Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakikt tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbesar


di dunia ini. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena
penyakit tidak menular (63% dari seluruh kematian). Secara global PTM
penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya adalah penyakit
kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan
gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah seperti penyakit jantung
koroner, penyakit gagal jantung, atau payah jantung, hipertensi dan stroke.
Lebih dari 9 juta kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi
sebelum usia 60 tahun dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh
penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi
sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah (Pusdatin
Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan
(Irwan, 2016, p. 25). Di Indonesia penyakit jantung terus meningkat dan
memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi
keluarga, pasien, masyarakat dan negara (Depkes, 2014). Prevalensi penyakit
gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar
0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.
Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah pasien penyakit gagal jantung
di Jawa Tengah 43.361 orang (0,18%), sedangkan berdasarkan diagnosis/
gejala, sebanyak 72.268 orang (0,3%) (Pusdatin Kementrian Kesehatan RI,
2013).

1
2

Di RSUD Batang pada tahun 2015 tercatat jumlah pasien gagal jantung
sebanyak 188 pasien dan mayoritas berusia antar 25 sampai 65 tahun (Rekam
Medik RSUD Batang, 2015).
Gagal jantung bukan merupakan diagnosis dan penyebab yang
mendasarinya harus selalu dicari. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung
relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan
klinis yang lebih berat (Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, 2015). Gagal
jantung adalah alasan yang sangat sering, mencakup 5% dari pasien yang
dirawat di bangsal rumah sakit. Sekitar 3-20 per orang 100 orang pada
populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring
pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka
ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan
hidup setelah infark miokard akut (Gleadle, 2008, p. 116).
Manifestasi klinik yang utama pada kegagalan jantung berkaitan dengan
curah jantung yang tidak memadai diantaranya gejala kelemahan, fatigue,
berkurangnya toleransi exercise dan gejala-gejala hipoperfusi jaringan yang
lain seperti ekstremitas yang dingin dan pucat, oliguria, kebingungan mental,
gangguan daya ingat serta insomnia (R. Kumar, 2009, p. 224) dan yang paling
menonjol pada pasien gagal jantung adalah munculnya rasa lelah, terutama
setelah melakukan aktivitas (Sholeh, 2012, p. 97). Hal tersebut dapat
menyebabkan intoleransi aktivitas sesuai dengan Muttaqin (2009, p. 200) yang
menyatakan bahwa klien dengan gagal jantung berat hanya mungkin
melakukan aktivitas yang sangat terbatas. Klien dengan gagal jantung yang
lebih ringan pun harus membatasi aktivitas fisiknya. Sekali klien menderita
gagal jantung, kemungkinan ia akan selalu mempunyai kapasitas latihan yang
menurun. Intoleransi aktivitas merupakan suatu diagnosa yang lebih
menitikberatkan respon tubuh yang tidak mampu untuk bergerak terlalu
banyak karena tubuh tidak mampu memproduksi energi yang cukup secara
fisiologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktivitas yang diminta atau
aktivitas sehari-hari. Untuk membentuk energi, tubuh memerlukan nutrisi dan
O2. Pada kondisi gagal jantung, dimana menurunnya aliran darah otot
3

sehingga suplai nutrisi dan O2 tidak sampai ke sel dapat mengakibatkan


kelelahan (Rubenstein dan Bradley, 2007).
Toleransi aktivitas yang menurun pada pasien gagal jantung dapat
menyebabkan konstipasi pada sistem gastrointestinal dan dapat tejadi
penurunan turgor kulit pada sistem integumen serta kerusakan permukaan
kulit yang dapat menyebabkan luka dekubitus. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suriadi (2007) bahwa insiden kejadian dekubitus di Indonesia pada
pasien yang mengalami intoleransi aktivitas mencapai 33,3%.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka Penulis tertarik untuk
menyusun sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Intoleransi Aktivitas pada Tn. S dengan Gagal Jantung di RSUD Batang”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Melaporkan Asuhan Keperawatan Intoleransi Aktivitas Pada Tn. S
dengan Gagal Jantung di RSUD Batang.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan:
1) Pengkajian intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.
2) Masalah keperawatan intoleransi aktivitas yang ada pada Tn. S
dengan gagal jantung.
3) Perencanaan keperawatan intoleransi aktivitas untuk memecahkan
masalah yang ditemukan pada Tn. Sdengan gagal jantung.
4) Tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan
intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.
5) Penilaian evaluasi pencapaian tujuan pengelolaan intoleransi
aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.
b. Membahas kesenjangan yang ditemukan pada pengelolaan
keperawatan intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.
4

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi institusi pendidikan


Laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang pendidikan dan
sebagai pengetahuan tambahan mahasiswa.
2. Bagi penulis
Laporan kasus ini sebagai bahan perbandingan bagi penulis untuk
mengembangkan karya tulis ilmiah selanjutnya dan sebagai dasar untuk
memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien dengan
gagal jantung.
3. Bagi rumah sakit
Untuk informasi dan sebagai evaluasi kepada rumah sakit dalam
memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien dengan
gagal jantung.
4. Bagi masyarakat
Dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang intoleransi aktivitas
pada pasien dengan gagal jantung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gagal Jantung

1. Pengertian Gagal Jantung


Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung
sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk
metabolisme jaringan (Irwan, 2016, p. 25).
Menurut Brunner dan Suddarth (2001) seperti dikutip dari Irwan
(2016) gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrien.
Muttaqin (2009, p. 196) mengemukakan bahwa gagal jantung
bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada satu sistem organ, melainkan
suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung yang ditandai dengan suatu
respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal serta suatu keadaan
patologis dimana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan
jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya
dapat memenuhinya dengan meningkatkan tekanan pengisian.

2. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association
(NYHA) dalam Muttaqin (2009, p. 197).
a. Kelas I (disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik)
Klien dengan kelainan jantung tetapi tanpa pembatasan aktivitas.
a. Kelas II (gagal jantung ringan)
Klien dengan kelainan jantung yang menyebabkan sedikit pembatasan
aktivitas fisik.
b. Kelas III (gagal jantung sedang)
Klien dengan kelainan jantung yang menyebabkan banyak
pembatasan aktivitas fisik.

5
6

c. Kelas IV (gagal jantung berat)


Klien dengan kelainan jantung yang segala bentuk aktivitas fisiknya
menyebabkan keluhan.

3. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala
jenis penyakit jantung kongenital maupun yang didapat. Mekanisme
fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan
yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban
awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel, dan beban
akhir meningkat pada keadaan di mana terjadi stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium, kardiomiopati, dan miokarditis.
Selain dari ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal
jantung, terdapat faktor-faktor lain yang dapat pula mengakibatkan
jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu
pengisian ventrikel, seperti stenosis katup atriovantrikularis dapat
menyebabkan gagal jantung. Keadaan seperti perikarditis konstriktif dan
tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui gabungan
beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi
ventrikel.
Faktor sistemik juga dapat berperan dalam perkembangan dan
bertanya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia dan
anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan
suplai oksigen ke jantung.
7

4. Manifestasi klinis
Menurut Kasron (2012, p. 69) manifestasi klinis gagal jantung meliputi:
a. Dispneu
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas.
b. Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang sehingga menghambat
jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya
pembuangan sisa hasil katabolisme. Kelelahan juga diakibatkan
meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia
karena distress pernapasan.
c. Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
d. Edema ekstremitas bawah
Biasanya edema pitting, penambahan berat badan.
e. Hepatomegali
Sinus-sinus hati pada gagal jantung selalu terdapat darah yang
berlebihan, sehingga hati akan membengkak dan pada palpasi terasa
lunak dan nyeri.
f. Anorexia dan mual
Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
g. Nokturia
Pasien akan kencing beberapa kali pada waktu malam hari dengan
porsi urine sedikit dan saat kencing terasa sakit seperti terbakar.
h. Sianosis
Tanda penting pada kebanyakan kasus gagal jantung adalah warna
biru di kulit tangan, kaki, mukosa bibir, dan pipi.
8

5. Patofisiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantarnya yaitu
disfungsi miokard, beban tekanan berlebih pada sistolik, dan peningkatan
kebutuhan metabolisme. Pada disfungsi miokard dimana terjadi kelainan
kontraktilitas, beban sistol yang berlebih menyebabkan jumlah darah yang
mengisi jantung juga meningkat, dan kebutuhan metabolisme yang tinggi
memaksa jantung untuk bekerja lebih berat lagi yang akhirnya keadaan
tersebut mengganggu pengosongan ventrikel sehingga meningkatkan
volume ventrikel. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gagal jantung.
Jika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang cukup ke
aorta untuk memenuhi kebutuhan organ-organ yang terletak di perifer,
berarti curah jantung sangat rendah, sehingga suplai nutrisi dan oksigen
tidak adekuat samapai ke sel yang dapat menyebabkan pasien menjadi
lemah dan menimbulkan respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.
Penurunan suplai darah keseluruh tubuh termasuk juga suplai darah ke
ginjal akan mempengaruhi mekanisme pelepasan ranin-angiotensin dan
akhirnya terbentuk angiotensin II mengakibtakan terangsangnya sekresi
aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut
meningkatkan cairan ekstra-intravaskulaer sehingga terjadi
ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan yang selanjutnya terjadi
edema.
Bila ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari
vena pulmonalis, maka akan terjadi pengisian darah yang berlebihan dari
pembuluh darah di paru-paru sehingga meningkatkan tekanan kapiler dan
vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari kapiler paru-paru melebihi
tekanan osmotik vaskuler, maka akan terjadi edema interstitial.
Peningkatan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke alveoli
dan terjadilah edema paru-paru yang dapat menurunkan pertukaran
oksigen dan karbondioksida.
9

6. Pathways

Disfungsi miokard Beban sistol Keb.metabolisme

Kontraktilitas Preload Beban kerja jantung

Hambatan pengosongan ventrikel

Beban jantung

Gagal jantung kongestif

Gagal pompa ventrikel

Forward failure Backward failure

Curah jantung (COP) Tek. Vena pulmo

Suplai darah jaringan Renal flow Tek. Kapiler paru

Nutrisi & O2 sel Pelepasan RAA Edema paru

Metabolisme sel Retensi Na & air Gg. Pertukaran gas

Lemah & letih Edema

Intoleransi aktivitas Kelebihan volume cairan

Gambar 2.1.Pathway gagal jantung

Sumber: Hariyanto dan Sulistyowati. Keperawatan Medikal Bedah1. 2015


10

7. Komplikasi
Menurut Wijaya dan putri (2013, p. 160), komplikasi yang mungkin
muncul pada gagal jantung diantaranya:
a. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri.
b. Syok kardiogenik: stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat
penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke
organ vital (jantung dan otak).
c. Episode trombolitik
Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi
dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah.
d. Efusi perikardial dan tamponade jantung
Masuknya cairan ke kantung perikardium, cairan adapat meregangkan
perikardium sampai ukuran maksimal. COP menurun dan aliran balik
vena ke jantung sehingga menyebabkan tamponade jantung.

8. Pemeriksaaan diagnostik
a. Ekokardiografi
Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan
klinis gagal jantung. Ekokardiografi dapat menilai dimensi ruang
jantung, fungsi ventrikel kiri, dan abnormalitas gerakan dinding dan
untuk menyingkirkan penyakit katup.
b. Elektrokardiografi
Untuk mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, infark,
penyimpanan aksis, iskemia dan kerusakan pola.
c. Tes laboratorium darah
Direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi
ginjal sebelum terapi dimulai.
1) Enzim hepar: meningkat dalam gagal jantung.
2) Ureum dan elektrolit: melihat bukti gangguan fungsi ginjal sebagai
akibat penyebab retensi cairan atau akibat menurunnya perfusi
ginjal.
11

3) Oksimetri nadi: kemungkinan situasi oksigen rendah.


4) Albumin: mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan
protein.
d. Radiologis
Sonogram ekokardiogram dapat menunjukkan pembesaran bilik
perubahan dalam fungsi struktur katup, penurunan kontraktilitas
ventrikel.
1) Scan jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan dinding.
2) Rontgen dada: menunjukkan pembesaran jantung, hipertensi vena,
atau edema paru. Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi
bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan
tekanan pulmonal.

9. Penatalaksanaan
Sasaran penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah untuk
menurunkan kerja jantung, meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas
miokard, serta utnuk menurunkan retensi garam dan air (Muttaqin, 2009,
p. 222).
a. Tirah baring
Tirah baring sebagai usaha untuk menurunkan kerja jantung.
b. Pemberian oksigen
Pemberian oksiegen terutama pada klien gagal jantung disertai dengan
edema paru. Pemenuhan oksigen akan mengurangi kebutuhan
miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
c. Diuretik
Pembatasan garam dan air serta diuretik, baik oral atau parenteral,
akan menurunkan preload dan kerja jantung. Diuretik memiliki efek
antihipertensi dengan meningkatkan pelepasan air dan garam natrium.
Hal ini menyebabkan penurunan volume cairan dan merendahkan
tekanan darah.
12

d. Morfin
Dapat berefek vasodilatasi pembuluh darah perifer menurunkan aliran
balik vena dan kerja jantung.
e. Lanotropik
Memperbaiki kontraktilitas jantung dan mendilatasi ginjal.
f. Digitalis
Untuk meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. Konsep Dasar Aktivitas

1. Pengertian aktivitas
Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana
manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto,
2009).

2. Fisiologi pergerakan
Pergerakan merupakan rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara
sistem muskloskeletal dan sistem persarafan di dalam tubuh (Mubarak
dan Chayatin, 2008, p. 245).
a. Sistem muskuloskeletal
Sistem muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot, dan sendi.
Sistem ini sangat berperan dalam pergerakan dan aktivitas manusia.
Rangka berfungsi untuk menyokong jaringan tubuh, termasuk
memberi bentuk pada tubuh dan sebagai tempat melekatnya otot,
tendon dan ligamen. Sedangkan otot berperan dalam proses
pergerakan, memberi bentuk pada postur tubuh, dan memproduksi
panas melalui aktivitas kontraksi otot.
b. Sistem persarafan
Proses terjadinya sebuah gerakan melibatkan sistem persarafan yaitu:
1) Saraf aferen (reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari luar
kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat.
13

2) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian


tubuh satu ke bagian tubuh yang lainnya.
3) Sistem saraf pusat (SSP), berfungsi merespon impuls dan
memberikan respons melaului saraf eferen.
4) Saraf eferen, berfungsi menerima respon dari SSP kemudian
meneruskannya ke otot rangka.

3. Faktor yang mempengaruhi aktvitas


Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas menurut Mubarak dan
Chayatin (2008, p. 220) yaitu:
a. Pertumbuhan dan perkembangan
Usia serta perkembangan sistem muskuloskeletal dan persarafan
akan berpengaruh terhadap postur, proporsi tubuh, massa tubuh,
pergerakan, serta refleks tubuh seseorang.
b. Kesehatan fisik
Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau persarafan dapat
menimbulkan dampak yang negatif pada pergerakan dan mekanika
tubuh seseorang. Adanya penyakit, trauma, atau kecacatan dapat
mengganggu pergerakan dan struktur tubuh.
c. Status mental
Gangguan mental atau afektif seperti depersi atau stress kronis dapat
mempengaruhi keinginan seseorang untuk bergerak. Individu yang
depresi cenderung tidak antusias dalam mengikuti kegiatan.
Demikian pula dengan stress yang berkepanjangan dapat menguras
energi sehingga individu kehilangan semangat untuk beraktivitas.
d. Gaya hidup
Gaya hidup terkait dengan kebiasaan yang dilakukan individu sehari-
hari. Individu dengan gaya hidup yang tidak sehat dapat mengalami
gangguan kesehatan yang akhirnya menghambat pergerakannnya.
e. Sikap dan nilai personal
14

Nila-nilai yang tertanam dalam keluarga dapat mempengaruhi


aktivitas yang dijalani oleh individu.
f. Nutrisi
Nutrisi berguna bagi organ tubuh untuk mempertahankan status
kesehatan. Apabila pemenuhan nutrisi tidak adekuat, hal ini bisa
menyebabkan kelelahan dan kelemahan otot yang akan
mengakibatkan penurunan aktivitas atau pergerakan. Sebaliknya
kondisi nutrisi berlebih (misal obesitas) dapat menyebabkan
terbatasnya pergerakan tubuh sehingga individu menjadi mudah
lelah.
g. Stress
Status emosi seseorang akan berpengaruh terhadap aktivitas
tubuhnya. Perasaan tertekan, cemas, dan depresi dapat menurunkan
semangat seseorang untuk beraktivitas.
h. Faktor sosial
Individu dengan tingkat kesibukan yang tinggi secara tidak langsung
akan sering menggerakkan tubuhnya. Sebaliknya, individu yang
jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tentu akan lebih
sedikit beraktivitas/menggerakkan tubuhnya.

