Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEBIDANAN PADA PEREMPUAN PESISIR

DOSEN : Arisda Candra, S.ST.,M.Tr.Keb

PERAN PEREMPUAN PESISIR TERHADAP PERILAKU


KESEHATAN DITINJAU DARI POLITIK DAN GENDER

KELAS B3 (PAMEKASAN)
PENYUSUN KELOMPOK 2:
1. ENNI SRI ASTUTIK (720640080)
2. HARIROTUR RISQIYAH (720640081)
3. HENNI ANDANURULITA (720640082)
4. INDRA WAHYUNI (720640083)
5. MASRIFAH EVALIYANA (720640084)
6. NORLAILIYA (720640085)
7. NUR DIANA PERMATA SARI (720640086)
8. UMMI FARIHAH (720640087)
9. MAMIK ERNI JOHAN (720640088)
10. SITI ROMLAH (720640101)
11. GITA DEWI MASYITHA (720640102)
12. UMROTUL AMANAH (720640105)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN (ALIH JENJANG)


UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tentang “PERAN PEREMPUAN PESISIR
TERHADAP PERILAKU KESEHATAN DITINJAU DARI POLITIK DAN
GENDER”
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat meperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Pamekasan, 21 Juni 2021


DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1

C. Tujuan........................................................................................................2

BAB II TINJUAN PUSTAKA ..............................................................................3

A. Kebijakan Global.......................................................................................3

B. Pengaruh Lingkungan Sosial, ekonomi, dan politik terhadap kebijakan

Pelayanan dan Model Asuhan.............................................................................. 4

C. Pengaruh Kebijakan Global, dan LIngkungan Sosial, Ekonomi, Politik

terhadap Kebijakan Pelayanan dan Model Asuhan..............................................5

BAB III PENUTUP ...............................................................................................8

A. Kesimpulan................................................................................................8

B. Saran..........................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan program yang kegiatannya
meneruskan agenda-agenda Milenium Development Goals (MDGs) yang dimulai pada tahun 2016-
2030 sekaligus menindaklanjuti program yang belum selesai. MDGs dalam bidang kesehatan yang
menjadi sorotan adalah sebaran balita kurang gizi di Indonesia, proporsi balita pendek, status gizi
anak, tingkat kematian ibu, pola konsumsi pangan pokok, dan sebagainya. MDGs berakhir pada
tahun 2015 dan digantikan oleh SDGs. Dalam agenda SDGs yang telah disepakati adanya 17 tujuan
dan 169 target yang harus tercapai pada tahun 2030. Diantara tujuan tersebut, target penurunan AKI
masuk dalam tujuan ke tiga, yakni pada tahun 2030 target penurunan AKI secara global adalah 70
kematian per 100.000 kelahiran hidup. Saat ini, pemerintah Indonesia menargetkan Angka
Kematian Ibu (AKI) melahirkan 306 per 100.000 kelahiran pada tahun 2019. AKI merupakan salah
satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kematian ibu adalah kematian
seseorang wanita terjadi saat hamil, bersalin, atau 42 hari setelah persalinan dengan penyebab yang
berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap persalinan. WHO memperkirakan 800 orang
perempuan meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan dan proses kelahiran atau sekitar
99 % dari seluruh kematian ibu terjadi di negara berkembang. Menurut laporan WHO tahun 2014,
AKI di dunia sebanyak 289.000 jiwa. Khusus AKI di Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa
meliputi Indonesia 214 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 170 per 100.000 kelahiran
hidup, Vietnam 160 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 44 per 100.000 kelahiran hidup,
Brunai 50 per 100.000 kelahiran hidup dan Malaysia 30 per 100.000 kelahiran hidup

Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa kematian ibu adalah kematian yang


disebabkan kehamilan, melahirkan atau nifas, bukan karena kecelakaan. AKI dihitung per 100.000
kelahiran hidup. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dalam
Kementerian Kesehatan RI (2012) menyebutkan bahwa AKI sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Sementara pada tahun 2010, AKI nasional adalah 214 per 100.000 kelahiran hidup. Salah
satu cara untuk menurunkan AKI di Indonesia adalah dengan persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan yang terlatih dan melakukan persalinan difasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga
kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan
bidan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 90,88%. Cakupan ini terus
menerus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu jika dilihat dari cakupan persalinan yang
ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2013, tiga
provinsi dengan cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah dengan cakupan 99,89%, Sulawesi
Selatan 99,78%, dan Sulawesi Utara 99,59%. Sedangkan tiga provinsi dengan cakupan terendah
adalah Papua 33,31%, Papua Barat (73,20%), dan Nusa Tenggara Timur (74,08%).

Penilaian terhadap kinerja upaya kesehatan ibu penting untuk dilakukan pemantauan. Hal
tersebut dikarenakan (AKI) merupakan salah satu indikator yang peka dalam menggambarkan
kesejahteraan Negara. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012
angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu
faktor tingginya AKI di Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan
pertolongan oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen
persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan dengan hasil survei SDKI
bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat dari 66 persen dalam
SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka ini relatif rendah apabila
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand di mana angka
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hampir mencapai 90%.

Apabila dilihat dari proyeksi angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan nampak
bahwa ada pelencengan dari tahun 2004 dimana angka pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan dibawah dari angka proyeksi, apabila hal ini tidak menjadi perhatian kita semua maka
diperkirakan angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 90 % pada tahun 2010
tidak akan tercapai, konsekuensi lebih lanjut bias berimbas pada resiko angka kematian ibu
meningkat.

Kondisi geografis, persebaran penduduk dan sosial budaya merupakan beberapa faktor
penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap tenaga pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
dan tentunya disparitas antar daerah akan berbeda satu sama lain (Kemenkes RI, 2014).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan peran perempuan pesisir?
2. Apa yang dimaksud dengan perilaku kesehatan?
3. Bagaimana peran perempuan pesisir terhadap perilaku kesehatan ditinjau
dari politik dan gender?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi peran perempuan pesisir
2. Untuk mengetahui definisi perilaku kesehatan.
3. Untuk mengetahui peran perempuan pesisir terhadap perilaku kesehatan
ditinjau dari politik dan gender.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Peran Perempuan Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang heterogen. Nelayan pesisir


merupakan bagian dari masyarakat nelayan kesulitan melepaskan diri dari
belenggu kemiskinan karena mereka didera keterbatasan di bidang kualitas
sumber daya manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar dan modal.
Kebijakan dan implementasi program-program pembangunan untuk masyarakat
di kawasan pesisir hingga saat ini masih belum optimal dalam memutus mata
rantai kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini disebabkan
oleh porsi kebijakan pembangunan bidang sosial, ekonomi dan budaya pada
masyarakat nelayan cukup kompleks (Fargomeli 2014).
Strategi masyarakat nelayan dengan melakukan pembagian tugas (division
of labor) antara suami (nelayan) dengan isteri (perempuan pesisir) dalam
memenuhi kebutuhan keluarga cukup efektif dijalankan walaupun masih
terdapat ketimpangan beban kerja yang lebih besar pada perempuan pesisir.
Melalui diversifikasi profesi, perempuan pesisir sangat memegang peranan ‘di
darat’ baik dalam menentukan urusan keluarga hingga mengurus kepentingan
masyarakat di sekitarnya dengan berkiprah sebagai pemimpin masyarakat di
lingkungan Rukun Tetangga (RT).
Imron (2003) menyatakan nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang
kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan
penangkapan ataupun budi daya. Nelayan umumnya tinggal di pinggir pantai,
sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Kusnadi
(2004) menyatakan secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat
yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan
transisi antara wilayah darat dan laut. Sastrawidjaya (2002) menyatakan nelayan
adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di Indonesia para
nelayan biasanya bermukin di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas
nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal
didesa-desa atau pesisir.
Sedangkan keluarga sebagai nuclear family, yaitu yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak yang secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam
melaksanakan peranan bagi anak-anaknya. Namun dalam perbicaraan mengenai
kesehatan keluarga disini, maka akan lebih memfokuskan peranan wanita dalam
keluarga sebagai orang tua walaupun tentunya keikutsertaan bapak tidak dapat
diabaikan begitu saja. Wanita memainkan peran yang penting dengan
mengaitkannya dengan kesehatan anak sebagai penerus pembangunan.
Wanita sebagai seorang ibu haruslah bisa mengusahakan penyediaan
kesehatan yang optimal bagi keluarganya terutama anak-anaknya sejak dini.
Anak-anak ini berada dalam lingkup keluarga dimana wanita sebagaimana
diungkapkan oleh Soetrisno (1997) berperan sebagai role models bagi anak-
anaknya untuk hidup sehat dengan cara menganjurkan anggota keluarganya
untuk mau memperhatikan kesehatan mereka masing-masing dan mendorong
anggota keluarganya untuk terbiasa dengan hidup
sehat. Dalam peningkatan derajat kesehatan perempuan sebagai provider dalam
kesehatan, atau penyedia kesehatan yang dalam kapasitasnya adalah orang yang
menjaga, merawat, memutuskan dalam upaya mencari pengobatan bagi anggota
keluarganya terutama pada anak-anak mereka.
Perempuan pesisir sebagai tenaga kesehatan non formal menganjurkan dan
bertindak kepada anggota keluarga untuk senantiasa menjaga kesehatan, hidup
dengan cara yang sehat, tentunya akan memperkecil resiko akan terjangkitnya suatu
penyakit terutama pada anak-anak.

B. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan merupakan tindakan individu, kelompok dan organisasi
termasuk perubahan sosial, pengembangan, dan implementasi kebijakan,
peningkatan keterampilan koping, dan peningkatan kualitas hidup. Perilaku
kesehatan juga didefinisikan sebagai atribut pribadi seperti keyakinan, harapan,
motif, nilai, persepsi, dan nilai kognitif lainnya, karakteristik kepribadian, termasuk
keadaan dan sifat afektif dan emosional, dan pola perilaku, tindakan dan kebiasaan,
dan kebiasaan terbuka yang terkait dengan pemeliharaan kesehatan, pemulihan
kesehatan, dan peningkatan kesehatan.
Casl dan Cobb mendefinisikan tiga kategori perilaku kesehatan (Glanz, Lewis
and Rimer, 2008):
1. Preventive health behaviour, dimana Setiap aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang yang meyakini dirinya sehat dengan tujuan mencegah atau
mendeteksi penyakit dalam keadaan asimtomatik. (Wacker, 1990)
2. Illness behaviour, dimana Setiap aktivitas yang dilakukan seseorang yang
merasa dirinya sakit, untuk menentukan keadaan kesehatan dan
menemukan obat yang sesuai. Illness behaviour umumnya dianggap
sebagai tindakan yang diambil seseorang setelah gejala muncul dan
dirasakan. (Wacker, 1990)
3. Sick role behaviour, dimana Setiap aktivitas yang dilakukan seseorang
yang menganggap dirinya sakit, dengan tujuan untuk sembuh, termasuk
menerima perawatan dari layanan kesehatan. Menurut Parsons ada empat
komponen sick role, yaitu (Wacker, 1990):
a. Seseorang tidak bertanggung jawab atas penyakitnya
b. Penyakit memberi individu alasan yang sah untuk tidak berpartisipasi
dalam tugas dan kewajiban.
c. Seseorang yang sakit diharapkan menyadari bahwa penyakit
merupakan kondisi yang tidak diinginkan dan mereka harus dimotivasi
untuk sembuh.
d. Sembuh diasumsikan terkait dengan mencari bantuan layanan
kesehatan.

C. Peran Perempuan Pesisir terhadap Perilaku Kesehatan ditinjau dari Politik


dan Gender
1. Peran Perempuan Pesisir terhadap Perilaku Kesehatan ditinjau dari Politik

Keterwakilan perempuan di dalam ranah politik memiliki peran yang sangat


penting dalam membangun sistem politik yang berkeadilan gender. Hal ini
disebabkan karena apabila keterwakilan perempuan dalam ranah politik diabaikan
maka mekanisme pembuatan kebijakan publik diserahkan sepenuhnya kepada laki-
laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender.
Ada beberapa alasan pentingya keterwakilan perempuan dalam bidang politik
diantaranya yaitu pertama, perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami
dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu dikriminasi, marginalisasi, kesehatan
reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan sebagainya.
Kedua, keterwakilan perempuan dalam bidang politik juga diharapkan mampu
mencegah kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi
permasalahan strereotipe terhadap perempuan, diskrimininasi di bidang hukum,
kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi di dunia karier dan eksploitasi lain yang
terjadi kepada perempuan.
Ketiga,keterwakilan perempuan dalam politik juga diharapkan mampu
membawa nuansa baru dalam panggung politik. Panggung politik saat ini
cenderung maskulin. Sehingga kehadiran perempuan diharapkan dapat
mengutamakan kedamaian dalam perbedaan, membawa nilai-nilai kelembutan,
mengatasi perkelahian dengan berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.
Lebih dari semua yang telah dipaparkan di atas, keterwakilan perempuan
dalam politik merupakan manifestasi dari pemenuhan hak kewarganegaraannya
(Partini 2014: 29). Salah satu hak yang dianugerahkan oleh negara kepada seorang
warga negara adalah hak untuk berpartisipasi dalam bidang politik yang
mekanismenya telah diatur dalam perundang-undangan. Sebagai upaya untuk
menghasilkan kebijakan yang holistik dan pro gender, maka pemerintah membuat
peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan partisipasi perempuan
dalam ranah politik yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No 2
tahun 2011 tentang Partai Politik. Dari beberapa produk hukum diatas menyatakan
bahwa perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
berpartisipasi sebagai aktor politik yang berperan dalam menentukan kebijakan
publik
Menurut Retno (2012) keluarga mempunyai peran dan tugas di bidang
kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yang meliputi mengenal masalah
kesehatan, memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga, perawatan keluarga,
memodifikasi lingkungan keluarga dan menggunakan pelayanan kesehatan. Nasrul
(dalam Idah, 2012) menyebutkan sesuai fungsi pemeliharaan kesehatan keluarga
dengan pemenuhan kebutuhan primer kesehatan maka, perilaku kesehatan terhadap
sakit dan penyakit sesuai dengan tingkat-tingkat pemberian pelayanan kesehatan
yang menyeluruh, yaitu pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pencarian
pengobatan dan pemulihan kesehatan.
Mengenal masalah kesehatan, kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang
tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak berarti dan
karena kesehatanlah seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang
tua perlu mengenal keadaan sehat dan perubahan-perubahan yang dialami anggota
keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung akan menjadi perhatian dari orang tua atau pengambil keputusan dalam
keluarga.
2. Peran Perempuan Pesisir terhadap Perilaku Kesehatan ditinjau dari Gender

