Judul : Ilmu Manthiq (Asy Syarhu Ala As Sullam Al Munawraq Lil Akhdhary)
BAB I
PENDAHULUAN
Beliau mengambil ilmu dari ayah beliau yaitu Muhammad ash-Shughayyar, dari
kakak kandung beliau yaitu Syaikh Ahmad, dari ulama lain di daerah Zab yaitu Syaikh
Shufi Abdurrahman bin Laqrun, Syaikh Abu Thaiyyib, Syaikh Abdul Hadi Al-Fathnasi,
dari ulama lain di daerah Konstantin, Aljazair yaitu Syaikh Umar bin Muhammad al-
Kumad al-Anshari al-Qusanthy. Di usia muda, beliau telah menguasai berbagai macam
ilmu dan telah mengajarkan berbagai macam ilmu seperti Falak, Manthiq, Hisab,
Balaghah, Lughah, Nahwu, Tauhid, Fiqh, Faraidh dan Tasawwuf.3
1
Moch Wildan Habibie, Ilmu Manthiq (Asy Syarhu Ala As Sullam Al Munawraq Lil Akhdhary)
(Yogyakarta: Stelkendo Kreatif, 2022), h. 1.
2
Ibid., h. 2.
3
Ibid., h. 3.
Imam al-Akhdhary mulai menulis semenjak masih muda belia, diantara beberapa
kitab karangan beliau adalah Nadzam Risalah fi ilm Hisab, ad-Durrah al-Baidhah fil
Hisab wa al-Faraidh, Matan al-Kahdhari fi al-‘ibadah, Mandzumah al-Qudsiyah, ar-
Raihah fi Madh ar-Rasulillah, Qashidah al-Lamiyah fi Tasawwuf wa al-Irsyad ad-Diny,
Nadzam al-Jauhar al-Maknun fi Tsalatsati al-Funun, Matan as-Sullam al-Munawraq fi
Ilm Manthiq, Mandzumah as-Siraj fi ilm Falak, Mandzumah Azhar fi ilm bi al-astharlah,
al-Faraid al-Ghurra’ fi at-Tauhid, ad-Darratul Bagiyah fi Nahwi, dan masih banyak lagi
karya-karya beliau lainnya.4
Dalam muqaddimah karya terjemah Ilmu manthiq Kiai Bisri Musthafa, dijelaskan
bahwa Kiai Bisri menceritakan bahwa dasar-dasar ilmu Manthiq telah dipraktekkan sejak
masa Luqman Hakim atau Nabi Dawud as, kemudian turun temurun sampai ke para filsuf
Yunani. Adapun Aristoteles adalah orang yang pertama kali mengsistemasisasi dan
mengkodifikasi, bukan menginovasi.5 Kemudian menjadikan ilmu ini sebagai dasar ilmu
falsafah, sehingga Aristoteles dipandang sebagai peletak dasar ilmu Manthiq.
Sekitar abad IX-XI M, sarjana-sarjana islam mulai proaktif dan tekun mempelajari
ilmu Manthiq serta mengembangkannya. Dalam tatanan praktis, asal muasal masuknya
Manthiq ke dunia Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir Ketika mencapai puncak
relasinya dengan ilmu Kalam oleh Al-Ghazali. Bahkan Ketika Manthiq dianggap hanya
dibutuhkan dalam filsafat, Al Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa Manthiq
secara perlahan memasuki wilayah Kalam, Nahwu, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Ilmu Sosial.
Karena Manthiq atau Logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-
problem teologis dan filsafat saja.6
Kata “Manthiq” adalah bentuk Masdar mim dari kata kerja nathaqa-yanthiqu, yang
artinya berbicara. Dengan demikian Manthiq berarti pembicaraan (Kalam). Atau disebut
pula dengan logika, berasal dari kata sifat logike (Bahasa Yunani) yang artinya pikiran
atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Jadi, menurut etimologinya logika adalah
ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam Bahasa.7 Ilmu ini disebut ilmu
Manthiq, seolah-olah mengisyaratkan “pembicaraan” nalar kita Ketika kita berpikir.
4
Ibid., h. 6-8.
5
Ibid., h. 9.
6
Ibid., h. 11-12.
7
Ibid., h. 13.
Selain disebut ilmu Manthiq, dalam Bahasa Arab, ilmu ini juga bisa disebut Ilm al-Mizan,
Ilm al-Mi’yar, Ilm al-Istinbath, dan nama-nama lainnya.8
Tema pembahasan dalam kajian utama Ilmu Manthiq adalah segala jenis informasi
yang berbentuk tashawwur dan tashdiq (al-Ma’lumat al-Tashawwuriyyah wa al-
Tashdiqiyyah) yang sudah diketahui seseorang menuju pengetahuan lain yang belum dia
ketahui. Dan untuk sampai kesana, tentunya seseorang tersebut membutuhkan panduan
dan kaidah-kaidah yang benar.9 Hubungan ilmu Manthiq dengan ilmu Bahasa, ilmu
Psikologi, ilmu Agama dan ilmu-ilmu lainnya dapat dilihat dari segi obyek bahasaannya
yang universal, yaitu tashawwur dan tashdiq. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
hubungan ilmu Manthiq dengan ilmu-ilmu lainnya terletak pada fungsinya sebagai alat
dan kaidah pembuatan teori yang menjadi isi setiap disiplin ilmu.10
Kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu Manthiq yaitu dapat membuat pola dan
daya nalar seseorang menjadi lebih tajam dan lebih berkembang,11 membantu setiap
orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib,
metodis, dan koheren,12 meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-
kesalahan berpikir, kekeliruan, dan kesesatan, dan melatih jiwa manusia agar dapat
memperhalus jiwa fikirannya.13
Poin dasar pentingnya ilmu Manthiq yang Pertama, dengan ilmu Manthiq kita akan
dituntut untuk merumuskan istilah-istilah kunci topik sebelum kita jelaskan atau
perdebatkan dalam sebuah forum.14 Kedua, dengan ilmu Manthiq kita akan dituntut
tentang bagaimana caranya membangun Qiyas (Silogisme) yang benar. Sehingga
memahami sebuah persoalan tanpa ada sebuah qiyas dengan benar akan mengantarkan
kita pada kesulitan dalam menalar setumpuk argument rasional yang terserak dalam
kitab-kitab klasik islam dan kitab ataupun buku lainnya.15
8
Ibid., h. 15.
9
Ibid., h. 15-16.
10
Ibid., h. 19-20.
11
Ibid., h. 20.
12
Ibid., h. 22.
13
Ibid., h. 23.
14
Ibid., h. 24.
15
Ibid., h. 25.
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika masuk abad ke-10 M, Manthiq sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala
Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika Manthiq dengan
disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak, bahkan ketika Nahwu dikatakan sebagai
Manthiq-nya bahasa, maka Manthiq juga merupakan bahasa-nya Akal. Dengan perantara
ilmu Manthiq, pengertian yang selama ini mengalami kesulitan untuk dimengerti mampu
dimengerti secara sempurna, seperti ilmu Nahwu yang bisa digunakan sebagai alat untuk
menyatakan sesuatu dengan ucapan, mengucapkannya, atau juga bisa dijadikan sebagai
alat untuk mengungkapkan kata-kata dengan bahasa yang sulit untuk dimengerti
pengertian yang sebenarnya.16
Jadi, ilmu Manthiq secara istilah adalah alat atau dasar yang gunanya adalah untuk
menjaga dari kesalahan berpikir, atau sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan
formula berpikir sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari berpikir
yang salah.17 Ilmu ini sangat diperlukan oleh para pelajar, mahasiswa, dan para calon
ilmuwan untuk melakukan pengkajian dan pendalaman Ilmu Manthiq yang mana banyak
sekali fungsi dan manfaat kegunaannya.18
Oleh karena ilmu Manthiq ini “lahir” dari rahim filsafat maka para ulama juga
berselisih tentang hukum mempelajarinya. Ada 3 pendapat didalamnya, Pertama,
melarang (diharamkan mempelajarinya) tapi tidak secara mutlak. Yang diharamkan
adalah Manthiq yang memang sudah bercampur dengan kekufuran para filosof dan yang
mengkajinya adalah orang-orang yang lemah iman.19 Kedua, dianjurkan mempelajarinya.
Menurut mereka ilmu ini salah satu ilmu yang terbaik dan yang paling bermanfaat dalam
segala bidang kajian. Ketiga, diperbolehkan mempelajarinya namun ditafsil.bagi yang
mempunyai kecerdasan dan dia juga mengerti Al-Qur’an dan Sunnah hukumnya boleh,
sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi syarat diatas dihukumi tidak boleh.20
16
Ibid., h. 36.
17
Ibid., h. 39.
18
Ibid., h. 40.
19
Ibid., h. 43-44.
20
Ibid., h. 44-45.
Ikhtilaf diatas hanyalah pada Manthiq yang disusupi kalam-kalam dan kesesatan
filsafat. Alasan diharamkannya Manthiq yang seperti ini dikarenakan hal tersebut
mengikuti dan menyerupai Yahudi dan Nasrani, juga ditakutkan akan terjadi
penyimpangan akidah bagi mereka yang mendalaminya. Tetapi sebaliknya, jika Manthiq
yang dipelajari tidak tersentuh dengan syubhat-syubhat filsafat, para ulama sepakat
Manthiq model ini boleh dipelajari. Bahkan hukumnya Fardhu Kifayah jika harus
digunakan untuk melawan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada agama Islam.21
21
Ibid., h. 45-46.
22
Ibid., h. 47-48.
23
Ibid., h. 48-49.
24
Ibid., h. 58.
25
Ibid., h. 52.
26
Ibid., h. 59.
analisa. Kedua, Ilmu Dharuri/Badihi adalah ilmu yang tidak membutuhkan angan-angan,
pemikiran, atau analisa. Dari dua klasifikasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Tashawwur dan Tashdiq masing-masing terbagi menjadi 2 bagian. Jika Tashawwur maka
ada Tashawwur Nadzariy dan Tashawwur Dharuri/Badihi. Dan jika Tashdiq maka ada
Tashdiq Nadzariy dan Tashdiq Dharuri/Badihi.27
27
Ibid., h. 56-57.
28
Ibid., h. 62.
29
Ibid., h. 63.
30
Ibid., h. 64-68.
31
Ibid., h. 69-71.
Luzum Dzihniy (Keterkaitan Rasional), Luzum Kharijiy (Keterkaitan Eksternal), dan
Luzum Dzihniy wa Kharijiy (Keterkaitan Rasional-Eksternal). Dari sekian banyak luzum
tersebut, yang dijadikan dasar dalam ilmu Manthiq hanya ada satu, yaitu luzum bayyin bi
al Ma’na al Khash (Keterkaitan yang jelas dengan pemaknaan yang lebih khusus), baik
hanya ada secara rasional, ataupun secara rasional-eksternal.32
tempat) dengan arti tempat pembahasan. Mabahits al Alfadz ilmu Manthiq adalah
beberapa tempat penelitian lafadz-lafadz yang dibahas dalam ilmu Manthiq. Sedangkan
Lafadz adalah yang terdiri dari salah satu huruf hijaiyyah.33 Secara garis besar lafadz
dibagi menjadi dua, yaitu Lafadz Muhmal (Tidak Menunjukkan Arti), dan Lafadz
Musta’mal (Menunjukkan Arti). Lafadz Musta’mal terbagi menjadi dua yaitu Lafadz
Mufrad (Kata Tunggal) dan Lafadz Murakkab (Kata yang Tersusun). Lafadz Mufrad
terbagi lagi menjadi dua yaitu Mufrad Juz’i dan Mufrad Kulli. Mufrad Kulli terbagi
menjadi 2 yaitu Kulli Dzati dan Kulli ‘Aradhi/’Aridhi.34
Al Kulliyat Al Khamsah. Al Kulliyat Al Khamsah sama halnya dengan klasifikasi.
Porphyrius membagi segala sesuatu di alam ini kedalam lima lingkungan. Tiga
diantaranya mengenai kulli dzat (Jinis, Nau’, Fashal) dan dua lainnya mengenai sifat/kulli
‘aradhi (Khashshah, ‘Aradhi ‘Aam). Adapun Kulli Jinis ini ada tiga macam, yaitu Jinis
Qarib, Jinis Mutawassith, dan Jinis Ba’id. Jinis Ba’id masih bisa dikelompokkan menjadi
tiga kelompok, yakni Satu Tingkatan, Dua Tingkatan, dan Tiga Tingkatan. Al Kulliyat Al
Khamsah merupakan unsur-unsur yang merangkai sebuah ta’rif, atau al-Qaul al-Syarih.
Secara kebahasaan, kulliyat adalah bentuk jamak dari kata kulliy, sedangkan khamsah
artinya lima. Dengan demikian, kulliyat khamsah artinya ialah kulliy yang lima.35
32
Ibid., h. 72-76.
33
Ibid., h. 79.
34
Ibid., h. 80-89.
35
Ibid., h. 91-97.
Penisbatan/korelasi lafadz terhadap maknanya ada 5, yaitu Pertama, Tawaathu’
(Universal) adalah lafadz yang mempunyai banyak arti yang semua arti itu sama, Kedua,
Tasyakuk (Ekuivocal) adalah kata yang mempunyai banyak arti yang semua arti itu tidak
sama. Ketiga, Takhaluf (Disparitas) adalah suatu kata yang artinya tidak sama dengan
kata lain atau sejumlah lafadz yang memiliki arti sendiri-sendiri. Keempat, Isytirok
(Hononim) adalah suatu kata yang mempunyai arti lebih dari satu. Kelima, Taraaduf
(Sinonim) adalah sejumlah kata yang berbeda namun diartikan dengan pengertian yang
sama.36
Di pembahasan sebelumnya telah dijelaskan pembagian dari Lafadz Mufrad. Selain
Lafadz Mufrad, ada juga Lafadz Murakkab. Lafadz Murakkab terbagi menjadi dua
macam yaitu Murakkab Tamm adalah kata-kata yang dirangkai sedemikian sehingga
dapat memberi pengertian yang lengkap atau sempurna, dan Murakkab Naqish adalah
rangkaian kata yang belum memberikan pengertian efektif atau sempurna (kalimat
gantung). Murakkab Tamm terbagi lagi menjadi dua yaitu Tamm Khabari dan Tamm
Insya’i/Thalabi.37
36
Ibid., h. 98-103.
37
Ibid., h. 104-105.
38
Ibid., h. 106-108.
39
Ibid., h. 109-110.
F. Definisi (Mu’arrif) Dan Pembagiannya
Ta’rif (Mu’arrif/Definisi) secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu.
Menurut istilah ahli logika (Manthiq) ta’rif adalah teknik menjelaskan sesuatu
pemahaman secara jelas dan terang, baik dengan menggunakan lisan maupun tulisan, dan
dalam ilmu Manthiq dikenal dengan sebutan Qaul Syarih. Ta’rif dibagi menjadi 3 macam
yaitu Pertama, Ta’rif Had (Definisi Essensial/Analitik) adalah ta’rif yang menggunakan
rangkaian lafadz kulliy jinis dan fashal. Terbagi menjadi dua yaitu Had Tamm dan Had
Naqish. Yang Kedua, Ta’rif Rasm (Definisi Eksidental) adalah ta’rif yang menggunakan
rangkaian lafadz kulliy Jinis dan ‘Aradhi Khash. Terbagi menjadi dua yaitu Rasm Tamm
dan Rasm Naqish. Yang Ketiga, Ta’rif Lafdziy (Definisi Nominalis) adalah penjelasan
sesuatu dengan menggunakan kata muraadif (sinonim) yang lebih jelas dari mu’arraf.40
Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi: Pertama,
Ta’rif harus Jami’ Mani’ maksudnya, ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari
yang dita’rifkan. Kedua, Ta’rif harus lebih jelas tidak boleh lebih samar maksudnya tidak
boleh manta’rifkan sesuatu dengan ta’rif yang sama tidak jelasnya atau lebih samar dari
yang dita’rifi. Ketiga, Ta’rif tidak boleh Musawi (Setingkat Kesamarannya). Keempat,
Ta’rif tidak boleh berputar-putar maksudnya jangan sampai terjadi ta’rif dijelaskan oleh
yang dita’rifi.41
Kelima, Ta’rif tidak boleh berbentuk majaz (Kiasan atau Metaforik) maksudnya
tidak boleh menta’rifi dengan lafadz bentuk majaz tanpa disertai qarinah (bukti indikator)
yang memalingkan makna asal. Keenam, Ta’rif tidak boleh menggunakan lafadz
Musytarak (Persekutuan) maksudnya tidak boleh menggunakan kata yang memiliki
makna lebih dari satu, kecuali disertai qarinah yang menjelaskan makna yang
dikehendaki. Ketujuh, Ta’rif berbentuk rasm tidak boleh menyertakan suatu hukum,
karena penghukuman atas sebuah perkara merupakan pembagian dari Pentashawwuran
perkara tersebut. Kedelapan, Ta’rif tidak memasukkan lafadz “Aw” yang memiliki
makna taqsim (membagi) dan tahyir (membuat pilihan) dalam Ta’rif Had namun boleh
memasukkan dalam Ta’rif Rasm.42
40
Ibid., h. 113-116.
41
Ibid., h. 119-121.
42
Ibid., h. 121-123.
G. Qadhaya Dan Klasifikasinya
Qadhiyyah adalah sesuatu yang mengandung unsur yang bisa berotensi benar dan
salah secara dzatiyahnya. Sesuatu itu di kalangan manatiqoh dikenal dengan nama
qodhiyyah atau khabar. Qodhiyyah dalam ilmu mantiq adalah rangkaian kata-kata yang
mengandung pengertian. Tiap-tiap qodhiyyah membutuhkan tiga fakta yaitu: (1) Adanya
lafadz yang diberi hukum ya atau tidak, (2) Adanya lafadz yang memberi hukum kepada
yang lain, (3) Adanya lafadz yang menjadi alat penghubung antara dua lafadz tersebut.
Dalam versi ilmu logika, istilah qodhiyyah diartikan sama dengan kalam atau sejumlah
kata yang berfaidah. Qodhiyyah juga diartikan dengan suatu susunan kalimat sempurna
yang mengandung kemungkinan benar atau salah berdasar pada kalimat itu sendiri.43
1. Qadhiyyah Hamliyyah (Proposisi Kategoris) yaitu pernyataan yang antara subjek dan
predikat tidak terkait dengan sesuatu syarat, atau suatu qadhiyyah yang di dalamnya
terdapat penyandaran satu sisi pada sisi yang lain baik berbentuk kalimat positif atau
negatif.
2. Qadhiyyah Syarthiyyah (Proposisi Hipotesis) yaitu suatu qadhiyyah berasal dari dua
qadhiyyah Hamliyyah atau lebih dengan mempergunakan adat syarat. Dalam
keterangan lain, qadhiyyah syarthiyyah ialah apabila isi satu bagian di dalam
pernyataan itu bergantung pada bagian lainnya.44
Berdasarkan maudhu’nya qadhiyyah dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
43
Ibid., h. 124-126.
44
Ibid., h. 126–127.
45
Ibid., h. 128-129.
didahului oleh “sur”. Sur adalah kata yang membatasi kwantitas subyek. Sur dalam
qadhiyyah hamliyyah ada 4 bentuk: (1) Kulliyyah Mujabah, menggunakan kata setiap,
semua, seluruh, tiap-tiap, dan sebagainya. (2) Kulliyyah Salibah, menggunakan kata tiada
satupun, tak seorangpun, tidak semua, dan sebagainya. (3) Juz’iyyah Mujabah,
menggunakan kata sebagian, kebanyakan, sedikit, dan sebagainya. (4) Juz’iyyah Salibah,
menggunakan kata tidak sebagian, tidak semua, tidak seluruh, dan sebagainya.46
Bila dipandang dari segi positif negatif, qadhiyyah hamliyyah diatas terbagi
menjadi 2 yaitu mujabah (kalimat positif) dan salibah (kalimat negatif). Qadhiyyah
hamliyyah tersusun dari beberapoa bagian yaitu: (1) Maudhu’ yaitu bagian dalam
qadhiyyah yang dihukumi dan terletak di awal qadhiyyah, (2) Mahmul yaitu bagian dalam
qadhiyyah yang berisi hukum dan terletak di akhir qadhiyyah, (3) Rabithoh yaitu relasi/
penghubungan dalam susunan qadhiyyah hamliyyah.47
46
Ibid., h. 130-132.
47
Ibid., h. 133-138.
48
Ibid., h. 139-141.
49
Ibid., h. 142-147.
yaitu kulliy ijabi/ mujabah dan kulliy salbi/ salibah, serta juz’i ijabi/ mujabah dan juz’i
salbi/ salibah.50
H. Tanaqudh (Kontradiktif)
Tanaqudh secara Bahasa yaitu berlawanan, Tanaqudh atau hukum kontradiksi
adalah dua qadhiyyah (kalimat) yang saling berlawanan secara positif dan negative.
Sehingga yang satu benar dan yang lainnya salah. Yang memiliki kesamaan dalam sisi
Maudhu’ dan Mahmul-nya, namun berbeda dan berlawanan dari sisi kuantitas dan
kualitasnya. Untuk membuat benar-tidaknya antara dua qadhiyyah, diperlukan kesatuan
dan kesamaan antara unsur-unsurnya. Pertama, Kesamaan Subjek. Kedua, Kesamaan
Predikat. Ketiga, Kesamaan Zaman/waktu. Keempat, Kesamaan Makan/Tempat. Kelima,
Kesamaan quwwah dan fi’li. Keenam, Kesamaan Hal Sebagian dan Keseluruhan.
Ketujuh, Kesamaan Isi Syarat. Kedelapan, Kesamaan Sandaran (Idhafah).51
Terdapat beberapa ketentuan dasar membuat Tanaqudh. Pertama, Apabila
qadhiyyahnya berbentuk Qadhiyyah Syakhshiyyah/Qadhiyyah Muhmalah maka cukup
hanya merubah kepastian-tidaknya/Mujabah-Salibahnya. Kedua, Apabila qadhiyyahnya
berbentuk Qadhiyyah Musawwaroh (yang didahului Sur), maka caranya dengan
mengubah “Sur” nya. Setelah dari ketentuan dasar membuat Tanaqudh, berikut beberapa
ketentuan umum membuat Tanaqudh. Pertama, Tanaqudh dari Qadhiyyah Hamliyyah itu
adalah apabila: Syakhshiyyah Mujabah >< Syakhshiyyah Salibah, Kulliyyah Mujabah ><
Juz’iyyah Salibah, Juz’iyyah Mujabah >< Kulliyyah Salibah, Muhmalah Mujabah ><
Muhmalah Salibah.52
Kedua, Tanaqudh Qadhiyyah Syarthiyyah Muttashillah adalah pada rangkaian dua
kalimat dimana kalimat kesatu dan kalimat kedua saling berkaitan. Tanaqudh ini adalah
apabila: Makhshushah Mujabah >< Makhshushah Salibah, Kulliyyah Mujabah ><
Juz’iyyah Salibah, Juz’iyyah Mujabah >< Kulliyyah Salibah, Muhmalah Mujabah ><
Muhmalah Salibah. Ketiga, Tanaqudh Qadhiyyah Syarthiyyah Munfashilah adalah pada
rangkaian dua kalimat dimana kalimat kesatu dan kalimat kedua tidak saling berkaitan.
Tanaqudh ini adalah apabila: Makhshushah Mujabah >< Makhshushah Salibah,
50
Ibid., h. 156-158.
51
Ibid., h. 161-166.
52
Ibid., h. 167-171.
Kulliyyah Mujabah >< Juz’iyyah Salibah, Juz’iyyah Mujabah >< Kulliyyah Salibah,
Muhmalah Mujabah >< Muhmalah Salibah.53
53
Ibid., h. 171-175.
54
Ibid., h. 176-177.
55
Ibid., h. 178-179.
56
Ibid., h. 180-181.
maka ‘Aks-nya Mujabah Juz’iyyah. Jika Mujabah Juz’iyyah maka ‘Aks-nya Mujabah
Juz’iyyah. Jika Salibah Kulliyyah maka ‘Aks-nya Salibah Kulliyyah. Jika Salibah
Juz’iyyah maka ‘Aks-nya tidak bisa dibuat sebab akan salah. Ketiga, jika pada Qadhiyyah
Syarthiyyah Muunfashilah tidak ada ‘aks-nya, sebab dalam qadhiyyah ini tidak terdapat
keteraturan alamiah (tartib thab’iy), yang ada padanya adalah ketentuan penempatan
yang tidak mungkin untuk dibuat ‘aks-nya (tartib wadh’iy).57
57
Ibid., h. 181-183.
58
Ibid., h. 186-191.
59
Ibid., h. 192-194.
(mengandung Terma Minor dan Terma Mayor). Qiyas itu harus mengandung tiga terma,
yaitu Terma Minor (yang menjadi Subjek dalam konklusi), Terma Penengah (yang
diulang-ulang dalam 2 proposisi), dan Terma Mayor (yang menjadi Predikat dalam
konklusi).60
60
Ibid., h. 195-196.
61
Ibid., h. 202-203.
62
Ibid., h. 204-209.
63
Ibid., h. 210-214.
2. Harus bertentangan sisi Kaif-nya (mujabah salibah), artinya jika dalam Muqaddimah
Sughra (premis minor) berbentuk Mujabah, maka dalam Muqaddimah Kubra (premis
mayor) nya harus berbentuk Salibah, begitupun sebaliknya.64
Ketentuan dan Klasifikasi Syakl Tsalits:
1. Muqaddimah Sughra nya harus berbentuk Mujabah.
2. Salah satu dari dua muqaddimahnya harus berbentuk Kulliyah.
3. Semua natijahnya (kesimpulan/konklusi) berbentuk Juz’iyyah.65
Ketentuan dan Klasifikasi Syakl Rabi’: Tidak boleh berkumpul dua khissi (salibah
dan juz’iyyah) dalam dua muqaddimah atau salah satunya. Kecuali, boleh berkumpul
jika: muqaddimah Shughra (premis minor) nya berbentuk mujabah juz’iyyah dan
muqaddimah kubra (premis mayor) nya berbentuk salibah kulliyah.66
Kaidah-kaidah dalam Syakl:
1. Natijah itu selalu mengikuti muqaddimah yang nilainya paling rendah (salibah
juz’iyyah)
2. Beberapa syakl diatas khusus diperuntukkan qadhiyyah hamliyyah, dan tidak
ditemukan dalam qadhiyyah syarthiyyah.
3. Dalam sebuah qiyas, terkadang Sebagian muqaddimah atau malah natijahnya dibuang,
itu karena maksud yang terkandung sudah dapat dimaklumi.
4. Muqaddimah-muqaddimah yang tersusun harus berhenti pada taraf dharuri (pasti) dan
bisa diterima. Karena jika tidak, akan mengakibatkan terjadinya daur (mutar-muter)
dan tasalsul (berantainya / rentetan perkara yang satu ke perkara yang lain tanpa ada
ujungnya.67
64
Ibid., h. 214-215.
65
Ibid., h. 218-219.
66
Ibid., h. 224.
67
Ibid., 230–231.
Afirmatif-Antesenden, Negatif-Antesenden, Afirmatif-Konsekuensi, dan Negatif-
Konsekuensi.68
Sedangkan Qiyas Istitsna’iy terbagi menjadi dua macam yaitu: Muttashil (terdiri
dari Qadhiyyah Syarthiyyah Muttashillah) punya dua macam kesimpulan yaitu Afirmatif
Antesenden-Afirmatif Konsekuensi dan Negatif Konsekuensi-Negatif Antesenden. Dan
Munfashil (terdiri dari Qadhiyyah Syarthiyyah Munfashilah) punya beberapa macam
bentuk kesimpulan yaitu jika Mani’ah al-Jam’I wa al-Khulwi maka bisa Afirmatif
Antesenden-Negatif Konsekuensi, Afirmatif Konsekuensi-Negatif Antesenden, Negatif
Antesenden-Afirmatif Konsekuensi, dan Negatif Konsekuensi-Afirmatif Antesenden. Jika
Mani’ah al-Jam’I maka bisa Afirmatif Antesenden-Negatif Konsekuensi dan Afirmatif
Konsekuensi. Jika Mani’ah al-Khulwi maka bisa Negatif Antesenden-Afirmatif
Konsekuensi dan Negatif Konsekuensi-Afirmatif Antesenden.69
M. Lawahiq Al-Qiyas
Qiyas atau Silogisme disebut Qiyas Manthiqi. Qiyas ini terdapat beberapa qiyas
yang dihubungkan atau diikutkan dalam istidlal, yang kemudian disebut Lawahiq al-
Qiyas (Susunan dalam Qiyas). Qiyas Manthiqi dapat dibenarkan validitasnya, sedangkan
Lawahiq al-Qiyas tidak dijamin validitasnya. Lawahiq qiyas ada empat macam yaitu
Qiyas Murakkab, Qiyas Istiqra’i, Qiyas Manthiqi, dan Qiyas Tamtsili.70
Qiyas Murakkab yaitu yang tersusun dari dua/beberapa qiyas sederhana yang setiap
kesimpulannya menjadi premis bagi qiyas yang mengikutinya. Cara buatnya dengan
merangkaikan kembali qiyas yang telah menghasilkan kesimpulan dengan qiyas yang lain
dan ini akan menghasilkan kesimpulan baru. Kesimpulan ini dirangkaikan lagi dengan
qiyas yang lain dan seterusnya. Qiyas ini terbagi menjadi dua yaitu Muttashil al-Nata’ij
(yang kesimpulannya disebutkan secara eksplisit, dan menjadi premis minor bagi qiyas
yang mengikutinya). Dan Munfashil al-Nata’ij (yang kesimpulannya disebutkan secara
eksplisit, cukup jelas dapat diketahui).71
Qiyas istiqra’i adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakteristik satuan-
satuannya. Istiqra’i dibagi menjadi dua macam bentuk didalam penerapannya, sesuai
68
Ibid., h. 235-237.
69
Ibid., h. 237-244.
70
Ibid., h. 246.
71
Ibid., h. 246-249.
dengan metode penelitian yang dilakukan yaitu Istiqra’ Tamm (lengkap) adalah penelitian
pada seluruh bagian-bagian permasalahan tanpa tersisa kecuali permasalahan yang
berlawanan untuk menetapkan hukum atasnya. Dan Istiqra’ Masyhur/Naqish (kurang)
adalah penelitian yang dilakukan hanya pada sebagian besar dari permasalahan yang
menjadi obyek pembahasan untuk mendapat sebuah kesimpulan hukum keseluruhan,
sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan dari istiqra’ ini hanya secara keumuman.
Disebut naqish karena hukum yang dihasilkan tidak berlaku untuk keseluruhan.72
Qiyas Manthiqi yaitu metode berpikir deduktif yang diawali dari hal-hal yang
bersifat umum untuk menetapkan status hukum secara khusus, dan dalam realitanya
hukum-hukum tersebut terdapat dalam bagian-bagian yang sejenisnya yang sudah
tercakup didalam kaidah umum tersebut. Sedagkan Qiyas Tamtsil yaitu menetpkan
hukum sesuatu terhadap sesuatu yang lain yang terdapat persamaan sifat. Persamaan sifat
ini disebut Tamtsil. Qiyas Tamtsil ini banyak digunakan dan dikembangkan dalam
pembahasan Ushul Fiqh sebagai model Manthiq Islami. Adapun Qiyas Istiqra’i dan
Qiyas Tamtsil semacam ini tidak dapat menetapkan keyakinan dalam kesimpulannya.
Bahkan dari metode-metode tersebut yang berpotensi bear hanyalah metode deduktif
(Manthiqi).73
72
Ibid., h. 250-253.
73
Ibid., h. 255-260.
74
Ibid., h. 261-262.
keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi yang berdasarkan pada hasil pemikiran
manusia secara logis dan sistematis.75
Hujjah aqliyyah dibagi menjadi 5 macam yaitu (1) Hujjah Khithabiyyah yaitu
hujjah yang disusun dari muqadimah yang dinisbatkan atau diatas namakan kepada orang
yang dianggap dipercaya, atau yang berlandaskan pada pembicaraan orang lain yang kita
percaya. (2) Hujjah Syi’riyyah yaitu hujjah yang berlandaskan pada sebuah ungkapan
yang dibuat untuk mempengaruhi perasaan orang lain baik senang atau tidak. (3) Hujjah
Jadaliyyah yaitu hujjah yang berlandaskan pada hal-hal yang umum yang diterima banyak
orang, meskipun belum tentu benar. (4) Hujjah Safsathaniyyah yaitu hujjah yang tersusn
dari muqaddimah wahmiyyah kadzibah (daya hayal yang dusta). (5) Hujjah Burhaniyyah
yaitu bukti atau proses yang meyakinkan, benar dan bisa dipertanggungjawabkan pula.76
Adapun hujjah yang paling kuat/ utama adalah hujjah burhaniyyah. Yaitu sesuatu
yang secara yakin disusun dari beberapa muqadimah. Yang mana muqadimah tersebut
dihasilkan melalui proses awwaliyyat, mursyahadat, murrajabat, mutawatirat. Hadasiyyat
dan mahsusat. Adapun semua itu termasuk kelompok muqaddimah-muqaddimah yang
bernilai meyakinkan kebenarannya.77
Dari kelima rasional logis tersebut, yang bisa dipertanggungjawabkan validitas
kebenarannya secara ilmiah hanyalah Hujjah ‘Aqliyyah Burhaniyyah, sebab premis-
premisnya sangat meyakinkan yang diperoleh melalui beberapa proses, yaitu Awwaliyah
(yang secara sepintas saja langsung bisa diyakini kebenarannya), Musyahadah (langsung
bisa diyakini, lantaran disaksikan oleh panca indera/observasi langsung di lapangan),
Mujarrabat (bisa diyakini karena sudah dilakukan eksperimen berulang-ulang),
Mutawatiroh (bisa diterima akal lantaran adanya berita yang diterima oleh banyak
informan yang mana tidak mungkin mereka bersepakat untuk membuat kebohongan
publik), dan Hadatsiyyah (bisa diyakini berdasarkan adanya penemuan ilmiah yang
solid).78
Kesalahan dalam berargumentasi burhani terdapat pada dua hal:
1. Kesalahan dari sisi materi yaitu kesalahan yang terjadi pada materi qiyas dan bukan
pada kesimpulan. Kesalahan ini terbagi menjadi dua aspek yaitu Aspek Lafadz
75
Ibid., h. 262-263.
76
Ibid., h. 264-267.
77
Ibid., h. 267-268.
78
Ibid., h. 268-269.
(penggunaan lafadz pada had wasath yang sama pada kedua qadhiyyah, tetapi beda
artinya, dan menjadikan lafadz yang berbeda maknanya menyamai lafadz yang
memiliki kesamaan makna) dan Aspek Makna (penggunaan lafadz yag mengandung
kebohongan diserupakan dengan lafadz yang benar, menjadikan kesimpulan
menyamai salah satu dari beberapa premisnya, menghukumi lafadz yang tergolong
nau’ terhadap lafadz yang tergolong jinis, dan menjadikan yang bukan qath’i seperti
qath’i).
2. Kesalahan dari sisi bentuk yaitu kesalahan yang timbul dikarenakan menyalahi salah
satu syarat yang telah ditentukan di dalam qiyas diantaranya menyalahi beberapa Syakl
yang ada dalam qiyas, dan meninggalkan syarat pencetusan kesimpulan.79
79
Ibid., h. 272-277.
DAFTAR PUSTAKA
Habibie, Moch Wildan. Ilmu Manthiq (Asy Syarhu Ala As Sullam Al Munawraq Lil
Akhdhary). Yogyakarta: Stelkendo Kreatif, 2022.