Anda di halaman 1dari 36

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kebisingan

a. Pengertian Kebisingan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.Per/718/Menkes/XI/1987 kebisingan adalah terjadinya bunyi

yang tidak dikehendaki, mengganggu, dan atau membahayakan

kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia No. 13 tahun 2011 tentang Nilai

Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja,

kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang

bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang

pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Beberapa pendapat yang dikemukakan mengenai pengertian

kebisingan dapat disimpulkan sebagai suara yang mengganggu dan

tidak dikehendaki, apapun batasan yang diberikan, baik kebisingan

maupun suara secara fisik sama (Budiono, 2003).

Suara yang dikehendaki maupun tidak adalah merupakan

fenomena fisik udara berupa variasi perubahan tekanan udara yang

terus menerus, cepat, meninggi dan merendah dalam tekanan

commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

atmosfir yang normal serta dirambatkan (bergerak) yang disebabkan

oleh obyek yang bergetar (Pramudianto, 1986).

Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf

pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang

ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara tersebut merambat

melalui media udara atau penghantar lainnya, dan manakala bunyi

atau suara tersebut tidak dihendaki oleh karena mengganggu atau

timbul diluar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi-

bunyian atau suara demikian dinyatakan sebagai kebisingan. Jadi

kebisingan adalah bunyi atau suara yang yang keberadaannya tidak

dikendaki (noise is unwanted sound). Dalam rangka perlindungan

kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara

atau bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat

proses produksi dan atau alat-alat kerja (Suma’mur, 2009).

b. Sumber Kebisingan

Sumber kebisingan menurut Suma’mur (2009) dibagi

menjadi 3 kelompok, yaitu sebagai berikut :

1) Alat Transportasi

a) Angkutan Jalan Raya

Gangguan kebisingan yang berasal dari angkutan jalan

raya ada kecenderungannya meningkat seiring dengan

bertambahnya jumlah kendaraan dan panjangnya jalan.

Kebisingan yang ditimbulkan oleh angkutan jalan raya (bus,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

truk, dan kendaraan umum lainnya) biasanya berasal dari

bunyi klakson, gesekan mekanis antara ban dengan badan

jalan, suara knalpot, tabrakan antara sesama kendaraan,

pengecekan perapian mesin di bengkel, serta frekuensi

mobilitas kendaraan baik dalam jumlah maupun kecepatan

tinggi di jalan-jalan bebas hambatan. Kebisingan pada

angkutan jalan raya ini bersifat terputus-putus dan bervariasi

menurut jenis kendaraannya.

b) Kereta Api

Kegiatan operasional kereta api di Indonesia rata-rata

cukup tinggi dan kadang-kadang melalui daerah yang rawan

kebisingan seperti sekolah, pemukiman dan tempat ibadah.

Kebisingan pada kereta api ini cenderung terus menerus dalam

waktu yang singkat.

c) Pesawat Udara

Dalam dekade yang lalu gangguan kebisingan yang

disebabkan oleh pesawat udara mengalami peningkatan dengan

adanya teknologi baru penggunaan mesin jet sebagai pengganti

pesawat bermesin baling-baling. Kebisingan dari pesawat

terbang pada umumnya bervariasi dan sifatnya terputus-putus,

dan puncaknya terjadi apabila pesawat landing dan take off

dari bandar udara.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Industri

Kebisingan yang disebabkan dari industri adalah bising

yang ditimbulkan dari mesin-mesin dan proses yang ada dalam

industri. Kebisingan yang berasal dari mesin biasanya

ditimbulkan oleh adanya benturan atau tumbukan peralatan kerja

yang terbuat dari benda keras. Selain itu kebisingan dapat pula

timbul oleh adanya gesekan dan tekanan yang mengakibatkan

timbulnya suara atau kebisingan. Demikian pula bising industri

bervariasi tergantung desain atau pola kerja, bagian dan cara kerja

mesin yang dipergunakan.

3) Pemukiman

Kebisingan di pemukiman dapat bersumber dari benda-

benda elektronik seperti radio, tape recorder, televisi dan

sejenisnya. Dapat pula berasal dari alat-alat rumah tangga,

anggota keluarga, konstruksi atau bahan bangunan lainnya.

c. Jenis Kebisingan

Jenis-jenis kebisingan yang sering dijumpai menurut sifat

suaranya (Abdul, 1990) adalah :

1) Kebisingan Kontinue.

Kebisingan kontinue adalah kebisingan dimana flukstuasi

dari intensitasnya tidak lebih dari 6 dB dan tidak terputus-putus.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Kebisingan jenis kontinue dapat dibedakan menjadi dua

yaitu :

a) Wide spektrum adalah kebisingan dengan spektrum frekuensi

luas, seperti kipas angin, suara mesin tenun dan lain-lain.

b) Narrow Spektrum adalah kebisingan dengan spektrum

frekuensi sempit seperti suara sirine, generator, gergaji sirkuler

dan lain-lain.

2) Kebisingan terputus-putus adalah kebisingan yang berlangsung

secara tidak terus menerus misalnya kebisingan arus lalu lintas.

3) Kebisingan Impulsif adalah kebisingan dengan intensitas yang

agak cepat berubah misalnya pukulan palu.

