lebih banyak aktor seperti pemerintah daerah
(paradiplomasi), warga negara (diplomasi publik), dan lain-lain.

Teknologi informasi yang merupakan fitur abad ke-21 juga


membawa perubahan dalam karakteristik diplomasi ke dalam
komunikasi modern. Saat ini, pengoperasian sirkulasi informasi dan
aksesibilitasnya mengubah dinamika pekerjaan diplomatik yang
memerlukan reaksi lebih cepat dan prinsip pemilihan informasi
lainnya. Selain itu, agenda abad ke-21 mewajibkan para ahli
diberbagai bidang : masalah energi, lingkungan, keuangan, ekonomi,
hak asasi manusia, masalah kesehatan, teknologi informasi dan
komunikasi, kejahatan terorganisir, masalah keamanan dan
terorisme. Transformasi diplomasi diabad ke-21 ditandai dengan
378

pesatnya kerjasama dan koordinasi antar institusi dalam


memecahkan berbagai pertanyaan. Dalam konteks UE, misalnya, ini
adalah pertanyaan tentang pengembangan European External Action
Service (EEAS) yang akan mampu memastikan penyampaian
kebijakan yang efektif dan efisien (Klavins, 2011).

Banyak fitur diplomasi yang disebutkan di atas sesuai dengan


tipologi Graham Evans dan Jeffrey Newnham. Menggambarkan
perubahan diplomasi di abad 21, para penulis ini memperhatikan
transformasi dalam mekanisme diplomasi dan diplomat. Para penulis,
misalnya, menunjukkan perubahan berikut : dialog diplomatik yang
diperluas; perubahan dalam penekanan perhatian lebih untuk
diplomasi multilateral; sejumlah besar ahli dan spesialis yang terlibat;
semakin pentingnya media massa, pelaku masyarakat internasional
dan aktor nonpemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh proses perubahan
terus-menerus. Seiring perubahan dunia begitu juga melakukan
diplomasi. Oleh karena itu, seperti yang Brian Hocking tulis,
"Diplomasi merespons, seperti sebelumnya, berubah dalam karakter
negara dan masyarakat" (Klavins, 2011).

c. Sejarah Diplomasi Indonesia.

Sejarah Diplomasi masa orde lama. Sejarah diplomasi Indonesia


dimulai dari kongres Pemuda II di Jakarta melahirkan Sumpah Pemuda yang
mengikrarkan satu Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa bagi Indonesia, yang
merupakan dasar dari pembentukan identitas nasional pada tahun 1928.
Kemudian, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdeka
an Indonesia pada hari Jumat, 17 Agustus, pukul 10 pagi di Pegangsaan
Timur (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta. Pada saat itu pula kabinet
pertama Republik Indonesia dibentuk hanya dua hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan. Ahmad Soebardjo menjadi Menteri Luar Negeri pertama
Republik Indonesia. Tanggal 19 Agustus menjadi hari berdirinya Kementeri
an Luar Negeri Republik Indonesia . Pada bulan September lapangan Gambir
(kini Lapangan Monas) menjadi ajang ribuan rakyat Indonesia
mendengarkan pidato Presiden Soekarno menyambut Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia .

Setelah kekalahan Jepang dari sekutu dan sesuai dengan perjanjian


Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk
mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik
koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah
pendudukannya. Sehingga menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian
wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Berdasarkan Civil
Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda
mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil
Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil
Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi
NICA (Netherland Indies Civil Administration pemerintahan sipil Hindia
Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, mempersiapkan
perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942
(statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan
bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah
bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa
dikemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang diantara
379

anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah


pimpinan Ratu Belanda.

Pada tahun 1946, Indonesia mengirimkan misi diplomatik pertamanya


ke Belanda untuk berunding dengan pihak Sekutu dan Belanda. Namun
pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah
satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi parlementer. Pada tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai
kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang
sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak
diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia
(dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan
perundingan antara pihak Republik Indonesia dan Belanda. Dalam
pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang
moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama
pemerintahan Jepang.

Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil
Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa
pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Karena Sjahrir tidak
dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama
teman-temannya kembali pulang.

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk


membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik
di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn,
dicapailah suatu persetujuan Linggarjati di daerah dekat Cirebon tanggal 15
November 1946 yang berisi Belanda mengakui secara de facto Republik
Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan
Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1
Januari 1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam
membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik
Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Pada tahun yang sama ditengah ketidakstabilan politik Indonesia,


diadakan diplomasi bantuan beras Indonesia untuk rakyat India yang
sedang dilanda bencana kelaparan. Pemerintah India membalas dengan
mengirimkan obat-obatan, pakaian, dan mesin yang dibutuhkan Indonesia.
Tahun 1947 “Indonesia Office” atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di
Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi
Pemerintah Republik Indonesia, sekaligus menembus blokade ekonomi
Belanda terhadap Indonesia. Kemudian radio “Voice of Free Indonesia”
disiarkan untuk pertama kalinya dari Yogyakarta. Pada bulan maret di
tahun yang sama Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian
Linggarjati. Pada saat itu di tempat yang berbeda pemerintah Mesir yang
diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap
kemerdekaan Indonesia.

Menjelang Agresi militer Belanda tahun 1947 pihak Belanda


menyerang Republik secara langsung dengan menguasai seluruh wilayah
republik dalam waktu enam bulan. Aksi Belanda ini sudah sangat
380

diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-


pasukannya di tempat yang strategis. Melihat aksi Belanda yang tidak
mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa,
maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat
menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara
pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda.

Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, Pengganti


Sjahrir Adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri
Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet
anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Kemudian
kedatangan Komisi Tiga Negara (Committee of Good Offices) ke Indonesia
pada bulan Oktober 1947, mengemban mandat Dewan Keamanan PBB
untuk mengatasi sengketa Indonesia-Belanda. Para anggota Komisi adalah
Hakim Richard C. Kirby (Australia), mantan Perdana Menteri Paul van
Zeeland (Belgia), dan Rektor University of North Carolina Dr. Frank B.
Graham (AS).

Tahun 1948 Mufti Agung Haji Amin El Husni berkunjung ke Indonesia


untuk menyampaikan dukungan dan simpati rakyat Palestina atas
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19 Januari tahun tersebut
ditandatangani perjanjian gencatan senjata Indonesia-Belanda ditanda
tangani di atas kapal USS Renville. Mewakili pihak Indonesia adalah Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin. Perjanjian Renville merupakan hasil kerja Komisi
Tiga Negara (KTN). Perjanjian tersebut menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir.

Tanggal 2 September 1948, Pemerintah Indonesia mengambil haluan


bebas aktif untuk politik luar negerinya. Dalam sidang Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Pemerintah Indonesia menyampaikan
sikap politik luar negeri Indonesia seperti berikut. Sikap pemerintah tersebut
dipertegas lagi oleh kebijakan politik luar negeri Indonesia yang antara lain
dikemukakan oleh Drs. Moh. Hatta. Ia mengatakan, bahwa tujuan politik
luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut: (a) Mempertahankan
kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara; (b) Memperoleh
barang-barang dari luar untuk memper-besar kemakmuran rakyat, apabila
barang-barang itu tidak atau belum dapat dihasilkan sendiri; (c)
Meningkatkan perdamaian internasional, karena hanya dalam keadaan
damai Indonesia dapat membangun dan syarat-syarat yang diperlukan
untuk memperbesar kemakmuran rakyat; (d) Meningkatkan persaudaraan
segala bangsa sebagai cita-cita yang tersimpul dalam Pancasila, dasar dan
falsafah negara Indonesia. Politik yang bebas aktif. Untuk menembus
blokade ekonomi Belanda, tahun 1948 Menteri Kemakmuran Republik
Indonesia Dr. A.K. Gani berangkat dalam sebuah misi diplomatik ke Kuba
untuk mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara-negara
Amerika Latin. Pada tahun yang sama, Indonesia menandatangani kontrak
dagang dengan pengusaha AS dan membina hubungan dengan Bank Dunia.

Pada akhir tahun 1948 Belanda menggelar Agresi militer untuk kedua
kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan
Menteri Luar Negeri Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta
dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatra. Akibatnya sidang
Kabinet Darurat Republik Indonesia kemudian menunjuk Menteri
Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRepublik Indonesia ). A.A. Maramis yang saat
381

itu sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PD Republik
Indonesia . Kemudian Belanda melakukan agresi militer lanjutan.

Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 Terhadap


Kota Yogyakarta Secara secara besar-besaran yang direncanakan dan
dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikut-sertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan
kepada dunia internasional bahwa TNI-berarti juga Republik Indonesia
masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat
posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan
Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan
Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara
Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan
perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah
Yogyakarta.

Hal tersebut menyebabkan pihak internasional melakukan tekanan


kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam
akan menghenti-kan bantuannya kepada Belanda. Dewan Keamanan PBB
juga mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera meng-
hentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk segera
melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II.
Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan
dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di
New Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru.
Semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia
hingga Australia dan Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II
Belanda. Pemerintah Birma (kini Myanmar) memberikan dukungan bagi
perjuangan Indonesia melawan Belanda dengan mengizinkan pesawat
“Indonesian Airways” Dakota Republik Indonesia-001 Seulawah untuk
beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh
kepada Presiden Soekarno.

Selain itu, Birma juga memberikan bantuan peralatan radio yang


memungkinkan Indonesia membangun jaringan komunikasi radio antara
pusat pemerintahan Republik Indonesia di Jawa-PD Republik Indonesia di
Sumatera-Perwakilan Republik Indonesia di Rangoon-Perutusan Republik
Indonesia untuk PBB di New York. Akhirnya dengan terpaksa Belanda
bersedia untuk kembali berunding dengan Republik Indonesia. Pada tanggal
7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda Menyepakati Perjanjian Roem
Royen. Dua bulan kemudian konferensi Inter Indonesia diselenggarakan
diantara “negara-negara federal” di Hindia Belanda, seperti : Jawa Tengah,
Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi
tersebut, negara-negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat
kedaulatan mereka kepada Republik Indonesia.

Persetujuan Meja Bundar ditandatangani di Den Haag, mengakhiri


konflik diantara Indonesia dan Belanda. Pada hari yang sama (27 Desember
1949), Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (Republik Indonesia S) di Jakarta,
yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Penjabat Perdana
Menteri Republik Indonesia S selang empat tahun setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini
382

dilakukan ketika soevereiniteit soverdracht (penyerahan kedaulatan)


ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada
kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama
saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945–
1949 adalah ilegal. Presiden Republik Indonesia S Soekarno kemudian
membentuk kabinet pertamanya. Perdana Menteri merangkap Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia S adalah Mohammad Hatta. Amerika Serikat (AS)
menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta
setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia S,
hanya tiga hari setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Merle Cochran
menjadi Duta Besar pertama AS untuk Indonesia. Langkah AS itu kemudian
segera disusul oleh Inggris, Belanda, dan China.

Tahun 1950 dalam kunjungan ke Pakistan, Presiden Soekarno


bertemu dan menyampaikan penghargaan kepada para prajurit Pakistan
yang berjuang dipihak Indonesia dimasa revolusi melawan Belanda.
Indonesia kembali dipulihkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan secara resmi diterima menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Pada tahun yang sama perundingan antara Indonesia dan
Belanda mengenai masalah Irian Barat. Delegasi Republik Indonesia
dipimpin oleh Mohammad Roem. Dalam perundingan tersebut, Belanda
menolak menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Pada tahun 1955 PM
Republik Rakyat China Chou En-Lai dan Menlu Republik Indonesia
Soenario menandatangani Perjanjian Dua Kewarganegaraan di Jakarta. PM
Chou En-Lai berada di Indonesia dalam rangka menghadiri Konferensi Asia-
Afrika. Kemudian Konferensi Asia-Afrika (KAA) diselenggarakan di Bandung,
tanggal 18-24 April. Sebanyak 29 negara dari kedua benua menghadiri
konferensi tersebut, termasuk lima negara penggagas KAA Burma, India,
Indonesia, Pakistan, dan Sri Lanka. KAA merupakan konferensi pertama
yang diadakan oleh negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika setelah
Perang Dunia II. KAA 1955 menandai kebangkitan bangsa-bangsa terjajah,
dengan disepakatinya Dasa Sila Bandung yang menegaskan hubungan
antar bangsa berdasarkan asas kemerdekaan dan keadilan. Acara ini
mendapat sambutan dari berbagai negara, dan masih diperingati hingga saat
ini.

Setahun kemudian ndonesia untuk pertama kalinya mengirimkan


pasukan Kontingen Garuda dalam misi penjaga perdamaian PBB di Gurun
Sinai, Timur Tengah. Presiden Soekarno juga menandatangani Undang-
Undang No. 13 Tahun 1956 mengenai pembatalan sepihak Uni Indonesia –
Belanda, karena sikap tidak bersahabat Belanda dan penolakannya untuk
menyerahkan kembali Irian Barat kepada Indonesia. Pada tahun yang sama,
Presiden Soekarno berkeliling ke negara-negara AS, Tiongkok, Uni Soviet,
dan Yugoslavia untuk mendapatkan dukungan bagi perjuangan merebut
kembali Irian Barat. Pada akhir tahun 50-an Indonesia dan Jepang
menandatangani Perjanjian Perdamaian di Jakarta. Penandatanganan dari
pihak Indonesia adalah Dr. Subandrio. Lalu Laili Roesad dilantik menjadi
Duta Besar Republik Indonesia untuk Belgia dan Luksemburg. Beliau
adalah duta besar perempuan pertama Indonesia.

Pada awal tahun 60-an, tanggal 17 Agustus, Indonesia menyatakan


memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda dan melakukan
persiapan militer untuk membebaskan Irian Barat. Untuk menindaklanjuti
hal tersebut, berbagai misi untuk mendapatkan bantuan persenjataan
dikirimkan antara lain ke Tiongkok, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Pada bulan
383

September 1960 Presiden Soekarno di hadapan Sidang Majelis Umum PBB


ke-15 menyampaikan pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Baru”
(To Build the World Anew). Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno
menyerukan “Kekuatan Dunia Baru” (New Emerging Forces, NEFOS) untuk
bangkit menuju tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang, melampaui
dominasi negara-negara besar di dunia yang secara ideologis terbagi ke
dalam Blok Barat dan Blok Timur.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia bertemu dengan para


kepala pemerintahan Ghana, India, Mesir, dan Yugoslavia guna
mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non
Blok I di Beograd, Yugoslavia pada tahun 1961. KTT Gerakan Non-Blok I
diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. Presiden Soekarno dan Perdana
Menteri Nehru dari India diutus oleh forum untuk menyampaikan hasil-hasil
KTT GNB I, masing-masing ke Washington dan ke Moskow. KTT GNB 1961
dan Konferensi Asia-Afrika 1955 mengukuhkan peranan historis Republik
Indonesia dalam membangun suatu tatanan dunia baru untuk negara-
negara berkembang berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan.

Diakhir tahun Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat


(Trikora) yang menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk membebaskan
Irian Barat dari penjajahan Belanda. Komando Mandala dibentuk di
Makassar untuk mengatur perjuangan bersenjata membebaskan Irian
Barat. Pada awal tahun perjanjian New York ditandatangani oleh pihak
Indonesia dan Belanda. Menurut isi perjanjian, Belanda menyerahkan Irian
Barat kepada Pemerintahan Sementara PBB (UN Temporary Executive
Administration, UNTEA). Setahun kemudian UNTEA menyerahkan Irian
Barat kepada Indonesia. Untuk memperingati perjuangan pembebasan Irian
Barat, sebuah Tugu Peringatan didirikan di Lapangan Banteng pada tanggal
18 Agustus. Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia,
menyusul pembentukan Federasi Malaysia yang mencakup daerah-daerah
bekas jajahan Inggris di Kalimantan Utara.

Presiden Soekarno menyerukan “konfrontasi fisik” dengan Malaysia,


yang menyebabkan banyak terjadinya insiden bersenjata antara tenaga
sukarelawan Indonesia dengan tentara Malaysia yang dibantu Inggris,
Australia, dan Selandia Baru disepanjang daerah perbatasan di Utara
Kalimantan. Presiden Soekarno memang memiliki pandangan politik yang
cenderung mengglobal dan kurang memperhatikan negara sekelilingnya, hal
tersebut menjadi pemicu kurangnya kerja sama antar kawasan pada masa
kepemimpinannya.

d. Diplomasi Indonesia masa orde baru periode 1966-1998.

Diakhir kepemimpinan presiden Soekarno, masyarakat digegerkan


oleh kasus pembunuhan para panglima TNI yang diduga dilakukan oleh PKI.
Pemberontakan kaum komunis berhasil digagalkan. Rezim Orde Baru
kemudian lahir dan mengembalikan prinsip dasar kebijakan luar negeri
Indonesia ke bebas dan aktif. Pemerintahan yang baru mulai melakukan
pemulihan kembali hubungan dengan negara-negara sahabat di kawasan
dan di dunia internasional pada tahun 1965. Perumusan dan pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru (1966-
1998) memiliki dinamika yang beragam. Khususnya jika dilihat berdasarkan
faktor domestik. Perubahan lingkungan domestik secara langsung dan tidak
384

langsung mempengaruhi politik luar negeri Indonesia. Orde Baru dimulai


dari tanggal 12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998. Era Orde Baru
adalah era dimana Indonesia dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia
yang ke-2 Soeharto dengan masa kepemimpinan yang mencapai 32 tahun
dan termasuk masa kepemimpinan yang paling panjang dibandingkan
dengan masa kepemimpinan Presiden Soekarno maupun pengganti-
pengganti-nya. Masa kepemimpinan yang panjang membuat dinamika
perpolitikan dan ekonomi di Indonesia mempunyai suatu pola tertentu, tidak
hanya di dalam politik dalam negeri namun juga merambah ke politik luar
negeri Indonesia (Polugri).

Pengaruh Soeharto dalam politik luar negeri pasa masa Orde Baru
sangat besar sekali terutama apabila kita lihat pada masa Orde Baru
ditandai dengan terjadinya pergeseran pusat perhatian utama pemerintah
yang terfokus dari masalah pembangunan bangsa kemasalah pembangunan
ekonomi yang serius. Namun pemerintah juga menyadari pentingnya
keberadaan stabilitas politik sebagai suatu kondisi penting bagi
terlaksananya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, muncul perhatian
yang serius untuk menata kembali sistem politik Indonesia yang diharapkan
akan dapat menciptakan kondisi tersebut untuk menunjang perekonomian
Indonesia.

Perubahan yang terjadi pada era Orde Baru tidak dapat dilepaskan
dari pemikiran awal yang disampaikan Soeharto dalam pidatonya di depan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1966, yang intinya
ada dua hal utama yaitu stabilitas politik keamanan dan pembangunan
ekonomi. Menurut beliau, pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan
secara baik tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun
ditingkat regional. Salah satu langkah Soeharto dalam mewujudkan hal
tersebut adalah dengan membangun hubungan yang baik dengan pihak-
pihak Barat dan “good neighborhood policy” yang dapat dicapai salah satunya
melalui ASEAN. Satu tahun kemudian Indonesia bersama dengan Filipina,
Malaysia, Singapura, dan Thailand menandatangani Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus yang berisi kesepakatan untuk membentuk ASEAN
(Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara).

Soeharto menyadari bahwa mengangkat Indonesia dari krisis ekonomi


harus menjadi prioritas utama dalam pemerintahannya, salah satu cara
untuk mengangkat Indonesia dari krisis ekonomi adalah dengan menjaga
stabilitas dan kedamaian lingkungan internasional dan regional. Upaya
Presiden soeharto Dalam mengembalikan stabilitas ekonomi yang dapat
dibilang hancur pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru ialah dengan
melakukan peninjauan ulang atas utang-utang Indonesia. Wakil Indonesia
juga menghadiri pertemuan di Tokyo, Jepang yang dikenal dengan Tokyo
Club demi mendapat bantuan keuangan ekonomi untuk Indonesia.
Indonesia juga menghadiri beberapa pertemuan lanjutan dari Tokyo Club
yang pada akhirnya menetapkan pembentukan IGGI di Den Hagg, Belanda.
Dalam pertemuan di Den Hagg, Indonesia berhasil mendapatkan bantuan
pinjaman dana dari negara-negara anggota IGGI untuk mengendalikan dan
mengupayakan pengembalian stabilitas perekonomian Indonesia.

Pada masa kepemimpinan Orde Baru, Indonesia lebih condong kearah


Barat, berbeda dengan masa Orde Lama yang lebih condong ke Timur.
Perubahan kebijakan yang dilakukan Soeharto mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak di dalam negeri. Pada saat itu juga Polugri diusahakan
385

seimbang dengan ditunjukkan adanya upaya perdamaian dunia,


penghargaan atas batas-batas kedaulatan, kemerdekaan atas hak rakyat.
Perubahan arah politik luar negeri ditunjukkan dengan upaya riil, yaitu :
Indonesia kembali bergabung dengan PBB dengan Duta Besar L.N. Palar
menjadi Wakil tetap Republik Indonesia untuk PBB, Indonesia segera
menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, Indonesia memberikan
perhatian khusus pada regionalism, Indonesia memperbaiki hubungan
diplomatiknya dengan AS, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya dan
membina hubungan bilateral dengan Jepang.

Tahun 1969 Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, “Act of


Free Choice”) di Irian Barat, di bawah pengawasan PBB. Utusan Khusus
Sekretaris Jenderal PBB Duta Besar Ortis Sanz mendukung hasil Pepera
yang sepenuhnya mendukung bergabungnya kembali Irian Barat ke
Indonesia. Menyusul hasil pendapat rakyat Irian Barat yang sepenuhnya
mendukung penggabungan kembali dengan Indonesia, Dewan Perwakilan
(DPR) Republik Indonesia mengesahkan undang-undang Propinsi Irian
Barat. Dalam rangka mengupayakan perdamaian dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam di dunia, Indonesia turut mendirikan Organisasi
Konferensi Islam (OKI/OIC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Rabat,
Maroko.

Pada tahun 1971 Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Adam Malik
memimpin sebagai Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26. Hal tersebut
merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Tahun 1976
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN berlangsung untuk pertama kalinya di
Bali. Pada Konferensi tersebut ditandatangani “Declaration on ASEAN
Concord” dan “ASEAN Treaty of Amity and Cooperation”. Kantor Sekretariat
ASEAN didirikan di Jakarta, dengan H.R. Dharsono dari Indonesia sebagai
Sekretaris Jenderal pertama. Satu tahun kemudian Letnan Jenderal TNI
Rais Abin diangkat menjadi Panglima United Nations Emergency Forces
(UNEF) II. Ini adalah pertama kalinya seorang perwira militer Republik
Indonesia memegang jabatan puncak dalam misi penjaga perdamaian PBB.
Duta Besar Titi Memet Tanuwidjaja menjadi perempuan Asia pertama yang
menduduki salah satu jabatan puncak-Direktur kawasan untuk Asia Timur
dan Pakistan di organisasi pendidikan dan kebudayaan dunia UNICEF.

Pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan Komisi Tinggi


untuk Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) membuka areal seluas 170 hektar di
Pulau Galang, Propinsi Riau, untuk tempat penampungan sementara dan
pemrosesan para pengungsi “manusia perahu” asal Vietnam tahun 1979.
Penampungan ini masih beroprasi hingga saat ini. Diawal tahun 80-an
cendekiawan Indonesia Dr. Soedjatmoko diangkat menjadi Rektor
Universitas PBB di Tokyo, Jepang. Kemudian tahun 1984 Presiden Soeharto
menerima kunjungan Pemimpin Organisasi Pembebasan palestina (PLO)
Yasser Arafat di Istana Merdeka. Dalam kesempatan tersebut, Presiden
Republik Indonesia menegaskan dukungan Indonesia terhadap perjuangan
kemerdekaan rakyat Palestina. Dua tahun kemudian duta Besar Artati
Sudirdjo, Ketua Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional IAEA,
memimpin Sidang Khusus Dewan mengenai kecelakaan nuklir di Chernobyl,
Rusia.

Indonesia mulai membuka serangkaian hubungan diplomatik dengan


negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah, seperti Armenia,
Turkmenistan, dan Azerbaijan. Georgia dan Kazakhstan menyusul
386

kemudian. Tahun 1993 Indonesia memfasilitasi pertemuan informal antara


Front Pembebasan Nasional Moro dan Pemerintah Filipina di Cipanas,
Propinsi Jawa Barat, untuk membantu penyelesaian konflik berdarah di
Filipina Selatan. Penghargaan Ibnu Sina (Avicenna Award) dianugerahkan
organisasi ekonomi, sosial, dan budaya PBB UNESCO kepada Indonesia atas
hasil-hasil yang telah dicapai dibidang pendidikan nasional di tahun yang
sama.

Kemudian Indonesia kembali mendapat penghargaan internasional


atas keberhasilan program KB-nya, dari Dana PBB untuk kegiatan
kependudukan (UNFPA) tahun 1994. Menlu Republik Indonesia Ali Alatas
di hadapan Sidang Majelis Umum PBB ke-49 di New York menegaskan
kembali dukungan Indonesia terhadap reformasi PBB dan Dewan Keamanan
PBB. Pada masa ini Indonesia membuat hubungan diplomatik dengan
berbagai negara.Presiden Soeharto yang memiliki pandangan politik
cenderung ke kawasan berhasil memberikan banyak prestasi untuk
Indonesia, termasuk membuat nilai rupiah menguat.

Upaya pemerintahan Soeharto dalam memperbaiki hubungan yang


baik dengan pihak Barat mendapatkan respon positif dari negara-negara
Barat. Pada saat yang bersamaan, Indonesia bergabung kembali dengan the
International Monetary Fund (IMF) pada Februari 1967. Setelah Pemilu 1982,
Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto lebih memainkan peran aktif
dalam masalah-masalah internasional, seperti peran aktif Indonesia dalam
peringatan 30 tahun Konferensi Asia Afrika, Indonesia menjadi Ketua
Gerakan Non Blok, Indonesia menjadi penengah Singapura dan Malaysia
atas sengketa pulau, serta memprakarsai pertemuan-pertemuan tingkat
ASEAN. Perubahan besar juga terjadi dalam politik luar negeri dimasa
Soeharto di tahun 1990-an dengan dibukanya kembali hubungan diplomasi
Indonesia dengan RRC yang telah beku selama dua dekade sebagai akibat
peristiwa G-30S/PKI. Namun di tahun 1998, politik luar negeri Indonesia
menjadi lebih sensitive yang didahului dengan keruntuhan masa
kepemimpinan Soeharto akibat pertikaian pemerintahan Soeharto dengan
IGGI.

Era kepemimpinan Soeharto Indonesia masih menempatkan posisi


politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia ikut dalam sejumlah
organisasi, dalam taraf regional seperti ASEAN, APEC dan terlibat dalam
Gerakan Non-Blok. Deklarasi Juanda akhirnya berhasil memposisikan
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan UNCLOS dan ZEE. Sedikit
berbeda dengan Soekarno yang anti-barat, Soeharto mendekatkan diri
dengan barat, sejumlah kebijakan dan perumusan politik dan ekonomi barat
diterapkan di Indonesia akan tetapi dikendalikan secara sistem komando.

Soeharto sendiri secara bertahap juga menempatkan dirinya dalam


perumusan politik luar negeri walaupun pada saat itu sudah ada Mochtar
Kusumaatmadja sebagai Menteri luar negeri. Soeharto yang juga terlibat
dalam perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan luar negeri
nampaknya sangat bergantung pada rekomendasi yang dibuat oleh para
penasihatnya yang tak lain adalah orang-orang yang berlatar belakang dan
berasal dari kelompok militer. Soeharto juga melebarkan peran Angkatan
Darat melalui kebijakan dwifungsi ABRI yang merupakan sebuah konsep
dasar TNI dalam menjalankan peran sosial politik. Peran Kemenlu dan DPR
terutama Komnas luar negeri pada saat itu menjadi sangat terbatas.
Peranannya hanya terbatas pada untuk memberikan umpan balik dan
387

dukungan terhadap kebijakan pemerintah melalui lembaga dengar


pendapat.

Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia


dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari
jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya
dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.

Pada era Soeharto, pada umumnya lebih banyak digunakan untuk


pertumbuhan ekonomi. Dimasa orde baru, diplomasi dilakukan untuk
memperbaiki hubungan dengan negara-negara barat guna memperbaiki
perekonomian negara. Tetapi politik luar negeri Indonesia diera orde baru
juga mengutamakan stabilitas keamanan internasional. Indonesia
tergabung dalam ASEAN, PBB, dan GNB, dimana Indonesia menjalin
kerjasama dengan negara-negara lain untuk turut serta menjaga
perdamaian internasional. Sejarah memang pernah mencatat pada setiap era
kepemimpinan presiden, selalu tercetak jejak rekam diplomasi Indonesia,
bila Soekarno mendorong kebanggaan nasional melalui pola diplomasi dalam
dan luar negeri berbasis politik, Soeharto mendorong Indonesia dikenal
secara regional dan internasional melalui diplomasi bertahap dimulai dari
regional terdekat berbasis stabilitas keamanan dan mengedepankan
pertumbuhan ekonomi.

Dalam kenyataannya, penerapan-penerapan yang dilakukan


menyimpang dari konsep awal. Soeharto berhasil memimpin selama 32
tahun dan orang-orang militer membanjiri panggung politik. Banyak pejabat
negara dan anggota administasi sipil yang memiliki latar belakang militer.
Itu berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, yang otomatis
mendukung Presiden. Fokus utama presiden Soeharto terhadap keamanan
negara serta pertumbuhan ekonomi dimana telah menjadikan ia lengah
sehingga orang-orang kepercayaannya yang sebagian besar berasal dari
kalangan militer berpeluang melakukan korupsi secara besar-besaran
hingga berujung pada krisis ekonomi serta lengsernya Soeharto pada tahun
1999. Namun apabila dilihat dari sisi eksternal, posisi Indonesia secara
internasional semakin kuat meski demokrasi semakin melemah.
Keberhasilan ekonomi yang dicapai pemerintah bisa menutupi buruknya
tingkat demokrasi di Indonesia.

e. Sejarah diplomasi era reformasi.

Kondisi politik luar negeri sangat dipengaruhi oleh kondisi politik


domestik. Hal tersebut demikian karena kondisi dari politik dalam negeri
mampu menggeser arah dan orientasi dari politik luar negeri. Contoh yang
paling terlihat adalah pada masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi yang
merupakan akibat dari lengsernya pemerintahan Soeharto. Dengan adanya
transisi tersebut dapat dilihat terjadinya instabilitas politik dalam negeri.
Lengsernya Soeharto salah satunya disebabkan oleh krisis perekonomian
yang berkepanjangan. Setelah berakhirnya era pemerintahan Soeharto yang
388

juga dikenal dengan era orde baru. Sederet nama-nama presiden hadir
dalam mengisi kursi kepresidenan, diantaranya adalah B J Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang
Yudhoyono, era setelah Orde Baru dikenal juga dengan era Reformasi.

Setiap presiden yang berbeda memiliki karakteristik mengenai politik


luar negeri yang berbeda pula. Diawali pada pemerintahan B J Habibie.
Perhatian Habibie difokuskan untuk menangani permasalahan domestik.
Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada hari tanpa demontrasi.
Demontrasi itu mendesak Habibie merepon tuntutan reformasi dalam
berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan
pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan
berserikat dan mendirikan partai politik, pembebasan berusaha, dan
berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon tuntutan
reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan
Orde Baru. Pemerintahannya yang berusia 518 hari hanya dianggap sebagai
pemerintahan transisi. Dengan demikian arah politik luar negeri Indonesia
sebagian besar menjadi ranah menteri luar negerinya. Adapun hubungan
luar negeri Indonesia dengan Australia dinilai tidak memuaskan, bahkan
cenderung mengalami kemunduran (Mashad, 2008).

Kebijakan politik luar negeri pada masa Habibie mendapatkan ujian


dengan adanya isu Timor-Timur. Habibie melontarkan pernyataan pertama
yang terkait dengan isu Timur-Timur pada bulan Juni 1998. Instabilitas
politik mendorong permasalahan Timor-Timur menjadi semakin panas.
Habibie memfokuskan kebijakannya kepada pemulihan ekonomi karena
adanya krisis finansial. Hal ini membuat permasalahan lain terlihat
terabaikan. Indonesia juga mendapatkan tekanan internasional untuk
menyelesaikan masalahnya diduga adanya pelanggaran HAM yang terjadi di
Timor-Timur. Instabilitas politik domestik dan juga tumpulnya BIN
menghasilkan sebuah kekalahan telak dalam diplomasi demi mempertahan
kan Timor-Timur. Pemerintahan Habibie mempunyai dua opsi dalam rangka
untuk menyelesaikan masalah di Timor-Timur yaitu otonomi khusus atau
referendum, tetapi pada akhirnya opsi pertama gagal (Mashad, 2008:182).

Timbulnya kontrovesi dari apa yang telah dilakukan oleh Habibie yaitu
tidak berhaknya presiden transisional untuk memutuskan hal tersebut yang
akhirnya berimplikasi terhadap hubungannya dengan TNI yang semakin
memburuk. Habibie semakin dipojokkan dengan hadirnya pasukan penjaga
perdamaian yang dipimpin oleh Australia yang memasuki wilayah Timor-
Timur. Habibie menghadapi krisis legitimasi. Akhirnya Habibie memiliki
solusinya yaitu dengan membentuk Undang-Undang yang berkaitan dengan
HAM dan SARA yaitu Undang-Undang No.29/1999. Usaha Habibie menarik
simpati dari IMF dan juga World Bank dengan pencairan bantuan keuangan
kepada Indonesia (Mashad, 2008:186).

Langkah PLN yang diambil oleh Habibie selanjutnya adalah dengan


mendekatkan diri kepada Barat dengan cara mencari dukungan kepada
negara-negara Eropa untuk menarik simpati atas keputusan referendum di
Timor Timur. Dengan langkah ini Habibie ada di dalam posisi yang serba
salah. Disatu sisi Timor Timur dianggap sebagai beban Republik Indonesia
selama 24 tahun dan di sisi lain Habibie seolah-olah menyepelekan
perjuangan yang telah dilakukan oleh TNI dalam mempertahankan Timor-
Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
389

Pemerintahan Habibie berakhir dengan adanya penolakan laporan


pertanggung jawabannya dihadapan majelis.

Permasalahan lepasnya Timor-Timur tidak lepas dari faktor sejarah.


Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir pada tahun 1945 yang tersusun
dari kerajaan-kerajaan yang terlebih dahulu ada sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia lahir dan kerajaan/kesultanan tersebut melebur
menjadi satu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak lepas dari masa
kolonialisme Belanda dimana daerah yang nantinya memnjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah daerah bekas jajahan Hindia
Belanda pada tahun-tahun menjelang lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan Timor Timur bukanlah daerah jajahan Belanda,
melainkan Portugis. Sehingga dapat dikatakan jika Indonesialah yang
“mencaplok” Timor Timur.

Namun yang menyebabkan Indonesia “mencaplok” Timor Timur tidak


lepas dari intervensi Amerika Serikat terhadap Indonesia. Sebab, pada saat
itu sedang berlangsung perang dingin dimana dua negara besar yaitu
Amerika dan Uni Soviet saling berlomba menyebarkan ideologi masing-
masing kepada dunia. Amerika mengkhawatirkan jika Timor Timur tidak
bergabung dengan Indonesia, maka Timor Timur akan terpengaruh ideologi
komunis Uni Soviet sehingga Amerika Serikat harus mengintervensi
kebijakan Indonesia pada waktu itu. Untuk itulah Presiden Habibie
memberikan pilihan kepada rakyat Timor Timur untuk memilih merdeka
atau tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
walaupun Habibie harus melanggar konstitusi. Pada akhirnya Timor Timur
lebih memilih merdeka daripada bergabung dengan Indonesia pada sebuah
pemilihan dengan segala ketertutupannya bersama PBB sebagai mediator
antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Timor Timur (Eka
Media Center, 2012).

Habibie selanjutnya digantikan oleh Abdurrahman Wahid. Politik luar


negeri pada masa Wahid dianggap mirip dengan politik luar negeri yang
dijalankan oleh Soekarno. Hal tersebut demikian karena Wahid lebih
menekankan politik luar negerinya pada peningkatan citra Indonesia dimata
internasional. Hubungan Republik Indonesia dengan Barat memburuk
setelah lepasnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ,
terutama hubungan Republik Indonesia dengan Australia. Dalam rangka
untuk mengembalikan citra Indonesia, Wahid berusaha untuk merestorasi
citra tersebut dengan cara melakukan kunjungan ke luar negeri selama satu
tahun pada awal pemerintahannya.

Dalam kunjungannya ke luar negeri, Wahid mengangkat isu-isu


domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara. Isu-isu yang
diangkat antara lain seperti Timor-Timur, kasus Aceh dan, isu perbaikan
ekonomi. Hal yang mencolok dalam politik luar negeri diera Wahid adalah
semakin seringnya intensitas diplomasi secara bilateral yang dilakukan
dibanding menerapkan diplomasi multilateral. Tetapi banyak yang
menganggap bahwa kunjungan yang dilakukan oleh Wahid tidak memiliki
tujuan yang jelas. Wahid juga berusaha untuk merestorasi hubungan
Indonesia-Israel yang akhirnya mendapatkan reaksi yang keras di dalam
negeri. Dengan ini dianggap bahwa politik luar negeri pada masa
Abdurrahman Wahid tidak fokus sehingga menjadikan usaha yang
dilakukannya dianggap sia-sia (Bandoro, 1999).
390

Beralih pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Setelah melalui


kontroversi konstitusional berkepanjangan, Sidang Istimewa MPR (SI MPR)
akhirnya mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid dan
menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Hamzah Haz
sebagai Wakil Presiden. Pada masa Megawati Soekarno Putri, semakin
disibukkan dengan permasalaahan domestik, khususnya permasalahan
integrasi bangsa. Permasalahan domestik tersebut dapat dilihat seperti
adanya gerakan separatisme GAM di Aceh dengan solusi operasi militer dan
juga adanya OPM.

Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi, dalam


membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam
negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah
konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan
atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan
pengungsi dalam kondisi amat memprihatinkan. Selain itu, Indonesia juga
diuji dengan terjadinya aksi terorisme yaitu Bom Bali 1 dan 2; dan juga Bom
J.W. Marriot. Dengan adanya aksi teror tersebut, masa pemerintahan
Megawati sibuk dengan menanggulangi aksi teror dan menjadi perhatian
utama. Indonesia semakin lemah posisinya dengan lepasnya dua pulau
Sipadan dan Ligitan dari Republik Indonesia dengan kekalahan telak pada
Mahkamah Internasional (Mashad, 2008:183).

Kursi kepresidenan setelah Megawati digantikan oleh Presiden


Yudhoyono. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dinilai memiliki
kondisi politik domestik yang stabil karena terpilihnya beliau sebagai
presiden yang dipilih secara demokratis oleh rakyatnya. Langkah awal yang
baik pada awal masa pemerintahan Yudhoyono adalah ketika berakhirnya
pemberontakan GAM. Hal ini akhirnya memunculkan rasa percaya diri
Republik Indonesia dan muncullah keinginan untuk aktif dalam dunia
internasional. Keaktifan Indonesia dapat dilihat dari menjadi tuan rumah
Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007. Pemerintahan
Yudhoyono juga dianggap mampu membawa Indonesia ke tahap pemulihan
di bidang ekonomi akibat krisis ekonomi 1998. Pada tahun 2005, Yudhoyono
memperkenalkan konsep “Politik Luar Negeri Konstruktivis” yang terdiri dari
tiga poin yaitu (1) Pola pikir positif dalam mengelola kerumitan
permasalahan Internasional; (2) Konektivitas yang sehat dalam urusan-
urusan internasional; (3) Identitas Internasional yang solid bagi Indonesia
yang didasarkan pada pencapaian-pencapaian domestik dan diplomatiknya
(Prihatyono, 2009:95).

Selain itu terkenal pula slogan PLNRepublik Indonesia adalah dengan


“Thousands Friends, Zero Enemy”. Slogan tersebut diaplikasikan dalam
beberapa hal yang kemudian menjadi ciri khas dari politik luar negeri yang
dijalankan pada pemerintahan SBY. Hal-hal yang menjadi ciri khas tersebut
diantaranya adalah terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan
negara-negara lain seperti Jepang, China, India, dan lain-lain, terdapat
kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan dometik
dan perubahan-perubahan di luar negeri, memiliki sifat pragmatis kreatif
dan oportunis, artinya adalah Indonesia mencoba menjalin hubungan
dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak
Indonesia, dan yang terakhir adalah memiliki rasa kepercayaan, yaitu
membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity,
harmony, security, leadership, prosperity (Mashad, 2008).
391

Kepemimpinan yang terakhir yaitu Presiden Joko Widodo dimana telah


menginstruksikan Kementerian Luar Negeri untuk memprioritaskan sektor
ekonomi dalam agenda diplomasi ke depan. Jokowi berharap diplomasi
ekonomi dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kerja sama ekonomi
ditingkat bilateral, regional, dan internasional. ada dua alasan yang
mendasari keputusan untuk mendorong diplomasi ekonomi sebagai
prioritas. Pertama, kondisi ketidakpastian ekonomi global yang ditekankan
oleh perang dagang AS-China yang sedang berlangsung. Kedua, agenda
kebijakan dalam negeri Jokowi sejak awal telah difokuskan pada reformasi
birokrasi. penjangkauan diplomasi ekonomi Indonesia memang berhasil,
terutama dalam hal membuka pasar baru dan menarik investasi asing ke
dalam negeri. Selama kepemimpinan Jokowi, ada upaya untuk mengurangi
kesenjangan kinerja retorika yang dicatat melalui kebijakan ekonominya,
yang berfokus pada program deregulasi. Program ini terbukti dalam
penerbitan sejumlah paket ekonomi untuk memastikan kebijakan ekonomi
dan perdagangan Indonesia lebih sejalan dengan agenda liberalisasi yang
lebih luas.

Lengsernya pemerintahan Soeharto yang pada masanya dikenal juga


dengan istilah orde baru melahirkan era yang dijuluki dengan era reformasi.
Hal tersebut karena banyaknya para reformis pada masa Soeharto
melakukan demonstrasi guna meminta Presiden Soeharto agar mundur dari
jabatannya dan menuntut sebuah reformasi. Terdapat lima presiden yang
dapat digolongkan dalam era ini. Diantaranya adalah B J Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jokowi. Setiap presiden tersebut memiliki ciri khas masing-masing
dalam hal politik Luar Negerinya. Habibie lebih berfokus pada masalah
domestik. Pada masa itu juga hubungan Indonesia dengan Australia dapat
dikatakan memburuk. Hal tersebut disebabkan oleh adanya permasalahan
Timor Timur.

Salah satu faktor yang menyebabkan lepasnya Timor Timur dari


Indonesia adalah faktor sejarah. Habibie membiarkan Timor Timur
menentukan nasibnya sendiri hingga timbulah sekesi. Sementara
pemerintahan pada masa Wahid, Indonesia dalam berdiplomasi lebih
cenderung melakukan diplomasi bilateral dibanding diplomasi multilateral.
Hal tersebut ditandai dengan banyaknya kunjungannya ke luar negeri untuk
memperbaiki citra Indonesia yang sempat melemah di mata dunia.
Selanjutnya pada era Presiden Megawati pemerintahan-nya lebih condong
mengurusi permasalahan domestik mengingat pada masa itu banyak terjadi
pergejolakan untuk memisahkan diri dari Indonesia serta adanya bom Bali I
dan II.

Sebagai implikasi dari itu, maka anggaran yang harusnya


dipergunakan untuk luar negeri lebih dihabiskan untuk menangani
persoalan domestik. Pada masa pemerintahan SBY, politik luar negeri
Indonesia yang dijalankan berkonsep Politik Luar Negeri Konstruktivis. Di
dalam kebijakan-kebijakannya, Indonesia lebih berperan aktif dalam skala
internasional, citra Indonesia pun di mata Internasional membaik.
Pemerintahan yang terakhir adalah Jokowi dimana politik luar negri yang
dijalankan memproritaskan sektor ekonomi sebagai agenda diplomasi.
392

38. Diplomasi Pertahanan.

a. Umum.

Setiap negara memiliki alam pergaulan internasional, kepentingan


nasionalnya masing-masing. Tidak jarang ditemukan, kepentingan nasional
suatu negara beririsan dan bahkan berbenturan dengan kepentingan negara
lain. Hal tersebut rentan mengantarkan negara tersebut dalam ketegangan
dan terkadang berujung konflik. Negara menggunakan cara diplomasi untuk
mengamankan atau meraih kepentingan nasionalnya.

Diplomasi cenderung diasosiasikan sebagai soft power dan


penggunaan kekuatan militer dianggap sebagai hard power. Dalam The
advance learners dictionary of current English dinyatakan bahwa “diplomacy
is skill in making arrangement cleverness in dealing with people so that they
remain friendly and willing to help”. Sedangkan Sir Ernest Satow,
mengartikannya sebagai “the application of tact and intelligence to the conduct
of foreign relation between government and independent state”. Ini bisa
diartikan bahwa diplomasi merupakan suatu keahlian dalam menentukan
cara memenangkan kepentingan kita tanpa harus menimbulkan
permusuhan. Dikaitkan dengan pertahanan, maka diplomasi pertahanan
bisa bermakna sebagai suatu cara memenangkan kepentingan bangsa
dengan menggunakan militer/ pertahanan sebagai alat atau sumber daya
tanpa harus mengedepankan kekerasan sebagai jalannya. Diplomasi
pertahanan juga bisa dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang
utamanya dilakukan oleh perwakilan departemen pertahanan atau juga
institusi pemerintah yang lainnya dengan tujuan untuk memenangkan
kepentingan nasional di bidang keamanan dan pertahanan langkah yang
ditempuh menggunakan cara negosiasi dan instrument diplomatik lainnya.

Dewasa ini, penggunaan militer dalam urusan diplomasi negara tidak


lagi murni dianggap sebagai penggunaan kekerasan (violence means), yaitu
ketika banyak negara telah mentransformasi peran militernya menjadi salah
satu alat diplomasi untuk pencapaian tujuan dengan tidak melibatkan
unsur kekerasan ataupun ancaman di dalamnya. Banyak negara telah
mencontohkan bagaimana militer telah menjadi salah satu paket diplomasi
yang penggunaannya tidak hanya terbatas pada urusan pertahanan
keamanan saja. Contoh yang bisa diambil dari pengunaan militer dalam
urusan diplomasi tanpa melibatkan unsur kekerasan di dalamnya serta
tidak langsung terkait dengan isu keamanan ditunjukkan oleh Tiongkok saat
negara tersebut berusaha memenangkan tender pembuatan bandara dan
jalan di Tanzania. Tiongkok menggunakan militernya sebagai alat diplomasi
dengan cara memberikan bantuan asistensi militer kepada militer Tanzania
serta memberikan sumbangan pembangunan ribuan rumah bagi prajurit
Tanzania. Cara tersebut berhasil mengambil hati pemerintah Tanzania dan
pada akhirnya tender tersebut dimenangkan oleh Tiongkok.

Keterlibatan TNI dalam diplomasi negara dilakukan dengan beragam


peran. Dalam menjaga perdamaian dunia, TNI telah menjadi salah satu
partisipan tetap pada misi pasukan perdamaian PBB. Di wilayah ASEAN, TNI
juga berperan aktif membangun komunikasi dengan militer negara sahabat
melalui forum-forum pertemuan seperti salah satunya adalah ASEAN
Defense Ministerial Meeting yang merupakan forum yang bertujuan untuk
membangun presepsi yang sama dengan angkatan bersenjata negara-negara
ASEAN dan mitranya mengenai keamanan regional, meningkatkan saling
393

percaya dan mengidentifikasi bidangbidang baru untuk kerja sama.


Indonesia juga bahkan pernah menjadi inisiator pertemuan Jakarta
International Defense Dialog (JIDD), yang merupakan suatu forum
komunikasi internasional yang membahas bidang keamanan dunia. Ini
sesuai dengan salah satu aspek diplomasi pertahahan yaitu membangun
saling percaya (Defense Diplomacy for Confidence Building Measures).

Dari gambaran penjelasan peran TNI tersebut, keterlibatan TNI dalam


diplomasi negara masih terbatas pada diplomasi yang terkait langsung
dengan kepentingan negara di bidang pertahanan maupun keamanan.
Pelibatan TNI dalam diplomasi dalam rangka memperjuangkan kepentingan
negara di bidang lain khususnya ekonomi dan politik masih belum
signifikan.

Belum maksimalnya keterlibatan militer dalam diplomasi total negara


tentu saja memiliki penyebab dan latar belakang. Ada beberapa
kemungkinan belum maksimalnya TNI dalam diplomasi untuk
memperjuangkan kepentingan di luar urusan pertahanan dan keamanan
yaitu, pertama, hubungan antar kelembagaan belum sinergi khususnya
dengan kementerian Luar Negeri. Kedua, kapasitas dan kapabilitas yang
dimiliki TNI masih terbatas dikaitkan pada pelibatannya dalam diplomasi
total negara. Ada beberapa kondisi yang harus dimiliki oleh TNI untuk dalam
rangka menjadikannya sebagai pilihan utama negara dalam melakukan
diplomasi, misalnya TNI harus memiliki harga tawar, bargaining position,
yang baik setidaknya di wilayah Asia. Selain itu, koneksi hubungan dengan
militer negara tertentu juga mempengaruhi cara padang dan perilaku negara
lain terhadap TNI. Dengan demikian, TNI harus lebih jeli dalam menentukan
prioritas pembinaan hubungan kerjasama militer dengan negara sahabat.
Semestinya, sebelum memutuskan untuk meningkatkan hubungan
kerjasama militer dengan negara lain, TNI harus melihat prioritas
kepentingan nasional yang bisa diperjuangkan melalui diplomasi dengan
cara, salah satunya berkoordinasi dengan kementerian Luar Negeri terkait
negara mana yang menjadi target diplomasi negara.

Dari sedikit penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa TNI cukup aktif
terlibat dalam kegiatan diplomasi negara. Namun demikian, peran TNI dalam
diplomasi dirasa belum maksimal dan masih dapat dioptimalkan lagi.
Padahal, militer dapat memainkan peranan penting dalam diplomasi untuk
menunjang diplomasi negara. Keterlibatan militer dalam diplomasi negara
dapat mempermudah negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah yang akan
dikemukakan disini adalah bagaimana diplomasi pertahanan Indonesia
dalam mencapai kepentingan nasional. Mengacu kepada rumusan masalah
tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana peran TNI dalam
diplomasi pertahanan, bagaimana mengoptimalkan peran diplomasi
pertahanan dalam mencapai kepentingan nasional, bagaimana hubungan
TNI dengan dengan Kemlu, sebagai leading sector diplomasi negara?

b. Tinjauan pustaka Konsep Politik Luar Negeri Bebas Aktif.

Sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 5 Undang-Undang RI Nomor


37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, hubungan luar negeri
dilaksanakan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, politik luar negeri,
peraturan perundangundangan nasional dan hukum serta kebiasaan
internasional. Politik luar negeri dalam pasal 3 dan 4, disampaikan bahwa
394

menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional


dan dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif dan antisipatif, tidak
sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional
dan luwes dalam pendekatan. Maksud dari “bebas aktif” adalah politik luar
negeri yang pada hakekatnya bukan merupakan politik netral, melainkan
politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan
terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikat diri secara apriori
pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan baik
dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan
konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

Wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta, di hadapan Badan


Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September
1948 di Yogyakarta, menyampaikan: “Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia
yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus
memilih pro Russia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain
harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat
bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi
obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus
menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak
memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka
seluruhnya”.28

Konsep pemikiran inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi negara


dalam menentukan kebijakan poltik luar negeri Indonesia yang selanjutnya
dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri.

c. Teori Diplomasi Pertahanan.

Diplomasi pertahanan merupakan seluruh cara dan strategi melalui


berbagai aspek kerjasama seperti ekponomi, budaya, politik, pertahanan dan
diplomasi sehingga negara-negara dapat memiliki hubungan pertemanan,
lebih jauh dapat saling bekerja sama, dan yang paling penting adalah
menigkatkan kepercayaan 29. Diplomasi pertahanan digunakan sebagai alat
untuk mencapai target kebijakan luar negeri suatu negara.

Gregory Winger dalam tulisannya The Theory of Defense Diplomacy


menjelaskan bahwa diplomasi pertahanan merupakan suatu cara
penggunaan militer bukan untuk kekerasan, seperti pertukaran perwira,
kunjungan kapal perang, latihan militer bersama dalam rangka mencapai
kepentingan internasional suatu negara. Masih dalam tulisan Winger, Andre
Cottey dan Anthony Foster menyatakan bahwa diplomasi pertahanan adalah
penggunaan militer dalam masa damai sebagai alat untuk kebijakan
keamanan dan hubungan luar negeri. Hal ini diperkuat oleh Martin Edmons
yang mendefinisikan diplomasi pertahanan sebagai penggunaan militer
untuk operasi selain perang dengan memanfaatkan pengalaman latihan dan

28M. Hatta, Mendayung Antara Dua Karang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
29Rodon Pedrason, Asean Defence Diplomacy: The Road To Southeast Asian Defence Community, (Heidelberg:
University Heidelberg, 2015) hlm. 15.
395

disiplinnya untuk mecapai kepentingan nasional baik di dalam maupun di


luat negeri30.

Keberhasilan pelaksanaan diplomasi pertahanan sangat bergantung


pada upaya-upaya diplomatik yang dilakukan di tingkat global, regional dan
bilateral. Dari semua itu, diplomasi dalam tingkatan bilateral memainkan
peranan yang sangat penting. Keberhasilan strategi diplomasi pertahanan
suatu negara merupakan kolaborasi dari komponen diplomasi, pertahanan
dan pembangunan. Namun, secara parsial terdapat karakter utama dari
diplomasi pertahanan suatu negara31:

1) Defense diplomacy for Confidence Building Measures;

2) Defense Diplomacy for defense capabilities;

3) Defense Diplomacy for Defense industry.

d. Teori Sinergi.

Covey mengartikan sinergisitas sebagai “kombinasi atau paduan


unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran yang lebih baik dan
lebih besar daripada dikerjakan sendiri-sendiri, selain itu gabungan
beberapa unsur akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. Oleh
sebab itu, sinergisitas dalam pembangunan berarti keterpaduan berbagai
unsur yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Covey
menambahkan sinergisitas akan mudah terjadi bila komponen-komponen
yang ada mampu berpikir sinergi, terjadi kesamaan pandang dan saling
menghargai.32

e. Konsep Strategi.

Tjiptono menyampaikan strategi diadopsi dari bahasa Yunani yang


berarti suatu ilmu atau seni untuk menjadi seorang jenderal. Strategi juga
bisa dimaknai sebagai suatu rencana untuk membagi kekuatan militer,
mengunakannya dan menempatkannya di tempat tertentu dalam rangka
untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun Rangkuti berpendapat bahwa
strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan
bagaimana perusahaan akan mencapai semua tujuan yang telah di tetapkan
berdasarkan misi yang telah di tetapkan sebelumnya. 3334 Sedangkan
menurut pendapat Joni dalam Anitah menyatakan bahwa strategi adalah
ilmu dan kemampuan di dalam memanfaatkan segala sumber yang dimiliki
dan atau yang dapat dikerahkan guna mencapai tujuan yang ditetapkan.35
Sejalan dengan itu, McNichols dalam J.Salusu menyatakan bahwa strategi
merupakan suatu seni dan kecakapan dalam menggunakan sumber daya
suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang
efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.36

30 Gregory Winger, The Velvet Gauntlet: A Theory of Defense Diplomacy, (Vienna: IWM Junior Visiting Fellows’
Conferences, 2014).
31 I. Syawfi, Aktivitas Diplomasi Pertahanan Indonesia Dalam Pemenuhan Tujuan-Tujuan Pertahanan Indonesia

(2003-2008), (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009), hal. 14.