Narwoko dan Suyanto (2004) menyatakan bahwa gender adalah pelabelan


terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan
menimbulkan ketidakadilan. Dalam budaya patriarki, konsep gender
membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan konstruksi sosial membuat
perempuan terkonsep sebagai perempuan yang lemah, tidak berdaya dan tidak
tegas membuat laki-laki menjadi pihak dominan. Laki-laki dikondisikan selalu
benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan harus siap melindungi
perempuan, hingga yang terjadi adalah penempatan kekuasaan menjadi milik
laki-laki.
Konsep gender menimbulkan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki
di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Perempuan memiliki peran
dan tanggungjawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah
tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggungjawab dalam hal
pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-
laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian
pekerjaan secara seksual. Dalam hal ini, perempuan hamil, melahirkan dan
menyusui lebih dihubungkan dengan pekerjaan- pekerjaan reproduktif.
Pekerjaan- pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan
tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan
dengan pekerjaan- pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor
publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik
perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk
lemah. Anggapan itu melahirkan nilai- nilai yang menempatkan perempuan
sebagai makhluk “kelas dua” lengkap dengan pencitraan-pencitraan yang tidak
semuanya menguntungkan perempuan, bahkan sebaliknya. Nilai-nilai itulah
yang dianut, disosialisasikan dan dipraktekkan secara keseharian, sekaligus
mempengaruhi ketidakseimbangan relasi gender yang merugikan perempuan.
Griffin (2000) menyatakan tentang Muted Theory (kelompok yang
terbungkam), dimana kaum perempuan sulit untuk menyampaikan keberatannya
dalam sebuah percakapan karena kontrol komunikasi yang dikuasai kaum
patriarki cenderungtidak menguntungkan perempuan, sehingga dalam banyak
diskusi di ruang publik, kaum perempuan lebih memilih bungkam (diam).
Teori Nature menjelaskan bahwa peran perempuan dan laki-laki dibedakan
atas dasar faktor biologis, sedangkan Teori Nurture merupakan salah satu teori
gender yang meyakini bahwa adanya perbedaan antar perempuan dan laki-laki
pada hakekatnya adalah bentukan masyarakat melalui konstruksi sosial budaya,
sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu
menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan
kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan
sebagai proletar (Puspitawati 2009).
Dinyatakan pula bahwa faktor-faktor sosial dan budaya dapat menciptakan
atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu. Hal
tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat terulang
secaraturun temurun(Lippa 2005).Budaya patriarki dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem yang bercirikan laki-laki sebagai contoh dalam keluarga, misalnya:
kedudukan isteri tergantung suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada
ayah atau saudara laki-laki, dan seterusnya.
Asumsi dasar dari pendekatan empowerent berkaitan dengan
hubungan kekuasaan dan pembangunan. Pendekatan ini berusaha
mengidentifikasi kekuasaan dalam rangka meningkatkan kemandirian dan
kekuatan internal perempuan dengan cara memberikan kekuasaan kepada
perempuan melalui pendistribusian kembali kekuasaan di dalam dan di antara
masyarakat. Pada salah satu studi hasil penelitian oleh Ikhsan Fuadi dan Titien
Yusnita tahun 2016, tentang PERSEPSI MASYARAKAT PESISIR
TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN NELAYAN DI PULAU
PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU menyatakan bahwa proses pemilihan
Ketua RT di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang lebih mempercayai
perempuan sebagai pemimpin menunjukkan warganya menilai bahwa
kepemimpinan perempuan di Pulau Pramuka lebih fokus dan terorganisir
dibandingkan pemimpin laki-laki. Dalam hal kinerja dan pembukuan, hasil kerja
perempuan lebih rapi dan memuaskan. Selain itu, Ketua RT berperan juga
sebagai opinion leader ketika warga membutuhkan solusi atau sekedar
berkonsultasi. Informasi kesehatan bagi masyarakat Pulau Pramuka
disampaikandan disosialisasikan setiap bulan, misalnya informasi
penanggulangan dan pencegahan penyakit Demam Berdarah (DB), sosialisasi
menu makanan sehat untuk anak-anak, sosialisasi cara mencuci tangan dengan
benar agar bersih dari kuman, kegiatan PAPSMEAR untuk ibu rumah tangga,
informasi mengenai BAHAYA NARKOBA untuk remaja, informasi kesehatan
tentang KB Pria dan masih banyak program-program lainnya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang heterogen. Nelayan pesisir


merupakan bagian dari masyarakat nelayan kesulitan melepaskan diri dari belenggu
kemiskinan karena mereka didera keterbatasan di bidang kualitas sumber daya
manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar dan modal.
keluarga sebagai nuclear family, yaitu yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak yang secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam melaksanakan
peranan bagi anak-anaknya.
Wanita sebagai seorang ibu haruslah bisa mengusahakan penyediaan
kesehatan yang optimal bagi keluarganya terutama anak-anaknya sejak dini.
Perempuan pesisir sebagai tenaga kesehatan non formal menganjurkan dan
bertindak kepada anggota keluarga untuk senantiasa menjaga kesehatan, hidup dengan
cara yang sehat, tentunya akan memperkecil resiko akan terjangkitnya suatu penyakit
terutama pada anak-anak.

B. SARAN
Banyak kekurangan dari isi makalah ini, oleh karena itu penulis berharap
penulis selanjutnya dapat memperbaiki penulisan makalah ini, dan penulis
membutuhkan banyak kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
peningkatan kualitas makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Y. 2003. Mengenal Asuransi-Review Utilisasi, Manajemen Klaim dan Fraud.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia.

Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo.
Setiadi, Elly M. Dan Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Lippa, Richard A. 2005. Gender, Nature, and Nurture. New Jersey [US] : Lawrence Erlbaum
Associates Inc.
Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai