Anda di halaman 1dari 25

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

BUKU BAB PASAL DESKRIPSI


I ORANG Bab 1 KUHPerdata membahas tentang menikmati dan kehilangan
hak-hak kewargaan. Pasal 1 menjelaskan bahwa setiap orang yang
lahir di dalam daerah hukum negara Indonesia atau yang diakui
sebagai warga negara Indonesia memiliki hak kewargaan. Pasal 2
Menikmati dan
berisi tentang syarat-syarat menjadi warga negara Indonesia,
I Kehilangan hak-hak 1-3
antara lain melalui kelahiran atau perkawinan dengan warga
kewargaan
negara Indonesia. Sedangkan pasal 3 menjelaskan bahwa
seseorang dapat kehilangan hak kewargaannya jika mengajukan
permohonan secara sukarela atau melakukan tindakan yang
mempersempit hak kewarganegaraannya.
Bab 2 KUHPerdata membahas mengenai akta-akta catatan sipil,
terdiri dari pasal 4 hingga pasal 16. Pasal 4 menjelaskan bahwa
akta catatan sipil adalah dokumen resmi yang berisi data-data
kependudukan, seperti kelahiran, kematian, perkawinan, dan
perceraian. Akta tersebut harus dibuat oleh pejabat yang
berwenang di wilayah tempat kejadian dan harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan. Pasal 5 berisi tentang prosedur pembuatan dan
pengesahan akta catatan sipil. Akta dibuat berdasarkan fakta yang
telah terjadi dan harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Akta-Akta Catatan
II 4-16 Pasal 6 dan 7 menjelaskan mengenai keabsahan dan kekuatan
sipil
hukum akta catatan sipil. Akta tersebut memiliki kekuatan
pembuktian yang mengikat para pihak yang terlibat dalam data
kependudukan tersebut. Selanjutnya , pasal 8 hingga 12
membahas tentang jenis-jenis akta catatan sipil, seperti akta
kelahiran, akta kematian, akta perkawinan, dan akta perceraian.
Setiap akta memiliki persyaratan dan prosedur pengesahan yang
berbeda-beda. Pasal 13 hingga 15 membahas tentang tata cara
penyimpanan dan pengambilan akta catatan sipil yang disimpan di
Kantor Pencatatan Sipil. Akta tersebut harus dijaga
kerahasiaannya dan hanya dapat diakses oleh orang-orang yang
berwenang. Terakhir, pasal 16 menjelaskan bahwa akta catatan
sipil tidak dapat diubah atau dicabut kecuali atas dasar keputusan
pengadilan yang berwenang. Jika terdapat kesalahan atau
perubahan data kependudukan, maka dibuatlah akta perbaikan
yang kemudian dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil.
Bab 3 KUHPerdata berisi tentang ketentuan mengenai tempat
tinggal atau domisili seseorang yang berlaku dalam hukum
perdata. Pasal 17 sampai 25 menjelaskan tentang hal-hal seperti
definisi tempat tinggal, cara menentukan tempat tinggal, dan
Tempat Tinggal atau konsekuensi hukum dari perubahan tempat tinggal atau domisili
III 17-25
domisili seseorang. Di bab ini juga dijelaskan tentang kewenangan
pengadilan dalam menangani perkara yang terkait dengan tempat
tinggal atau domisili pihak yang bersangkutan. Selain itu, bab ini
juga menjelaskan tentang kewajiban pengumuman perubahan
tempat tinggal atau domisili dan tata cara pengumuman tersebut.
Bab 4 KUHPerdata berjudul "Perkawinan" yang terdiri dari pasal 26
hingga 102, membahas mengenai semua hal yang berkaitan
dengan prosedur, persyaratan, dan hak-hak pasangan dalam
perkawinan. Bab ini mengatur segala aspek yang perlu
diperhatikan dalam mengikatkan hubungan perkawinan, seperti
persyaratan usia, persetujuan orang tua, sidang isbat, dan
IV Perkawinan 26-102
pembagian harta gono gini. Terdapat juga penjelasan mengenai
pernikahan beda agama, pernikahan yang dilangsungkan di luar
negeri, perceraian, hak suami dan istri, serta kewajiban pasangan
dalam perkawinan. Bab ini sangat penting bagi semua individu
yang hendak melangsungkan atau sudah terikat dalam hubungan
perkawinan.
Bab 5 KUHPerdata memuat tentang hak dan kewajiban suami
isteri. Pasal 103-118 membahas tentang pernikahan, hubungan
suami istri, serta hak dan kewajiban keduanya. Dalam pasal
tersebut dijelaskan mengenai hak suami dan istri dalam rumah
Hak dan Kewajiban 103-
V tangga, tanggung jawab dalam rumah tangga, serta kewajiban
suami isteri 118
suami istri dalam hubungan pernikahan dan pengasuhan anak.
Selain itu, pasal ini juga memuat tentang pembagian harta
bersama dan hak kedua belah pihak atas harta tersebut dalam
perkawinan. Tujuannya adalah untuk menegaskan hak dan
kewajiban suami istri dalam hubungan keluarga untuk
menciptakan keadilan dan kesetaraan di dalam rumah tangga.
Bab 6 KUHPerdata membahas tentang harta bersama menurut
undang-undang dan pengurusannya. Pasal 119-138 menjelaskan
bahwa harta bersama adalah harta suami istri yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung. Ada beberapa jenis harta
bersama, antara lain harta bersama yang diakui oleh hukum, harta
Harta bersama
terpisah yang menjadi milik bersama, dan harta yang diperoleh
menurut Undang- 119-
VI dari hasil kerjasama suami istri. Hukum juga mengatur tentang
undang dan 138
bagaimana pengurusan harta bersama dilakukan, mulai dari
Pengurusannya
pengelolaan, perolehan, hingga pemecahan harta bersama dalam
kasus perceraian atau kematian salah satu dari pasangan suami
istri. Bab ini sangat penting bagi pasangan suami istri yang ingin
mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam mengelola harta
bersama.
Bab 7 KUHPerdata membahas tentang perjanjian kawin, mulai dari
definisi perjanjian kawin, syarat sahnya, hingga pembatalan
perjanjian kawin. Pasal 139-143 mengatur tentang syarat sah
perjanjian kawin, seperti harus dilakukan sebelum perkawinan
dilangsungkan atau dalam waktu yang ditentukan, harus dibuat
secara tertulis, dan harus merupakan kesepakatan suami dan istri
yang bersangkutan. Selanjutnya, pasal 144-171 membahas
139- tentang isi perjanjian kawin, seperti pemberian harta oleh calon
VII Perjanjian Kawin
179 mempelai, hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah
tangga, serta hak warisan para pihak apabila terjadi perceraian
atau kematian. Terakhir, pasal 172-179 membahas tentang
pembatalan perjanjian kawin, seperti apabila perjanjian kawin
dibuat dengan unsur kekerasan, tipu muslihat, atau melanggar
ketentuan hukum yang ada. Bab ini bertujuan untuk memberikan
pedoman dalam mengatur perjanjian kawin bagi pasangan yang
akan melangsungkan perkawinan.
Gabungan harta Bab 8 KUHPerdata berisi tentang gabungan harta bersama atau
bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya yang
180-
VIII perjanjian kawin pada diatur dalam pasal 180 hingga 185. Pasal-pasal tersebut
185
perkawinan kedua membahas tentang pengaturan hak dan kewajiban suami dan istri
atau selanjutnya dalam memutuskan untuk menggabungkan harta milik mereka
atau membuat perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau
selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengelolaan
harta bersama dan meminimalkan sengketa yang mungkin terjadi
di masa depan. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang
persyaratan, pembagian harta, dan hak waris jika salah satu dari
pasangan tersebut meninggal. Semua regulasi tersebut diatur
dengan jelas agar tidak ada kebingungan di antara para pihak
dalam menjalankan hubungan suami istri.
Bab 9 KUHPerdata membahas tentang pemisahan harta benda
antara suami istri yang telah berpisah. Pasal 186 menyebutkan
bahwa setiap suami istri dapat menuntut pemisahan harta benda
yang dimilikinya sebelum perkawinan atau selama perkawinan
berlangsung, kecuali jika telah disepakati lain dalam perjanjian
perkawinan. Pasal 187 dan 188 menjelaskan proses pemisahan
harta benda yang mengacu pada undang-undang penyelesaian
Pemisahan harta 186- perselisihan di pengadilan. Pasal 189 dan 191 menunjukkan
IX
benda 198 bahwa gugatan pemisahan harta benda dapat diajukan oleh suami
atau istri yang saat ini berpisah atau oleh ahli waris jika salah satu
dari mereka meninggal dunia. Pasal 192 mengatur tentang batas
waktu untuk mengajukan gugatan pemisahan harta benda. Pasal
196-198 menjelaskan hak dan kewajiban suami istri dalam
pemisahan harta benda, seperti menyerahkan harta benda yang
dimiliki sebelum perkawinan dan membagi harta benda selama
perkawinan berlangsung.
Bab 10 KUHPerdata membahas tentang pembubaran perkawinan
yang terdiri dari pasal 199-232. Dalam bab ini dijelaskan tentang
proses pembubaran perkawinan melalui talak, perceraian,
pembatalan perkawinan, dan putusan pengadilan. Berbagai syarat
dan prosedur juga diatur dalam bab ini, seperti persyaratan untuk
Pembubaran 199-
X mengajukan permohonan pembubaran perkawinan, hak dan
Perkawinan 232
kewajiban suami istri setelah perceraian, serta tentang hak asuh
anak dalam kasus perceraian. Selain itu, dijelaskan juga tentang
pewarisan dan hak milik setelah perceraian terjadi. Bab ini menjadi
acuan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan pembubaran
perkawinan secara sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
XI Pisah meja dan 233- Bab 11 KUHPerdata membahas tentang pembagian harta bersama
ranjang 249 antara pasangan suami istri yang telah bercerai. Pasal 233-249
KUHPerdata mengatur mengenai pemisahan harta bersama,
khususnya mengenai pemisahan meja (harta bergerak) dan ranjang
(harta tidak bergerak). Pasal-pasal ini menegaskan bahwa setiap
pasangan berhak atas proporsi yang sama dari harta bersama yang
dipisahkan, dan memuat ketentuan-ketentuan terkait pembagian
harta tersebut, seperti apabila terdapat kelemahan dalam
pemisahan harta atau apabila salah satu pasangan tidak memiliki
harta untuk dibagi. Bab 11 KUHPerdata dan pasal-pasal yang
terkait dengan pemisahan harta ini bertujuan untuk melindungi
hak-hak kedua pasangan dalam hal pembagian harta bersama
setelah bercerai.
Bab 12 KUHPerdata membahas mengenai kebapakan dan asal
keturunan anak-anak, dengan mengatur tentang pengakuan anak,
bapak dan ibu kandungnya, serta pemutusan hubungan ayah-
anak. Pasal 250-289 memuat ketentuan mengenai syarat sah
pengakuan anak, pembuktian bapak dan ibu kandung, pengakuan
Kebapakan dan Asal 250- orang tidak berwenang dan pembatalannya, serta hak dari anak
XII
keturunan anak-anak 289 yang diakui. Pasal selanjutnya mengatur mengenai tuntutan
pengakuan anak yang diajukan oleh orang yang menganggap
dirinya sebagai ayah atau ibu kandung, termasuk kewajiban
membayar uang nafkah dan proses pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa keluarga. Bab ini penting dalam
menentukan hak dan status anak dalam keluarga dan masyarakat.
Bab 13 KUHPerdata dalam pasal 290-297 membahas mengenai
kekeluargaan sedarah dan semenda. Dalam bab ini diatur
mengenai hak-hak keluarga sedarah, yaitu keturunan langsung
dari orang tua yang sama, serta hak-hak keluarga semenda, yaitu
Kekeluargaan
290- bagian-bagian dari harta bersama yang diterima oleh keluarga
XIII Sedarah dan
297 melalui perkawinan. Selain itu, juga dijelaskan mengenai
Semenda
pemakaian nama keluarga, adopsi, pengakuan anak, dan
peraturan perihal pewarisan harta. Bab ini penting untuk
membantu menyelesaikan masalah terkait hak-hak dan kewajiban
keluarga dalam masyarakat.
298- Bab 14 KUHPerdata membahas tentang kekuasaan orang tua,
XIV Kekuasaan Orang tua
329 terkait dengan perlindungan dan pengasuhan anak. Pasal-pasal
yang tercakup dalam bab ini antara lain pasal 298 sampai pasal
329. Dalam bab ini dijelaskan mengenai hak dan kewajiban
orangtua dalam hal memberikan perlindungan dan pengasuhan
terbaik untuk anaknya. Pasal-pasal ini menjelaskan tentang hak
orangtua dalam hal pembuatan keputusan penting terkait anak,
seperti pendidikan, kesehatan, agama, dan lain sebagainya. Selain
itu, bab ini juga memberikan batasan-batasan terhadap kekuasaan
orangtua, seperti larangan terhadap tindakan yang merugikan
anak, seperti kekerasan fisik dan psikis, serta pengabaian
kewajiban untuk memberikan nafkah dan perlindungan yang layak
untuk anaknya. Bab ini juga mengatur tentang tindakan hukum
yang dapat diambil jika terjadi sengketa terkait pengasuhan atau
perwalian anak.
Bab 14A KUHPerdata berisi tentang penentuan, perubahan, dan
pencabutan tunjangan nafkah. Pasal 329a menjelaskan bahwa
dalam hal terjadi perselisihan tentang besarnya tunjangan nafkah
Penentuan,
yang harus diberikan, pengadilan dapat menentukan besarnya
Perubahan, dan 329a-
XIV.A tunjangan nafkah tersebut. Sementara itu, Pasal 329b menyatakan
Pencabutan 329b
bahwa tunjangan nafkah dapat diubah atau dicabut jika terdapat
tunjangan nafkah
perubahan dalam keadaan atau kondisi yang menyebabkan
adanya perubahan dalam kebutuhan dan kemampuan pihak yang
memerlukan nafkah atau pihak yang memberikan nafkah.
Bab 15 KUHPerdata membahas tentang kebelumdewasaan dan
perwalian, yang terdiri dari Pasal 330-418a. Bab ini mengatur
mengenai syarat-syarat dan akibat hukum dari seseorang yang
belum dewasa, serta peran dan tanggung jawab wali dalam
melindungi kepentingan anak di bawah umur. Pasal 330-338a
menjelaskan tentang batasan usia untuk dianggap dewasa, yaitu
Kebelumdewasaan 330- 21 tahun. Sedangkan Pasal 339-350 mengatur tentang pengakuan
XV
dan Perwalian 418a anak dan status anak di luar perkawinan. Pasal 351-358a
menjelaskan tentang perwalian terhadap anak di bawah umur,
termasuk wali yang diangkat oleh pengadilan dan wali yang
diangkat secara sah. Selanjutnya, Pasal 359-418a membahas
tentang tugas dan tanggung jawab wali dalam melindungi
kepentingan anak di bawah umur, termasuk kewajiban untuk
memberikan nafkah, mengurus pendidikan dan kesehatan anak,
serta melindungi harta kekayaan anak.
Bab 16 KUHPerdata membahas tentang pendewasaan atau
keadaan di mana seseorang menjadi dewasa menurut hukum.
Pasal 419-432 mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
proses pendewasaan, seperti syarat-syarat pendewasaan, tata cara
pengajuan permohonan pendewasaan, serta hak dan kewajiban
orang yang telah dewasa menurut hukum. Di dalam bab ini,
419- dijelaskan bahwa seseorang dapat dianggap sudah dewasa jika
XVI Pendewasaan
432 telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah sebelum usia
tersebut. Selain itu, orang yang cacat pikiran atau tubuh juga
dapat dianggap dewasa jika telah memenuhi persyaratan tertentu.
Bab 16 KUH Perdata juga memuat ketentuan mengenai hak dan
kewajiban orang yang telah dewasa, termasuk hak untuk
mengelola harta benda dan melakukan tindakan hukum secara
mandiri.
Bab 17 KUHPerdata Pasal 433-462 membahas mengenai
pengampuan atau perwalian yang diberikan kepada seseorang
untuk mewakili kepentingan orang lain yang tidak mampu untuk
melakukannya sendiri. Bab ini mengatur mengenai syarat-syarat,
433- hak dan kewajiban pengampu serta hak-hak dan kewajiban orang
XVII Pengampun
462 yang diampu. Selain itu, bab ini juga membahas mengenai
pembatalan pengampuan dan pengakhiran tugas pengampu. Buku
ini sangat penting bagi para ahli hukum, praktisi hukum,
mahasiswa hukum dan masyarakat yang ingin memahami lebih
dalam mengenai pengampuan dalam hukum perdata.
Bab 18 KUHPerdata membahas mengenai ketidakhadiran, yang
mencakup Pasal 463-498. Pasal-pasal ini mengatur mengenai
pengertian ketidakhadiran, perintah pengadilan untuk memanggil
orang yang tidak hadir, serta tindakan hukum yang dapat diambil
jika seseorang tidak hadir dalam persidangan. Selain itu, bab ini
463-
XVIII Ketidakhadiran juga mengatur mengenai pembuktian terkait ketidakhadiran,
498
termasuk adanya persyaratan untuk memenuhi ketentuan-
ketentuan tertentu agar bukti yang diajukan dapat diterima oleh
pengadilan. Bab ini penting untuk dipahami dalam rangka
menghadapi kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan
ketidakhadiran dalam persidangan.
II BENDA Bab 1 KUHPerdata membahas mengenai barang dan
pembagiannya, yang mencakup Pasal 499-528. Bab ini
menjelaskan pengertian barang, termasuk barang bergerak dan
tidak bergerak, serta hak-hak yang terkait dengan kepemilikan
barang. Selain itu, bab ini juga mengatur mengenai pemilikan
bersama, yakni situasi di mana dua atau lebih orang memiliki hak
Barang dan 499-
I atas satu barang. Bab ini juga mengatur mengenai pembagian
Pembagiannya 528
warisan, di mana hak-hak atas barang akan dibagi sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Pembagian ini dapat dilakukan
secara sukarela maupun melalui proses pengadilan. Bab ini
penting untuk dipahami dalam rangka mengelola dan melindungi
hak-hak atas barang, termasuk dalam situasi-situasi di mana
terdapat perselisihan terkait kepemilikan barang.
Bab 2 KUHPerdata membahas tentang "Besit dan Hak-hak yang
Timbul Karenanya" yang terdiri dari Pasal 529 hingga Pasal 569.
Bab ini membahas mengenai pengertian besit, perbedaan antara
besit dengan hak milik, hak-hak yang timbul dari besit, serta
pengaturan mengenai pemindahan hak atas benda yang berada
Besit dan Hak-hak dalam besit. Pasal-pasal yang termasuk dalam bab ini antara lain
529-
II yang timbul mengatur tentang penguasaan benda, pemindahan hak atas benda
569
karenanya yang tidak memiliki pemilik, pemindahan hak atas benda yang
masih dalam besit orang lain, dan ganti rugi atas kehilangan atau
kerusakan benda yang berada dalam besit. Selain itu, bab ini juga
mengatur tentang hak milik bersama, hak milik atas bangunan,
hak milik atas tanah yang tidak memiliki sertifikat, serta hak milik
atas hewan yang berkeliaran.
Bab 3 KUHPerdata mengatur tentang hak milik yang terdiri dari
pasal 570-624. Pada pasal 570-586 dijelaskan mengenai hak milik
dalam arti umum, termasuk pengertian, unsur-unsur, serta
pembatasan terhadap hak milik. Selanjutnya, pasal 587-614
570-
III Hak Milik mengatur tentang perolehan hak milik, baik melalui perbuatan
624
hukum, hukum waris, maupun pendaftaran hak. Pasal 615-624
berisi tentang pembatasan hak milik, termasuk dalam hal hak
milik terhadap tanah, bangunan, dan hak-hak atas barang. Dalam
bab ini, dijelaskan secara singkat mengenai aspek-aspek penting
terkait hak milik yang menjadi dasar hukum dalam memperoleh
dan membatasi hak atas properti.
Bab 4 KUHPerdata berjudul "Hak dan Kewajiban Antara Para
Pemilik Pekarangan yang Bertetangga" mengatur tentang
hubungan hukum antara pemilik tanah yang berbatasan atau
bertetangga. Pasal 625-672 mengatur berbagai hak dan kewajiban
Hak dan Kewajiban yang dimiliki oleh para pemilik pekarangan tersebut, seperti hak
antara para pemilik 625- untuk membangun pagar atau tembok pemisah, hak untuk
IV
pekarangan yang 672 memperbaiki tembok pemisah yang rusak, serta kewajiban untuk
bertetangga memelihara pekarangan masing-masing agar tidak merugikan
pemilik tetangga. Selain itu, bab ini juga mengatur mengenai
tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh pemilik
pekarangan pada tetangganya, serta upaya penyelesaian sengketa
antara para pemilik pekarangan.
Bab 5 KUHPerdata mengatur tentang kontrak kerja, salah satunya
adalah pasal 673 yang mengatur tentang pekerjaan rodi. Pasal ini
menjelaskan bahwa pekerjaan rodi adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang pekerja untuk kepentingan majikan dengan
V Kerja Rodi 673 menerima upah yang ditentukan, tanpa adanya hubungan kerja
yang tetap antara pekerja dan majikan. Selain itu, pasal 673 juga
menegaskan bahwa hak dan kewajiban pekerja serta majikan
dalam hal pekerjaan rodi diatur berdasarkan perjanjian yang
dibuat antara keduanya.
Bab 6 KUHPerdata mengatur mengenai pengabdian pekarangan
yang terdiri dari Pasal 674 hingga Pasal 710. Pasal-pasal tersebut
mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik atau penghuni
pekarangan, batasan-batasan yang diberlakukan pada penggunaan
pekarangan, serta tata cara pemindahan atau pengalihan hak atas
Pengabdian 674- pekarangan. Selain itu, bab ini juga mengatur mengenai
VI
Pekarangan 710 perselisihan yang mungkin timbul dalam hubungan penghuni
pekarangan dan pihak ketiga, serta prosedur penyelesaian
sengketa antara mereka. Bab 6 KUHPerdata ini penting untuk
melindungi hak-hak penghuni atau pemilik pekarangan dan
memastikan bahwa penggunaannya tidak merugikan pihak lain
atau masyarakat pada umumnya.
VII Hak Numpang karang 711- Bab 7 KUHPerdata membahas tentang hak numpang karang yang
719 merupakan salah satu bentuk hak atas tanah. Pasal 711
menjelaskan mengenai pengertian hak numpang karang,
sementara pasal 712-713 menjelaskan syarat-syarat sahnya hak
numpang karang. Pasal 714-715 membahas mengenai objek dan
batasan hak numpang karang, sedangkan pasal 716-717
membahas mengenai penguasaan dan pengalihan hak numpang
karang. Terakhir, pasal 718-719 mengatur mengenai hak-hak yang
dimiliki oleh pemilik tanah dan pihak yang memiliki hak numpang
karang, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh
keduanya.
Bab 8 KUHPerdata membahas tentang hak guna yang meliputi
Pasal 720-736. Pasal 720-723 mengatur mengenai hak guna atas
tanah, sedangkan Pasal 724-731 mengatur mengenai hak guna
atas bangunan. Selanjutnya, Pasal 732-736 mengatur mengenai
hak guna atas tanah yang belum bersertifikat. Hak guna adalah
720-
VIII Hak Guna hak untuk memperoleh manfaat dari suatu benda, dalam hal ini
736
adalah tanah atau bangunan, namun bukan hak milik atas benda
tersebut. Hak guna dapat diberikan oleh pemilik benda kepada
pihak lain dengan cara sewa atau kontrak penggunaan. Dalam bab
ini, diatur pula mengenai pengalihan hak guna, perpanjangan
masa hak guna, dan pengakhiran hak guna.
Bab 9 KUHPerdata mengatur mengenai bunga tanah dan
sepersepuluh, yang terdiri dari Pasal 737 hingga Pasal 755. Pasal-
pasal tersebut menjelaskan tentang hak dan kewajiban pemilik
tanah dan pihak yang berhak atas bunga tanah, termasuk besaran
Bunga Tanah dan 737- bunga yang harus dibayarkan, waktu pembayaran, serta
IX
Sepersepuluh 755 konsekuensi hukum jika terjadi wanprestasi. Selain itu, bab ini
juga mengatur mengenai pemanfaatan dan pemindahan hak atas
bunga tanah dan sepersepuluh. Bab 9 KUHPerdata ini memiliki
peran penting dalam menjaga kepastian hukum terkait hak atas
tanah dan penghasilan yang diperoleh dari tanah tersebut.
Bab 10 KUHPerdata membahas mengenai hak pakai hasil, yang
terdiri dari Pasal 756 hingga Pasal 817. Bab ini menjelaskan
756-
X Hak Pakai hasil tentang hak pakai yang dimiliki oleh pemilik tanah atas hasil-hasil
817
yang dihasilkan oleh tanah tersebut, baik itu berupa buah-buahan,
hasil kebun, hasil pertanian, maupun hasil hutan. Pasal 756-771
menjelaskan mengenai hak pakai atas buah-buahan dan hasil-
hasil kebun yang dihasilkan oleh tanah tersebut. Pasal 772-782
membahas mengenai hak pakai atas hasil-hasil pertanian,
sedangkan Pasal 783-792 menjelaskan mengenai hak pakai atas
hasil hutan. Selain itu, bab ini juga membahas mengenai
pemindahan hak pakai hasil kepada pihak lain, baik melalui jual
beli, hibah, maupun waris. Pasal 793-808 menjelaskan mengenai
jual beli hak pakai hasil, Pasal 809-812 membahas mengenai
hibah hak pakai hasil, dan Pasal 813-817 membahas mengenai
pemberian hak pakai hasil melalui waris. Secara umum, Bab 10
KUHPerdata ini memberikan aturan dan ketentuan mengenai hak
pakai atas hasil-hasil yang dihasilkan oleh tanah, serta prosedur
dan syarat untuk melakukan pemindahan hak pakai tersebut
kepada pihak lain.
Bab 11 KUHPerdata membahas tentang hak pakai dan hak
mendiami, yang diatur dalam Pasal 818-829. Pasal 818-822
mengatur tentang hak pakai, yang mencakup hak untuk memakai
suatu barang milik orang lain dengan tujuan tertentu dan untuk
Hak Pakai dan Hak 818- jangka waktu tertentu. Sementara Pasal 823-829 mengatur tentang
XI
Mendiami 829 hak mendiami, yang mencakup hak untuk mendiami suatu
bangunan atau tempat tinggal milik orang lain dengan tujuan
tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Dalam bab ini
dijelaskan pula mengenai persyaratan, hak dan kewajiban pihak-
pihak yang terkait dengan hak pakai dan hak mendiami tersebut.
Bab 12 KUHPerdata membahas tentang pewarisan karena
kematian yang terdiri dari Pasal 830 hingga Pasal 873. Isinya
mengatur tentang siapa saja yang berhak mewarisi, bagaimana
cara membagi harta warisan, serta kewajiban dan hak ahli waris
Pewarisan karena 830- dalam menerima dan mengurus warisan. Di dalam bab ini juga
XII
Kematian 873 diatur tentang pengadilan waris, yaitu lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa yang terkait dengan pewarisan. Selain itu,
juga diatur mengenai pembatalan atau pencabutan wasiat oleh ahli
waris, dan hak waris anak yang belum lahir atau belum diketahui
keberadaannya.
874- Bab 13 KUHPerdata membahas tentang surat wasiat yang
XIII Surat Wasiat
1004 merupakan pernyataan kehendak seseorang mengenai bagaimana
harta warisnya akan dibagikan setelah ia meninggal dunia. Pasal
874 menjelaskan bahwa surat wasiat harus dibuat oleh seseorang
yang memiliki kekuasaan untuk memberikan wasiat, yaitu mereka
yang memiliki hak untuk membuat wasiat menurut hukum.
Pasal 875 memuat tentang persyaratan formil dalam pembuatan
surat wasiat, yaitu harus dibuat secara tertulis, ditandatangani
oleh pembuat wasiat atau orang yang dimintakan untuk itu di
hadapan dua orang saksi yang hadir pada saat pembuatan surat
wasiat. Selanjutnya, Pasal 876 menjelaskan tentang larangan bagi
seseorang untuk memberikan wasiat yang bertentangan dengan
hukum, agama, atau kesusilaan. Sedangkan Pasal 877 sampai 880
berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai wasiat yang dibuat
oleh orang yang tidak sehat atau terganggu pikirannya.
Pasal 881 hingga 891 memuat tentang pelaksanaan surat wasiat,
yaitu bagaimana cara untuk mewariskan harta yang tertinggal,
penunjukan eksekutor wasiat, dan kewajiban-kewajiban eksekutor
wasiat. Pasal 892 hingga 1004 membahas tentang pembatalan,
pencabutan, atau penghapusan surat wasiat, termasuk alasan dan
cara-cara yang dapat dilakukan untuk melakukan hal tersebut.
Bab 14 KUHPerdata membahas tentang pelaksanaan surat wasiat
dan pengelolaan harta peninggalan. Pasal 1005-1022 mengatur
tentang berbagai hal terkait dengan surat wasiat, seperti
persyaratan sahnya surat wasiat, pelaksanaan surat wasiat oleh
Pelaksana surat eksekutor, pembatalan surat wasiat, dan pengaturan hibah dalam
1005-
XIV wasiat dan pengelola surat wasiat. Selain itu, bab ini juga mengatur tentang pengelolaan
1022
harta peninggalan harta peninggalan, termasuk kewajiban ahli waris untuk mengurus
harta peninggalan, pembagian warisan, dan pengelolaan warisan
bagi ahli waris yang belum dewasa. Bab ini sangat penting dalam
menyelesaikan masalah hukum terkait pengelolaan harta
peninggalan dan pelaksanaan surat wasiat di Indonesia.