C. Konsep Dasar Intoleransi aktivitas pada Gagal Jantung

1. Pengertian intoleransi aktivitas


Intoleransi aktivitas adalah penilaian diagnostik yang menjelaskan
individu yang memiliki kondisi fisik yang terganggu (Lynda Juall
Carpenito, 2013, p. 31).

2. Batasan karakteristik
a. Mayor (harus ada, satu atau lebih)
1) Pernapasan
b) Dispnea
c) Sesak napas
15

d) Peningkatan frekuensi secara berlebihan


e) Penurunan frekuensi
2) Nadi
a) Lemah
b) Peningkatan frekuensi secara berlebihan
c) Perubahan irama
d) Penurunan fungsi
e) Kegagalan untuk kembali ke tingkat aktivitas sebelumnya
setelah tiga menit
3) Tekanan darah
a) Kegagalan meningkatkan aktivitas
b) Peningkatan tekanan diastolik >15 mm Hg
b. Minor (mungkin ada)
1) Pucat atau sianosis
2) Konfusi
3) Vertigo

3. Akibat dari intoleransi aktivitas


Mubarak dan Chayatin (2008) menjelaskan dampak yang
mungkin muncul pada pasien gagal jantung yang mengalami intoleransi
aktivitas dapat berupa fisik maupun psikologis. Secara psikologis, dapat
menyebabkan penurunan motivasi, kemunduran kemmapuan dalam
memecahkan masalah, dan perubahan konsep diri. Selain itu, kondisi ini
juga disertai dengan ketidaksesuaian antara emosi dan situasi, perasaan
tidak berharga dan tidak berdaya, serta kesepian yang diekspresikan
dengan perilaku menarik diri dan apatis. Sedangkan masalah fisik yang
dapat terjadi diantaranya:
a. Sistem muskuloskeletal
Intoleransi aktivitas dapat menyebabkan osteoporosis, atrofi otot,
kontraktur, dan kekakuan serta nyeri pada sendi.
b. Eliminasi urine
16

Masalah umum yang ditemui pada sistem perkemihan akibat


intoleransi aktivitas adalah stasis urine, batu ginjal, retensi urine, dan
infeksi perkemihan.
c. Gastrointestinal
Keadaan intoleransi aktivitas umumnya menyebabkan konstipasi
akibat menurunannya peristaltik dan motilitas usus.
d. Respirasi
Gangguan yang biasanya muncul pada sistem respirasi pada keadaan
intoleransi aktivitas diantaranya penurunan gerak pernapasan,
penumpukan sekret, dan atelektasis.
e. Sistem kardiovaskular
Pada sistem kardivaskular, intoleransi aktivitas dapat mengakibatkan
hipotensi ortostatik dan edema dependen.
f. Metabolisme dan nutrisi
Penurunan laju metabolisme, keseimbangan nitrogen negatif dan
anoreksia mungkin terjadi pada keadaan intoleransi aktivitas.
g. Sistem integumen
Kondisi intoleransi aktivitas dapat mengganggu sirkulasi dan suplai
nutrien menuju area tertentu. Hal ini mengakibatkan iskemia dan
nekrosis jaringan superfisial yang dapat menimbulkan ulkus
dekubitus.
h. Sistem neurosensorik
Ketidakmampuan mengubah posisi menyebabkan terhambatnya
input sensorik, menimbulkan perasaan lelah, iritabel, persepsi tidak
realistis, dan mudah bingung.
17

D. Proses Keperawatan

1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
Menurut Taylor dan Ralph (2011, p.159), pengkajian yang perlu
dilakukan pada pasien yang mengalami intoleransi aktivitas pada
pasien gagal jantung adalah:
1) Riwayat penyakit saat ini
2) Usia
3) Pengalaman imobilitas atau tirah baring yang dianjurkan
4) Status kardiovaskular meliputi tekanan darah, denyut dan irama
jantung pada saat beristirahat dan beraktivitas, hitung darah
lengkap, temperatur dan warna kulit, edema, nyeri atau rasa
tidak nyaman pada dada.
5) Status pernapasan meliputi kadar gas darah arteri, auskultasi
suara napas, nyeri atau rasa tidak nyaman yang berkaitan dengan
respirasi, dan kecepatan, irama, kedalaman, serta pola respirasi
pada saat beristirahat dan beraktivitas.
6) Status neurologik meliputi tingkat kesadaran, orientasi, status
mental, status sensori, status motorik.
7) Status muskuloskeletal meliputi rentang pergerakan (range of
motion, ROM), ukuran, kekuatan, tonus otot, dan mobilitas
fungsional seperti:
0= mandiri penuh
1= perlu menggunakan peralatan atau alat
2= perlu bantuan, pengawasan, atau bimbingan dari orang lain
3= perlu bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat
4= ketergantungan, tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien gagal jantung
dengan intoleransi aktivitas yaitu:
18

1) Kesejajaran tubuh
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginspeksi pasien dari sisi
lateral, anterior, dan posterior guna mengamati apakah bahu dan
pinggul sejajar, jari-jari kaki mengarah ke depan, dan tulang
belakang lurus, tidak melengkung ke sisi yang lain.
2) Cara berjalan
Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi mobilitas klien
dan risiko cedera akibat jatuh. Hal ini dilakukan dengan
meminta klien berjalan sejauh sekitar 10 kaki, kemudian amati
kepala tegak, pandangan lurus, dan tulang belakang lurus serta
gaya berjalan halus, terkoordinasi, dan berirama, ayunan tubuh
dari sisi ke sisi minimal dan tubuh bergerak lurus ke depan.
3) Penampilan dan pergerakan sendi
Pemeriksaan ini meliputi apakah ada kemerahan atau
pembengkakan sendi, deformitas, perkembangan otot yang
terkait dengan masing-masing sendi, nyeri tekan, krepitasi,
peningkatan temperatur di sekitar sendi dan derajat gerak sendi.
4) Kemampuan dan keterbatasan gerak
Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang
adanya indikasi rintangan dan keterbatasan pada pergerakan dan
kebutuhan untuk memperoleh bantuan. Hal yang perlu dikaji
yaitu keseimbangan dan koordinasi klien, adanya hipotensi
ortostatik sebelum berpindah tempat, dan adanya hambatan
dalam bergerak.
5) Kekuatan dan massa otot
Pengkajian ini bertujuan untuk menurunkan risiko tegang otot
dan cedera tubuh, baik pada klien maupun perawat.
19

Tabel 2.1 Derajat Kekuatan Otot


Skala Presentase Karakteristik
kekuatan
normal

0 0 Paralisis sempurna

1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat


dipalpasi atau dilihat

2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi


dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan


gravitasi

4 75 Gerakan penuh yang normal melawan


gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang


melawan gravitasi dan tahanan penuh

6) Toleransi aktivitas
Alat ukur yang paling tepat utnuk memperkirakan toleransi klien
terhadap aktivitas adalah frekuensi, kekuatan, dan irama denyut
jantung.
7) Masalah terkait mobilitas
Pengkajian ini dilakukan melalui metode inspeksi, palpasi, dan
auskultasi, pemeriksaan hasil tes laboratorium, pengukuran
berat badan, asupan cairan dan haluaran cairan.
20

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
gangguan aktivitas adalah intoleransi aktivitas yang berhubungan
dengan:
a. Gangguan sistem transpor oksigen, sekunder akibat gagal jantung
kongestif, infark miokard, PPOK, atelektasis, anemia, hipovolemia,
gangguan endokrin atau metabolik, dan penyakit kronis (Mubarak
dan Chayatin, 2008, p. 252).
b. Ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan
kebutuhan sekunder penurunan curah jantung (Muttaqin, 2008, p.
230).

3. Perencanaan
Hampir semua klien membutuhkan bantuan dan bimbingan
perawat untuk mempelajari, memperoleh seta mempertahankan mekanika
tubuh yang tepat. Dalam hal ini, perawat dapat mengajarkan anggota
keluarga berbagai teknik untuk bergerak, mengangkat tubuh atau
berpindah tempat di sekitar lingkungan rumah. Sebagai bagian dari
asuhan keperawatan, perawat bertanggung jawab mengidentifikasi klien
yang membutuhkan bantuan dengan postur tubuh dan menentukan
besarnya bantuan yang mereka butuhkan (Mubarak dan Chayatin, 2008,
p. 252).
Dari diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan
dengan dispnea akibat turunnya curah jantung memiliki tujuan yaitu
diharapkan intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien
dapat berpartisipasi pada aktivitas yang ditoleransi, terpenuhinya
aktivitas sehari-hari, mencapai peningkatan toleransi aktivitas,
peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
(Mubarak dan Chayatin, 2008, p. 252).
21

Rencana tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani


masalah intoleransi aktivitas pada pasien gagal jantung diantaranya yaitu
(Muttaqin, 2008, p. 236):
a. Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah selama
dan sesudah aktivitas.
Rasional: respon kien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan
adanya penurunan oksigen miokard.
b. Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang
yang tidak berat.
Rasional: menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.
c. Anjurkan klien untuk menghindari peningkatan abdomen, misal:
mengejan saat defekasi.
Rasional: dengan mengejan dapat menyebabkan bradikardi,
menurunkan curah jantung dan takikardia, serta peningkatan tekanan
darah.
d. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas. Contoh:
bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri lakukan ambulasi, kemudian
istirahat selam 1 jam setelah makan.
Rasional: aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung,
meningkatkan regangan, dan mencegah aktivitas berlebihan.
e. Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.
Rasional: untuk mengurangi beban jantung.
f. Tingkatkan klien duduk di kursi dan tinggikan kaki klien.
Rasional: untuk meningkatkan venous return.
g. Petahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis. (Prosedur ROM
pasif terlampir).
Rasional: meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous
return.
h. Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi.
Rasional: untuk mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan
aktivitas.
22

i. Berikan waktu istirahat diantara waktu aktivitas.


Rasional: untuk mendapatkan cukup waktu resolusi bagi tubh dan
tidak terlalu memaksa kerja jantung.
j. Pertahankan penambahan oksigen sesuai kebutuhan.
Rasional: untuk meningkatkan oksigenasi jantung.
k. Kaji EKG, dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta keluhan
subjektif selama aktivitas.
Rasional: melihat dampak dari aktivitas terhadap fungsi jantung.
l. Berikan diet sesuai kebutuhan (pembatasan air dan natrium).
Rasional: untuk mencegah retensi cairan dan edema penurunan
kontraktilitas jantung.
m. Rujuk ke program rehabilitasi jantung.
Rasional: meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemkaian
miokardium sekaligus mengurangi ketidaknyamanan sampai dengan
iskemia.

4. Implementasi
Impelmentasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat
dan disesuaikan terhadap kondisi fisik dan psikologis pasien agar hasil
yang diharapkan dapat tercapai.
Pelaksanaan untuk menangani intoleransi aktivitas pada pasien
gagal jantung yaitu:
a. Mencatat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah
selama dan sesudah aktivitas
b. Meningkatkan istirahat, membatasi aktivitas, dan memberikan
aktivitas senggang yang tidak berat.
c. Menganjurkan klien untuk menghindari peningkatan abdomen, misal:
mengejan saat defekasi.
d. Menjelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas. Contoh:
bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri melakukan ambulasi, kemudian
istirahat selam 1 jam setelah makan.
23

e. Mempertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.


f. Mempertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.
g. Mengevaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi.
h. Memberikan waktu istirahat diantara waktu aktivitas.
i. Mempertahankan penambahan oksigen sesuai kebutuhan.
j. Mengkaji EKG, dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta
keluhan subjektif selama aktivitas.
k. Memberikan diet sesuai kebutuhan (pembatasan air dan natrium).
l. Merujuk ke program rehabilitasi jantung.

5. Evaluasi
Menurut Muttaqin (2008, p. 241) hasil yang diharapkan pada
proses keperawatan klien gagal jantung dengan intoleransi aktivitas:
a. Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan kemampuan untuk
melakukan aktivitas harian.
b. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari.
c. Mencari dukungan dari orang lain untuk memelihara tingkat aktivitas
optimal.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penulisan

Metode penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode


deskriptif untuk menggambarkan hasil asuhan keperawatan dengan
memfokuskan satu masalah penting menggunakan analisis sederhana.
Penelitian ini dillakukan untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien gagal
jantung dengan masalah intoleransi aktivitas pada Tn. S di RSUD Batang.

B. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat
digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008).
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien gagal jantung dengan masalah
intoleransi aktivitas.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
purposive sampling dimana sampel dipilih berdasarakan kemudahan dan
keinginan penulis yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang penulis ambil
yaitu salah satu pasieng gagal jantung dengan masalah intoleransi aktivitas
yang di rawat inap di ruang penyakit dalam dewasa RSUD Batang.
Pengambilan sampel karya tulis dilakukan berdasarkan kriteria berikut:
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakter umum subjek penelitian dari suatu target
yang akan diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Pasien gagal jantung ringan (kelas II) dengan masalah intoleransi
aktivitas.
b. Pasien yang bersedia menjadi responden.
c. Pasien kooperatif dengan kesadaran compos mentis.
d. Pasien rawat inap dengan kriteriausia 25 sampai 65 tahun.

24
25

2. Kriteria eksklusi
Adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang tidak memenuhi
kriteria inklusi dari studi karena beberapa sebab.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Pasien yang dirawat inap kurang dari 3 hari.
b. Pasien yang tiba-tiba mengalami penurunan kesadaran saat proses
asuhan keperawatan berlangsung.
c. Pasien yang pindah ke ruangan lain.
d. Pasien yang pindah atau dirujuk ke rumah sakit lain.
e. Pasien yang pulang paksa.
f. Pasien yang menolak untuk dilakukan tindakan keperawatan.

C. Ruang Lingkup Karya Tulis Ilmiah


Tempat dan waktu
1. Tempat: pengambilan kasus karya tulis ilmiah ini dilakukan di RSUD
Batang.
2. Waktu: pengambilan kasus karya tulis ini dilaksanakan pada 1-3 Feruari
Februari 2017.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diambil secara langsung dari
sumber atau objek yang diamati (Nalim dan Tarmudi, 2012). Tujuannya
sesuai dengan keperluan penelitian yang ditujukan langsung pada pasien.
Data sekunder yaitu data dari pihak lain, tidak diperoleh dari subjek
penelitian langsung. Data primer dan data sekunder penelitian ini adalah data
salah satu pasien yang menderita gagal jantung dengan masalah intoleransi
aktivitas di RSUD Batang.
Menurut Nursalam (2008, p. 111) teknik pengumpulan data yang
dapat digunakan antara lain:
a. Wawancara
26

Teknik pengumpulan data dengan mewawancarai atau memberikan


pertanyaan yang sesuai dengan studi pembelajaran yang dilakukan guna
mendapatkan data yang diinginkan.
b. Observasi partisipatif
Merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti ikut mengobservasi
atau mengamati suatu subjek untuk mendapatkan data yang diinginkan.
c. Pemeriksaan fisik
Dengan melakukan pemeriksaan fisik dari rambut sampai kaki dengan
metode inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada klien.
d. Teknik dokumentasi
Merupakan pendataan dari berbagai teknik pengumpulan data yang telah
dilakukan agar tercatat data yang relevan.

E. Analisis
Dalam laporan karya tulis ilmiah ini penulis menganalisis data dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi yang selanjutnya menguraikan data dari
hasil pengkajian yang kemudian akan dibandingkan antara teori dengan
kenyataan yang ada pada asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung di
RSUD Batang.
Indikator pasien dengan intoleransi aktivitas yaitusesak napas, lemah,
kegagalan meningkatkan aktivitas, pucat atau sianosis (Wijaya dan Putri,
2013, p. 159). Tindakan pada pasien apabila inoleransi aktivitas teratasi yaitu
dengan meningkatkan aktivitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien,
seperti bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri lakukan ambulasi, kemudian
istirahat selam satu jam setelah makan (Muttaqin, 2008, p. 236).
Tindak lanjut pada pasien apabila bersihan jalan napas belum teratasi
yaitu dengan meningkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas
senggang yang tidak berat serta tetap memberikan waktu istirahat diantara
waktu aktivitas. Selain itu jika diperlukan penambahan oksigen sesuai
kebutuhan dan penuhi diet pasien sesuai kebutuhan (pembatasan air dan
27

natrium). Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi mutlak


diperlukan untuk mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan aktivitas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada hasil penulis akan memaparkan tentang tinjauan kasus asuhan


keperawatan pada Tn. S dengan gagal jantung kongestif yang meliputi
pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi dan evaluasi. Data diperoleh berdasarkan wawancara dengan
pasien dan keluarga pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta
rekam medis pasien.
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari Rabu tanggal 1 Februari 2017 pukul 14.30
WIB di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batang dengan
nomor rekam medis 366229. Pasien masuk ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Batang ruang Melati pada tanggal 31 Januari 2017 pukul 11.30
WIB.
a. Biodata Pasien
Pasien bernama Tn. S berusia 60 tahun jenis kelamin laki-laki, alamat
Warungasem, Batang dengan diagnosa medis gagal jantung kongestif.
Pasien bekerja sebagai buruh bangunan, pasien tidak sekolah. Pasien
bersuku Jawa dan berbangsa Indonesia serta beragama islam.
b. Identitas penanggung jawab
Saat pengkajian diperoleh data penanggung jawab nama Ny. A umur 52
tahun, jenis kelamin perempuan, hubungan dengan pasien sebagai istri
yang beralamat di Warungasem, Batang.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Pasien mengatakan cepat lelah dan sesak napas. Sesak napas
bertambah saat beraktivitas.

28
29

2) Riwayat kesehatan sekarang


Pasien mengeluh lemas, cepat lelah dan sesak napas sekitar
satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Selama di rumah pasien
meminum obat yang dibeli di apotek dan beristirahat. Namun dua
hari terakhir sesak napas dirasakan semakin bertambah. Kemudian
keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke rumah sakit. Pasien
datang ke IGD pada hari selasa 31 Januari 2017 pukul 11.30 WIB
diantar oleh keluarga. Pasien datang dengan keadaan composmentis,
nilai GCS 15 E : 4 V : 5 M : 6 dan dengan keluhan sesak napas. Saat
dilakukan pemeriksaan di IGD diperoleh hasil tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 80x/menit, suhu 37,1º C, frekuensi pernapasan
28x/menit. Pasien mendapat terapi obat berupa infus RL 20 tpm,
injeksi Ondancetron 4 mg per 8 jam dan Ketorolac 30 mg per 12
jam. Kemudian pada pukul 15.00 WIB pasien dipindahkan ke Ruang
Melati untuk mendapatkan perawatan yang lebih lanjut.
Saat dilakukan pengkajian pada hari Rabu tanggal 1 Februari
2017 pukul 14.15 WIB ditemukan data sebagai berikut. Data
subjektif pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat
beraktivitas. Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring
ditempat tidur dan sulit beraktivitas.
Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien
tampak lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, tingkat aktivitas 2,
dalam melakukan aktivitas pasien tampak dibantu keluarga dan
perawat, seperti : dalam melakukan aktivitas sehari-hari makan,
berpakaian, eliminasi, dan mobilisasi ditempat tidur, berpindah dan
ambulasi, kekuatan otot 3, terdapat edema di kedua kaki. Pasien
tampak menahan mualnya, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86
x/menit, frekuensi pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4 0C, terdapat
edema pada kedua ekstremitas bawah, turgor kulit kering, cappilary
refile time 2 detik.
30

3) Riwayat kesehatan dahulu


Pasien mengatakan mempunyai penyakit tekanan darah tinggi namun
belum pernah dirawat di rumah sakit
4) Riwayat kesehatan keluarga
Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit Jantung, tekanan darah tinggi, Diabetes ataupun penyakit
menular seperti Tuberculosis.
5) Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik diperoleh data: tingkat kesadaran
pasien composmentis, tanda-tanda vital: tekanan darah 110/90
mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4
0
C. Pada pemeriksaan dada terlihat tarikan otot bantu pernapasan,
pengembangan dada simetris kanan dan kiri, taktil vocal fremitus
teraba sama, paru-paru terdengar ronkhi. Pada pemeriksaan jantung
ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di intercosta V sinistra,
dan terdengar bunyi jantung I/SI (lup) dan bunyi jantung II/S2 (dup).
Pada pemeriksaan abdomen tidak terdapat lesi, bentuk perut
cembung, terdapat nyeri tekan pada abdomen kanan atas. Pada
pemeriksaan ekstremitas atas tidak terdapat edema, tidak ada lesi,
akral hangat, arteri radialis teraba lemah, akral hangat, terpasang
infus Ringer laktat 20 tetes/menit. Pada ekstremitas bawah terdapat
edema pada kedua kaki, tidak terdapat lesi, capillary refill time 2
detik.
6) Data penunjang
a) Pemeriksaan radiologi thorak tanggal 31 Januari 2017
Kardiomegali dengan kecurigaan pembesaran atrium dextra dan
ventrikel sinistra
b) Dilakukan pemeriksaan penunjang pada tanggal 31 Januari 2017
berupa pemeriksaan darah dengan hasil sebagai berikut :
31

Hemoglobin L 13.1 g/dL, Hematokrit L 39.1 % Glukosa


sewaktu 105 mg/dL
c) Pemeriksaan EKG pada tanggal 31 januari dapat disimpulkan
non stemi yang menunjukkan tidak adanya Led I dan II, tidak
ditemukan ST elevasi pada Led I dan II dan tidak ada
gelombang Q.
7) Penatalaksanaan pengobatan
Terapi yang didapatkan pasien pada tanggal 1 Februari 2017 sampai
dengan 3 Februari 2017 adalah infus ringer laktat 20 tpm, obat oral
ambroxol per 8 jam, rebamipid per 8 jam, dan candesartan 8 mg per
24 jam serta obat injeksi ondansetron 4 mg per 8 jam, ketorolac 30
mg per 12 jam, furosemid 2 ampul per 8 jam.