4) Kebisingan Impactif adalah kebisingan dengan intensitas rendah

tetapi sangat cepat misalnya tembakan meriam.

d. Faktor yang mempengaruhi kebisingan

WHO (1993) menyebutkan bahwa bahaya bising

dihubungkan dengan beberapa faktor, yaitu :

1) Intensitas

Intensitas bunyi yang ditangkap oleh telinga berbanding

langsung dengan logaritma kuadarat tekanan akustik yang

dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Tingkat

tekanan bunyi diukur dengan skala logaritma dalam desibel (dB)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

2) Frekuensi

Frekuensi bunyi yang didengar oleh telinga manusia

terletak antara 20 hingga 20000 Hz. Frekuensi bicara terletak

pada rentang 500 hingga 2000 Hz. Bunyi dengan frekuensi

tertinggi merupakan bunyi yang paling berbahaya.

3) Durasi

Efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya

pajanan, dan terlihat berhubungan dengan jumlah total energi

yang mencapai telinga dalam. Jadi perlu untuk mengukur semua

elemen akustik (meskipun sulit untuk melaksanakannya). Untuk

tujuan ini digunakan pengukur bising yang dapat merekam dan

memadukan bunyi.

4) Sifat

Sifat mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu

(stabil, berfluktuasi, intermiten). Berdasarkan sifat ini, bising

yang sangat berbahaya adalah bising impulsif, yang terdiri dari

satu atau lebih lonjakan energi bunyi dengan durasi kurang dari

satu detik.

e. Pengukuran dan Standar Kebisingan

Pengukuran kebisingan untuk membandingkan hasil

pengukuran suatu saat dengan standar atau baku mutu kebisingan

yang telah ditetapkan menurut Siswanto (1992).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

1) Pengukuran Kebisingan di Lingkungan

Pada pengukuran kebisingan luar gedung harus

menggunakan windscreen yang dipasang pada microphone.

Outdoor measurement tidak dianjurkan bila kecepatan aliran

udara atau angin lebih besar dari 20 km per jam.

2) Alat Pengukur Kebisingan

Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan,

antara lain sound survey meter, sound level meter, octave band

analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain. Untuk

permasalahan kebisingan, kebanyakan sound level meter dan

octave band analyzer sudah cukup memberi banyak informasi.

a) Sound Level Meter

Sound Level Meter (SLM) adalah instrument dasar

yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri

atas microphone dan sebuah sirkuit elektronik termasuk

attenuator, 3 jaringan persepon frekuensi, skala indikator dan

amplifier. Tiga jaringan tersebut distandardisasi sesuai standar

SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang

terbaik dalam pengukuran kebisingan total.

Respon manusia terhadap suara bermacam-macam

sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang

sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada

intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi.

Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi

perbedaan respon manusia.

b) Octave Band Analyzer (OBA)

Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas

tone berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang

dihasilkan di SLM tetap bernilai tunggal. Hal ini tentu saja

tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit

berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA.

Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu

OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan

OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5-5;

75-150; 300-600; 600-1200; 1200-2400; 2400-4800; dan 4800-

9600 Hz (Olishifski, 1987).

3) Standar Kebisingan di Lingkungan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.Per/718/Menkes/XI/1987, sesuai dengan jenis peruntukannya,

suatu wilayah dibagi menjadi empat zona :

a) Zona A adalah zona yang diperuntukkan bagi penelitian,

rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial dan

sejenisnya.

b) Zona B adalah zona yang diperuntukkan bagi perumahan,

tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

c) Zona C adalah zona yang diperuntukkan bagi perkantoran,

pertokoan, perdagangan, pasar dan sejenisnya.

d) Zona D adalah zona yang diperuntukkan bagi industri, pabrik,

stasiun kereta api, terminal bus dan sebagainya.

Tingkat kebisingan zona A, zona B, zona C dan zona D

harus memenuhi syarat-syarat kebisingan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Syarat-syarat kebisingan untuk tiap peruntukan


Tingkat Kebisingan dB(A)
No. ZONA Maksimum yang Maksimum yang
dianjurkan diperbolehkan
1 Zona A 35 45
2 Zona B 45 55
3 Zona C 50 60
4 Zona D 60 70
Sumber : Kursus Program Konservasi Pendengaran Terpadu,
Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Kepemimpinan
(Pusjarbangpin) SDM, Tahun 2004.

4) Nilai Ambang Batas Kebisingan (NAB)

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB

adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga

kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan,

dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam

sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans RI No. 13 tahun

2011).

Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat

kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha

atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan

manusia dan kenyamanan lingkungan (Keputusan Menteri Negara


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 tentang Baku Tingkat

Kebisingan).

Apabila tenaga kerja terpapar bising melebihi kebutuhan

tersebut maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan.

Standar kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi RI No. 13/MEN/X/2011 yaitu, sebagai berikut :

Tabel 2.2 NAB Kebisingan di Tempat Kerja


Waktu Pemaparan Intensitas Kebisingan
dalam dB(A)
8 85
4 88
Jam
2 91
1 94
30 97
15 100
7,5 103
Menit
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 Detik 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Sumber : Permenakertrans RI No. 13 Tahun 2011 tentang NAB
Faktor Fisika Kimia di Tempat Kerja.

f. Pengaruh Kebisingan pada Manusia

Kemungkinan gangguan pada manusia akibat kebisingan

dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni pengaruh pada indera

pendengraran dan pengaruh bukan pada indera pendengaran

(Sulaksmono, 1991).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

1) Pengaruh Pada Indera Pendengaran (Auditory Effect)

Ada tiga kemungkinan gangguan pada indera pendengaran

manusia (Sulaksmono, 1991) :

a) Trauma Akustik

Trauma Akustik adalah gangguan pendengaran yang

disebabkan oleh pemaparan tunggal (single exposure) terhadap

intensitas kebisingan yang sangat tinggi dan terjadi secara tiba-

tiba, misalnya suara ledakan bom. Ini dapat menyebabkan

robeknya membran tymphani atau dislokasi dan kerusakan

tulang-tulang pendengaran.

b) Kenaikan Ambang Pendengaran Sementara (Temporary

Treshold Shift)

Mula-mula seseorang akan merasa terganggu dengan

tempat kerja baru yang bising, tetapi setelah beberapa jam

kemudian akan merasa tidak terganggu, suara tidak lagi

sekeras seperti semula. Maka dengan kata lain orang tersebut

telah mengalami ketulian. Bila orang tersebut selesai dan

keluar dari ruang kerja, daya dengarnya sedikit demi sedikit

akan pulih seperti semula. Jadi gangguan pendengaran yang

akan dialami orang tersebut sifatnya adalah sementara. Waktu

yang diperlukan untuk pemulihan kembali berkisar dari

beberapa menit sampai beberapa hari, namun paling lama

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

adalah 10 hari, ini semua tergantung dari beberapa faktor

antara lain :

(1) Tingkat intensitas suara, dimana semakin tinggi suara

maka semakin besar pula Temporary Treshold Shift

(TTS).

(2) Lamanya pemaparan, semakin lama terpapar dengan

bising semakin besar pula Temporary Treshold Shift

(TTS).

(3) Temporal pattern dari pemaparan, suara yang kontinue

akan memberikan energi lebih banyak daripada suara yang

terputus-putus oleh karena itu Temporary Treshold Shift

(TTS) menjadi lebih besar.

(4) Karakteristik dari spektrum kebisingan, karena kepekaan

telinga pada setiap frekuensi tidak sama maka bentuk

spectrum akan mempunyai pengaruh yang berlainan.

(5) Kerentanan individu atau kepekaan individu, kepekaan

telinga terhadap kebisingan pada masing-masing orang

berbeda-beda.

c) Kenaikan Ambang Pendengaran Menetap (Permanent

Treshold Shift)

Bila seseorang mengalami kenaikan ambang

pendengaran sementara dan kemudian terpapar bising sebelum

pemulihan secara lengkap terjadi, maka akan terjadi akumulasi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

sisa ketulian dan bila ini berlangsung secara berulang-ulang

dan menahun sifat ketulian akan berubah menjadi menetap

(permanent). Pada umumnya terjadi setelah pemaparan lebih

dari 10 tahun. Ketulian akibat ini terjadi paling parah karena

pemaparan tidak saja terjadi pada frekuensi 400 Hz. Bila

ambang kenaikan pendengaran terjadi pada frekuensi

pembicaraan yaitu 500 Hz, 1000 Hz, maka komunikasi pada

stadium ini akan menjadi sulit.

2) Pengaruh Bukan pada Indera Pendengaran (Non Auditory Effect)

(Sulaksmono, 1991) :

a) Gangguan Perasaan atau Mudah Marah (Annoyance)

Bising juga bisa menimbulkan perasaan tidak senang

atau mudah marah.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi annoyance

ini yaitu :

(1) Karakteristik kebisingan meliputi intensitas dan

frekuensi.

(2) Sikap individu terhadap penerimaan kebisingan.

(3) Kepekaan individu terhadap bising.

(4) Interupsi dari bising, yakni konsentrasi individu.

b) Gangguan Komunikasi

Kebisingan dapat mengganggu pembicaraan sebagai

alat komunikasi, sehingga kita tidak bisa menangkap dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

mengerti apa yang dibicarakan oleh orang lain. Agar

pembicaraan dapat dimengerti dalam lingkungan yang bising,

maka pembicaraan harus diperkeras dan harus dalam kata

serta bahasa yang dimengerti oleh penerima. Gangguan

komunikasi seperti itu menyebabkan terganggunya pekerjaan,

bahkan mengakibatkan kesalahan atau kecelakaan

(Suma’mur, 2009).

c) Gangguan Tidur

Adanya suara bising dapat menimbulkan gangguan

tidur pada seseorang. Menurut penelitian intensitas suara 33

dB(A) kadang-kadang menimbulkan keluhan gangguan tidur.

Terpapar pada intensitas suara 40 dB(A) kemungkinan

terbangun pada waktu tidur adalah 5%, pada 70 dB(A) akan

meningkat menjadi 30% dan pada 100 dB(A) menjadi 100%

(Suma’mur, 2009).

d) Gangguan pada Pekerjaan

Kebisingan mengganggu yang perlu perhatian terus

menerus dicurahkan, maka dari itu tenaga kerja yang

melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu

proses produksi dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan

akibat dari terganggunya konsentrasi. Gangguan dalam

kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap orang, pada orang

yang sangat rentan dapat menimbulkan rasa pusing dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

gangguan konsentrasi serta kehilangan semangat kerja atau

masalah lainnya seperti kurang sempurnanya istirahat,

terganggunya pencernaan, sistem kardiovaskuler, sistem saraf

dan lainnya (Suma’mur, 2009).

e) Gangguan Psikologis

Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan

reaksi psikologis yaitu ; rasa kawatir, jengkel dan sebagainya.

Stabilitas adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi atau

bertindak normal.

g. Perkiraan Dampak Kebisingan terhadap Masyarakat

Pengaruh kebisingan akan sangat besar, apabila suatu proses

produksi berjalan demikian luar biasanya, sehingga masyarakat

sekitar perusahaan yang bersangkutan melakukan protes agar

kegiatan dihentikan. Hal ini merupakan contoh dari substansi

undang-undang gangguan yang memberikan perlindungan terhadap

gangguan yang penyebabnya adalah faktor kebisingan (Suma’mur,

2009).

Menurut Suma’mur (2009) efek dari kebisingan pada

masyarakat harus ditinjau dari berbagai faktor, yaitu :

1) Perbandingan kebisingan akibat perusakan terhadap kebisingan

yang semula ada di masyarakat bersangkutan.

2) Keadaan masyarakat, masyarakat perkotaan atau pedesaan.

3) Waktu terjadinya kebisingan, siang atau malam hari.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

Kasus kebisingan di lingkungan tidak jarang terjadi, dampak

yang dirasakan masyarakat bermacam-macam mulai dari tidak dapat

mendengarkan radio, televisi, percakapan secara wajar, sulit

konsentrasi sampai dengan gangguan psikologis lain dan tidak dapat

tidur pada waktunya (Depkes RI, 1995).

2. Program Konservasi Pendengaran (Hearing Conservation Program)

a. Pengertian

Program Konservasi Pendengaran (Hearing Conservation

Program), merupakan suatu program yang diterapkan di lingkungan

industri untuk melindungi dan menjamin bahwa tenaga kerja tidak

mengalami kerusakan pendengaran akibat terpapar oleh kebisingan

di tempat kerja. Paparan kebisingan yang dimaksud adalah

kebisingan dengan intensitas tinggi yang dapat mengganggu persepsi

pembicaraan normal dan potensial untuk menimbulkan risiko

kerusakan pendengaran (Buchari, 2007).

b. Tujuan dan Keuntungan

Tujuan Program Konservasi Pendengaran (PKP) menurut

Buchari (2007) adalah untuk mencegah tenaga kerja dari kerusakan

dan kehilangan pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja.

Keuntungan pelaksanaan Program Konservasi Pendengaran antara

lain adalah :

1) Memelihara kemampuan berkomunikasi yang baik untuk

memberi dan menerima perintah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

2) Memelihara produktivitas tenaga kerja.

3) Menurunkan angka kecelakaan kerja dan meningkatkan efisiensi

kerja.

4) Menurunkan tekanan dan kelelahan yang berhubungan dengan

paparan kebisingan.

5) Mengurangi pertanggungjawaban atas tuntutan ganti rugi tenaga

kerja dan menghindari kenaikan premi asuransi.

6) Mengetahui kerusakan pendengaran secara dini (sebelum

terlambat).

c. Pelaksanaan Program Konservasi Pendengaran (Bashiruddin, 2002)

Keberhasilan Program Konservasi Pendengaran (PKP)

merupakan tanggungjawab bersama dari personal yang terlibat

dalam pelaksanaan, antara lain :

1) Pihak Manajemen, meliputi : Pimpinan, Manager (Top dan

Middle), Pengawas (Supervisor).

2) Partisipasi tenaga kerja.

3) Ahli dalam pengukuran dan analisa kebisingan.

4) Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang

bertanggungjawab dalam edukasi dan motivasi tenaga kerja.

d. Kebijakan Program Konservasi Pendengaran (PKP)

Menurut Suter (1998) pelaksanaan Program Konservasi

Pendengaran (PKP) yang sukses harus mengarahkan kepada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

kebijakan dari manajemen. Kebijakan Program Konservasi

Pendengaran (PKP) harus :

1) Kebijakan seharusnya didasarkan pada pelaksanaan yang efektif

dalam pemenuhan minimum peraturan yang efektif dalam

pemenuhan minimum peraturan pemerintah.

2) PKP merupakan bagian fungsional dari program Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3), tidak berdiri sendiri.

3) Orang kunci (pelaksana program) harus bertanggungjawab pada

kelancaran program.

4) Orang kunci harus mengembangkan dan melaksanakan program

PKP secara efektif.

5) Tenaga kerja harus melaksanakan kebijakan dan prosedur PKP

perusahaan yang telah ditetapkan.

6) Kebijakan PKP harus menggambarkan secara jelas Standar

Prosedur Pelaksanaan untuk masing-masing fase program.

7) Perusahaan yang tidak dapat melaksanakan program PKP

dengan dukungan staf perusahaan sendiri dapat memilih

personal dari luar (kontraktor eksternal).

8) Pernyataan kebijakan yang spesifik dapat dikembangkan untuk

elemen yang penting dari program, seperti :

a) Pemantauan tingkat paparan kebisingan dalam jam kerja.

b) Prosedur pelaksanaan tes audiometri pada tenaga kerja.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

c) Menentukan penggunaan koreksi pada alat perlindungan

pendengaran.

d) Pendidikan, latihan dan motivasi tenaga kerja.

e) Pembelian alat perlindungan pendengaran, audiometri, alat

pengukur kebisingan, dan mesin produksi yang lebih

tenang.

e. Hal-hal yang Mendasari Penerapan PKP

Program Konservasi Pendengaran (PKP) dilakukan dalam

upaya pencegahan kecelakaan dan sebagai upaya perlindungan

tenaga kerja dari risiko kerusakan pendengaran akibat paparan

kebisingan di tempat kerja. Penerapan PKP di tempat kerja

didasarkan pada :

1) Tenaga kerja mengalami kesulitan berkomunikasi dalam

pembicaraan di tempat kerja dimana terdapat suara bising.

2) Jika tenaga kerja melaporkan ada suara dengung di telinga

setelah terpapar kebisingan beberapa jam.

3) Tenaga kerja mengalami kehilangan pendengaran sementara,

dengan efek tidak mendengar pembicaraan normal setelah

beberapa jam terpapar kebisingan.

4) Bila intensitas kebisingan di tempat kerja > 85 dB(A) / 8 jam per

hari.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

5) Jika tenaga kerja mengalami kesulitan untuk mendengar suara

keras dalam jarak 1 kaki (0,3 m) atau tingkat kebisingan dari 90

dB(A).

Program perlindungan pendengaran didasarkan pada

kehilangan pendengaran terutama pada frekuensi 4000 Hz untuk

mencegah kehilangan pendengaran melampaui 45 dB(A) dan

menjamin bahwa rata-rata kehilangan pendengaran kurang dari 15

dB(A) (Murray, 1962).

3. Komponen Kegiatan Program Konservasi Pendengaran.

Program Konservasi Pendengaran dilaksanakan secara

komprehensif pada pengendalian kebisingan. Ada 7 komponen dasar

yang saling berkaitan dan mendukung (OSHA, 1994) yaitu :

a. Survei Paparan Bising (Noise Exposure Monitoring)

Kegiatan pemantauan paparan kebisingan dilakukan sebagai

dasar untuk analisis kebisingan dalam menentukan wilayah kerja

yang memiliki risiko potensial untuk menyebabkan gangguan pada

kemampuan pendengaran tenaga kerja. Kegiatan pamantauan ini

dapat menentukan risiko bahaya dan menjamin bahwa paparan yang

diterima oleh tenaga kerja tidak melebihi batas yang diijinkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia No.Per/13/MEN/X/2013 tentang Nilai Ambang

Batas Faktor Fisika Kimia di Tempat Kerja, Nilai Ambang Batas

(NAB) untuk kebisingan di tempat kerja dapat didefinisikan sebagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat

diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya

dengar yang tetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari

delapan jam perhari atau 40 jam seminggu.

Selain itu kegiatan pemantauan juga dapat mengetahui bila

ada perubahan pada peralatan operasional yang mungkin akan

merubah tingkat pemaparan kebisingan. Adapun tujuan kegiatan

pemantauan paparan kebisingan, meliputi (Roestam, 2004) :

1) Untuk menentukan adanya bahaya terhadap pendengaran.

2) Untuk menentukan adanya kebisingan dan risiko keselamatan

dengan gangguan komunikasi.

3) Untuk mengidentifikasi tenaga kerja yang termasuk dalam

program perlindungan pendengaran.

4) Untuk menggolongkan paparan kebisingan pada tenaga kerja

guna mengutamakan upaya pengendalian kebisingan dan

menetapkan praktik perlindungan pendengaran.

5) Untuk mengevaluasi secara spesifik sumber kebisingan untuk

tujuan pengendalian kebisingan.

6) Untuk mengevaluasi upaya pengendalian kebisingan.

Bermacam-macam peralatan dan metode pengukuran yang

dapat digunakan untuk mengukur tingkat paparan kebisingan di

lingkungan kerja (PT. SKF Indonesia), dapat digunakan Sound Level

Meter (SLM) yang dapat memberikan hasil berupa “Peta

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Kebisingan” yang menunjukkan area dengan titik-titik yang

memiliki intensitas bising lebih dari 85 dB(A).

Untuk mengetahui paparan kebisingan pada tenaga kerja

dapat digunakan dosimeter personal dimana tingkat kebisingan

berubah-ubah atau tenaga kerja berpindah-pindah dalam wilayah

kerja sehingga tingkat kebisingan yang diterima berbeda-beda.

Dosimeter personal mengukur paparan kebisingan secara akumulatif

selama waktu kerja untuk menentukan jika paparan kumulatif tenaga

kerja melampaui batas yang diijinkan (Bashiruddin, 2002).

Pengukuran kebisingan seharusnya diulang secara berkala

tahunan dan dalam 30 hari bila ada perubahan atau modifikasi pada

peralatan atau proses produksi yang mungkin akan meningkatkan

kebisingan terutama pada wilayah dengan tingkat kebisingan yang

berpotensi menimbulkan gangguan. Sebagai pedoman pelaksanaan

pemeriksaan berkala sebagai berikut (Roestam, 2004) :

1) Pada lokasi dimana tingkat kebisingan di bawah 80 dB(A) dan

stabil pengukuran berkala tidak diperlukan.

2) Pada lokasi dimana tingkat kebisingan antara 80-90 dB(A),

pengukuran dilakukan secara berkala tiga tahun sekali.

3) Pada lokasi dimana tingkat kebisingan di atas 90 dB(A),

pengukuran dilakukan setiap satu tahun sekali.

Partisipasi tenaga kerja dalam hal ini akan sangat berguna

yaitu dengan memberi tahu pengawas (supervisor) atau pelaksana

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

program HCP bila ada perubahan pada tingkat kebisingan yang

mungkin terjadi karena pemindahan alat atau karena perubahan

produksi.

b. Pengendalian Bising secara Teknis dan Administratif (Engineering

and Administrative Control)

Kegiatan pengendalian kebisingan pada mesin dan secara

administratif bertujuan untuk mengendalikan kebisingan pada

sumber, jalur transmisi dan penerima (tenaga kerja) sehingga

paparan kebisingan dapat dikurangi atau setidaknya dapat diatur

(Roestam, 2004).

1) Pengendalian dengan Rekayasa Mesin

a) Pengendalian pada Sumber

(1) Mengganti proses produksi atau substitusi material.

(2) Melakukan perawatan mesin.

(3) Tidak menggunakan mesin yang sudah tua atau usang.

(4) Mengurangi bentuk atau struktur yang menimbulkan

getaran.

(5) Memasang penyaring bunyi.

b) Pengendalian pada Jalur Transmisi

Jalur transmisi bunyi adalah udara, penurunan

tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan mengurung atau

mengisolasi mesin pada ruang yang dilengkapi peredam

suara, mengoperasikan mesin dengan ‘Remote Control’.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

c) Pengendalian pada Penerima (Tenaga Kerja)

Penggunaan alat pelindung telinga (Ear muff atau

Ear plug).

2) Pengendalian secara Administratif

a) Pengaturan jam kerja (schedule) bagi tenaga kerja.

b) Mengadakan rotasi tempat kerja untuk mengurangi waktu

paparan.

c) Mengupayakan mesin yang menimbulkan kebisingan

digunakan sedikit mungkin.

d) Menempatkan ruang istirahat tenaga kerja jauh dari sumber

kebisingan untuk pemulihan sejenak.

e) Melakukan pendidikan atau training bagi tenaga kerja untuk

mengoperasikan mesin dengan pengendalian kebisingan,

pemeliharaan secara tepat dan memberitahukan personel

yang tepat ketika perawatan ekstra terhadap mesin

diperlukan.

c. Pemeriksaan Audiometri (Audiometric Evaluation)

Pemeriksaan audiometri merupakan kunci kesuksesan

Program Konservasi Pendengaran (PKP), karena dapat mengetahui

kondisi kesehatan pendengaran tenaga kerja. Alat pemeriksaan

audiometri disebut audiometer, yaitu suatu alat elektrik yang

dipergunakan untuk pemeriksaan kemampuan pendengaran, baik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

yang disebabkan oleh penyakit dan proses pertambahan usia

(Bashiruddin, 2002).

Audiometer menghasilkan suara yang bervariasi dari nada-

nada murni dengan frekuensi 125-8000 Hz dan intensitas 0–110 dB.

Hasil pemeriksaan tercatat dalam suatu diagram yang disebut

audiogram dimana garis horizontal menunjukkan frekuensi dan garis

vertikal menunjukkan intensitas (Depkes RI, 2004).

Tujuan pemeriksaan audiometri menurut Depkes RI (2004)

adalah :

1) Memperoleh data kesehatan pendengaran calon tenaga kerja

(pre-employment).

2) Mendeteksi adanya perubahan nilai ambang dengar dari tenaga

kerja yang terpapar kebisingan.

3) Melakukan pemantauan efektifitas program kontrol kebisingan

“Noise Control” yang telah dilakukan.

Untuk perlindungan maksimal tenaga kerja, pemeriksaan

audiometri dilakukan berdasar lima keadaan berikut :

1) Pada calon tenaga kerja (pre-employment).

2) Pada tenaga kerja sebelum penugasan bekerja di tempat bising.

3) Berkala satu tahunan untuk tenaga kerja yang menerima paparan

rata-rata 85-100 dB(A) atau dua kali setahun untuk tenaga kerja

yang rata-rata terpapar > 100 dB(A).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

4) Pada saat tenaga kerja dipindah tugas dari tempat yang bising ke

tempat lain.

5) Pada saat tenaga kerja keluar dari tempat kerja.

Pemeriksaan audiometri dilakukan 13–16 jam setelah terjadi

paparan, dengan maksud bila tenaga kerja mengalami tuli sementara,

akan hilang paling cepat setelah 16 jam sejak paparan. Tabel berikut

menunjukkan interpretasi hasil pemeriksaan audiometri (Depkes RI,

2004).

Tabel 2.3 Interpretasi hasil pemeriksaan audiometri


Penurunan Ambang
Interpretasi
Dengar (dBA)
10 – 25 Kemampuan pendengaran normal
26 – 40 Penderita tuli Ringan (mild)
41 – 70 Penderita tuli Sedang (moderate)
> 70 Penderita tuli Berat (severe)
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 2004

Kebisingan di sekitar responden (noise ambient) pada ruang

pemeriksaan audiometri dapat berpengaruh pada tingkat ketelitian

dalam menentukan tingkat pendengaran, terutama pada frekuensi

500–1000 Hz. Pendengaran dikatakan normal apabila kemampuan

mendengar pada frekuensi 500–2000 Hz tidak melampaui 25 dB(A).

Gambaran yang sering terjadi pada Noise Induced Hearing Loss

(NIHL) yaitu adanya “dip centred” adalah penurunan kemampuan

pendengaran yang biasanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz. Semakin

dalam dip centred berarti semakin parah gangguan pendengaran.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Ada beberapa jenis audiometri yang digunakan (Depkes RI,

2004) antara lain :

1) Manual Audiometer

Tenaga kerja diberi rangsangan dengan nada-nada murni

yang bervariasi, kemudian tenaga kerja akan memberi respon

dengan mengangkat tangan atau menekan tombol respon.

Penguji mencatat nada-nada terkecil yang mampu didengar pada

lembar audiogram.

2) Audiomatic Audiometer

Tenaga kerja diperkenalkan pada ear phone, kemudian

diberi nada mulai dari nada rendah sampai dengan tinggi.

Tenaga kerja diperintahkan untuk menekan tombol bila tidak

terdengar lagi. Nilai ambang dengar secara otomatis akan dicatat

dengan tinta pada bentuk audiogram grafik khusus.

Peranan pimpinan dalam pemeriksaan audiometri adalah

menyediakan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja, bila perlu

mengadakan kontrak dengan pelayanan kesehatan eksternal,

menyediakan ahli audiometri yang mampu memperhatikan dan

memberi informasi kepada tenaga kerja mengenai status

pendengarannya dan upaya untuk perlindungannya (Bashiruddin,

2002).

Partisipasi tenaga kerja diperlukan untuk membantu

menginterpretasikan hasil audiogram yaitu dengan mengemukakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

riwayat paparan kebisingan, riwayat penyakit fungsi telinga, kondisi

telinga, termasuk tinnitus (dengung pada telinga) dan penggunaan

alat perlindungan pendengaran (Bashiruddin, 2002).

Namun perlu diingat bahwa hasil pemeriksaan audiometri

hanya menggambarkan kemampuan pendengaran berdasar frekuensi

dan intensitas suara yang didengar pada saat pemeriksaan. Hasil

audiogram saja tidak dapat menentukan ketulian apakah disebabkan

oleh paparan kebisingan di tempat kerja atau oleh karena hal lain

(Bashiruddin, 2002).

d. Alat Pelindung Diri dan Penggunaannya (Hearing Protection

Devices)

Hearing protection devices atau alat perlindungan

pendengaran (ear protector) dapat mengurangi tingkat suara

(intensitas kebisingan) yang masuk ke telinga untuk pengendalian

kebisingan pada tenaga kerja. Penggunaan alat perlindungan

pendengaran adalah bersifat memaksa bagi tenaga kerja. Karena itu

pimpinan dan pelaksana Program HCP di perusahaan

bertanggungjawab dalam menyediakan alat perlindungan

pendengaran yang diperlukan dan dapat dipilih oleh tenaga kerja

untuk memberikan perlindungan yang efektif (Sutirto, 2001).

Pemilihan alat perlindungan pendengaran didasarkan pada

paparan kebisingan, kemampuan mendengar dan berkomunikasi,

keleluasaan disesuaikan dengan tugas atau pekerjaan. Selain itu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

pimpinan juga harus menjamin tenaga kerja untuk menggunakan alat

perlindungan pendengaran dan mampu melakukan perawatannya.

Pemberian sanksi bisa diberlakukan agar tenaga kerja selalu

menggunakan alat perlindungan dimanapun pada tempat kerja yang

bising (Suma’mur, 2009).

1) Beberapa Jenis Alat Perlindungan Telinga (Ear Protector) yaitu:

a) Ear Plug (Sumbat Telinga)

(1) Pemakaian dimasukkan pada saluran telinga luar dan

dibuat untuk semua ukuran.

(2) Jenis ear plug ada dua, yaitu jenis disposable (jenis

sekali pakai dan dibuang) dan non disposable (jenis

yang bisa dipakai berulang).

(3) Bahan : plastik, plastik foam, lilin, wool.

(4) Bentuk kecil, mudah hilang, lebih sulit untuk memakai

dan menggantinya, dapat berinteraksi dengan minyak

kulit dan terjadi kontaminasi.

(5) Kemampuan menurunkan kebisingan : 8-30 dB(A).

b) Ear Muffs (Tutup Telinga)

(1) Bentuknya dapat menutupi seluruh daun telinga, lebih

berat dari ear plug.

(2) Daya melindungi tinggi pada intensitas 100-110 dB(A),

mampu menurunkan kebisingan 20-40 dB(A).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

(3) Daya lindung terhadap kebisingan lebih tinggi dari ear

plug.

(4) Dapat digunakan oleh semua orang dengan ukuran

telinga yang berbeda, dilengkapi dengan head band

untuk menjaga agar posisi ear muffs tetap di sisi kepala

secara normal.

c) Kombinasi Ear Plug dan Ear Muffs

Efek melindungi pada kebisingan 120 – 125 dB(A).

Karakteristik beberapa alat pelindung telinga tersebut

antara lain :

(1) Harapan dari perlindungan pendengaran.

(2) Ear plug dan ear muffs digunakan untuk melindungi

pendengaran dari kerusakan pendengaran pada

kebisingan > 85 dB(A) dari tempat kerja.

(3) Kombinasi dari ear plug dan ear muffs adalah

merupakan perlindungan maksimum pada fungsi

pendengaran untuk kebisingan yang lebih tinggi.

2) Ukuran dan Kecocokan

Ukuran dan kecocokan merupakan masalah bagi ear

plug karena ear plug hanya dibuat dengan satu ukuran standar.

Bila terlalu kecil akan terjadi kebocoran udara sehingga daya

perlindungan tidak efektif. Bila terlalu besar maka tidak

memberi kenyamanan bagi penggunanya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

3) Head Band

Head band berfungsi sebagai pegangan bagi ear muffs

agar tetap berada disisi kepala pada posisi yang normal dan

menghindari terjadinya kebocoran udara.

4) Keamanan

Alat perlindungan pendengaran harus aman dipakai. Ear

plug tidak boleh dimasukkan terlalu dalam untuk menghindari

kerusakan pada organ dalam telinga. Ear cups harus dilengkapi

bantalan untuk menghindari kerusakan atau cedera pada kepala

bila ear muffs terbentur.

5) Kegunaan

Alat perlindungan pendengaran harus siap digunakan

dan dapat diperoleh untuk semua tenaga kerja.

6) Sanitasi

Perlindungan telinga harus bersih dari kotoran untuk

menghindari iritasi dan infeksi pada telinga.

7) Daya Tahan

Alat pelindung telinga harus punya daya tahan yang baik

supaya tidak mudah rusak.

e. Education and Motivation

Kegiatan ini diperlukan untuk memperoleh partisipasi aktif

tenaga kerja. Kesungguhan dan semangat yang didukung oleh

pimpinan diperlukan untuk menanamkan kepada tenaga kerja akan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

pentingnya Program Konservasi Pendengaran (PKP) dalam

melindungi pendengaran tenaga kerja dari bahaya kebisingan.

Pendidikan dan motivasi tidak hanya diberikan untuk tenaga kerja

yang terpapar, tapi juga untuk supervisor dan pimpinan yang

bertanggungjawab pada tempat kerja yang menghasilkan kebisingan

untuk berpartisipasi dalam menetapkan garis kebijakan perusahaan

(Buchari, 2007).

Semua tenaga kerja yang berhak mengikuti program

konservasi pendengaran, harus mendapatkan pendidikan dan training

yang cukup setiap tahun, baik yang terlibat langsung maupun tidak

pada program pemeliharaan pendengaran. Pendidikan dan edukasi

pada dasarnya sasarannya adalah perilaku tenaga kerja (Buchari,

2007).

Model pendidikan bisa berbentuk ceramah, film, poster,

pamflet, artikel, leaflet perusahaan, dan lain-lain. Program

pendidikan dilakukan secara berkesinambungan minimal dalam

skala tahunann dan materi Hearing Conservation Program (HCP)

harus disertakan pada setiap rapat keselamatan (Bashiruddin, 2002).

Pendidikan paling baik dilakukan pada kelompok kecil,

dengan waktu yang tepat, sederhana dan langsung pada sasaran

(yaitu upaya melindungi pendengaran). Pendekatan yang tepat untuk

menjelaskan tentang audiometri adalah dengan membandingkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

kemampuan mendengar antara tenaga kerja yang terpapar dan

normal untuk kelompok umur yang sama (Bashiruddin, 2002).

f. Pencatatan dan Pelaporan (Record Keeping)

Pencatatan dan penyimpanan data yang akurat penting untuk

menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan tenaga kerja,

misalnya untuk memproses tuntutan ganti rugi atau untuk

mengetahui kondisi kesehatan tenaga kerja. Sistem pencatatan yang

efektif dapat dicapai dengan cara (Bashiruddin, 2002) :

1) Pimpinan mendorong sistem pencatatan yang aktif.

2) Data yang dicatat harus akurat dan lengkap.

3) Informasi yang diperoleh harus dapat dibuktikan melalui cross

cek dengan tenaga kerja.

Catatan Hearing Conservation Program (HCP) meliputi

semua item untuk masing-masing fase atau kegiatan, yaitu (Buchari,

2007) :

1) Pengukuran paparan kebisingan.

2) Pengendalian pada mesin dan secara administratif.

3) Evaluasi Audiometri.

4) Alat perlindungan pendengaran.

5) Edukasi dan motivasi.

6) Evaluasi program.

Dalam sistem pencatatan harus ada fasilitas yang dapat

dipercaya untuk menyimpan data dan memprosesnya secara cepat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

dan akurat, seperti komputer, harus dijamin informasi yang

dimasukkan adalah akurat, lengkap, dapat dibaca dan dapat

dibuktikan (Bashiruddin, 2004).

g. Penilaian (Program Evaluation)

Tujuan utama HCP adalah menurunkan dan menghapuskan

kerugian akibat hilangnya daya pendengaran oleh paparan

kebisingan di tempat kerja. Ada dua pendekatan dalam evaluasi

program yaitu :

1) Menetapkan kelengkapan dan kualitas komponen program.

2) Mengevaluasi data audiometri.

Tujuan evaluasi program adalah :

1) Untuk mengukur keefektifan pelaksanaan HCP.

2) Untuk perbaikan dalam pencatatan.

3) Untuk mengetahui status kesehatan (pendengaran) tenaga kerja

berdasar data yang telah masuk dalam laporan atau catatan.

Evaluasi program dilakukan secara periodik, dilakukan pada

data base audiometri untuk menentukan ambang dengar secara dini.

Evaluasi program mendorong pimpinan untuk melakukan

pemecahan masalah yang berhubungan dengan keuangan dan

personil. Evaluasi program menempatkan tenaga kerja untuk

mengkomunikasikan masalah perlindungan pendengaran mereka,

dan menjelaskan mengapa tenaga kerja tidak mau menggunakan alat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

pelindung telinga sehingga keinginan tenaga kerja dapat diketahui

oleh pimpinan (pihak perusahaan) dan ditindaklanjuti.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan beberapa teori tersebut di atas dibuat kerangka pemikiran

sebagai berikut :

Area Produksi Channel 1-13


Peraturan dan Standar :
1. UU No. 1 tahun 1970,
tentang Keselamatan Kerja. Kebisingan
2. UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
3. Permenkes No. 718 tahun Tenaga Kerja
1987 tentang Kebisingan
Mempengaruhi Kesehatan.
4. Permenakertrans No. Hearing Loss
01/MEN/1981 tentang
Kewajiban Melapor Penyakit
Akibat Kerja Program Konservasi
5. Permenakertrans No. Pendengaran (Hearing
08/MEN/VII/2010 tentang Conservation Program) :
APD 1. Survei Paparan Bising.
6. Permenakertrans No. 13 2. Engineering control
tahun 2011 tentang NAB 3. Isolasi / Pembatasan
Faktor Fisika di Tempat 4. Administrative Control
Kerja. 5. Pemeriksaan Audiometri.
7. OSHA Noise Standard 29 6. Alat Pelindung Diri dan
CFR 1910.95 Penggunaannya.
7. Education and
Motivation.
8. Pencatatan dan Pelaporan
Tenaga Pelaksana : (record keeping)
1. Sustainability and EHS. 9. Evaluasi Program.
2. HRGA PT. SKF Indonesia.
3. Poliklinik Pratama PT. SKF
Indonesia.
Keberhasilan Program
4. Tenaga Kerja SDM
Konservasi Pendengaran
Kesehatan dari luar
perusahaan.
Tenaga kerja terlindungi
dari paparan bising

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran


commit to user

Anda mungkin juga menyukai