32 Stephen Covey, “The 7 Habith of Highly Effective People”, Jurnal Pembangunan Jangka Menengah 2005-

2010.
33 Freddy Rangkuti, SWOT Balance Scorecard, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm.
34 .
35 Sri Anitah W., “Strategi Pembelajaran Matematika”, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hlm. 124.
36 Salusu J., Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, (Jakarta:

Grasindo, 2006) hlm. 101.


396

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi


merupakan rencana yang berisikan cara atau jalan untuk mencapai tujuan
yang ingin dicapai sesuai dengan visi yang telah ditetapkan dengan
memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimiliki.

f. Konsep Kepentingan Nasional.

Kepentingan nasional merupakan suatu konsep yang sering


dibicarakan dalam studi maupun isu hubungan internasional. Setiap negara
pasti memiliki kepentingan nasional yang sering menjadi dasar bagi setiap
negara dalam menyusun strategi hubungan internasionalnya. Kebijakan
politik luar negeri suatu negara sangat dipengaruhi oleh kepentingan
nasional negara tersebut. Negara merupakan aktor yang paling dominan
dalam memainkan peran untuk mencapai kepentingan nasional tersebut.

Para ahli memiliki pendapat yang beragam dalam mengartikan dan


mendefinisikan kepentingan nasional. Menurut H.J. Morgenthau,
Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara dalam
melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik dan kultur dari
gangguan negara lain. Dari tinjauan ini, para pemimpin negara merumuskan
kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau
koflik.37 Sementara itu, Paul Seabury mendefinisikan kepentingan nasional
melalui dua sudut pandang yaitu secara deskriptif yang memiliki arti sebagai
tujuan yang harus dicapai oleh suatu bangsa secara tetap melalui
kepemimpinan pemerintah. Sedang secara normatif, kepentingan nasional
adalah kumpulan cita-cita dari suatu bangsa dimana bangsa tersebut
berusaha mencapainya dengan cara berhubungan dengan negara lain. 38
Daniel S. Paap, mengatakan bahwa dalam kepentingan nasional terdapat
beberapa aspek, seperti ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer,
moralitas dan legalitas.39

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepentingan


nasional merupakan cita-cita yang menjadi target yang harus dicapai oleh
negara, dimana cita-cita tersebut memiliki multi dimensi baik politik,
ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan.

g. Konsep Kebijakan Luar Negeri.

Politik luar negeri merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah


suatu negara atau komunitas politik lainnya dalam hubungan dengan
negara dan aktor bukan negara di dunia internasional. Menurut Walter
Carlsnaes, kebijakan luar negeri adalah Tindakantindakan yang diarahkan
ke tujuan, kondisi dan aktor (baik pemerintah maupun non pemerintah)
yang berada di luar wilayah teritorial mereka dan yang ingin mereka
pengaruhi. Tindakan-tindakan itu diekspresikan dalam bentuk tujuan-
tujuan, komitmen dan atau arah yang dinyatakan secara eksplisit, dan yang
dilakukan oleh wakil-wakil pemerintah yang bertindak atas nama negara
atau komunitas yang berdaulat.40 Sedangkan menurut K. J. Holsti,
kebijakan luar negeri adalah tindakan atau gagasan yang dirancang oleh
37 H.J. Morgenthau, In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy, (New
York: University Press of America, 1951).
38 Luthfiana Chandra A.M dan Mahrita. Defining National Interest, (2012).
39 D. S. Papp, Contemporary International Relation": A Framework for Understanding, Second Editions”, (New

York: MacMillan Publishing Company, 1988), hlm. 29.


40 Walter Carlsnaes, “The Agency-Structure Problem In Foreign Policy Ananlysis”, International Study

Quarterly. Vol.36, No.3, 2016, hlm. 245-270.


397

pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan


suatu perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan sikap atau
tindakan dari negara lain. Gagasan kebijakan luar negeri, dapat dibagi
menjadi empat komponen dari yang umum hingga ke arah yang lebih spesifik
yaitu orientasi kebijakan luar negeri, peran nasional, tujuan, dan tindakan. 41
Sementara itu, Mark R. Amstutz, mendefenisikan politik atau kebijkan luar
negeri sebagai “as the explicit and implicit actions of governmental officials
designed to promote national interests beyond a country’s territorial
boundaries”.42 Pada defenisi ini, menekankan pada tindakan dari pejabat
pemerintah untuk merancang kepentingan nasional negaranya agar dapat
mempromosikan kepentingan nasional tersebut, melampaui batas-batas
territorial suatu negara. Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa
politik luar negeri ini merupakan konsep yang digunakan pemerintah atau
negara maupun non pemerintah untuk merencanakan dan berkomitmen
untuk menjadi pedoman dalam berhubungan dengan pihak-pihak lain di
lingkungan eksternal

h. Metode Penelitian.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif


yaitu sebuah metode penelitian dengan maksud memahami fenomena yang
dialami oleh subyek pelaku antara lain perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain secara holistik, yang kemudian diungkapkan dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, secara alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah 43

Subyek penelitian adalah para informan yang terkait dalam bidang


tugasnya masing-masing. Objek penelitian ini adalah Peran TNI dalam
diplomasi pertahanan, Kapasitas dan Akpabilitas TNI dalam diplomasi, dan
hubungan kerja TNI dengan kementerian Luar Negeri dalam hal diplomasi.

i. Hasil Penelitian Peran Diplomasi Pertahanan TNI.

Dalam peran diplomasi pertahanan ini, hanya akan memfokuskan


pada diplomasi pertahanan melalui pengiriman pasukan perdamaian dan
penempatan atase pertahanan. Hal ini dikarenakan kedua fokus tersebut,
sesuai dengan permasalahan dalam penelitian, yaitu yang menjadi sorotan
adalah belum adanya penyusunan strategi diplomasi pertahanan secara
utuh dan menyeluruh yang melibatkan seluruh stakeholders. Hal tersebut
sangat jelas tergambarkan dalam pelaksanaan tugas atase pertahanan, serta
belum optimalnya pemanfaatan diplomasi pertahanan untuk kepentingan di
luar isu pertahanan dan keamanan yang hal tersebut dapat dilihat dalam
diplomasi pertahanan melalui pengiriman pasukan perdamaian PBB.

j. Pasukan Perdamaian Indonesia.

Pengiriman pasukan TNI dalam misi perdamaian merupakan salah


satu bentuk nyata dari implementasi diplomasi pertahanan yang dilakukan
oleh TNI. Salah satu tujuan dari diplomasi pertahanan yaitu untuk

41 K. J. Holsti, “National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy”, International Studies Quarterly, Vol.
14, No.3, 1970, hlm. 233-309.
42 Mark R. Amstutz, International Ethics: Concepts, Theories, and Cases in Global Politics 4th Ed., (Boulder:

Rowman and Littlefield, 2013).


43 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), hlm.

6).
398

mencegah terjadinya konflik dan mempengaruhi kebijakan negara sasaran


atau setidaknya menciptakan persepsi positif terhadap militer (TNI) atau
negara. Ada dua bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh suatu negara
dalam operasi perdamaian PBB, yaitu negara yang menjadi anggota PBB
dapat berpartisipasi dengan menyumbangkan dana untuk mendukung
operasi perdamaian tersebut dan kedua, dengan cara mengirimkan pasukan
perdamaian langsung ke daerah konflik.

Keterlibatan TNI dalam misi perdamaian sudah dimulai sejak tahun


1957 ketika untuk pertama kalinya TNI mengirimkan pasukan perdamaian
sejumlah 559 personil yang tergabung dalam pasukan PBB United Nation
Emergency Force (UNEF) dalam rangka ikut meredakan konflik antara Mesir
dengan Inggris. Misi pertama pasukan perdamaian TNI dianggap berhasil
oleh PBB dan sejak saat itu TNI terus mendapat kepercayaan dari PBB untuk
membantu perdamaian di berbagai belahan dunia. Misi kedua UNOC di
Kongo tahun 1960 berjumlah 1.074 orang, selanjutnya misi-misi yang diikuti
Kontingen Garuda diterjunkan untuk menjaga perdamaian di berbagai
negara antara lain UNEF di Mesir (1973-1979), UNIMOG di Irak
(1988,1989,1990), UNTAC di Kamboja (1992-1992), UNIKOM di Kuwait
(1993), UNPROFOR di Bosnia (1995), UNPREDEP di Macedonia (1996),
UNTAES di Solovenia Timur (1997), UNAMSIL di Siera Leone (2002), Monuc
di Kongo (2004), dan sejak 2006 sampai saat ini Indonesia mengirimkan misi
UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) ke Lebanon, Kizi ke Kongo
dan Haiti serta Unamid (United Nations Mission In Darfur) ke Darfur-Sudan,
serta Mali tahun 2015.

Sejauh ini, pelaksanaan tugas perdamaian TNI di bawah bendera PBB


dianggap cukup berhasil terutama dalam melakukan komunikasi dan
pembinaan warga di daerah konflik. Penerapan metode pembinaan teritori
dalam pelaksanaan tugas perdamaian membuahkan hasil yang sangat
positif dalam pencapaian tugas. Salah satu daerah tugas pasukan TNI secara
reguler ditempatkan adalah di Lebanon. Kesempatan untuk berinteraksi
dengan masyarakat lokal di Lebanon Selatan dimanfaatkan dengan baik oleh
TNI. Interaksi yang dilakukan oleh TNI dengan masyarakat di Lebanon
Selatan menghasilkan sebuah penerimaan yang sangat baik terhadap
keberadaan pasukan TNI di wilayah tersebut. Upaya untuk mendapatkan
penerimaan serta pengelolaan terhadap interaksi tersebut menjadi sebuah
fenomena tersendiri baik dikalangan kontingen UNIFIL maupun masyarakat
Indonesia. Fenomena tersebut terkait dengan sulitnya kontingen UNIFIL dari
negara lain untuk dapat diterima secara baik oleh masyarakat di Lebanon
Selatan. Terlepas dari beragam keberhasilan, pelaksanaan tugas pasukan
perdamaian Indonesia yang juga merupakan bentuk diplomasi pertahanan
dan bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional belum dimanfaatkan
secara maksimal.

Diplomasi militer yang dilakukan oleh peacekeeping TNI baru sebatas


pada isu pertahanan dan keamanan saja, padahal peluang untuk bisa
memanfaatkan misi tersebut untuk mencapai kepentingan nasional di
bidang lain terutama ekonomi cukup terbuka luas. Beberapa negara
kontributor pada pasukan perdamian PBB telah mencontohkan dalam
pelaksanaan tugasnya, pasukan tersebut juga ikut memasarkan produk
dalam negerinya di negara tempat bertugas. Hal ini tentu perlu untuk
menjadi perhatian bagi TNI untuk bisa lebih berkontribusi aktif dalam
mencapai kepentingan nasional melalui peran diplomasi militer yang
dimainkannya.
399

k. Atase Pertahanan RI.

Perwakilan diplomatik adalah lembaga kenegaraan di luar negeri yang


bertugas dalam membina hubungan di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pertahanan kemanan dengan negara lain. Tugas dan wewenang
ini dilakukan oleh perangkat korps diplomatik, yaitu duta besar, kuasa
usaha dan atase-atase. Untuk atase sendiri terdiri atas dua bagian yaitu
atase pertahanan dan atase teknis. Atase pertahanan dijabat oleh seorang
perwira militer yang diperbantukan ke Kementerian Luar Negeri dan
ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta diberi
kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan
nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada Duta Besar
berkuasa penuh. Dalam pelaksanaan tugasnya, atase pertahanan belum
maksimal mencapai sasaran. Tidak jarang dalam tugasnya terjadi miss
komunikasi antara atase pertahanan dengan duta besar sebagai kepala
perwakilan. Terdapat beberapa kasus ketika misi yang diemban oleh atase
pertahanan belum sinkron dengan misi kepala perwakilan, sehingga
pelaksanan tugas diplomasi terkesan berjalan sendiri-sendiri. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu antara lain :

1) Belum adanya pemahaman yang sama bahwa duta besar


merupakan kepala perwakilan yang bertugas sebagai head of mission
dan mengendalikan pelaksanaan tugas diplomasi di negara akreditas.
Masih ada anggapan bahwa duta besar merupakan perwakilan dari
Kementerian Luar Negeri, padahal duta besar adalah perwakilan dari
negara untuk menjalankan tugas diplomasi negara.

2) Dalam penyusunan mission paper baik oleh Kementerian Luar


Negeri maupun TNI belum dilaksanakan secara terkoordinasi. Mission
paper merupakan panduan pelaksanaan diplomasi di suatu negara
yang berisi prioritas sasaran serta strategi yang akan digunakan dalam
mencapai tujuan diplomasi. Penyusunan mission paper untuk kepala
perwakilan masih dilakukan oleh calon duta besar dan belum
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri sehingga mission paper
tersebut tidak tercapai. Namun, yang lebih disayangkan lagi, Atase
Pertahanan RI sebagian besar, jika tidak seluruhnya, tidak memiliki
mission paper sebagai panduan pelaksanaan tugas diplomasinya.

l. Kapasitas dan Kapabilitas TNI dalam Melaksanakan Diplomasi


Pertahanan.

Dalam pelaksanaan diplomasi pertahanan, kapasitas dan kapabilitas


yang dimiliki oleh militer menjadi salah satu penentu utama keberhasilan
pelaksanaan diplomasi tersebut. Militer yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang baik cenderung untuk berhasil dalam melaksanakan misi
diplomasinya. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa diplomasi yang
dilakukan pada umumnya bertujuan untuk merubah atau mempengaruhi
kebijakan suatu negara baik dengan cara keras ataupun dengan cara halus,
yang dalam pelaksanaannya kerap melakukan tawar menawar atau
bargaining, sehingga kuatnya posisi tawar menjadi jaminan berhasilnya
dilomasi yang dijalankan. Posisi tawar instrumen diplomasi dalam hal ini
militer sangat bergantung pada kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.

Saat ini, kapasitas yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari harapan
untuk dapat mengemban tugas diplomasi militer dengan target dapat
400

mempengaruhi atau merubah kebijakan negara sasaran TNI belum memiliki


sarana yang mewadahi dalam melakukan diplomasi militer seperti
kelengkapan persenjataan dan alutsista serta dukungan anggaran yang
ideal. Posisi tawar militer sangat bergantung pada kuatnya militer tersebut
terutama ditinjau dari segi kelengkapan peralatan perang.

Dari segi kapabilitas atau kemampuan yang mengarah pada tugas


diplomasi, secara terbuka diakui bahwa TNI juga belum memiliki
kemampuan yang cukup baik dari segi personil maupun dari segi strategi.
Dari segi personil, disadari bahwa personil TNI masih belum memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang diharapkan dalam bidang diplomasi.
Keterbatasan bahasa dan wawasan menjadi penghambat dominan dalam
melaksanakan tugas diplomasi.

Saat ini TNI memiliki banyak kerja sama dengan militer negara
sahabat, baik itu melalui program latihan bersama, pendidikan dan operasi.
Dari kerjasama tersebut, tidak sedikit prajurit TNI yang di kirim ke luar
negeri untuk melakukan program-program tersebut, namun harus diakui
bahwa kontribusi prajurit khusunya terkait dengan diplomasi masih perlu
ditingkatkan. Dari sisi strategi, TNI masih perlu merumuskan kembali suatu
strategi yang jitu dan komprehensif dalam diplomasi. Kegiatan diplomasi
yang dilakukan oleh TNI baik oleh Mabes TNI maupun Mabes Angkatan terus
menerus dilaksanakan bahkan sudah menjadi suatu program tetap, tapi
pelaksanaanya belum tersusun dalam suatu strategi diplomasi TNI yang
utuh. Pelaksanaan diplomasi yang dilakukan oleh angkatan (TNI AD, AL dan
AU) masih dilaksanakan secara sendiri-sendiri tanpa strategi yang jelas
sehingga hasilya kurang dirasakan. Hal itulah yang mendorong Panglima
TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, dalam program kerjanya memasukkan
penguatan diplomasi militer sebagai salah satu target yang ingin dicapai.

Pelaksanaan diplomasi yang dilakukan oleh TNI Angkatan Darat, Laut


dan Udara bahkan Mabes TNI masih terkesan sebagai rutinitas program
semata tanpa adanya target capaian tertentu layaknya suatu strategi.
Masingmasing Angkatan melakukan diplomasi belum didasarkan pada
suatu strategi tertentu yang menuntut adanya target capaian yang
ditentukan sebelumnya.

m. Hubungan TNI dengan Kemlu dalam Hal Diplomasi.

Dalam pelaksanaan diplomasi, komunikasi dan koordinasi dengan


berbagai lembaga terkait terutama Kementerian Luar Negeri sebagai leading
sector diplomasi negara merupakan hal yang tidak bisa dihindari mengingat
salah satu fungsi dari Kementerian Luar Negeri adalah sebagai pelaksana
kebijakan di bidang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar
negeri.

Sejauh ini, komunikasi antara TNI dengan Kementerian Luar Negeri


terbilang sudah berjalan lancar dan baik. Indikatornya terlihat dari tingkat
pelibatan TNI dalam pengambilan keputusan penting terkait kebijakan luar
negeri. Beberapa aspek yang dapat dijadikan contoh adalah diplomasi
kewilayahan, diplomasi keamanan internasional, diplomasi ekonomi,
diplomasi kemanusiaan, kerjasama teknis, dsb. Pada diplomasi
kewilayahan, Kementerian Luar Negeri melakukan koordinasi erat dengan
TNI, khususnya dalam menghadapi adanya perselisihan terkait garis
401

demarkasi (darat), maupun delimitasi (laut) dengan negara – negara


tetangga.

Namun demikian, koordinasi antara TNI dengan kementerian Luar


Negeri dalam hal penyusunan strategi diplomasi belum berjalan dengan
baik. Meskipun di lapangan komunikasi antara personil intens terjadi,
namun pada tataran kebijakan hal tersebut belum berjalan dengan baik.
Dari data yang diperoleh dari beberapa sumber di Kementerian Luar Negeri,
terlihat bahwa pelibatan TNI dalam diplomasi bersama Kementerian Luar
Negeri masih sangat kecil.

n. Pembahasan Hasil penelitian.

Dalam mencapai dan mengamankan kepentingan negara, diplomasi


selalu menjadi pilihan negara sebagai cara dominan untuk meraih tujuan
tersebut. Dalam pelaksanaannya, negara dapat menggunakan sumber-
sumber kekuatan yang dimiliki, antara lain, kekuatan militer, ekonomi,
politik, intelijen dan sebagainya. Penggunaan militer sebagai salah satu
instrument dalam diplomasi sudah menjadi hal yang tidak terhindarkan lagi.

o. Peran diplomasi pertahanan TNI Pasukan Perdamaian PBB.

Pengiriman pasukan perdamaian yang tergabung dalam peacekeeping


mission PBB merupakan wujud komitmen yang kuat dari pemerintah RI
terhadap perdamaian dunia sekaligus memberi arti penting dalam
pelaksanaan hubungan luar negeri dan wujud nyata politik luar negeri bebas
aktif serta meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional.

Dalam pelaksanaan tugas pemeliharaan perdamaian dunia, TNI


sebagai salah satu ujung tombak kekuatan militer yang mewakili Indonesia
di bawah kendali PBB telah mencapai banyak keberhasilan sehingga terus
mendapat kepercayaan dari PBB untuk mengemban misi-misi perdamaian.
Dalam konteks diplomasi, keberhasilan pasukan TNI dalam misi PBB secara
tidak langsung selain memainkan peran diplomasi militer, juga ikut
memainkan peran diplomasi publik. Penerapan metode pembinaan teritorial
dalam pelaksanaan tugas misi perdamaian oleh TNI dalam pelaksanaannya,
komunikasi sosial dan interaksi dengan masyarakat menjadi hal yang rutin
dilakukan oleh pasukan TNI. Diplomasi publik merupakan salah satu
strategi diplomasi yang dimainkan oleh banyak negara dengan tujuan untuk
mempengaruhi persepsi dan opini masyarakat negara lain melalui
pendekatan-pendekatan psikologis guna mencapai agenda dan tujuan
politiknya. Hal ini, sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Jarol B.
Mainheim, diplomasi publik memiliki arti sebagai usaha sebuah negara
untuk mempengaruhi opini publik maupun pemimpin di negara lain dengan
maksud untuk mempermudah pencapaian tujuan dari kebijakan luar
negerinya44.

Penerapan metode pembinaan teritorial merupakan sarana yang


sangat efektif dalam melakukan pendekatan psikologis terhadap masyarakat
di daerah tugas. Aplikasi dari metode pembinaan teritorial yang dilakukan
oleh pasukan TNI meliputi beberapa hal antar lain; pemberian bantuan
terhadap masyarakat sekitar daerah operasi, bantuan ke sekolah-sekolah,
pemberian bantuan ke yayasan anak-anak yatim piatu, bantuan medis atau
44Jarol B. Mainheim, Strategic Public Diplomacy : The Evolution of Influence, (London: Oxford University Press,
1990), hlm. 4.
402

pengobatan terhadap warga sekitar daerah operasi, serta kunjungan dan


acara-acara keagaaman yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.
Bukanlah hal yang mengherankan apabila penerimaan masyarakat terhadap
TNI di setiap tugas perdamaiannya sangat baik. Kemampuan TNI dalam
berinteraksi dengan masyarakat serta kepekaan terhadap lingkungan
merupakan modal dasar bagi prajurit TNI dalam mengembangkan diplomasi
pertahanan terutama terkait penerapan diplomasi publik.

Kemampuan TNI dalam melakukan pendekatan psikologis terhadap


masyarakat di daerah penugasan tentu dapat memberikan peluang yang
baik dalam diplomasi negara guna mencapai kepentingan nasional,
mengingat opini masyarakat dalam suatu negara akan sangat berpengaruh
pada kebijakan politik negara tersebut. Beberapa negara telah melakukan
pemanfaatan pasukan perdamaiannya untuk melakukan diplomasi dengan
memperkuat strategi diplomasi publik dalam rangka mencapai tujuan
ekonominya. Salah satu contoh negara yang telah melakukan hal tersebut
adalah pasukan perdamaian Korea Selatan saat ditugaskan di Lebanon.
Keberhasilan diplomasi publik yang dilakukan oleh pasukan perdamaian
Korea Selatan telah berhasil mempengaruhi persepsi masyarakat Lebanon
terutama terkait produksi kendaraan buatan Korea Selatan. Sayangnya, TNI
belum melakukan hal yang sama.

Adapun belum optimalnya pemanfaatan pasukan perdamaian TNI


dalam melakukan diplomasi pertahanan untuk tujuan kepentingan ekonomi
dapat dikarenakan belum adanya kesamaan pemahaman bahwa kegiatan
diplomasi yang dilakukan oleh institusi manapun bisa menjadi jalan masuk
untuk mencapai kepentingan nasional apapun itu bentuk kepentingannya.
Pengiriman pasukan perdamaian TNI masih dianggap sebagai murni urusan
pertahanan semata dan tidak memiliki keterkaitan dengan kepentingan
nasional lainnya. Pemikiran seperti itulah yang menyebabkan sulitnya
terjadi sinkronisasi dalam perumusan strategi diplomasi antar institusi
pemerintah secara komprehensif.

p. Atase Pertahanan RI.

Salah satu dimensi diplomasi pertahanan adalah pertukaran atau


penempatan atase pertahanan sebagai penyambung lidah kebijakan
pertahanan negara. Untuk mengemban fungsi diplomasi pertahanan, peran
seorang atase pertahanan sangat penting. Disamping menjalankan tugas
pokoknya, atase pertahanan berperan mewujudkan kepentingan pertahanan
dan mampu meningkatkan hubungan bilateral melalui peningkatan kualitas
hubungan dan kerja sama bidang pertahanan. Dalam pelaksanaan tugas
diplomasi, Atase Pertahanan RI menjadi bagian dari misi diplomatik
Indonesia di dalam wadah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang
dikepalai oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP).

Sebagai bagian dari misi diplomatik Indonesia, sudah selayaknya


Atase Pertahanan RI dalam melaksanakan misinya harus sejalan dengan
misi diplomatik yang dirumuskan oleh Duta Besar LBBP sebagai head of
mission. Adanya ketidak-sinkronan antar misi yang diemban oleh Duta
Besar LBBP dengan Atase Pertahanan RI tentu membawa dampak negatif
dalam upaya pencapaian kepentingan nasional yang diemban oleh kantor
perwakilan diplomatik di suatu negara. Seperti yang telah dijelaskan dalam
sub bab hasil penelitian, ada faktor kritikal tidak sinkronnya misi Atase
Pertahanan RI dengan misi yang dibawa oleh Duta Besar LBBP, yaitu dalam
403

penyusunan mission paper oleh Duta Besar LBBP tidak dilaksanakan secara
terkoordinasi dengan Atase Pertahanan RI.

Adanya kesamaan visi antara Duta Besar LBBP selaku kepala kantor
perwakilan diplomatik RI di luar negeri dengan komponen pelaku diplomasi
termasuk Atase Pertahanan RI di bawah kantor perwakilannya, sangat
penting dalam menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas diplomasi yang
diemban oleh kantor perwakilian RI tersebut. Dengan adanya kesamaan visi
tersebut, maka akan mempermudah terciptanya sinergitas antar pelaku
diplomasi dari berbagai lembaga sehingga kepentingan nasionalpun akan
semakin mudah tercapai.

q. Kapasitas dan Kapabilitas TNI dalam Melaksanakan Diplomasi


Pertahanan.

Merujuk pada hasil penelitian, diakui bahwa kapasitas dan kapabilitas


militer kita masih perlu ditingkatkan, tentu hal tersebut secara tidak
langsung menyiratkan bahwa posisi tawar militer kita dalam diplomasi
belum pada level yang ideal. Untuk mencapai kondisi yang ideal suatu
angkatan bersenjata sangat bergantung pada alokasi military budget yang
diberikan oleh negara, dan hal tersebut tidak lepas dari national budget atau
anggaran belanja negara. Kemampuan finansial yang dimiliki oleh angkatan
bersenjata dapat menjadi bargaining chip dalam pelaksanaan diplomasi
militer. Kemampuan ini sangat ampuh dalam mempengaruhi kebijakan
suatu negara. Hal ini sangat jelas digambarkan dalam pola diplomasi militer
yang diterapkan oleh militer Amerika. Metode diplomasi militer Amerika
tersebut yaitu disebut dengan military aid atau bantuan militer. Setiap
tahunnya, Amerika menghabiskan lebih dari miliaran dolar dalam rangka
memberikan bantuan militer ke puluhan negara di dunia, dengan harapan
bantuan tersebut dapat memperkuat pengaruh Amerika terhadap negera
penerima. Dalam hal penanganan terorisme, Amerika telah memberikan
bantuan militer kepada banyak negara, antara lain; Azerbaijan, Tajikistan,
Pakistan, Ethiopia, Nigeria, Oman, Yemen, Georgia, Uzbekistan, and
Columbia. Hasil dari bantuan militer tersebut sangat jelas terlihat ketika
Georgia sebagai rasa terima kasihnya bersedia mengirimkan 2000 personil
militernya untuk membantu militer Amerika yang sedang berperang di Iraq.
Pola seperti ini menjadi senjata bagi Amerika untuk mengatur kebijakan
suatu negara. Bantuan militer menjadi alat tukar Amerika dengan kebijakan
negara penerima. Selama negara penerima bersedia merubah kebijakannya
untuk sejalan dengan kepentingan Amerika maka selama itu juga bentuan
militer terus mengalir.

Contoh pola yang diterapkan militer Amerika dalam memperkuat


posisi tawar militernya melalui program military aid tentu tidak dapat
sepenuhnya kita terapkan dalam diplomasi pertahanan kita, mengingat, kita
tahu bersama, kamampuan keuangan negara masih belum sanggup untuk
memenuhi kebutuhan anggaran pertahanan negara. Namun demikian, pola
penggunaan bantuan militer bukan merupakan satusatunya cara untuk
meningkatkan kemampuan diplomasi pertahanan. Bantuan militer juga
tidak harus selalu terkait dengan bantuan berupa dana atau sumbangan
peralatan perang, tetapi bantuan militer dapat diberikan dalam bentuk
asistensi militer dalam bidang latihan dan operasi.
404

r. Hubungan TNI dengan Kemlu dalam Hal Diplomasi.

Dihadapkan pada hubungan antar TNI dengan Kementerian Luar


Negeri terutama terkait dengan hal diplomasi, secara umum, dari hasil
penelitian terlihat berjalan dengan baik. Komunikasi rutin terjalin antar
kedua lembaga dalam membahas isu-isu diplomasi. Namun, komunikasi
yang terjalin baru sebatas pada hal-hal yang bersifat operasional, sedangkan
pada tataran kebijakan belum berjalan dengan baik terutama terkait dengan
penyusunan strategi diplomasi.

Secara umum, dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan


kebijakan di Kementerian Luar Negeri didasarkan pada dua dimensi yaitu
yang bersifat reaktif dan rutin (regular). Dalam konteks perumusan rutin,
Kementerian Luar Negeri akan mendasarkan kegiatan dan kebijakannya
berdasarkan Rencana Kerja Kementerian Lembaga (Renja–KL) tahunan.
Perencanaan ini lazimnya dirapatkan satu tahun sebelum waktu anggaran
dimulai.

Ada hal krusial yang menjadi penyebab penyusunan strategi diplomasi


bersama antara TNI dengan Kementerian Luar Negeri belum bisa berjalan
yaitu hingga saat ini Kementerian Luar Negeri belum memiliki white book
atau white paper kebijakan diplomasi yang menjadi rujukan diplomasi
secara nasional, meskipun pada tataran formulasi kebijakan diplomasi on
daily basis koordinasi sudah berjalan baik. White paper kebijakan diplomasi
merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh kementerian Luar Negeri
karena white paper tersebut akan menjadi acuan dan koridor penyusunan
strategi diplomasi oleh instansi pemerintah yang melaksanakan kegiatan
diplomasi.

Istilah “pertahanan” atau dalam bahasa Inggrisnya “defence”, berasal


dari bahasa latin “dēfensum”, yang artinya “sesuatu aksi untuk menahan
suatu serangan”. Istilah tersebut berlaku secara universal, namun untuk
Indonesia, penyelenggaraan pertahanan diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dinyatakan dalam Undang-undang ini bahwa pertahanan negara Indonesia
bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk
menjamin dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

s. Tantangan-Tantangan di Bidang Pertahanan. Permasalahan FIR


Singapura sudah sejak lama terjadi, dan hingga kini masih berlangsung.
Dalam pengaturan kolom udara, referensi yang biasanya menjadi acuan
adalah “Convention on International Civil Aviation, Chicago 7 December 1944”.
Di dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan yang lengkap dan ekslusif (complete and exclusive)
terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Hingga sekarang pengaturan lalu
lintas udara di atas Pulau Batam, Tanjung Pinang dan Natuna berada di
bawah kendali Air Traffic Control (ATC) Singapura berdasarkan kesepakatan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Singapura sejak tahun 1995.

Namun dalam pelaksanaannya, sering menimbulkan permasalahan,


seperti penerbangan dari Tanjung Pinang ke Ranai (Natuna) tidak boleh
terbang dengan lurus langsung ke tujuan. Akibatnya adalah terjadi
inefisiensi bahan bakar, dikarenakan bertambahnya air time atau waktu
tempuh. Begitu juga patroli udara yang dilakukan TNI AU dan TNI AL
405

disekitar perairan Batam, Tanjung Pinang, dan Natuna, sering terkendala


karena ATC Singapura lebih mengutamakan penerbangan sipil di Bandara
Changi dari pada kepentingan pesawat militer Indonesia yang sebenarnya
terbang di kawasan udara di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia . Singapura juga menetapkan status “Danger Two”, “Danger
Three”, dan “Danger Four” di wilayah udara tersebut, yang merupakan
tempat-tempat latihan militer Singapura. Sering terjadi ketika penerbangan
di Batam hendak memakai jalur itu, pihak Singapura tidak mengizinkan
dengan alasan sedang ada latihan.

Pelanggaran kedaulatan dilakukan oleh beberapa negara antara lain


oleh unsur angkatan bersenjata AS, yang terkenal dengan sebutan “Peristiwa
Bawean”. Pada tanggal 3 Juli 2003, armada US Navy yang terdiri dari kapal
induk, Destroyer dan Frigate berlayar dari Singapura, melalui Selat
Karimata, Laut Jawa, menuju Australia. Pada saat melewati perairan
Bawean, pesawat tempur F-18 (merupakan kelengkapan armada tersebut)
yang terbang dan bermanuver di udara, terdeteksi oleh radar sipil dan militer
Indonesia. Identifikasi visual dilakukan oleh dua pesawat F-16 TNI AU, dan
selanjutnya diingatkan bahwa mereka melakukan penerbangan gelap di
wilayah udara Indonesia. Namun mereka tidak menganggap peringatan ini,
bahkan akan menembak jatuh pesawat kita kalau memasuki zona
keamanan dari armada AS tersebut. Karena kalah dalam persenjataan dan
jumlah, pesawat terbang kita kembali ke pangkalan. Indonesia melayangkan
protes kepada pihak AS tentang pelanggaran kedaulatan tersebut dengan
alasan membahayakan penerbangan sipil di wilayah udara Indonesia.

Pemerintah Tiongkok secara sepihak telah menarik garis klaim yang


masuk dalam wilayahnya, dengan apa yang disebut “nine dash line”, yaitu
garis batas berbentuk “U”, termasuk Kepulauan Paracel, dan Kepulauan
Spratly, yang dipublikasikan oleh Pemerintah Tiongkok secara diam-diam
sejak Februari 1948. Akhirnya pada 7 Mei 2009, pemerintah Tiongkok
mendaftarkan klaimnya secara resmi kepada PBB. Setelah itu, beberapa
negara, yaitu Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Taiwan yang juga
mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly, melancarkan protes terhadap
klaim tersebut. Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengadakan
Pertemuan Kelompok Ahli (PKA) bertemakan “Perkembangan di Laut Cina
Selatan dan dampaknya Bagi Stabilitas Politik dan Keamanan di Kawasan
Asia Pasifik”, di Bandung, pada tanggal 30 November 2010. Para ahli
tersebut sepakat bahwa dilihat dari segi hukum internasional, peta Laut
Cina Selatan yang dibuat oleh Cina tersebut, dikenal sebagai “nine dash
line”, adalah bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1982. Pemerintah
Indonesia, meskipun tidak mengklaim wilayah Kepulauan Paracel dan
Kepulauan Spratly, juga melancarkan protes, karena garis tersebut juga
masuk dalam wilayah ZEE dan Landas Kontinen Republik Indonesia di
wilayah Kepulauan Natuna.

Pada tahun 1979, pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal
batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke
dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4°10' arah utara
melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak
mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia
dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-
menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah
406

Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan,
juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh
Mahkamah Internasional.

Upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia juga masih


menghadapi tantangan. Pada tahun 2001, sekelompok nelayan dari
Sumatera Utara mencari ikan di perairan perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka. Karena dianggap melanggar wilayah ZEE Malaysia,
mereka ditembaki secara membabi buta oleh aparat keamanan laut
Malaysia, yang mengakibatkan seorang dari mereka tewas, dan lainnya
sejumlah 39 orang ditahan pihak Malaysia. Nelayan-nelayan Nusa Tenggara
Timur (NTT) yang sering mencari ikan di wilayah tumpang tindih antara
Landas Kontinen Australia, tetapi masuk dalam ZEE Indonesia, sering
ditangkap aparat keamanan laut Australia, dan kapal-kapal mereka, yang
menjadi alat utama mereka mencari nafkah langsung ditembaki dan dibakar
di tengah laut. Namun banyak nelayan kita yang melaporkan bahwa posisi
kapal mereka sebetulnya masih di perairan Indonesia, tetapi GPS mereka
tidak diakui oleh aparat Australia dan kemudian menggiring nelayan kita
masuk ke wilayah Australia, kemudian baru ditangkap. Sudah tercatat
puluhan kapal nelayan kita dibakar, dan ratusan yang dipenjara di
Australia.

Pembajakan kapal-kapal Indonesia sering terjadi. Kapal barang milik


Indonesia yaitu MV Sinar Kudus yang mengangkut nikel seharga triliunan
rupiah, dengan awak kapal sejumlah 20 orang, dibajak di laut Somalia pada
tanggal 16 Maret 2011. Akhirnya dengan tebusan sejumlah uang dan juga
dibarengi dengan operasi militer, yang terdiri dari tiga kapal perang, pesawat
terbang, dan sejumlah pasukan khusus serta marinir, kapal tersebut dapat
dibebaskan 10 orang namun, karena tempatnya yang sangat jauh,
penggelaran operasi pengamanan tidak dapat diteruskan, semua kekuatan
militer harus ditarik pulang. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa
kapal-kapal kita atau orang-orang kita akan terlindungi ketika melalui
wilayah tersebut.

Dalam konteks regional, kawasan Asia Tenggara adalah wilayah


negara-negara yang hampir semuanya memiliki permasalahan batas wilayah
yang masih belum dapat diselesaikan, serta berpotensi menjadi penyebab
terjadinya konflik, serta secara internal, sebagian besar masih memfokuskan
perhatiannya pada masalah dalam negeri untuk menghadapi ancaman
terorisme, separatisme, penyelundupan dan konflik komunal. Merebaknya
isu perbatasan di kawasan Laut Cina Selatan atas kepulauan Spratly dan
Paracel yang diklaim oleh Tiongkok, Taiwan, dan empat negara ASEAN, yaitu
Vietnam, Malaysia, Filipina, serta Brunei masih belum dapat dituntaskan.
Selain itu, karena merupakan jalur laut yang sangat vital, keamanan Selat
Malaka menjadi sangat penting dan tidak pernah surut dari perhatian
negara-negara besar terutama AS, Jepang, Cina, dan Korea Selatan, untuk
ikut campur tangan dan ingin melibatkan kekuatan militernya dengan dalih
pengamanan jalur navigasi internasional.

Namun Indonesia dan Malaysia tetap menolak kehadiran militer asing


di Selat Malaka dan berusaha menjamin keamanan jalur pelayaran tersebut
dengan meningkatkan kerjasama dalam bentuk patroli laut terkordinasi
yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kedua faktor
tersebut, yaitu belum selesainya klaim perbatasan dan keberadaan jalur
internasional di kawasan yang sangat strategis serta lemahnya sistem
407

pengawasan menyebabkan timbulnya kerawanan terhadap kejahatan lintas


negara.

Sementara itu, perkembangan kekuatan ekonomi yang semakin pesat


dan kemajuan teknologi militer Tiongkok yang sangat spektakuler, telah
menarik perhatian AS dan negara-negara di kawasan Asia Timur terutama
Jepang dan Korea Selatan. Dalam “Buku Putih” nya yang dirilis 2 Agustus
2011, Jepang menyebutkan bahwa Cina terlalu “asertif” dalam menyikapi
setiap masalah dengan negara tetangganya. Kemampuan Tiongkok dalam
teknologi militer temasuk diantaranya keberhasilannya menguji coba
pesawat tempur berteknologi siluman atau stealth, pembangunan kapal
induk dan rudal anti kapal perang DRF-21D, yang mampu melumpuhkan
kapal induk AS, telah menimbulkan kekhawatiran negara-negara di
kawasan.

Masalah keamanan lainnya adalah masih belum tercapainya usaha


perdamaian di Semenanjung Korea termasuk isu nuklir Korea Utara yang
masih kontroversial. Di kawasan ini juga tidak ketinggalan masalah sengketa
kepulauan yang melibatkan Jepang dengan Tiongkok atas pulau Senkaku
dan antara Jepang dengan Korea Selatan atas pulau Dokdo/Takeshima,
yang keduanya berpotensi sebagai sumber ketegangan.

Di kawasan Australia dan Oseania, Australia sebagai kekuatan utama


dan sekaligus merupakan sekutu dekat AS di kawasan, tetap memainkan
peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas regional. Australia terus
melakukan pembangunan kekuatan militer melalui pembelian senjata
canggih, baik kapal perang, pesawat pembom strategis, terus meningkatkan
kerja sama sistem pertahanan rudal dengan AS dan Jepang. Namun karena
posisinya yang cenderung dikatakan sebagai “deputy sheriff” AS di kawasan
Asia Pasifik, menyebabkan Australia tidak memiliki sikap yang jelas.
Australia selalu menempatkan kepentingan AS di atas kepentingan lain di
kawasan.

Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam rangka perang melawan
terorisme dan untuk melindungi kepentingan nasionalnya, Australia tetap
menerapkan doktrin pre-emptive strike, atau serangan untuk
mengantisipasi, yang tentunya sangat mengancam kedaulatan negara lain di
kawasan. Keberadaan kelompok pelarian separatis Papua di Australia yang
memperoleh simpati dari sebagian rakyatnya serta adanya sekelompok
negara di kawasan Pasifik Selatan yang masih memberikan dukungan
terhadap gerakan separatis di Papua melalui Ikatan Melanesian Brotherhood,
yang tentunya berpengaruh terhadap situasi politik dan keamanan dalam
negeri Indonesia.

Dalam konteks global, kemajuan di bidang teknologi informasi dan


komunikasi, di samping memudahkan interaksi antar negara,
menghadirkan tantangan multidimensional yaitu munculnya ancaman baru
melalui dunia maya (cyber space) yang dilakukan oleh aktor negara maupun
non-negara. Ancaman dunia maya (cyber threat) dapat bermotif kepentingan
individu, kelompok maupun negara, yang sulit diantisipasi karena sifatnya
yang unconventional, tidak mengenal front dan sasarannya sangat luas.

Amerika Serikat (AS) menyadari bahwa hegemoninya mendapat


tantangan serius dari perkembangan Tiongkok, yang memiliki potensi
perkembangan ekonomi yang sangat cepat dan secara konsisten terus
408

meningkatkan kemampuan teknologi serta pembangunan kekuatan militer.


AS berusaha mengisolasi Tiongkok melalui hubungan dekat dengan sahabat
lamanya, seperti Jepang dan Uni Eropa, kemudian terus berupaya
mendekati India, dan meningkatkan kemitraan dengan Rusia. Namun
usaha AS tersebut tidak sepenuhnya berhasil dan ternyata Tiongkok berhasil
meningkatkan pengaruhnya di kawasan Afrika dan Amerika Latin. Dinamika
persaingan kedua negara tersebut berpotensi menjadi penyebab terjadinya
konflik (key driver) yang sangat berpengaruh terhadap keamanan
internasional

Ancaman keamanan non-tradisional akan tetap menjadi ancaman


nyata, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki sistem
pengamanan dan pengawasan yang cenderung masih lemah akibat
rendahnya tingkat penguasaan teknologi. Ancaman dalam bentuk terorisme,
penyelundupan senjata dan obat-obatan, penyelundupan manusia, dan
pembajakan bersenjata tetap menjadi sumber gangguan keamanan
internasional.

Dengan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)


memungkinkan pelaku kejahatan internasional memperlengkapi dirinya
dengan sarana dan alat berteknologi tinggi, serta memanfaatkan dunia maya
sebagai medan operasinya sehingga sulit dihadapi. Isu keamanan non-
tradisional lainnya yang menonjol adalah upaya non-proliferasi senjata
pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction/WMD) yang ditempatkan
sebagai salah satu isu krusial dalam permasalahan keamanan global.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah menjaga agar senjata tersebut
tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak dikehendaki, terutama kelompok
teroris internasional.

t. Peran Diplomasi Pertahanan.

Terminologi “Diplomasi Pertahanan” terdiri dari dua kata, yaitu


diplomasi dan pertahanan. Untuk itu, sebelum membahas definisi dan hal-
ihwal yang menyangkut diplomasi pertahanan, perlu dibahas terlebih
dahulu tentang pengertian diplomasi serta hal-hal yang menyangkut
diplomasi tersebut. Secara etimologis, kata diplomasi berasal dari bahasa
Yunani “diploun”, yang mempunyai arti duplikasi atau menggandakan.

Sedangkan kata “diploma” juga erat kaitannya dengan kata dari


bahasa Inggris duplicity atau duplikasi, yang berarti menipu atau bermuka
dua, seperti budaya orang Bulgaria yang bila berkata “ya”, mereka
menggelengkan kepala. Dalam kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional, kata “diplomasi” diartikan sebagai
“urusan atau penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dan
negara yang lain; urusan kepentingan sebuah negara dengan perantaraan
wakil-wakilnya di negeri lain; pengetahuan dan kecakapan menggunakan
pilihan kata yang tepat bagi keuntungan pihak yang bersangkutan (dalam
perundingan, menjawab pertanyaan, mengemukakan pendapat, dan
sebagainya”). Sementara itu menurut Collins Dictionary, “diplomacy is the
activity or profession of managing relations between the governments of
different countries”, atau dalam bahasa Indonesia adalah aktivitas atau
profesi dalam mengatur hubungan antara pemerintah dari negara-negara
yang berbeda.
409

Beberapa pakar mendefinisikan “diplomasi” secara berbeda. Sir Ernest


Satow sejak tahun 1922 telah mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi
intelijen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah-
an yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan dengan
negara-negara jajahannya. Sejalan dengan definisi Satow, Barston
mendefinisikan diplomasi sebagai manajemen hubungan antar negara
dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara, melalui
perwakilan resmi dan aktor-aktor lain berusaha untuk menyampaikan,
mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus atau
yang lebih luas, yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak
resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan, dan aktivitas-
aktivitas lainnya yang terkait.

Dari beberapa definisi atau pendapat di atas, dapat diambil


kesimpulan bahwa diplomasi merupakan aktivitas yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah suatu negara dalam memperjuangkan kepentingan
negaranya dalam hubungan internasionalnya dengan menggunakan
berbagai macam atau cara berkomunikasi. Dari pengertian ini, maka terlihat
bahwa diplomasi dapat mempunyai berbagai bentuk, tergantung dengan
pejabat pemerintah yang melaksanakannya, kepentingan atau sektor
pemerintahan yang menjadi forum diplomasinya serta cara atau macam
komunikasi yang digunakan. Namun secara umum, diplomasi meng-
gunakan tata cara khusus serta memerlukan kompetensi yang khusus pula
dari para pelakunya.

Istilah “diplomasi pertahanan” belum banyak disinggung oleh literatur


tentang hubungan internasional atau politik antar bangsa. Beberapa pihak
mempunyai pendapat yang berbeda tentang jenis diplomasi ini, namun
pengertian umum dari “diplomasi pertahanan” atau defence diplomacy
adalah “the pursuit of foreign policy objectives through the peaceful
employment of defence resources and capabilities”. Disini terlihat bahwa
diplomasi pertahanan adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
diplomasi keseluruhan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal yang menjadi
pembeda dari jenis diplomasi yang lain adalah alat yang digunakan untuk
berdiplomasi, yaitu sumber daya dan kemampuan pertahanan suatu negara.

Diplomasi pertahanan adalah suatu konsep yang mengatur tentang


kegiatan internasional yang berhubungan dengan pertahanan yang bermula
dari pertimbangan kembali peran dari sektor pertahanan setelah usainya
perang dingin, yang dimulai oleh Kementerian Pertahanan Inggris, dan
adalah suatu prinsip “digunakan untuk membantu dunia Barat dalam
menyesuaikan dengan lingkungan keamanan internasional yang baru”.

Meskipun cakupan kegiatan diplomasi pertahanan sangat beragam,


pada umumnya diplomasi pertahanan tidak mencakup operasi militer, tetapi
mencakup kegiatan pertahanan dalam lingkup internasional yang lain
seperti pertukaran personel, kunjungan kapal perang dan pesawat militer,
pertemuan tingkat tinggi (dalam hal ini menteri pertahanan dan pejabat
senior kementerian pertahanan), pertemuan bilateral dan pembicaraan antar
staf (staff talks), pendidikan dan latihan (training and exercises), forum
pertahanan regional, program bantuan (outreach), tindakan untuk
membangun kepercayaan dan keamanan (confidence and security building
measures), dan kegiatan-kegiatan tentang pembatasan pengembangan
senjata (non-proliferation).
410

Banyak negara di dunia sudah secara konsisten menerapkan


diplomasi pertahanan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
diplomasi total yang dilakukan oleh pemerintah mereka, bahkan ada
beberapa negara yang menempatkan diplomasi pertahanan ini menjadi alat
utama dalam struktur diplomasi internasional mereka. Pemerintah Inggris
menetapkan diplomasi pertahanan sebagai satu dari delapan misi
pertahanan mereka, dimana diplomasi pertahanan diselenggarakan dengan
tujuan untuk “menghilangkan permusuhan, membangun dan memelihara
kepercayaan dan membantu penuh tanggung jawab” sehingga tercipta suatu
“kontribusi yang signifikan pada pencegahan dan resolusi konflik”.

u. Kompetensi yang diharapkan.

Diplomasi pertahanan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang


signifikan terhadap kebijakan pemerintah di bidang politik luar negeri,
khususnya di bidang pertahanan. Untuk memenuhi harapan tersebut,
diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) dari Kemhan dan TNI yang
mempunyai kompetensi yang memadai. Kompetensi yang dimaksud adalah
seperti yang dimaksudkan oleh Spencer & Spencer bahwa :

“A competency is an underlying characteristic of an individual that is


causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance
in a job or situation”.

Ada beberapa kompetensi yang telah dimiliki oleh seseorang, dan ada
beberapa yang bisa diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Organisasi
perlu mengembangkan kompetensi bagi para pejabat dan staf yang terlibat
dalam diplomasi pertahanan. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa pihak, kompetensi-kompetensi yang perlu
dikembangkan antara lain Language Skills, Diplomacy and Negotiation Skills,
Relationship Building, Information Seeking, dan Analytical Thinking.

Adapun pengertian dari kompetensi-kompetensi tersebut dapat


dijelaskan secara singkat. Language Skills adalah kemampuan mengguna
kan bahasa resmi internasional, baik kemampuan berbahasa aktif maupun
pasif. Diplomacy and Negotiation Skills adalah kemampuan untuk dapat
menyampaikan dan mengkoordinasikan kepentingan nasional negaranya
secara persuasif melalui korespondensi, bargaining, pembicaraan tidak
resmi, saling menyampaikan pandangan, lobby, kunjungan, dan aktivitas-
aktivitas lainnya yang terkait. Kompetensi Relationship Building merupakan
kemampuan untuk menjalin dan membina hubungan sosial atau jaringan
hubungan sosial agar tetap hangat dan akrab yang dapat berguna dalam
mencapai tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan.

Kompetensi Information Seeking merupakan kemampuan individu


dalam mencari informasi secara mendalam mulai dari mempertanyakan
secara langsung terhadap masyarakat, melakukan penelitian yang luas,
menemui orang lain untuk mendapatkan informasi, atau dapat dikatakan
besarnya usaha tambahan yang dikeluarkan untuk mengumpulkan
informasi lebih banyak sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan dan
pengambilan keputusan. Sedangkan Analytical Thinking adalah kemampuan
dalam berpikir analitis yang dibutuhkan bagi pelaksana diplomasi
pertahanan karena kemampuan ini menjadi instrumen dalam memahami
situasi dengan cara memecahkannya menjadi bagian-bagian yang lebih rinci
411

(faktor-faktor) atau mengamati keadaan tahap demi tahap berdasarkan


pengalaman masa lalu.

39. Diplomasi Militer TNI Saat Ini.

a. Umum.

Diplomasi pertahananan yang diwujudkan dalam kerja sama


internasional bidang pertahanan diselenggarakan untuk membangun saling
percaya antar bangsa sekaligus sebagai modalitas dalam mencegah konflik,
dengan tujuan membangun kapabilitas pertahanan bagi peningkatan
profesionalisme prajurit TNI melalui bidang pendidikan, latihan, pengadaan
alutsista strategis dan transfer teknologi bagi kemandirian sarana industri
pertahanan. Diplomasi militer sendiri yang telah diimplemantasikan dalam
berbagai forum kerja sama militer saat ini telah dirancang secara bilateral
maupun multilateral oleh Indonesia bersama-sama dengan negara-negara
sahabat untuk kepentingan bersama dan perdamaian dunia.

Kerja sama militer merupakan salah satu bentuk implementasi dari


politik luar negeri melalui diplomasi pertahanan dan militer, sehingga
apabila pelaksanaannya menemui banyak hambatan dan persoalan
tentunya akan memiliki implikasi yang negatif bagi terciptanya stabilitas
kawasan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Indonesia
senantiasa memandang penting untuk melaksanakan kerja sama militer, hal
ini di samping untuk mengakomodasikan kepentingan nasional, juga
sekaligus secara eksternal untuk tujuan menciptakan kawasan regional
yang aman dan damai. Sehingga diplomasi militer yang dijalankan harus
tetap diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut, sedangkan
implementasinya harus mengutamakan kepentingan nasional bangsa
Indonesia

b. Matrik Level Hubungan diplomatik militer TNI dengan Negara-


Negara Sahabat.

Walaupun Indonesia menganut politik bebas aktif dan Non Blok,


namun dalam pelaksanaan diplomasi militer sesuai Blue Print Diplomasi
Militer TNI (2019-2024), terdapat beberapa skala hubungan militer TNI
dengan Angkatan Bersenjata Negara sahabat, sebagai berikut :

1) Prioritas 1, Comprehensive Strategic Partnership yaitu TNI


meletakkan pelaksanaan diplomasi militer pada tingkatan tertinggi
untuk negara-negara ASEAN dan negara yang berbatasan langsung
dengan Republik Indonesia . Adapun negara-negara tersebut antara
lain, Brunei Darusalam, Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura,
Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, Timor Leste, India, Papua Nugini,
Republik Palau dan Australia. Pada dasarnya sesama negara-negara
anggota ASEAN memiliki kepentingan bersama untuk menciptakan
kawasan yang aman dan damai. Walaupun Indonesia masih memiliki
permasalahan perbatasan dengan negara-negara ASEAN namun itu
tidak menjadikan kendala dalam membangun kemitraan bagi TNI
dengan Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN. TNI telah lama
menjalin kerja sama militer bilateral dengan sembilan negara ASEAN
lainnya dengan kualitas dan kuantitas bidang kerja sama yang
berbeda-beda. Dengan pertimbangan semakin tingginya kualitas dan
kuantitas kerja sama militer bilateral yang ada, maka saat ini TNI telah
412

menjalin kerja sama tingkat tinggi (High Level Committee/HLC) dengan


lima negara di ASEAN, yakni dengan: Brunei Darussalam, Filipina,
Singapura, Malaysia dan Thailand. Lingkup kerja sama pada
umumnya meliputi: kerja sama intelijen, operasi dan latihan,
pendidikan dan logistik serta kerja sama lainnya yang disepakati
bersama. Sementara itu, dengan Malaysia yang memiliki perbatasan
darat dan laut secara langsung, telah dilaksanakan kerja sama
pengamanan di sepanjang perbatasan darat secara bilateral. Berikut
ini permasalahan perbatasan yang belum selesai dengan negara-
negara ASEAN:

a) Indonesia–Filipina. Indonesia dan Filipina memiliki


permasalahan perbatasan di Pulau Miangas serta tumpang
tindih Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Pulau Mindanau
dan Laut Sulawesi.

b) Indonesia-Malaysia.

(1) Pada tahun 1967, tidak lama setelah perbaikan


hubungan Malaysia-Indonesia, pakar hukum laut kedua
negara bertemu untuk membicarakan batas-batas
teritorial. Kedua negara saling membuka peta, dan
ternyata Indonesia dan Malaysia memasukkan Pulau
Sipadan dan Ligitan ke dalam peta kedaulatan. Kedua
negara menyatakan kedua pulau itu status quo. Indonesia
memahami status quo sebagai kedua pihak tidak
mengusik wilayah sengketa. Malaysia sebaliknya. Status
quo dipahami sebagai kedua pulau itu masih milik
Malaysia sampai ada penyelesaian soal status baru.
Indonesia tidak melakukan apapun di pulau yang terletak
di Selat Makassar. Sipadan membentang seluas 50 ribu
meter persegi dengan koordinat 46′52,86″ LU
11837′43,52″ BT. Ligitan seluas 18 ribu meter persegi
dengan 49′LU 11853′BT Indonesia ingin masalah ini
diselesaikan Dewan Tinggi ASEAN, tapi Malaysia lebih
suka menggunakan Mahkamah Internasional (MI). Tahun
1988, Sipadan dan Ligitan dibawa ke MI. Pada 17
Desember 2002, MI memutuskan lewat voting di lembaga
itu yang memenangkan Malaysia dengan 16 berbanding
satu. Artinya, hanya satu hakim yang memenangkan
Indonesia, yaitu hakim pilihan Jakarta. Kemenangan
Malaysia berdasarkan pertimbangan efektivitas. Inggris,
penjajah Malaysia, melakukan tindakan admistratif
dengan penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung.
Alasan lain, berdasarkan chain of title rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu. Blok Ambalat adalah
kawasan perairan di Laut Sulawesi, tepatnya di sebelah
timur Pulau Kalimatan. Tahun 1969, Malaysia dan
Indonesia menandatangani Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia-Malaysia, dan diratifikasi pada
tahun itu pula. Kurang setahun sejak penandatanganan
perjanjian itu, kedua negara kembali meneken Perjanjian
Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia pada 17 Maret 1970.
Namun tahun itu pula Malaysia secara sepihak membuat
peta baru tanpa batas kontinental, dan memasukan
413

Ambalat ke dalam wilayahnya dengan memajukan


kordinat 4 10′ arah utara melewati Pulau Sebatik.
Indonesia menolak klaim itu, dan merujuk Perjanjian
Tapal Batas Kontinental 1969 dan Persetujuan Tapal
Batas Laut Indonesia-Malaysia 1970. Ambalat memang
wilayah laut, tapi dicurigai menyimpan kandungan
minyak dan gas. Sengketa Blok Ambalat mungkin yang
paling panas. Di perairan, kapal-kapal Indonesia dan
Malaysia saling halau. Di Jakarta, warga turun ke jalan
mengecam Malaysia. TNI merespon situasi dengan keras.
Tidak ingin lagi kehilangan wilayah ke pangkuan
Malaysia, TNI memperingatkan Malaysia tidak mem
provokasi konflik terbuka. Namun di setiap perundingan,
Malaysia tetap mengatakan Blok Ambalat sebagai
miliknya, dan mengirim nota diplomatik berisi protes atas
kehadiran TNI.

(2) Malaysia menghentikan provokasinya di Blok


Ambalat, tapi meneruskannya di wilayah lain, yaitu
Camar Bulan dan Tanjung Datu. Camar Bulan adalah
satu desa. Tanjung Datu adalah daratan yang menjorok
ke laut di ujung barat Pulau Kalimatan, yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Setelah ditemukan patok yang
dihancurkan, yang membuat Malaysia berhak mengklaim
Desa Camar Bulan, ketegangan kedua negara tak
terhindarkan. Indonesia merespon keras, yang membuat
Malaysia menahan diri. Itu tidak lama. Persoalan
mengemuka lagi ketika Malaysia membangun mercusuar
di Tanjung Datu. Menhan Republik Indonesia
menyatakan Tanjung Datu dan Camar Bulan adalah
Outstanding Boundary Problems (OBP), yang masih dalam
proses perundingan. Tanjung Datu seluas 4.750 kilometer
persegi, dan dihuni 493 kepala keluarga

c) Indonesia–Singapura. Di sebelah utara Pulau Karimun


Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga
negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua
wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut.
Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar
melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi
perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia)
yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah
menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun
2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa batas laut yang
ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1
kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus
2010.

d) Indonesia-Thailand. Garis Batas Landas Kontinen


Indonesia dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik
pertemuan ke arah Tenggara. Hal itu disepakati dalam
perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand
tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman
pada 11 Desember 1973. Titik koordinat batas Landas Kontinen
414

Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan


sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena
itu, sudah selayaknya perjanjian penetapan titik-titik koordinat
di atas ditinjau kembali. Apalagi Thailand telah mengumumkan
Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada 23
Februari 1981, yang isinya; “The exclusive Economy Zone of
Kingdom of Thailand is an area beyond and adjacent to the
territorial sea whose breadth extends to two hundred nautical
miles measured from the baselines use for measuring the breadth
of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut
tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara.

e) Indonesia–Vietnam. Hingga saat ini Indonesia dan


Vietnam memiliki permasalahan yang belum selesai yaitu
perbatasan laut, khususnya ZEE yang berdampak masih
banyaknya nelayan Vietnam yang melakukan penangkapan ikan
illegal di wilayah ZEE Indonesia. Perbatasan Indonesia–Vietnam
adalah perbatasan maritim yang terletak di Laut Cina Selatan di
sebelah utara Kepulauan Natuna, Indonesia. Kedua negara ini
telah menandatangani kesepakatan yang menetapkan
perbatasan landas benua masing-masing pada tanggal 26 Juni
2003 di Hanoi, Vietnam.

f) Indonesia–Timor Leste. Permasalahan perbatasan darat


masih terjadi antara kedua Negara. Di Desa Naktuka di
Kecamatan Amfoang Timur, Nusa Tenggara Timur yang diklaim
kedua negara, ditempati 50 keluarga asal Timor Leste yang
menguasai lahan itu. Padahal sesuai perjanjian kedua negara
lokasi itu masuk zona bebas. Hingga saat ini permasalahan
tersebut memiliki potensi kekerasan antar warga dari kedua
negara yang beranggapan wilayah tersebut adalah tanah leluhur
masing-masing pihak.

2) Prioritas 2, Strategic Partnership yaitu TNI meletakkan


pelaksanaan diplomasi militer pada tingkatan menengah untuk
negara-negara yang berpengaruh di kawasan serta negara yang
tergabung dalam ADMM Plus. Indonesia yang menganut politik luar
negeri yang bebas aktif telah mengimplementasikannya dalam
berbagai bidang kerja sama, antara lain kerja sama militer bilateral
dengan negara-negara di luar ASEAN yang tergabung dalam ADMM
Plus, yakni dengan: Australia, Tiongkok, India, Jepang, Korea, New
Zealand, Rusia dan Amerika Serikat.

a) Indonesia-Australia. Kerja sama militer bilateral dengan


Australia sebagai negara tetangga di selatan yang berbatasan
laut secara langsung, telah diwadahi dalam bentuk kerja sama
tingkat tinggi (HLC) antara TNI dengan Australian Defence Forces
(ADF) atau AUSINDO HLC, namun hubungan kerja sama militer
bilateral ini banyak dipengaruhi oleh pasang surut hubungan
politik kedua negara. Australia yang merupakan anggota FPDA
memiliki kebijakan politik luar negeri yang perlu diwaspadai
yaitu penempatan 2.500 personel US Marines di Darwin dan
penerapan Turn Back Boats dalam menghadapi imigran gelap,
mengakomodasi kepentingan KSP untuk memisahkan diri dari
415

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan potensi sengketa Gap


Timor yang memiliki kandungan minyak.

b) Indonesia-Tiongkok. Kerja sama militer bilateral dengan


Tiongkok telah terjalin lama, dan sejak tahun 2007 kedua
negara telah memiliki kesepakatan (MoU) kerja sama bidang
pertahanan secara formal, selanjutnya sejak tahun 2011 kedua
negara juga telah memiliki kesepakatan kerja sama di bidang
Industri Pertahanan. Namun secara kuantitas dan kualitas kerja
sama kedua negara relatif masih terbatas pada bidang: latihan
bersama khususnya oleh Pasukan Khusus kedua negara,
pertukaran pendidikan, pelatihan dan saling kunjung pejabat,
serta kerja sama industri pertahanan antara lain pengadaan
alutsista TNI. Prospek kerja sama dengan Tiongkok sebagai
negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang besar
di kawasan tentunya ke depan perlu ditingkatkan melalui
berbagai bentuk dan kolaborasi kerja sama untuk kepentingan
bersama. Ancaman paling nyata yang mungkin terjadi di
kawasan regional salah satunya adalah ancaman nontradisional
berupa pelanggaran wilayah perbatasan di kawasan yang
berpotensi konflik di Laut China Selatan (LCS) yang berimplikasi
mengancam stabilitas nasional Indonesia. Walaupun Indonesia
bukan termasuk climed state terhadap wilayah Laut China
Selatan namun perebutan ruang itu akan memberikan implikasi
luas terhadap politik, ekonomi dan keamanan kawasan, sebab
pengendalian ruang di Laut China Selatan akan berhubungan
langsung dengan keamanan energi dan keamanan maritim serta
keamanan wilayah udara yang senantiasa ke depan tetap
menjadi perhatian dunia internasional.

c) Indonesia-India. Kedua negara ini masih memiliki


parmasalahan perbatasan di laut Andaman, Samudera Hindia
antara perairan Sumatera dan Pulau Nikobar. Garis Batas
Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang
ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada
di Laut Andaman. Namun kerja sama militer bilateral dengan
India telah terjalin efektif sejak tahun 2001, yaitu adanya
kesepakatan (MoU) di bidang kerja sama pertahanan kedua
negara. Kuantitas dan kualitas kegiatan kerja sama militer
bilateral yang terjalin cukup memadai, antara lain adanya
pertemuan rutin Joint Defence Cooperation Committe (JDCC) dan
pertemuan antar Angkatan (Service to Service Talk) kecuali
pertemuan antar Angkatan Udara belum terbentuk, kerja sama
intelijen, kerja sama pengamanan “Patkor Indindo” di peraian
perbatasan kedua negara, latihan bersama antar Angkatan
(matra), pertukaran pendidikan dan pelatihan. Prospek kerja
sama dengan India sebagai negara besar yang berbatasan
perairan secara langsung dengan Indonesia, tentunya masih
perlu ditingkatkan melalui berbagai bentuk dan kolaborasi kerja
sama.

d) Indonesia-Jepang. Kedua negara pernah memiliki sejarah


yang suram di masa penjajahan namun saat ini kedua negara
memiliki hubungan yang erat di sektor ekonomi, Jepang
merupakan pasar ketiga ekspor Indonesia dan Investor terbesar
416

kedua di Indonesia. 39 Kerja sama militer bilateral dengan


Jepang masih sangat terbatas, walaupun telah terdukung
adanya kesepakatan berupa Memorandum kerja sama bidang
pertahanan kedua negara pada tahun 2015. Bentuk 39 Presiden
Republik Indonesia kerja sama yang telah terjalin selama ini,
baru berupa: pertemuan antar Angkatan (Service to Service Talk)
kecuali pertemuan antar Angkatan Udara belum terbentuk,
pertemuan tingkat staf “TNI-JSDF Staff Talk” sejak tahun 2011
(namun pelaksanaannya tidak konsisten), pertukaran
pendidikan dan pelatihan serta kunjungan.

e) Indonesia-Korea Selatan. Hubungan kedua negara


semakin kuat dengan ditandainya penandatanganan tiga kerja
sama pada tanggal 9 November 2017 yaitu kerja sama bidang
industri, transportasi dan kesehatan. Sementara itu kerja sama
militer bilateral dengan Korea Selatan masih terbatas, walaupun
telah terdukung adanya kesepakatan berupa (MoU) kerja sama
bidang pertahanan kedua negara sejak tahun 2013. Bentuk
kerja sama militer berupa: pertemuan antar Angkatan (Service
to Service Talk), pertukaran pendidikan dan pelatihan serta
kunjungan dan kerja sama industri pertahanan khususnya
pengadaan sejumlah alutsista kapal perang dan pesawat udara
untuk TNI.

f) Indonesia-Selandia Baru. Hubungan diplomatik kedua


negara terjalin sejak tahun 1950 dan kedua negara banyak
mengikuti organisasi internasional seperti APEC. Hal yang perlu
diwaspadai adalah Selandia Baru merupakan salah satu
anggota FPDA bersama dengan Malaysia, Singapura, Australia
dan Inggris yang dapat menjadi bayang-bayang penyelesaian
sengketa kepulauan dengan Malaysia dan FIR dengan
Singapura. Kerja sama militer bilateral dengan New Zealand
masih sangat terbatas di bidang pertukaran pendidikan dan
kunjungan dan belum didukung adanya kesepakatan (MoU)
kerja sama bidang pertahanan dan militer secara formal.
Namun, kerja sama militer dengan New Zealand Defence Force
(NZDF) secara politis menjadi penting dan perlu ditingkatkan
secara bertahap dalam rangka mempertahankan dukungan
secara politis bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia .

g) Indonesia-Rusia. Sesuai dengan catatan sejarah


berlangsung mengikuti pasang surut hubungan politik kedua
negara. Pada masa pemerintahan Orde Lama sejumlah besar
alutsista TNI didatangkan dari Rusia khususnya untuk
mendukung kampanye militer pembebasan Irian Jaya dari
tangan penjajah Belanda, namun Alutsista tersebut seiring
dengan perjalanan waktu mengalami degradasi pada
pemerintahan Orde Baru. Bentuk kerja sama militer saat ini di
samping pertukaran pendidikan, pelatihan dan kunjungan yang
terbatas, serta kerja sama industri pertahanan berupa
pengadaan sejumlah Alutsista yang relatif masih terbatas.
Perjanjian Kerja Sama bidang pertahanan sudah ditandatangani
pada tanggal 18 Mei 2016 namun belum diratifikasi. Pada KTT
OPEC bulan Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia dan
417

Presiden Rusia sepakat untuk mengadakan kerja sama


infrastruktur dan hal ini dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
mendukung terwujudnya visi maritim Indonesia.

h) Indonesia-Amerika Serikat. Sudah berlangsung lama yang


meliputi: dialog keamanan berkala, latihan bersama, pendidikan
dan pelatihan, industri pertahanan termasuk pengadaan
peralatan militer dan bentuk kegiatan kerja sama lainnya. Sejak
tahun 2010 kerja sama militer didasarkan pada Kerangka
Pengaturan Kerja Sama (Framework Arrangement) yang
implementasinya selalu dievaluasi melalui pertemuan
Indonesia-United States Security Strategic Dialog (IUSSD) dan
United States Bilateral Defence Dialog (USIBDD). Saat ini dalam
proses finalisasi penyusunan kesepakatan dalam bentuk Joint
Vision kerja sama bidang pertahanan kedua negara yang
rencananya disahkan oleh Menhan kedua negara pada
kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Amerika
Serikat pada akhir tahun 2015. Wakil Presiden Amerika Serikat
(AS) Mike Pence dan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK)
menyaksikan penandatanganan 11 kesepakatan kerja sama
perdagangan dan investasi. Dalam kesepakatan tersebut, AS
akan mendatangkan teknologi mutakhirnya guna mendukung
kebutuhan energi di Indonesia dan mendukung proses limbah
menjadi produk sampingan bernilai tinggi.

Dalam rangka merespon era perubahan Revolusi Industri


Pemerintah Indonesia dan AS juga menyepakati bahwa kedua
negara sepakat berbagi informasi terkait perkembangan terkini
niaga elektronik (e-commerce) di AS dan kebijakan pemerintah
AS dalam mengembangkan perniagaan elektronik yang
disepakati pada kegiatan pertemuan bilateral Indonesia-AS
Trade Investment Framework Agreement (TIFA) di Jakarta.41

3) Prioritas 3, Partnership Relation yaitu TNI meletakkan


pelaksanaan diplomasi militer pada tingkatan rendah untuk negara-
negara yang tidak berpengaruh langsung di kawasan, namun memiliki
potensi kerja sama militer dengan TNI. Adapun negara-negara tersebut
antara lain:

a) Indonesia dengan negara-negara besar dan lainnya. Saat


ini Indonesia telah menjalin kerja sama militer dengan negara-
negara besar mitra lainnya selain Negara-negara yang tergabung
dalam ADMM Plus, akan tetapi kualitas dan kuantitasnya belum
dikembangkan dan kurang mengakomodir upaya-upaya
antisipatif gelombang pengaruh perkembangan lingkungan
strategis, serta masih dalam konteks sekedar aplikasi CBM dan
hanya beberapa negara khususnya di wilayah Eropa kerja sama
militer dilaksanakan dalam bidang pengadaan alutsista dan
ToT. Pada tahun 2017 telah dilaksanakan penandatanganan
perjanjian baru dengan lima negara yaitu Perancis, Brazil,
Guinea Bissau, Peru dan Kamboja yang masing-masing negara
memiliki karakteristik dan keunggulan komparatif tersendiri.

b) Indonesia dengan Negara-negara Indo Pasifik. Kerja sama


negara-negara di kawasan Indo-Pasifik sedang dimatangkan
418

oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Negara-


negara Indo-Pasifik memiliki nilai strategis bagi Indonesia
sebagai negara maritim yang menghubungkan Samudera Hindia
dan Pasifik. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia,
Jepang dan lainnya sudah terbangun kerja sama sejak lama.
Sementara itu untuk negara-negara di Afrika baru dengan Afrika
Selatan yang memiliki perjanjian kerja sama di bidang
pertahanan yang ditanda tangani pada tahun 2008 namun
belum diratifikasi. Ada beberapa negara yang perlu mendapat
perhatian yaitu Negara-negara Federasi Mikronesia (Nauru),
Polinesia (Tonga, Tuvalu) dan kepulauan Solomon yang
memberikan dukungan terhadap isu-isu keamanan di Papua
Barat.

c. Pinak, Kekuatan, Kemampuan dan gelar diplomasi TNI saat ini.

1) Piranti Lunak. Sampai saat ini belum disusun peranti lunak


sebagai pedoman dalam menyelenggarakan diplomasi militer. Selama
ini, pelaksanaan hubungan kerja sama yang merupakan salah satu
perwujudan diplomasi militer didasarkan atas pedoman pelaksanaan
kerja sama militer yang telah ada. Sedangkan pedoman pelaksanaan
diplomasi militer masih menggunakan aturan yang tersirat dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri yaitu pada pasal 4 yang mencantumkan “Politik Luar Negeri
dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif,
tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian,
serta rasional dan luwes dalam pendekatan”. Di dalam Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, penjelasan tentang
diplomasi dinyatakan dalam pasal 7 tentang tugas pokok TNI yang
dilaksanakan dalam bentuk OMSP “melaksanakan tugas perdamaian
dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri” dan pasal 9 yaitu
salah tugas TNI Angkatan Laut “melaksanakan tugas diplomasi
Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri
yang ditetapkan oleh pemerintah”.

2) Kekuatan. Dalam melaksanakan diplomasi militer, yang menjadi


unsur kekuatan yaitu organisasi dan alutsista yang menjadi wadah
dan sarana yang digunakan untuk kegiatan diplomasi militer meliputi:

a) Mabes TNI.

(1) Unsur Pimpinan, memiliki tugas dalam menyusun


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer dalam
tataran strategis.

(2) Unsur Staf, memiliki tugas merumuskan kebijakan


dan menyelenggarakan diplomasi dengan menggunakan
forum/sarana dari empat bidang yaitu intelijen, operasi
dan latihan, personel dan logistik serta bidang-bidang
lainnya yang memiliki turunan atau dikategorikan dalam
ke empat bidang tersebut yaitu :

(a) Staf Intelijen, merumuskan kebijakan dan


strategi serta menyelenggarakan diplomasi militer
419

dengan menggunakan forum/sarana bidang


intelijen.

(b) Staf Operasi dan Latihan; merumuskan


kebijakan dan strategi serta menyelenggarakan
diplomasi militer dengan menggunakan forum/
sarana bidang operasi dan latihan.

(c) Staf Personel; merumuskan kebijakan dan


strategi serta menyelenggarakan diplomasi militer
dengan menggunakan forum/sarana bidang
personel.

(d) Staf Logistik; merumuskan kebijakan dan


strategi serta menyelenggarakan diplomasi militer
dengan menggunakan forum/sarana bidang
logistik.

(e) Staf Komlek; merumuskan kebijakan dan


strategi serta menyelenggarakan diplomasi militer
dengan menggunakan forum/sarana bidang
komunikasi dan elektronika dan dalam
pelaksanaannya di bawah pengawasan dan
kegiatan intelijen.

(3) Balakpus di lingkungan TNI yang memiliki


hubungan kerja sama internasional yaitu:

(a) BAIS TNI, memiliki tugas menyelenggarakan


diplomasi militer dengan menggunakan
forum/sarana bidang intelijen dan bertanggung
jawab terhadap diplomasi militer yang dilaksanakan
oleh Atase Pertahanan dan Penasihat Militer di
Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB.

(b) Babinkum TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana hukum dan HAM yang dalam
pelaksanaannya di bawah kegiatan dan pengawas
an bidang operasi.

(c) Puspen TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana media informasi yang dalam
pelaksanaannya di bawah kegiatan dan pengawas-
an bidang intelijen.

(d) Puskes TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana kesehatan militer yang dalam
pelaksanaannya di bawah kegiatan dan
pengawasan bidang operasi.

(e) Pusbintal TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana pembinaan mental yang
420

dalam pelaksanaannya di bawah kegiatan dan


pengawasan bidang personel.

(f) Pusjarah TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana penggalian sejarah yang
dalam pelaksanaannya di bawah kegiatan dan
pengawasan bidang operasi.

(g) Puskersin TNI, merumuskan kebijakan


umum TNI dan mengorganisasikan kegiatan kerja
sama internasional di lingkungan TNI dan
mengoordinasikan kepentingan diplomasi TNI.

(h) PMPP TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelenggarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana penugasan pasukan
perdamaian dunia yang dalam pelaksanaannya di
bawah kegiatan dan pengawasan bidang operasi.

(i) Pusjianstra TNI, memiliki tugas merumuskan


kebijakan dan menyelengarakan diplomasi militer
melalui forum/sarana pengkajian strategis yang
dalam pelaksanaannya di bawah kegiatan dan
pengawasan bidang operasi.

b) Mabes Angkatan. Menyusun kebijakan dan menyeleng


garakan diplomasi militer sesuai dengan matra/fungsi di
lingkungan Angkatan.

c) Alutsista. Alutsista yang digunakan oleh TNI AD, TNI AL


dan TNI AU selain digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara, juga dapat digunakan untuk kepentingan pelaksanaan
diplomasi militer. Alutsista yang dapat digunakan untuk
melaksanakan diplomasi militer oleh TNI antara lain :

(1) Panser Anoa buatan Pindad yang digunakan oleh


TNI AD dalam misi perdamaian dunia di bawah bendera
PBB;

(2) kapal TNI AL untuk melaksanakan lawatan ke luar


negeri antara lain jenis kapal layar tiang tinggi, frigate dan
kapal Satuan Patroli;dan

(3) pesawat TNI AU yang digunakan untuk


melaksanakan diplomasi militer antara lain jenis Boeing
Kepresidenan BBJ-2/A001, pesawat tempur F-16 dan
jenis lain yang digunakan untuk latihan bersama
Angkatan Bersenjata negara lain serta Jupiter Aerobatic
Team yang menggunakan pesawat KT-1 Woong Bee.

3) Kemampuan.

Secara umum diplomasi dilaksanakan untuk mengedepankan


kepentingan nasional melalui hubungan kerja sama dengan negara-
negara lain. Oleh karena itu dalam melaksanakan diplomasi
421

diperlukan kepiawaian personel untuk melaksanakan persuasi dalam


membuat komitmen dalam rangka melindungi kepentingan nasional.
Diplomasi militer yang dilakukan oleh TNI saat ini secara khusus
adalah untuk kepentingan militer yang dampaknya berpengaruh
terhadap kepentingan nasional. Diplomasi militer dilaksanakan
melalui kerja sama militer yang bermanfaat untuk membangun
kepercayaan dan persahabatan (confidence building measure),
diplomasi mencegah konflik (preventive diplomasi), meningkatkan
kemampuan pertahanan (defense capacity), meningkatkan keamanan
bersama (security enhancement), pemeliharaan perdamaian dunia
(peacekeeping operation) serta mendukung kebijakan politik luar
negeri Pemerintah Republik Indonesia . Kerja sama militer
dilaksanakan tidak untuk membentuk kekuatan bersama regional,
tetapi untuk kerja sama menciptakan perdamaian khususnya dalam
bentuk cooperative security.

Bentuk diplomasi militer yang dilakukan oleh TNI adalah


sebagai berikut:

a) Pertemuan (Meeting). Pertemuan merupakan bentuk


diplomasi militer yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi militer
maupun para staf militer yang disebabkan adanya perbedaan
kepentingan nasional. Pertemuan ini diselenggarakan berupa
forum tatap muka membahas kesepakatan-kesepakatan
maupun rencana kerja sama di bidang militer. Pertemuan ini
juga dapat dijadikan sarana perundingan untuk membahas
kesepakatan dalam mengatasi permasalahan. Jenis-jenis
pertemuan adalah sebagai berikut:

(1) Perundingan. Pada umumnya perundingan yang


dilakukan oleh TNI adalah membahas rencana kerja sama
baik secara bilateral maupun multilateral. Perundingan
ini dilakukan untuk mencari kesepakatan mengingat
banyaknya permasalahan terutama masalah perbatasan
dan adanya perbedaan kepentingan nasional. Dalam hal
menyusun kerja sama di bidang pertahanan atau Defence
Cooperation Agreement (DCA), TNI terlibat sebagai anggota
delegasi dengan leading sector Kementerian Pertahanan.
Sampai saat ini terdapat 39 DCA yang telah
ditandatangani secara bilateral dan 14 perjanjian telah
diratifikasi. Untuk kerja sama antar bidang yaitu intelijen,
operasi, personel dan logistik yang diwujudkan dalam
term of reference (ToR) telah dilaksanakan dengan 9
negara yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia,
Singapura, Thailand, Amerika Serikat, Australia, Belanda
dan Korea Selatan. Sedangkan kesepakatan yang
dilakukan antar angkatan sebanyak 13 negara, dengan
rincian TNI AD sebanyak 4 buah dan TNI AL sebanyak 11
kesepakatan.

(2) Pertemuan Tingkat Angkatan. Pertemuan yang


dilaksanakan baik secara service to service maupun
secara multilateral sesuai dengan kematraan.
422

(a) TNI AD.

i. Bilateral. Melaksanakan Army to Army


Staff Talks dengan negara-negara Amerika
Serikat, India, Australia, Jepang, Korea
Selatan, Kamboja dan Pakistan

ii. Multilateral.

(i) ASEAN Chief of Armies Multilatral


Meeting (ACAMM). Merupakan forum
pertemuan Kepala Staf Angkatan Darat
ASEAN.

(ii) ASEAN Armies Rifle Meet (AARM).

(iii) ASEAN Sergeant Major Annual


Meeting (ASMAM). Pertemuan para
Sersan Mayor seASEAN.

(b) TNI AL.

i. Bilateral. Melaksanakan Navy to Navy


Talk (NTNT) dengan negara-negara Thailand,
Belanda, Amerika Serikat, India, Filipina,
Vietnam, Malaysia, Australia, Pakistan, China
dan Singapura serta Intelligence Exchange
dengan negara-negara Singapura, Thailand,
dan Filipina.

ii. Multilateral.

(i) ASEAN Navy Chief’s Meeting


(ANCM). Forum pertemuan Kepala Staf
Angkatan Laut ASEAN.
(ii) Western Pacific Naval Symposium
(WPNS).

(iii) Indian Ocean Naval Symposium


(IONS).

(iv) Malaysia–Singapura–Indonesia–
Thailand (MALSINDOTHAI).

(v) Indonesia-Malaysia-Filipina
(INDOMALP Hubungan Internasional).

(c) TNI AU.

i. Bilateral. Melaksanakan Airman to


Airman Talks dengan negara-negara Amerika
Serkat, Australia dan Korea Selatan.

ii Multilateral.
423

(i) ASEAN Air Chiefs Conference


(AACC). Forum pertemuan antar Kepala
Staf Angkatan Udara negara-negara
ASEAN.

(ii) Malaysia–Singapura–Indonesia
Thailand (MALSINDOTHAI).

(iii) Indonesia-Malaysia-Filipina
(INDOMALP Hubungan Internasional).

b) Kunjungan (Exchange Visit). Kegiatan saling kunjung


pejabat merupakan kegiatan kunjungan antara kedua
pemimpin militer/angkatan untuk membahas kerja sama/
peningkatan kerja sama pertahanan/militer. Kegiatan kunjung
an juga dilakukan oleh para staf untuk membahas peningkatan
kerja sama teknik militer sesuai bidangnya. Selain itu juga
dilaksanakan kegiatan saling kunjung oleh para siswa militer
dalam rangka bertukar pandangan dan pengalaman. Pada
tahun 2017 kegiatan saling kunjung antara pemimpin
militer/pertahanan kedua negara telah dilakukan sebanyak 46
(empat puluh enam kali) yang terdiri dari kunjungan ke luar
negeri sebanyak 6 (enam) kali dan penerimaan kunjungan
sebanyak 40 (empat puluh) kali.

c) Latihan Bersama (Joint Exercises). Latihan bersama


merupakan kegiatan kerja sama internasional antar TNI dengan
Angkatan Bersenjata negara lain yang bertujuan meningkatkan
kemampuan naluri tempur para personel TNI dalam rangka
meningkatkan kemampuan pertahanan (defense capacity) yang
sekaligus dapat berfungsi untuk membangun kepercayaan dan
persahabatan (confidence building measure), diplomasi
mencegah konflik (preventive diplomasi) dan meningkatkan
keamanan bersama (security enhancement). Dalam kegiatan
latihan bersama ini dapat digunakan untuk sarana berdiplomasi
untuk kepentingan nasional.

d) Patroli Terkoordinasi (Coordinated Patrol). Patroli


Terkoordinasi (Patkor) merupakan kegiatan kerja sama
internasional pada bidang operasi dengan melaksanakan patroli
secara bersama-sama di wilayah kedaulatan masing-masing.
Tujuannya untuk menciptakan kawasan regional yang aman
(security enhancement) yang sekaligus dapat berfungsi untuk
membangun kepercayaan dan persahabatan (confidence building
measure), diplomasi mencegah konflik (preventive diplomasi) dan
meningkatkan kemampuan pertahanan (defense capacity).
Patroli Terkoordiansi yang telah dilakukan TNI dan Angkatan
Bersenjata negara lain sebanyak lima negara yaitu dengan
Australia, Filipina, India Malaysia dan Singapura. Namun
dengan adanya konflik penamaan KRepublik Indonesia Usman
Harun, maka pada tahun 2014 Patroli Terkoordinasi dengan
Singapura dihentikan.

e) Pendidikan dan Latihan (Education and Training). Kerja


sama Pendidikan dan Latihan antara TNI dengan Angkatan
424

Bersenjata negara-negara lain telah dilaksanakan dengan 16


(enam belas) negara. Tujuannya untuk meningkatkan
kemampuan personel TNI dalam rangka meningkatkan
kemampuan pertahanan (defense capacity) sekaligus dapat
berfungsi untuk membangun kepercayaan dan persahabatan
(confidence building measure), menciptakan kawasan regional
yang aman (security enhancement) dan diplomasi mencegah
konflik (preventive diplomasi). Dalam kegiatan pendidikan dan
latihan dapat digunakan untuk sarana berdiplomasi untuk
kepentingan nasional.

f) Pembukaan Kantor-Kantor Perwakilan Pertahanan/


Militer di Negara-Negara Sahabat. Untuk kepentingan
pertahanan dan militer telah dibuka kantor-kantor Atase
Pertahanan di berbagai negara. Keberadaan Kantor Atase
Pertahanan ini adalah untuk memberikan data dan informasi
intelijen bagi kebutuhan TNI/Kemhan serta kegiatan protokoler
dalam rangka untuk membangun kepercayaan dan
persahabatan (confidence building measure), menciptakan
kawasan regional yang aman (security enhancement) dan
diplomasi mencegah konflik (preventive diplomasi). Peranan
Atase Pertahanan tidak hanya menyuarakan kepentingan militer
dan pertahanan tetapi juga menjadi perwakilan TNI secara
keseluruhan sehingga keberadaannya juga diharapkan dapat
menjadi perpanjangan tangan TNI dalam memperjuangkan
kepentingan nasional.

g) Penugasan Perdamaian Dunia (Peacekeeping). Penugasan


personel TNI dalam peacekeeping merupakan implementasi dari
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
alinea keempat yaitu untuk ikut serta secara aktif dalam
menjaga perdamaian dunia. Penugasan personel TNI pada misi
perdamaian di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) selain mengemban tugas dalam melaksanakan politik
negara yang bebas aktif juga dapat dijadikan sarana diplomasi
untuk mencapai tujuan nasional. Sebelum melaksanakan
penugasan misi PBB, para personel TNI telah mendapat
pembekalan sebagai pasukan PBB sesuai dengan yang
distandarkan oleh PBB.

4) Gelar.

Penggelaran kekuatan dan kemampuan diplomasi militer harus


berdasarkan potensi ancaman. Sementara itu, ancaman paling nyata
yang mungkin terjadi di kawasan regional yang salah satunya adalah
ancaman nontradisional berupa pelanggaran wilayah perbatasan di
kawasan yang berpotensi konflik serta timbulnya berbagai isu-isu
keamanan dengan mengunakan wilayah perbatasan sebagai entry
point yang berimplikasi mengancam stabilitas nasional Indonesia.
Dampak ini juga terkadang akan memberikan implikasi luas terhadap
politik, ekonomi dan keamanan kawasan. Selain itu penggelaran
kekuatan dan kemampuan diplomasi militer juga ditujukan sebagai
representing, negociating, protecting reporting dan promoting untuk
kepentingan negara serta mewujudkan perdamaian dunia. Oleh
karena itu Gelar Diplomasi Militer dilaksanakan dalam rangka kerja
425

sama perbatasan, misi perdamaian dunia dan kantor perwakilan


pertahanan/militer atau Atase Pertahanan.

a) Kerja sama Perbatasan, telah dilaksanakan Liaison


Officers dengan negara-negara yang berbatasan langsung
dengan Indonesia yaitu:
(1) Indonesia–Filipina (ILO TNI).

(a) ILO TNI di Davao.


(b) ILO TNI di Tibanban.
(c) ILO TNI di Pulau Bungao.
(d) ILO TNI di Pulau Batu Ganding.

(2) Indonesia–Malaysia (ILO TNI).

(a) ILO TNI di Penang.


(b) ILO TNI di Butterworth.
(c) ILO TNI di Kota Kinibalu.
(d) ILO TNI di Tawau.
(e) ILO TNI di Kuching.
(f) ILO TNI di Sibu.

(3) Indonesia–Singapura-ILO TNI di Information Fusion


Centre (IFC).

b) Pasukan Perdamaian Dunia (Kontingen Garuda).


Penugasan personel TNI yang melaksanakan misi PBB sebanyak
2519 orang dengan tambahan 6 IMT Filipina menjadi 2525
orang yang tersebar dalam 9 (sembilan) misi PBB.

d. Postur diplomasi Militer TNI tahun 2024.

Diplomasi militer yang dilaksanakan oleh TNI merupakan bagian dari


kepentingan hubungan antarbangsa seperti yang diamanatkan pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi,
kemerdekaan dan keadilan sosial guna mewujudkan tujuan nasional.
Perkembangan lingkungan strategis yang berpengaruh pada tataran global,
regional sampai dengan nasional telah berdampak pada berubahnya tatanan
dunia baru, meningkatnya potensi konflik di LCS berupa saling klaim batas
teritorial antar negara, kejahatan transnasional, terorisme, cyber warfare,
kerawanan di laut, dan kondisis geografis Indonesia yang rawan bencana
alam, terjadinya distorsi budaya serta eksisnya kekuatan militer negara-
negara Commonwealth yang tergabung dalam FPDA merupakan tantangan
yang perlu ditangani secara intensif bekerja sama dengan negara sahabat
yang lain melalui pola hubungan internasional. Kecenderungan ke depan
membawa dorongan penting dalam upaya melaksanakan diplomasi militer
dalam penanganan masalah keamanan internasional dan membuka
alternatif pilihan yang lebih luas dalam kerja sama antar negara. Diplomasi
militer yang merupakan bagian dari diplomasi pertahanan dilakukan untuk
426

mendukung kebijakan politik luar negeri dan diabdikan untuk kepentingan


nasional. Di samping untuk tujuan politik, diplomasi juga memiliki tujuan
ekonomi, kultur/budaya dan ideologi.

e. Terwujudnya Matrik Level Diplomasi Militer TNI dengan Negara-


Negara Sahabat.

Pembuatan matrik level hubungan diplomasi militer sangat


dibutuhkan untuk menentukan tingkat pelaksanaan diplomasi militer yang
akan dilakukan oleh TNI. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam melaksanakan diplomasi militer disesuaikan dengan
tingkatan kepentingan TNI sebagai berikut:

1) Negara-negara besar seperti yang memiliki kerja sama ekonomi


lebih banyak maka perlu penambahan kemampuan diplomasi
ekonomi, selain pelaksanaan diplomasi militer.

2) Negara-negara yang memiliki masalah perbatasan dengan


Indonesia harus lebih diutamakan pendekatan dan pelaksanaan
diplomasi militer yang mendukung terselesaikannya masalah
perbatasan.

3) Negara-negara yang mendukung kemerdekaan Papua, perlu


mendapatkan perlakuan diplomasi militer yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman dan dukungan bahwa Papua adalah bagian
tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

4) Negara-negara yang memiliki pengaruh besar dalam hal budaya,


perlu memperkuat diplomasi kebudayaan selain diplomasi militer
secara berkesinambungan.

f. Terwujudnya Peranti Lunak yang Mendasari Pelaksanaan


Diplomasi Militer.

Sampai saat ini dasar untuk melaksanakan diplomasi militer adalah


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Sementara itu dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia pasal 9 huruf c, menyebutkan secara jelas bahwa
tugas diplomasi adalah tugas TNI Angkatan Laut 45 yang dalam
penjelasannya menyebutkan “Yang dimaksud naval diplomacy adalah fungsi
diplomasi sesuai dengan kebijakan politik luar negeri yang melekat pada
peran Angkatan Laut secara universal sesuai dengan kebiasaan
internasional serta sudah menjadi sifat dasar dasar setiap kapal perang
suatu negara yang berada di negara lain memiliki kekebalan diplomatik dan
kedaulatan penuh”. Sementara itu, pada pasal 7 ayat 2 salah satu tugas
pokok TNI pada Operasi Militer Selain Perang adalah melaksanakan tugas
perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri. Hal ini
mengisyaratkan bahwa TNI memiliki tugas diplomasi militer dalam rangka
mendukung kebijakan politik luar negeri. Untuk lebih mengefektifkan
makna dari diplomasi yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 1999 serta implementasi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
perlu disusun peranti lunak yang mendasari pelaksanaan diplomasi militer.

45 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, Pasal 9 huruf c.


427

Peranti lunak ini merupakan dokumen yang berisi tata aturan


penyelenggaraan diplomasi militer yang disahkan oleh Panglima TNI.

g. Terbangunnya Kekuatan yang Andal sebagai Wadah


Penyelenggara Diplomasi Militer.

1) Membangun jaringan antar organisasi penyelenggara hubungan


internasional. Sampai saat ini terdapat 14 Satker di lingkungan Mabes
TNI yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan hubungan
internasional dan tiga angkatan yang melaksanakan hubungan
internasional sesuai matra. Selain itu terdapat 34 kantor Atase
Pertahanan yang tersebar di berbagai negara sahabat, Sebelas Liaison
Officers yang tersebar di tiga negara perbatasan yaitu Filipina,
Malaysia dan Singapura serta 2.525 personel yang tergabung dalam
Kontingen Garuda yang ditugaskan di 12 negara dalam misi PBB.
Kesemuanya itu adalah kekuatan dalam menyelenggarakan diplomasi
militer. Namun belum ada organanisasi yang bertugas secara khusus
terhadap pelaksanaan diplomasi militer. Sementara itu, Puskersin TNI
sebagai Balakpus TNI yang bertugas membantu Panglima TNI dalam
merumuskan kebijakan, mengorganisasikan kegiatan kerja sama
Internasional di lingkungan TNI dan memiliki fungsi salah satunya
untuk mengoordinasikan kepentingan diplomasi TNI belum berjalan
maksimal. Hal ini dikarenakan masing-masing penyelenggara
hubungan internasional masih berjalan secara sektoral belum
melibatkan penuh Puskersin TNI sebagai supervisi kerja sama
internasional. Oleh karena itu perlu pemberdayaan Puskersin TNI
lebih optimal sebagai data base dalam menganalisa dan mengevaluasi
kerja sama internasional termasuk pelaksanaan diplomasi militer
dengan membangun jaringan antar organisasi penyelenggara
hubungan internasional.

2) Pada tingkat Angkatan perlu dilaksanakan validasi organisasi


untuk membentuk organisasi yang menangani kerja sama
internasional tersendiri. Mengingat sampai saat ini data tentang kerja
sama internasional di lingkungan Mabes Angkatan masih tersebar
sehingga untuk memantau pelaksanaan diplomasi militer masih
mengalami kendala.

h. Terwujudnya Kemampuan/Kompetensi Sumber Daya yang Andal


dalam Melaksanakan Diplomasi Militer.

Kemampuan yang dimiliki tidak hanya pada kemampuan yang terkait


dengan peran militer tetapi kemampuan sebagai pelaku diplomasi atau
diplomat militer harus dikembangkan yaitu:

1) Kemampuan terhadap peran militer perlu ditingkatkan. TNI


memiliki peran sebagai alat pertahanan, oleh karena itu dalam
penyelenggaraan kerja sama internasional harus memiliki
kemampuan yang terkait dengan fungsi organik militer yaitu intelijen,
operasi dan latihan, personel serta logistik.

2) Kemampuan Bahasa terutama bahasa Inggris yang telah diakui


sebagai bahasa internasional selain itu juga perlu ditambah dengan
kemampuan bahasa selain bahasa Inggris yaitu bahasa dari negara-
428

negara yang mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan dunia


misalnya bahasa Jepang, Mandarin, Perancis dan Bahasa Arab.

3) Kemampuan memahami perkembangan situasi dan politik


negara dengan peningkatan wawasan pengetahuan.

4) Kemampuan melaksanakan fungsi diplomasi yaitu kemampuan


untuk melaksanakan representing (mewakili), negociating (untuk
melakukan negosiasi terkait dengan adanya permasalahan), protecting
(melindungi kepentingan nasional) dan reporting (melaporkan setiap
perkembangan yang terjadi di negara lain yang dapat berimplikasi
dengan kepentingan nasional) serta kemampuan untuk promoting
(kemampuan mempromosikan keunggulan komparatif yang dimiliki
oleh negara Indonesia sehingga berdampak terhadap peningkatan
eksistensi bangsa.

5) Kemampuan persuasi (Persuasive Capability) yaitu setiap


personel TNI yang akan melaksanakan kerja sama internsional harus
memiliki kemampuan persuasi atau seni bagaimana dapat
menyampaikan kepentingan nasional di bidang politik, ekonomi,
kultur/budaya dan ideologi dengan tetap menjunjung tinggi dan saling
menghormati kepentingan negara lain.

6) Kemampuan sarana dan prasarana pendukung yang memadai.


Dalam hal ini adalah penggunaan sarana dan prasarana militer seperti
Alutsita yang digunakan harus sesuai dengan standar internasional.

i. Terbangunnya Gelar Kekuatan yang memadai.

1) Kerja sama Perbatasan.

Mengingat secara geografis Indonesia memiliki perbatasan


dengan 10 negara, maka kerja sama perbatasan terkait dengan Liaison
Officers perlu dikembangkan baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Liaison Officers atau LO merupakan ujung tombak dalam
deteksi dini untuk kepentingan pengamanan perbatasan namun LO
ini dapat dijadikan alat dalam pelaksanaan diplomasi militer karena
para LO ini memiliki kesempatan untuk berhadapan secara langsung
dengan masyarakat di negara di perbatasan. Saat ini hanya ada
sebatas kantor LO di 3 negara.

2) Pengiriman Pasukan PBB yang rencananya 4000 Peace Keeper.

Sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar


Republik Indonesia 1945, dan melalui keputusan politik pemerintah
Republik Indonesia, serta di bawah mandat PBB, tercatat pengiriman
prajurit TNI saat ini yang sedang bertugas pada misi PBB berjumlah
2.527 personel, terbagi dalam 8 area penugasan yang tersebar di
Timur Tengah, Asia dan Afrika. Kebijakan politik pemerintah Republik
Indonesia mengarahkan agar Indonesia dapat berkontribusi
mengirimkan Pasukan Perdamaian sampai 4.000 personel secara
bertahap sampai dengan tahun 2019, 'Vision 4.000 Peacekeepers,
sehingga menjadi 10 negara terbesar yang berkontribusi mengirimkan
Pasukan Perdamaian di bawah mandat PBB diharapkan dapat
terealisasi. Pasukan Perdamaian diharapkan dapat melaksanakan
429

diplomasi militer yaitu mengusung politik luar negeri dalam rangka


mendukung tercapainya tujuan nasional.

3) Pembukaan Kantor Atase Pertahanan.

Atase Pertahanan merupakan ujung tombak bagi pelaksanaan


diplomasi militer mengingat para Atase Pertahanan secara langsung
memiliki fungsi diplomasi. Dengan fungsi diplomasi tersebut, Atase
Pertahanan menyelenggarakan kegiatan dalam rangka mewakili dan
memfasilitasi kepentingan Menteri Pertahanan, Panglima TNI serta
Kepala Staf Angkatan dalam kegiatan-kegiatan bidang militer dan
pertahanan di negara akreditasi resident, non-resident dan partner;
serta menyelenggarakan kegiatan dalam rangka membina,
memelihara, meningkatkan hubungan serta kerja sama militer dan
pertahanan di negara akreditasi.

Kantor Atase Pertahanan memiliki peran dan fungsi yang sangat


penting sebagai bagian dari organisasi perwakilan Republik Indonesia
dan sebagai perwakilan Kemhan maupun TNI di luar negeri yang
menyelenggarakan kegiatan kerjasama militer dan pertahanan,
diplomasi militer dan kegiatan intelijen strategis secara terbuka.
Mengacu pada kondisi tersebut dan dihadapkan dengan situasi yang
berkembang saat ini maka perlu membentuk, membuka dan menata
kembali gelar Kantor Atase Pertahanan dengan mempertimbangkan
beberapa hal, antara lain :

a) Aspek strategis militer dan pertahanan. Dengan


dibukanya kantor Athan di negara sahabat, maka Athan dapat
menyelenggarakan usaha, pekerjaan dan kegiatan diplomasi
militer dalam rangka mendukung kepentingan TNI, Kemhan
Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di
negara/wilayah akreditasi. Di samping itu juga dapat
melaksanakan kegiatan intelijen terbuka dengan memonitor
kegiatan yang terjadi di negara akreditasi yang dapat
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kepentingan militer dan pertahanan Indonesia.

b) Asas resiprositas (reciprocal). Untuk dapat meningkatkan


kerja sama militer dan pertahanan antara Indonesia dengan
negara sahabat, maka sudah sewajarnya apabila negara-
negara sahabat yang sudah menempatkan Kantor Athannya di
Indonesia maka secara resiprokal, Indonesia juga menempat
kan Kantor Athan nya di negara tersebut.

c) Aspek beban kerja. Ada beberapa Atase Pertahanan yang


memiliki tangung jawab terhadap beberapa negara sehingga
dinilai terlalu banyak dan tidak dapat memonitor secara
optimal, sebagai contoh wilayah kerja Athan di Riyadh, Arab
Saudi meliputi Kerajaan Arab Saudi, Kesultanan Oman, Uni
Emirat Arab, Kuwait, Qatar dan Yaman. Wilayah kerja Athan di
Brasilia DF, Brazil yang meliputi negara-negara Brazil,
Suriname, Argentina, Kolombia, Chile, Peru, Ekuador,
Venezuela. Hal tersebut berimplikasi dengan beban kerja Atase
Pertahanan yang cukup tinggi.
430

j. Hubungan Kerjasama dengan Kementerian dan Lembaga Negara


Republik Indonesia/BUMN Serta Pelaku Bisnis.

Perlu membuat kesepakatan perjanjian kerja sama dengan


Kementerian, Lembaga Negara Republik Indonesia, BUMN dan pelaku bisnis
dalam rangka mendukung pelaksanaan diplomasi militer.

1) Kementerian Luar Negeri dalam hal pelaksanaan pendidikan


dan pelatihan sebagai diplomat militer.

2) Kementerian Pertahanan selaku penyusun kebijakan strategis


di bidang pertahanan.

3) Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan dalam


rangka ikut mempromosikan budaya Indonesia di Luar Negeri.

4) Kerja sama dengan BUMN Maskapai Penerbangan Nasional


Indonesia dengan tujuan mempromosikan penerbangan nasional di
luar negeri dengan cara menggunakan Maskapai Penerbangan
Nasional jika para personel mendapat penugasan di luar negeri.

5) Kementerian Koordinator Maritim dan Kementerian KKP dalam


rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim.

6) Kementerian lainnya yang terkait dengan pencapaian tujuan


diplomasi.

7) Para pelaku bisnis untuk mendukung promosi dari produk


andalan Indonesia yang diharapkan akan menaikkan ekspor
Indonesia.
431

BAB VII
MILITER DAN POLITIK

40. Sejarah Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia.

a. Umum.

Angkatan bersenjata dalam semua negara mempunyai pengaruh


politik yang luas, mereka merupakan lambang kedaulatan negara dan
penahan utama bagi kemungkinan serangan terhadap negara, baik yang
berasal dari luar ataupun dari dalam, selain prestise tanggung jawab dan
sumber-sumber material yang dipertanggungjawabkan guna melaksanakan
tugas tersebut.

Militer tidak akan campur tangan dalam panggung politik jika rezim
sipil yang berkuasa mempunyai legitimasi yang kuat dan pertikaian antar
kelompok kepentingan dari pihak sipil tidak mengganggu kestabilan
dan jalannya pemerintahan. Militer akan melakukan intervensi jika
ketidakpastian politik begitu tinggi, para politisi lemah atau melakukan
politicking demi kepentingan sesaat atas nama golongannya masing-masing
yang menimbulkan ketidak stabilan politik. Memang sudah seharusnya di
dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, militer secara profesional
dan proporsional dikembalikan kepada peran dan fungsinya yang
mengemban tugas pokok sebagai alat pertahanan negara. Sudah
sepatutnya TNI lebih konsentrasi untuk membenahi diri dan menyiapkan
kembali segala yang diperlukan untuk mempertahankan negara ini dari
segala ancaman dari luar, dan tidak lagi mengharapkan untuk
berkecimpung di dunia politik praktis yang merupakan wilayah sipil. Rakyat
perlu mendukung terbentuknya Doktrin TNI baru yang menjamin TNI dapat
berperang membela setiap jengkal wilayah teritorial Republik Indonesia,
yang ditetapkan sebagai wilayah Nusantara oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI, sampai titik darah penghabisan, menggunakan peralatan
modern dengan tingkat kemandirian tinggi.

Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh


setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat
mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer
tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk
mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai
kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan
di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya
belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam
perpolitikan pun harus dipertimbangkan. Geliat militer Indonesia dalam
gelanggang politik tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi
sejarah sejak lahirnya Tentara Indonesia. Mentalitas umum tentara
Indonesia sebelum maupun setelah kemerdekaan adalah peran langsungnya
dalam perpolitikan. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer akan
berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena diyakini
budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah
diupayakan. Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis
multidimensi, harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik
dan bisnis.
432

b. Proses Pembentukan dan Ciri Utama Tentara Indonesia.

Proses pembentukan kekuatan bersenjata melawan penjajah berasal


dari pemuda yang mempunyai semangat dan keberanian yang tinggi serta
siap berkorban untuk membela bangsa dan negara. Pada awalnya dibentuk
dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara
Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi
menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi
dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU) dan
Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang
dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama,
kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang
keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Sejarah lahirnya peran politik tentara di Indonesia pada awalnya


dikarenakan perang melawan penjajah Belanda. Pada masa itu, tentara tidak
hanya memegang peranan sebagai fungsi militer saja tetapi juga fungsi di
luar militer. Banyak para perwira militer yang ikut aktif dalam urusan
masalah ekonomi dan semua masalah di luar militer. Hal ini mengakibatkan
semakin jauhnya intervensi militer dalam politik. Lama kelamaan membuat
militer merasa paling berhak untuk ikut mengurusi masalah pemerintahan
karena dianggap paling berjasa memerdekakan Indonesia dari tangan
penjajah. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sejak awal, ciri utama
tentara Indonesia adalah turut berpartisipasi dan berperan di luar bidang
politik. Ini disebabkan oleh kelemahan struktural tentara itu sendiri, yang
belum mempunyai aturan yang jelas mengenai peran dan fungsi mereka. Hal
ini memicu perbedaan pendapat, perselisihan, konflik dan perebutan
pengaruh antara kelompok pejuang bersenjata dengan pihak pemerintah
atau politisi.

Selain untuk kekuasaan, salah satu unsur yang mendorong


berlangsungnya militerisme adalah ketidakpercayaan para elit militer
terhadap kemampuan para politisi sipil. Artinya bahwa perwira-perwira
militer yang berorientasi dan berambisi dalam politik akan melakukan
intervensi jika pemerintahan sipil gagal menjaga stabilitas politik dan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang memuaskan. Kegagalan ini akan
mengurangi legitimasinya dan membuka kesempatan kepada militer untuk
melakukan intervensinya.

c. Alasan Keterlibatan Militer Dalam Poltik.

Para politisi sipil, sebagaimana dicontohkan dalam era Soekarno,


menurut persepsi orde baru tidak mampu membangun negara. Orang-orang
sipil juga tidak mempunyai organisasi yang rapih dan penuh disiplin
sebagaimana ABRI, padahal pembangunan membutuhkan pengorganisasian
yang baik. Keterlibatan militer dalam bidang non militer disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari: nilai-nilai dan
orientasi para perwira militer baik secara individu maupun kelompok dan
kepentingan-kepentingan korps material militer, sedangkan faktor eksternal
terdiri dari kondisi-kondisi sosial politik dalam negeri. Secara umum alasan
militer memilih terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, sebagai
berikut:
433

1) Militer beranggapan, bahwa keterlibatannya dalam penyeleng


garaan kekuasaan negara sebagai sebuah hak sejarah. Hak yang
menjadi legitimasi militer untuk terlibat dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah bahwa militer memiliki ‘saham’ atas
lahirnya sebuah negara. Alasan ini biasanya menghinggapi negara
yang proses kelahirannya didahului oleh perjuangan kemerdekaan.
Indonesia adalah salah satu negara yang militernya haus akan
kekuasaan politik, karena alasan hak sejarah, hal ini dipertegas
dengan adanya konsep matang jalan tengah yang dirumuskan
Nasution dan kemudian ‘dipatenkan’ dengan dwi fungsi ABRI pada
masa orde baru.

2) Komitmen untuk menjaga integrasi bangsa dan negara.


Komitmen ini selaras dengan keinginan dari militer untuk dapat
dilibatkan dalam segala yang berhubungan dengan integrasi bangsa.
Maraknya keterlibatan militer dalam pemerintahan disebabkan karena
ajakan dan lemahnya politisi sipil. Kelemahan politisi sipil tersebut
ditujukan dengan membangun dan mengajak militer masuk ke dalam
gelanggang politik. Kelemahan ini makin mengemuka apabila makin
meruncingnya konflik antar politisi sipil sendiri.

3) Desakan dari internal militer untuk mengambil alih ataupun


ikut terlibat dalam politik pemerintahan, karena pemerintahan yang
berkuasa cenderung korup dan membawa bangsa kearah yang
membahayakan keutuhan dan integrasi bangsa. Desakan ini
bentuknya beragam, namun secara umum ada dua pola, yaitu :

a) Melakukan kudeta atau pengambilalihan kekuasaan.

b) Melakukan negosiasi dengan politisi sipil. Akan tetapi dari


dua pola tersebut banyak yang dilakukan oleh militer untuk ikut
terlibat dalam politik pemerintahan dengan melakukan kudeta.

4) Bila rakyat menghendaki. Alasan ini terasa klise, namun


kenyataannya bahwa banyak dari masyarakat di belahan dunia
lainnya masih berharap agar militer dapat meluruskan dan membuka
ruang kesejahteraan dan ketenteraman bagi masyarakat. Keinginan
rakyat agar militer terlibat dalam politik pemerintahan merupakan
realitas dari trauma masyarakat akibat ketidakjelasan arah
pemerintahan sipil membawa bangsa dan negara ini. Kehendak rakyat
ini pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi keterbelengguan
akibat pola pemerintahan yang menutup sama sekali ruang politik
bagi masyarakat.

d. Peran Militer Dalam Politik.

Keterlibatan militer dalam penyelenggaraan negara, baik langsung


maupun tidak langsung telah memberikan efek negatif bagi berkembangnya
demokrasi di Indonesia, maupun belahan dunia lainnya. Kondisi ini
membuat irama demokrasi menjadi tidak dalam porsi yang selaras dengan
hakikat penyelenggaraan negara. Watak tentara yang bertolak belakang
dengan prinsip-prinsip demokrasi membuat negara yang memiliki
kecenderungan keterlibatan militer yang tinggi seperti Indonesia
terkungkung oleh rezim otoriter; baik yang didukung oleh militer ataupun
jenderal militer yang menjadi rezim itu sendiri. Masuknya tentara dalam
434

politik kemudian menjadikan tentara memiliki peranan ganda. Peranan


tentara dalam politik dan pertahanan ini kemudian dikukuhkan menjadi
suatu doktrin yang dinamakan dwi fungsi ABRI. Artinya peran ABRI tidak
hanya terbatas dalam bidang pertahanan (peranan militer) dan keamanan
saja tetapi juga dalam bidang sosial politik atau lebih umum lagi berperan
pada bidang di luar bidang pertahanan dan keamanan itu sendiri.

e. Hubungan Militer dan Sipil Dalam Politik.

Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal


militer, lembaga militer atau hanya perwira senior, sebagaimana dikutip oleh
Susilo Bambang Yudhoyono, pengaruh Internasional dalam hubungan sipil-
militer, sebuah makalah yang disajikan dalam seminar nasional mencari
format baru hubungan sipil-militer, Jakarta: FISIP UI, 1999. Para pengamat
hubungan sipil-militer dalam negeri, seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman
Suryohadiprodjo, mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan
bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas
menjaga kedaulatan negara, sedangkan Hardito, Bagus A. Hardito, faktor
militer dalam transisi demokrasi di Indonesia, membatasi pihak militer
ditekankan pada para perwira profesional.

Samuel P. Huntington dalam buku yang diterbitkan tahun 1957, The


Soldier and The State dapat dianggap sebagai karya perintis dalam
membahas hubungan antara pihak militer dengan sipil dalam konteks
pengalaman sistem politik Amerika Serikat pada khususnya dan demokrasi
liberal di barat pada umumnya. Inti pandangan Huntington sendiri
mengelompokkan tentara dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi
dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian atau
tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang
berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan keputusan-
keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19
ketika profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence)
masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi
Perancis 1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan
materi” menjadi “tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi negara”,
hal inilah yang kemudian dikemukakan oleh Huntington sebagai awal
berkembangnya paham tentara profesional, sebenarnya pandangan ini tidak
saja dinyatakan oleh Huntington, namun jauh sebelumnya seorang ilmuwan
Perancis, de Tocqueville telah berbicara tentang “profesi militer” dan
“kehormatan militer”.

Hal-hal yang berkaitan dengan adanya konflik sipil-militer itu dapat


dijelaskan melalui empat tipologi intervensi militer yaitu :

1) Tipologi military pretorian dari Eric A. Nordlinger (1977).

2) Tipologi military profesional revolusioner dari Amos Perlmutter


(1977).

3) Tipologi military profesional dari Samuel P. Huntington (1962,


2003).

4) Tipologi military pretorian profesional dari Mulyadi (2009).


435

41. Model Kontrol Sipil.

a. Umum.

Istilah sipil dalam bahasa Inggris “civilian” yakni (person) not serving
with armed forces, seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan
bersenjata, sedangkan Cohan Elliot A. Cohan mendefenisikan pihak sipil
dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para
politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai
masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik. Sayidiman
Suryohadiprodjo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua
lapisan masyarakat. Dari berbagai pengertian di atas maka dibuat suatu
pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik
individu atau institusi yang berada di luar organisasi militer. Menurut ahli
politik Eric Nordinger dalam bukunya “Soldiers in Politics”, terdapat tiga
model kontrol militer terhadap masyarakat sipil yaitu model tradisional,
model liberal dan model penetrasi.

b. Model Tradisional.

Model kontrol tradisional adalah model kontrol sipil biasa di negara


monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh
dalam sistem pemerintahan kerajaan sampai abad ke-18 di Eropa. Hal itu
terjadi karena kaum aristokrat Eropa sebagai elite sipil dan elit militer.
Kedua elite ini berbeda, tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir
sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan
bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk
menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan melawan raja melemahkan
kedudukan politik, ekonomi dan sosial mereka. Dalam model ini biasa tidak
terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih
memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan
yang memiliki “previlege” (hak manfaat atau imunitas yang hanya
dimanfaatkan oleh segelintir orang, bisa juga bermakna keuntungan yang
hanya satu orang atau sekelompok orang yang memiliki, biasanya karena
posisi mereka atau karena mereka kaya).

c. Model Liberal.

Model kontrol liberal dengan jelas berdasarkan diferensiasi tugas dan


wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan
pertahanan negara, selain itu militer diberikan kemampuan manajemen
militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-
baiknya oleh sipil. Model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal
mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil
bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk
melakukan apapun terhadap militer, namun sipil dituntut untuk memiliki
civilian ethic melakukan beberapa etika sipil, misalnya sipil harus
menghormati militer, keahlian dan otonomi, serta harus bersikap netral.
Sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi
menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk
kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak
kelebihan, namun segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten
dalam setiap etika yang harus dipenuhi.
436

d. Model Penetrasi.

Model kontrol penetrasi adalah suatu model kontrol sipil yang


melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk
dalam partai-partai politik. Sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi
seperti terjadi masa orde baru. Model ini hanya bisa diterapkan disuatu
negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer
dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan
struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus
melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik
sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Militer jadi tidak dominan
peranannya. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis.
Bila model ini diterapkan, sangat memperlihatkan supremasi sipil, namun
dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan
resiko tinggi, terjadi kudeta seperti model liberal, dalam model panetrasi ini
akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah
otonom militer.

42. Tipologi Intervensi Militer.

a. Umum. Perwira profesional di zaman modern mempunyai ciri-ciri


yaitu: keahlian (manajemen kekerasan), pertautan (tanggung jawab kepada
klien, masyarakat atau negara), korporatisme (kesadaran kelompok dan
organisasi birokrasi) dan ideologi (semangat militer). Ciri-ciri ini dapat
dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun
berkembang yang meliputi military profesional, military pretorian dan military
profesional revolusioner.
b. Military Profesional.

1) Profesionalisme Militer. Profesionalisme menyangkut


keseimbangan antara keahlian dan tanggung jawab sebagai pelindung
negara. Prajurit profesional klasik timbul apabila suatu koalisi sipil
memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian
profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer
yang merupakan unit korporasi berjuang keras untuk menjaga
hubungan ini. Dalam hal ini tentara telah mempercayakan
pengelolaan negara kepada sipil. Tentara dalam hal ini hanya
berkonsentrasi kepada tugasnya sebagai alat pertahanan dan
keamanan negara sebagai berikut :

a) Pemikiran militer profesional telah diakui eksistensinya di


kalangan para ahli militer di samping pemikiran militer
pretorian, militer pretorian profesional dan militer revolusioner
profesional, meskipun demikian di kalangan ilmuan masih
terjadi perdebatan tentang dampak dianutnya konsep militer
profesional. Samuel P. Huntington, misalnya, berpendapat
bahwa implementasi tipologi militer profesional justru
menjauhkan militer dari dunia politik, menurut Huntington
militer yang profesional mempunyai tiga ciri yaitu :

(1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena


keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta
perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan
pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi,
437

merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya, baik


dalam kondisi perang maupun damai.

(2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab


sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral
yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi,
perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada
negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim
sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi”
komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal
dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada
profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan
mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional.

(3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang


melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri
militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut
oleh Huntington dengan the military mind yang menjadi
dasar bagi hubungan militer dan negara.

b) Amos Perlmutter dan Eric A. Norlinger justru berpendapat


lain, bahwa keterlibatan militer dalam bidang non militer justru
disebabkan oleh dianutnya konsep militer profesional. Pihak
militer terlibat jauh dalam pelaksanaan tugas-tugas yang
menjadi tanggung jawab pihak sipil, seperti politik, ekonomi dan
sosial seiring meluasnya peningkatan kemampuan professional
nya. Perdebatan dan perbedaan pandangan tentang dampak
dianutnya konsep militer profesional tersebut disebabkan oleh
hasil pengamatan terhadap objek yang berbeda. Samuel P.
Huntington mendasarkan pandangannya di negara-negara
barat dimana militernya cenderung tidak lagi intervensi akibat
profesionalisme yang dianutnya. Pandangan Perlmutter dan Eric
A. Nordlinger bertolak dari pengalaman negara-negara dunia
ketiga dimana militernya cenderung terlibat dalam politik akibat
profesionalismenya. Samuel P. Huntington (1962, 2003), faktor
profesionalisme militer penting sebagai dasar bagi militer untuk
mengakui supremasi sipil, sebaliknya Amos Perlmutter (1977)
justru melihat faktor profesionalisme militer sebagai dasar bagi
pihak militer untuk tidak mengakui supremasi sipil.

2) Orientasi Politik Militer Profesional. Eric A. Nordlinger (1977)


melihat faktor nasionalisme dan tanggung jawab akan kepentingan
nasional sebagai dasar bagi militer dalam meraih supremasi militer.
Berbeda dengan Amos Perlmutter (1977) yang melihat faktor revolusi
sebagai dasar bagi militer dalam meraih supremasi militer, Guy Puker
justru melihat keterlibatan militer dalam politik dalam rangka
membendung komunisme, serta John J. Jonhson dan kawan-kawan
yang melihat kemampuan militer dapat mendorong modernisasi dan
pembangunan. Sejalan dengan S.E. Finer, Amos Perlmutter (1984)
juga melihat kecenderungan intervensi jenis ‘militer profesional’ dalam
politik justru akibat langsung dari meningkatnya profesionalismenya.
Hipotesis Perlmutter adalah semakin canggih kaum militer
profesional dalam keterampilannya, maka semakin kuat pula
keinginannya untuk mengontrol pengambilan dan pelaksanaan
438

kebijakan keamanan nasional. Orientasi politik militer profesional


muncul berkaitan dengan kesadaran akan tanggung jawab
eksternalnya, terutama yang berkaitan langsung dengan format
kebijakan (policy formation) keamanan nasional. Militer profesional
berusaha mendesakkan rekomendasi format kebijakannya untuk
dipakai dibanding dua rekomendasi saingan utamanya, yaitu para
politisi sipil parlemen dan birokrasi sipil departemen pertahanan.
Militer berpolitik untuk memastikan format kebijakan (policy
formation) keamanan nasional yang dirumuskannya itu diterima dan
dilaksanakan.

3) Tipologi Militer Revolusioner Profesional. Amos Perlmutter


(1984) kemudian memperkenalkan tipologi militer revolusioner
profesional (revolusioner prefessional military) yang dapat disebut
sebagai penyempurnaan dari tipologi militer profesional Huntington.
Tipologi militer revolusioner profesional Amos Perlmutter adalah
militer yang sudah terlibat jauh dalam politik sejak kelahirannya yang
dicirikan oleh empat hal yaitu :

a) Latar belakang proses revolusi sebagai hasil proses


persenjataan seluruh bangsa (nation in arms) memberinya
pemahaman kepada para perwiranya bahwa dirinya tidak
berpolitik ketika melaksanakan peran-peran politik.

b) Latar belakang revolusi yang mendasari pembentukannya


tidak memberinya kesempatan untuk melaksanakan sejumlah
persyaratan-persyaratan militer profesional lainnya seperti
persyaratan keahlian militer dan kesatuan militer.

c) Prinsip eksklusif dalam proses rekruitmen dan promosi


perwiranya sebagai ciri pokoknya.

d) Pendidikan dan latihan terutama untuk perwiranya sama


sekali tidak ada, kecuali mungkin diperolehnya melalui warisan
kolonial tetapi itupun terbatas dikalangan golongan tertentu.

Eksistensi militer profesional revolusioner Amos Perlmutter


dihubungkannya dengan ideologi pembebasan yang dianut oleh
negara ketika melakukan revolusi. Lieuwen membenarkan hal itu
dengan menegaskan bahwa campur tangan militer dalam politik
berkaitan dengan kepercayaan akan maksud kepentingan
menyelamatkan negara atau mempertahankan institusinya yang
mereka anggap sebagai penjelmaan dari perwujudan negara itu
sendiri. Eric A. Nordlinger tetap menduga adanya hubungan positif
dan bukan sebaliknya, antara tingkat kepakaran dan kemungkinan
campur tangan. Menurut Eric A. Nordlinger meskipun anggapan
intervensi militer dalam politik akan merendahkan derajat militer,
diterima luas oleh para perwira profesional, pencapaian kemahiran
dan aspek kemiliteran hingga menjadikan tidak berminat pada isu-isu
politik, tetapi terdapat hubungan positif antara tingkat kepakaran
dengan potensi intervensi. Dengan merujuk kasus perwira pretorian
Brazil (kudeta 1964), Peru (kudeta 1968), Mesir dan Nigeria yang
memiliki keahlian di bidang politik, sosial, psikologi dan ekonomi;
masalah inflasi, agraria, reformasi perbankan, pelaksanaan pemilu,
transportasi dan pendidikan yang di peroleh baik dari akademi militer
439

maupun dipusat-pusat latihan lanjutan, sekolah komando lanjutan


dan kursus-kursus non militer.

4) Intervensi Militer Dalam Politik. Eric A. Nordlinger (1990:74)


menjelaskan hubungan antara tingkat kepakaran dan kecenderungan
tujuan intervensi dari tipologi militer profesional dengan mengatakan
bahwa para perwira alumni Akademi Militer, yang mengikuti kursus
latihan lanjutan dan telah mengikuti kursus-kursus kemiliteran serta
mengkhususkan diri dalam keahlian memperoleh informasi,
manajemen dan logistik cenderung tidak menghormati dan
memandang rendah pihak sipil yang gagal memerintah dengan cakap.
Perwira inilah menurut Eric merasa yakin bahwa kemahiran mereka
di bidang kemiliteran dapat disalurkan ke bidang sipil, karena mereka
dapat meningkatkan kualitas pemerintahan, dengan demikian
melahirkan keinginan yang sederhana untuk mengintervensi
pemerintahan sipil yang dianggap kurang cakap. Penjelasan Eric A.
Nordlinger tersebut membuktikan berubahnya tipologi militer
profesional ke tipologi militer pretorian yang disebabkan oleh
meningkatnya keahlian non militernya.

Hal lain yang mendorong perubahan ke tipologi militer pretorian


menurut Eric A. Nordlinger adalah upaya pihak militer menyelamat
kan profesionalismenya dari ancaman pihak sipil. Sebagai golongan
profesional, militer berusaha mempertahankan ciri profesionalnya
berupa otonomi, keikhlasan, kepakaran dan keahlian mengendalikan
kekerasan. Dengan demikian Eric A. Nordlinger tidak sejalan dengan
Samuel P. Huntington yang melihat bahwa semakin tinggi tingkat
profesionalisme perwira militer semakin kurang kecenderungan
mereka melakukan intervensi. Perbedaan terjadi karena Eric A.
Nordlinger melihat akibat negatif dari meningkatnya profesionalisme
militer, sedangkan Samuel P. Huntington hanya melihat perlunya latar
belakang kebudayaan umum yang luas dan disiplin ilmu sosial bagi
kepakaran militer semata-mata untuk mengatasi masalah dan
keputusan di dalam kemiliteran. Menurut Samuel P. Huntington
perwira tidak akan dapat mengembangkan kemampuan analisanya,
pandangan luasnya, imajinasi dan pertimbangannya seandainya
hanya dilatih dalam bidang tugasnya saja. Eric A. Nordlinger melihat
otonomi dan eksklusifitas adalah dimensi utama yang perlu
diselamatkan oleh tipologi militer pretorian dari ancaman intervensi
pihak sipil. Eksklusifitas militer berkaitan dengan anggapan militer
bahwa dirinyalah satu-satunya pihak yang berhak memanggul senjata
guna mempertahankan negara, sehingga tentara rakyat yang tidak
profesional dilihatnya sebagai potensi ancaman dan musuh
fungsionalnya.

Secara politik tipologi militer pretorian bertujuan untuk


menyelamatkan kepentingan korporasinya (otonomi dan eksklusifitas
nya); kebanggaan profesi, citra diri, karier para perwiranya,
kecakapannya, semangat, hirarki dan keterpaduan atau kesatuan,
serta efektifitasnya. Dengan demikian militer profesional berpolitik
tegas Eric A. Nordlinger untuk memastikan para politisi sipil dan
pejabat administrasi tidak mengganggunya dari pada niat baik untuk
memperbaiki kepemimpinan dan prestasi pemerintahan sipil yang
mungkin dicelahnya. Begitu pula dengan hirarki dan keterpaduan
yang jelas, kuat dan meluas bagi militer hal itu sangat menentukan
440

penghargaannya terhadap keamanan nasional. Mengingat hirarki dan


keterpaduan sangat mengutamakan kedisiplinan, sementara hasil dari
kedisiplinan adalah lahirnya keyakinan terhadap keamanan nasional,
maka sebagai akibatnya para perwira militer cenderung membesar
besarkan ancaman.

Menurut Eric A. Nordlinger konflik kontemporer saja yang oleh


orang lain masuk akal dan tidak dapat dihindari justru bagi militer
selain dianggapnya sebagai ancaman kecil yang dapat membesar, juga
bisa dilihatnya sebagai ancaman terhadap rezim. Karena merasa
bertanggungjawab atas ketertiban nasional, maka para perwira militer
memberi perhatian yang sangat berlebihan terhadap keamanan
nasional dengan cara membesar-besarkan kekuatan musuh dan akan
bertindak menghadapinya sebagaimana menghadapi ancaman yang
sebenarnya. Faktor lain yang mendorong tipologi militer profesional
berubah ke tipologi militer pretorian adalah keahliannya dalam
mengendalikan kekerasan. Menurut Eric A. Nordlinger citra diri yang
positif dan cita-cita bersama untuk mewujudkan kejayaan militer
merupakan indeks utama kepakaran militer, sehingga bila kepakaran
itu tidak dihargai maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh pihak
militer untuk memperbaiki kemampuannya dalam mempertahankan
negara.

Akibatnya muncul kecenderungan bagi perwira militer untuk


mendukung pretorianisme dan atau terlibat langsung dalam politik
sebagai kegiatan sampingan untuk dua maksud, yaitu: jalan keluar
bagi cita-cita pribadi berupa kenaikan pangkat yang gagal
diperolehnya dalam peningkatan keahlian militernya dan jalan keluar
untuk mengurangi kemampuan mereka sebagai pelaksana kekerasan
setelah bangga menjadi pakar.

c. Military Pretorian.

1) Ciri-Ciri Negara Pretorian Modern. Menurut Perlmutter kaum


pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat
agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah.
Intervensionisme atau kecenderungan tentara dalam hal ini bersifat
permanen. Tentara dapat melakukan perubahan konstitusi dan
menguasai negara. Hal ini dapat mengakibatkan pandangan yang
negatif terhadap keprofesionalan tentara. Frederick Mundel Watkins
mendefenisikan pretorianisme sebagai suatu kata yang sering dipakai
untuk mencirikan suatu situasi dimana militer dalam suatu
masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom di
dalam masyarakat tersebut berkat penggunaan kekuatan aktual atau
ancaman penggunaan kekuatan. Suatu negara dapat dikatakan
sebagai negara pretorian modern jika militer telah menguasai bidang
politik. Militer memegang peranan didalam eksekutif sebagai
pelaksana pemerintahan. Oleh karena itu, eksekutif tidak berfungsi
dengan baik. Negara ini timbul karena adanya kelompok-kelompok
yang bersimpati pada pihak militer sehingga terjadilah istilah political
decay yang dapat merusak citra pemerintahan yang dipimpin oleh
militer.

2) Tipe Military Pretorian. Perlmutter membedakan tipe tentara


pretorian dalam dua kategori yaitu tipe tentara pretorian yang paling
441

ekstrim (tipe penguasa) dan tipe yang kurang ekstrim (tipe penengah)
sebagai berikut :

a) Tentara pretorian penguasa mendirikan eksekutif yang


independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi
masyarakat dan politik. Jenis tentara pretorian penguasa ini
mempunyai ciri, yaitu :

(1) Menolak Orde yang berlaku dan menentang


keabsahannya.

(2) Tidak mempercayai pemerintahan sipil dan tidak


mengharapkan akan kembali ke tangsi.

(3) Mempunyai organisasi politik dan cenderung


memaksimumkan militer.

(4) Yakin bahwa pemerintahan militer merupakan


satu-satunya alternatif yang dapat mengatasi kekacauan
politik.

(5) Mempolitisir profesionalisme.

(6) Beroperasi secara terbuka dan tidak takut akan


aksi pembalasan kaum sipil.

b) Tentara pretorian penengah tidak mempunyai organisasi


politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan
ideologi politik. Jenis tentara ini mempunyai ciri, yaitu :

(1) Menerima Orde sosial yang ada dan tidak mengada


kan pembaharuan fundamental di dalam rezim atau
struktur eksekutif.

(2) Kesediaan untuk kembali ke tangsi setelah perdebat


an dan konflik diselesaikan.

(3) Tidak mempunyai organisasi politik yang berdiri


sendiri dan tidak berusaha memaksimumkan kekuasan
nya.

(4) Menentukan batas waktu bagi pemerintahan militer


dan mengalihkan kepada pemerintahan sipil yang dapat
diterima, karena mereka memandang pemerintahan
tentara yang berkelamaan merugikan integritas
profesinya.

(5) Keprihatinan pemikiran tentang peningkatan


profesionalisme.

(6) Disebabkan karena ketakutannya terhadap


keterlibatan terbuka dalam politik, maka cenderung
beroperasi di belakang layar sebagai kelompok penekan
yang mempengaruhi pemerintahan sipil untuk bereaksi
terhadap tuntutan rakyat dan tidak perlu bagi militer
untuk campur tangan secara terang-terangan.
442

(7) Takut terhadap pembalasan pihak politisi maupun


penduduk sipil.

3) Tipologi Military Pretorian. Tipologi military pretorian mengacu


pada penelitian Eric A. Nordlinger (1977:2). Eric mencatat sejumlah
alasan, sebab dan motif politik bagi pihak militer untuk melakukan
campur tangan yang dirangkum ke dalam empat kelompok istilah
yaitu :

a) Prajurit berkuda (man on horseback) untuk intervensi


militer dengan alasan pihak militer bosan menjadi penjaga
malam untuk tugas pertahanan dan enggan menjadi pemadam
kebakaran untuk tugas membantu pemulihan keamanan.
Disini militer mengambil alih kekuasaan dari pihak sipil secara
paksa yang umumnya dilakukan melalui kudeta.

b) Pasukan bedah besi (iron surgeons) untuk intervensi


militer dengan alasan pihak sipil gagal mengatasi kekacauan
politik. Disini pihak militer mengambil alih kekuasaan dari
pihak sipil melalui pemberlakuan darurat militer.

c) Birokrat bersenjata (armed bureaucrats) untuk intervensi


militer dengan alasan pihak sipil tidak cakap memerintah. Disini
pihak militer mengambil alih kekuasaan dari tangan pihak sipil
dengan cara mengganti orang-orang sipil di jabatan strategis
untuk memerintah dengan kekerasan, seperti jabatan politik,
pemerintahan, birokrasi dan administrasi umum.

d) Tentara berbaju sipil (soldiers in mufti) untuk intervensi


militer dengan alasan pihak militer memiliki keahlian dan
keterampilan yang melebihi dan atau sama dengan keahlian dan
kemampuan golongan sipil. Disini pihak militer mengambil alih
kekuasaan dari tangan golongan sipil dengan cara memegang
jabatan strategis dalam bidang politik, pemerintahan, birokrasi
dan administrasi umum untuk kemudian memerintah dengan
sikap dan gaya yang mirip dengan golongan sipil.

4) Teori Intervensi Military Pretorian. Dari perspektif teori


intervensi tipologi military pretorian, seperti dijelaskan Eric A.
Nordlinger S.E Finer, S.P. Huntington dan Amos Perlmutter, sebab-
sebab keterlibatan militer dalam bidang politik, pemerintahan dan
kemasyarakatan menjadi beragam, seperti enggan menjadi ‘penjaga
malam’ dan ‘pemadam kebakaran’, ingin memulihkan citra dirinya,
ingin menjaga otonomi dan esklusifitasnya dari ancaman pihak sipil,
serta keinginan menyelamatkan kepentingan nasional dari
perpecahan politik. Pada periode keterlibatan ini, militer umumnya
tampil sebagai ‘prajurit berkuda’ lalu sebagai ‘pasukan bedah besi’
setelah beranggapan bahwa golongan sipil hidup dalam kemewahan
dan gagal mengatasi kekacauan politik dalam negeri. Selain ilmuwan
yang cenderung mendukung tipologi militer profesional seperti Samuel
P. Huntington dan atau menolak tipologi ‘militer pretorian’, seperti
Amos Perlmutter dan Eric A. Nordlinger, juga terdapat kelompok
ilmuwan yang tidak mempermasalahkan dan bahkan menganggap
positif tipologi ‘militer pretorian’, seperti Edward Shils, Lucian Pye,
John J. Johnson, Morris Janowitz, Irving Louis, Guy J. Pauker dan
443

Burhan D. Magenda. Menurut Burhan D. Magenda adanya penilaian


bahwa militer secara ideologis cukup reformis dalam orientasi
politiknya yang menjadikannya tidak terlalu berminat untuk
mempertahankan “status quo ante” membuat intervensinya dalam
politik relatif lebih diterima ketimbang politisi sipil yang oligarkis dan
sangat konservatif.

John J. Johnson (1982) yang menjadi motor kelompok ilmuwan


pendukung tipologi ‘militer pretorian’ melihat intervensi militer di
negara dunia ketiga sebagai hal yang bersifat positif, sebab militer
sebagai the modernizing elite sangat berguna dan membantu untuk
menggalakan pembangunan ekonomi dan modernisasi negaranya.
Morris Janowitz dan Irving Louis Horowits (1985) bahkan terang-
terangan mendukung keterlibatan militer profesional dalam politik
dengan alasan sejak tahun 1965 banyak rezim dunia ketiga telah
menjadi mapan dan stabil, serta relatif adaptif setelah dikendalikan
oleh militer.

Menurut Morris Janowitz (1985) militer dipercaya sebagai ujung


tombak modernisasi lebih karena ciri integratif lembaganya yang
memudahkannya melakukan mobilisasi untuk pembangunan.
Menurut Morris Janowitz (1985, 1964) faktor superioritas organisasi
militer spesialiasi dan kompleksitas teknologi yang menyebabkan
perkembangan manajemen kemiliterannya hingga mengaburkan
tugas-tugas militer dan sipil dan menjadikan kemampuannya lebih
dibanding dengan pihak sipil sebagai dasar bagi militer untuk
intervensi, sedangkan Guy J. Pauker (dalam John J. Johnson, 1982)
melihat militer secara ideologis dapat menjadi benteng bertahanan dari
ekspansi politik golongan komunis.

d. Military Revolusioner Profesional.

1) Ciri-Ciri Military Revolusioner Profesional. Tentara ini bukan


merupakan hasil dari pendidikan militer, melainkan lahir dari
panggilan negara untuk berjuang bersama revolusi. Dari pertama
masuk tentara, jenis tentara ini sudah mengalami politisasi dan
memiliki hubungan yang simbolik sifatnya dengan revolusi itu sendiri.
Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan
penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut
bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karena itu tentara
revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi
adalah angkatan bersenjata massal, suatu bangsa yang dipersenjatai.
Tentara revolusioner profesional enggan berdamai dengan rezim yang
baru, terutama bila angkatan bersenjata sebelumnya memainkan
peranan penting dalam perang pembebasan yang revolusioner itu.
Sebelum dan selama revolusi tentara selalu setia kepada gerakan
partai. Bila gerakan partai menjadi sama dengan negara atau rezim,
maka ia lebih setia kepada bangsanya dari pada rezimnya. Kaum
revolusioner mutlak harus setia kepada revolusi dan ajaran-
ajarannya. Tujuan pokok rezim revolusioner adalah subkoordinasi
segala peralatan kontrol di tangan gerakan partai dan ideologinya.

2) Orientasi Militer. Jadi ideologi kaum revolusioner akan


mencakup semua persyaratan prajurit profesional pada saat terakhir.
Semua nilai orientasi militer tersebut merupakan hasil dari tradisi
444

para perwira militer yang cenderung mematuhi dan mempublikasi


kannya kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan oleh militer untuk
mendapat keabsahan dari masyarakat luas. Pada kasus tertentu
dimana suatu negara pada awal pembentukannya mengalami revolusi,
keterlibatan militer dalam urusan non militer, terutama dibidang
pemerintahan dan kemasyaratan dapat dijelaskan dengan meng
gunakan teori intervensi military profesional revolusioner dari Amos
Perlmutter (1977). Intervensi militer dalam periode ini didasarkan
pada otonomi dan esklusifitasnya yang melihat dirinya tidak dibentuk
oleh pemerintahan sipil dan oleh meluasnya anggapan dikalangan
militer bahwa dirinyalah satu-satunya golongan yang dapat
menyelamatkan negara proklamasi dari upaya pendudukan militer
negara penjajah.

3) Perspektif Tipologi Military Profesional Revolusioner. Dari


perspektif tipologi military profesional revolusioner, meskipun militer
tidak memiliki andil dalam pembentukan atau berdirinya negara, akan
tetapi intervensinya dalam politik dan pemerintahan didorong oleh
otonomi dan esklusifitasnya yang melihat dirinya tidak dibentuk oleh
pihak sipil. Juga oleh ketidak percayaannya yang mendalam terhadap
para pendiri negara dan para politisi sipil yang dinilainya tidak dapat
diandalkan dalam menyelamatkan negara proklamasi dari upaya
pendudukan militer negara lain. Didorong oleh keyakinan politik
bahwa dirinya dilahirkan dari rahim revolusi yang diperkuat oleh
intervensi golongan sipil terhadap otonomi militer dan adanya
kepercayaan bahwa perang revolusi merupakan satu-satunya cara
mempertahankan negara bangsa baru (new nation state), membuat
pihak militer tidak ingin menunda waktu untuk mengambil alih
kekuasaan dari golongan sipil melalui pemberlakuan pemerintahan
militer dalam bingkai darurat perang. Pada periode ini, keterlibatan
militer dalam urusan non militer cenderung dipraktekkan melalui
model pasukan bedah besi setelah beranggapan bahwa golongan sipil
tidak memiliki nasionalisme dan patriotisme.

43. Sistem Politik.

a. Umum.

Setiap sistem memiliki ciri khas sehingga antara sistem yang satu
dengan sistem yang lain dapat dibedakannya. Untuk mengenali politik
sebagai suatu sistem maka ini akan dibahas tentang sistem politik, ciri-ciri
utama/sifat dasar dan karakteristik sistem politik. Pengertian sistem politik
sebenarnya adalah menggantikan istilah-istilah lama seperti “pemerintah”,
“bangsa”, atau negara dalam menggambarkan satu cara dalam melihat
fenomena politik.

b. Pengertian Sistem Politik.

David Easton mengatakan: “Sistem politik menentukan/menetapkan


nilai-nilai dengan cara kebijaksanaan yang mengikat masyarakat berdasar
atas kewenangan. Kebijakan adalah jelas autoritatif bilamana berlaku/
diberlakukan maka harus atau seharusnya dipatuhi. Suatu kebijakan itu
apakah formal atau efektif diterima sebagai pengikat”. Definisi ini
mengandung arti bahwa inti dari sistem politik meliputi/menyangkut tiga
hal yaitu:
445

1) Pengalokasian nilai-nilai dalam arti kebijakan;

2) Pengalokasian nilai-nilai itu berdasarkan pada adanya


kewenangan;

3) Pengalokasian nilai-nilai atas dasar kewenangan itu mengikat


masyarakat secara keseluruhan.

c. Ciri-ciri utama/sifat dasar Politik.

Sistem politik merupakan salah satu sistem sosial, dan tentu berbeda
dengan sistem sosial yang lainnya yang ditunjukkan oleh ciri-ciri utamanya.
Untuk menambah atau memperkokoh pemahaman kita tentang apa itu
sistem politik maka pada bagian ini dikemukakan pendapat dari beberapa
ilmuwan politik mengenai ciri-ciri utama dan karakteristik sistem politik.
Menurut David Easton ada empat ciri sistem politik, sebagai berikut:

1) Unsur Identifikasi. Untuk membedakan antara sistem politik


dengan sistem yang lainnya perlu memperhatikan dua hal yaitu:

a) Menetapkan unit-unit dasar sistem politik di mana setiap


tindakan-tindakan politik membentuk peranan politik dan
kelompok politik. Dengan demikian, maka setiap orang tentu
dapat menjadi anggota sistem politik baik mewakili dirinya
sendiri, keluarga ataupun institusi. Hal ini dapat diterima, sebab
secara kodrati manusia adalah makhluk politik. Lantas apa
yang dikatakan sebagai tindakan politik itu? David Easton
mengatakan tindakan politik adalah tindakan yang sedikit
banyak berusaha untuk mempengaruhi pembentukan atau
pelaksanaan keputusan yang sah di dalam masyarakat, artinya
bahwa tindakan-tindakan di luar itu bukan merupakan bagian
dari sistem politik yaitu disebut dengan lingkungan.

b) Batasan. Fakta telah memperlihatkan bahwa setiap sistem


apapun selalu berada dalam suatu lingkungan atau di kelilingi
oleh berbagai sistem lain. Oleh karena itulah maka sistem
politik memiliki batas yang memisahkannya dengan sistem lain
dalam suatu lingkungan.

2) Input dan output. Sistem politik memiliki konsekuensi-


konsekuensi penting bagi masyarakat yaitu keputusan-keputusan
yang autoritatif (output). Jadi apabila suatu sistem politik hendak
melakukan pekerjaan maka memerlukan input secara terus menerus/
ajeg sebagai energi yang menggerakkan sistem politik untuk bekerja
sehingga dapat menghasilkan output sebab tanpa input, ia tidak dapat
menjalankan fungsinya. Ketika sistem politik melakukan pekerjaan
nya, berbagai hal dapat terjadi yakni sebagai akibat daripada aktivitas
anggota sistem dalam menghadapi lingkungan yang selalu berubah-
ubah. Dengan demikian, perilaku setiap sistem politik mencerminkan
tanggapannya terhadap struktur dan kebutuhan-kebutuhan
internalnya, dan juga tekanan-tekanan yang datang dari lingkungan
nya.

3) Diferensiasi. Menunjukkan bahwa input merupakan energi yang


menggerakkan sistem politik untuk bekerja sehingga menghasilkan
446

output. Output yang dihasilkan oleh sistem politik berbeda dengan


input yang diperolehnya dari lingkungannya. Suatu hipotesis
dikemukakan yaitu “jika suatu sistem politik harus menjalankan
berbagai pekerjaan dalam waktu yang terbatas maka anggota sistem
politik (strukturnya) secara minimal harus mengenal pembagian
kerja”.

4) Integrasi di dalam sistem politik. Sistem politik harus dapat


mengatur kekuatan-kekuatan dalam sistem politik yang dapat
merusak atau menghancurkannya. Oleh karena itu diperlukan
kesadaran daripada anggota-anggota sistem politik untuk menjaga
keberadaan dan kelangsungan hidup sistem politik sehingga terjadi
suatu mekanisme yang dapat menjaga dan mengintegrasikan berbagai
macam kegiatan serta memaksa anggota-anggota sistem untuk selalu
bekerja secara harmonis, walaupun dalam kadar/tingkat/ukuran
yang minimal sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan-
keputusan autoritatif sebagai jawaban terhadap tuntutan yang datang
dari lingkungan.

Dikutip C. J. Johari dari buku The Politics of Developing Area


dikemukakan bahwa sistem politik memiliki tiga sifat utama yakni
menyeluruh, saling ketergantungan, dan batas yaitu :

1) Comprehensivenes (menyeluruh). Sistem politik, termasuk


semua interaksi inputs dan juga outputs yang mempengaruhi
penggunaan atau ancaman secara paksaan atau fisikal. Almond tidak
hanya mementingkan struktur didasarkan pada dasar konstitusional
dan legal seperti parlemen, pengadilan, dan birokrasi atau organisasi
informal seperti partai politik dan kelompok penekan, dan alat-
alat/cara-cara komunikasi.

2) Interdependence of parts (saling ketergantungan bagian-bagian).


Secara tidak langsung bahwa suatu perubahan dalam satu bagian
perangkat interaksi menghasilkan perubahan dalam semua bagian,
seperti bekerjanya partai dan kelompok penekan dan berfungsinya
legislatif dan eksekutif.

3) Boundaries (batasan). sistem politik memiliki batasan yang


pasti, di mana sistem politik berakhir dan sistem lain mulai. Batas-
batas antara masyarakat dan pemerintahan/negara berbeda dari satu
sistem politik dengan yang lain tetapi tetap dalam jenis
komunikasional primitif, beberapa pemberian isyarat, membuat
peralihan (dari yang sedang memegang jabatan) dari suatu peranan
agama kepada politik.

d. Karakteristik Sistem Politik. Karakteristik/sifat khas suatu sistem


politik adalah sebagai berikut :

1) Universality of political sistem. Pada umumnya semua sistem


politik, apakah primitif atau modern, atau sedang berkembang dan
berkembang memiliki struktur politik, yakni memiliki pola interaksi
dengan cara-cara memelihara ketertiban di dalam dan di luar sistem.
Dari perspektif ini maka selanjutnya setiap sistem politik memiliki
empat karakteristik yaitu:
447

a) Semua sistem politik memiliki struktur politik.

b) Semua sistem politik memiliki persamaan fungsi-fungsi,


walaupun fungsi-fungsi ini dijalankan dengan frekuensi yang
berbeda dalam berbagai-macam stuktur yang berbeda.

c) Semua struktur politik, walau bagaimanapun


terspesialisasinya adalah multi fungsi.

d) Semua sistem politik adalah ‘campuran’ dalam arti


budaya. Tidak semua modern’ budaya dan strukturnya, dalam
pengertian rasional, dan tidak semua primitif dalam pengertian
tradisional. Perbedaannya relatif dominance terhadap satu
kepada yang lain, dan dalam pola campuran “composit” daripada
dua komponen

2) Universality of Political Structure. Semua sistem politik memiliki


struktur yang sama dan menjalankan fungsi-fungsi yang sama,
walaupun dengan berbagai tingkat/kadar frekuensi. Fungsi artikulasi,
agregasi, dan komunikasi mungkin dapat dijalankan secara menyebar
di dalam masyarakat atau secara selamenyela (berselang-seling)
melalui pertalian/hubungan keluarga atau struktur keturunan.
Analisis sistem politik yang memadai harus menempatkan dan
menggolongkan semua fungsi dan tidak mudah dilakukan oleh
struktur politik terspesialisasi. Tentu saja, ini menekankan pada
struktur politik yang terspesialisasi diletakkan pada konsepsi stereotip
sistem tradisional dan primitif sebagai sistem yang statik, sejak
struktur politik sangat mungkin dibedakan adalah struktur eksekutif-
legislatif dan penghakiman. Mekanik pilihan politik adalah juga baik,
tetapi dalam bentuk struktur politik yang sebentar-sebentar berubah.

3) Universality of Political Functions. Wilayah studi ini tidak


dikhususkan pada studi secara tidak mendalam (dangkal) tentang
badan legislatif, eksekutif dan judisial suatu sistem politik tetapi juga
peranan faktorfaktor permulaan, komunikasi, kewenangan,
modifikasi, vetoing, perwakilan, advokasi dan interpretasi dan studi
lembaga-lembaga dan agen-agen ‘bukan negara’ seperti partai politik,
kelompok kepentingan, elit, agen-agen mass media dan lain-lain yang
membentuk (constitute) infrastruktur sistem politik. Almond
mengemukakan tujuh klasifikasi dalam kategori input dan output.

a) Kategori inputs termasuk fungsi :

(1) Sosialisasi dan rekrutmen politik.

(2) Artikulasi kepentingan.

(3) Agregasi kepentingan.

(4) Komunikasi politik.

b) kategori output termasuk:

(1) Pembuatan Undang-Undang.


448

(2) Penerapan undang-undang.

(3) Pengadilan undang-undang.

4) Multifunctionality of Political Structure. Semua struktur politik,


terlepas dari tingkat spesialisasinya pada batas waktu dan ruang
adalah multifungsi. Model sistem politik barat sangat menekankan
fungsi khusus struktur politik, sementara sistem politik tradisional
lebih menekankan tidak adanya perbedaan ciri, dan menyebar dari
struktur politik dan sosial. Satu lagi, Almond menentang
kecenderungan ‘pembatasan model kasus’ sistem barat. Dalam
praktek politik menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya mengadili
namun juga legislasi; birokrasi adalah satu sumber legislasi sangat
penting; badan legislatif mempengaruhi administrasi dan peradilan;
partai politik dan kelompok penekan mengawali legislasi dan
berpartisipasi dalam administrasi nasional; cara-cara komunikasi
menjelaskan kepentingan-kepentingan mempengaruhi bekerjanya
semua ketiga-tiga badan/departemen suatu organisasi politik.

5) Culturally Mixed (Character of Political Sistem). Semua sistem


politik adalah “campuran” dalam pengertian budaya. Biasanya dari
pelbagai macam struktur politik, ciri primitif juga ditemukan di dalam
sistem politik modern. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
semua sistem politik memiliki struktur formal dan informal. Tidak
satupun sistem politik modern atau barat dalam pengertian yang sama
seperti tidak seorang individu adalah dewasa penuh atau terbebas dari
ikatan dan menyebar saling ketergantungan.

43. Militer Dan Integrasi Politik.

a. Umum.

Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang


memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan yaitu federalisme,
pluralisme, fungsionalisme, neo fungsionalisme dan regionalisme. Meskipun
pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini
rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-
sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi
memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana berubah
dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.

b. Integrasi Politik.

Integrasi politik menunjuk pada sebuah proses kepada atau sebuah


produk akhir penyatuan politik di tingkat global atau regional diantara unit-
unit nasional yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam
peradaban manusia, sedangkan dalam tingkat hubungan internasional ia
menjadi kesadaran baru dan terminologi baru dan menjadi studi politik
sistemik utama pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Integrasi politik
meliputi vertikal dan horizontal, sebagai berikut :

1) Integrasi Politik Horizontal. Menyangkut hubungan seluruh


komponen masyarakat, bangsa dan negara. Wujud paling konkrit dari
disintegrasi horizontal di tingkat masyarakat adalah konflik sosial,
seperti konflik Ambon dan Poso (primordialisme agama), serta konflik
449

Sampit (primordialisme etnis). Ditingkat negara disintegrasi horizontal


dapat ditandai oleh konflik yang pernah terjadi di Indonesia antara lain
Polri vs KPK, konflik TNI dan Presiden (Orla) dan Konflik Polri dan TNI.

2) Integrasi Politik Vertikal.

a) Menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dan


pemerintah daerah. Sedangkan wujud paling konkrit dari
disintegrasi vertikal adalah separatisme, seperti Gerakan Papua
Merdeka (GPM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM).

b) Khusus untuk integrasi horizontal dalam masyarakat dan


integrasi vertikal ada keyakinan yang mendalam bahwa pihak
militer dapat menjadi perekat. Keyakinan terhadap kemampuan
militer dalam menjaga integrasi politik tidak lepas dari faktor
kepemimpinan dan institusinya.

c) Tidak diragukan bahwa pendidikan militer mencakup


integritas, nasionalisme, disiplin dan patriotisme. Selain itu,
institusi militer yang hirarkis dan bersifat komando
membuatnya dapat berfungsi secara sinergi dengan institusi
negara lainnya, seperti polisi dan birokrasi. Kedua faktor itu
merupakan energi bagi pihak militer untuk terlibat dalam
penanganan disintegrasi politik.

3) Keyakinan akan kemampuan. Didukung oleh sikap politik


militer yang cenderung melakukan intervensi jika terdapat alasan:

a) Ingin menyelamatkan kepentingan dan persatuan


nasional.

b) Kekacauan yang meluas akibat perpecahan politik.

4) Kesepakatan internasional. Selain itu terdapat kesepakatan


internasional terhadap dua fungsi militer di luar fungsi pertahanan
militer:

a) Fungsi misi sipil (civic mission).

b) Fungsi perdamaian (peace keeping), yang keduanya dapat


mempermudah pihak militer untuk terlibat dalam menjaga
kedua jenis integrasi itu, seperti fungsi Kowil TNI AD selama ini
berlangsung.

c. Integrasi Nasional.

Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yakni integrasi dan
nasional. Menurut istilah integrasi mempunyai arti sebagai pembaruan atau
penyatuan, sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Menurut istilah
nasional mempunyai arti sebagai kebangsaan. Yang meliputi suatu bangsa
seperti ciri-ciri nasional, tarian tradisional, perusahaan nasional.
Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah diatas, maka integrasi
nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu
proses penyatuan atau pembaruan berbagai aspek sosial budaya ke dalam
suatu wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa yang dapat
450

menjamin terwujudnya keselarasan dan keseimbangan dalam mencapai


tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integrasi nasional sebagai suatu
konsep dalam ikatan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan pada aliran pemikiran atau paham
integralistik yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal
dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, integrasi nasional mempunyai arti dua macam, yaitu :

1) Secara politis, integrasi nasional adalah proses penyatuan


berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah
nasional yang membentuk suatu identitas nasional.

2) Secara antropologis, integrasi nasional adalah proses


penyesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang berbeda,
sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.

Perwujudan integrasi nasional masyarakat dan budaya bangsa


Indonesia yang heterogen (beraneka macam) itu diungkapkan dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda suku bangsa,
agama, budaya daerah, tetapi tetap satu bangsa. Istilah Bhinneka Tunggal
Ika pertama kali diungkapkan oleh seorang empu terkenal di kerajaan
Majapahit, yaitu Empu Tantular, dalam kitab Sutasoma.

d. Faktor-Faktor Yang Dapat Mengancam Integrasi. Adapun faktor-


faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut :

1) Kurangnya rasa pengetahuan kita mengenai sejarah-sejarah


Indonesia.

2) Tidak ada rasa memiliki terhadap bangsa (acuh tak acuh).

3) Hilangnya rasa cinta tanah air.

4) Tidak ada rasa berkorban.

5) Hilangnya rasa hormat terhadap simbol-simbol negara (Garuda


Pancasila) dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

e. Upaya Membangun Integrasi. Menurut Liddle, suatu integrasi


nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila sebagai berikut :

1) Sebagian besar anggota masyarakat bangsa bersepakat tentang


batas -batas teritorial (wilayah) dari Negara sebagai suatu kehidupan
politik dimana mereka menjadi warganya.

2) Sebagian anggota masyarakat bangsa bersepakat mengenai


struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari pada proses politik
yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara.

Dengan perkataan lain, suatu integrasi nasional yang tangguh


akan berkembang di atas konsensus nasional mengenai batas-batas
suatu masyarakat tersebut dan harus memiliki :

a) Kesadaran dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-


sama merupakan warga dari suatu bangsa.
451

b) Konsensus nasional mengenai bagaimana suatu


kehidupan bersama sebagai bangsa harus diwujudkan atau
diselenggarakan.

Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus


diwujudkan atau diselenggarakan untuk sebagian harus kita temukan
dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi
negara. Secara yuridis-formal, Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Pada
tingkat yang sangat umum telah diterima sebagai kesepakatan nasional
serta lahir bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia sebagai
negara yang merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain. Di dalam
kenyataan, pancasila menjadi akar dalam sejarah pertumbuhan gerakan
nasionalisme. Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman
negara-negara lain dan dari negara kita sendiri tentang akibat menguatnya
primordialisme, sehingga keberadaan dan penguatan lembaga-lembaga
integratif seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi sipil dan militer,
partai-partai politik (ideologi nasionalisme yang dapat menjembatani
perbedaan etnik yang tajam, sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus
tetap dilaksanakan dengan mengingat bahwa hal ini adalah sebagai
konsekuensi dari masyarakat kita yang majemuk. Perlunya lembaga-
lembaga pemersatu melalui state building.

Adapun uraian secara singkat tentang lembaga pemersatu yang


dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :

1) Birokrasi Sipil dan Militer. Lembaga integratif yang paling


dominan dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan
militer (TNI), yang jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan
monopolinya atas alat-alat kekerasan (alat peralatan perang alat
utama sistem persenjataan) untuk mempertahankan dan bahkan
untuk membangun negara bangsa. Dalam kerangka pemikiran
tradisional bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan
militer sebagai benteng terakhir (mean of the last resort) mempertahan
kan kebutuhan negara bangsa. Hal ini dapat dilihat sikap keras dari
militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan
(primodialisme). Selain birokrasi militer, proses state building juga
mencakup birokrasi sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak
dan menyediakan bahan pokok khususnya bahan makanan (aparatur
pajak sebagai bentuk yang paling tradisional dari demokrasi).
Penyediaan bahan makanan harus tersedia dengan cukup untuk
mencegah terjadinya huru hara kelaparan pangan atau food riots.
Indonesia juga pernah mengalami food riots yang menyebabkan
runtuhnya pemerintahan orde baru tahun 1998 akibat krisis moneter
sejak tahun 1997. Krisis pangan dan moneter juga meruntuhkan
pemerintahan di Muangthai dan Korea Selatan, sedangkan yang
selamat hanya Malaysia di bawah PM Mahathir Mohammad. Birokrasi
militer dan sipil di Indonesia sudah berkembang pesat dan mengalami
kemajuan baik dari segi jumlah, kualitas, jenjang pangkat maupun
penempatan jabatan eselon pimpinan serta sumber etnik rekrutmen.
Dari segi etnik, baik TNI maupun Polri dan PNS baik pusat maupun
daerah sudah meliputi semua etnik grup yang ada, sehingga
melambangkan Bhineka Tunggal Ika.

2) Partai Politik. Dalam sejarahnya Partai Politik merupakan alat


mobilisasi vertikal yang lebih cepat dibandingkan dengan birokrasi
452

nasional baik birokrasi sipil maupun militer. Dengan sistem Pemilu di


Indonesia sekarang merupakan gabungan dari sistem distrik dan
sistem proposional, sehingga perwakilan daerah dan etnik terwakili,
maka partai politik mampu menjadi alat integrasi bangsa.

3) Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional


menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya yang
menciptakan elit nasional yang kohesif. Pendidikan nasional mulai
dari SD sampai perguruan tinggi, menjadi alat pemersatu baik melalui
kurikulum nasional, bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen
siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional.
Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian
lokal tetapi yang berstandar nasional, demikian juga walaupun ada ide
untuk menambah muatan kurikulum lokal/kedaerahan, namun tetap
kurikulum inti mengajarkan ilmu sosial dan humaniora yang bersifat
integratif dan nasional. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam
sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga
negara. Alat integrasi yang lain adalah rekrutmen siswa, mahasiswa
dan tenaga pengajar yang bersifat nasional dan multietnik, sehingga
terjadi proses komunikasi, sosialisasi, asimilasi dan kulturasi dari
berbagai etnik di kalangan siswa, mahasiswa dan tenaga pengajar.

4) Kemajuan Komunikasi dan Transportasi. Peranan media masa


nasional seperti koran, majalah, TVRI, RRI cukup penting di Indonesia
sebagai alat integrasi nasional. Banyak koran maupun media masa
lainnya yang terbit di Jakarta tetapi penyebarannya menjangkau
sampai ke seluruh kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang
mampu menembus pasar ke daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya
adalah telepon, yang mengalami perkembangan pesat sejak
pemerintahan orde baru sampai sekarang. Perkembangan yang cepat
dalam bidang transportasi mengakibatkan terjadinya mobilitas
geografis penduduk dapat lebih cepat, aman, nyaman, dan murah.
Bentuk mobilitas penduduk dapat transmigrasi, migrasi maupun
turisme baik antar daerah, nasional, regional bahkan global.
Meningkatnya kegiatan mobilitas penduduk dan turisme nasional
maupun lokal membawa dampak memperkuat rasa kesatuan dan
kebangsaan.
453

BAB VIII

PENUTUP

44. Penutup. Demikian Naskah Departemen Jilid 2 ini disusun sebagai


bahan ajaran untuk pedoman bagi dosen dan perwira siswa dalam proses belajar
mengajar Sejarah Perang dan Perkembangan Lingkungan Strategis pada Pendidikan
Reguler Seskoad.

KOMANDAN SEKOLAH STAF DAN KOMANDO TNI AD,

Dr. ANTON NUGROHO, MMDS., M.A.


MAYOR JENDERAL TNI

RAHASIA

Anda mungkin juga menyukai