Anda di halaman 1dari 2

Penanganan Pencegahan Kehilangan Protein Pada Ikan Kurisi

Oleh: Muhammad Farid_4443190034_6C

Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan


pascapanen, mengingat hasil perikanan merupakan komoditi yang sifatnya mudah
rusak (perishable goods). Pembusukan ikan disebabkan oleh degradasi daging ikan
karena aktivitas enzim, perubahan biokimia dan pertumbuhan
mikroorganisme. Setelah ikan mati, enzim yang terdapat pada ikan mulai aktif
mendegradasi daging ikan menjadi substansi yang lebih sederhana dan
mikroorganisme yang terdapat pada isi perut, insang dan kulit berkembang biak
secara cepat. Bakteri pembusuk mulai memproduksi produk yang mengandung
sulfur yang menimbulkan bau yang tidak enak dan toksin/racun. Bakteri
pembusuk juga mengubah penampakan dan sifat fisik beberapa komponen. Oleh
karena itu diperlukan penanganan cepat dan tepat untuk menjaga mutunya hingga
produk sampai ke tangan konsumen. Salah satu penanganan yang bisa dilakukan
ialah menjadikan ikan menjadi suatu olahan seperti surimi.
Surimi adalah lumatan daging ikan yang telah mengalami proses
penyiangan, pencucian, dan penambahan bahan bioprotektan seperti garam,
cryoprotectant, dan bawang putih untuk mendapatkan mutu yang baik, hilang bau
amis, dan awet dalam penyimpanan beku. Bahan dasar surimi salah satunya ialah
ikan Kurisi (Nemipterus hexodon). Ikan Kurisi tergolong jenis ikan yang berdaging
putih dengan hasil tangkapan relatif melimpah, harga ikan tersebut lebih murah
apabila dibanding dengan ikan-ikan yang berdaging putih lainnya. Selain itu, bau
ikan tidak terlalu amis karena kandungan urea di dalam ikan tersebut tidak terlalu
tinggi. Ikan Kurisi tergolong ikan dengan protein tinggi serta rendah lemak. Ikan
Kurisi memiliki kandungan protein kurang lebih 15%, dan kandungan lemaknya
kurang dari 5%.
Surimi ikan kurisi diproduksi dengan memisahkan daging ikan dari tulang
dan kulit atau disebut pemfiletan serta pencucian sebanyak 3 – 4 kali dengan
menggunakan air dingin. Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan kain
saring dan pencampuran bahan bioprotektan seperti garam dan cryoprotectant
untuk mencegah penurunan protein yang berlebihan dan kehilangan fungsinya
selama disimpan beku. Perlakuan melawan kerusakan mikrobiologis antara lain
dilakukan dengan pembekuan. Suhu pada kondisi beku merupakan penghambat
metabolisme sel mikroba yang menggunakan protein sebagai nutrisi untuk
energinya, bahkan tidak terjadi sama sekali sehingga surimi awet.
Penyimpanan beku adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk
mengawetkan surimi ikan kurisi (Nemipterus hexodon) agar tidak mengalami
penurunan kandungan protein serta dapat memperpanjang masa simpan surimi ikan
kurisi dengan tingkat kesegaran yang tinggi. Surimi ikan kurisi dapat mengalami
perubahan atau kerusakan selama penyimpanan beku, diantaranya adalah
perubahan rasa, bau, dehidrasi, ketengikan (rancidity), dan denaturasi protein.
Perlakuan fisik untuk mempertahankan kualitas ditujukan kepada konsumen agar
dapat memberikan sumbangan terhadap kecukupan protein.
Pasca panen pada ikan kurisi dalam mengatasi loss protein dapat dilakukan
dengan membuat suatu olahan seperti surimi yang kemudian dilanjutkan dengan
penyimpan surimi kedalam freezer atau lemari es. Pada perlakuan ini tentu sangat
menguntungkan masyarakat khususnya masyarakat pesisir dikarenakan dalam
pasca panen masyarakat dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Jika
dibandingkan dengan menjual ikan kurisi secara langsung kepada konsumen,
produk surimi dengan keadaan beku lebih dapat tahan lama dan menjaga nutrisi
pada daging ikan kurisi. Pada ikan kurisi yang dijual secara langsung masi terdapat
insang, isi perut, kulit, dan tulang ikan yang kemungkinan besar dari bagian organ
ikan tersebut dapat membuat ikan mudah membusuk dan menghilangkan
kandungan protein pada ikan serta kandungan nutrisi lainnya.

Sumber:
Setyawan F, Santoso H, Syauqi A. 2017. Protein surimi ikan kurisi (Nemipterus
hexodon) karena pengaruh penyimpanan beku dan kontribusinya di dalam
pemenuhan kecukupan protein. Jurnal Ilmiah Biosaintropis.3(1). 31-38.

Anda mungkin juga menyukai