Anda di halaman 1dari 36

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

BUKU BAB PASAL DESKRIPSI


I ORANG Pasal 1-3 menjelaskan tentang adanya hak sebagai warga negara
atau kewargaan yang tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan
dan menjelaskan tentang seorang anak yang diakui “ada”oleh
negara ketika orang tua dari anak tersebut telah memenuhi
kehendak dari anaknya, seperti memberikan
asi,merawatnya,memberikan pendampingan yang terbaik, maka
Menikmati dan bayi tersebut sudah di anggap “ada”oleh negara karena hak-
I Kehilangan hak-hak 1-3
haknya sudah dikehendaki oleh orang tua nya selagi anak itu
kewargaan
belum lahir ketika masih di dalam kandungan dan orang tuanya
sudah menghendaki haknya maka negara sudah mengakui bahwa
bayi itu “ada”, sebaliknya jikalau anak itu sudah lahir tetapi
meninggal sebelum hak nya dikehendaki oleh ortunya maka bayi
tersebut tidak dianggap “ada”oleh negara karena belum
terpenuhinya kehendak hak dari bayi tersebut.
II Akta-akta catatan 4-16 Pada pasal 4-5 bagian 1 dikemukakan tentang catatan sipil
sipil (Pengawai Negeri Sipil) beserta tugas dan hukuman yang berlaku
bagi para pegawai yang melanggar aturan. Kemudian pada pasal
5a – 12 bagian 2 dijelaskan tentang nama dan juga perubahan
seperti penambahan nama keturunan,perubahan nama depan dan
lain-lainnya yang dimana menjadi tugas dari pegawi sipil yang
tercantum pada pasal di bagian pertama. Pada bagian 3 antara
pasal 13-16 disitu menjelaskan tentang pembetulan akta catatan
sipil yang cacat seperti hilang karena pemalsuan, di robek,di
gelapkan ataupun dimusnahkan, semua itu menjadi satu dalam
pasal tersebut yang dimana pengajuan/pelaporannya kepada
pengadilan Negeri setempat.
Pasal ini membahas tentang tempat tinggalnya seseorang yang
dimana ketika menetap ataupun pergi dari tempat tinggalnya
(mengikuti orangtua,pekerjaan dinas umum yang pindah
Tempat tinggal atau tempatkan, dan meninggalnya seseorang pada tempat terakhir
III 17-25
Domisili
kediamannya) dan juga ada pembuktian-pembuktian pada
pemerintah setempat terkait pindah memindah tepat tinggal atau
kediaman seseorang.
Dalam uraian pada pasal 36-102 ini secara umum dan khusus
menjelaskan tentang perkawinan dalam hukum Indonesia yang
dimana terdapat syarat-syarat sah nya sebuah
perkawinan/pernikahan,kemudian pada beberapa bagian di dalam
pasal juga berisi tentang adanya pembatalasan nikah dari pihak
keluarga, pencegahan perkawinan keberlangsungkan perkawinan
IV Perkawinan 26-102 serta bagaimana tentang warga negara Indonesia yang
melangsungkan perkawinan di luar negara. Bab ini sangat pending
adanya dikarenakan semua manusia mempunyai hak untuk
berpasangan dan dalam hak-hak tersebut di atur dengan
sedemikian rupa dengan tatanan yang ada dan tentunya tanpa
melanggar hak-hak yang dimiliki dari kedua belah pihak pasangan
yang ingin menikah.
V Hak dan kewajiban 103- Dalam bab 5 serta pasal yang tertuang di dalamnya memberikan
Suami Istri 118 penjelasan tentang hak-hak suami istri maupun serta
kewajibannya dijelaskan tentang kewajiban suami untuk
menafkahi, kewajiban istri yang tunduk akan kepala rumah
tangganya, berkewajiban tinggal se rumah dengan suaminya,
tentang perkawinan di luar harta kekayaan maupun larangan
suami maupun istri di depan pengadilan dan juga pembuatan
surat wasiat oleh seorang istri yang bisa dapat dilakukan tanpa
izin suaminya. Bab yang berkesinambungan dengan bab
perkawinan yang dimana hak dan kewajiban dituntut secara
langsung terjadinya sebuah perkawinan.
Pada bab 6 ini dan pasal yang tercantum didalamnya,mengatur
akan harta bersama suami istri ketika sudah menikah yang
dimana harta bersama itu didaptkan secara sah setelah sudah
menikah dan dinyatakan harta bersama dikarenakan suami dan

Persatuan Harta istri punya ikatan akan hal pernikahan tersebut, di dalam juga
Kekayaan Menurut 119- disampaikan bahwa hanya suami yang berhak mengurus,menjual
VI
Undang-Undang Dan 138
Pengurusannya. maupun memindah tanganan harta tersebut, jikalau suami
berhalangan akan sesuatu yang darurat yang tidak bisa
menjalankan kehendaknya, maka istri boleh mengambil hak akan
pengurusan harta bersama tersebut. Hal ini penting diketahui bagi
suami istri agar bisa bijak dalam pengelolaan harta mereka.
VII Perjanjian Kawin 139- Pada bab 7 ini dan juga pasal-pasal yang tertera didalamnya
179
membahas tentang perjanjian kawin, mulai dari
definisi perjanjian kawin, syarat sahnya, hingga pembatalan
perjanjian kawin. mengatur tentang syarat sah
perjanjian kawin, seperti harus dilakukan sebelum perkawinan
dilangsungkan atau dalam waktu yang ditentukan, harus dibuat
secara tertulis, dan harus merupakan kesepakatan suami dan istri
yang bersangkutan. Pada bagian dan pasal berikutnya membahas
tentang isi perjanjian kawin, seperti pemberian harta oleh calon
mempelai, hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah
tangga, serta hak warisan para pihak apabila terjadi perceraian
atau kematian. Juga dalam bab ini membahas tentang
pembatalan perjanjian kawin, seperti apabila perjanjian kawin
dibuat dengan unsur kekerasan, tipu muslihat, atau melanggar
ketentuan hukum yang ada. Bab ini bertujuan untuk memberikan
pedoman dalam mengatur perjanjian kawin bagi pasangan yang
akan melangsungkan perkawinan.
Pada bab 8 ini sama dengan halnya harta bersama pada bab
sebelumnya, maka perjanjian kawin ini terjadi apabila adanya
pernikahan kedua oleh sang suami, maka adanya
Gabungan harta
bersama atau perubahan,penggabungan maupun pembatas-pembatas antara
180-
VIII perjanjian kawin pada
185 harta bersama pada perkawinan pertama dan perkawinan
perkawinan kedua
atau selanjutnya kedua.Hal ini diatur dikarenakan juga meminimalisir adanya
sengketa akan harta bagi kedepannya antar perkawinan pertama
maupun kedua.
IX Pemisahan Harta 186- tentang pemisahan harta benda
Benda 198
antara suami istri yang telah berpisah. Dalam pasal didalamnya
menyebutkan
bahwa setiap suami istri dapat menuntut pemisahan harta benda
yang dimilikinya sebelum perkawinan atau selama perkawinan
berlangsung, kecuali jika telah disepakati lain dalam perjanjian
perkawinan. juga menjelaskan proses pemisahan
harta benda yang mengacu pada undang-undang penyelesaian
perselisihan di pengadilan. Pasal 189 dan 191 menunjukkan
bahwa gugatan pemisahan harta benda dapat diajukan oleh suami
atau istri yang saat ini berpisah atau oleh ahli waris jika salah satu
dari mereka meninggal dunia. Pasal 192 mengatur tentang batas
waktu untuk mengajukan gugatan pemisahan harta benda. Pasal
196-198 menjelaskan hak dan kewajiban suami istri dalam
pemisahan harta benda, seperti menyerahkan harta benda yang
dimiliki sebelum perkawinan dan membagi harta benda selama
perkawinan berlangsung.
Pada bab 10 dan pasal yang tertuang didalamnya membahas
tentang perceraian, talak, dan juga hak asuh anak oleh orang
tuanya, dan juga hak serta kewajiban istri maupun suami ketika
Pembubaran 199-
X
Perkawinan 222 sudah bercerai, penepatan hak milik setelah perceraian semua di
atur dalam bab ini untuk memudahkan jikalau adanya pasangan
yang ingin bercerai sesuai dengan hukum yang berlaku.
XI Pisah Meja dan 233- Pada bab 11 dan pasal yang tertuang didalamnya ini,
Ranjang 249
mengemukakan tentang suami istri yang ingin menuntut antara
salah satunya atau keduanya untuk pisah meja dan ranjang dalam
artian meja dan ranjang ini berarti harta bersama mereka.
pemisahan meja (harta bergerak) dan ranjang
(harta tidak bergerak). Tetapi tidak sampai pernikahan itu
dibubarkan atau terjadi perceraian hanya sahaja suami istri
tersebut tidak lagi tinggal bersama. Dan jikalau keduanya atau
salah satunya sudah menuntut ke pengadilan untuk pisah
ranjang, maka sudah tidak diperbolehkan lagi untuk menuntut
atas perceraian keduanya.
Pada bab 12 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang mengenai kebapakan dan asal
keturunan anak-anak, dengan mengatur tentang pengakuan anak,
bapak dan ibu kandungnya, serta pemutusan hubungan ayah-
anak juga memuat ketentuan mengenai syarat sah
pengakuan anak, pembuktian bapak dan ibu kandung, pengakuan
Kebapaan dan Asal 250- orang tidak berwenang dan pembatalannya, serta hak dari anak
XII
Keturunan Anak 289
yang diakui. Pasal selanjutnya mengatur mengenai tuntutan
pengakuan anak yang diajukan oleh orang yang menganggap
dirinya sebagai ayah atau ibu kandung, termasuk kewajiban
membayar uang nafkah dan proses pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa keluarga. Bab ini penting dalam
menentukan hak dan status anak dalam keluarga dan masyarakat.
XIII Kekeluargaan 290- Pada bab 13 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Sedarah dan 297
tentang kekeluargaan sedarah dan semenda. Dalam bab ini diatur
Semenda
mengenai hak-hak keluarga sedarah, yaitu keturunan langsung
dari orang tua yang sama, serta hak-hak keluarga semenda, yaitu
bagian-bagian dari harta bersama yang diterima oleh keluarga
melalui perkawinan. Selain itu, juga dijelaskan mengenai
pemakaian nama keluarga, adopsi, pengakuan anak, dan
peraturan perihal pewarisan harta. Bab ini penting untuk
membantu menyelesaikan masalah terkait hak-hak dan kewajiban
keluarga dalam masyarakat.
Pada bab 14 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang peran atau kuasa orang tua atas anaknya sendiri. Orang
tua mempunyai hak dan kewajiban dalam mendidik anaknya.
Seperti pemberian tempat tinggal yang layak, pendidika ilmu akan
agama dan pengajaran-pengajaran lainnya yang harus diterapkan
298-
XIV Kekuasaan Orang tua
329 kepada anak. Dan juga menyangkut ketika ada sengketa akan
anak dan perwaliannya juga pengasuhan anak serta pasal
didalamnya membatasi orang tua dalam bertindak semena-mena
terhadap anak seperti halnya kekerasan dan lain-lain yang dapat
melukai sang anak.
XIV.A Penentuan, 329a- Pada bab 15A dan pasal yang tertera didalamnya menjelaskan
Perubahan dan 329b
tentang enentuan, perubahan, dan
Pencabutan
Tunjangan Nafkah pencabutan tunjangan nafkah. Pasal 329a menjelaskan bahwa
dalam hal terjadi perselisihan tentang besarnya tunjangan nafkah
yang harus diberikan, pengadilan dapat menentukan besarnya
tunjangan nafkah tersebut. Sementara itu, Pasal 329b menyatakan
bahwa tunjangan nafkah dapat diubah atau dicabut jika terdapat
perubahan dalam keadaan atau kondisi yang menyebabkan
adanya perubahan dalam kebutuhan dan kemampuan pihak yang
memerlukan nafkah atau pihak yang memberikan nafkah.
Pada bab 16 dan pasal yang tertera didalamnya, menjelaskan
tentang kebelumdewasaan dan
perwalian, yang terdiri dari Pasal 330-418a. Bab ini mengatur
mengenai syarat-syarat dan akibat hukum dari seseorang yang
belum dewasa, serta peran dan tanggung jawab wali dalam
melindungi kepentingan anak di bawah umur. Pasal 330-338a
menjelaskan tentang batasan usia untuk dianggap dewasa, yaitu
21 tahun. Sedangkan Pasal 339-350 mengatur tentang pengakuan
Kebelumdewasaan 330-
XV
dan Perwalian 418a anak dan status anak di luar perkawinan. Pasal 351-358a
menjelaskan tentang perwalian terhadap anak di bawah umur,
termasuk wali yang diangkat oleh pengadilan dan wali yang
diangkat secara sah. Selanjutnya, Pasal 359-418a membahas
tentang tugas dan tanggung jawab wali dalam melindungi
kepentingan anak di bawah umur, termasuk kewajiban untuk
memberikan nafkah, mengurus pendidikan dan kesehatan anak,
serta melindungi harta kekayaan anak.
XVI Pendewasaan 419- Pada bab 17 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
432
tentang pendewasaan atau
keadaan di mana seseorang menjadi dewasa menurut hukum.
Pasal 419-432 mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
proses pendewasaan, seperti syarat-syarat pendewasaan, tata cara
pengajuan permohonan pendewasaan, serta hak dan kewajiban
orang yang telah dewasa menurut hukum. Di dalam bab ini,
dijelaskan bahwa seseorang dapat dianggap sudah dewasa jika
telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah sebelum usia
tersebut. Selain itu, orang yang cacat pikiran atau tubuh juga
dapat dianggap dewasa jika telah memenuhi persyaratan tertentu.
Bab 16 KUH Perdata juga memuat ketentuan mengenai hak dan
kewajiban orang yang telah dewasa, termasuk hak untuk
mengelola harta benda dan melakukan tindakan hukum secara
mandiri
Pada bab 18 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang pengampuan atau perwalian yang diberikan kepada
seseorang
untuk mewakili kepentingan orang lain yang tidak mampu untuk
melakukannya sendiri. Bab ini mengatur mengenai syarat-syarat,
433- hak dan kewajiban pengampu serta hak-hak dan kewajiban orang
XVII Pengampuan
462
yang diampu. Selain itu, bab ini juga membahas mengenai
pembatalan pengampuan dan pengakhiran tugas pengampu. Buku
ini sangat penting bagi para ahli hukum, praktisi hukum,
mahasiswa hukum dan masyarakat yang ingin memahami lebih
dalam mengenai pengampuan dalam hukum perdata.
XVIII Ketidakhadiran 463- Pada bab 19 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang ketidakhadiran, yang
mencakup Pasal 463-498. Pasal-pasal ini mengatur mengenai
pengertian ketidakhadiran, perintah pengadilan untuk memanggil
orang yang tidak hadir, serta tindakan hukum yang dapat diambil
jika seseorang tidak hadir dalam persidangan. Selain itu, bab ini

498 juga mengatur mengenai pembuktian terkait ketidakhadiran,


termasuk adanya persyaratan untuk memenuhi ketentuan-
ketentuan tertentu agar bukti yang diajukan dapat diterima oleh
pengadilan. Bab ini penting untuk dipahami dalam rangka
menghadapi kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan
ketidakhadiran dalam persidangan.

II BENDA Pada bab1 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan


tentang apa itu barang,klasifikasi barang ada yang bergerak ada
yang tidak bergerak hak-hak kepemilikan barang dan juga tanah
dan juga dijelaskan tentang hasil dari sebuah kebendaan itu
Barang Dan 499-
I
Pembagiannya 528 seperti hasil dari alam dan orang-orang yang terlibat dalam hasil
tersebut bisa memiliki atas kepemelikian barang yang ia hasiljan
dari alam dan juga tentang kebendaan dan orang-orang yang
menguasai atas kebendaan tersebut.
II Besit dan hak-hak 529- Pada bab 2 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
yang timbul 569
tentang Besit dan Hak-hak yang
karenanya
Timbul Karenanya" yang terdiri dari Pasal 529 hingga Pasal 569.
Bab ini membahas mengenai pengertian besit, perbedaan antara
besit dengan hak milik, hak-hak yang timbul dari besit, serta
pengaturan mengenai pemindahan hak atas benda yang berada
dalam besit.Juga dalam pasal dalam bab tersebut dijelaskan
tentang bagaimana kedudukan berkuasa akan benda itu diperoleh,
dipertahankan dan berakhirnya kedudukan atas hak kebendaan
tersebut dan juga ada sifat-sifat iktidak baik maupun buruk dalam
kepemilikan suatu benda serta berbagai macam hak-hak yang
timbul kepada kebendaan atas karena kedudukan bersama.
Pada bab 3 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang hak milik yang terdiri dari
pasal 570-624. Pada ketentuan umum dijelaskan tentang apa itu
hak milik, hak milik atas kebendaan meliputi tanah dan juga
570-
III Hak Milik
624 bangunan atas kepemliikannya juga cara memperoleh hak milik
atas kebendaan karena pewarisan, daluwarsa maupun wasiat dari
pemilik kebendaan sebelumnya.

IV Hak dan Kewajiban 625- Pada bab 4 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Antara Pemilik 672
tentang mengatur tentang
Pekarangan Yang
Bertetangga hubungan hukum antara pemilik tanah yang berbatasan atau
bertetangga. Dan juga mengatur berbagai hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh para pemilik pekarangan tersebut, seperti hak
untuk membangun pagar atau tembok pemisah, hak untuk
memperbaiki tembok pemisah yang rusak, serta kewajiban untuk
memelihara pekarangan masing-masing agar tidak merugikan
pemilik tetangga. Dibalik atas segala hak dan kewajiban yang telah
tertera sebelumnya ada juga mengenai tentang kerusakan yang
ditimbulkan ketika adanya masalah antara tetangga pekarangan.

Pada bab 5 hanya terdapat 1 pasal didalamnya yang dimana


menjelaskan tentang kerja rodi, kerja rodi yang telah diakui bagi
pemegang kekuasaan tinggi tetap ada. Ketentuan-ketentuan dalam

V Kerja Rodi 673 kitab ini tak membawa perubahan tentang hal ini. Presiden berhak
mengenai kerja rodi mengadakan aturan-aturan demikianlebih
lanjut, sebagaimana perlu ditimbangnya.

VI Pengabdian 674- Pada bab 6 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Pekarangan 710
mengenai pengabdian pekarangan yang dimana ialah suatu beban
yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk
digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang
lain.Pengabdian pekarangan juga lahirnya disebabkan karena
suatu perbuatan perdata atau daluwarsa. Berakhirnya sebuah
pengabdian pekarangan disebabkan karena banyaknya hal dengan
contoh seperti keadaan pekarangan yang sudah tidak lagi dapat
digunakan dengan baik, pengabdian juga berakhir bisa disebabkan
karena pemberi dan penerima beban menjadi milik satu orang dan
pengabdian akan berakhir apabila tigapuluh tahun berturut-turut
tak pernah digunakannya.

Pada bab 7 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan


tentang hak numpang karang yang dimana ialah suatu hak
kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan dan
penanaman di atas pekarangan orang lain. Hak numpang karang
juga memiliki batas waktu atau hal-hal yang membuat atas hak
tersebut berakhir sama halnya juga dengan pengabdian
711- pekarangan ada beberapa unsur yang mengakibatkan hak
VII Hak Numpang Karang
719
numpang karang ini berakhir seperti karena pencampuran, karena
musnahnya pekarangan, karena kedaluwarsa dengan tenggang
waktu tiga puluh tahun lamanya dan juga setelah lewatnya waktu
yang diperjanjikan atau ditentukan, tatkala hak numpang
dilahirkan.

VIII Hak Guna 720- Pada bab 8 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
736
tentang hak guna yang terdiri dari
Pasal 720-736. Pasal 720-723 mengatur mengenai hak guna atas
tanah, sedangkan Pasal 724-731 mengatur mengenai hak guna
atas bangunan. Selanjutnya, Pasal 732-736 mengatur mengenai
hak guna atas tanah yang belum bersertifikat. Hak guna adalah
hak untuk memperoleh manfaat dari suatu benda, dalam hal ini
adalah tanah atau bangunan, namun bukan hak milik atas benda
tersebut. Hak guna dapat diberikan oleh pemilik benda kepada
pihak lain dengan cara sewa atau kontrak penggunaan. Dalam bab
ini, diatur pula mengenai pengalihan hak guna, perpanjangan
masa hak guna, dan pengakhiran hak guna.
Pada bab 9 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang mengenai bunga tanah dannSepersepuluh. Yang dimaksud
bunga tanah ialah, suatu beban utang untuk dibayar, baik dengan
uang, maupun dengan hasil bumi, beban mana diikatkan oleh
seorang pemilik tanah pada tanah miliknya atau, diperjanjikannya
Bunga Tanah dan 737-
IX
Sepersepuluh 755 demi kepentingan diri sendiri atau kepentingan pihak ketiga.Hak-
hak bunga tanah dan beban-beban utang lainnya juga akan
berakhir adanya jika karena pencampuran, yang dimana apabila
beban utang dan hak milik atas tanah yang bersangkutan.

X Hak Pakai Hasil 756- Pada bab10 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
817
tentang hak pakai hasil, yang terdiri dari Pasal 756 hingga Pasal
817. Bab ini menjelaskan tentang hak pakai yang dimiliki oleh
pemilik tanah atas hasil-hasil yang dihasilkan oleh tanah tersebut,
baik itu berupa buah-buahan, hasil kebun, hasil pertanian,
maupun hasil hutan. Pasal 756-771 menjelaskan mengenai hak
pakai atas buah-buahan dan hasil- hasil kebun yang dihasilkan
oleh tanah tersebut. Pasal 772-782 membahas mengenai hak pakai
atas hasil-hasil pertanian, sedangkan Pasal 783-792 menjelaskan
mengenai hak pakai atas hasil hutan. Selain itu, bab ini juga
membahas mengenai pemindahan hak pakai hasil kepada pihak
lain, baik melalui jual beli, hibah, maupun waris. Pasal 793-808
menjelaskan mengenai jual beli hak pakai hasil, Pasal 809-812
membahas mengenai hibah hak pakai hasil, dan Pasal 813-817
membahas mengenai pemberian hak pakai hasil melalui waris.
Secara umum, Bab 10 KUHPerdata ini memberikan aturan dan
ketentuan mengenai hak pakai atas hasil-hasil yang dihasilkan
oleh tanah, serta prosedur dan syarat untuk melakukan
pemindahan hak pakai tersebut kepada pihak lain.
Pada bab 11 dan pasal yang tertuang didalamnya mengemukakan
tentang hak pakai dan hak mendiami yang dimana keduanya ialah
hak kebendaan yang diperoleh dan berakhir dengan cara yang
sama seperti hak pakai hasil. Hak pakai dan hak mendiami diatur
Hak Pakai dan Hak 818- menurut peristiwa perdata, dengan bagaimana hak itu diperoleh,
XI
Mendiami 829
jika dalam peristiwa itu tiada ketentuan tentang keluasaan hak,
maka hak itu diatur menurut pasal-pasal kitab undang-undang
hukum perdata.
.
XII Pewarisan Karena 830- Pada bab 12 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Kematian 873
tentang pewarisan karena kematian. Yang dimana dijelaskah
bahwa menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris
ialah para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si
suami atau istri yang hidup terlama. Diatur juga apabila seseorang
antara mana yang satu adalah untuk menjadi waris yang lain,
karena satu malapetaka atau sama, pada suatu hari, telah
menemui ajalnya dengan tak dapat diketahui siapakah kiranya
yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah
meninggal dunia pada detik yang sama, dan perpindahan warisan
dari yang satu kepada yang lain taklah berlangsung karenanya.
Dan jugadiatur mengenai pembatalan atau pencabutan wasiat oleh
ahli waris, dan hak waris anak yang belum lahir atau belum
diketahuikeberadaannya.
XIII Surat Wasiat 874- Pada bab 13 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
1004
tentang surat wasiat yang merupakan pernyataan kehendak
seseorang mengenai bagaimana harta warisnya akan dibagikan
setelah ia meninggal dunia. Pasal 874 menjelaskan bahwa surat
wasiat harus dibuat oleh seseorang yang memiliki kekuasaan
untuk memberikan wasiat, yaitu mereka yang memiliki hak untuk
membuat wasiat menurut hukum. Pasal 875 memuat tentang
persyaratan formil dalam pembuatan surat wasiat, yaitu harus
dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh pembuat wasiat atau
orang yang dimintakan untuk itu di hadapan dua orang saksi yang
hadir pada saat pembuatan surat wasiat. Selanjutnya, Pasal 876
menjelaskan tentang larangan bagi seseorang untuk memberikan
wasiat yang bertentangan dengan hukum, agama, atau kesusilaan.
Sedangkan Pasal 877 sampai 880 berisi tentang ketentuan-
ketentuan mengenai wasiat yang dibuat oleh orang yang tidak
sehat atau terganggu pikirannya. Pasal 881 hingga 891 memuat
tentang pelaksanaan surat wasiat, yaitu bagaimana cara untuk
mewariskan harta yang tertinggal, penunjukan eksekutor wasiat,
dan kewajiban-kewajiban eksekutor wasiat. Pasal 892 hingga 1004
membahas tentang pembatalan, pencabutan, atau penghapusan
surat wasiat, termasuk alasan dan cara-cara yang dapat dilakukan
untuk melakukan hal tersebut.
Pada bab 14 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang pelaksanaan surat wasiat dan pengelolaan harta
peninggalan. Di dalamnya mengemukakan tentang seseorang yang
mewariskan diperbolehkan, baik dalam wasiat,maupun dalam
suatu akta dibawah tangan seperti yang tersebut dalam pasal 935,
Pelaksanaan Surat
1005- bab ini juga menjelaskan bahwa Pelaksana wajib mengusahakan
XIV Wasiat dan Pengelola
1022
Harta Peninggalan pembuatan perincian harta peninggalan itu di hadapan para ahli
waris yang ada di Indonesia atau setelah memanggil mereka
dengan sah.Kekuasaan pelaksana suatu wasiat tidak beralih pada
ahli warisnya.

XV Hak Berpikir dan Hak 1023- Pada bab 15 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Istimewa Untuk 1043
tentang hak berpikir dan hak istimewa dalam merinci harta
merinci Harta
peninggalan. Pasal 1023-1043 menjelaskan bahwa ahli waris
memiliki hak untuk merinci harta peninggalan berdasarkan
ketentuan yang berlaku, dan apabila terdapat perbedaan pendapat,
dapat diselesaikan melalui pembagian harta secara proporsional.
Selain itu, bab ini juga mengatur tentang hak istimewa seperti hak
Peninggalan
untuk menerima harta tertentu, hak untuk mengambil barang dari
dalam rumah warisan, dan hak untuk menggugat pihak ketiga
yang menguasai harta warisan. Semua hak ini diatur dengan
tujuan untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam
pembagian harta warisan.
XVI Hal Menerima dan 1044- Pada bab 16 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Menolak Warisan 1065
tentang hak untuk menerima dan
menolak warisan. Pasal-pasal yang termasuk dalam bab ini adalah
Pasal 1044 hingga Pasal 1065. Pasal-pasal tersebut menjelaskan
tentang bagaimana seseorang dapat menerima atau menolak
warisan, baik secara langsung maupun melalui ahli waris lainnya.
Selain itu, bab ini juga membahas tentang waktu yang diberikan
untuk menerima atau menolak warisan, tata cara pengumuman
warisan, serta akibat hukum dari penerimaan atau penolakan
warisan. Bab 16 KUHPerdata ini sangat penting untuk memahami
bagaimana seseorang dapat mengatur warisannya, dan
memberikan perlindungan hukum bagi ahli waris yang berhak
menerima atau menolak warisan.
Pada bab 17 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang pemisahan harta
peninggalan yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia. Pasal
1066-1125 menjelaskan mengenai bagaimana pembagian harta
peninggalan dilakukan antara ahli waris dan bagaimana
pengadilan dapat memutuskan perselisihan dalam pembagian
harta tersebut. Pasal-pasal ini menetapkan bahwa pembagian
Pemisahan Harta 1066-
XVII
Peninggalan 1125 harta peninggalan dilakukan secara proporsional sesuai dengan
perhitungan nilai harta dan jumlah ahli waris yang berhak
menerima. Selain itu, dalam pasal-pasal ini juga diatur mengenai
pembagian harta bersama, kewajiban ahli waris untuk membayar
hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris, dan prosedur
pengajuan gugatan untuk menyelesaikan perselisihan dalam
pembagian harta peninggalan.
XVIII Harta Peninggalan 1126- Pada bab 18 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
Yang Tak Terurus 1130
tentang harta peninggalan yang tidak
memiliki ahli waris yang sah atau tidak diurus oleh ahli warisnya.
Pasal 1126 KUHPerdata mengatur bahwa harta tersebut akan
menjadi milik negara jika tidak ada ahli waris yang dapat
ditemukan dalam waktu satu tahun sejak kematian pemiliknya.
Namun, jika ada ahli waris namun mereka tidak mengurus harta
tersebut dalam waktu dua tahun sejak diberitahukan, maka harta
tersebut juga akan menjadi milik negara berdasarkan Pasal 1128
KUHPerdata. Selanjutnya, Pasal 1130 KUHPerdata memberikan
ketentuan tentang tata cara penggunaan harta peninggalan yang
tidak terurus tersebut oleh negara.
Pada bab 19 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang piutang dengan hal-hal
yang mendahulukan. Pasal-pasal dalam bab ini (Pasal 1131-1149)
menjelaskan tentang prioritas atau urutan pembayaran piutang
yang dimiliki oleh seorang kreditur. Pembayaran piutang harus
Piutang Dengan Hal 1131-
XIX
Mendahulukan 1149 memperhatikan hal-hal yang menjadi jaminan, hak istimewa, atau
keutamaan tertentu yang dimiliki oleh kreditur. Misalnya, piutang
yang dijamin dengan hipotek akan mendapat prioritas dibanding
piutang yang tidak dijamin. Bab ini juga mengatur mengenai hak-
hak kreditur dalam hal terjadi pailit atau kebangkrutan debitur.
XX Gadai 1150- Pada bab 20 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
1161
tentang gadai, yang merupakan
suatu hak kebendaan yang diperoleh oleh seorang kreditur atas
suatu barang bergerak yang dijadikan jaminan untuk pelunasan
hutang oleh debitur. Pasal 1150 KUHPerdata menjelaskan definisi
gadai dan syarat-syaratnya, sedangkan pasal 1151-1155
KUHPerdata menjelaskan mengenai cara pemberian gadai,
termasuk tanda terima gadai dan hak-hak yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam gadai. Selanjutnya, pasal 1156-
1157 KUHPerdata menjelaskan mengenai penggunaan barang
gadai dan perawatannya, serta pasal 1158-1161 KUHPerdata
menjelaskan mengenai pelunasan hutang dan lelang barang gadai
jika debitur tidak dapat membayar hutangnya.
Pada bab 21 dan pasal yang tertuang didalamnya, menjelaskan
tentang hipotek, yaitu suatu
jaminan atas suatu benda bergerak atau tidak bergerak yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan
suatu utang. Pasal 1162-1232 mengatur mengenai syarat-syarat
1162- dan tata cara pemberian hipotek, serta hak-hak dan kewajiban
XXI Hipotek
1232
kreditur dan debitur terkait hipotek tersebut. Beberapa hal yang
diatur dalam bab ini antara lain jenis-jenis hipotek, syarat sahnya
hipotek, hak-hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam
pemberian hipotek, penghapusan hipotek, serta tata cara eksekusi
hak hipotek oleh kreditur apabila debitur wanprestasi.

III PERIKATAN I Perikatan Pada 1233- Pada buku 3 ini membahas mengenai tentang perikatan. Yang
Umumnya 1312
dimana pada umumnya yang terdiri dari Pasal 1233-1312. Pasal-
pasal dalam bab ini mengatur mengenai pengertian perikatan,
syarat-syarat sahnyaperikatan, bentuk-bentuk perikatan, akibat
hukum dari pelanggaran, perikatan, serta pengakhiran perikatan.
Dalam bab ini dijelaskan bahwa perikatan ialah suatu peranjian
antara kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan
suatau perbuatan yang mengakibatkan hukum. Perikatan tersebut
dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh hukum, seperti kesepakatan para pihak,
kebebasan berkontrak, kemampuan untuk melakukan perikatan,
serta adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek perikatan. Jika
perikatan dilanggar, pihak yang dirugikan berhak meminta ganti
rugi dan tuntutan lainnya sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Pada bab 2 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, perikatan yang lahir dari
kontrak atau persetujuan antara dua belah pihak. Pasal 1313
hingga 1351 mengatur tentang bagaimana terjadinya perikatan
melalui kontrak atau persetujuan, termasuk syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar kontrak atau persetujuan tersebut dapat
Perikatan yang lahir dianggap sah dan mengikat antara kedua belah pihak. Dalam bab
1313-
II dari kontrak atau
1351 ini, dijelaskan pula mengenai jenis-jenis kontrak, seperti jual beli,
persetujuan
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya. Selain itu, bab
2 KUHPerdata juga mengatur mengenai akibat hukum yang timbul
jika salah satu pihak wanprestasi atau tidak memenuhi
kewajibannya dalam kontrak atau persetujuan tersebut, serta hak
dan kewajiban masing-masing pihak dalam menjalankan kontrak
atau persetujuan yang telah dibuat.
III Perikatan Yang Lahir 1352- Pada bab 3 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
Karena Undang- 1380
tentang, perikatan yang lahir karena
Undang
Undang-undang, terdiri dari pasal 1352-1380. Pasal 1352
menjelaskan bahwa perikatan yang lahir karena Undang-undang
terdiri dari hukum-hukum yang mengatur hak dan kewajiban
antara orang dan orang atau orang dan negara tanpa ada
persetujuan antara mereka. Pasal 1353-1357 menjelaskan tentang
perikatan hukum, yaitu perikatan yang timbul karena perbuatan
hukum seperti perjanjian atau keputusan pengadilan. Pasal 1358-
1366 menjelaskan tentang perikatan perdata yang timbul karena
peristiwa tertentu, seperti kecelakaan atau kerusakan barang.
Selanjutnya, pasal 1367-1380 menjelaskan tentang perikatan yang
timbul karena keadaan yang sah atau batas-batas tertentu, seperti
hak milik, hak tanggungan, atau peraturan hukum yang mengatur
tentang penjualan dan pembelian.
IV Hapusnya Perikatan 1381- Pada bab 4 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1456
tentang, Perikatan, yang
terdiri dari Pasal 1381 hingga Pasal 1456. Bab ini menjelaskan
tentang cara-cara untuk membebaskan diri dari suatu perikatan
atau kontrak yang telah dibuat sebelumnya. Terdapat beberapa
cara untuk menghapuskan perikatan, seperti pembatalan,
pengakhiran, pembebasan, atau pemenuhan. Bab ini juga
mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
menghapuskan perikatan, serta konsekuensi hukum yang terjadi
apabila suatu perikatan dihapuskan. Selain itu, bab ini juga
mengatur tentang ketentuan-ketentuan khusus mengenai
hapusnya perikatan dalam beberapa jenis perjanjian tertentu,
seperti perjanjian jual beli, pinjam-meminjam, dan sewa-menyewa
Pada bab 5 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, entang jual beli Pasal-pasal ini mengatur
berbagai aspek terkait jual beli, termasuk hak dan kewajiban
penjual serta pembeli, syarat-syarat sahnya jual beli, peralihan
risiko, serta pembatalan dan pengembalian barang. Beberapa hal
1457-
V Jual Beli
1540 yang dibahas dalam bab ini antara lain objek jual beli, harga,
pembayaran, serta pengiriman dan penerimaan barang. Selain itu,
bab ini juga mengatur tentang perjanjian jual beli dalam keadaan
khusus seperti jual beli secara kredit dan jual beli dengan hak
memilih.
VI Tukar Menukar 1541- Pada bab 6 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1546
tentang, engatur mengenai perjanjian tukar-menukar yang
merupakansalah satu bentuk perjanjian yang paling umum dalam
kehidupansehari-hari. Pasal-pasal ini menjabarkan tentang hal-hal
yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian tukar-menukar dapat
dianggap sah, antara lain mengenai subjek yang dapat melakukan
perjanjian, jenis barang atau jasa yang dapat diperdagangkan,
serta ketentuan mengenai pengiriman dan penerimaan barang atau
jasa yang ditukar. Selain itu, pasal-pasal ini juga mengatur
mengenai hal-hal yang dapat mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian tukar-menukar, seperti adanya kesalahan dalam barang
atau jasa yang ditukar, atau adanya kekeliruan dalam harga atau
kuantitas barang atau jasa yang disepakati.
Pada bab 7 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, erjanjian sewa-menyewa,
yang terdiri dari Pasal 1547 hingga Pasal 1600. Dalam bab ini,
dijelaskan mengenai hak dan kewajiban penyewa dan pemilik
barang yang disewakan, mulai dari penyerahan barang,
pembayaran sewa, perawatan barang, hingga akibat yang timbul
1547- jika salah satu pihak wanprestasi atau ingkar janji. Selain itu,
VII Sewa Menyewa
1600
diatur pula mengenai pemberhentian perjanjian sewa-menyewa
dan ganti rugi yang harus dibayarkan jika terjadi kerusakan atau
kehilangan pada barang yang disewakan. Bab ini merupakan salah
satu bab yang penting dalam KUHPerdata karena banyaknya
perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari
VIIA Perjanjian Kerja 1601- Pada bab 8A dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1617
tentang, mengenai hakdan kewajiban yang terkait dengan
perjanjian kerja antarapengusaha dan pekerja. Di dalam bab ini
dijelaskan mengenaibentuk perjanjian kerja, waktu penyelesaian
perjanjian, upah dantunjangan yang diterima pekerja, serta hak
dan kewajibanpengusaha dan pekerja. Selain itu, dijelaskan pula
mengenai pelaksanaan perjanjian kerja, termasuk mengenai masa
percobaan, pemutusan hubungan kerja, dan tata cara
penyelesaian sengketa. Bab 7A KUHPerdata sangat penting untuk
melindungi hak-hak pekerja dan memastikan tercapainya
hubungan kerja yang adil dan seimbang antara pengusaha dan
pekerja.
Pada bab 8 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, Perseroan Perdata, yang terdiri dari Persekutuan Perdata,
yakni bentuk perseroan yang didirikan oleh dua atau lebih orang
yang sepakat untuk melakukankegiatan usaha bersama dengan
membagi keuntungan dan kerugian. Pasal 1618 hingga 1652
KUHPerdata mengatur mengenai aspek-aspek Perseroan Perdata,
Perseroan Perdata 1618-
VIII
(Persekutuan Perdata) 1652 seperti syarat-syarat pendirian, keanggotaan, pengurus, serta
pembagian keuntungan dan kerugian. Di antara pasal-pasal
tersebut, terdapat ketentuan mengenai tanggung jawab para
anggota Perseroan Perdata terhadap pihak ketiga, pembagian
keuntungan dan kerugian, perubahan bentuk Perseroan Perdata,
serta likuidasi Perseroan Perdata.
IX Badan Hukum 1653- Pada bab 9 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1665
tentang, badan hukum, yang dimulai dari Pasal 1653 hingga Pasal
1665. Bab ini menjelaskan tentang pengertian badan hukum,
pembentukan badan hukum,hak dan kewajiban badan hukum,
serta pembubaran badanhukum. Di antara isi Pasal 1653-1665
KUHPerdata terdapat penjelasan mengenai badan hukum sebagai
suatu kepentingan
yang tidak bisa diwarisi, badan hukum yang dapat dibentuk oleh
orang perseorangan maupun oleh suatu organisasi, serta tentang
kewajiban badan hukum dalam menjaga keseimbangan keuangan
dan menyampaikan laporan keuangan secara berkala. Bab ini juga
menjelaskan tentang pengadilan yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa mengenai badan hukum dan peran
notaris dalam pembentukan badan hukum.
Pada bab 10 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, enghibahan, yaitu
pemberian harta oleh seorang penghibah kepada penerima atau
ahli warisnya dengan tujuan agar harta tersebut menjadi milik
penerima atau ahli warisnya secara mutlak. Pasal 1666 KUH
Perdata mengatur mengenai definisi penghibahan, sedangkan
1666- pasal-pasal selanjutnya, yaitu pasal 1667 sampai pasal 1693 KUH
X Pengibahan
1693
Perdata mengatur mengenai berbagai aspek penghibahan, seperti
syarat-syarat sahnya penghibahan, hak-hak dan kewajiban
penghibah dan penerima, serta pembatalan penghibahan. Dalam
bab ini juga dijelaskan mengenai penghibahan berdasarkan agama
Islam, dimana penghibahan dapat dilakukan secara langsung
maupun dengan wasiat.
XI Penitipan Barang 1694- Pada bab 11 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1739
tentang, penitipan barang, dimulai 1739 dari Pasal 1694 hingga
Pasal 1739. Pasal-pasal dalam bab inimenjelaskan mengenai
definisi penitipan barang, hak dan kewajiban penitip, tanggung
jawab pengelolaan barang titipan, serta peraturan mengenai akhir
dari perjanjian penitipan barang. Selain itu, bab ini juga mengatur
mengenai tanggung jawab dan ganti rugi jika terjadi kerusakan
atau hilangnya barang titipan selama dalam penitipan. Bab ini
memiliki peran penting dalam mengatur hubungan antara pihak
yang menitipkan barang denganpihak yang menerima titipan
barang.
Pada bab 12 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, pinjam pakai atau comodatum yang diatur dalam Pasal
1740-1753. Pasal 1740 menjelaskan bahwa pinjam pakai adalah
suatu perjanjian di mana pihak pemberi memindahkan suatu
barang kepada pihak penerima untuk dipergunakan dengan
ketentuan pihak penerima harus mengembalikan barang tersebut
1740-
XII Pinjam Pakai
1753 setelah jangka waktu tertentu. Selanjutnya, bab ini mengatur hal-
hal seperti hak dan kewajiban pihak pemberi dan penerima,
keadaan barang, penggantian kerusakan atau hilangnya barang,
serta pengakhiran perjanjian pinjam pakai. Pasal-pasal dalam bab
ini memberikan panduan dan perlindungan hukum bagi pihak
yang terlibat dalam perjanjian pinjam pakai.
XIII Pinjam Pakai habis 1754- Pada bab 13 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1769
tentang, pinjam pakai habis, yaitu suatu perjanjian di mana pihak
yang meminjamkan memberikan barang kepada pihak yang
meminjam dengan tujuan agar barang tersebut habis dipakai oleh
pihak yang meminjam. Pasal 1754 KUHPerdata menjelaskan
bahwa pinjam pakai habis tidak dapat diakhiri sebelum barang
yang dipinjamkan habis dipakai. Selanjutnya, pasal-pasal
berikutnya (1755-1769) mengatur mengenai hak dan kewajiban
pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pinjam pakai habis,
seperti kewajiban untuk merawat barang yang dipinjamkan,
mengganti kerusakan yang terjadi pada barang, serta ketentuan
mengenai pemilikan barang setelah habis dipakai.
XIV Bunga Tetap atau 1770- Pada bab14 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
Bunga Abadi 1773
tentang, bunga tetap atau bunga abadi yang tercantum dalam
pasal 1770-1773. Pasal 1770 menyatakan bahwa bunga tetap
adalah bunga yang jumlahnya telah ditetapkan sebelumnya,
sedangkan bunga abadi adalahbunga yang jumlahnya tidak
ditetapkan dan dibayarkan secara berkala. Pasal 1771 mengatur
bahwa jika bunga abadi tidak dibayar tepat waktu, maka kreditur
berhak meminta pembayaran sekaligus. Pasal 1772 menyebutkan
bahwa jika terjadi perubahan dalam nilai uang, maka bunga tetap
atau abadi harus disesuaikan. Sedangkan pasal 1773 memberikan
ketentuan bahwa jika bunga tetap atau abadi dibayarkan lebih
dahulu, maka pembayaran tersebut akan dianggap sebagai
pembayaran pokok hutang terlebih dahulu, kecuali jika ada
perjanjian lain antara pihak-pihak yang terlibat.
Pada bab15 pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan tentang,
persetujuan untung- untungan dalam hukum perdata Indonesia.
Pasal-pasal yang tercakup dalam bab ini, yaitu Pasal 1774 hingga
Pasal 1791. Pasal 1774 dan 1775 menjelaskan tentang definisi
persetujuan untung- untungan serta syarat-syarat sahnya,
sedangkan Pasal 1776 hingga 1781 mengatur mengenai objek
persetujuan untung- untungan dan hak serta kewajiban para
Persetujuan Untung- 1774-
XV
Untungan 1791 pihak yang terlibat.Selanjutnya, Pasal 1782 hingga 1788 mengatur
mengenai pembagian untung atau rugi antara para pihak yang
terlibat, serta mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal
terdapat keadaan-keadaan yang tidak terduga Pasal 1789 hingga
1791 berbicara mengenai pembuktian adanya persetujuan untung-
untungan, serta pembuktian bahwa persetujuan tersebut tidak sah
atau tidak berlaku.
XVI Pemberian Kuasa 1792- Pada bab16 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1819
tentang, pemberian kuasa atau surat kuasa, yang merupakan
perjanjian di mana seseorang memberikan wewenang atau kuasa
kepada orang lain untuk bertindak atas namanya. Pasal 1792
KUHPerdata menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu kuasa sah, seperti kebebasan berkontrak dan kewenangan
dari pemberi kuasa. Selanjutnya, bab ini membahas tentang jenis-
jenis kuasa, tata cara pemberian kuasa, serta hak dan kewajiban
pihak-pihak yang terlibat dalam kuasa. Terdapat pula ketentuan
mengenai pembatalan atau pencabutan kuasa dan dampak
hukumnya. Pasal-pasal yang terdapat dalam bab 16 ini meliputi
pasal 1792 sampai dengan pasal 1819 KUHPerdata.
Pada bab 17 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, penanggung utang. Pasal 1820 menjelaskan bahwa
penanggung utang adalah orang yang dengan sukarela menjamin
pembayaran utang orang lain. Selanjutnya, pasal-pasal berikutnya,
yaitu pasal 1821 hingga pasal 1850, mengatur mengenai hak dan
kewajiban penanggung utang, termasuk hak untuk menuntut
1820-
XVII Penanggung Utang
1850 penggantian kerugian dari yang dijamin dan kewajiban untuk
melunasi utang jika debitur tidak mampu membayarnya. Bab ini
juga membahas mengenai hak dan kewajiban kreditur dalam hal
pembayaran utang oleh penanggung utang, serta mengenai hak
regres penanggung utang terhadap debitur utama jika penanggung
utang telah membayar utang tersebut.
XVIII Perdamaian 1851- Pada bab 18 dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1864
tentang, perdamaian, yang terdiri dari Pasal 1851 hingga Pasal
1864. Bab ini mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui
jalur perdamaian, baik melalui perjanjian perdamaian, mediasi,
maupun arbitrase. Pasal-pasal dalam bab ini menjelaskan
mengenai cara-cara penyelesaian sengketa tersebut, termasuk tata
cara penyusunan perjanjian perdamaian, hakim mediasi dan
arbitrator, serta pelaksanaan putusan mediasi dan arbitrase. Bab
ini juga memberikan ketentuan mengenai kekuatan hukum
perjanjian perdamaian serta upaya hukum yang dapat dilakukan
jika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian yang telah
disepakati.

IV PEMBUKTIAN Pada ketentuan umum ini yang tertera pada bab1, menjelaskan
tentang setiap orang yang mempunyai suatu haknya sendiri guna
DAN
Pembuktian pada 1865- untuk meneguhkan maupun membantah suatu hak orang lain
I
DALUARSA umumnya 1866
dengan bedasar pada alat-alat bukti yang tertera dalam pasal
tersebut.
II Pembuktian dengan 1867- Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tulisan 1894
tentang. pembuktian dengan tulisan yang terdiri dari Pasal 1867
sampai Pasal 1894. Pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang
syarat-syarat sahnya surat sebagai alat bukti, cara
mempergunakan surat sebagai alat bukti, dan kekuatan
pembuktian surat sebagai alat bukti di pengadilan. Pasal
1867 menjelaskan bahwa surat sebagai alat bukti sah harus
memuat unsur-unsur tertentu, yaitu nama, tanda tangan, dan
tempat serta tanggal dibuatnya surat. Selain itu, surat juga harus
dibuat oleh orang yang berwenang dan dalam keadaan sadar serta
sehat. Pasal 1868-1872 menjelaskan tentang jenis-jenis surat yang
dapat dijadikan alat bukti di pengadilan, seperti akta otentik, akta
dibawah tangan, surat perjanjian, dan surat-surat lainnya. Pasal
1873-1875 menjelaskan tentang cara mempergunakan surat
sebagai alat bukti di pengadilan, yaitu dengan menyerahkan
salinan atau asli surat ke pengadilan, dan pengadilan akan menilai
keabsahan dan kekuatan pembuktian surat tersebut. Pasal 1876-
1885 menjelaskan tentang kekuatan pembuktian surat sebagai alat
bukti di pengadilan, termasuk bagaimana cara menghadapi surat
palsu atau surat yang diubah, serta kapan surat dapat dianggap
telah dibuat oleh pihak yang berwenang. Pasal 1886-1890
menjelaskan tentang kekuatan pembuktian surat dalam hal
adanya ketentuan hukum yang mengatur mengenai alat bukti yang
dapat diterima di pengadilan. Terakhir, Pasal 1891-1894
menjelaskan tentang tata cara pengambilan keterangan saksi
apabila surat sebagai alat bukti tidak cukup kuat untuk
membuktikan suatu fakta di pengadilan.
III Pembuktian dengan 1895- Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
sanksi-sanksi 1914
tentang, pembuktian dengan sanksi- sanksi yang berlaku dalam
hukum perdata Indonesia. Pasal 1895- 1914 mengatur tentang
berbagai macam sanksi yang dapat diberikan kepada pihak yang
tidak memenuhi kewajiban mereka dalam proses pembuktian.
Pasal-pasal ini menetapkan bahwa pihak yang gagal untuk
memenuhi kewajibannya dapat dikenai sanksi seperti kehilangan
hak untuk membuktikan fakta tertentu, diperintahkan untuk
membayar biaya peradilan atau denda, atau bahkan dilarang
mengajukan gugatan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, bab
ini juga memuat ketentuan mengenai kesaksian, bukti, dan
sumpah dalam proses pembuktian. Tujuannya adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan mendorong pihak-pihak yang
terlibat dalam perselisihan untuk memenuhi kewajiban mereka
secara tepat waktu.
Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya
menjelaskan tentang, persangkaan-persangkaan dalam hukum
perdata, yang terdiri dari Pasal 1915 hingga Pasal 1922. Pasal-
pasal ini mengatur tentang asas persangkaan, yaitu bahwa jika
suatu fakta atau keadaan tidak dapat dibuktikan secara langsung,
Persangkaan- 1915- maka hakim dapat melakukan persangkaan atau berasumsi atas
IV
persangkaan 1922 fakta atau keadaan tersebut. Selain itu, bab ini juga mengatur
tentang bagaimana persangkaan dapat digunakan dalam
pembuktian dan bagaimana cara untuk menentukan beratnya
bukti persangkaan tersebut. Bab ini sangat penting dalam
membantu penyelesaian sengketa di pengadilan karena dapat
membantu hakim dalam menentukan keputusan berdasarkan
bukti-bukti yang ada.
V Pengakuan 1923- Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
1928
tentang, pengakuan, yang diatur dalam Pasal 1923 hingga Pasal
1928. Pasal 1923 menjelaskan bahwa pengakuan dapat diberikan
oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk membuat
perjanjian, dan pengakuan dapat berupa pengakuan mengenai
hak, fakta, atau tindakan tertentu. Pasal 1924 menjelaskan bahwa
pengakuan yang diberikan secara tertulis atau lisan memiliki
kekuatan pembuktian yang sama dengan bukti lainnya. Pasal 1925
berisi ketentuan bahwa pengakuan yang diberikan secara terpaksa
atau dipengaruhi oleh kesalahan atau tipuan dapat dibatalkan.
Pasal 1926 menyatakan bahwa pengakuan yang diberikan oleh
orang yang tidak memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian
atau yang dilarang membuat perjanjian tidak sah. Selanjutnya,
Pasal 1927 menyebutkan bahwa pengakuan yang diberikan oleh
seorang pihak dalam perjanjian dapat digunakan sebagai dasar
untuk meminta pelaksanaan perjanjian atau ganti rugi. Sementara
itu, Pasal 1928 memberikan ketentuan mengenai batas waktu
untuk mengajukan gugatan atas pengakuan yang telah dibuat.
Secara singkat, bab 5 KUHPerdata Pasal 1923-1928 membahas
tentang pengakuan yang dapat diberikan oleh seseorang mengenai
hak, fakta, atau tindakan tertentu, dengan ketentuan-ketentuan
mengenai kekuatan pembuktian, pembatalan, sah atau tidaknya
pengakuan, dan batas waktu untuk mengajukan gugatan atas
pengakuan yang telah dibuat.
VI Sumpah di muka 1929- Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
hakim 1992
tentang, i sumpah di muka hakim, yang terdiri dari pasal 1929
hingga 1992. Dalam bab ini dijelaskan bahwa sumpah di muka
hakim merupakan bentuk bukti yang sah dalam suatu
persidangan, terutama jika tidak ada bukti lain yang dapat
digunakan untuk menguatkan tuntutan atau pembelaan
yang diajukan oleh para pihak. Sumpah di muka hakim dapat
diberikan oleh saksi, tergugat, atau penggugat, dan dilakukan
secara sukarela dengan mengangkat tangan kanan atau dengan
cara lain yang diyakini dapat dipercaya oleh hakim. Di samping itu,
bab ini juga membahas mengenai sumpah palsu, yang dapat
dikenakan sanksi pidana bagi pihak yang memberikan sumpah
palsu di muka hakim.
Pada bab dan pasal yang tertuang didalamnya menjelaskan
tentang, entang ketentuan penutup pada
suatu perjanjian. Pasal 1993 KUHPerdata menjelaskan bahwa
apabila terdapat ketentuan penutup yang tidak jelas atau ambigu
dalam suatu perjanjian, maka ketentuan tersebut harus diartikan
VII Ketentuan penutup 1993
secara terbatas, yaitu hanya sejauh yang dibutuhkan untuk
menjalankan perjanjian tersebut. Hal ini bertujuan untuk
mencegah adanya penafsiran yang salah atau merugikan salah
satu pihak akibat ketidakjelasan ketentuan penutup dalam
perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai