Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk hidup, tanda-tanda kehidupannya ialah


napas yang berhembus dan jantung yang berdetak setiap detiknya, serta darah
yang mengalir setiap kali jantung berdegup. Ketika manusia tidak lagi bernapas
dan jantungnya tidak lagi berdegup, serta tidak ada lagi darah yang mengalir
maka seluruh kehidupan dan urusan manusia di bumi telah terputus dengan
sendirinya dengan arti manusia tersebut telah meninggal. Allah SWT berjanji
kepada hamba-Nya bahwa setiap yang hidup akan merasakan kematian, kita
telah melihat sendiri buktinya, hewan dan tumbuhan pun juga mati pada
akhirnya, apalagi kita makhluk yang paling sempurna Allah ciptakan.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. Ali Imraan: 185

‫وت‬ ِ َ‫س ذ‬
ِ ‫آءقَةُ الْم‬ ٍ ‫ُك ُّل نَ ْف‬
َ
Artinya: “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.”

Manusia sangat diistimewakan oleh sang khaliq, manusia adalah


makhluk ciptaan Allah yang paling terhormat, bagaimana tidak? ketika
manusia dilahirkan disunnatkan untuk mengazankan atau mengiqomahkannya,
begitupun ketika mati manusia dimandikan, diwudhukan dan dishalatkan. Tidak
sama seperti hewan, ketika mati langsung dikuburkan atau dibuang kesungai.

Sebagai umat muslim kita berkewajiban untuk untuk mengurusi


jenazah sanak saudara kita apabila mereka mati, sebagaimana sabda rasulullah
SAW berdasarkan hadist dari Abdullah bin Abbas RA, beliau berkata:

ِِ ِ ِ ِ
‫فَاَ ْو‬: ‫ال‬
َ َ‫ص ْتهُ اَ ْو ق‬َ َ‫ بَ ْي نَ َما َر ُجل َواقف بِ َع َرفَةَ ا ْذ َوقَ َع َع ْن َرا حلَته فَ َوق‬: ‫ال‬ َ َ‫س َما ق‬ ٍ ‫َع ِن ابْ ِن َعبَّا‬
َ‫ي َوالَ ُُتَنِّطُْوهُ َوال‬ِ َ‫ (اَ ْغ ِسلُ ْوهُ ِِبَ ٍاء َو ِس ْد ٍروَك ِّفنُ ْوهُ ِِف ثَ ْوب‬: ‫صلّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّم‬ ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ص ْتهُ ق‬
َ َ‫ق‬
َ َ
ُ ‫ُُتَ ِّم ُروا َرأْ َسهُ فَِانَّهُ يُْب َع‬
)1265:‫ث يَ ْو َم ال ِْقيَ َام ِة ُملَبِّيًا (خبارى‬

1
“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi SAW.
Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi
SAW bersabda : mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah
dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup
kepalanya. Karena Allah swt akan membangkitkannya di hari kiamat dalam
keadaan bertalbiyah”.1

Berdasarkan hadist diatas telah disebutkan dengan jelas bahwa kita


berkewajiban untuk memandikan, mengkapani, serta menguburkan jenazah
saudara seiman kita yang telah mati. Banyak bentuk kematian yang pernah
terjadi dimuka bumi diantaranya, mati karena berperang, mati karena
kecelakaan, mati karena bunuh diri, mati karena dibunuh dan banyak bentuk
kematian lainnya. Dalam setiap kematian yang berbeda tersebut tentu berbeda
pula kondisi jenazahnya, ada yang utuh dan ada yang tidak utuh.

Ulama secara keseluruhan sepakat penyelenggaraan jenazah dengan


tubuh yang utuh sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Berbeda halnya dengan jenazah yang meninggal dengan tubuh yang tidak utuh
lagi, banyak perbedaan pendapat dari ulama tentang penyelenggaran jenazah ini.
Diantara pendapat-pendapat ulama mengenai hal ini ada yang berpendapat
mayat langsung dikuburkan tanpa dimandikan terlebih dahulu, dan ada juga
yang berpendapat agar memandikan mayat tersebut sebelum dikuburkan
dikarenakan kerusakan pada tubuhnya yang tidak terlalu parah, serta banyak
lagi pendapat ulama yang lain.

Kejadian-kejadian tragis yang berujung maut marak terjadi belakangan


ini, ironisnya tidak hanya maut yang jadi incarannya bahkan setelah matipun
masih ada hal keji lainnya yang dilakukan para pembunuh tersebut. Salah
satunya mutilasi, dimana tubuh manusia dibagi-bagi atau dipotong-potong
menjadi beberapa bagian. Tidak hanya sampai disana, bahkan bagian-bagian
tubuh tersebut dibuang ke berbagai tempat yang mengakibatkan terjadinya

1
Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, (Bandung: JABAL, 2013) hal. 194

2
kesulitan untuk mengenali korban ketika potongan-potongan tersebut
ditemukan.

Mutilasi telah banyak ditemukan diberbagai tempat di belahan dunia,


khususnya Indonesia sendiri banyak kasus mutilasi yang dijumpai, sedikit
menyinggung sejarah mutilasi di Indonesia. Pada tahun 1981 Indonesia
digemparkan dengan kasus mutilasi pertama yang ada di Indonesia, kasus
tersebut dinamakan dengan”mutilasi setia budi.1981”, dalam sejarah Indonesia
kasus ini adalah kasus mutilasi tersadis sepanjang umur Indonesia, yang mana
korban mutilasi tidak bisa diketahui oleh tim forensik, bahkan ada beberapa
potongan tubuh korban tidak ditemukan (dinyatakan hilang). Berdasarkan
penyelidikan tim forensik bagian tubuh korban dipotong dengan sangat kecil,
bahkan kulit dan daging korban dikelupas dan disayat.

Tahun 1981 hingga saat sekarang ini banyak bermunculan kasus mutilasi
di Indonesia, sebagian kasus tersebut diantaranya kehilangan beberapa
potongan tubuh korban mutilasi, bahkan sampai potongan tubuh yang lain
sudah terkubur dan potongan yang lainnya masih belum bisa ditemukan sama
sekali dan ada juga ketika potongan tubuh lain telah terkubur potongan tubuh
yang lainnya baru ditemukan. Lalu, sebagai seorang muslim tindakan apa yang
seharusnya kita lakukan berdasarkan syari’at Islam terhadap potongan tubuh
yang baru saja ditemukan sementara potongan lain telah dikuburkan beberapa
hari sebelumnya? Apakah kita harus menggali lagi kuburan tersebut? Kalau ia,
apakah boleh bagi seorang mukmin menggali kuburan saudaranya? Kalau tidak,
apakah kita harus mencari tempat lain untuk menguburkannya? Kalau ia benar,
artinya potongan tubuhnya dikubur di tempat yang berbeda.

Oleh karena itu, dengan adanya permasalahan diatas, penulis tertarik


untuk membahasnya lebih dalam lagi ke dalam sebuah karya ilmiah sederhana
dengan judul TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI POTONGAN
TUBUH JENAZAH MUTILASI YANG DITEMUKAN SETELAH
BAGIAN LAIN DIKUBURKAN

3
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat penulis tarik dari uraian diatas dalam
karya ilmiah ini adalah :
1. Bagaimanakah hukum Islam mengenai potongan tubuh jenzah mutilasi
yang ditemukan setelah bagian lain dikuburkan?
2. Bagaimana pendapat ulama mengenai potongan tubuh jenazah mutilasi?

C. Penjelasan judul
Untuk mempermudah pemahaman, berikut penulis akan menjelaskan arti
dari kata-kata yang terdapat dalam judul karya ilmiah ini.
1. Tinjauan :: Hasil meninjau; pandangan; pendapat2
2. Hukum : Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan penguasa atau pemerintah.3
3. Islam : Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
berpedoman pada kitab suci Al-qur’an yang diturunkan
ke dunia melalui wahyu Allah swt.4
4. Potongan : Keratan; penggalan5
5. Tubuh : Keseluruhan jasad manusia atau binatang yang kelihatan
dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut.6
6. Jenazah : Mayat7
7. Mutilasi : Proses atau tindakan memotong-motong (biasanya)
tubuh manusia atau hewan.8
8. Dikuburkan : Kubur, lubang ditanah tempat menyimpan mayat9

2
Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, hal.
1198
3
Ibid, hal. 410
4
Ibid, hal. 444
5
Ibid, hal. 891
6
Ibid, hal. 1214
7
Ibid, hal. 468
8
Ibid, hal. 678
9
Ibid, hal. 606

4
D. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui bagaimana penyelenggaraan jenazah secara umum dan,
b. Mengetahui bagaimana penyelenggaraan jenaazah mutilasi secara
khususnya
c. Menjadikan karya ilmiah ini sebagai bahan acuan dikemudian hari
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai persyaratan mengikuti UN dan UAS tahun ajaran 2020/2021 di
Madrasah Sumatetra Thawalib Parabek.
b. Melatih kreativitas penulis dalam menciptakan sebuah karya ilmiah.

E. Metode penulisan
1. Metode pengumpulan data dan bahan
a. Library research, yaitu mengumpulkan data dari buku-buku yang
terdapat diberbagai perpustakaan, beberapa buku pribadi, dan buku
pinjaman yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
b. Field Research, yaitu berupa tanya jawab (wawancara) dengan
beberapa orang yang memiliki pemahaman dalam bidang ini.
Seperti ustadz/ustadzah, teman, orang tua, dan keluarga.
2. Pengolahan kata
a. Induktif : penarik kesimpulan berdasarkan keadaan yang
khusus untuk diberlakukan secara umum.
b. Deduktif : penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum
ke keadaan yang khusus.
c. Komperatif : dengan membandingkan dan mengembangkan
beberapa pendapat.
F. Sisitematika penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyimpulkan sistematika
penulisan dengan rincian sebagai berikut:
BAB I : pembahasan pendahuluan yang memuat latar belakang,

5
rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II : pembahasan mengenai tata cara penyelenggaraan jenazah
menurut syari’at Islam yang terdiri dari kondisi normal
dan tidak normal.
BAB III : pembahasan berisi pandangan ulama mengenai keadaan
jenazah yang tidak normal dan analisa penulis tentang
pembahasan yang berkaitan dengan judul karya ilimiah
ini.
BAB IV : penutupan yang terdiri dari kesimpulan pembahasan yang
terdapat didalam paper ini dan sarannya.

6
BAB II
JENAZAH DAN PROSESI PENYELENGGARAANNYA

A. Pengertian Jenazah

Kata jenazah bila ditinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa
Arab dan menjadi turunan dari isim masdar yang diambil dari fi’il madhi
“janaza-yajnizu-janazatan”. Imam Syamsuddin Muhammad bin Al-Khatib
Asy-Syarbaini dalam kitabnya mensyarahkan kalimat jenazah, yaitu:

‫ َوقِ ْي َل ِِبلْ َف ْت ِح اِ ْسم‬,‫ش‬ِ ‫َّع‬ ِ ِّ‫ والْ َكس ِراِ ْسم لِلْمي‬,‫ ََجْع جنَ َازةٍ ِِبلْ َف ْت ِح‬,‫بَِف ْت ِح ا ْْلِْي ِم‬
ْ ‫ت ِ ِْف الن‬ َ ْ َ َ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ َ ِ‫لِ َذل‬
ْ‫فَا ْن ََل‬,‫ َوق ْي َل ُُهَا لُغَتَان ف ْي َها‬,ُ‫سه‬ ُ ‫ َوق ْي َل َع ْك‬,‫ش َو َعلَْيه ال َْميّت‬ ْ ‫ َو ِِبلْ َك ْس ِر ا ْس ُم للن‬,‫ك‬
ِ ‫َّع‬
10
‫فَ ُه َو َس ِريْ ر َونَ ْعش‬,‫ت‬ ِ ِّ‫ي ُكن َعلَْي ِه الْمي‬
َ ْ َ
“dengan fathah jiim, jama’nya dibaca janaazah, dan dibaca kasrah
merupakan nama bagi mayyit yang berada di atas keranda. Pendapat lain
mengatakan dibaca dengan fathah yaitu janazah nama bagi mayyit, dibaca
jinazah dengan kasrah nama keranda yang ada mayyit di dalamnya. Pendapat
lain mengatakan sebaliknya. Pendapat lain mengatakan kata janazah dan jinazah
digunakan buat arti keduanya. Apabila tidak ada mayyit di dalamnya maka
disebut keranda atau kurung batang”

Dalam kamus Al-munawwir halaman 214 terdapat kalimat janaazah dibaca


dengan fathah artinya usungan mayat atau kereta jenazah, jinaazah dibaca
dengan kasrah artinya mayat dan diartikan juga dengan arti mayat yang ada
dalam usungan beserta orang yang mengantarkannya.

Menurut KBBI jenazah berarti mayat, jika didefenisikan lebih lanjut mayat
bermakna badan atau tubuh orang yang sudah mati. Salah satu lembaga kursus
bahasa indonesia menyatakan perbedaan makna antara mayat dan jenazah,

10
Imam Syamsuddin Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbaini, Mugnil Muhtaj Ila Ma’rifah
Ma’ani Al-Fazil Minhaj, (Cairo : Syarikat Al-Audsi, 2012) hal. 252

7
menurutnya mayat adalah badan manusia yang mati yang belum dirawat,
sedangkan jenazah adalah badan manusia yang sudah mati yang sudah dirawat.11
Dari beberapa pengertian diatas ditarik kesimpulan jenazah adalah orang
yang sudah meninggal dunia yang diletakkan di dalam keranda ketika ia
meninggal dunia.

B. Penyelenggaraan Jenazah

Berbicara mengenai penyelenggaraan jenazah hal yang terkait adalah


memandikan, mengkapani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah. Ketika
seorang muslim meninggal, muslim yang lainnya diwajibkan mengurusi
jenazah tersebut. Nabi Muhammad SAW menyeru untuk menyegerakan
pengurusan jenazah sesama muslim, sebagaimana sabda beliau dalam hadist
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang berbunyi :

‫ال اَ ْس ِرعُ ْوا ِِب ْْلَنَ َازِة فَِا ْن‬


َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫َِّب‬
ِ
ِّ ِ‫ َع ِن الن‬: ُ‫َِب ُه َريْ َرةَ َرض َي هللاُ َع ْنه‬ ُ ْ‫َح ِدي‬
ْ ِ‫ث أ‬
ِ ِ
‫( رواه‬.‫ضعُ ْونَهُ َع ْن ِرقَابِ ُك ْم‬ َ َ‫ش ّر ت‬
َ َ‫ك ف‬ َ ِ‫ْيذَل‬ ِ َ َ‫اِلةً فَ َخ ْْي لَعلَّهُ ق‬
َ ْ َ‫ال تُ َق ّد ُم ْو ََنَا َعلَْيه َوا ْن تَ ُك ْن غ‬ َ
ِ ‫ك‬
َ ‫ص‬ َ ُ َ‫ت‬
) ‫خباري ومسلم‬
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA katanya: bahwa Nabi Muhammad
SAW bersabda: ”segerakanlah pengurusan jenazah karena jika jenazah itu
baik maka sudah sepatutmya kamu menyegerakannya. Jika sebaliknya maka
jenazah itu adalah keburukan yang kamu letakkan di leher-leher kamu.” 12

B.1. Penyelenggaraan Jenazah Secara Umum

Apabila telah meninggal dunia seorang muslim, hal yang harus dilakukan
adalah segera mengurus jenazah dan mengurus harta peninggalannya. Dalam
pengurusan jenazah ada 4 (empat) tahap yaitu, memandikan, mengkapani,
menyalatkan dan menguburkan.
1) Memandikan Jenazah

11
https://www.wisma-bahasa.com/mayat-jenasah-dan-bangkai/ akses tanggal 29 Oktober
2020
12
Tim penerjemah jabal, Shahih Bukhari Muslim, (Bandung : JABAL, 2013) hal. 179

8
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum memandikan mayat
adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang apabila telah dilakukan oleh
sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lainnya.13
Nabi SAW memerintahkan untuk memandikan jenazah orang yang
meninggal sebagaimana sabda beliau dalam hadis dari Ibnu Abbas R.A
yaitu,

َ ‫ال ِِف الَّ ِذ ْي َس َق‬


‫ط‬ َ َ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِّ ِ‫اع ِن الن‬
َ ‫َِّب‬
ِ‫سر‬
َ ‫ض َي هللاُ َع ْن ُه َم‬َ ٍ ‫َع ِن ابْ ِن َعبَّا‬
14 ِ ِ َ‫ (اَ ْغ ِسلُ ْوهُ ِِبَ ٍاء َو ِس ْد ٍروَك ِّفنُ ْوهُ ِِف ثَ ْوب‬: ‫ات‬
‫ي) ُمتَّ َفق َعلَْيه‬ ِ ‫عن ر‬
َ ‫احلَتِ ِه فَ َم‬َ َْ
َ

Dari Ibnu Abbas R.A Ia berkata : “ Bahwasanya Rasulullah SAW


bersabda mengenai orang yang mati dari kendaraanya dengan sabda-
nya : Mandikanlah dengan air sadr, dan bungkuslah (kafanilah) dengan
dua lembar kain”. (Hadist disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dalam memandikan jenazah tentu ada rukun dan syarat yang harus
dipenuhi baik bagi si mayat atau pun yang memandikannya.

a) Syarat-syarat orang yang memandikan jenazah


1. Muslim, berakal sehat dan baligh.
2. Niat karena Allah.
3. Amanah (menjaga kerahasiaan yang ada pada jenazah).
4. Mengetahui hukum dan tata cara memandikan jenazah.
5. Laki-laki bila jenazahnya laki-laki, wanita bila jenazahnya
wanita, kecuali suami istri.15

b) Syarat jenazah yang wajib dimandikan


1. Muslim.
2. Ada wujud tubuhnya walaupun sebagian.

13
Sayyd Sabiq, Fiqih Sunnah (jilid 2), (Kartasura: Insan Kamil, 2018) hal. 50
14
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maraam, (CV. PUSTAKA ASSALAM) hal.115
15
Mochamad Nur Qoomaruddin, Tuntunan Perawatan Jenazah Muslim, (Surabaya:
Masjidillah Press) hal.3

9
3. Bukan orang yang mati Syahid.16
c) Tata Cara Memandikan Jenazah
Sunnah memandikan jenazah adalah meletakkannya ditempat
yang tinggi dan melepas pakaiannya. Lalu bagian auratnya ditutupi
dengan kain penutup, kecuali mayat anak kecil. Sebaiknya, orang
yang memandikan mayat ialah orang yang dapat dipercaya dan
orang yang shalih agar menyebar kebaikan yang dilihatnya dan
menyimpan keburukan yang dilihatnya.17
Ketika memandikan mayat hendaklah memandikannya dengan
membasuh tubuhnya dengan bilangan ganjil seperti tiga dan lima,
atau boleh lebih. Dengan syarat membasuh rata dengan bilangan
ganjil. Mulailah dengan mendahulukan anggota badan yang kanan,
siramlah mayat menggunakan air yang sudah dicampur dengan daun
sadr (Daun Bidara). Apabila mayatnya perempuan bagilah
rambutnya menjadi tiga kepang setelah memandikannya,
sebagaimana sabda Rasululullah SAW, yaitu :

‫ض َي‬ ِ ‫َّاب الثَّ َق ِف ُّي َعن أَيُّوب َعن ُُمَ َّم ٍد َعن أُِّم َع ِطيَّةَ ر‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُُمَ َّمد َح َّدثَنَا َع ْب ُد ال َْوه‬
َ ْ ْ َ ْ
َِّ ‫ول‬
ُ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوََْن ُن نَغْ ِس ُل ابْ نَ تَه‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ت َد َخ َل َعلَْي نَا َر ُس‬ َّ
ْ َ‫اَّللُ َع ْن َها قَال‬
ِ‫ك ِِبَ ٍاء و ِس ْد ٍر واجعلْن ِِف ْاْل ِخرة‬ َ ِ‫سا أ َْو أَ ْكثَ َر ِم ْن ذَل‬ ِ َ ‫فَ َق‬
َ َ َْ َ َ ً ْ‫ال ا ْغسلْنَ َها ثَََل ًًث أ َْو َخ‬
َ ‫آذنَِِّن فَ لَ َّما فَ َر ْغنَا آذَ ََّّنهُ فَأَلْ َقى إِلَْي نَا ِح ْق َوهُ فَ َق‬
ُ‫ال أَ ْش ِع ْرََنَا إِ َّّيه‬ ِ َ‫ُت ف‬
َُّ ‫ورا فَِإذَا فَ َر ْغ‬
ً ُ‫َكاف‬
‫ص َة ا ْغ ِسلْنَ َها‬ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ‫ال أَيُّوب وح َّدثَ ْت ِِن ح ْف‬
َ ‫صةُ ِِبثْ ِل َحديث ُُمَ َّمد َوَكا َن ِِف َحديث َح ْف‬ َ َ َ َ ُ َ ‫فَ َق‬
ِ ‫ال ابْ َدءوا بِي ِامنِ َها ومو‬ ِِ ِِ
‫اض ِع‬ ََ َ َ ُ َ َ‫سا أ َْو َس ْب ًعا َوَكا َن فيه أَنَّهُ ق‬ً ْ‫ِوتْ ًرا َوَكا َن فيه ثَََل ًًث أ َْو َخ‬
‫شطْنَا َها ثَََلثَ َة‬َ ‫ت َوَم‬ َّ ‫وء ِم ْن َها َوَكا َن فِ ِيه أ‬
ْ َ‫َن أ َُّم َع ِطيَّةَ قَال‬ ِ ‫الْوض‬
ُ ُ
18 ٍ
‫قُ ُرون‬

16
H. Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Percetakan Sinar Baru
Algesindo Offset) hal. 165
17
Ibid, hal. 55
18
Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Bukhari, Shahih Bukhari, (Cairo: Syarikah Al-Kudsi,
2014) hal.257

10
Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah menceritakan
kepada saya 'Abdul Wahhab Ats-Tsaqafiy dari Ayyub dari
Muhammad dari Ummu 'Athiyyah radliallahu 'anha berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemui kami ketika kami
akan memandikan puteri Beliau lalu bersabda: "Mandikanlah
dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga
kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan
jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian). Dan
bila kalian telah selesai beritahu aku". Ketika kami telah selesai
kami memberi tahu Beliau. Maka kemudian Beliau memberikan kain
Beliau kepada kami seraya berkata: "Pakaikanlah ini kepadanya".
Berkata, Ayyub telah menceritakan kepada saya Hafshah seperti
hadits Muhammad ini dimana pada hadits Hafshah berbunyi:
"Mandikanlah dengan siraman air berjumlah ganjil". Pada hadits
itu juga ada disebutkan: "Tiga, lima atau tujuh kali siraman". Dan
juga didalamnya ada berbunyi: "Mulailah dengan anggota badan
yang kanan dan badan anggota wudhu'". Pada hadits itu juga ada
disebutkan bahwa Ummu 'Athiyyah berkata: "Kami menyisir
rambut puteri Beliau dengan tiga kepang".

Ada dua tertib dalam memandikan jenazah, satu diantaranya


yaitu; mayat didudukkan di atas tempat yang tinggi secara pelan-
pelan miring sedikit ke belakang. Tangan kanannya dan jarinya
diletakkan di antara kedua pundaknya (bahunya) dan ibu jarinya
diletakkan pada lekuk bagian belakang lehernya agar kepalanya
tidak miring; punggungnya disandarkan berserta lututnya yang
sebelah kanan supaya tidak jatuh; perutnya ditekan kuat-kuat
tetapi tidak berlebihan agar segala kotoran yang ada dalam perutnya
dapat keluar (agar tidak keluar sesudah dimandikan). Kemudian
mayat itu dibaringkan ke arah lehernya; kedua tempat kotorannya
dan najis yang ada di sekitar keduanya dibasuh; keduanya wajib
dibasuh dengan lap kain di tangan kirinya (yang memandikan). Hal
itu disunnahkan dalam membasuh najis pada selain kedua tempat
kotoran tadi. Kemudian najis itu dibuang dan ia (yang memandikan)
menggunakan lap kain yang kedua pada tangan kirinya sesudah
dibasuhnya. Jika lap kain yang tadi kotor untuk membasuh seluruh

11
badan, ia mengambil lap kain lainnya pada tangan kirinya untuk
membersihkan gigi, lubang hidung dan lubang telinga dengan
telunjuk kiri; masing-masing dengan lap kain yang bersih atau
sebangsanya. Kemudian mayat itu diwudhukan tiga kali-tiga kali
seperti orang yang masih hidup dengan berkumur dan menghirup air
ke dalam hidung; ketika itu kepalanya dimiringkan agar air tidak
masuk ke dalam ronggganya; dikeluarkan segala kotoran yang ada
di bawah kuku, daun telinga, dan lubang hidung. Sebaiknya janggut
dan rambutnya disisir secara perlahan-lahan dengan sisir yang
renggang gigi-giginya agar janggut atau rambut itu tidak tercabut.19
2) Mengkapani Jenazah
Hukum mengkapani jenazah adalah fardu kifayah atas orang yang
hidup. Kain kapan diambil dari harta si mayat sendiri jika ia meninggalkan
harta. Kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kapannya menjadi
kewajiban bagi orang yang wajib memberi belanjanya semasa hidupnya.
Kalau yang wajib itu tidak mampu, hendaklah diambil dari baitul-mal, dan
diatur menurut hukum agama islam.20
Nabi SAW dikapani dengan kain berwarna putih yang terbuat dari
katun, sebagaimana yang dikatakan Aisyah RA yaitu :

‫َّلل صلى هللا عليه وسلم ِِف‬ َِّ َ‫ول ا‬


ُ ‫ ( ُك ِّف َن َر ُس‬:‫ت‬ ِ ‫و َعن َعائِ َشةَ ر‬
ْ َ‫ض َي اَ ََّّللُ َع ْن َها قَال‬ َ ْ َ
‫ ) ُمتَّ َفق َعلَْي ِه‬.‫س فِ َيها قَ ِميص َوَال ِع َم َامة‬ ٍ ٍِِ
َ ‫ لَْي‬,‫ض َس ُحوليَّة م ْن ُك ْر ُسف‬
ٍ ‫ثَََلثَِة أَثْ َو‬
ٍ ‫اب بِْي‬

Dan dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wasallam dikafani dengan tiga kain putih bersih yang terbuat dari
kapas, tanpa ada baju dan serban padanya.( Muttafaq ‘alaih ).

Sebelum mayat dikapani hendaklah terlebih dahulu menyiapkan


segala keperluannya, seperti mengukur ukuran kapan untuk ukuran mayat.
Berikut ini ialah persiapan yang harus dilakukan sebelum mayat dikapani:

19
Drs. Wagino Hamid Hamdani, Makalah Pengurusan Jenazah, (Bandung, 2008) hal. 2-
4
20
H. Sulaiman Rasjid, Op.Cit., hal. 167

12
a) Disiapkan dahulu kain yang baik, bersih dan putih.
b) Jenazah laki-laki 3 (tiga) helai kain, untuk ukuran panjang kain
dapat diukur dengan mengukur tubuh jenazah.
c) Jenazah perempuan 5 (lima) helai kain, masing-masing
berbentuk:
1. Kain biasa.
2. Jubah dilubangi pada arah kepala.
3. Baju kurung dilubangi pada arah kepala.
4. Sarung dan,
5. Kerudung dibentuk segitiga.
d) Ukuran kain disesuaikan dengan besar kecilnya jenazah dan tidak
berlebihan (boros).
e) Cawat/celana dalam jika dibutuhkan, tetapi bukan keharusan.
f) Memberikan wewangian terbaik yang dimiliki dalam setiap
lembar kain kapannya dan pada badan jenazah.21
Setelah kain kapan jenazah disiapkan sesuai dengan ketentuan, maka
segeralah untuk mengkapaninya. Berikut ini tata cara mengkapani
jenazah,
1. Jenazah Laki-laki
1(satu) helai kain digelar ditengah, satu helai kain lagi digelar di
atasnya agak bergeser ke kanan dan satu helai kain lagi digelar agak
bergeser ke kiri. Setelah kain digelar dilulut dahulu dengan minyak
wangi, kemudian dililitkan kain yang paling atas bersamaan dengan
itu diambil kain penutupnya, lalu dililitkan kain yang kedua dan
ketiga.
2. Jenazah Perempuan
Satu kain biasa digelar ditengah, lalu jubah digelar di tengah
persis di atas kain lembar pertama dengan posisi lobang tepat berada
di leher, dan baju kurung digelar di atasnya lagi dengan posisi berada

21
Mochamad Nur Qoomaruddin, Op.Cit., hal. 5 dan 6

13
pada bagian atas badan dengan lobang persis di leher, sarung digelar
di atasnya pada arah badan bagian bawah, lalu kerudung digelar pada
bagian kepala. Setelah kain digelar dilulut dahulu dengan minyak
wangi, kemudian diikat kerudungnya, dililitkan dengan urut kain
sarung, baju kurung, mantel jas dan kain biasanya.22
3) Menyalatkan Jenazah
Salat jenazah adalah salat yang hukumnya fardhu kifayah dan
merupakan salat yang dilakukan dengan 4 (empat) kali takbir. Fardhu
kifayah sendiri artinya wajib dan ditujukan oleh orang banyak namun jika
sebagian orang muslim sudah melakukannya maka kewajiban tersebut
telah gugur bagi muslim yang lainnya. Namun jika seluruh kaum
muslimin meninggalkan salat jenazah maka kaum muslimin tersebut
berdosa.23
Begitu pula sebaliknya, apabila kaum muslimin melaksanakan salat
jenazah maka, Allah SWT akan membalasnya dengan pahala yang besar.
Sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam hadis berikut:
ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬ ِ ‫و َع ْنهُ ر‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
‫(م ْن َش ِه َد ا ْْلَنَ َازةَ َح ََّّت‬ َ ‫ول اَ ََّّلل‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬ َ َ
ِ َ‫ وما اَل ِْقْياط‬:‫ال‬ ِ ِ ِ ِ َّ َ ُ‫ي‬
‫ان ؟‬ َ َ َ َ ‫ َوَم ْن َش ِه َد َها َح ََّّت تُ ْدفَ َن فَ لَهُ ق َْياطَان ق‬,‫ْياط‬ َ ‫صلى َعلَْي َها فَ لَهُ ق‬
)‫وض َع ِِف اللَّ ْحد‬ ِ ِ ِ ِ ْ ‫يم‬ ِ ِ ْ َ‫ال ِمثْل اَ ْْلب ل‬
َ :‫ي) ُمتَّ َفق َعلَْيه َول ُم ْسل ٍم‬
24
َ ُ‫(ح ََّّت ت‬ َ ‫ي اَل َْعظ‬ ََ ُ َ َ‫ق‬
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu ia berkata: Rasulullah
shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang menyaksikan
jenazah hingga disholatkan, maka ia mendapatkan pahala 1 qirath.
Barangsiapa yang juga menyaksikannya hingga dikuburkan, ia mendapat
2 qirath. Para Sahabat bertanya: Berapa 2 qirath itu? Nabi menjawab:
Seperti 2 gunung yang besar (muttafaqun alaih. Dalam lafadz Muslim:
sampai ia diletakkan di liang lahad).

22
Ibid, hal. 6 dan 7
23
https://dalamislam.com/shalat/sholat-jenazah akses pada tanggal 4 November 2020
24
Al-Asqalani, Op.Cit., hal.120

14
a) Syarat-syarat Salat Jenazah
1. Salat jenazah sama halnya dengan salat yang lain, yaitu
harus menutup aurat, suci dari hadats besar dan kecil, suci
badan, pakaian dan tempatnya serta menghadap kiblat.
2. Mayit sudah dimandikan dan dikapani.
3. Letak mayit sebelah kiblat orang yang menyalatinya,
kecuali kalau salat dilakukan di atas kubur atau salat
gaib.25
b) Rukun Salat Jenazah :
1. Niat melakukan shalat jenazah semata-mata karena Allah.
2. Berdiri bagi orang yang mampu.
3. Takbir (membaca Allahu Akbar) empat kali.
4. Membaca Surat Al-Fatihah setelah takbir pertama.
5. Membaca doa shalawat atas Nabi setelah takbir kedua.
6. Berdoa untuk mayat dua kali setelah takbir ketiga dan
keempat.
7. Salam.26
c) Sunat dalam Salat Jenazah
1. Mengangkat kedua tangan setiap kali takbir.
2. Membaca ta’awuz sebelum membaca Al-Fatihah.
3. Berdo’a untuk dirinya dan kaum muslim
4. Israr (merendahkan suara bacaan).
5. Berhenti sejenak antara takbir keempat sebelum salam.
6. Melihat kekanan ketika salam.27
4) Menguburkan Jenazah
Menguburkan jenazah ialah kewajiban terakhir yang wajib dilakukan
oleh muslim yang hidup. Dalamnya kuburan sekurang-kurangnya tidak
tercium bau busuk mayat itu dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar

25
Drs. Moh. Rifa’i, Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: P.T. Karya Toha Putra, 2007)
hal.73
26
Dr. Marzuki, M.Ag., Perawatan Jenazah Pdf.
27
Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Aljarullah, Tata cara Mengurus Jenazah pdf, hal. 23

15
oleh binatang buas, sebab maksud menguburkan mayat ialah menjaga
kehormatan mayat itu dan menjaga kesehatan orang-orang yang ada
disekitar tempat itu.28
Lubang kubur disunatkan memakai lubang lahad 29 kalau tanah
pengkuburan itu keras; tetapi jika tanah pengkuburan tidak keras, mudah
runtuh, seperti tanah yang bercampur dengan pasir, maka lebih baik dibuat
lubang tengah30.
Sesampainya mayat dikuburan, kepalanya hendaklah diletakkan di sisi
kaki kuburan, lalu diangkat ke dalam lahad atau lubang tengah,
dimiringkan sebelah kanannya, dihadapkan ke kiblat. Ketika hendak
memasukkan mayat ke lahad disunatkan memasukkannya dari arah kaki
kubur, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis dari Abu Ishaq
RA Yaitu,

ِ ِ َ ِ‫اَّلل بن ي ِزي َد أَ ْد َخل الْمي‬


ِ َّ ‫ أ‬,‫َو َع ْن أَِِب إِ ْس َحا َق‬
:‫ال‬
َ َ‫وق‬، َ ْ ‫ت م ْن قبَ ِل ِر ْجلَ ِي الْ َق‬
َ ‫ْب‬ َّ َ َ َ ْ َّ ‫َن َع ْب َد‬
31
ُّ ‫(ه َذا ِم َن‬
‫السن َِّة) أَ ْخ َر َجهُ أَبُو َد ُاود‬ َ
dari Abu Ishaq bahwasanya Abdullah bin Yazid memasukkan jenazah dari
arah kaki kubur, kemudian ia berkata: ini termasuk sunnah (riwayat Abu
Dawud)

B.2. Penyelenggaraan Jenazah Secara Khusus

1) Jenazah yang Tidak dimandikan dan Tidak disalatkan


Jenazah yang boleh dimandikan adalah jenazah muslim yang tidak
terbunuh oleh kaum kafir.
a) Orang yang mati syahid tidak boleh dimandikan dan
disalatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yaitu,

28
Rasjid, Op.Cit., hal. 182
29
Lubang lahad = relung di lubang kubur tempat meletakkan mayat, kemudian ditutup
dengan papan, bambu, dan sebagainya.
30
Lubang tengah = lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat memuat mayat raja,
kemudian ditutup dengan papan atau lainnya.
31
Al-Asqalani, Op.Cit., hal. 121

16
‫ب َع ْن‬ ٍ ‫ َح َّدثَِِن ابْ ُن ِش َها‬: ‫ال‬ َ َ‫ث ق‬ ُ ‫ف َح َّدثنَا اللَّْي‬ َ ‫هللا بْ ِن يُ ْو ُس‬ ِ ‫ح َّدثَناَ عب ِد‬
َْ َ
‫ض َي هللاُ َع ْن ُه َما‬ ِ ‫ك َعن جابِ ِر بْ ِن َع ْب ِد هللا ر‬ ٍ ِ‫ب ابْ ِن مال‬ ِ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن َك ْع‬َّ ‫َع ْب ِد‬
َ َ ْ َ
‫ي ِم ْن قَ ْت لَى‬ ِ ْ َ‫الر ُجل‬
َّ ‫ي‬ ِ
َ ْ َ‫ ََْي َم ُع ب‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫َِّب‬ ُّ ِ‫ َكا َن الن‬: ‫ال‬ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ ِ ٍِ ٍ ٍ
َ ْ ‫ ((اَيُّ ُه ْم اَ ْكثَ َر اَ ْخ ًذا ل ْل ُق ْرآن)) فَا َذا اُش‬: ‫اَ َحد ِ ِْف ثَ ْوب َواحد ُُثَّ يَ ُق ْو ُل‬
‫ْي‬
‫ ((اَ ََّن َش ِه ْيد َعلَى ِ ِْف ِد َما‬: ‫ال‬ َ َ‫َه ُؤالَ ِء لَهُ اِ ََل اَ َح ِد ُِهَا قَ َّد َمهُ ِ ِْف اللَّ ْح ِد َوق‬
: ‫ص َّل َعلَْي ِه ْم [اطرفه‬ َ ُ‫سلُ ْوا َوََلْ ي‬ َّ َ‫يَ ْو َم ال ِْقيَ َام ِة)) َواََم َر بِ َدفْنِ ِه ْم ئِ ِه ْم َوََلْ يُغ‬
: ‫ ُتفة‬,1479 ,1353 ,1348 ,1347 ,1346 ,1345
32
]2382
Dikisahkan dari Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami
Laisu, dia berkata : berkisah kepadaku Ibnu Syihab dari
Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari Jabir bin Abdillah
Radiyallahu’anhuma Bahwa rasulullah SAW menyatukan
dua mayat korban terbunuh perang uhud pada satu kafan.
Kemudian bersabda, “siapa diantara mereka yang paling
banyak hafal al-qur’an?“ orang yang mereka tunjuk adalah
yang lebih dahulu dimasukkan ke kuburan.”beliau bersabda,
aku menjadi saksi yang membela mereka pada hari kiamat
nanti.” Beliau memerintahkan agar kami menguburkan
jasadnya bersama darah mereka, tanpa dimandikan dan
tanpa disalatkan.

b) Janin Keguguran yang Belum Nampak Bentuk Tubuhnya


Tidak Wajib dimandikan
Menurut Imam Syafi’i bayi yang keguguran yang keluar
sebelum genap mencapai usia kehamilan-enam bulan dan
dua kali sesaat-adakalanya diketahui hidup, sehingga ia
sama seperti orang dewasa terkait kewajiban
memandikannya. Dan adakalanya tidak diketahui hidup.
Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan bentuk tubuhnya
sudah kelihatan sehingga wajib dimandikan tanpa di salati,

32
Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Bukhari, Op.Cit,. hal. 272

17
dan kemungkinan tidak nampak bentuk tubuhnya, sehingga
tidak wajib dimandikan.33
2) Penyelenggaraan Potongan Tubuh
Mayat yang tidak lengkap tubuhnya, termasuk didalamnya mayat
yang termutilasi tetap dimandikan, dikapankan dan disalatkan.
Dikatakan bahwa tidak ada bedanya antara mayat yang tubuhnya
lengkap dengan yang ada hanya anggota badannya saja. Pendapat ini
dikemukakan oleh imam syafi’i, beliau berkata:
“Kami mendengar berita bahwa seekor burung menjatuhkan
sepotong tangan manusia dimekkah diwaktu perang jamal. Orang-
orang mengetahui pemilik tangan itu dari cincinnya. Maka tangan
itu mereka mandikan dan salatkan, itu dihadiri oleh sejumlah
sahabat”.34
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dalam buku dan
halaman yang sama, beliau berkata: “potongan tubuh mayat seorang
Muslim yang ditemukan wajib untuk dimandikan, dikapankan, dan
disalatkan, kecuali potongan tubuh dari muslim yang mati syahid”.
Kemudian beliau menambahkan “Hendaknya salat untuk potongan
tubuh ini diniati untuk seluruh tubuh dan nyawanya”.
3) Membongkar atau Menggali Kuburan
Berdasarkan kesepakatan ulama’ jika tempat yang terdapat jasad
Muslim dikuburkan, lalu tempat itu hendak dibongkar, maka perlu ada
penelitian apakah tulang atau dagingnya masih ada atau tidak? Jika
bagian tulang atau daging itu masih ada, seluruh tempat ini (kuburan)
tidak boleh dibongkar. Jika telah hancur lebur menjadi tanah maka
menggalinya untuk mengubur mayat lain diperbolehkan, atau
memanfaatkannya untuk bercocok tanam, membangun gedung dan
hal bermanfaat lainnya.35

33
Abdul Wahhab Khallaf, Fiqih Empat Mazhab, (Jakarta Timur, Ummul Qura, 2017) hal. 210
34
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hal. 51
35
Ibid, hal. 126

18
Dikatakan juga haram hukumnya membongkar makam salama
menurut perkiraan masih ada sisa-sisa tulang mayit di dalam makam
tersebut. Kecuali beberapa hal, diantaranya:
a) Si mayit dikapani dengan kain kapan hasil rampasan dan
pemiliknya enggan menerima nilai kain kapan tersebut.
b) Si mayit dimakamkan ditanah hasil rampasan dan
pemiliknya tidak merelakan si mayit berada di tempat
tersebut.
c) Ada harta yang dimakamkan bersama si mayit, baik
disengaja ataupun tidak, baik harta tersebut milik si mayit
ataupun milik orang lain, entah banyak atu sedikit, meski
hanya satu dirham, baik si mayit sudah membusuk ataupun
tidak.36

36
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit,. hal. 295

19
BAB III

POTONGAN TUBUH JENAZAH MUTILASI MENURUT SYARI’AT DAN


PROSESI PEMBONGKARAN KUBURAN

A. Potongan Tubuh Jenazah Mutilasi dari Sudut Pandang Ulama


Sebelum penulis memaparkan pendapat para fuqaha tentang pengurusan
jenazah mutilasi, telebih dahulu penulis menjelaskan tentang arti jenazah
mutilasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mutilasi ialah proses atau
tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan. Mutilasi
dilihat dari Ilmu Pengetahun adalah kebiasaan merusakkan bagian-bagian
tertentu dari tubuh, misalnya menanggalkan gigi dan memotong jari sebagai
tanda korban.37

Adapun yang dimaksud dengan jenazah mutilasi, dengan mengacu pada


penjelasan tentang arti mutilasi di atas, adalah jenazah yang terpotong-potong
beberapa bagian dari suatu kejadian, seperti pembunuhan atau kecelakaan yang
menyebabkan tubuhnya terpencar atau terpotong-potong.

Dalam prosesi penyelenggaraan potongan tubuh jenazah, banyak perbedaan


pendapat dari para ulama’, dalam pengurusan jenazah mutilasi penulis membagi
beberapa pendapat diantara para fuqaha ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu:

1. Golongan Pertama
Golongan pertama berpendapat bahwa mayat yang tidak lengkap
tubuhnya, termasuk di dalamnya mayat yang termutilasi tetap dimandikan,
dikapankan, dan disalatkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada bedanya
mayat yang tubuhnya lengkap dengan yang ada hanya anggota badannya
saja. Di dalam pengurusan jenazah, pendapat yang pertama ini mewajibkan
memandikan anggota tubuh si mayat yang terdapat itu seperti wajibnya
memandikan mayat yang lengkap anggota badannya.

37
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997) cet. Ke-1, hal. 695

20
Pendapat ini dikemukan oleh Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan
Ibnu Hazm.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i berpendapat sebagaimana yang diriwayatkan
Imam Baihaqi, bahwa; Iman Syafi’i berkata:

ِ ِ ِ َّ ‫ب لّغَنَا أ‬
‫اعلَْي َها‬ َ ‫َن طَائ ًرا أَلْ َقى يَ ًدا ِِبَ َّكةَ ِِف َوق َْعةَ اْلَ َم َل فَ َع َرفُ ْو َها ِِب ْْلَا ِِت فَغَسلُ ْو َها َو‬
َ ‫صلُّ ْو‬ َ
38 ِ
َّ ‫ضرَ ِم َن‬
‫الص َحابَة‬ َ ِ‫َوَكا َن َذل‬
َ ‫ك ِِبُ ْح‬
Telah sampai kepada kami keterangan, bahwa seekor burung telah
menjatuhkan sepotong tangan di Makkah pada waktu perang Jamal, lalu
mereka mengenalinya dari cincinnya, maka mereka memandikannya dan
menyalatinya. Dan adalah yang demikian itu disaksikan para sahabat.

39
"‫صلَّى ُع َم ُر َعلَى ِعظَ ٍام‬ َ ‫"صلَّى اَبُ ْو اَيُّ ْو‬
َ ‫ َو‬,‫ب َعلَى َر ُج ٍل‬ َ :‫ال اَ ْْحَ ُد‬
َ َ‫َوق‬
Imam Ahmad, berkata: “Abu Ayyub menshalatkan sepotong kaki, sedang
Umar menshalatkan tulang-belulang”

‫ َوُك ِف َن اَِّال اَ ْن‬,‫س ُل‬ ِ ِ ِ َّ َ ُ‫ َو ي‬:‫ال اِبْن َح َزٍم‬


َ ْ‫ َو يُغ‬,‫صلى َعلَى َما َو َج َد م َن الْ َم ْيت الْ ُم ْسل ِم‬ ُ َ َ‫َوق‬
.‫يَ ُك ْو َن ِم ْن َشه ْيد‬
40 ٍ ِ

Dan menurut Ibnu Hazm: ”hendaklah dishalatkan apa yang ditemukan dari
tubuh mayat muslim, juga hendaklah dimandikan, dan dikafani. Kecuali jika
berasal dari orang mati syahid. Katanya pula hendaklah dalam
menshalatkan sebagian tubuh mayat itu, diniatkan menshalatkan
keseluruhannya, baik jasad maupun roh”
2. Golongan Kedua
Golongan kedua berpendapat bahwa; jika yang terdapat itu lebih dari
separuh badan mayat, maka haruslah dimandikan, dikapani, dan dishalatkan,
namun jika tidak, maka tidak wajib dimandikan dan dishalatkan. Pendapat

38
Imam Baihaqi, As-Sunanun Shaghir jilid 2, (Mansurah: Darul Waffa, 1989) hal. 30
39
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Darul Hadist, 1365 H) hal. 339
40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Darul Hadist, 1365 H) hal. 339

21
ini dikemukakan oleh Abu Hanifah dan Imam Malik. Pendapat Abu Hanifah
dan Imam Malik ini adalah semata-mata Ijtihad mereka.
Abu Hanifah dan Imam Malik, berkata :

‫ َواَِّال فَ ََل‬,‫ص ِلّي َعلَْي ِه‬ ِ ِ ِ ِ‫ اِ ْن و ِج َد اَ ْكثَ ر ِمن ن‬: ‫ال اَب و حنِي َفة و مالِك‬
ُ ‫س َل و‬
ّ ُ‫صفه غ‬
ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ‫" َوق‬
"ً‫صَلَة‬ ِ
َ ‫ َوَال‬,‫س َل‬
ّ ُ‫غ‬
41

“jika ditemukan lebih dari separuhnya, hendaklah dimandikan dan


dishalatkan, dan jika kurang maka tidak perlu dimandikan dan dishalatkan”

B. Prosesi Pembongkaran Makam


Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya mengenai
pembongkaran kuburan, pada bab ini penulis akan melampirkan landasan
hukum berupa al-qur’an dan hadist terkait pembongkaran makam/kuburan,
serta penulis akan menjabarkan pembongkaran makam lebih mendalam lagi
berupa pendapat-pendapat ulama.

B.1.Landasan Hukum

1) Al-Qur’an
Q.S. Al-Isra’ ayat 70,

‫ضل ْٰن ُه ْم َع ٰلى‬ ِ ‫ولََق ْد َك َّرْمنَا ب ِِن ٰا َدم و َْحَل ْٰن ُهم ِِف الْ َِْب والْب ْح ِر ورَزق ْٰن ُهم ِمن الطَّيِّٰب‬
َّ َ‫ت َوف‬ َ ّ ْ ََ َ َ ّ ْ ََ َ َ
ِ ‫َكثِ ٍْْي ِِّمَّن َخلَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ض ْي ًَل‬ ْ
"Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang
Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna."

Penafsirannya:
(Dan sesungguhnya telah Kami muliakan) Kami utamakan (anak-anak
Adam) dengan pengetahuan, akal, bentuk yang paling baik, setelah
wafat jenazahnya dianggap suci dan lain sebagainya (dan Kami angkut

41
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Cairo: Darul Hadist, 1365 H) hal. 339

22
mereka di daratan) dengan menaiki kendaraan (dan di lautan) dengan
menaiki perahu-perahu (dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan) seperti hewan-hewan ternak dan hewan-hewan liar
(dengan kelebihan yang sempurna.) Lafal man di sini bermakna maa;
atau makna yang dimaksudnya menurut bab yang berlaku padanya.
Maknanya menyangkut juga para malaikat; sedangkan makna yang
dimaksud adalah pengutamaan jenisnya, dan tidak mesti semua individu
manusia itu lebih utama dari malaikat karena mereka lebih utama dari
pada manusia yang selain para nabi.42

Q.S. At-Tiin ayat 4

‫س ِن تَ ْق ِوِْي‬ ْ ‫سا َن ِ ِْف أ‬


َ ‫َح‬ ِْ ‫لََق ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ْ‫اْلن‬
“Maka telah kami ciptakan manusia dengan sebaik-bentuk”.

Penafsirannya: (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia)


artinya semua manusia (dalam bentuk yang sebaik-baiknya) artinya baik
bentuk atau pun penampilannya amatlah baik.43

2) Hadist

ِ ِّ‫ َكسر َعظ ِْم الْمي‬:‫ال‬


‫ت‬ ِ َّ َ ‫َِّب‬ ِ
َّ ‫ضي هللاُ َع ْن َها أ‬
َّ ِ‫َن الن‬ ِ
َ ُ ْ َ َ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسلَ َم ق‬ َ ‫َع ْن َعائ َشةَ َر‬
44
ً‫َك َك ْسرهِ َحيّا‬
Dari Aisyah radhiaullahu anha bahwa Nabi Salallahu alaihi wasalam
bersabda, “Merusak tulang seorang yang mati seperti halnya
merusaknya ketika hidup”. (H.R. Abu Dawud)

42
Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, Terjemah Tafsir
Jalalain 30 Juz. Pdf. hal. 176
43
Ibid, hal. 395
44
Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats Assajastani, Sunan Abu Dawud, (Arab Saudi: Baitu Al-
Afkari Adduru Liyah) hal. 362

23
Ustadz Abu Utsman Kharisman mensyarahkan hadist ini dengan
syarah yang beliau tulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Syarh
Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-8)” yaitu:

Mematahkan tulang mayit dosanya sama dengan mematahkan tulang


seorang yang masih hidup. Artinya, meski mayit tidak lagi bisa
merasakan sesuatu, dosa mematahkan tulangnya sama dengan dosa
mematahkan tulang orang yang masih hidup. Karena itu, dalam
penyelenggaraan jenazah hingga dikuburkan kita harus berhati-hati agar
mayit diperlakukan dengan lembut dan baik.45

‫ُِب بَ ْع َد َما أُ ْد ِخ َل ُح ْف َرتَهُ فَأ ََم َر بِ ِه‬ َِّ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم عب َد‬
ٍَّ ‫اَّلل بْ َن أ‬ ْ َ َ َ َ ْ َ َُّ ‫صلَّى‬
َِّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫أَتَى َر ُس‬
ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫ضعهُ َعلَى رْكب تَ ي ِه ونَ َف‬
َ َ‫ث َعلَْيه م ْن ِريقه َوأَلْب‬
46
ُ‫يصه‬
َ ‫سهُ قَم‬ َ ْ َُ َ َ ‫ِج فَ َو‬
َ ‫فَأُ ْخر‬

"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi


kuburan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, dan memintanya
untuk dikeluarkan lagi, sehingga diletakkan di lututnya dan ditiupnya
dengan ludahnya dan diselimuti dengan pakaiannya." (HR Bukhari dan
Muslim)

Berkata Ibnu Hajar dalam kitab Fathu Al Bari: “ Hadits ini


menunjukkan kebolehan membongkar kuburan karena maslahat mayit,
seperti menambahkan barakah kepadanya (dalam hal ini karena tiupan
dan dikenakan baju Rasulullah saw) “47

B.2. Pendapat Ulama

Pada dasarnya membongkar makam itu hukumnya haram


sebagaimana yang disebutkan oleh Abdul Mukhlis yang dikutipnya dari
kitab al-Jamal ‘alal Minhaj yaitu :

45
https://salafy.or.id/syarh-kitab-al-janaiz-min-bulughil-maram-bag-ke-8/ | Salafy.or.id akses
tanggal 29 November 2020
46
Imam Hafiz Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Bukhari, Baitul Ifkari Dauliyah
Linnasyri, pdf
47
https://umma.id/article/share/id/1002/253480 akses tanggal 29 November 2020

24
ٍ ْ ‫ض بَ ْع َد َدفْنِ ِه لِنَ ْق ٍل َوغَ ِْْيهِ َكتَ ْك ِف‬ َ ‫ْبةِ بِتِل‬
ِ ‫ْك اْال ْر‬ ِ ِ
‫ي‬ َ ْ ‫شهُ قَ ْب َل اْلبَ لَى ع ْن َد اَ ْه ِل اْْل‬
ُ ‫َو َح َرُم نَ ْب‬

‫ض ُرْوَرةٍ َك َدفْ ِن بَِلَ طُ ْه ٍر ِم ْن غُ ْس ٍل اَ ْو تَيَ ُّم ٍم َو ُه َو‬


َ ِ‫َن فِ ْي ِه َه ْتكاً ِِلُْرَمتِ ِه إِالَّ ل‬
َّ ‫صَلَةٍ َعلَْي ِه ِِل‬
َ ‫َو‬

.ُ‫ِِمَّ ْن ََِيبُ طَ ْه ُره‬


Haram membongkar kembali mayat setelah dikuburkan sebelum mayat
tersebut diyakini sudah hancur sesuai dengan pendapat para pakar tentang
tanahnya, untuk dipindahkan ataupun yang lainnya, seperti mengkafani
dan mensholati, karena dapat merusak kehormatan mayat kecuali darurat,
seperti dikuburkan tanpa disucikan, baik dimandikan ataupun tayamum,
sedangkan mayat tersebut merupakan orang yang harus disucikan.48
Dalam Kitab A- Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Khamsah karangan
Muhammad Jawwad Mughniyyah disebutkan, semua ulama mazhab
sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik mayat tersebut
masih anak kecil ataupun orang dewasa, gila maupun berakal, kecuali untuk
mengetahui ada tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian ulang itu
bertujuan untuk kemaslahatan mayat.49
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad memperbolehkan
nembongkar makam dengan tujuan tertentu, seperti:
1) mengeluarkan harta yang terkubur bersama jenazah.
2) mengarahkan jenazah ke arah kiblat.
3) memandikan jenazah jika memang belum dimandikan.
4) memperbaiki kain kafannya.
Dengan syarat selama proses pembongkarannya tidak menjadikan
jenazah hancur atau rusak. Jika pembongkaran dikhawatirkan akan

48
https://abdoelmukhlis.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-menggali-kuburan.html
akses tanggal 29 November 2020
49
https://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/10/07/19/dunia-
islam/fatwa/17/01/13/ojps95313-bolehkah-membongkar-kuburan akses tanggal 27 November
2020, pukul 3:16 AM

25
menjadikan jenazah rusak, maka pembongkaran tidak boleh
dilakukan.50
menurut Abdul Wahhab Khalaf ada beberapa alasan yang
membolehkan pembongkaran kuburan, yaitu: Pertama, si mayit dikapani
dengan kain kapan hasil rampasan dan pemiliknya enggan menerima nilai
kain kain kapan tersebut. Kedua, si mayit dimakamkan ditanah hasil
rampasan dan pemiliknya tidak merelakan si mayit berada di tempat
tersebut. Ketiga, ada harta yang dimakamkan bersama si mayit, baik
disengaja ataupun tidak, baik harta tersebut milik si mayit ataupun milik
orang lain, entah banyak atu sedikit, meski hanya satu dirham, baik si mayit
sudah membusuk ataupun tidak. Namun dalam hal ini Imam Malik
mengecualikan beberapa hal, diantaranya:
1) Jikalau harta tersebut milik si mayit, makam tidak dibongkar
dengan syarat hartanya sedikit.
2) Jikalau mayat sudah membusuk maka, makamnya tidak
dibongkar.
3) Jika harta tersebut bukan milik si mayit, harta serupa diberikan
kepada pemiliknya yang diambilkan dari harta warisan, seperti
dirham dan dinar.51
C. Analisis Penulis
Setelah penulis mengemukakan beberapa pendapat ulama mengenai
kebolehan membongkar makam dan penulis juga telah memaparkan dalil
berupa Al-Qur’an dan hadist mengenai kehormatan jasad seorang muslim. Serta
mencermati dan menganalisa pokok permasalah dan pembahasan karya tulis ini,
maka penulis berpendapat bahwa boleh membongkar makam dengan tujuan
untuk kemaslahatan dan keadaan darurat, diantaranya:
1) Mengeluarkan harta yang terkubur bersama jenazah.
2) Mengarahkan jenazah kearah kiblat.
3) Memandikan jenazah jika memang belum dimandikan

50
Sayyid Sabiq (jilid 2), Op.Cit., hal.127
51
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., hal. 295

26
4) Memperbaiki kain kapannya.
Hal diatas juga harus mempertimbangkan kondisi jenazah yang ada didalam
kubur, apakah jenazah sudah membusuk atau belum.
Berdasarkan uraian pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad
diatas penulis dapat menghubungkan hasil kesimpulan dari masalah yang
penulis bahas dengan metode mafhum muwaffaqoh. Yaitu, “mengembalikan
harta jenazah yang tertinggal diluar kubur” merupakan mafhum muwafaqoh
dari “mengeluarkan harta yang terkubur bersama jenazah“, yang mana
mafhumnya lebih utama dari segi hukum dari pada yang tertulis. Jika
mengeluarkan harta saja diperbolehkan membongkar kubur, tentunya
mengembalikan potongan tubuh mayat lebih dibolehkan, karena anggota badan
adalah harta atau hak-hak yang harus ada pada mayat.
Untuk memperkuat pemahaman maka penulis akan menjelaskan tentang
mafhum muwaffaqoh,

‫ت َع ْنهُ ُم َوافِ ًقا لِل َْم ْنطُْو ِق به‬


52 ِ ِ
ُ ‫(م ْف ُه ْو ُم ال ُْم َوافَ َق ِة) َو ُه َو َما َكا َن ال َْم ْس ُك ْو‬
َ

Mafhum muwaafaqoh adalah apa-apa yang mafhumnya sesuai dengan yang


tertulis. Mafhum muwaafaqoh ada 2;
1. Fahwal Khitob
Yaitu apabila mafhumnya lebih utama dari segi hukum dari pada yang
tertulis. Contohnya: seperti larangan memukul kedua orang tua yang
merupakan mafhum muwafaqoh dari firman Allah,

ٍّ ُ‫فََلَ تَ ُق ْل ََلَُما ا‬...


‫ف‬
“......maka jangan katakan ‘ah’ kepada keduanya”
Penjabarannya: memukul yang merupakan mafhum muwaafaqoh dari
kata-kata ‘ah’ pada orang tua lebih utama atau lebih berat hukumnya dari
pada berkata ‘ah’ itu sendiri. Oleh karena itu disebutlah ia Fahwal Khitob.

52
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,) hal.81

27
2. Lahnul Khitob
Adalah apabila mafhumnya sama bobotnya dari segi hukum dengan
yang tertulis. Contonhya, larangan membakar harta anak yatim yang
merupakan mafhum muwaffaqoh dari firman allah pada surat An-Nisa’
ayat 10 yaitu:

....‫ال الْيَ تَا َمى ظُل ًْما اِ ََّّنَا َيْ ُكلُ ْو َن ِ ِْف بُطُْوَنِِ ْم ََّن ًرا‬
َ ‫اِ َّن الَّ ِذيْ َن َيْ ُكلُ ْو َن اَ ْم َو‬
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya...”
Penjabarannya: membakar harta anak yatim dengan memakan harta
anak yatim hukumnya sama berat, karena keduanya sama-sama
menghabiskan harta anak yatim, baik dengan membakar maupun
memakan, oleh karena itu disebut lah dia dengan Lahnul Khitob.

28
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dalam bab ini penulis
akan mengemukakan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Kewajiban mengurus jenazah mutilasi sama halnya dengan wajibnya
mengurus jenazah normal.
2. Kewajiban memandikan, mengapankan, menyalatkan dan
menguburkan potongan tubuh jenazah mutilasi yang ditemukan sama
wajibnya dengan memandikan, mengapankan, menyalatkan dan
menguburkan jenazah dalam keadaan utuh.
3. Membongkar kuburan pada dasarnya haram, kecuali jika dalam
keadaan dan kondisi yang darurat.
4. Membongkar kuburan untuk mengembalikan potongan tubuh jenazah
mutilasi (harta mayat) yang baru ditemukan diperbolehkan, karena hal
ini sama dengan diperbolehkannya membongkar kubur untuk
mengambil harta orang lain yang terkubur didalamnya .

B. Saran
Diakhir uraian dalam karya tulis ini, penulis ingin memberikan saran
yang kiranya dapat menjadi perhatian, pedoman dan pegangan pada masa
yang akan datang:
1. Penulis mengharapkan kepada pembaca dan khususnya kepada diri
penulis tetap mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan tentang proses penyelenggaraan jenazah, khususnya
dalam keadaan yang tidak bormal. Karena pada zaman sekarang ini
banyak kejadian-kejadian aneh yang merenggut nyawa, sehingga
kondisi dan keadaan jenazah lebih beragam dari sebelumnya.
2. Dalam memutuskan permasalahan hendaklah berdasarkan syari’at
Islam terutama Al-Qur’an dan hadts-hadits nabawi dan tidak
menyimpang dari syari’at Islam.

29
3. Marilah kita sama-sama berdo’a dan mengintropeksi diri kita agar
tidak mudah terpengaruh akan suatu hal atau aturan baru yang belum
jelas asalnya.
4. Kepada pembaca agar dapat memberikan kritik dan saran sebagai
bahan untuk mengevaluasi dan sebagai motivasi penulis untuk
menciptakan karya ilmiah yang lebih baik pada masa mendatang.

30
31

Anda mungkin juga menyukai