Anda di halaman 1dari 2

Hak Eksklusif Beragama Sebagai Akar Dari Tuduhan Menyimpang Sebagian besar

penganiayaan terhadap minoritas agama dalam Islam di Indonesia telah dipicu oleh
sentimen agama antara kelompok Islam ortodoks arus utama kelompok-kelompok
minoritas dan agama minoritas itu sendiri.
Sentimen kebencian diperburuk tidak hanya oleh sistem negara, yang secara hukum dan
politik mengecam agama minoritas dalam Islam dengan menampilkan stereotip negatif
dan antipati atau antipati atau permusuhan terhadap minoritas heterodoks, tetapi
juga oleh kondisi budaya.
Salah satu benih ketidakpuasan dari mana kebencian mekar adalah klaim Muslim
ortodoks arus utama yang menyatakan bahwa karakter agama minoritas dalam Islam
adalah eksklusif.
Karakter eksklusif dari forum externum - kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan
seseorang dengan cara yang dipilihnya - bagaimanapun juga dilindungi oleh hukum hak
asasi manusia internasional.
Dengan kata lain, hukum hak asasi manusia internasional menegaskan bahwa setiap
individu memiliki kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan agama mereka dengan cara
yang mereka pilih tanpa dihalangi oleh orang lain.
Namun, hal ini umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai
konsep hukum yang cenderung mempromosikan dan melindungi hak-hak individu yang
eksklusif.
Argumen eksklusivitas menunjukkan bahwa mayoritas umumnya menuduh minoritas sebagai
menyimpang atau menyesatkan karena mereka melanggar atau menantang norma-norma
masyarakat yang sudah mapan dan karakter komunal dari praktik-praktik keagamaan.
Argumen Djojodigoeno lebih lanjut ditekankan oleh mantan menteri luar negeri
Indonesia Ali Alatas, yang berpendapat bahwa ‘‘hak-hak individu di Indonesia
individu di Indonesia diimbangi oleh hak-hak masyarakat karena hukum adat Indonesia
Indonesia secara tradisional telah menempatkan prioritas yang tinggi pada hak-hak
dan kepentingan masyarakat atau bangsa‘‘ Argumen ini menunjukkan bahwa norma dan
budaya hukum Indonesia adalah mirip dengan beberapa negara Asia yang tradisi
hukumnya secara umum mendukung otoritarianisme lunak‘‘.
Bagi banyak masyarakat Indonesia, solidaritas atas dasar kesamaan agama dan
identitas etnis sebagai sebuah ideologi telah menjadi lebih penting daripada
ekonomi, tidak hanya dalam mendefinisikan gerakan politik seperti yang ditegaskan
oleh Kahn, tetapi juga dalam menafsirkan norma-norma hak asasi manusia
internasional.
Jika eksklusivitas agama dianggap sebagai karakteristik agama yang ‘‘aneh‘‘ atau
‘‘menyimpang‘‘, maka hal ini menjadi bentuk konfrontasi sosial, atau lebih khusus
lagi konfrontasi konfrontasi hak asasi manusia; benturan antara individualisme dan
komunitarianisme.
Selain itu, konfrontasi hak asasi manusia seperti itu mungkin menghadapi perlawanan
yang kuat dari individu dan organisasi Muslim, yang kemudian menantang kapasitas
resmi atau resmi atau tidak resmi untuk melindungi kelompok-kelompok rentan ini.
Proposisi ini adalah berakar pada fakta bahwa banyak organisasi Islam di Indonesia
masih sangat mempertimbangkan kriteria Islam atau Indonesia dalam mengakui hak
asasi manusia.
Perspektif hukum ini telah ada menonjol di banyak masyarakat Indonesia selama
berabad-abad dan telah digunakan oleh hakim yang berbeda dalam putusan mereka.
menunjukkan bahwa putusan tersebut diadopsi oleh pengadilan tidak hanya untuk
menghukum para terdakwa yang melanggar hukum tetapi lebih untuk merekonstruksi dan
memastikan keharmonisan sosial di antara masyarakat.
Temuan-temuan ini dapat menunjukkan bahwa konsep hak asasi manusia yang
individualistik, yang cenderung memaksa individu untuk bebas dari pergaulan komunal
keagamaan, dapat dihadapkan pada nilai-nilai sosial sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
Menanggapi argumen budaya komunitarian, Andrew Rosser juga juga berpendapat
demikian: Budaya di negara-negara berkembang, menurutnya, cenderung membuat
stratifikasi individu dengan cara-cara yang meningkatkan martabat untuk beberapa
kategori orang tetapi membiarkan kategori lain direndahkan, tanpa martabat atau
rasa hormat, daripada melihat mereka sebagai sama dengan seperangkat hak yang sama.
Pelanggaran hak pada garis minoritas-mayoritas bukan hanya karena kelemahan
kerangka hukum negara untuk hak asasi manusia dan implementasi hak; melainkan
merupakan hasil dari konteks etnis, agama, hukum dan budaya yang sangat beragam.
Akibatnya, bentuk-bentuk hak asasi manusia yang individualistis seringkali dipahami
sebagai arogan, asing bagi budaya Indonesia dan dilarang oleh keyakinan agama.
Argumen ini menunjukkan bahwa banyak diskriminasi dan persekusi terhadap minoritas
agama dalam Islam tidak hanya dipicu oleh kebijakan negara yang diskriminatif,
tetapi juga oleh karakteristik keagamaan yang eksklusif yang ditemukan pada orang
biasa, dan oleh kurangnya pengetahuan tentang hak asasi manusia dan, khususnya,
menghargai perbedaan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai