Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Virus SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan istilah Corona Virus telah
menjadi pandemi dan pengaruhnya secara nyata terasa oleh masyarakat di seluruh
dunia. COVID-19 atau Corona Virus Disaese 2019 adalah jenis virus baru yang
awalnya ditemukan pada tahun 2019 di Kota Wuhan China. Pada tanggal 11
Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi (WHO, 2020) dan
hampir seluruh negara tak terkecuali Indonesia mengalaminya hingga saat ini.
Perkembangan dan penyebaran COVID-19 begitu cepat sehingga perlu penerapan
dan pencegahan penyebaran virus secara masif. Hal ini terbukti dengan
diterapkannya beberapa aturan yakni penggunaan masker, cuci tangan yang
teratur, jaga jarak, belajar dan bekerja dari rumah, hingga pemberlakukan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pandemi Covid-19 memicu ketakutan masyarakat di seluruh dunia dan
menyebabkan masalah kesehatan mental. Kamal dan Othman (2020) menyatakan
bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan kecemasan dan emosi negatif
secara luas di masyarakat. Bahtiar & Saragih (2020) mengatakan pandemi Covid-
19 membuat kecemasan di masyarakat meningkat, sekitar 35,6 persen masyarakat
merasa sangat cemas dan 54,4 persen cemas. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Pragholapathi (2020) perempuan dikatakan lebih rentan mengalami
kecemasan dibandingkan laki-laki. Kecemasan pada pandemi Covid-19 ini juga
dirasakan pada ibu.
Peneliti melakukan pre-elementary study berupa wawancara tidak
terstruktur terhadap dua orang ibu. Ibu pertama adalah SK seorang ibu rumah
tangga dengan tiga orang anak. Menurut SK, ia mengalami kecemasan terhadap
pandemi Covid-19. Ia mengaku cemas apabila salah satu dari keluarganya terkena
Covid-19. Suami SK memiliki riwayat kanker paru, sehingga hal tersebut
menambah rasa cemas. SK mengalami sulit tidur, sesak napas, tangan sering
kebas, dan badan terasa lemas. Kondisi tersebut menganggu aktivitasnya sebagai

1
2

Ibu rumah tangga karena menjadi tidak dapat melakukan pekerjaan rumah
tangganya dengan tenang. Ibu kedua, yaitu LL, merupakan seorang ibu bekerja
dengan empat orang anak. LL merasa cemas dirinya akan membawa virus yang
akan ia tularkan kepada anggota keluarga. Akibat rasa cemas yang dirasakan oleh
LL, ia menjadi sulit tidur, sesak napas, mudah marah, kurang fokus, dan berakibat
pada malas untuk mengerjakan apapun.
Seorang Ibu tidak hanya bertanggung jawab atas rumah tangganya tetapi
juga memikirkan kesehatan keluarganya selama pandemi. Kecenderungan
kecemasan ibu yang berperilaku menghindar seperti menutup diri dengan dunia
sosial dikarenakan takut tertular virus demi menjaga keluarganya dari paparan
Covid-19. Kecemasan ibu akan merasakan kekhawatiran karena adanya ancaman
dari pandemi. Kecemasan ibu makin meningkat bila ada anggota keluarga yang
sakit dan yang meninggal karena Covid-19. Protokol Kesehatan yang harus ditaati
mengakibatkan tekanan tersendiri bagi penderita dan keluarga terutama Ibu yang
tidak bisa merawat secara langsung. Demikian juga dengan keluarga yang
meninggal karena terkena virus corona, selain cemas akan tertular karena tinggal
dalam satu rumah, mereka juga akan mendapatkan tekanan tersendiri dari
lingkungan sekitar, karena khawatir tertular.
Menurut Yustinus (2006) kecemasan adalah suatu kondisi tegang yang
berhubungan dengan ketakutan, kekhawatiran, perasaan tidak aman, dan
kebutuhan akan kepastian. Selanjutnya Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010)
menyatakan bahwa kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam yang diawali dari adanya situasi yang mengancam sebagai suatu
stimulus yang berbahaya. Pada tingkatan tertentu kecemasan dapat menjadikan
individu lebih waspada terhadap suatu ancaman, karena jika ancaman tersebut
dinilai tidak membahayakan, maka individu tidak akan melakukan pertahanan
diri.
Nevid, Rathus, dan Greene (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga gejala
kecemasan, yaitu gejala fisik, gejala behavioral, dan gejala kognitif. Pada gejala
fisik, individu akan merasakan seperti berkeringat, tubuh gemetar, sulit bernafas,
jantung yang berdetak kencang, merasa lemas, dan lain-lain. Kemudian pada
3

gejala behavioral yang muncul adalah perilaku menghindar dan terguncang.


Terakhir adalah gejala kognitif yang berhubungan dengan pikiran seperti perasaan
khawatir, ketakutan akan hal yang akan terjadi dan perasaan takut tidak mampu
menyelesaikan masalah, bingung dan sulit berkonsentrasi.
Hawari (2006) mengemukakan ciri-ciri individu yang mengalami
kecemasan antara lain memiliki ketakutan akan pikirannya sendiri dan mudah
tersinggung. Selain itu individu yang merasa cemas juga merasakan tegang,
gelisah dan mudah terkejut serta mengalami gangguan pada pola tidur,
konsentrasi, pencernaan, sampai dengan perkemihan. Lalu timbul pula perasaan
takut, rasa sakit pada tulang dan sendi, berdebar-debar, sakit kepala, dan sesak
nafas. Kecemasan akan menimbulkan dampak bagi individu yang mengalaminya.
Menurut Ramaiah (2005) kecemasan dapat menimbulkan kepanikan, sehingga
tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan tidak dapat melakukan tindakan
pencegahan karena tidak peka akan bahaya yang akan timbul. Selanjutnya Cutler
(2004) menyatakan bahwa kecemasan yang berlebihan dapat mempunyai dampak
yang merugikan pada pikiran serta tubuh bahkan dapat menimbulkan penyakit-
penyakit fisik.
Menurut Bandura (1997) terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam
meredakan kecemasan, salah satunya adalah self efficacy dimana self efficacy
digambarkan sebagai suatu perkiraan individu terhadap kemampuannya sendiri
dalam mengatasi situasi. Kecemasan dapat diredam dengan adanya keyakinan
individu terhadap kemampuan yang dimilikinya (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Lebih lanjut Bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy adalah persepsi diri
sendiri mengenai seberapa baik diri dapat berfungsi pada situasi tertentu.
Kemudian, menurut Ormrod (2008), self efficacy adalah penilaian individu
tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau
mencapai tujuan tertentu.
Menurut Alwisol (2014) individu yang memiliki efikasi yang tinggi,
percaya bahwa mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi dan dapat mencapai
hasil yang realistik, maka akan bekerja lebih keras dan dapat bertahan. Individu
dapat memiliki ekspektasi hasil yang realistik, yaitu apa yang diharapkan sesuai
4

dengan kenyataan hasilnya, atau sebaliknya ekspektasi hasil yang tidak realistik
yang mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dapat dicapainya. Menurut
Bandura (1997), ciri-ciri pola tingkah laku individu yang memiliki self efficacy
tinggi adalah aktif memilih kesempatan yang terbaik, mampu mengolah situasi
dan menetralkan halangan, mampu menetapkan tujuan dengan menciptakan
standar, mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindakan, mencoba
dengan keras dan gigih, kreatif memecahkan masalah, belajar dari pengalaman
masa lalu, memvisualisasikan kesuksesan, dan membatasi stres.
Bandura (1997) menyatakan bahwa individu yang memiliki self efficacy
rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas
yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka akan mengurangi usaha-
usaha dan akan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi dan
mendapatkan kembali self efficacy ketika menghadapi kegagalan. Kreitner dan
Kinicki (1989) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki self efficacy yang
rendah akan menghindari tugas yang sulit, pasif, aspirasi lemah dan komitmen
rendah, fokus pada kekurangan pribadi, tidak melakukan upaya apapun, berkecil
hati karena kegagalan, mudah khawatir, memikirkan alasan untuk gagal, dan
menggangap kegagalan karena kurangnya kemampuan atau nasib buruk.
Individu yang mempunyai self-efficacy tinggi dapat secara efektif
menghadapi kejadian-kejadian dan situasi tertentu. Hal ini dikarenakan adanya
keberanian dan mampu mengontrol diri dalam persoalan yang dihadapinya.
Schultz (2005) berpendapat bahwa self-efficacy yang tinggi dapat mengurangi rasa
takut, rasa cemas, dan mampu berpikir secara analitik berbeda dengan individu
yang tidak memiliki self-efficacy tinggi
Terdapat beberapa penelitian yang mendukung keterkaitan antara self efficacy
dan kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Saba dkk. (2018) menunjukkan
hasil berupa terdapat hubungan self-efficacy dan tingkat kecemasan mahasiswa
tingkat pertama Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian yang
dilakukan oleh Hikmah dkk, (2019) menunjukkan hasil berupa terdapat hubungan
yang signifikan antara self efficacy ibu hamil trimester III dan tingkat kecemasan
dalam menghadapi persalinan. Penelitian lain dilakukan oleh Ni Made Ferra dan
5

Putu Nugrahaeni (2016) menunjukkan adanya hubungan antara self-efficacy


dengan kecemasan komunikasi dalam mempresentasikan tugas di depan kelas.
Dari paparan hasil penelitian terdahulu memiliki persamaan dengan hasil
penelitian yang dilakukan peneliti, dimana terdapat hubungan yang negatif dan
signifikan antara self efficacy dan kecemasan namun juga memiliki perbedaan
pada karakteristik objek penelitian dan latar belakang situasi kondisi.
Karakterisitik sampel dalam penelitian ini adalah Ibu yang memiliki suami yang
bekerja diluar rumah, dan telah memiliki minimal satu anak. Latar belakang
situasi dan kondisi penelitian ini adalah masa pandemi covid-19 yang mencekam
dan menimbulkan ketakutan pada masyarakat di hampir seluruh belahan dunia.
Ketakutan dialami oleh seluruh individu, baik tua maupun muda, baik itu yang
belum terkena paparan covid-19 apalagi pada mereka yang telah terpapar.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa pandemi Covid-19
menimbulkan kecemasan pada masyarakat terutama pada Ibu yang lebih rentan
mengalami kecemasan. Ibu adalah jiwa dari sebuah keluarga, dimana bila Ibu
mengalami kecemasan, maka akan berdampak pada pola pengasuhan anak,
aktivitas sehari-hari, hingga mengganggu kesehatan fisik dan psikis ibu yang
akhirnya akan menganggu tatanan hidup keluarga. Self-efficacy dapat membantu
ibu dalam menghadapi kecemasan yang dialaminya karena Ibu dituntut untuk
mampu menjalankan perannya walaupun dalam situasi sulit yang sedang dihadapi.
Oleh karena itu, maka peneliti merumuskan masalah penelitian ini yaitu ingin
mengetahui bagaimana kontribusi self efficacy terhadap kecemasan ibu di masa
Pandemi Covid-19?

A. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menguji secara empiris kontribusi self efficacy
terhadap kecemasan pada ibu di masa pandemi Covid-19.

B. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
6

pengembangan pemahaman teoritis, khususnya pada bidang psikologi


kepribadian dan psikologi klinis berupa data empiris mengenai kontribusi self
efficacy terhadap kecemasan ibu di masa pandemi Covid-19

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Ibu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
pemahaman pada ibu bahwa ibu dapat mengurangi kecemasan dengan
cara memiliki persepsi positif mengenai diri sendiri, memiliki keyakinan
tentang seberapa baik diri dapat berfungsi pada situasi tertentu dan
keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan
sesuai dengan yang diharapkan. Ibu juga diharapkan menyadari
pentingnya memiliki self efficacy sebagai salah satu cara untuk
mengurangi kecemasan yang timbul dimasa pandemi Covid-19.
b. Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
mengenai pentingnya memberikan dukungan dan perhatian kepada ibu
agar dapat terhindar dari kecemasan berlebihan yang akan berdampak
pada kesehatan sehingga menganggu aktivitas sehari-hari.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan akan memberikan inspirasi bagi peneliti
selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk melakukan
penelitian sejenis dan lebih lanjut dalam bidang yang sama.

Anda mungkin juga menyukai