Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TELAAH JURNAL

PALLIATION OF THIRST IN INTENSIVE CARE UNIT PATIENT

OLEH:

Ns. Meta Agil Ciptaan, M.Kep., Sp.Kep.MB

INSTALASI RAWAT INTENSIF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
TELAAH JURNAL
PALLIATION OF THIRST IN INTENSIVE CARE UNIT PATIENT

OLEH:

Ns. Meta Agil Ciptaan, M.Kep., Sp.Kep.MB

Telah diperiksa dan disetujui

untuk Diskusi Refleksi Kasus (DRK) dan Persyaratan Kenaikan Pangkat

PP IRI Ka.SPF IRI

Ns. Deliwati, S.Kep Ns. Hendra,S.Kep


NIP. 197411221997032001 NIP. 1974099111995031001

Mengetahui,

Kepala Instalasi IRI

Dr. Yulinda Abdullah, Sp.An

NIP. 196807032002122001
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan limpahan rahmat,
taufik, hidayah dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Makalah Telaah Jurnal yang
berjudul “Palliation Of Thirst In Intensive Care Unit Patient” dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun sebagai salah satu pengembangan keilmuan keperawatan dan salah satu
syarat untuk kenaikan pangkat. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu dr Yulinda Abdullah, Sp.An yang telah memfasilitasi dan mendukung pengembangan
kegiatan keilmuan perawatan.
2. Ibu Ns. Deliwati, S.Kep selaku Pengelola Perawatan Instalasi Rawat Intensif dalam
mengarahkan, memberi masukan yang berharga, memotivasi dan meluangkan banyak
waktu untuk membimbing dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3. Bapak Ns. Hendra, S.Kep selaku kepala satuan fungsional perawat Instalasi Rawat
Intensif yang juga telah mengarahkan, memberi masukan berarti, memotivasi dalam 
penyusunan makalah ini.
4. Ibu Ns. Lisa Afriani, S.Kep selaku Kepala Ruangan ICU Green Instalasi Rawat Intensif
yang juga telah mengarahkanmemotivasi dalam  penyusunan makalah ini.
5. Teristimewa Suami Asrizal Bakri dan Anakku Adeeva Inara Afsheena dan kedua orang
tua yang senantiasa memotivasi dalam pembuatan makalah ini.
6. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.

Akhir kata, penulis panjatkan do’a kepada Allah SWT untuk memberikan kelimpahan berkah
dan balasan budi bagi semua pihak yang telah membantu. Semoga makalah ini ini dapat
memberikan manfaat.
      Padang, September 2022
  
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Haus dapat didefinisikan sebagai "persepsi yang memicu keinginan untuk minum cairan"
dan gejala yang lazim, intens, menyedihkan, dan kurang dihargai dalam perawatan
intensif pasien”. Mulut kering, atau xerostomia, dapat dikaitkan dengan rasa haus. Haus
dan mulut kering adalah gejala umum dan dapat mempengaruhi pengalaman pasien dalam
perawatan intensif (ICU) (Dale, Angus, Sinuff & Mykhalovskiy, 2013). Dalam sebuah
penelitian terhadap 171 pasien ICU oleh Puntillo et al, haus adalah salah satunya gejala
yang paling umum dan intens dilaporkan (Puntillo, Cooper, Stotts & Nelson, 2014).

Pasien di ICU cenderung haus dan mulut kering karena berbagai alasan, termasuk
ventilasi mekanis, tidak menerima apa pun melalui mulut, dan kondisi medis tertentu.
Pasien menerima ventilasi mekanis mengalami ketidakberdayaan dan frustrasi karena
ketidakmampuan untuk memuaskan rasa haus diuji. Pasien sakit kritis sering mengalami
rasa haus yang intens 70,8% dari 171 pasien Unit Perawatan Intensif (ICU) menilai rasa
haus sebagai memiliki intensitas terbesar, dan rasa haus adalah gejala paling umum kedua
(Eccles, Plessis, Dommels & Wilkinson, 2013). Putillo et al juga menilai untuk gangguan
rasa haus, intensitas rasa haus, dan mulut kering di 30 pasien yang tidak menerima
ventilasi mekanik dan yang statusnya bukan apa-apa melalui mulut. Skor untuk tekanan
haus dan intensitas haus adalah 5,5 dan 6.1 (pada skala peringkat numerik [NRS] 1-10).
Mulut kering dilaporkan oleh 66% dari pasien (Puntillo et al., 2014).

Penelitian telah dilakukan pada nonfarmakologi intervensi untuk mengelola dan


meminimalkan rasa haus dan mulut kering di rawat inap orang dewasa, terutama ICU
masih sedikit. Hal ini mengakibatkan kurangnya bukti kuat untuk praktik. Air dingin
adalah pendekatan yang paling umum, dengan berbagai teknik aplikasi (Ibrahem et al.,
2020). Mentol juga dikutip sebagai intervensi untuk sensasi pendinginannya. Puntillo et al
menggunakan pelembab bibir mentol sebagai bagian dari paket intervensi untuk
mencegah rasa haus dan mulut kering (Puntillo et al., 2014).

Tidak ada rekomendasi berbasis bukti untuk frekuensi penggunaan standar dilaporkan.
Pada penelitian sebelumnya intervensi haus yang terdiri dari air es semprotan, tisu usap
mulut, dan pelembab bibir mentol dalam studi kontrol acak pada 252 pasien ICU,
menghasilkan penurunan intensitas rasa haus yang signifikan secara statistik,rasa haus,
dan mulut kering. Akan tetapi dalam penerapan hasil penelitian kepada intervensi
berbasis bukti belum banyak dilakukan (Puntillo et al., 2014).

Rasa haus merupakan sesuai yang tidak dapat diabaikan pada pasien ICU. Oleh karena itu
diperlukan suatu praktik berbasis bukti untuk menerapkan bundle mengatasi rasa haus
yang sesuai dengan kondisi klinik dan nilai-nilai yang dianut oleh pasien sehingga
diharapkan dapat mengurangi frustasi yang dialami pasien dan meningkatkan outcome
pasien ICU secara keseluruhan.

B. TUJUAN
1. Memaparkan hasil evidence base practise untuk mengatasi rasa haus pasien di ICU
pada staf perawat ICU
2. Meningkatkan motivasi untuk meneliti keefektifan bundle rasa haus dan
mengaplikasikannya untuk meningkatkan outcome pasien ICU
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Haus
a. Pengertian Haus
Haus adalah respon fisiologis dari dalam tubuh manusia berupa keinginan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh yang dilakukan secara sadar. Fenomena
munculnya rasa haus sama pentingnya untuk pengaturan konsentrasi natrium dan air
dalam tubuh. Karena jumlah air didalam tubuh pada setiap saat ditentukan oleh
keseimbangan antara masukan dan pengeluaran air yang dikonsumsi setiap hari
(Guyton, 2012. Haus adalah perasaan seseorang yang secara sadar menginginkan air
dan merupakan faktor utama yang menentukan kebutuhan asupan cairan (Potter et
al., 2017).

Haus adalah insting atau keinginan untuk memenuhi cairan yang mendorong naluri
dasar untuk minum, dengan suatu mekanisme penting yang terlibat dalam
keseimbangan cairan. Berdasarkan definisi dari berbagai sumber diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa haus adalah respon fisiologis dari dalam tubuh manusia yang
muncul berupa keinginan secara sadar akan cairan (minum) untuk memenuhi
kebutuhan cairan dalam tubuh.

b. Faktor yang mempengaruhi rasa haus (dipsogenic factor)


Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh manusia diatur oleh mekanisme rasa
haus, pusat reseptor stimulus fisiologis utama yang mengendalikan rasa haus ada
dihipotalamus di otak. Faktor yang mempengaruhi munculnya atau timbulnya
rasa haus diantaranya karena adanya peningkatan konsentrasi plasma, penurunan
volume darah, membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II,
kehilangan kalium,dan faktor-faktor psikologis. Sel reseptor osmoreseptor
secara terus-menerus memantau osmolalitas, apabila tubuh kehilangan cairan
banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi kehilangan cairan dan mengaktifkan
pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang merasa haus dan muncul
keinginan untuk minum (Potter et al., 2017).
Faktor keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam-basa dipengaruhi oleh
beberapa hal berikut
 Usia.
Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang, antara bayi,
anak, dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang harus dipenuhi berbeda-
beda karena dalam masa pertumbuhan bayi dan anak mengalami perpindahan
cairan lebih besar dan laju metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa
yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kehilangan cairan. Lebih cepatnya
perpindahan cairan disertai hilangnya cairan akibat penyakit pada anak-anak
akan terjadi ketidakseimbangan cairan jauh lebih cepat dari dewasa.
Kehilangan cairan pada usia lanjut dipengaruhi oleh proses penuaan dan
kecenderungan terhadap penyakit. Proses penuaan terjadi perubahan normal
yang meningkatkan risiko dehidrasi, meliputi; respon haus yang kurang
dirasakan sering kali terjadi, kadar hormon antidiuretik yang normal atau
meningkat tetapi pada nefron terjadi penurunan kemampuan menyimpan air
sebagai respon terhadap ADH, peningkatan kadar natriuretik atrial. Selain itu,
adanya kecenderungan terhadap penyakit jantung, ginjal, dan regimen obat
multipel, risiko terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit lebih
signifikan (Berman et al., 2011)
 Jenis kelamin dan berat badan.
Total air dalam tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh.
Seseorang yang mempunyai lemak tubuh berlebih maka cairan tubuh yang
dimilikinya akan sedikit karena sel lemak tidak mengandung air dan jaringan
tanpa lemak tinggi akan kandungan air. Secara proporsional wanita mempunyai
lemak tubuh lebih banyak dan cairan lebih sedikit dari pria (Kozier, Erb,
Berman dan Snyder, 2011).
 Suhu lingkungan.
Kehilangan cairan tubuh dipengaruhi suhu lingkungan, suhu lingkungan yang
panas akan meningkatkan kehilangan cairan melalui keringat sebagai upaya
tubuh untuk menghilangkan panas (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
 Gaya hidup.
Keseimbangan cairan dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang, faktor yang
mempengaruhi gaya hidup seperti diet karena pada kondisi malnutrisi berat
terjadi penurunan kadar albumin serum dan bisa terjadi edema disebabkan
berkurangnya aliran osmotik cairan ke kompartemen pembuluh darah, asupan
kalori yang tidak adekuat juga akan membuat cadangan lemak dalam tubuh
dipecah dan asam lemak dilepaskan yang dapat meningkatkan risiko asidosis.
Faktor yang kedua adalah olah raga, saat olah raga tubuh banyak kehilangan
cairan dan elektrolit karena ketika seseorang sedang berolah raga cairan dan
elektrolit dalam tubuh akan keluar lewat keringat. Faktor yang ketiga adalah
stres, saat stres terjadi peningkatan produksi ADH yang bisa mengakibatkan
penurunan produksi urine dan respon tubuh dalam menghadapi stres adalah
meningkatkan volume darah, metabolisme selular, kadar konsentrasi glukosa
darah, dan kadar katekolamin. Faktor lain yang dapat mempengaruhi
keseimbangan cairan adalah konsumsi alkohol berlebih dapat mempengaruhi
keseimbangan elektrolit, risiko penurunan kadar kalsium, magnesium, fosfat,
dan terjadi asidosis akibat peningkatan pemecahan cadangan lemak dalam
tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

c. Fisiologis munculnya rasa haus


Mekanisme munculnya rasa haus merupakan proses pengaturan primer asupan
cairan. Pusat rangsangan haus berada di hipotalamus otak dekat sel penghasil
vasopresin. Hipotalamus sebagai pusat pengontrolan mengatur sekresi vasopresin
(pengeluaran urin) dan rasa haus (minum) bekerja secara berkesinambungan.
Sekresi vasoprin serta rasa haus di rangsang oleh kekurangan cairan dan
dikendalikan oleh kelebihan cairan. Itu sebabnya, kondisi yang mendorong kejadian
penurunan pengeluaran urin untuk menghemat cairan tubuh dapat menimbulkan
rasa haus untuk mengganti kehilangan cairan tubuh (Sherwood, 2012).

Osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan pusat
haus, marangsang sinyal eksitatorik utama sekresi vasopresin dan rasa haus.
Osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan, selanjutnya mencerminkan
konsentrasi keseluruh cairan internal. Sepanjang peningkatan osmolaritas (air
terlalu sedikit) dan kebutuhan akan air bertambah, maka secara otomatis akan
terjadi aktifasi sekresi vasopresin dan rasa haus. Akibat proses aktifasi tersebut,
terjadi peningkatan reabsorpsi air di tubulus distal dan koligentes sehingga
pengeluaran urin kurang dan air akan dihemat, disisi lain asupan air secara
bersamaan dirangsang. Proses ini memulihkan cadangan air yang berkurang
sehingga keadaan hipertonik mereda seiring pulihnya konsentrasi zat terlarut dalam
kondisi normal. Sebaliknya, air yang berlebihan, bermanifestasi sebagai
menurunnya osmolaritas CES, mendorong kenaikan ekskresi urin (lewat
penurunan sekresi vasopresin) dan menekan perasaan haus, sehingga mengurangi
jumlah air dalam tubuh (Sherwood, 2012). Sebagian stimulus merangsang pusat ini,
termasuk juga tekanan osmotik cairan tubuh, volume vaskular, dan angiotensin
(hormon yang dilepaskan sebagai respon pada penurunan aliran darah ke ginjal).
Tekanan osmotik yang meningkat akan menstimulasi pusat haus yang menyebabkan
munculnya rasa haus dan mendorong keingin untuk minum untuk menggantikan
kehilangan cairan (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

Regulasi ketat harus dilakukan pada osmolalitas cairan ekstraselular karena


perubahan osmolalitas akan menyebabkan pembengkakan atau pengerutan sel dan
mengakibatkan sel mati. Kontrol pada osmolalitas lebih dulu terjadi dari kontrol
volume cairan tubuh (Ward, Clarke dan Linden, 2009).

Peningkatan osmolalitas plasma terjadi pada kondisi defisiensi air dan menurun
dengan ingesti air. Osmoreseptor dihipotalamus anterior sangat sensitif pada
perubahan kecil 1% pada osmolalitas plasma serta meregulasi hormon antidiuretik
(antidiuretic hormone, ADH). Osmolalitas yang meningkat merangsang
peningkatan pelepasan ADH dan menstimulasi munculnya rasa haus serta
reabsorpsi air, dan pada keadaan menurunnya osmolalitas menyebabkan efek yang
sebaliknya (Ward, Clarke dan Linden, 2009).

Peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah, membran mukosa dan


mulut yang kering, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis.
Sel reseptor osmoreseptor secara terus- menerus memantau osmolalitas, apabila
tubuh kehilangan cairan banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi kehilangan
cairan dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang
merasa haus dan mencul keinginan untuk minum (Potter et al., 2017).
Munculnya rasa haus merupakan sebuah fenomena penting mekanisme dasar yang
dialami tubuh manusia sebagai sinyal atau tanda kebutuhan akan cairan (air) dalam
tubuh untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Karena jumlah air dalam tubuh
manusia harus seimbang pada setiap saat antara yang masuk dan yang keluar setiap
hari. Jika antara jumlah air yang masuk dan keluar tidak seimbang (jumlah air yang
keluar lebih banyak dibanding yang masuk), maka akan muncul rasa haus (Guyton,
2012).

Rasa haus akan segera hilang sesaat setelah seseorang minum dan bahkan sebelum
cairan yang diminum diabsorpsi oleh saluran gastrointestinalis. Tetapi rasa haus
hanya akan hilang sementara setelah seseorang minum dan cairan yang di minum
mendistensi saluran gastrointestinalis atas, kemudian rasa haus akan kembali
dirasakan dalam waktu sekitar 15 menit. Karena saat lambung kemasukan air, akan
terjadi peregangan lambung dan bagian lain dari traktus gastrointestinalis atas yang
dapat memberikan efek pengurangan rasa haus untuk sesaat selama 5 sampai 30
menit. Mekanisme ini mengatur kebutuhan cairan tubuh manusia agar cairan yang
di minum tidak berlebihan, karena cairan dalam tubuh butuh waktu 30 menit
sampai 1 jam untuk diabsorpsi dan diedarkan ke seluruh tubuh (Kozier, Erb,
Berman dan Snyder, 2011) dan (Guyton, 2012).

d. Manajemen rasa haus


Pembatasan asupan cairan penting dilakukan bagi seseorang yang mengalami
retensi cairan (kelebihan volume cairan) akibat dari gagal ginjal, gagal jantung
kongestif, SIADH, dan penyakit kronik lain (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,
2011). Manajemen cairan yang tepat perlu dilakukan pada pasien dengan
pembatasan cairan.

Manajemen cairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari puasa sampai dengan
pembatasan asupan cairan tertentu yang tepat sesuai program dari dokter. Pada
kondisi dengan penyakit kronik tertentu seperti gagal ginjal kronik, pembatasan
asupan cairan dirasa sulit untuk dilakukan oleh beberapa pasien, terutama saat
mengalami kehausan (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengurangi haus pada pasien yang
menjalani puasa, diantaranya :
 Mengulum es batu.
Salah satu cara atau strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan
asupan cairan diantaranya adalah dengan memberikan secara sering sedikit asupan
cairan (air), memberikan es batu atau es batang (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,
2011). Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Arfany, Armiyati dan Kusumo
(2015), menyebutkan bahwa dengan mengulum es batu selama 5 menit efektif dapat
menurunkan rasa haus. Alasannya disebutkan bahwa dengan mengulum es batu,
lama kelamaan es batu akan mencair dan es batu yang mencair dalam mulut dapat
memberikan efek dingin serta menyegarkan sehingga keluhan haus pasien menjadi
berkurang. Serta dengan mengulum es batu akan membuat mukosa dalam mulut
lembab setelah es batu mencair, sehingga mulut pasien tidak kering yang dapat
memicu munculnya rasa haus.

Dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa dengan penggunaan 10 ml es


batu dengan cara dikulum oleh pasien postoperatif terbukti efektif dapat
mengurangi rasa haus pada periode pemulihan di recovery room (RR). Penggunaan
es batu 20% lebih efektif daripada air pada suhu ruangan untuk meringankan
kehausan. Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi rasa haus
juga harus dipertimbangkan, hitung cairan setengah dari volume es batu (jika es
batu dalam wadah ukuran 200 ml, maka volume yang harus dihitung berjumlah 100
ml) (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

 Mengunyah permen karet.


Permen karet rendah gula terbukti bisa meningkatkan jumlah sekresi saliva untuk
mengurangi haus dan mulut kering (xerostomia) dengan jumlah sekresi saliva rata-
rata 2,7-2,8 mL per menit (Arfany, Armiyati dan Kusumo, 2015). Penelitian ini
sejalan dengan yang dilakukan Veerman (2005), bahwa dengan mengunyah
permen karet adalah sebuah terapi alternatif yang bisa digunakan untuk merangsang
kelenjar ludah pada pasien. Mengunyah permen karet dapat mengurangi rasa haus
sebesar 60% dibandingkan dengan pemberian terapi pengganti saliva hanya 15%.
 Berkumur.
Menurut (Fransisca, 2013; Suryono, 2016), berkumur dengan air dingin dicampur
daun mint dapat menyebabkan penurunan rasa haus dan perasaan kering di mulut
karena program pembatasan asupan cairan. Gerakan mulut saat berkumur membuat
kontraksi pada otot-otot daerah bibir, lidah, dan pipi. Kontraksi ini yang bisa
merangsang kelenjar saliva di mulut untuk memproduksi saliva (Pratama, 2014).
Peningkatan produksi saliva di mulut menyebabkan hilangnya rasa haus dan mulut
kering karena sinyal yang diterima oleh hipotalamus dari osmoreseptor bahwa
kebutuhan cairan terpenuhi (Potter et al., 2017).

Berdasarkan penelitian Suryono (2016) berkumur juga bisa dengan air matang 25
ml dengan suhu ruangan (±25°C), berkumur selama 30 detik dan kemudian
membuang air bekas kumuran tersebut digelas ukur yang sudah disediakan.

 Frozen grapes.
Menurut Dudek (2014) buah anggur merupakan salah satu buah yang mempunyai
sedikit kandungan kalium. Buah anggur yang ditempatkan dalam pendingin akan
menjadi anggur beku (frozen grapes) yang hampir sama dengan es batu. Sensasi
dingin yang ditimbulkan oleh frozen grapes dapat memberikan efek dingin dan
segar di mulut ketika dimakan. Kandungan air yang terdapat dalam buah anggur
saat dibekukan akan bertahan lama di dalam mulut, sehingga dapat menurunkan
sensasi rasa haus.

 Sikat gigi.
Menyikat gigi merupakan aktifitas rutin yang biasa dilakukan oleh setiap individu,
sikat gigi dilakukan sebagai upaya untuk memelihara kesehatan mulut, gigi, dan
gusi yang dapat memberikan efek rasa segar di mulut dan mencegah
menumpuknya sisa makanan pada sela-sela gigi yang menyebabkan terjadinya
karies gigi. Menyikat gigi bisa dilakukan dengan menambahkan pasta gigi untuk
membantu melembabkan permukaan mukosa mulut yang dapat mencegah
terjadinya kekeringan pada mulut (xerostomia)
e. Instrumen pengukuran rasa haus
Sebenarnya penelitian mengenai rasa haus telah banyak dilakukan oleh peneliti
terdahulu. Dalam mengukur rasa haus peneliti terdahulu menggunakan bebagai
macam instrumen. Beberapa instumen yang bisa digunakan, antara lain:
 Visual Analogy Scale (VAS)
Instrumen ini telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu. Igbokwe dan Obika
(2008), melakukan uji reliabilitas terhadap instrumen ini dan hasil VAS
menunjukkan reliabel untuk mengukur rasa haus dengan nilai Cronbach’s alpha
coefficient= 0,96.

Instrumen untuk pengukuran haus menurut VAS ditunjukkan oleh gambar 2.1
Visual Analog Scale (VAS) :

0 10
Tidak haus Sangat haus sekali
Gambar 2.1 Visual analogy scale

 Numeric Rating Scale


Instrumen untuk pengukuran skor dan kategori haus menurut Numeric Rating Scales
ditunjukkan oleh gambar 2.2

Scores and Categorical Numeric Rating Scale (NRS) :

0 1 2 3 4 5 6 7 9 10

Tidak haus Sangat haus sekali

Haus ringan Haus sedang Haus berat

Gambar 2.2 Scores and categorical Numeric Rating Scale


 Thirst Distres Scale (TDS)
Instrumen ini telah banyak dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji reliabliitas
menyatakan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78. Beberapa komponen yang harus
ditanyakan dalam TDS sesuai tabel 2.3 :

Tabel 2.3 Thirst Distres Scale

No Komponen pertanyaan
1 Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidak nyaman
2 Rasa haus saya membuat saya minum sangat banyak
3 Saya sangat tidak nyaman ketika saya haus
4 Mulut saya terasa sangat kering ketika saya haus
5 Saliva saya sangat sedikit ketika saya haus
6 Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan
Sumber : (Kara, 2013)

TDS digunakan dalam mengukur rasa haus pasien yang berhubungan dengan
ketidaknyamanan pasien sejak dialisis terakhir. Masing-masing komponen pertanyaan
TDS diberikan skala Likert dengan rentang mulai dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5
(sangat setuju). Jumlah skor yang mungkin didapatkan adalah 6-30, semakin tinggi skor
menunjukkan sangat stres terhadap rasa haus.

B. Pengalaman Haus Pada Pasien ICU


Beberapa faktor terkait dengan rasa haus pasien ICU. Prediktor rasa haus di ICU adalah
penggunaan opioid dan diuretik, ventilasi mekanis (MV), tidak menerima cairan oral
dan masuk untuk gastrointestinal. Selain itu, xerostomia (mulut atau tenggorokan
kering) sering terjadi karena banyak ICU pasien menggunakan rejimen nothing per oral
terkait dengan disfagia, dan diintubasi secara oral pasien mengalami kesulitan menutup
mulut.

Penurunan kesadaran karena sedasi dan delirium merupakan hal umum di ICU yang
mungkin mengganggu ekspresi rasa haus oleh pasien, dan menghambat penilaian rasa
haus pasien oleh perawat. Sedasi ringan menawarkan kemungkinan untuk
mendiskusikan gejala dan gejala manajemen dengan pasien, tetapi juga mengarah pada
peningkatan dan ingatan yang lebih jelas tentang keberadaan di ICU, termasuk
pengalaman haus. Faktanya, bahkan setelah enam bulan hingga dua tahun, pasien
menyebutkan rasa haus sebagai salah satu gejala paling mengganggu yang mereka alami
selama masuk ICU.

Beberapa penelitian untuk mengatasi rasa haus pasien ICU telah dilakukan. Diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Vonstein et.al (2019) yang memberikan intervensi untuk
mengatasi rasa haus pasien selama 7 jam berurutan setiap hari. Dalam penelitian
tersebut, pasien diberikan swab air es dan pelembab bibir yang mengandung mentol
setiap jam dari jam 10 pagi sampai dengan jam 17. Hasilnya terjadi penurunan rasa haus
yang signifikan pada pasien beserta peningkatan kelembabab mukosa mulut.
BAB III
ANALISIS JURNAL

A. Judul
Mengurasi haus pasien di Unit Perawatan Intensif: Menerjemahkan penelitian
menjadi praktik.

B. Penulis
Penulis jurnal ini yaitu:
1. Ann Leemhuis, MSN, RN
2. Yuriko Shichishima, MSN, RN
3. Kathleen Puntillo, PhD, RN

Ann Leemhuis adalah perawat klinis III, unit perawatan intensif medis-bedah dewasa
RS Universitas California San Francisco. Yuriko Shichishima adalah perawat klinis II
dan pendidik perawat klinis, Departemen Sistem Kesehatan Masyarakat, Sekolah
Keperawatan, RS Universitas California San Francisco. Kathleen Puntillo adalah
profesor emeritus, Departemen Fisiologis Keperawatan, Fakultas Keperawatan
Universitas California San Francisco

C. Tahun
2019

D. Latar Belakang Penelitian


Penelitian pada pasien dalam perawatan intensif menunjukkan rasa haus
menyebabkan pasien sangat tidak nyaman. Pasien di ICU mengatakan bahwa "haus"
merupakan stresor terbesar ketiga mereka, setelah “terintubasi ETT” dan "merasa
sakit”. Sejak itu, banyak studi survei telah mendokumentasikan bahwa rasa haus
salah satu stresor pasien terbesar di ICU. Tidak hanya rasa haus lazim, tetapi telah
dinilai sebagai gejala yang lebih intens daripada lelah, cemas, gelisah, lapar, sesak
napas, rasa sakit, kesedihan, ketakutan, atau kebingungan.

Haus dapat menyebabkan penderitaan yang signifikan pada pasien ICU.Dalam studi
kualitatif di mana 12 pasien yang telah menerima ventilasi mekanik 24 jam
sebelumnya diwawancarai tentang rasa haus, pasien melaporkan dampak negatif yang
intens dari rasa haus mereka mengintimidasi, membuat frustasi, dan membuat mereka
merasa tidak berdaya dan keluar dari kontrol. Rasa haus mereka dirasakan disertai
dengan rasa takut, cemas dan depresi.

Tren yang berkembang dalam praktik perawatan kritis yaitu menjaga pasien yang
menerima ventilasi mekanis dengan sedasi minimal untuk mempercepat ekstubasi dan
meningkatkan hasil pasien. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari tren ini yaitu
persepsi pasien tentang rasa haus. Peningkatan perawatan di Proyek ICU, disponsori
oleh National Institutes of Health dan Center to Advance Palliative Care,
menekankan pentingnya menghilangkan rasa haus pasien di ICU. Namun rasa haus
tidak secara rutin dimasukkan dalam pasien penilaian gejala oleh staf perawat, baik
dalam diri kita sendiri atau di tempat lain. Dampaknya menunjukkan bahwa pasien
tidak sepenuhnya dihargai. Sampai saat ini, tidak ada intervensi bukti berbasis
intervensi untuk menghilangkan rasa haus pada pasien kritis.

Proyek ini bertujuan untuk menerjemahkan penelitian RCT ke dalam praktik klinis,
dengan perawat ICU dan anggota keluarga memberikan intervensi rasa haus.
Kemudian proyek ini bertujuan untuk mengevaluasi intervensi tidak hanya
efektivitasnya dalam mengurangi rasa haus pasien tetapi juga untuk aspek lain yang
dapat mempengaruhinya adopsi dalam praktik standar. Tujuan selanjutnya untuk
menjalankan intervensi dengan anggota keluarga di tahun ke 2 proyek. Tujuan ketiga
adalah untuk mengevaluasi sejauh mana melakukan intervensi rasa haus membebani
perawat dan anggota keluarga, seberapa puas anggota keluarga dalam melakukan
prosedur, dan berapa banyak pasien menikmati prosedurnya. Tujuan dari laporan ini
adalah untuk memberikan perawat di ICU lainnya data yang dapat mereka
pertimbangkan dalam memperkenalkan intervensi rasa haus.

E. Masalah Penelitian
Bagaimana intervensi rasa haus pasien pasien terhadap beban kerja perawat, seberapa
puas anggota keluarga dalam melakukan prosedurnya dan berapa banyak pasien
menikmati prosedurnya

1
F. Metode Penelitian
Metode projek ini digambarkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 3.1
Fase proyek peningkatan kualiatas penurunan rasa haus

Proyek ini merupakan sebuah praktik berbasis bukti dengan menerapkan penelitian
sebelumnya dalam praktik klinik. Langkah dalam proyrk ini sebagai berikut:
 Pertama melakukan audit kecil terhadap pasien di ICU, yang tidak memiliki
protokol pengurangan rasa haus, mengenai status kehausan mereka untuk
mendokumentasikan adanya masalah kehausan. Ditemukan pasien di 15 dari 32
tempat tidur di unit dapat menjawab pertanyaan tentang rasa haus. Dari 15 pasien
ini, 13 (87%) melaporkan mengalami haus, dengan skor rata-rata haus 5.5. Hasil
ini menunjukkan bahwa rasa haus masih merupakan masalah yang cukup besar.
 Meminta persetujuan proyek dari Tim kepemimpinan medis dan keperawatan ICU
 Mengembangkan video pelatihan 10 menit yang memberikan informasi latar
belakang tentang rasa haus pasien di ICU dan basis bukti untuk intervensi. Video
diproduksi secara profesional mendemonstrasikan bagaimana melakukan penilaian
rasa haus dan bagaimana mengelola intervensi bundel haus. Video pelatihan
perawat ditampilkan pada pertemuan staf ICU dan tersedia di situs web pendidikan
keperawatan internal untuk memudahkan akses dan melihat pada monitor
komputer di samping tempat tidur pasien. Partisipasi perawat dalam proyek ini
bersifat sukarela. Perawat melihat video pelatihan setidaknya sekali sebelum
memulai intervensi dengan pasien. Formulir laminasi yang menguraikan prosedur
tersedia untuk perawat sebagai bagian dari persediaan tool kit yang disimpan di

2
ICU. Pasien yang menerima intervensi ditentukan oleh perawat pasien atas dasar
adanya rasa haus pasien, tidak adanya kontra indikasi medis (misalnya, operasi
mulut atau tenggorokan), kemampuan pasien untuk mengomunikasikan minatnya
untuk berpartisipasi dalam proyek, dan kapasitas pasien melaporkan rasa haus.
 Jika pasien haus dan setuju untuk intervensi, ditempatkan dalam posisi yang
nyaman dan tegak.
 Teknik cuci tangan standar dan sarung tangan digunakan sepanjang prosedur
 Intervensi bundel haus dilakukan sesuai dengan protokol
 Pertama mulut pasien diseka dengan swab oral yang dibasahi dengan air es dingin
steril air. Kemudian, 5 hingga 6 semprotan air steril sedingin es diberikan ke mulut
pasien dari plastik 120 mL botol. Semprotan ini adalah kabut halus, dan 5
semprotan memberikan sekitar 1 mL air.
 Urutan swab dan penyemprotan diulang 2 kali.
 Intervensi diakhiri dengan aplikasi pelembab yang mengandung spearmint,
termasuk mentol, ke bibir dan lidah (Pelembab Mulut Toothette, Produk Sage).
 Anggota keluarga direkrut pada tahun ke-2 proyek.Video berdurasi 10 menit kedua
menggunakan bahasa awam diproduksi untuk melatih anggota keluarga pasien
untuk melakukan intervensi, dengan maksud mendaftarkan anggota keluarga yang
bersedia setelah proyek pelatihan perawat berjalan dengan baik.
 Anggota keluarga melakukan prosedur di bawah pengawasan perawat pasien
seperti yang dijelaskan pada Gambar 3.2 berikut

Gambar 3.2 Prosedur Intervensi Haus

3
Efektivitas intervensi bundel haus dinilai dengan membandingkan laporan diri pasien
tentang rasa haus sebelum dan sesudah prosedur. Laporan diperoleh dengan 1 dari 3
cara,sesuai dengan kemampuan pasien untuk merespon: (1) skor pada NRS dari 0
hingga 10 dengan "tidak haus" dan "kemungkinan terburuk"; (2) skor pada skala kata
intensitas 0 sampai 3 (tidak ada, ringan, sedang, berat); atau (3) jawaban haus "ya" atau
menganggukkan kepalanya ya atau tidak. Informasi berikut juga dikumpulkan: skor
rasa haus pasien sebelum dan sesudah intervensi; waktu yang dibutuhkan oleh perawat
atau keluarga anggota untuk melakukan intervensi; apakah pasien diamati untuk
menikmati intervensi haus (ya / tidak /komentar); dan beban perawat atau anggota
keluarga tingkat dalam melakukan prosedur (diukur pada beban NRS 0 sampai 10,
dengan 0 menunjukkan "bukan beban semua" dan 10 menunjukkan "beban besar").

Survei termasuk area untuk komentar terbuka oleh perawat atau keluarga anggota. Pada
survei anggota keluarga, anggota keluarga juga ditanya jenis kelamin, usia, hubungan
dengan pasien, apakah mereka menikmati melakukan prosedur, dan seberapa puas
mereka dalam memberikan perawatan kepada pasien? (dengan yang terakhir diukur
pada kepuasan NRS dari 0 sampai 10, dengan 0 menunjukkan “sangat tidak puas” dan
10 menunjukkan "Sangat Puas"). Statistik deskriptif seperti frekuensi, persentase,
median, dan sarana yang digunakan untuk menggambarkan pasien dan karakteristik
anggota keluarga dan skor rasa haus. Uji peringkat bertanda Wilcoxon digunakan untuk
menganalisis perbedaan dalam skor haus sebelum dan sesudah prosedur pada NRS.

G. Hasil
Sebanyak 123 pasien menerima 126 intervensi haus dari 58 perawat ICU, dan 6
perawat ICU membantu 13 keluarga anggota melakukan intervensi pada tambahan 13
pasien. Median (kisaran interkuartil [IQR]) usia pasien adalah 61 (49-68) tahun, dan
59% pasien adalah laki-laki. Mean (SD) Skor haus NRS pasien sebelum intervensi
adalah 7,9, yang menurun secara signifikan menjadi 3,9 setelah intervensi (P <.001).
Dua puluh dua persen pasien memiliki skor haus preintervensi dari 10 pada NRS. Saat
anggota keluarga melakukan prosedur, skor rata-rata (SD) haus pasien sebelum
intervensi adalah 9,2, yang menurun signifikan menjadi 5,3 setelah intervensi (P=
0,002).

4
Beberapa pasien memilih untuk menggunakan skala kata sebelumnya dan setelah
prosedur haus. Perawat yang diperoleh cukup skor skala kata untuk menganalisis
perbedaan sebelumnya (n = 40) dan setelah (n = 25) intervensi rasa haus. Skala kata
skor yang diperoleh perawat menurun secara signifikan dari median (IQR) dari 3
sampai 2 (P <.001). Delapan pasien menggunakan opsi "ya/tidak" untuk menunjukkan
adanya rasa haus. Jumlah jawaban “ya” berkurang dari 7 menjadi 3 setelah prosedur
haus dilakukan.

Skor haus NRS praintervensi tidak berbeda secara signifikan antara pasien yang ada
dan tidak menerima apa pun melalui mulut, dengan skor median (IQR) 8,0 dan 7,8.
Pasien juga tidak berbeda secara signifikan antara pasien yang cairannya dulu dan
dulu tidak dibatasi, dengan median (IQR) skor dari 8.0 dan 8,0. Median pra-intervensi
(IQR) Skor haus NRS juga serupa untuk kedua jenis kelamin (pria, 8,0; wanita, 9,0)
dan tidak berbeda dengan status intubasi (diintubasi, 8,0 ; tidak diintubasi, 9,0).
Median (IQR) waktu untuk tampil intervensi haus adalah 10 menit untuk perawat dan
5 menit untuk anggota keluarga. Perawat dan anggota keluarga ditanya apakah
menurut mereka pasien menikmati prosedur, berdasarkan interaksi mereka, dan
jawabannya adalah "ya" sebanyak 96%. Dalam komentar terbuka, perawat mencatat
bahwa pasien membuat pernyataan berikut: “itu terasa sangat enak”; "Saya tidak haus
sama sekali” setelah prosedur; itu "terasa seperti surga"; dan itu “terasa lebih segar.”
Sembilan pasien menyatakan ketidaksukaan mereka pelembab mulut atau menolak
aplikasinya.

Perawat menilai median (IQR) prosedur kinerja tingkat beban sebagai 1 pada skala
beban 0 sampai 10, dibandingkan dengan 0 untuk anggota keluarga. Namun demikian,
beberapa perawat mencatat bahwa prosedur "membutuhkan" waktu” dan mungkin
sulit dilakukan (termasuk menunggu air menjadi sedingin es, yang memakan waktu
sekitar 15 menit) jika mereka memiliki beban kerja yang berat. Tingkat kepuasan
keluarga mampu memberikan perawatan ini kepada pasien yaitu 9 pada skala faksi
kepuasan 0 hingga 10.

H. Pembahasan
Haus adalah keinginan yang kuat untuk air, yang penting unsur kehidupan. Hal ini
bisa sangat menyedihkan untuk pasien di ICU. Setelah pelatihan singkat perawat ICU

5
dan anggota keluarga dapat melakukan intervensi bundle haus berbasis penelitian
yang secara signifikan mengurangi rasa haus pasien di ICU. Tidak hanya ada
penurunan yang signifikan secara statistik dalam skor haus yang dilaporkan pasien,
tetapi penurunan tersebut mewakili peningkatan yang penting secara klinis, yang
berarti bahwa perubahan yang diukur dapat diterima oleh pasien. Untuk intervensi
rasa haus yang dilakukan oleh perawat atau oleh anggota keluarga, rata-rata
perubahan skor lebih besar dari 3,5, menunjukkan peningkatan klinis yang penting
dalam rasa haus pasien.

Dalam RCT asli, rata-rata skor intensitas haus untuk kelompok eksperimen yang
menerima intervensi menurun secara signifikan dari 5,9 menjadi 3,6, perubahan 2,3
poin. Dalam studi QI ini rata-rata skor intensitas haus menurun dari 7,9 menjadi 3,9,
perubahan 4 poin. Dengan demikian, perubahannya lebih besar untuk pasien dalam
penelitian QI kami daripada mereka yang asli RCT. Alasan perbedaan ini tidak
diketahui, tapi itu dapat berspekulasi bahwa pasien dapat bereaksi lebih baik ketika
intervensi kenyamanan diberikan oleh perawat sendiri, bukan anggota tim peneliti.

Melakukan intervensi rasa haus tidak merepotkan kepada perawat, yang menilai
tingkat beban sebagai median dari 1 pada skala 0 sampai 10. Beberapa kekhawatiran
diungkapkan, namun, tentang memiliki waktu untuk melakukan prosedur pada waktu
yang sibuk. Prosedurnya mungkin menjadi lebih terintegrasi ke dalam perawatan
standar dengan waktu dan latihan. Pasien yang menerima intervensi rasa haus dari
anggota keluarga melaporkan pencegahan kehausan yang lebih tinggi dari skor pasien
yang menerima intervensi dari perawat. Namun, perubahan skor praintervensi ke
pascaintervensi hanya berbeda 0,1 poin pada NRS antara perawat (perbedaan pra-
pasca = 4.0) dan keluarga anggota (perbedaan pra-posting = 3,9) kelompok.

Anggota keluarga yang dilatih untuk melakukan intervensi rasa haus tidak merasa
berat, dan mereka sangat puas telah memberikan perawatan ini kepada orang yang
mereka cintai. Memberikan kesempatan kepada anggota keluarga untuk berpartisipasi
dalam kegiatan perawatan ICU dapat meningkatkan pengalaman anggota keluarga di
ICU. Dalam studi sebelumnya, keluarga anggota yang ditawari kesempatan untuk
memberikan merawat orang yang mereka cintai di ICU merasa mereka lebih
dihormati dan didukung oleh staf ICU dibandingkan dengan anggota keluarga yang

6
tidak memberikan perawatan. Namun dalam penelitian yang dilakukan di Perancis,28
hanya sepertiga dari 544 anggota keluarga yang disurvei menyatakan minat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan perawatan pasien. Para penulis studi mengakui bahwa
anggota keluarga mungkin tidak memiliki menerima informasi yang cukup tentang
partisipasi yang terlibat dan kemungkinan manfaatnya. Penemuan-penemuan ini
mungkin juga mencerminkan perbedaan budaya di ICU antara 2 negara tersebut.

Dalam penelitian, anggota keluarga diberikan video pengajaran dan dipandu oleh
perawat pasien saat melakukan intervensi rasa haus. Pedoman yang diterbitkan untuk
perawatan yang berpusat pada keluarga di ICU neo natal, pediatrik, dan dewasa, 30
disarankan bahwa: anggota keluarga neonatus yang sakit kritis diajarkan untuk
membantu perawatan bayi mereka. Proyek QI ini memiliki beberapa kekuatan.
Pertama, ditujukan masalah yang terdokumentasi dengan baik dan substansial bagi
pasien di ICU: prevalensi dan intensitas rasa haus yang tinggi. Kedua, didasarkan
pada hasil RCT yang menunjukkan efektivitas intervensi. Ketiga, menggabungkan
penggunaan pelatihan video yang sudah tersedia di komputer samping tempat tidur
ICU. Keempat, efektivitas intervensi dievaluasi dengan cara metode penilaian haus
yang valid dan andal. Ada beberapa opsi penilaian rasa haus sesuai dengan
kemampuan pasien untuk merespon. Evaluasi intervensi juga memperhitungkan
tingkat beban pada mereka yang melakukannya, pertimbangan penting untuk
penerapan praktik baru di ICU.

I. Keterbatasan Penelitian
Proyek ini juga memiliki beberapa keterbatasan. Meskipun upaya agresif untuk
merekrut perawat untuk melakukan prosedur, hanya sekitar sepertiga dari perawatan
ICU staf berpartisipasi. Tingkat rekrutmen yang rendah ini mungkin memiliki
sebagian disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan tim proyek dan perawat di ICU
untuk promosi proyek. Ini mungkin juga diakibatkan oleh perasaan perawat bahwa
mereka memiliki terlalu banyak prioritas yang saling bertentangan, meskipun
diketahui prosedur tidak terlalu padat untuk dilakukan. Namun, karena tim proyek
harus sering mengisi persediaan dalam kit alat haus, perawat mungkin telah
melakukan intervensi rasa haus tanpa menyelesaikan survei yang sesuai. Selain itu,
hanya dapat merekrut 13 anggota keluarga sebelum proyek batas waktu penyelesaian.

7
Karena sampel anggota keluarga kami kecil, temuan mungkin telah dipengaruhi oleh
bias seleksi diri. Meskipun ukuran sampelnya kecil, tapi hasilnya signifikan secara
signifikan secara statistik.

J. Implikasi Untuk Penelitian Berikutnya


Upaya lebih lanjut diperlukan untuk mendukung penilaian dan pengobatan rasa haus
pasien di ICU, dan intervensi rasa haus harus diintegrasikan ke dalam rencana
keseluruhan perawatan mulut untuk menghindari pneumonia nosokomial. Ruang
harus disediakan dalam catatan kesehatan elektronik pasien untuk penilaian dan
perawatan haus, seperti yang saat ini dilakukan untuk penilaian nyeri dan pengobatan.
Selain itu, penilaian haus dan perawatan seperti yang diharapkan standar perawatan
ICU serta dapat membantu mengidentifikasi penelitian meningkatkan kenyamanan
pasien.

K. Kesimpulan
Haus merupakan gejala umum dan menyedihkan yang dialami oleh pasien di ICU.
Perawat maupun anggota keluarga dapat melakukan prosedur, dan pasien yang
menerima intervensi melaporkan hasil yang signifikan. Perawatan pengelolaan gejala
seperti rasa haus menjadi target penting untuk perawatan intensif yang berkualitas
tinggi, dengan potensi untuk meningkatkan hasil pasien. Upaya lebih lanjut
diperlukan untuk membantu perawat mengintegrasikan intervensi ke dalam praktik
perawatan ICU

8
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Dalam proyek ini menerapkan hasil penelitian RCT sebelumnya untuk menilai
keefektikan bundle untuk mengurangi rasa haus pasien di ICU, beban perawat dan
anggota keluarga dalam melakukannya dan kepuasan pasien dalam menerima
prosedur.
2. Hasilnya tindakan ini terbukti secara signinifikan mengurangi rasa haus pasien yang
ada di ICU, perawat menilai beban melakukan tindakan ini cukup rendah, keluarga
menilaitindakan ini tidak ada beban bagi keluarga dan pasien pun sangat puas
menerima prosedur ini.

B. SARAN
Proyek ini dapat diujikan untuk mengatasi rasa haus pada pasien ICU dan diterapkan
sepaket dengan oral care untuk meningkatkan outcome pasien.

9
DAFTAR PUSTAKA

Alshamali, S. (2018). Oral Health-Related Quality of Life in Pediatric Cancer Survivors


(Doctoral dissertation).
Arai, S., Stotts, N., & Puntillo, K. (2013). Thirst in critically ill patients: from physiology to
sensation. American Journal of Critical Care, 22(4), 328-335
Aroni, P., Nascimento, L. A. D., & Fonseca, L. F. (2012). Assessment strategies for the
management of thirst in the post-anesthetic recovery room. Acta Paulista de
Enfermagem, 25(4), 530-536
Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, G. (2011). Fundamental of Nursing Concept,
Process, and Practice 9th edition. New Directions for Teaching and Learning, 119, 1–7.
https://doi.org/10.1002/tl
Dale, C., Angus, J. E., Sinuff, T., & Mykhalovskiy, E. (2013). Mouth care for orally
intubated patients: a critical ethnographic review of the nursing literature. Intensive and
Critical Care Nursing, 29(5), 266-274.
Eccles, R., Du-Plessis, L., Dommels, Y., & Wilkinson, J. E. (2013). Cold pleasure. Why we
like ice drinks, ice-lollies and ice cream. Appetite, 71, 357-360
Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, G. (2008). Fundamental of Nursing Concept,
Process, and Practice 8th edition. New Directions for Teaching and Learning, 119, 1–7.
https://doi.org/10.1002/tl
Ibrahem, A., Seada, A., Nursing, E., Younis, G. A. E., Nursing, E., Eid, S., Nursing, E., Abd,
G., Younis, E.-H., & Eid, S. (2020). the Effect of a Frozen Saline Swab on Thirst
Intensity and Dry Mouth Among Critically Ill Post-Operative Patients At. International
Academic Journal of Health, 1(2), 189–201.
http://www.iajournals.org/articles/iajhmn_v1_i2_189_201.pdf
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., Hall, A. M., & Ostendorf, W. R. (2017).
Fundamentals Of Nursing (Ninth Edit). Elsevier.
Puntillo, K., Nelson, J. E., Weissman, D., Curtis, R., Weiss, S., Frontera, J., Gabriel, M.,
Hays, R., Lustbader, D., Mosenthal, A., Mulkerin, C., Ray, D., Bassett, R., Boss, R.,
Brasel, K., & Campbell, M. (2014). Palliative care in the ICU: Relief of pain, dyspnea,
and thirst - A report from the IPAL-ICU Advisory Board. Intensive Care Medicine,
40(2), 235–248. https://doi.org/10.1007/s00134-013-3153-z
Vonstein, B. M., Buchko, B. L., Lampo, D., Bell, T., & Woods, A. B. (2019). Effect of a

10
schedule Nurse Intervention on Thirst and Dry Mouth in Intensive Care Patients. 28(1),
41–46.

11

Anda mungkin juga menyukai