2. Perumusan Masalah keperawatan


Saat dilakukan pengkajian pada hari Rabu tanggal 1 Februari
2017 pukul 14.15 WIB ditemukan data sebagai berikut. Data subjektif
pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat beraktivitas.
Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring ditempat tidur dan
sulit beraktivitas.
Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien tampak
lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, dalam melakukan aktivitas
pasien tampak dibantu keluarga dan perawat dalam melakukan
aktivitas sehari-hari makan, berpakaian, eliminasi, dan mobilisasi
ditempat tidur, berpindah dan ambulasi. pasien tampak menahan
mualnya, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi
pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4 0C, turgor kulit kering, cappilary
refile time 2 detik.
Berdasarkan data subjektif dan objektif di atas maka ditemukan
masalah keperawatan Tn. S yaitu intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan
kebutuhan sekunder penurunan curah jantung.
32

3. Perencanaan keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan dari masalah
keperawatan yang muncul pada klien, kemudian penulis membuat
perencanaan pada tanggal 1 Februari 2017 pukul 15.30 WIB,
perencanaan tindakan tersebut meliputi tujuan dan kriteria hasil serta
rencana tindakan keperawatan. Dari diagnosa keperawatan intoleransi
aktivitas memiliki tujuan yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan intoleransi aktivitas dapat teratasi
dengan kriteria hasil dapat berpartisipasi pada aktivitas yang
ditoleransi, memenuhi kebutuhan diri sendiri, mencapai peningkatan
toleransi aktivitas, peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital
dalam batas normal.
Rencana tindakan yang akan dilakukan meliputi monitor tanda-
tanda vital, observasi kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, latih pasien melakukan rentang gerak pasif, beri posisi
yang nyaman (posisi semi fowler), berikan bantuan pada pasien dalam
melakukan aktivitas, libatkan keluarga dalam pemenuhan Activity
Daily Living (ADL) pasien, pertahankan penambahan oksigen sesuai
kebutuhan, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.

4. Pelaksanaan Keperawatan
Pada tahap ini penulis bekerja sama dengan perawat ruangan untuk
melaksanakan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun.
Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan dari tanggal 1 Februari
2017 sampai 3 Februari 2017 yaitu:
a. Hari Pertama
Penulis melakukan implementasi keperawatan Pada hari
Rabu tanggal 1 Februari 2017 pukul 15.35 WIB membina
hubungan saling percaya diperoleh hasil pasien dan keluarga
tampak kooperatif dengan penulis. Pada pukul 15.40 WIB
mengkaji kemamapuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-
33

hari didapatkan hasil : pasien mengatakan membutuhkan bantuan


keluarga dalam melakukan aktivitas sehari-hari hari seperti makan,
minum, BAK yang dibantu istrinya. Pada pukul 17.15 WIB
membimbing pasien melakukan rentang gerak pasif didapatkan
hasil pasien mengatakan mau diajari pergerakan yang ringan,
pasien melakukan latihan rentang gerak bagian tangan, kekuaran
otot 3. Pada pukul 17.35 WIB mengukur tanda-tanda vital
dilakukan dan didapatkan hasil : tekanan darah 120/90 mmHg, nadi
: 90 kali/menit, RR: 23 kali/menit, suhu : 36.7 0C. Pada pukul
17.45 WIB mengatur posisi yang nyaman didapatkan hasil : pasien
tidur dengan posisi semi fowler dan pasien mengatakan lebih
nyaman dengan posisi tidur yang sekarang. Pada pukul 20.15 WIB
memberikan obat injeksi ondansetron 4 mg, ketorolac 30 mg,
furosemid 1 amp dan obat oral ambroxol, rebamipid didapatkan
hasil : injeksi diberikan secara IV melalui selang infus, tidak
terdapat tanda-tanda alergi.
b. Hari Kedua
Implementasi hari kedua pada kamis 2 Februari 2017 yaitu
pada pukul 04.00 memberikan injeksi obat ondansetron 4 mg dan
furosemid 2 amp diperoleh hasil furosemid 2 amp dan ondansetron
4 mg masuk secara IV melalui selang infus, tidak terdapat tanda-
tanda alergi. Pada pukul 05.30 WIB mengobservasi tanda-tanda
vital dengan hasil : tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 90
kali/menit, RR 23 kali/menit, suhu 36.5 0C. Pada pukul 06.00 WIB
memberikan obat oral ambroxol, rebamipid, candesartan 8 mg
diperoleh hasil : pasien mengatakan akan meminum obatnya, obat
masuk per oral. Pada pukul 09.30 WIB membimbing pasien
melakukan rentang gerak pasif, diperoleh hasil : pasien melakukan
latihan rentang gerak bagian kaki dan tangan, kekuatan otot 3. Pada
pukul 12.00 WIB memantau tanda-tanda vital pasien, diperoleh
34

hasil: pasien mau dilakukan tindakan, tekanan darah TD: 120/90


mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 23 kali/menit, suhu 36.8 0C.
Pada pukul 17.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital,
diperoleh hasil tekanan darah 130/80 mmHg, nadi : 82 kali/menit,
RR 24 kali/menit, suhu 37.2 0C. Pada pukul 17.10 mengobservasi
kemampuan paisen dalam melakukan aktivitas sehari-hari
didapatkan hasil: pasien mengatakan dalam beraktivitas masih
dibantu keluarganya, pasien mengatakan masih sesak saat
beraktivitas, pasien berganti pakaian dibantu istrinya. Pada pukul
18.00 memberikan obat injeksi ondansetron 4 mg dan obat oral
ambroxol, rebamipid diperoleh hasil: pasien mengatakan bersedia
di injeksi, pasien tenang, injeksi diberikan per IV melalui selang
infus, obat masuk, tidak terdapat tanda-tanda infeksi.
c. Hari ketiga
Implementasi pada hari ketiga Jumat tanggal 3 Februari
2017 yaitu pada pukul 04.00 WIB memberikan injeksi obat
ondansetron 4 mg dan furosemid 2 amp diperoleh hasil furosemid
2 amp dan ondansetron 4 mg masuk secara IV melalui selang infus,
tidak terdapat tanda-tanda alergi. Pada pukul 06.00 WIB
memberikan obat injeksi ketorolac 30 mg, diperoleh hasil: pasien
mengatakan mau dilakukan tindakan, obat masuk kedalam tubuh
pasien melalui selang infus dan tidak terdapat tanda-tanda alergi.
Pada pukul 08.50 membimbing pasien melakukan rentang pasif
didaptakan hasil pasien melakukan latihan rentang gerak pasif
bagian kaki, kekuatan otot 3. Pada pukul 09.15 WIB mengevaluasi
pasien melakukan gerak pasif yang telah diajarkan, diperoleh hasil
: pasien mengatakan lupa untuk melakukannya.
Pada pukul 12.00 WIB memantau tanda-tanda vital pasien,
diperoleh hasil: pasien mau dilakukan tindakan, tekanan darah:
130/90 mmHg, nadi 86 kali/menit, RR 25 kali/menit, suhu 36.8 0C.
Pada pukul 12.20 WIB mengobservasi kemampuan pasien dalam
35

melakukan aktivitas sehari-hari diperoleh hasil : pemenuhan


aktivitas sehari-hari pasien seperti makan, minum, BAK, masih
dibantu istrinya. Pada pukul 12.20 WIB melibatkan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan sehari hari diperoleh hasil: keluarga pasien
mengatakan bersedia membantu pasien, pasien makan dibantu
istrinya.
Pada pukul 19.30 WIB mengobservasi kemampuan pasien
dalam melakukan aktivitas sehari-hari diperoleh hasil: pasien
mengatakan dalam beraktivitas masih dibantu keluarganya, pasien
BAK dibantu istrinya dengan pispot. Pukul 20.30 WIB mengatur
posisi senyaman pasien dengan hasil : pasien mengatakan lebih
nyaman dengan posisi setengah duduk ini, pasien tidur dengan
posisi semi fowler. Pukul 20.05 WIB memberikan obat injeksi
ondansetron 4 mg, furosemid 2 ampul dan obat oral ambroxol,
rebamipid, candesartan dengan hasil pasien mengatakan mau
dilakukan tindakan dan akan meminum obatnya, obat injeksi
masuk kedalam tubuh melalui selang infus, tidak terdapat tanda-
tanda alergi, obat oral diminum dengan bantuan perawat.

5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan beberapa tindakan, didapatkan evaluasi dari respon
pasien. Evaluasi terdiri dari subjektif (S), Objektif (O), Analisis (A),
dan Planning (P).
a. Hari pertama
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada
tanggal 1 Februari 2017 pukul 19.05 WIB oleh penulis didapatkan
catatan perkembangan pasien yaitu secara subjektif pasien
mengatakan kebutuhan sehari-hari masih dibantu oleh istrinya,
pasien mengatakan masih sesak saat beraktivitas. Berdasarkan data
objektif pasien mampu melakukan latihan rentang gerak pasif
bagian tangan, kekuatan otot 3, tanda-tanda vital: tekanan darah
36

120/90 mmHg, nadi : 90 kali/menit, RR: 23 kali/menit, suhu : 36.7


0
C. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum,
BAB, BAK, mandi masih dibantu oleh istrinya. Dari hasil analisa
masalah belum teratasi, maka rencana selanjutnya adalah
melanjutkan intervensi dengan melatih pasien rentang gerak pasif,
latih pasien miring kanan dan kiri serta duduk, observasi tanda-
tanda vital, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.
b. Hari kedua
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada
tanggal 2 Februari 2017 pukul 18.00 WIB oleh penulis didapatkan
catatan perkembangan pasien yaitu data subjektif pasien
mengatakan aktivitas sehari-hari masih dibantu oleh istrinya, pasien
mengatakan masih sesak saat melakukan aktivitas. Dari data
objektif kegiatan sehari-hari pasien seperti makan, minum, mandi,
BAB, BAK, masih dibantu istrinya, kekuatan otot 3, tanda-tanda
vital: tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 90 kali/menit, RR 23
kali/menit, suhu 36.5 0C. Keadaan umum pasien baik. Hasil
analisisnya yaitu masalah belum teratasi, maka direncanakan
intervensi selanjutnya yaitu latih rentang gerak pasif, observasi
kemampuan pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari,
observasi tanda vital pasien, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat.
c. Hari ketiga
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada
tanggal 3 Februari 2017 pukul 18.25 WIB oleh penulis didapatkan
catatan perkembangan pasien sebagai berikut: dari data subjektif
pasien mengatakan sudah bisa melakukan beberapa aktivitas
sendiri namun masih terasa sesak napas saat melakukan aktivitas.
Dari data objektif makan, minum dan mobilisasi di tempat tidur
secara mandiri, toileting dan mengganti pakaian masih dibantu oleh
istrinya, kekuatan otot 3, tanda-tanda vital: tekanan darah: 130/90
37

mmHg, nadi 86 kali/menit, RR 25 kali/menit, suhu 36.8 0C. Hasil


analisa didapatkan masalah belum teratasi, dan rencana selanjutnya
adalah observasi tanda vital, latih pasien melakukan rentang pasif
serta lanjutkan advice dokter dalam pemberian terapi.

B. PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas kesenjangan yang terjadi antara teori dengan
kondisi riil kasus yang dilaporkan yaitu pengelolaan keperawatan pada Tn. S
dengan gagal jantung kongestif di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Batang. Pengelolaan keperawatan dilakukan selama tiga hari
terhitung dari tanggal 1 Februari 2017 hingga 3 Februari 2017. Pengumpulan
data tersebut telah penulis lakukan dengan menggunakan teknik wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi catatan perkembangan
kesehatan pasien (buku rekam medik). Dalam hal ini, penulis akan
memfokuskan pembahasan mulai dari pengkajian, perumusan masalah,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian pada Tn. S pada tanggal 1 Februari 2017 dengan
mengumpulkan data menggunakan alat ukur pendekatan fungsional pola
Gordon, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaaan diagnostik. Dalam
melakukan pengkajian penulis tidak menemukan hambatan yang berarti,
hal ini dikarenakan sikap pasien dan keluarga yang kooperatif terhadap
tindakan yang dilakukan oleh penulis.
Pada pengkajian yang dilakukan oleh penulis, didapatkan data
subjektif pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat
beraktivitas. Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring ditempat
tidur dan sulit beraktivitas.
Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien tampak
lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, tingkat aktivitas 2, dalam
melakukan aktivitas pasien tampak dibantu keluarga dan perawat, seperti :
38

dalam melakukan aktivitas sehari-hari makan, berpakaian, eliminasi, dan


mobilisasi ditempat tidur, berpindah dan ambulasi, kekuatan otot 3,
terdapat edema pada kedua kaki. Pasien tampak menahan mualnya,
tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi pernapasan 23
x/menit, suhu 36,4 0C, terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan,
turgor kulit kering, cappilary refile time 2 detik.
Data yang penulis dapatkan pada pengkajian adalah pasien
menderita gagal jantung, hal ini sesuai dengan teori Kasron (2012, p. 69)
yang menyatakan bahwa manifestasi klinis gagal jantung yaitu dispneu,
mudah lelah, edema ekstremitas bawah, sianosis, anorexia dan mual.

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan analisa data yang dikembangkan dari hasil pengkajian
yang terdiri dari data subjektif dan data objektif terdapat beberapa masalah
pada Tn. S berdasarkan data-data sebagai berikut: data subjektif yang
diperoleh adalah pasien mengatakan cepat lelah dan sesak napas saat
beraktivitas sehingga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
makan, minum, gosok gigi, BAB, BAK, mandi, mengganti pakaian
dibantu oleh istri pasien. Dari data objektif terlihat bahwa pada saat
bergerak dari posisi semi fowler ke posisi miring kanan maupun miring
kiri serta posisi duduk dibantu oleh istrinya serta pasien terlihat sesak
napas. Pasien BAK dibantu istrinya dengan menggunakan pispot, pasien
makan disuapi istrinya serta minum juga dibantu oleh istrinya, pasien
hanya tidur di tempat tidur dengan posisi semi fowler.
Menurut Muttaqin, Arif (2009, p. 228) diagnosa keperawatan yang
muncul berdasarkan data-data diatas adalah intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan
dengan kebutuhan sekunder penurunan curah jantung. Pada pasien gagal
jantung ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang cukup ke aorta
untuk memenuhi kebutuhan dari organ-organ yang terletak di perifer,
berarti curah jantung sangat rendah sehingga supali nutrisi dan oksigen
39

tidak adekuat sampai ke sel yang dapat menyebabkan pasien menjadi


lemah dan menimbulkan respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.

3. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, penulis menyusun tujuan keperawatan
yang diharapkan, kriteria hasil dan rencana tindakan yang akan dilakukan.
Sehingga memudahkan dalam pengelolaan perencanaan asuhan
keperawatan selanjutnya.
Tujuan dari tindakan keperawatan ini adalah setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan intoleransi aktivitas
dapat teratasi dengan kriteria hasil dapat berpartisipasi pada aktivitas yang
ditoleransi, memenuhi kebutuhan diri sendiri, mencapai peningkatan
toleransi aktivitas, peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital dalam
batas normal.
Rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah monitor
tanda-tanda vital, observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, latih pasien melakukan rentang gerak pasif, ciptakan
lingkungan yang nyaman, beri posisi yang nyaman (semi fowler), berikan
bantuan pada pasien dalam melakukan aktivitas, selingi aktivitas dengan
periode istirahat, libatkan keluarga dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari
pasien, observasi keadaan umum, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian terapi.
Pemeriksaan tanda-tanda vital perlu dilakukan sebagai acuan
melakukan intervensi selanjutnya karena pasien yang mengalami
intoleransi aktivitas cenderung mengalami kenaikan tekanan darah
diastolik serta peningkatan frekuensi nadi dan pernapasan secara
berlebihan (Lynda Juall Carpenito, 2013, p. 31). Latihan fisik
meningkatkan kemandirian seseorang, memasukkan latihan rentang gerak
dalam rutinitas sehari-hari dapat mendukung kondisi normal pasien.
Latihan rentang gerak meningkatkan massa otot, tonus otot, kekuatan otot,
memperbaiki fungsi jantung, pernapasan, mobilitas sendi dan sirkulasi
40

(Wahit Iqbal, Mubarak, 2008, p. 229). Menurut Muttaqin Arif (2009, p.


222) pemenuhan oksigen akan mengurangi kebutuhan miokardium dan
membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat dan tidak
terjadi kelemahan yang dapat menimbulkan intoleransi aktivitas. Posisi
semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45 derajat yaitu
menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru
sehingga oksigen didalam paru-paru semakin meningkat dan mengurangi
tekanan abdomen pada diafragma sehingga memperingan kesukaran
bernapas (Supadi, 2008, p. 98). Pemberian terapi furosemid digunakan
untuk membuang cairan berlebih pada tubuh (edema) sehingga tidak
menghambat pasien dalam beraktivitas. Obat furosemid bekerja pada
glomerulus ginjal untuk mengahambat penyerapan kembali natrium oleh
tubulus. Furosemid akan meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,
dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah normal.

4. Pelaksanaan
Sesuai dengan rencana tindakan dan tujuan yang telah disusun,
pelaksanaan tindakan keperawatan dilaksanakan selama tiga hari dimulai
tanggal 1 Februari 2017 samapi 3 Februari 2017. Tahap ini penulis
bekerjasama dengan perawat ruangan dalam pelaksanaan rencana tindakan
keperawatan yang telah disusun.
Dalam pelaksanaannya, seluruh rencana keperawatan intoleransi
aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung kongestif telah dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah dibuat. Menurut Muttqin (2008, p. 236) salah
satu intervensi yang perlu dilakukan pada pasien intoleransi aktivitas
karena gagal jantung yaitu rujuk ke program rehabilitasi jantung, namun
dalam kasus Tn. S hal itu dilakukan karena menurut dokter tambahan
oksigen lewat kanul atau masker oksigen sudah cukup membantu bagi
pasien. Dalam melaksanakan tindakan penulis menemukan adanya faktor
pendukung dalam pelaksanaan tindakan keperawatan yaitu respon pasien
dan keluarga yang kooperatif (bersedia melakukan) dalam setiap tindakan.
41

Pada pelaksanaan asuhan keperawatan di lapangan, latihan rentang


gerak tepat dilakukan pada Tn. S karena kondisinya dinilai masih mampu
melakukan pergerakan yang ringan. Semua intervensi pada dasarnya dapat
dilaksanakan karena keluarga dan pasien yang kooperatif saat dilakukan
tindakan keperawatan. Namun dalam pelaksanaannya terdapat
kesenjangan antara kasus riil dengan teori yaitu saat dilakukan tindakan
latihan rentang gerak pasif, pasien mengatakan selama dirawat tidak
dilakukan latihan rentang gerak oleh perawat ataupun petugas kesehatan
yang lain. Hal ini karena menurut perawat cukup sekali saja latihan
rentang gerak diajarkan kepada pasien dan keluarga. Keluarga pasien juga
tidak ikut berperan dalam membimbing pasien melakukan latihan rentang
gerak, keluarga mengatakan tidak melakukannya secara mendiri karena
lup. Menurut Tarwoto & Wartonah (2006, p. 89) menyatakan salah satu
tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas
seperti berdiri, berjalan, dan bekerja. Pasien dengan gagal jantung
kongestif akan merasakan kelelahan dan kelemahan jika melakukan
aktivitas fisik, hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah darah pada
otot-otot rangka. Latihan rentang gerak pasif diperlukan untuk mencegah
terjadinya kelemahan otot-otot rangka. Kelemahan otot-otot rangka dapat
meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik.

5. Evaluasi
Setelah melakukan tindakan keperawatan selama 3 hari, maka pada
hari ketiga tanggal 3 Februari 2017 pukul 18.00 WIB penulis melakukan
evaluasi akhir terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan dan
didapatkan catatan perkembangan pasien sebagai berikut: dari data
subjektif pasien mengatakan aktivitas dibantu oleh istrinya dan masih
sesak napas saat melakukan aktivitas. Dari data objektif pasien tampak
lemah, tampak penggunaan otot bantu pernapasan, kegiatan sehari-hari
masih dibantu oleh istrinya dan kekuatan otot 3.
42

Dari data yang diperoleh, masalah intoleransi aktivitas belum


teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
direncanakan yaitu pasien masih belum bisa mencapai peningkatkan
aktivitas secara bertahap, kekuatan otot belum meningkat, dan tekanan
darah dan frekuensi pernapasan masih tinggi. Rencana selanjutnya adalah
observasi tanda vital, bimbing dan motivasi pasien melakukan rentang
gerak pasif serta lanjutkan advice dokter dalam pemberian terapi.
Mengingat Tn. S sangat kooperatif dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan contohnya Tn. S selalu meminum obat secara rutin, dengan
kondisi pasien yang seperti ini seharusnya dalam waktu 3x 24 jam dapat
teratasi namun dalam kondisi riilnya terdapat kesenjangan karena pada
Tn.S sampai hari ketiga dilakukannya tindakan keperawatan, masalah
intoleransi aktivitas belum teratasi total karena sampai hari ketiga
dilakukannya perawatan, walaupun sudah mengalami peningkatan dalam
aktivitasnya tetapi pasien masih memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi aktivitasnya dan pasien masih mengalami kelemahan dan
kelelahan saat beraktivitas. Setelah dilakukan pengkajian yang lebih dalam
kemungkinan besar hal ini terjadi karena ternyata pasien hanya melakukan
latihan rentang gerak hanya saat diajarkan oleh penulis. Padahal latihan
gerak setidaknya harus dilakukan dua kali sehari, itupun pada pasien yang
tirah baring lama (Wahit Iqbal, Mubarak, p. 253). Latihan rentang gerak
berfungsi mencegah terjadinya kelemahan otot-otot rangka. Kelemahan
otot-otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik.
BAB V
SIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan tujuan dari penulisan asuhan


keperawatan gagal jantung kongestif pada Tn. S di ruang Melati Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Batang, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
Asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien gagal jantung
dengan intoleransi aktivitas meliputi pengkajian, perumusan masalah,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi telah sesuai dengan konsep asuhan
keperawatan yang komprehensif. Pada proses pengkajian dilakukan
menggunakan format Gordon yang telah dilakukan dapat memberikan
gambaran secara menyeluruh teradap kondisi pasien dan permasalahan yang
terjadi. Perumusan masalah disusun berdasarkan data sujektif dan objektif
yang ditemukan. Pada perencanaan disusun mengacu pada masalah yang
dialami pasien dengan tujuan dan kriteria hasil sesuai dengan teori yang ada.
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang
telah penulis susun. Pelaksanaaan dilakukan menyesuaikan kondisi pasien
dan kondisi lingkungan ruang perawatan yang ada. Masalah intoleransi
aktivitas belum teratasi total karena sampai hari ketiga dilakukannya
perawatan, walaupun pasien sudah mengalami peningkatan dalam
aktivitasnya tetapi pasien masih memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi aktivitasnya, kekuatan otot belum meningkat dan tanda-tanda vital
belum dalam batas normal. Hal ini berarti belum sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah disusun penulis.
Terdapat kesenjangan antara teori dan praktik pelaksanaan yaitu tidak
adanya tindakan perawat untuk mengajarkan latihan rentang gerak secara
bertahap, kebanyakan hanya dilakukan pemantauan tingkat aktivitas yang
dicapai oleh pasien.

43
44

B. Saran
Dalam memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada
pasien gagal jantung. Pada proses pengkajian sebaiknya tetap menggunakan
format pengkajian Gordon karena data-data yang muncul memudahkan dalam
perumusan masalah. Perencanaan yang baik harus disusun berdasarkan teori
yang ada sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan masalah. Pada
implementasi harus memperhatikan kodisi dan lingkungan pasien agar hasil
yang dicapai maksimal. Masalah intoleransi aktivitas dapat teratasi jika
adanya partisipasi yang baik antara perawat dan keluarga dalam membimbing
pasien melakukan latihan rentang gerak secara bertahap minimal dua kali
sehari dengan memperhatikan tanda-tanda vital dan tidak memperberat kerja
jantung.

Anda mungkin juga menyukai