Anda di halaman 1dari 12

DSI

DAMPAK SOSIAL INFORMATIKA

Kelas:
X, MPLB
NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1. Aulia Ramadani
2. Dini Lestari
3. Mirazaini Julia S
4. Octavia Ramadani S
5. Zahra Arfani

Jl. Letnan Jenderal R. Suprapto Jl. Kubang Sepat No.KM.3, Citangkil, Kec.
Citangkil, Kota Cilegon
MARIAM KI AMUK

Asal Muasal

Meriam yang berukuran cukup besar ini tersimpan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten
Lama. Ukuran panjangnya 341 cm, diameter bagian belakang 66 cm, diameter mulut atau moncong
bagian luar 60 cm dan bagian dalam 32 cm. Adapun lebar bagian yang menonjol 1,15 m. Sedikit berbeda
dengan K.C. Crucg, yang menyebutkan meriam Ki Amuk memiliki panjang 3,45 m, kalibernya 31 cm dan
beratnya kira-kira 6 ton.

Terkait asal muasal meriam Ki Amuk, K.C. Crucq menyatakan bahwa jejak awal dari nama meriam Ki
Amuk terdapat di satu peta kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17. Pada peta
tersebut tercatat meriam besar ‘t Desperant’, yang oleh Curcq dianggap sebagai terjemahan dari Ki
Amuk. Sedangkan menurut Valentijn, Sultan Demak menghadiahkan satu meriam bernama Ki Jimat
kepada Hasanuddin sewaktu menikah dengan putrinya. Tradisi lain menyebutkan pada tahun 1528-1529
(1450 Jawa) Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam besar buatan Demak kepada penguasa
baru di Banten sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Disebutkan pula meriam ini
awalnya bernama Rara Banya, kemudian selalu disebut Ki Jimat.

Sebuah catatan lain yang disampaikan oleh Mendes Pinto mengatakan bahwa ketika terjadi perang
antara Demak melawan Panarukan (Pasuruan), terdapat sejumlah meriam yang dibuat dengan dicor,
termasuk salah satu yang berukuran besar bernama leÕes sebesar meriam Ki Amuk. Meriam-meriam
tersebut dicor oleh orang-orang Turki dan Aceh yang dipimpin oleh seorang empu, seorang pembelot
Portugis bernama Koja Zainal. Crucq selanjutnya berpendapat bahwa meriam yang di Banten
kemungkinan dicor oleh Koja Zainal untuk kepentingan Sultan Demak karena memiliki kemiripan dengan
meriam-meriam Portugis. Kemudian meriam diberikan Sultan Demak kepada Hasanuddin dan
membawanya ke Banten dimana meriam itu menjadi meriam sultan yang sangat dihormati dengan
nama Ki Jimat. Dengan dasar itu K.C.Crucq menghubungkan antara Ki Jimat sama dengan Ki Amuk dan
diperkirakan tahunnya adalah 1450 Saka (1528/9 AD).

Namun argumentasi yang disampaikan oleh Crucq tersebut nampaknya belum sepenuhnya meyakinkan
sebagian peneliti. Claude Guillot dan Ludvick Kalus (2008) dalam kajiannya mengenai inskripsi meriam Ki
Amuk meragukan argumentasi Crucq yang menyatakan bahwa meriam ini dibuat di awal abad ke-16 dan
peleburannya dilakukan di Jawa. Menurut Guillot dan Kalus, inskripsi-inskripsi, ukiran hiasan, dan
gelang-gelang pengangkat memerlukan penguasaan teknik tinggi yang belum ditemukan oleh satu pun
contoh di Nusantara pada waktu itu.

Perbedaan pandangan beberapa peneliti mengenai meriam Ki Amuk yang selalu dikaitkan dengan
meriam Ki Jimat dalam masyarakat Banten terdapat pula beberapa pendapat mengenai asal usulnya.
Ada empat daerah asal yang selalu disebutkan sebagai daerah asal meriam Ki Amuk yaitu Timur Tengah,
Persia, Turki, dan Demak sebagai hadiah raja Banten pertama, Maulana Hasanuddin (Mahmud, 2005:
187). Meriam Ki Jimat dalam Babad Banten pupuh ke-44 menggambarkan bahwa meriam Ki Jimat ketika
masa pemerintahan Sultan Abdulmafakhir Muhammad Abdul Kadir berada di perkampungan Candi
Raras, dimana terdapat beberapa bangunan, dua diantaranya bernama Made Bobot dan Made Sirap. Di
sebelah timur Made Bobot terdapat bangunan terbuka (mandapa), di dalam bangunan dipasang Meriam
Ki Jimat, moncongnya terarah ke utara (Djajadiningrat, 1983:57). Demikian yang diketahui tentang
meriam Ki Amuk yang dikaitkan dengan meriam Ki Jimat hingga saat ini.

Inskripsi

Satu hal yang menarik dari meriam Ki Amuk adalah adanya inskripsi berhuruf Arab pada tubuh meriam,
tepatnya berada di bagian atas atau punggung meriam. Jumlah inskripsi yang terdapat pada meriam Ki
Amuk sebanyak tiga yang tertulis dalam lingkaran medalion. Pembacaan inskripsi berhuruf Arab pada
meriam Ki Amuk telah dibaca oleh beberapa ahli seperti K.C. Crucg, L.C. Damais, dan Claude Guillot
bersama Ludvic Kalus. Hasil pembacaan inskrispsi itu oleh para ahli tersebut pembacaanya
disempurnakan Asep Saefullah (2011).
Inskripsi pertama dalam medalion yang berukuran diameter 10 cm berada dekat dari moncong meriam.
Di sini terdapat tulisan berhuruf Arab sebanyak dua baris. Baris atas tertulis aqibah al-khairi sala, di
bawahnya tertulis mah al-imani. Jika kedua baris tulisan tersebut disambung terbaca aqibah al-khairi
salamah al-iman yang artinya buah kebaikan adalah keselamatan iman.

Inskripsi 1 di Meriam Ki Amuk

Inskripsi kedua dalam medalion yang berukuran diameter 12 cm kedua berada di tengah-tengah tubuh
meriam bagian atas atau punggung, atau diantara dua medalion. Di sini juga terdapat tulisan berhuruf
Arab sebanyak dua baris. Baris pertama atau atas tertulis aqibah al-khairi, di bawahnya tertulis salamah
al-imani. Sama seperti medalion yang pertama, jika disambung tulisan baris pertama dengan baris kedua
akan terbaca aqibah al-khairi salamah al-imani yang artinya buah kebaikan adalah keselamatan iman.

Inskripsi 2 di Meriam Ki Amuk


Inskripsi ketiga dalam medalion yang berukuran diameter 13 cm berada di dekat lubang sumbu meriam
atau bagian pangkal meriam. Dalam medalion ini terdapat empat baris tulisan berhuruf Arab. Baris
pertama sampai baris ketiga tulisannya masih jelas terbaca, sedangkan tulisan baris yang keempat
huruf-hurufnya pada bagian bawah tidak terlalu jelas. Namun melalui kajiannya Asep Saefullah telah
menampilkan bacaan secara lengkap inskripsi ini yang sebelumnya belum pernah terbaca secara
lengkap. Secara lengkap urutan baris tulisan inskripsi ketiga ini sebagai berikut: baris pertama terbaca la
fata illa Ali la saifa illa, baris kedua terbaca zu al-faqar isbir ala, baris ketiga terbaca ahwaliha la mauta,
dan baris keempat terbaca (illa) bi ajalin. Jika keempat baris tersebut disambung akan terbaca la fata illa
Ali la saifa illa zu al-faqar isbir ala ahwaliha la mauta (illa) bi ajalin yang artinya tidak ada pemuda kecuali
Ali, tidak ada pedang kecuali Zulfaqar, sabarlah atas huru-hara (cobaan peperangan), tidak ada kematian
kecuali karena ajal.

Inskripsi 3 di Meriam Ki Amuk

Ornamen

Ornamen yang diterapkan pada meriam Ki Amuk terdiri dari inskripsi, ukiran hiasan dan gelang.
Ornamen inskripsi telah disebutkan di atas, selanjutnya mengenai gelang dan ukiran hiasan akan
diuraikan sebagai berikut.

Gelang yang terdapat pada meriam Ki Amuk dapat dilihat dari dua segi yaitu sebagai bagian dari meriam
yang bersifat fungsional untuk mengangkat meriam ketika akan dipindahtempatkan dan sebagai
ornamen yang melengkapi hiasan pada tubuh meriam. Sebagai ornamen ada cerita khusus tentang hal
itu. Menurut cerita, meriam Ki Amuk awalnya memiliki bentuk yang hampir sama dengan bentuk
meriam Ki Jagur, meriam yang kini berada di Museum Fatahillah Jakarta. Seperti meriam Ki Jagur pada
bagian pangkalnya atau bagian belakangnya memiliki bentuk yaitu bentuk jari tangan yang mana ibu jari
diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah, bentuk ini umumnya disimbolkan sebagai bentuk
senggama, demikian pula meriam Ki Amuk. Oleh karena bentuk seperti itu dianggap kurang etis bagi
masyarakat di lingkungan Kesultanan Banten yang Islami, maka kemudian muncul cerita di masyarakat
yang menyampaikan bahwa bagian belakang meriam Ki Amuk dipotong dan kemudian material
potongan dilebur kembali menjadi bentuk gelang sebanyak lima pasang atau sejumlah sepuluh gelang.
Pembuat gelang-gelang tersebut selanjutnya diceritakan dibuat oleh pande besi dari Pandeglang yang
bernama Ki Buyut Papak, sekitar 30 km arah selatan Banten Lama.

Pemotongan simbol tersebut kemudian oleh anggapan sebagian masyarakat dilakukan untuk
membedakan bahwa kedua meriam tersebut yaitu Ki Jagur dan Ki Amuk merupakan dua pasangan yang
berlainan jenis. Ki Jagur yang berada di Kota Tua Jakarta selanjutnya disimbolkan sebagai meriam laki-
laki, sedangkan Ki Amuk dengan ornamen gelangnya disimbolkan sebagai meriam perempuan pasangan
Ki Jagur. Mengenai kebenaran cerita itu kiranya perlu kajian lebih lanjut.

Ornamen lain pada meriam Ki Amuk adalah ukiran hiasan yang dikenal dengan Surya
Majapahit yang menghiasi bagian muka moncong meriam. Nama lain untuk menyebut hiasan ini dikenal
pula dengan nama Sinar Majapahit, Surya Majapahit, Matahari Majapahit, dan Materai Majapahit.
Hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki Amuk berbentuk dasar seperti medali dengan sudut-sudutnya
berjumlah delapan dengan garis-garis kecil yang mengelilinginya, sehingga menampakkan seperti
matahari yang sedang bersinar.
Ornamen bermotif Surya Majapahit di moncong Meriam Ki Amuk

Hiasan sinar semacam ini sejak lama sudah ada seperti pada hiasan sinar yang memancar mengelilingi
tubuh atau kepala seseorang yang dianggap suci atau dewa. Hiasan lingkaran sinar matahari yang
membulat mengelilingi kepala seorang yang dianggap suci disebut nimbus. Sedangkan hiasan yang
mengelilingi seluruh tubuh dinamakan aureole. Hiasan seperti ini pada abad ke-4 Sebelum Masehi
terlihat pada gambar-gambar pada jambangan bunga dari Apulia dan lukisan dinding di Pompeii. Pada
abad pertama Sebelum Masehi dijumpai pada karya seni di India dan Parsi.

Kesinambungan pemakaian hiasan Surya Majapahit pada masa berkembangnya Islam di tanah Jawa,
menunujukkan bahwa ada pengakuan akan regalia Majapahit, meskipun dalam pemaknaannya
kemungkinan memiliki makna yang berbeda-beda, seperti sebagai lambang supranatural, kesaktian atau
merupakan magic religious dari seorang tokoh sentral.

Demikian pula hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki Amuk sebagai senjata tentu tidak sekedar
sebagai hiasan belaka. Jika hiasan itu merupakan bagian dari kesinambungan budaya dari masa
sebelumnya tentu hiasan itu memiliki makna tertentu dan juga menunjukkan pula pengakuan atas
regalia masa sebelumnya, masa Majapahit. Sebagai senjata, hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki
Amuk yang paling memungkinkan dalam pemaknaannya adalah memiliki makna kesaktian atau
kekuatan yang melebihi dari kekuatan meriam pada umumnya.

Hiasan yang menunjukkan adanya kesinambungan penerapan hiasan dari masa sebelumnya pada
meriam Ki Amuk juga dapat dilihat dari adanya hiasan tumpal. Hiasan atau motif tumpal memiliki bentuk
dasar bidang segitiga, bidang-bidang segitiga itu biasanya membentuk pola berderet, yang biasa
digunakan sebagai ornamen tepi. Motif tumpal umum dijumpai pada batik, terutama batik pesisir yang
banyak mendapat pengaruh Cina. Pada berbagai variasi motif tumpal yang berbentuk dasar segitiga
sama kaki diisi oleh aneka motif tumbuh-tumbuhan, bahkan dapat pula terisi bentuk-bentuk pengayaan
dari lidah api. Di beberapa daerah motif berbentuk dasar segi tiga ini disebut motif pucuk rebung.

Hiasan tumpal telah ditemukan ditemukan pada nekara, moko, bejana perunggu yang merupakan
peninggalan prasejarah. Pada masa Hindu-Budha hiasan tumpal sangat umum dijumpai pada bangunan-
bangunan candi.
Pada bahu meriam terdapat hiasan menyerupai lima gunung dengan posisi empat yang menyerupai
gunung mengelilingi satu yang ditengah, Lombard mengamati hiasan ini dan menyebutkan bahwa yang
menyerupai gunung tersebut mengingatkan motif gunung kosmis.

Di Nusantara beberapa meriam seperti Ki Amuk juga diperlakukan sebagai medium ritual, meriam-
meriam antara lain meriam Ki Jagur di Museum Fatahillah Jakarta, meriam Polong yang tersimpan di
bekas Benteng Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan, meriam Buntung di Istana Maimun, Medan,
Sumatra Utara, meriam Nyi Setomi di Keraton Solo, Surakarta, Jawa Tengah, meriam Laki Bini di Desa
Sembuluh, Kec. Danau Sembuluh, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah, meriam Padam Pelita di Kerajaan
Matan Tanjungpura, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, meriam Sibenua di Kerajaan Bulungan,
Kalimantan Timur, dan lain-lain.

Batu Karang Berelief di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Pecahan batu karang berelief ini ditemukan di bekas reruntuhan gerbang istana Surosowan. Motif-motif
relief yang teridentifikasi antara lain bentuk manusia (berupa lengan), motif hewan (berupa sayap dan
kaki unggas, dan tumbuhan (berupa daun dan bunga). Pecahan batu karang berelief ini diperkirakan
sebagai hiasan gerbang istana.
Alat Pemeras Tebu di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Gula merupakan salah satu hasil produksi dari tanaman tebu di masa Kesultanan Banten pada abad ke-
17 sampai abad ke-18. Produksi gula masa itu dikelola oleh orang-orang Cina di daerah Pecinan,
Kelapadua, hasilnya dijual ke Batavia untuk selanjutnya diekspor ke Cina dan Jepang. Alat produksi gula
pada masa itu menggunakan batu penggilingan. Masyarakat Banten tempo dulu menyebutnya kilang
yang digerakkan oleh hewan sapi.

Alat pemeras tebu koleksi Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MSKBL) terbuat dari bahan
batuan granit, yakni sejenis batuan beku yang memiliki warna cerah, butirannya kasar sehingga dapat
dilihat dengan jelas dan mempunyai kepadatan yang keras sehingga mampu menahan beban yang berat
dan tahan terhadap pelapukan. Terdapat tiga batu silindris, memiliki gerigi yang dipahatkan pada salah
satu bagian ujung atau tepian mengelilingi lingkaran batu. Satu di antara ketiga buah batu berukuran
tinggi 65 centimeter, garis tengah 71 centimeter. Gerigi berjumlah 13 buah, dipahatkan mengelilingi
lingkaran batu pada salah satu ujung atau sisi tepi batu. Di atas deretan pahatan gerigi terdapat sebuah
lubang dengan garis tengah 6 centimeter yang tembus ke dua sisi batu. Sebuah lubang berbentuk segi
delapan dengan kedalaman 18 centimeter terdapat di bagian tengah salah satu permukaan batu. Selain
tiga batu silindris bergerigi tersebut terdapat pula batu-batu lainnya, berbentuk bulat namun lebih
rendah dan lebar (Tim penelitian Arkenas 2004: 18 dalam Inagurasi 2010:30). Batu-batu tersebut
ditemukan di wilayah kawasan Banten Lama tepatnya di Kampung Pamarican dalam keadaan sudah
tidak berfungsi dan ada beberapa batu yang sudah dalam keadaan pecah. Batu-batu tersebut terdiri dari
berbagai macam bentuk dan ukuran ada yang berbentuk silindris, bulat dan balok. Sekarang batu-batu
ini di tempatkan disebuah cungkup di halaman museum dan menjadi salah satu koleksi outdoor MSKBL.

Keberadaan batu ini diduga erat berkaitan dengan teknologi pembuatan gula berbahan baku tebu pada
masa Kesultanan Banten, sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Inagurasi (2010) menguatkan dugaan tersebut dengan membandingkan batu silindris koleksi MSKBL
dengan batuan silindris yang ada di Tangerang dan Koleksi Museum Gula Jawa Tengah. Hasil
penelitiannya adalah adanya kemiripan dari bentuknya yang spesifik yakni bulat silinder, mempunyai
gigi (gear), mempunyai lubang-lubang, dan memiliki batu pasangan dengan bentuk serupa, maka
sepasang batu silinder tersebut dapat digerakkan atau berputar. Batu-batu tersebut setelah
direkonstruksi maka dapat diketahui kegunaannya yakni batu-batu tersebut digunakan untuk menggiling
atau memeras tebu guna di ambil airnya sebagai bahan baku pembuatan gula. Atas asumsi tersebut
dengan demikian dapat dipastikan bahwa batu silindris yang menjadi koleksi MSKBL, dulunya adalah alat
sederhana untuk memeras tebu guna memperoleh nira atau cairan tebu sampai menjadi gula.

Tanaman tebu (Saccharum officinarum), merupakan tanaman penting bagi manusia karena menjadi
salah satu bahan baku untuk pembuatan gula. Gula yang dihasilkan dari tebu digunakan sebagai bahan
pemanis pada minuman dan makanan. Sehubungan dengan pentingnya tanaman tebu, maka manusia
menciptakan benda atau alat untuk menghasilkan gula tebu. Usaha budidaya tebu sebagai bahan baku
pemanis makanan dan minuman telah dilakukan manusia sejak masa lampau dari zaman ke zaman.
Kilang, merupakan sebuah jenis minuman dari tebu yang telah dikenal pada masa pemerintahan Raja
Balitung abad ke-9 Masehi dan Majapahit abad ke-14 Masehi (Inagurasi, 2010: 27-28).

Usaha budidaya tebu sebagai bahan baku gula juga dilakukan pada masa Kesultanan Banten, tercatat
sekitar abad ke- 16 sampai ke-18 Masehi budidaya tanaman tebu semakin dikenal luas di Banten. Kota
Banten merupakan kota penting di pesisir utara Jawa belahan barat yang tumbuh sejak abad ke-16 dan
ke-17 Masehi. Kota Banten merupakan pusat Kesultanan Banten, berada di sekitar Benteng Surosowan
yang saat ini dikenal dengan nama Banten Lama. Daerah penghasil tebu pada masa Kesultanan Banten
teridentifikasi dari dokumen sejaman dengan menyebut nama daerah Clappadoa atau yang dikenal
sekarang sebagai nama Kelapadua (sekitar 9 kilometer dari Banten Lama).
Nama Kelapadua, menurut Claude Guillot, disebut dalam catatan Eropa, seperti Inggris, Denmark, dan
Belanda. Daerah ini memiliki peran ekonomi perdagangan di masa Kesultanan Islam Banten. Catatan
arsip kompeni Inggris untuk Hindia Timur yang disimpan di India Office London menuliskan terjadi
perdagangan antara Inggris dan orang Tionghoa di Kelapadua pada 1635. Pada tahun itu, disebutkan
juga bahwa raja, atau Pangeran Ratu, Sultan Abulmafakir tinggal disekitar Kelapadua untuk beberapa
waktu. Tercatat juga bahwa para pedagang dari loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli
sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di kapal mereka.

Dari arsip kontrak perdagangan antara kepala loji yang berasal dari Inggris dan orang-orang Tionghoa
Pada tahun 1638 dan 1640, yang berada langsung di bawah pengawasan sultan, mengindikasikan
betapa besarnya produksi gula di daerah Kelapadua ini. Kontrak pertama yang ditandatangani pada
bulan februari 1638, menyatakan bahwa delapan penghasil dan enam keluarga setuju untuk menjual
seluruh produksi mereka selama tiga tahun kepada kepala loji Inggris. Pada kontrak kedua, bertanggal
26 Agustus 1640 dan melibatkan orang-orang yang sama, terdapat informasi yang menarik mengenai
hubungan antara para pengusaha Tonghoa

Berdasarkan kedua dokumen kontrak tersebut didapatkan informasi bahwa orang Tionghoa yang tinggal
di Kelapadua, menanam tebu di areal yang cukup luas, karena dari kontrak pertama saja menyatakan
bahwa kepala loji Inggris akan membeli setiap keluarga 100.000 batang tebu setiap tahunnya. Gulliot
mencatat bahwa dari 100.000 batang tebu tersebut akan menghasilkan 450 pikul (sekitar 2,8 ton) gula
putih, berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah keselurahan produksi gula yang dihasilkan dari
Kelapadua mencapai angka 17 ton. Jumlah yang sangat besar mengingat pada masa itu produksi gula
hanya menggunakan penggilingan sederhana yang digerakan oleh hewan (sapi/kerbau) bukan secara
mekanik. Berdasarkan hal tersebut bisa dipastikan bahwa penghasil gula pada masa Kesultanan Banten
berada di daerah Kelapadua (9 kilometer Kawasan Banten Lama). Daerah ini merupakan sebuah pusat
perkebunan tebu dan juga tempat penggilingan tebu sampai menjadi gula putih yang berkualitas.

Ilustrasi Alat Penggilingan Tebu Tradisonal “Kilangan”

(Sumber: Erman . 1998 dalam Inagurasi 2010:25)


Semenjak itu, gula menjadi komoditas perdagangan penting selain lada di Banten, tertera dalam sketsa
pasar Banten sekitar abad ke-17 yang memperlihatkan ragam penjual, diantaranya berjualan hasil
pembudidayaan pertanian gula. Sebagaimana disebutkan oleh Untoro, bahwa saat harga lada menurun
dan sewaktu kesultanan diblokade Belanda maka Sultan memerintahkan para petani untuk menanam
tebu. Tebu yang selanjutnya diolah menjadi gula banyak dibutuhkan oleh orang-orang Inggris yang
tinggal di Banten. Pengolahan tebu banyak diusahakan pula oleh orang Cina yang bertempat tinggal di
Banten, bahkan ketika hasil lada berkurang, gula tebu ini dijual sebagai barang ekspor ke Cina
(Kathirithamby 1990, dalam Untoro, 2007: 144).

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, VOC pun mengembangkan pembudidayaan tebu
di Banten sebagai komoditas perdagangan baru yang dianggap memiliki prospek cerah bagi
perekonomian Belanda. Dari pembudidayaan tebu ini, VOC mendapatkan gula yang sangat laku di pasar
perdagangan Eropa. Dalam kebutuhan tenaga kerja, para pemilik pembudidayaan dan pabrik
penggilingan tebu, menggunakan tenaga kerja wajib yang diberikan oleh penguasa lokal. Pada awal abad
ke-17, penggunaan tenaga kerja wajib dilakukan dengan memanfaatkan budak-budak belian dan orang-
orang Cina. Rata-rata pekerja wajib yang mengolah pembudidayaan tebu mencapai jumlah 70-80 orang
yang diawasi oleh sekitar 5-6 orang Cina (Lubis, 2004: 79-81).

Anda mungkin juga menyukai