Anda di halaman 1dari 10

Si “Penunggu” Sekolah

Suatu pagi yang sedikit cerah, tepatnya di kelas 2B, Sekolah Nobbleland, terlihat beraneka
ragam aktivitas murid-murid sebelum memulai pelajaran kelas, seperti bermain pesawat kertas,
melamun, merumpi, membaca buku, bahkan ada yang melanjutkan bobo cantik sambil menutupi
dirinya dengan jaket.

Meskipun di kelas ini cukup terkenal sebagai kelas paling gabut, setiap diberikan tugas oleh
bapak atau ibu guru, mereka langsung disiplin mengerjakan tepat waktu tanpa berimpitan deadline
pengumpulan daripada Charlie sendiri yang bisa dibilang masih malas menunda pekerjaannya.
Kecuali jika tugas itu pemberian dari Pak Lijo, guru matematika lulusan pascasarjana yang terkenal
ditakuti oleh murid satu sekolah karena rupanya yang garang dan membuat suasana belajar menjadi
tegang ketika beliau mengajar.

Baru saja melangkahkan kaki beberapa meter dari kos-nya, Charlie teringat jika ada tugas
minggu lalu yang belum dikerjakannya dari guru killer tersebut. Beruntung, masih ada kesempatan
untuk mengerjakan pekerjaannya setelah tiba di kelas karena takut terjadi hal yang tidak
diinginkannya seperti hukuman berdiri di belakang ruang kelas atau menulis surat pernyataan di
lembar portofolio yang bisa habis tiga lembar.

“Priiitt! Yang belum ngerjain digentayangin penunggu sekolah loh.” ujar Albert yang berada di
bangku paling belakang.

“It’s a fine day, people open window…” disusul oleh nyanyian Alfred yang sengaja menakut-
nakuti suasana terutama ke Charlie yang masih tidak memedulikan ocehan temannya untuk
menggodanya.

“Heh! Jangan keras-keras, nanti penunggunya dateng beneran!” pekik teman lainnya dari
depan yang ikut terdengar kalimat Albert tadi yang rada sensitif di telinganya.

“Ada apa emangnya?” tanya Melvin kepada Albert dan Alfred, teman-temannya yang
kebetulan duduk di samping mereka disambi mengobrol santai sebagai kegiatan rutin sebelum
pelajaran dimulai. Karena mendengar kata “penunggu”, rasa penasarannya meningkat yang pastinya
ada suatu hal yang bergentayangan tak jauh di lingkungan sekolah, padahal dirinya memang tidak
ingin tahu seputar gosip apapun di sekolah karena lebih membuang-buang waktu.

“Jadi gini… si Plio… habis… liat…”

“You, shut up!”


“Belum selesai ngomong, kok.” Charlie memotong kerecokan Alfred yang tak kalah
memancing keributan dari saudaranya, Albert, karena tahu jika Charlie sangat takut sesuatu yang
berkaitan tentang makhluk gaib apalagi cerita-cerita seram yang kebanyakan berdasarkan kisah
nyata dari pengalaman orang lain.

Dari cerita yang beredar, ada teman kelas lain melihat sosok bertubuh besar di kamar mandi
laki-laki yang menyerupai wujud manusia sungguhan. Beberapa ada yang memercayainya, ada juga
yang sebaliknya bahkan menganggap hal itu sebagai hiburan saja, salah satunya Melvin sendiri yang
tidak percaya dengan kisah-kisah tahayul soal makhluk tak kasat mata dari dulu.

“Selesaiin, tuh kerjaan, mau nulis surat cinta buat Pak Lijo lagi nanti?”

“Minimal bantuin ngerjain, lah. Kau punya otak turunan Einstein didonasiin ke sini!” protes
Charlie sambil menunjukkan jarinya ke kepalanya yang sedari tadi tidak mau mengerjakan
karena mendengar cerita hantu dari temannya itu dan berakhir kecoh-kecohan dengan dua
bersaudara itu.

“GUYS!! PAK LIJO LAGI ADA ACARA DI LUAR!!!”

“YEEAAAYYY!!!”

“Woohooo!! Nggak jadi ngumpulin!” seru Charlie yang menyusul sorak gembira dari teman-
temannya karena si ketua kelas mengumumkan bahwa Pak Lijo berhalangan hadir yang
membuat satu kelas heboh kegirangan hingga suasana ruangan membekakkan telinga. Kali
pertamanya pak guru tersebut meliburkan diri sekaligus menjadi pertemuan minggu terakhir
menjelang akhir semester tahun ini.

“Tapi tetep ada tugas.”

“Yaahh”, “Gimana dah, ketua?!”, “Nggak pulang gasik, nih.”

“Shh, shhhtt. Tenang dulu semuaaa, tugasnya nanti dikirimkan di grup habis ini, ditulis di
lembaran kertas. Dikumpulkan sebelum jam tiga sore. Paham semuaaa?” sahut ketua kelas
yang mengatur berjalannya penugasan, semua murid hanya meng-iyakan dengan nada malas
dan lesunya seperti kehilangan semangat.

“Hehe, tetep ngerjain demi Pak Lijo, yaa” ejek Alfred yang sedari tadi masih asik menjahili
temannya itu ketimbang mengerjakan soal-soal pelajaran. Charlie sendiri hanya memutar bola
matanya malas di hadapannya.
Hampir semua murid kelas 2B telah meninggalkan ruangan dan pulang setelah “bertempur”
mengerjakan tugas matematika sebagai nilai tambahan dari Pak Lijo dan kini menyisakan Melvin dan
Charlie. Karena waktu tersisa tinggal beberapa menit lagi dan notabenya sebagai sahabat sejati,
Charlie sesekali ingin Melvin menungguinya lalu menitipkan lembaran tugasnya ke temannya
tersebut untuk dikumpulkan nanti.

“Cepet, Char. Keburu telat ngumpulinnya.”

“Wait, mau buat kalimat cantik.”

“Tulis seadanya aja.”

“Sabar dikit lah..”

“Ya udah aku kumpulin duluan, nih. Langsung nyusul aja ke meja Pak Lijo di ruang guru.”

“Lah, tunggu! Vin! Dih, nggak sabaran.”

Tanpa memedulikan sahabatnya yang masih mengerjakan tugas, Melvin langsung buru-buru
menuju ruang guru karena peraturan ketat yang harus dikumpulkan tepat waktu, meskipun guru
sedang berhalangan masuk. Telat sedikit saja sudah dianggap tidak mengumpulkan dan tidak hadir.

Charlie berlari ke ruang guru setelah merampungkan tugas akhirnya. Tiba di sana, dia harus
mencari meja bangku Pak Lijo yang entah di mana posisinya. Di saat yang tepat, dia melihat seorang
guru yang sedang duduk sendirian di meja bangkunya, terlihat seperti Pak Lijo yang sedang duduk di
mejanya dengan wajah dan ekspresi yang sedikit berbeda(?). Charlie berpikir mungkin Pak Lijo
pulang lebih awal untuk memeriksa kertas tugasnya masih tidak memerhatikannya dan berfokus
melihat jika ada lembaran kertas di meja itu tertulis nama Melvin dan milik kelasnya.

“Permisi, Bapak. Tugasnya saya kumpulkan, ya.” Pak Lijo hanya mengangguk sekali dan
mengekspresikan senyumnya sebagai ungkapan setuju.

“Terima kasih, Pak, saya pamit pulang dulu. Permisi.” Charlie mengalihkan pandangannya dan
membalikkan badannya dari Pak guru itu. Tidak ada respon sedikitpun, hening, tanpa satu kata
pepatah yang dikeluarkan. Di sekujur tubuh Charlie mendadak menggigil dan mulai berkeringat
dingin secara mendadak. Rasa takutnya semakin memuncak. Namun, mulutnya seolah seperti
diplester sepuluh lapis sehingga sangat sulit membukakan mulutnya untuk berteriak sekencang
mungkin.
Karena Charlie merasa sudah ada yang tidak beres, diapun melangkahkan kakinya secepat
mungkin untuk meninggalkan ruangan dan Pak Lijo yang masih duduk di sana. Charlie akhirnya dapat
keluar dari tempat itu, mengatur napas yang dadanya masih terasa berdebar kencang.

Suasana koridor kelas dan ruangan lainnya telah menampakkan keranahannya, tak lama lagi
sekolah akan ditutup. Perasaan Charlie bercampur aduk di kepalanya setelah mengingat peristiwa
barusan, apakah dia hanya berhalusinasi sampai pikirannya goyah tidak karuan sehabis mengerjakan
matematika yang menurutnya susah atau itu memang Pak Lijo yang disiplin sedang mengecek tugas
kelas, namun sedikit ada yang janggal di beliau karena seperti bukan Pak Lijo yang asli.

“ASTAGA!!”

“Eh, Charlie? Tahu-tahu udah di sini?”

Di saat yang tepat, Melvin bertemu Charlie di sudut belokan koridor sedang menunggu dari
tadi yang tentu membuat jantungnya hampir lepas, bisa-bisanya Melvin hanya tertawa cengengesan
tanpa rasa bersalah. Kalaupun dia tipikal orang yang kelakuannya berlebihan, Charlie bisa saja
membawanya dan melemparkannya dari lantai paling atas sekolah. Akhirnya mereka pun
melanjutkan jalannya untuk meninggalkan sekolah yang sudah kelewat petang.

“Oh iya Vin, tadi aku ketemu Pak Lijo, kan. Wajahnya tuh pucat banget. Kaya lagi sakit gitu.”
Ungkap Charlie dengan terus terang menceritakan kejadiannya tadi. Melvin yang mendengarnya
memberhentikan langkah kakinya dan langsung menegaskan,

“Pak Lijo bukannya masih ada acara, ya? Kok bisa ketemu?” Charlie kebingungan dan
tatapannya menjadi kosong, tetapi dia terus meyakinkannya dengan apa yang baru saja dialaminya

“Serius Vin, aku baru aja lihat dia di ruang guru persis.” Melvin terdiam, mengerutkan alis
matanya karena masih tidak yakin dengan apa yang dibilang temannya itu.

“Yakin tadi ketemu Pak Lijo?” perasaan Charlie menjadi tidak enak lagi. Yang dilihatnya Charlie
tadi itu Pak Lijo sungguhan atau apa?

Tak mau ambil pusing, Charlie menarik tangan sobatnya ke ruang guru tadi untuk
membuktikan keberadaan Pak Lijo, selagi beliau belum mengemas barang-barangnya untuk pergi
meninggalkan meja bangkunya di sana. Setelah membukakan pintu, Charlie terkejut dan mulutnya
menganga lebar bahwa guru matematika yang baru saja ditemuinya menghilang bak ditelan bumi.
Kini ruangan guru tersebut beralih senyap dan tak ada siapa pun yang menempati tempat itu
“Swear! Tadi bapaknya ada di meja situ!” sambil menunjuk meja di mana dia melihat sosok
Pak Lijo yang ada di sudut ruangan dengan wajah penuh ketakutan. Sementara Melvin masih tidak
memercayainya karena menurutnya mengapa mereka berpakaian dan mungkin tanpa jiwa dengan
benda mati seperti memakai baju, kendaraan, maupun kalung jika mereka adalah jiwa manusia.

Esok siangnya, Charlie masih nampak melamun mengingat kejadian yang dialaminya kemarin
sore. Semenjak tadi pagi dia kelihatan tidak bisa fokus memerhatikan pelajaran sampai sekarang.
Selama hidupnya, baru pertama kalinya kemarin dia melihat hantu yang bisa menyerupai wujud
manusia asli.

“Ble, Bubble.” panggil Charlie menyuruh untuk berbincang-bincang sebentar kepada Bubble
yang lewat di bangkunya, selaku ketua kelas 2B yang kemarin mewakili mengumpulkan tugas ke Pak
Lijo.

“Nggih, mas? Wonten ingkang saget dipunbantu? ” ucap Bubble dengan nada halus jawanya
di hadapan temannya sambil memerlihatkan wajah Charlie yang kesal dengan alis datarnya.

“Kemarin ada Pak Lijo nggak waktu kamu ngumpulin tugas di ruang guru?” Charlie berbicara
pelan secara privasi agar tidak terdengar oleh temannya yang lain.

“Nggak. Kan, aku juga udah ngumumin kalau Pak Lijo ada rapat khusus jadi nggak bisa
ngawasin kelas dan tugasnya dikumpulin sendiri-sendiri atau boleh perwakilan.” jelas si ketua secara
informatif dan melanjutkannya,

“Tapi gini, kemarin bapaknya sempat chat kalau mau ke sekolah sebentar buat ngambil
tugasnya, cuma nggak jadi soalnya acaranya masih berlanjut.” Charlie yang mendengarnya pun
kaget, hanya terdiam dan mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya pada dirinya siapa seseorang
yang ditemuinya di ruang guru kemarin?

“Hayoo, nggak buka grup, ya?” sahut Bubble dengan tawa terkekeh-kekeh dan ternyata
Charlie tidak sempatnya membuka panggilan pesan dari grup kelas di handphone miliknya.

“Ck, bukan gitu.”

“Lah, terus kok bisa ketemu bapaknya gimana?”

“Charlie juga selesainya paling terakhir, kok, aku tungguin kemarin.” sanggah Melvin ikut
nimbrung di dekat mereka. Hal itu dia lakukan karena sengaja memotong pembahasan kejadian
kemarin sore agar tidak terlalu dipikir lebih dalam lagi dan menambah beban sahabatnya sendiri itu.

“Heleh, orang udah ngumpulin duluan, itu aja…”


KRIIIINNGGG!!

“Ya udah, duluan, Melvin.. Charlie..”

Bel istirahat sekolah berbunyi dan banyak siswa mulai keluar kelas menyerbu makan siang.
Pikiran Charlie seketika jenuh ketika Melvin mengajaknya makan bakso kawi di kantin, langganan
mereka berdua. Sekaligus menghilangkan penat setelah menyelesaikan tiga mata pelajaran di hari
Kamis yang mapelnya sangat padat. Tanpa menunggu lama mereka bergegas menuju kantin agar
tidak berebut antrean di sana.

Melvin dan Charlie duduk di ruang makan sekolah setelah memesan bakso kawi incarannya
yang mereka beli dan menikmati makanannya disambi bengobrol santai. Di saat sedang asik makan,
terdengar siswa lain di sebelahnya yang juga ikut berbincang-bincang dengan teman
sekelompoknya, Melvin yang duduknya hampir sebelahan dengan mereka ikut menguping obrolan
mereka.

“Eh, guys, aku kan diceritain sama teman kelas sebelah. Temannya tuh cerita, katanya di
parkiran dia lihat ada bapak-bapak markirin motor pas jam maghrib. Padahal semua motor udah
nggak ada, gerbang sekolah juga udah mau ditutup.”

“Yang jaga parkirnya kali.” kata teman sebelahnya yang juga ikut bergabung mendengarkan.

“Bukan, petugasnya aja nggak ada di situ, dianya sendiri. Terus waktu dia mau ngampiri
bapaknya, wajahnya rata, nggak ada mata, hidung, sama mulut. Habis itu lari sambil teriak-teriak
dia.”

Kenapa sudah banyak orang yang mengalaminya sampai menceritakan kisahnya ke publik,
berarti si hantu ini benar-benar ada? Atau hanya karangan siswa itu sendiri yang sengaja bikin tenar
satu sekolah untuk mencari sensasi saja? ucap dalam hati Melvin yang terus bertanya-tanya juga
sangat penasaran keberadaan “penunggu” sekolah ini.

Waktu sekolah pun usai, Melvin segera menuju ruang ekstrakurikuler untuk menuntaskan
lukisannya bersama teman lainnya, ada juga yang masih tinggal di kelas karena menjadi pengurus
kepanitiaan salah satu organisasi sekolah, sementara teman-teman lainnya sudah meninggalkan
sekolah, terutama Charlie yang mau pulang lebih awal dikarenakan matanya sudah di bawah lima
watt daripada menunggu Melvin yang kemungkinan pulang hingga larut malam.

Jam sekolah mulai berdentang kencang di pukul enam sore, yang seharusnya sudah berakhir
semua kegiatan luar sekolah seperti ekstrakurikuler dan organisasi lainnya. Selepas kegiatan usai,
Melvin menyempatkan waktunya ke kamar mandi terlebih dahulu dan ditunggu oleh kedua teman
ekskulnya di depan pintu sekolah yang tak jauh dari lokasi dia berada. Baik, hanya Melvin seorang
diri dan tidak ada siapa pun di ruangan sana.

Setelah mencuci tangannya, suasana ruangan masih terlihat aman-aman saja, sampai dia
menatap langit-langit di mana lampu ruangan berkedip beberapa kali sejenak lalu berhenti, tetapi
Melvin menganggapnya hanya aliran listrik kamar mandi yang sudah hampir sekarat dan
melanjutkan cuci tangannya.

Tidak berhenti sampai sana, lampu kamar mandi mati dalam sekejap. Benar-benar gelap gulita
di ruangan itu, dengan sigapnya, dia mengambil sebuah handphone miliknya untuk menghidupkan
lampu flash sebagai senter di atas cermin.

“DOR!!”

Melvin yang berdiri di sana sontak kaget bukan main dan langsung menengok ke belakang
karena pintu toilet terbanting keras dengan sendirinya yang jaraknya tak jauh dari tempat dia berdiri

“Halo?” Melvin memanggil dan mencari pelaku sumber suara yang telah mengganggunya,
tetapi hasilnya nihil. Dia baru sadar jika dirinya sendirian di kamar mandi. Sekarang dia tidak bisa
menebak jika itu adalah angin kencang karena tidak ada jendela ataupun ventilasi di mana angin bisa
masuk keluar lewat sana.

“Siapa di situ?!” Melvin kembali menghadap ke cermin di depannya seolah-olah tidak


memedulikannya.

Dilihatnya lagi ada bayangan hitam yang sepertinya muncul dari pojok ruangan berjalan cepat
menembus dinding kloset. Dirinya mulai merasakan hal yang tidak mengenakkan. Jantungnya
berdegub dengan kencang, keringat dingin pun mulai bercucuran kemana-mana.

Melvin sesekali ingin menggerakkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi seperti
ada yang menahannya agar tidak bergerak apalagi berlari. Dia masih terus berusaha berpikir positif
jika itu hanya halusinasinya semata sambil memanjatkan doa “Tuhan, tolong lindungi aku, katakan
kalau itu bukan apa-apa..”

“Kreeeeek…”

Suara deritan pelan pintu toilet terbuka persis di belakangnya bersamaan lampu yang tiba-tiba
menyala terang dengan sendirinya. Memperlihatkan jelas seorang pria tua duduk di kursi toilet
sambil menundukkan kepalanya seperti tertidur pulas dengan rambutnya yang sangat berantakan.
Pandangan mata Melvin kabur dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Dalam sekian detik,
badannya tumbang dan tergeletak hingga tak sadarkan diri di tempat.

“Syukurlah tidak apa-apa.” terdengar samar suara dan dengungan seseorang saat keadaan
Melvin masih setengah sadar.

“Kok bisa tiduran pulas di kamar mandi? Gimana ceritanya?”

“Nunggu sadar dulu, mas bro, nanyanya belakangan!”

Dia membuka matanya selebar mungkin dengan napas menggebu dan beranjak bangun dari
tidurnya sambil mengusap mata. Di hadapannya, sudah ada dua teman ekskulnya dan petugas
kebersihan di sana yang ikut serta membantu dan membawanya ke UKS dadakan. Mereka
menemukan Melvin tengah pingsan di bawah wastafel kamar mandi sekolah dengan wajahnya yang
pucat pasi. Di posisi Melvin yang sudah sadar kembali, mereka menenangkan sambil memberikannya
segelas air putih dan minyak kayu putih milik teman ekskulnya agar keadaannya lebih membaik lagi.

Melvin menanyakan apa ada seseorang yang tengah duduk di toilet kamar mandi untuk
memastikan jika itu adalah orang sungguhan. Mereka hanya menggelengkan kepala bahwa tidak ada
siapa pun kecuali Melvin seorang diri yang sedang berada di sana. Suasana pun seperti menimbulkan
banyak pertanyaan. Dia menceritakan apa yang baru saja dialaminya dan selepas kejadian itu pula,
dia akhirnya mengakui keberadaan makhluk halus itu benar-benar ada.

Cerita Melvin itu membuat heboh dan menyebar ke satu sekolah hingga ke telinga para guru
maupun karyawan lainnya. Sebelumnya, pernah ada salah satu guru mengalami hal serupa bertemu
“hantu” Pak Lijo ini, tetapi belum separah cerita Melvin yang bisa dikatakan paling mengerikan dari
cerita yang lainnya.

Beberapa kali pengurus sekolah sudah melakukan upaya cara mengusir hantu itu, seperti
memanggil pembuka agama untuk didoakan dan ritual pengusiran setan tetapi tetap saja tidak
membuahkan hasil dan masih menjadi-jadi bergentayangan menakuti warga sekolah.

Seminggu pun berlalu, sekolah baru saja usai mengadakan ujian akhir semester hari ketiga.
Melvin dan Charlie tengah berjalan santai di koridor sambil menyantap es krim yang baru saja
mereka beli di kantin. Tentu saja, sebagai penyegar otak sehabis mengerjakan soal-soal fisika, di
mana hanya berisi kepasrahan dan harapan terbaik hasilnya nanti dari jawaban yang mereka tulis.

“BTW, kita dah lama nggak lihat Pak Lijo, ya?”


“Kenapa? Kangen sama bapaknya dikasih soal matematika lagi?”

“Nggak gitu, Char. Masih inget cerita yang aku bahas itu, kan?” Charlie mengangguk pelan.

“Sebenarnya logis nggak, semenjak bapaknya izin dua minggu lalu, masa nggak ada kabar apa-
apa sampai sekarang?” Charlie yang mendengarnya juga berpikir demikian, dia ingat terakhir kali Pak
Lijo tidak muncul semenjak mengerjakan tugas matematikanya di sekolah. Mengapa tidak ada
satupun guru atau siswa yang menginfokan lebih lanjut mengenai kabar Pak Lijo sampai saat ini?
Bukannya pihak sekolah juga yang harus mengumumkan secara terang-terangan apabila ada bapak
ibu pengajar yang mengundurkan diri?

“Di mana, Pak?!”

“Kamar mandi!”

Tak ada angin tak ada hujan, dilewati mereka tiga guru berlari tergopoh-gopoh sambil
membawa alat medis di tangannya ke tempat yang dimaksud. Melvin dan Charlie yang melihatnya
saling menatap keheranan satu sama lain. Karena penasaran, merekapun ikut menyusul para guru
itu dan memastikan apa yang baru saja terjadi.

Sesampainya di lokasi, banyak orang sudah berkumpul di sekitar kamar mandi laki-laki. Saking
ramainya, kedua anak itu tidak sanggup menyaksikan dari depan karena banyaknya kerumunan yang
menonton di tempat kejadian perkara tersebut. Melvin ingat jika ada tangga menuju lantai dua yang
bersebelahan dengan kamar mandi sehingga dapat melihatnya dengan jelas.

Tidak lama kemudian, terdengar seruan imbauan terhadap oraneg-orang di dekat lokasi untuk
memberi jalan kepada beberapa guru yang sedang mengangkat kantong jenazah seseorang dengan
menggunakan tandu UKS. Mereka pun langsung membawanya ke rumah sakit terdekat untuk
diperiksa lebih lanjut. Melvin dan Charlie bertemu dengan Albert di bawah tangga yang kebetulan
juga ikut menyaksikan kejadian tidak biasa kehadieran jenazah di kamar mandi.

“Albert, apa yang terjadi?!” seru Melvin yang berlari menghampiri si otak kimia tersebut.
Albert hanya terdiam dengan penuh kegelisahan di raut wajahnya. Seperti menahan sesuatu yang
seharusnya tidak diucapkan di mulutnya.

“Turut berduka, Vin.”

“Yang digotong tadi Pak Lijo. Aku nggak tau kenapa, kata pak guru yang lewat tadi beliau
ditemukan posisi tertidur sambil duduk di kloset, waktu diperiksa jantungnya sudah tidak berdetak
lagi.”
Melvin dan Charlie spontan terdiam dan shock seolah tidak percaya apa yang baru saja
dikatakan teman kelasnya itu. Bapak guru yang selama ini ditakuti oleh murid-muridnya ditambah
dengan bumbu “misteri” beliau telah berpulang.

Dari kejadian itu, Melvin teringat kepada sesosok bapak-bapak yang pernah dilihat
sebelumnya. Sekilas, dia mempunyai bentuk tubuh yang sama persis seperti Pak Lijo. Apa yang
membuat si penunggu itu tahu akhir-akhir ini yang akan menimpa pak guru tersebut ke depannya. Di
mana beliau meninggal dalam posisi duduk sambil tertidur di kloset kamar mandi, sama seperti yang
hantu itu lakukan.

Anda mungkin juga menyukai