Anda di halaman 1dari 5

Karakteristik Hukum Acara PA

a) Obyek atau Pangkal Sengketa: KTUN dan/atau tindakan


pemerintahan.

Dasar Pengujian:
1) Peraturan Perundang-undangan;
2) Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Peraturan Perundang-undangan digunakan untuk menguji KTUN yang terikat
(gebonden beschikking), sedangkan AAUPB digunakan untuk menguji KTUN
yang bebas (vrije beschikking).
Verbod van detournement de pouvoir dan verbod van willekeur terhadap
diskresi.

Deiournement de Pouvoir: Jean Rivero dan Waline mengatakan bahwa


pengertian penyalahgunaan wewenang itu dapat diartikan dalam 3 wujud,
yaitu:
1) Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok
atau golongan;
2) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;
3) Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan
prosedur lain agar terlaksana.

Menurut Paulus E. Lotulung:


“Pembuktian adanya detournement de pouvoir pada hakikatnya merupakan usaha
untuk mencari latar belakang apa yang sesungguhnya mendorong si pejabat yang
bersangkutan mengeluarkan beschikking. Apakah tidak ada maksud/tujuan lain
dari si pejabat yang bersangkutan dalam mempergunakan wewenang yang
diberikan kepadanya.
Pada mulanya Conseil d’Etat dalam yurisprudensinya telah menggariskan bahwa
ada atau tidaknya unsur detuornement de pouvoir ini harus dicari dan dilihat pada
beschikking itu sendiri, yaitu pada perumusan kata-katanya yang dengan tegas
membuktikannya. Sudah barang tentu hal atau cara yang demikian itu sangat sulit
dalam prakteknya. Oleh karenaanya dalam perkembangannya kemudian, cara
pembuktian itu diperingan, ialah cukup dengan melihat pada serangkaian petunjuk-
petunjuk atau presumsi yang dapat menimbulkan keyakinan bahwa telah terjadi
suatu detournement de pouvoir. Bahkan yurisprudensi tersebut pada waktu akhir-
akhir ini menjadi semakin lunak, yaitu apabila ada petunjuk-petunjuk atau
prasangka yang cukup serius dan ternyata tidak disangkal secara tegas oleh
Pemerintah, maka hal tersebut cukup menjadi bukti tentang adanya detournement
de pouvoir dalam mengeluarkan beschikking yang bersangkutan”.1

1
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 16-17.

1
Verbod van Willekeur:
Asas larangan bertindak sewenang-wenang hanya berperan ketika
organ pemerintah memiliki kebebasan mengambil kebijakan.
Sepanjang memiliki kebebasan mengambil kebijakan, organ
pemerintah dapat menetapkan kebijakan sendiri; tetapi harus tetap
dalam batas-batas, apa yang dilakukan itu masih sesuai akal sehat.
Dilampauinya batas-batas ini, hakim dapat mengambil tindakan.
Pengujian sewenang-wenang juga dinamakan pengujian kebijakan
secara marginal.... Ketika hakim menguji kebijakan pemerintah atas
dasar sewenang-wenang, hakim tidak menanyakan apakah ia setuju
atau tidak dengan kebijakan itu, pada prinsipnya pilihan kebijakan itu
urusan organ pemerintah.2

b) Kedudukan Para Pihak; badan atau jabatan TUN selaku tergugat;


seseorang atau badan hukum perdata selaku penggugat.

c) Gugat Rekonvensi
KTUN = eenzijdige rechtshandeling; yang menimbulkan kerugian bagi
warga negara atau badan hukum perdata. Oleh karena itu dalam Hukum
Acara PTUN tidak dikenal gugat rekonvensi.

d) Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan (bezwaartermijn);


ontvangstheorie dan verzenstheorie.
90 hari dihitung sejak hari diterimanya atau diumumkannya KTUN yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Dalam hal tersedia upaya administratif, waktu 90 hari itu dihitung sejak
hari diterimanya atau diumumkannya KTUN yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN yang menangani upaya administratif yang
bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014,
“keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
disampaikan kepada yang bersangkutan atau paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak ditetapkan”.
SEMA No. 2 Tahun 1991 menentukan:
Upaya Administratif yang berupa prosedur keberatan; gugatan selanjutnya
ke PTUN.
Upaya Administratif yang berupa banding administratif; gugatan
selanjutnya ke PT TUN.

e) Rapat Permusyawaratan
Rapat permusyawaratan ini diselenggarakan oleh Ketua Pengadilan
sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai atau sebelum majelis
hakim pemeriksa pokok perkara ditunjuk.

2
Willem Konijnenbelt, Resume Hoofdlijnen van Administratief Recht, Tweede Druk, Lemma B.V.,
Utrecht, 1990, hlm. 56.

2
Mengenai rapat permusyawaratan ini diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986, yakni; “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal-hal
sebagai berikut:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat.

Selanjutnya disebutkan bahwa penetapan yang diucapkan dalam rapat


permusyawaratan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan
dalam rentang waktu empat belas hari setelah diucapkan. Apabila
perlawanan ini dibenarkan oleh Pengadilan – setelah diperiksa dan
diputuskan dengan acara singkat – maka penetapan Ketua Pengadilan
itu menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus
dan diselesaikan menurut acara biasa. Sebaliknya, jika perlawanan itu
dinyatakan tidak diterima, maka tidak tersedia upaya hukum.
Konsekuensinya adalah jika penggugat masih ingin mengajukan gugatan
mengenai keputusan yang bersangkutan, maka penggugat harus
membuat gugatan baru.

f) Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dimulai. Dalam Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 antara lain disebutkan
bahwa Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk
melengkapi gugatan yang kurang jelas. Dalam pemeriksaan persiapan ini
Hakim; (a) wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari; (b) dapat meminta penjelasan kepada Badan atau
Pejabat TUN yang bersangkutan.
Di sini dilakukan pengumpulan dokumen-dokumen atau informasi-
informasi resmi yang diperlukan yang berkaitan dengan sengketa yang
akan diperiksa baik dari pihak tergugat maupun instansi-instansi lain yang
terkait.
Apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari itu penggugat belum
memperbaiki dan menyempurnakan gugatan yang kurang jelas, maka
Hakim akan menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima. Terhadap putusan Hakim ini tidak tersedia upaya hukum, dan
penggugat yang akan melanjutkan gugatannya harus membuat gugatan
baru.
Pemeriksaan persiapan tidak dilakukan di muka sidang di muka umum,
tetapi di dalam ruang kerja hakim.

3
Menurut SF. Marbun, segi positif adanya pemeriksaan persiapan dan
rapat permusyawaratan tersebut, bagi penggugat timbul suatu keyakinan
awal apabila gugatan tersebut telah lolos, maka setidak-tidaknya dari segi
kewenangan absolut maupun syarat-syarat gugatan telah terpenuhi dan
tidak perlu diragukan lagi, sehingga tidak perlu timbul kekhawatiran besar
terhadap kemungkinan eksepsi yang menyangkut kewenangan absolut
atau kewenangan relatif maupun eksepsi yang menyangkut segi-segi
lainnya yang tidak mengenai kewenangan pengadilan.3

g) Sifat Putusan PTUN


Sifat putusan PTUN adalah deklaratoir; hanya menyatakan bahwa
keptusan yang digugat itu batal atau tidak sah. Pembatalan keputusan
diserahkan kepada pejabat tata usaha negara yang mengeluarkannya.
Hal ini sejalan dengan asas contrarius actus.

h) Tidak Mengenal Uitvoorbaar Bij Voorrad


Uitvoorbaar bij voorrad adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta
merta, meskipun belum (inkracht van Gewijsde) artinya putusan yang
dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun terhadap putusan
tersebut dilakukan upaya hukum.
Dalam hukum acara PTUN uitvoorbaar bij voorrad itu tidak dikenal karena
sebagaimana disebutkan Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986; “hanya
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
dapat dilaksanakan”.

Uitvoorbaar bij voorrad hanya dapat dilaksanakan dalam perkara kepailitan.


Pada perkara kepailitan, putusan pailit pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri) dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (lihat Pasal 8 ayat [7] UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang; “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
suatu upaya hukum”). Dengan demikian, terhadap pelaksanaan putusan pailit yang

3
SF. Marbun, op. cit., hlm. 105.

4
juga termasuk putusan serta merta ini dalam praktiknya dapat terlaksana dengan
baik.

Anda mungkin juga menyukai