Bab 15 KUHPerdata mengatur tentang hak berpikir dan hak
Hak Berpikir dan Hak istimewa dalam merinci harta peninggalan. Pasal 1023-1043
istimewa untuk 1023- menjelaskan bahwa ahli waris memiliki hak untuk merinci harta
XV
merinci harta 1043 peninggalan berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan apabila
peninggalan terdapat perbedaan pendapat, dapat diselesaikan melalui
pembagian harta secara proporsional. Selain itu, bab ini juga
mengatur tentang hak istimewa seperti hak untuk menerima harta
tertentu, hak untuk mengambil barang dari dalam rumah warisan,
dan hak untuk menggugat pihak ketiga yang menguasai harta
warisan. Semua hak ini diatur dengan tujuan untuk menjamin
keadilan dan kepastian hukum dalam pembagian harta warisan.
Bab 16 KUHPerdata membahas tentang hak untuk menerima dan
menolak warisan. Pasal-pasal yang termasuk dalam bab ini adalah
Pasal 1044 hingga Pasal 1065. Pasal-pasal tersebut menjelaskan
tentang bagaimana seseorang dapat menerima atau menolak
warisan, baik secara langsung maupun melalui ahli waris lainnya.
Hal Menolak dan 1044- Selain itu, bab ini juga membahas tentang waktu yang diberikan
XVI
Menerima warisan 1065 untuk menerima atau menolak warisan, tata cara pengumuman
warisan, serta akibat hukum dari penerimaan atau penolakan
warisan. Bab 16 KUHPerdata ini sangat penting untuk memahami
bagaimana seseorang dapat mengatur warisannya, dan
memberikan perlindungan hukum bagi ahli waris yang berhak
menerima atau menolak warisan.
Bab 17 KUHPerdata membahas tentang pemisahan harta
peninggalan yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia. Pasal
1066-1125 menjelaskan mengenai bagaimana pembagian harta
peninggalan dilakukan antara ahli waris dan bagaimana
pengadilan dapat memutuskan perselisihan dalam pembagian
harta tersebut. Pasal-pasal ini menetapkan bahwa pembagian
Pemisahan Harta 1066-
XVII harta peninggalan dilakukan secara proporsional sesuai dengan
peninggalan 1125
perhitungan nilai harta dan jumlah ahli waris yang berhak
menerima. Selain itu, dalam pasal-pasal ini juga diatur mengenai
pembagian harta bersama, kewajiban ahli waris untuk membayar
hutang-hutang yang ditinggalkan oleh pewaris, dan prosedur
pengajuan gugatan untuk menyelesaikan perselisihan dalam
pembagian harta peninggalan.
Bab 18 KUHPerdata berisi tentang harta peninggalan yang tidak
memiliki ahli waris yang sah atau tidak diurus oleh ahli warisnya.
Harta peninggalan 1126- Pasal 1126 KUHPerdata mengatur bahwa harta tersebut akan
XVIII
yang tak terurus 1130 menjadi milik negara jika tidak ada ahli waris yang dapat
ditemukan dalam waktu satu tahun sejak kematian pemiliknya.
Namun, jika ada ahli waris namun mereka tidak mengurus harta
tersebut dalam waktu dua tahun sejak diberitahukan, maka harta
tersebut juga akan menjadi milik negara berdasarkan Pasal 1128
KUHPerdata. Selanjutnya, Pasal 1130 KUHPerdata memberikan
ketentuan tentang tata cara penggunaan harta peninggalan yang
tidak terurus tersebut oleh negara.
Bab 19 KUHPerdata mengatur tentang piutang dengan hal-hal
yang mendahulukan. Pasal-pasal dalam bab ini (Pasal 1131-1149)
menjelaskan tentang prioritas atau urutan pembayaran piutang
yang dimiliki oleh seorang kreditur. Pembayaran piutang harus
Piutang dengan hal 1131-
XIX memperhatikan hal-hal yang menjadi jaminan, hak istimewa, atau
mendahulukan 1149
keutamaan tertentu yang dimiliki oleh kreditur. Misalnya, piutang
yang dijamin dengan hipotek akan mendapat prioritas dibanding
piutang yang tidak dijamin. Bab ini juga mengatur mengenai hak-
hak kreditur dalam hal terjadi pailit atau kebangkrutan debitur.
Bab 20 KUHPerdata membahas tentang gadai, yang merupakan
suatu hak kebendaan yang diperoleh oleh seorang kreditur atas
suatu barang bergerak yang dijadikan jaminan untuk pelunasan
hutang oleh debitur. Pasal 1150 KUHPerdata menjelaskan definisi
gadai dan syarat-syaratnya, sedangkan pasal 1151-1155
1150- KUHPerdata menjelaskan mengenai cara pemberian gadai,
XX Gadai
1161 termasuk tanda terima gadai dan hak-hak yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam gadai. Selanjutnya, pasal 1156-
1157 KUHPerdata menjelaskan mengenai penggunaan barang
gadai dan perawatannya, serta pasal 1158-1161 KUHPerdata
menjelaskan mengenai pelunasan hutang dan lelang barang gadai
jika debitur tidak dapat membayar hutangnya.
Bab 21 KUHPerdata membahas tentang hipotek, yaitu suatu
jaminan atas suatu benda bergerak atau tidak bergerak yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan
suatu utang. Pasal 1162-1232 mengatur mengenai syarat-syarat
1162- dan tata cara pemberian hipotek, serta hak-hak dan kewajiban
XXI Hipotek
1232 kreditur dan debitur terkait hipotek tersebut. Beberapa hal yang
diatur dalam bab ini antara lain jenis-jenis hipotek, syarat sahnya
hipotek, hak-hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam
pemberian hipotek, penghapusan hipotek, serta tata cara eksekusi
hak hipotek oleh kreditur apabila debitur wanprestasi.
III PERIKATAN Bab 1 KUHPerdata membahas tentang perikatan pada umumnya
yang terdiri dari Pasal 1233-1312. Pasal-pasal dalam bab ini
mengatur mengenai pengertian perikatan, syarat-syarat sahnya
perikatan, bentuk-bentuk perikatan, akibat hukum dari
pelanggaran perikatan, serta pengakhiran perikatan. Dalam bab
ini, dijelaskan bahwa perikatan adalah suatu perjanjian antara dua
belah pihak yang saling mengikat untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berakibat hukum. Perikatan tersebut
Perikatan pada 1233-
I dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah
umumnya 1312
ditetapkan oleh hukum, seperti kesepakatan para pihak,
kebebasan berkontrak, kemampuan untuk melakukan perikatan,
serta adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek perikatan. Jika
perikatan dilanggar, pihak yang dirugikan berhak meminta ganti
rugi dan tuntutan lainnya sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Perikatan juga dapat diakhiri dengan beberapa cara,
seperti karena adanya perubahan dalam keadaan atau karena
adanya wanprestasi dari salah satu pihak.
Bab 2 KUHPerdata membahas mengenai perikatan yang lahir dari
kontrak atau persetujuan antara dua belah pihak. Pasal 1313
hingga 1351 mengatur tentang bagaimana terjadinya perikatan
melalui kontrak atau persetujuan, termasuk syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar kontrak atau persetujuan tersebut dapat
Perikatan yang lahir dianggap sah dan mengikat antara kedua belah pihak. Dalam bab
1313-
II dari kontrak atau ini, dijelaskan pula mengenai jenis-jenis kontrak, seperti jual beli,
1351
persetujuan sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya. Selain itu, bab
2 KUHPerdata juga mengatur mengenai akibat hukum yang timbul
jika salah satu pihak wanprestasi atau tidak memenuhi
kewajibannya dalam kontrak atau persetujuan tersebut, serta hak
dan kewajiban masing-masing pihak dalam menjalankan kontrak
atau persetujuan yang telah dibuat.
Bab 3 KUHPerdata membahas perikatan yang lahir karena
Perikatan yang lahir Undang-undang, terdiri dari pasal 1352-1380. Pasal 1352
1352-
III karena Undang- menjelaskan bahwa perikatan yang lahir karena Undang-undang
1380
undang terdiri dari hukum-hukum yang mengatur hak dan kewajiban
antara orang dan orang atau orang dan negara tanpa ada
persetujuan antara mereka. Pasal 1353-1357 menjelaskan tentang
perikatan hukum, yaitu perikatan yang timbul karena perbuatan
hukum seperti perjanjian atau keputusan pengadilan. Pasal 1358-
1366 menjelaskan tentang perikatan perdata yang timbul karena
peristiwa tertentu, seperti kecelakaan atau kerusakan barang.
Selanjutnya, pasal 1367-1380 menjelaskan tentang perikatan yang
timbul karena keadaan yang sah atau batas-batas tertentu, seperti
hak milik, hak tanggungan, atau peraturan hukum yang mengatur
tentang penjualan dan pembelian.
Bab 4 KUHPerdata membahas tentang Hapusnya Perikatan, yang
terdiri dari Pasal 1381 hingga Pasal 1456. Bab ini menjelaskan
tentang cara-cara untuk membebaskan diri dari suatu perikatan
atau kontrak yang telah dibuat sebelumnya. Terdapat beberapa
cara untuk menghapuskan perikatan, seperti pembatalan,
1381- pengakhiran, pembebasan, atau pemenuhan. Bab ini juga
IV Hapusnya Perikatan
1456 mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
menghapuskan perikatan, serta konsekuensi hukum yang terjadi
apabila suatu perikatan dihapuskan. Selain itu, bab ini juga
mengatur tentang ketentuan-ketentuan khusus mengenai
hapusnya perikatan dalam beberapa jenis perjanjian tertentu,
seperti perjanjian jual beli, pinjam-meminjam, dan sewa-menyewa.
Bab 5 KUHPerdata Indonesia membahas tentang jual beli dan
terdiri dari Pasal 1457 hingga Pasal 1540. Pasal-pasal ini mengatur
berbagai aspek terkait jual beli, termasuk hak dan kewajiban
penjual serta pembeli, syarat-syarat sahnya jual beli, peralihan
1457- risiko, serta pembatalan dan pengembalian barang. Beberapa hal
V Jual Beli
1540 yang dibahas dalam bab ini antara lain objek jual beli, harga,
pembayaran, serta pengiriman dan penerimaan barang. Selain itu,
bab ini juga mengatur tentang perjanjian jual beli dalam keadaan
khusus seperti jual beli secara kredit dan jual beli dengan hak
memilih.
Bab 6 KUHPerdata Indonesia berisi tentang ketentuan mengenai
tukar-menukar dalam hukum perdata. Pasal 1541-1546 dalam bab
1541-
VI Tukar Menukar ini mengatur mengenai perjanjian tukar-menukar yang merupakan
1546
salah satu bentuk perjanjian yang paling umum dalam kehidupan
sehari-hari. Pasal-pasal ini menjabarkan tentang hal-hal yang
harus dipenuhi agar suatu perjanjian tukar-menukar dapat
dianggap sah, antara lain mengenai subjek yang dapat melakukan
perjanjian, jenis barang atau jasa yang dapat diperdagangkan,
serta ketentuan mengenai pengiriman dan penerimaan barang atau
jasa yang ditukar. Selain itu, pasal-pasal ini juga mengatur
mengenai hal-hal yang dapat mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian tukar-menukar, seperti adanya kesalahan dalam barang
atau jasa yang ditukar, atau adanya kekeliruan dalam harga atau
kuantitas barang atau jasa yang disepakati.
Bab 7 KUHPerdata membahas tentang perjanjian sewa-menyewa,
yang terdiri dari Pasal 1547 hingga Pasal 1600. Dalam bab ini,
dijelaskan mengenai hak dan kewajiban penyewa dan pemilik
barang yang disewakan, mulai dari penyerahan barang,
pembayaran sewa, perawatan barang, hingga akibat yang timbul
1547- jika salah satu pihak wanprestasi atau ingkar janji. Selain itu,
VII Sewa Menyewa
1600 diatur pula mengenai pemberhentian perjanjian sewa-menyewa
dan ganti rugi yang harus dibayarkan jika terjadi kerusakan atau
kehilangan pada barang yang disewakan. Bab ini merupakan salah
satu bab yang penting dalam KUHPerdata karena banyaknya
perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari.
Bab 7A KUHPerdata terkait dengan perjanjian kerja dan terdiri dari
Pasal 1601 hingga Pasal 1617. Bab ini membahas mengenai hak
dan kewajiban yang terkait dengan perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja. Di dalam bab ini dijelaskan mengenai
bentuk perjanjian kerja, waktu penyelesaian perjanjian, upah dan
tunjangan yang diterima pekerja, serta hak dan kewajiban
1601-
VIIA Perjanjian Kerja pengusaha dan pekerja. Selain itu, dijelaskan pula mengenai
1617
pelaksanaan perjanjian kerja, termasuk mengenai masa
percobaan, pemutusan hubungan kerja, dan tata cara
penyelesaian sengketa. Bab 7A KUHPerdata sangat penting untuk
melindungi hak-hak pekerja dan memastikan tercapainya
hubungan kerja yang adil dan seimbang antara pengusaha dan
pekerja.
Perseroan Perdata 1618- Bab 8 KUHPerdata membahas tentang Perseroan Perdata, yang
VIII
(Persekutuan Perdata) 1652 terdiri dari Persekutuan Perdata, yakni bentuk perseroan yang
didirikan oleh dua atau lebih orang yang sepakat untuk melakukan
kegiatan usaha bersama dengan membagi keuntungan dan
kerugian. Pasal 1618 hingga 1652 KUHPerdata mengatur mengenai
aspek-aspek Perseroan Perdata, seperti syarat-syarat pendirian,
keanggotaan, pengurus, serta pembagian keuntungan dan
kerugian. Di antara pasal-pasal tersebut, terdapat ketentuan
mengenai tanggung jawab para anggota Perseroan Perdata
terhadap pihak ketiga, pembagian keuntungan dan kerugian,
perubahan bentuk Perseroan Perdata, serta likuidasi Perseroan
Perdata.
Bab 9 KUHPerdata membahas mengenai badan hukum, yang
dimulai dari Pasal 1653 hingga Pasal 1665. Bab ini menjelaskan
tentang pengertian badan hukum, pembentukan badan hukum,
hak dan kewajiban badan hukum, serta pembubaran badan
hukum. Di antara isi Pasal 1653-1665 KUHPerdata terdapat
penjelasan mengenai badan hukum sebagai suatu kepentingan
1653-
IX Badan Hukum yang tidak bisa diwarisi, badan hukum yang dapat dibentuk oleh
1665
orang perseorangan maupun oleh suatu organisasi, serta tentang
kewajiban badan hukum dalam menjaga keseimbangan keuangan
dan menyampaikan laporan keuangan secara berkala. Bab ini juga
menjelaskan tentang pengadilan yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa mengenai badan hukum dan peran
notaris dalam pembentukan badan hukum.
Bab 10 KUHPerdata membahas mengenai penghibahan, yaitu
pemberian harta oleh seorang penghibah kepada penerima atau
ahli warisnya dengan tujuan agar harta tersebut menjadi milik
penerima atau ahli warisnya secara mutlak. Pasal 1666 KUH
Perdata mengatur mengenai definisi penghibahan, sedangkan
1666- pasal-pasal selanjutnya, yaitu pasal 1667 sampai pasal 1693 KUH
X Penghibahan
1693 Perdata mengatur mengenai berbagai aspek penghibahan, seperti
syarat-syarat sahnya penghibahan, hak-hak dan kewajiban
penghibah dan penerima, serta pembatalan penghibahan. Dalam
bab ini juga dijelaskan mengenai penghibahan berdasarkan agama
Islam, dimana penghibahan dapat dilakukan secara langsung
maupun dengan wasiat.
XI Penitipan Barang 1694- Bab 11 KUHPerdata mengatur tentang penitipan barang, dimulai
1739 dari Pasal 1694 hingga Pasal 1739. Pasal-pasal dalam bab ini
menjelaskan mengenai definisi penitipan barang, hak dan
kewajiban penitip, tanggung jawab pengelolaan barang titipan,
serta peraturan mengenai akhir dari perjanjian penitipan barang.
Selain itu, bab ini juga mengatur mengenai tanggung jawab dan
ganti rugi jika terjadi kerusakan atau hilangnya barang titipan
selama dalam penitipan. Bab ini memiliki peran penting dalam
mengatur hubungan antara pihak yang menitipkan barang dengan
pihak yang menerima titipan barang.
Bab 12 KUHPerdata membahas tentang pinjam pakai atau
comodatum yang diatur dalam Pasal 1740-1753. Pasal 1740
menjelaskan bahwa pinjam pakai adalah suatu perjanjian di mana
pihak pemberi memindahkan suatu barang kepada pihak penerima
untuk dipergunakan dengan ketentuan pihak penerima harus
1740- mengembalikan barang tersebut setelah jangka waktu tertentu.
XII Pinjam Pakai
1753 Selanjutnya, bab ini mengatur hal-hal seperti hak dan kewajiban
pihak pemberi dan penerima, keadaan barang, penggantian
kerusakan atau hilangnya barang, serta pengakhiran perjanjian
pinjam pakai. Pasal-pasal dalam bab ini memberikan panduan dan
perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian
pinjam pakai.
Bab 13 KUHPerdata membahas tentang pinjam pakai habis, yaitu
suatu perjanjian di mana pihak yang meminjamkan memberikan
barang kepada pihak yang meminjam dengan tujuan agar barang
tersebut habis dipakai oleh pihak yang meminjam. Pasal 1754
KUHPerdata menjelaskan bahwa pinjam pakai habis tidak dapat
1754- diakhiri sebelum barang yang dipinjamkan habis dipakai.
XIII Pinjam Pakai habis
1769 Selanjutnya, pasal-pasal berikutnya (1755-1769) mengatur
mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian pinjam pakai habis, seperti kewajiban untuk merawat
barang yang dipinjamkan, mengganti kerusakan yang terjadi pada
barang, serta ketentuan mengenai pemilikan barang setelah habis
dipakai.
Bab 14 KUHPerdata membahas tentang bunga tetap atau bunga
Bunga Tetap atau 1770-
XIV abadi yang tercantum dalam pasal 1770-1773. Pasal 1770
Bunga Abadi 1773
menyatakan bahwa bunga tetap adalah bunga yang jumlahnya
telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan bunga abadi adalah
bunga yang jumlahnya tidak ditetapkan dan dibayarkan secara
berkala. Pasal 1771 mengatur bahwa jika bunga abadi tidak
dibayar tepat waktu, maka kreditur berhak meminta pembayaran
sekaligus. Pasal 1772 menyebutkan bahwa jika terjadi perubahan
dalam nilai uang, maka bunga tetap atau abadi harus disesuaikan.
Sedangkan pasal 1773 memberikan ketentuan bahwa jika bunga
tetap atau abadi dibayarkan lebih dahulu, maka pembayaran
tersebut akan dianggap sebagai pembayaran pokok hutang terlebih
dahulu, kecuali jika ada perjanjian lain antara pihak-pihak yang
terlibat.
Bab 15 KUHPerdata membahas tentang persetujuan untung-
untungan dalam hukum perdata Indonesia. Pasal-pasal yang
tercakup dalam bab ini, yaitu Pasal 1774 hingga Pasal 1791. Pasal
1774 dan 1775 menjelaskan tentang definisi persetujuan untung-
untungan serta syarat-syarat sahnya, sedangkan Pasal 1776
hingga 1781 mengatur mengenai objek persetujuan untung-
untungan dan hak serta kewajiban para pihak yang terlibat.
Persetujuan Untung- 1774-
XV Selanjutnya, Pasal 1782 hingga 1788 mengatur mengenai
untungan 1791
pembagian untung atau rugi antara para pihak yang terlibat, serta
mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal terdapat
keadaan-keadaan yang tidak terduga Pasal 1789 hingga 1791
berbicara mengenai pembuktian adanya persetujuan untung-
untungan, serta pembuktian bahwa persetujuan tersebut tidak sah
atau tidak berlaku.

Bab 16 KUHPerdata mengatur tentang pemberian kuasa atau surat


kuasa, yang merupakan perjanjian di mana seseorang memberikan
wewenang atau kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas
1792- namanya. Pasal 1792 KUHPerdata menjelaskan syarat-syarat yang
XVI Pemberian Kuasa
1819 harus dipenuhi agar suatu kuasa sah, seperti kebebasan
berkontrak dan kewenangan dari pemberi kuasa. Selanjutnya, bab
ini membahas tentang jenis-jenis kuasa, tata cara pemberian
kuasa, serta hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam
kuasa. Terdapat pula ketentuan mengenai pembatalan atau
pencabutan kuasa dan dampak hukumnya. Pasal-pasal yang
terdapat dalam bab 16 ini meliputi pasal 1792 sampai dengan
pasal 1819 KUHPerdata.
Bab 17 KUHPerdata membahas tentang penanggung utang. Pasal
1820 menjelaskan bahwa penanggung utang adalah orang yang
dengan sukarela menjamin pembayaran utang orang lain.
Selanjutnya, pasal-pasal berikutnya, yaitu pasal 1821 hingga pasal
1850, mengatur mengenai hak dan kewajiban penanggung utang,
1820- termasuk hak untuk menuntut penggantian kerugian dari yang
XVII Penanggung utang
1850 dijamin dan kewajiban untuk melunasi utang jika debitur tidak
mampu membayarnya. Bab ini juga membahas mengenai hak dan
kewajiban kreditur dalam hal pembayaran utang oleh penanggung
utang, serta mengenai hak regres penanggung utang terhadap
debitur utama jika penanggung utang telah membayar utang
tersebut.
Bab 18 KUHPerdata membahas tentang perdamaian, yang terdiri
dari Pasal 1851 hingga Pasal 1864. Bab ini mengatur tentang
penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian, baik melalui
perjanjian perdamaian, mediasi, maupun arbitrase. Pasal-pasal
dalam bab ini menjelaskan mengenai cara-cara penyelesaian
1851-
XVIII Perdamaian sengketa tersebut, termasuk tata cara penyusunan perjanjian
1864
perdamaian, hakim mediasi dan arbitrator, serta pelaksanaan
putusan mediasi dan arbitrase. Bab ini juga memberikan
ketentuan mengenai kekuatan hukum perjanjian perdamaian serta
upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi pelanggaran
terhadap perjanjian perdamaian yang telah disepakati.

IV PEMBUKTIAN Bab 1 KUHPerdata membahas tentang pembuktian pada


umumnya. Pasal 1865-1866 dalam bab ini menjelaskan mengenai
DAN beban pembuktian dalam suatu perkara, yaitu bahwa setiap pihak
Pembuktian pada 1865- harus membuktikan klaim atau tuntutan yang diajukan, serta
I
DALUARSA umumnya 1866 adanya asas bebas pembuktian bagi pihak yang tidak mengajukan
klaim atau tuntutan. Selain itu, bab ini juga menjelaskan
mengenai kekuatan bukti yang dapat diterima dalam suatu
perkara, serta cara memperoleh bukti yang sah dan layak untuk
diterima di pengadilan. Pasal-pasal ini memberikan pedoman yang
jelas mengenai bagaimana pembuktian dilakukan dalam suatu
perkara perdata di Indonesia.
Bab 2 KUHPerdata membahas tentang pembuktian dengan tulisan
yang terdiri dari Pasal 1867 sampai Pasal 1894. Pasal-pasal
tersebut menjelaskan tentang syarat-syarat sahnya surat sebagai
alat bukti, cara mempergunakan surat sebagai alat bukti, dan
kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti di pengadilan. Pasal
1867 menjelaskan bahwa surat sebagai alat bukti sah harus
memuat unsur-unsur tertentu, yaitu nama, tanda tangan, dan
tempat serta tanggal dibuatnya surat. Selain itu, surat juga harus
dibuat oleh orang yang berwenang dan dalam keadaan sadar serta
sehat. Pasal 1868-1872 menjelaskan tentang jenis-jenis surat yang
dapat dijadikan alat bukti di pengadilan, seperti akta otentik, akta
dibawah tangan, surat perjanjian, dan surat-surat lainnya. Pasal
1873-1875 menjelaskan tentang cara mempergunakan surat
Pembuktian dengan 1867-
II sebagai alat bukti di pengadilan, yaitu dengan menyerahkan
tulisan 1894
salinan atau asli surat ke pengadilan, dan pengadilan akan menilai
keabsahan dan kekuatan pembuktian surat tersebut. Pasal 1876-
1885 menjelaskan tentang kekuatan pembuktian surat sebagai alat
bukti di pengadilan, termasuk bagaimana cara menghadapi surat
palsu atau surat yang diubah, serta kapan surat dapat dianggap
telah dibuat oleh pihak yang berwenang. Pasal 1886-1890
menjelaskan tentang kekuatan pembuktian surat dalam hal
adanya ketentuan hukum yang mengatur mengenai alat bukti yang
dapat diterima di pengadilan. Terakhir, Pasal 1891-1894
menjelaskan tentang tata cara pengambilan keterangan saksi
apabila surat sebagai alat bukti tidak cukup kuat untuk
membuktikan suatu fakta di pengadilan.

Pembuktian dengan 1895- Bab 3 KUHPerdata berisi tentang pembuktian dengan sanksi-
III
sanksi-sanksi 1914 sanksi yang berlaku dalam hukum perdata Indonesia. Pasal 1895-
1914 mengatur tentang berbagai macam sanksi yang dapat
diberikan kepada pihak yang tidak memenuhi kewajiban mereka
dalam proses pembuktian. Pasal-pasal ini menetapkan bahwa
pihak yang gagal untuk memenuhi kewajibannya dapat dikenai
sanksi seperti kehilangan hak untuk membuktikan fakta tertentu,
diperintahkan untuk membayar biaya peradilan atau denda, atau
bahkan dilarang mengajukan gugatan dalam jangka waktu
tertentu. Selain itu, bab ini juga memuat ketentuan mengenai
kesaksian, bukti, dan sumpah dalam proses pembuktian.
Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan
mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan untuk
memenuhi kewajiban mereka secara tepat waktu.
Bab 4 KUHPerdata mengatur tentang persangkaan-persangkaan
dalam hukum perdata, yang terdiri dari Pasal 1915 hingga Pasal
1922. Pasal-pasal ini mengatur tentang asas persangkaan, yaitu
bahwa jika suatu fakta atau keadaan tidak dapat dibuktikan
secara langsung, maka hakim dapat melakukan persangkaan atau
Persangkaan- 1915- berasumsi atas fakta atau keadaan tersebut. Selain itu, bab ini
IV
persangkaan 1922 juga mengatur tentang bagaimana persangkaan dapat digunakan
dalam pembuktian dan bagaimana cara untuk menentukan
beratnya bukti persangkaan tersebut. Bab ini sangat penting
dalam membantu penyelesaian sengketa di pengadilan karena
dapat membantu hakim dalam menentukan keputusan
berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Bab 5 KUHPerdata membahas tentang pengakuan, yang diatur
dalam Pasal 1923 hingga Pasal 1928. Pasal 1923 menjelaskan
bahwa pengakuan dapat diberikan oleh seseorang yang memiliki
kemampuan untuk membuat perjanjian, dan pengakuan dapat
1923- berupa pengakuan mengenai hak, fakta, atau tindakan tertentu.
V Pengakuan
1928 Pasal 1924 menjelaskan bahwa pengakuan yang diberikan secara
tertulis atau lisan memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dengan bukti lainnya. Pasal 1925 berisi ketentuan bahwa
pengakuan yang diberikan secara terpaksa atau dipengaruhi oleh
kesalahan atau tipuan dapat dibatalkan. Pasal 1926 menyatakan
bahwa pengakuan yang diberikan oleh orang yang tidak memiliki
kapasitas untuk membuat perjanjian atau yang dilarang membuat
perjanjian tidak sah. Selanjutnya, Pasal 1927 menyebutkan bahwa
pengakuan yang diberikan oleh seorang pihak dalam perjanjian
dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta pelaksanaan
perjanjian atau ganti rugi. Sementara itu, Pasal 1928 memberikan
ketentuan mengenai batas waktu untuk mengajukan gugatan atas
pengakuan yang telah dibuat. Secara singkat, bab 5 KUHPerdata
Pasal 1923-1928 membahas tentang pengakuan yang dapat
diberikan oleh seseorang mengenai hak, fakta, atau tindakan
tertentu, dengan ketentuan-ketentuan mengenai kekuatan
pembuktian, pembatalan, sah atau tidaknya pengakuan, dan batas
waktu untuk mengajukan gugatan atas pengakuan yang telah
dibuat.

Bab 6 KUHPerdata membahas mengenai sumpah di muka hakim,


yang terdiri dari pasal 1929 hingga 1992. Dalam bab ini dijelaskan
bahwa sumpah di muka hakim merupakan bentuk bukti yang sah
dalam suatu persidangan, terutama jika tidak ada bukti lain yang
dapat digunakan untuk menguatkan tuntutan atau pembelaan
yang diajukan oleh para pihak. Sumpah di muka hakim dapat
Sumpah di muka 1929-
VI diberikan oleh saksi, tergugat, atau penggugat, dan dilakukan
hakim 1992
secara sukarela dengan mengangkat tangan kanan atau dengan
cara lain yang diyakini dapat dipercaya oleh hakim. Di samping itu,
bab ini juga membahas mengenai sumpah palsu, yang dapat
dikenakan sanksi pidana bagi pihak yang memberikan sumpah
palsu di muka hakim.

Bab 7 KUHPerdata membahas tentang ketentuan penutup pada


suatu perjanjian. Pasal 1993 KUHPerdata menjelaskan bahwa
VII Ketentuan penutup 1993
apabila terdapat ketentuan penutup yang tidak jelas atau ambigu
dalam suatu perjanjian, maka ketentuan tersebut harus diartikan
secara terbatas, yaitu hanya sejauh yang dibutuhkan untuk
menjalankan perjanjian tersebut. Hal ini bertujuan untuk
mencegah adanya penafsiran yang salah atau merugikan salah
satu pihak akibat ketidakjelasan ketentuan penutup dalam
perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai