Disusun oleh:
Dokter Muda
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USK/RSUDZA
Periode 25 Juli-20 Agustus 2022
Pembimbing:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas penelitian retrospektif
yang berjudul “Karakteristik Penderita Herpes Zoster: Sebuah Studi
Retrospektif”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan
kepada “dr. Vella, Sp.KK., FINSDV.” yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan laporan penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah
memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan penelitian ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu penyakit dalam pada
khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua, Amin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4
2.1 Herpes Zoster.............................................................................................4
2.1.1 Definisi........................................................................................4
2.1.2 Epidemiologi...............................................................................4
2.1.3 Etiologi........................................................................................4
2.1.5 Patofisiologi.................................................................................5
2.1.7 Diagnosis.....................................................................................7
2.1.8 Tatalaksana..................................................................................8
ii
3.3.4 Besaran Sampel.........................................................................10
iii
DAFTAR TABEL
halaman
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes zoster (HZ) merupakan hasil dari reaktivasi virus varicella zoster
laten (VZV), yang umumnya menyebabkan cacar air di masa kanak-kanak.
Sekitar 90% orang dewasa terinfeksi virus ini, menempatkan orang dewasa pada
risiko reaktivasi. Herpes zoster muncul sebagai ruam vesikular yang menyakitkan
serta terdistribusi dalam pola unilateral dan dermatomal di sepanjang akar dorsal
atau ganglia saraf kranial. Ruam sering muncul dengan gejala prodromal dan
berkembang menjadi kelompok vesikular yang jelas, berkembang melalui tahap
pustulasi, ulserasi, dan pengerasan kulit.1
Dalam sebuah studi besar yang dilakukan terhadap 27 juta orang berusia di
atas 35 tahun di Amerika Serikat dari tahun 1993 hingga 2006, perkiraan insiden
herpes zoster adalah 2.5 per 1000 orang pada tahun 1993, 6.1 per 1000 orang pada
tahun 2006, dan hingga 7.2 per 1000 orang pada tahun 2016. Insiden terjadinya
herpes zoster sangat bervariasi ketika dikelompokkan berdasarkan usia. Sebanyak
8,45 terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun dan 10,46 untuk kelompok usia di
atas 60 tahun.2
Secara klinis herpes zoster akan menimbulkan ruam pada kulit yang khas
berbentuk makulopapular eritematosa dan terdapat lesi vesikel yang berkelompok
dengan berisikan cairan jernih kemudian menjadi keruh sehingga dapat menjadi
pustul dan krusta.3,4 Komplikasi utama dari herpes zoster yang sering terjadi
adalah neuralgia pasca herpes sebagai nyeri menetap selama lebih dari 90 hari
setelah onset herpes zoster, terjadi pada 5%-30% pasien herpes zoster. Nyeri
terkait dengan neuralgia paska herpes dapat mengganggu semua aspek kehidupan
sehari-hari serta dapat menimbulkan depresi, penurunan kualitas hidup, dan
kesenjangan sosial.3
Berdasarkan uraian di atas yang menunjukkan bahwa karakteristik
penderita herpes zoster sangat bervariasi, mencakup variasi pada manifestasi
klinis dan tatalaksana herpes zoster, maka penelitian retrospektif ini dirasa penting
untuk dilakukan sebagai studi epidemiologi terkait karakteristik penderita herpes
1
zoster di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh
periode 2017-2022. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap literatur ilmiah terkait dengan karakteristik penderita herpes zoster,
manifestasi klinis, serta penatalaksanaan herpes zoster. Secara praktis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi pembuat kebijakan dan
tenaga medis dalam memberikan layanan dan intervensi medis demi peningkatan
kualitas hidup penderita herpes zoster.
2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Menambah literatur ilmiah dan sumber informasi terkait karakteristik
penderita herpes zoster, manifestasi klinis, dan tatalaksana herpes zoster.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi pembuat
kebijakan dan tenaga medis dalam memberikan layanan dan intervensi medis
demi peningkatan kualitas hidup penderita herpes zoster.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Insiden herpes zoster pada populasi yang tinggal di komunitas berkisar
antara 2 hingga 5 per 1000 orang per tahun. Faktor risiko utama untuk herpes
zoster adalah usia. Insiden herpes zoster meningkat dengan bertambahnya usia,
pada orang dewasa yang lebih tua, prevalensi herpes zoster dapat terjadi berkisar
antara 8 hingga 12 per 1000 orang per tahun. Sebuah studi memperkirakan bahwa
setidaknya ada 1,5 juta kasus baru herpes zoster di Amerika Serikat setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang berusia 60 tahun, jumlah ini akan
meningkat secara dramatis seiring bertambahnya usia populasi.6 Pada tahun 2011-
2013 dari data 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia terdapat 2.232 penderita
herpes zoster, puncak kasus herpes zoster terjadi pada usia 45-64 tahun sebanyak
37,95% dan perempuan cenderung mempunyai insiden yang lebih tinggi.7
2.1.3 Etiologi
Hope Simpson pada tahun 1965 mengajukan hipotesis bahwa imunitas
terhadap varisela zoster virus berperan dalam patogenesis herpes zoster terutama
imunitas selularnya. Mengikuti infeksi primer virus varisela-zoster (varisela),
partikel virus dapat tetap tinggal di dalam ganglion sensoris saraf spinalis,
kranialis atau otonom selama tahunan. Pada saat respons imunitas selular dan titer
antibodi spesifik terhadap virus varisela-zoster menurun (misal oleh karena umur
4
atau penyakit imunosupresif) sampai tidak lagi efektif mencegah infeksi virus,
maka partikel virus varisela-zoster yang laten tersebut mengalami reaktivasi dan
menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dalam satu dermatom. Faktor lain
seperti radiasi, trauma fisis, obat-obat tertentu, infeksi lain, atau stres dapat
dianggap sebagai pencetus walaupun belum pasti.5 Peradangan kulit terjadi ketika
virus mencapai dermis dan epidermis dari dermatom yang terkena. Proses
kerusakan saraf dan inflamasi dermal ini berlanjut dari jalur saraf ke dermis dan
epidermis di atasnya, menghasilkan perkembangan lesi makulopapular. Lesi ini
dengan cepat berubah menjadi vesikel berisi cairan yang mengandung VZV itu
sendiri. Ketika infeksi mendekati akhir perjalanan alaminya, vesikel berisi cairan
pecah dan membentuk krusta dan menjadi kurang menular.8
Faktor resiko
Strong
HIV: insiden herpes zoster 15 kali lebih tinggi pada orang yang terinfeksi HIV
dibandingkan yang tidak terinfeksi
Pengobatan imunosupresan: penggunaan kortikosteroid jangka panjang,
lymphoproliferative malignancies, atau kemoterapi
Weak
Jenis kelamin: Wanita memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan pria
Etnis kulit putih: penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa orang kulit hitam
memiliki risiko lebih kecil dalam penyebaran infeksi herpes zoster dibandingkan
orang kulit putih.
Sumber: Phuc Le et al. (2019)9
5
2.1.5 Patofisiologi
Lesi kulit herpes zoster menghasilkan proliferasi sel T spesifik virus
Varicella-zoster, sedangkan produksi interferon alfa menyebabkan resolusi herpes
zoster. Pada pasien imunokompeten, antibodi spesifik (IgG, IgM, dan IgA)
muncul lebih cepat dan mencapai titer yang lebih tinggi selama reaktivasi (herpes
zoster) daripada selama infeksi primer yang menyebabkan imunitas seluler yang
tahan lama, ditingkatkan, dan diperantarai oleh virus varicella-zoster.10
Keterlibatan dermatologis adalah sentripetal dan mengikuti dermatom.
Pada kebanyakan kasus, radiks lumbal dan servikal yang terlibat, sedangkan
keterlibatan motorik jarang terjadi. Infeksi ini menular kepada individu yang tidak
memiliki kekebalan sebelumnya terhadap varicella-zoster, namun tingkat
penularannya rendah. Virus dapat ditularkan baik melalui kontak kulit langsung
atau dengan menghirup tetesan yang terinfeksi.10
Penting untuk diketahui bahwa infeksi herpes juga dapat terjadi secara
bersamaan. Herpes simpleks, cytomegalovirud (CMV), Epstein-barr (EBV), dan
virus herpes manusia semuanya telah ditemukan pada pasien dengan herpes
zoster.10
6
Pada sejumlah kecil pasien dapat terjadi komplikasi berupa kelainan mata
(10-20% penderita) bila menyerang di daerah mata, infeksi sekunder, dan
neuropati motorik. Kadang-kadang dapat terjadi meningitis, ensefalitis atau
mielitis. Komplikasi yang sering terjadi adalah neuralgia pasca herpes (NPH),
yaitu nyeri yang masih menetap di area yang terkena walaupun kelainan kulitnya
sudah mengalami resolusi. Perjalanan penyakit herpes zoster pada penderita
imunokompromais sering rekuren, cenderung kronik persisten, lesi kulitnya lebih
berat (terjadi bula hemoragik, nekrotik dan sangat nyeri), tersebar diseminata, dan
dapat disertai dengan keterlibatan organ dalam. Proses penyembuhannya juga
berlangsung lebih lama.11, 12
Dikenal beberapa variasi klinis herpes zoster antara lain zoster sine herpete
bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsikulit. Herpes zoster
abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa vesikel yang
langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya berlangsung
singkat. Disebut herpes zoster aberans bila erupsi kulitnya melalui garis tengah.
Bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius terjadi sindrom
Ramsay-Hunt yaitu erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membrane
timpani disertai paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3
bagian depan lidah; tinitus, vertigo dan tuli. Terjadi herpes zoster oftalmikus bila
virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus. Bila mengenai anak cabang
nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung yang dikenal sebagai tanda
Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan mata. Walaupun jarang dapat
terjadi keterlibatan organ dalam.11, 12
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis Herpes Zoster ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa
nyeri prodromal dan erupsi kulit dengan distribusi yang khas. Pada beberapa
kasus yang mungkin sulit untuk didiagnosis terutama pada pasien
immunocompromised serta herpes zoster juga tampak seperti penyakit kulit
lainnya, seperti infeksi virus herpes simpleks (HSV), reaksi obat, dan dermatitis
kontak sehingga diagnosis HZ dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang
antara lain apusan Tzank, biopsi kulit, direct fluorescent assay (DFA), dan
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan apusan Tzanck pada HZ
7
memberikan sensitivitas sekitar 84%, menunjukkan multinucleated giant cells (sel
raksasa berinti banyak). Pemeriksaan Tzanck tidak dapat membedakan antara
VVZ dan HSV, tetapi dapat membedakan dengan lesi erupsi vesikel lainnya
(misalnya, yang disebabkan oleh variola dan pox virus lainnya, coxsackieviruses
dan echoviruses).11, 12
Diagnosis banding pada herpes zoster tertera pada Tabel 2.3. 11, 12
Virus herpes simpleks Infeksi akut yang disebabkan virus H.simpleks (virus
H.hominis) tipe 1 atau 2 yang ditandai adanya
vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan
erimatosa pada daerah dekat mukokutan. Infeksi
dapat berlangsung primer atau rekurens.
Dermatitis Kontak Dermatitis kontak, seperti reaksi terhadap karet atau
nikel, atau reaksi kulit terhadap topikal
obat-obatan, seperti neomisin, dapat menyebabkan
area eritema dan vesikulasi lokal yang
mungkin menyerupai herpes zoster. Namun,
dermatitis kontak biasanya tidak sesuai dengan
distribusi dermatom.
Reaksi Gigitan Insect Hypersensitivity atau hipersensitivitas ( alergi)
Serangga kulit terhadap serangga mencakup reaksi alergi
akibat gigitan (bites), sengatan (stigs) dan kontak
dengan bagian tubuh serangga ( misalnya bulu
badan, serbuk sayak, serta toksin yang masuk ke
tubuh manusia saat digigit oleh serangga.
Eritema Multiformis Eritema multiform (EM) merupakan kelainan pada
kulit yang ditandai dengan ciri khas lesi pada kulit,
yang juga disertai kelainan kulit pada area mukosa
bibir, Lesi pada EM memiliki bentuk yang khas,
terdiri atas tiga zona dengan warna yang kontras,
menyebar pada bagian-bagian tubuh tertentu, dan
bisa timbul-tenggelam. Zona tengah berbentuk bintik
atau lenting yang memiliki mata menyerupai
lingkaran target berwarna merah keunguan. Zona
luarnya berwarna pucat dan zona paling luar
memiliki warna lebih tua. Pada kulit yang gelap,
permukaan lesi tersebut berwarna lebih gelap lagi.
Sumber: Sewon Kang M et al. (2019) 11
8
2.1.8 Tatalaksana
Tujuan utama dalam pengobatan herpes zoster adalah meningkatkan
termasuk kualitas hidup pasien yang terkena, dan mengurangi tingkat, durasi, dan
intensitas gejala kulit termasuk nyeri akut.11 Terapi antivirus direkomendasikan
untuk mereka yang berusia di atas 50 tahun tahun, mereka dengan nyeri sedang
hingga berat, ruam parah, wajah atau keterlibatan mata, atau komplikasi sistemik
lainnya, dan untuk semua pasien immunocompromised. Obat antivirus paling
efektif bila dimulai dalam 72 jam setelah munculnya ruam. Dengan tidak adanya
faktor risiko komplikasi, herpes zoster biasanya merupakan penyakit yang sembuh
sendiri.13
Terapi oral dengan valasiklovir (1 gr tiga kali sehari) atau famcyclovir
(500 mg tiga kali sehari) selama 7 hari lebih disukai daripada asiklovir oral karena
peningkatan bioavailabilitas dan lebih banyak jadwal dosis yang disederhanakan.
Asiklovir intravena (10 mg/kg) setiap 8 jam selama 7 sampai 14 hari (disesuaikan
dengan fungsi ginjal) dapat diberikan untuk kasus yang lebih parah seperti:
sebagai herpes zoster diseminata dan oftalmik.13
9
menimbulkan rasa sakit. Komplikasi herpes zoster yang paling serius lebih sering
terjadi pada pasien dengan immunocompromised seperti pada pasien nekrosis kulit
dan jaringan parut, dan cutaneous dissemination. Pasien cutaneous dissemination
memiliki penyebaran viseral yang luas dan seringkali berakibat fatal, terutama bila
penyebarab ke paru-paru, hati, dan otak.11
Prognosis HZ dapat buruk dan mengalami kekambuhan pada pasien
dengan HIV yang tidak diobati terapi antiretroviral kombinasi. Kekambuhan dapat
terjadi pada dermatom yang sama atau berbeda, atau pada beberapa dermatom
yang berdekatan atau tidak berdekatan. Selain itu, pasien dengan AIDS dapat
mengalami lesi kutaneous verukosa, hiperkeratosis, atau ektimosa kronis yang
disebabkan oleh VZV yang resisten terhadap asiklovir.11
10
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
11
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
periode 2017-2022.
3.4 Cara Pengambilan Sampel
12
lahir.
Usia Usia dalam Rekam Analisis 1. 17-25 tahun Nominal
penelitian ini medis rekam 2. 26-35 tahun
adalah usia saat medik 3. 36-45 tahun
pasien datang ke 4. 46-55 tahun
Poliklinik Kulit 5. >55 tahun
dan Kelamin
RSUDZA.
Jumlah lesi Jumlah lesi Rekam Analisis 1. Soliter Nominal
adalah medis rekam 2. Multipel
banyaknya lesi medik
yang terdapat
pada tubuh
pasien.
Lokasi lesi Lokasi lesi yaitu Rekam Analisi 1. Facialis Nominal
letak lesi yang medis rekam 2. Thoracalis
terdapat pada medik 3. Abdominal
tubuh pasien 4. Axillaris
secara 5. Ekstremitas
keseluruhan. Superior
6. Ekstremitas
Inferior
7. Lumbosacral
Terapi yang Terapi yang Rekam Analisis 1. Antibiotik + Nominal
digunakan digunakan medis rekam antiviral
adalah terapi medik 2. Antibiotik +
herpes zooster antikonvulsan
meliputi terapi 3. Antibiotik +
topikal dan antiviral +
sistemik analgesik
4. Antibiotik +
antiviral +
antikonvulsan
5. Antibiotik +
kortikosteroid
+ antiviral
6. Antibiotik +
antihistamin
7. Antibiotik +
antiviral +
antihistamin
8. Antibiotik +
antikonvulsan
+ analgesik
13
3.6 Kerangka Konsep
Jenis Kelamin
Usia
Status
Dermatologis
Terapi
Instrumen dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien, untuk data
yang diambil antara lain jenis kelamin, usia, alamat, perkerjaan, status pasien
(pasien lama atau baru), jumlah lesi, jenis lesi, ukuran lesi, terapi topical, terapi
oral, fototerapi, kombinasi terapi, penyakit penyerta (sistemik) dan faktor genetik
pasien penyakit herpes zooster.
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder dari rekam
medis. Langkah-langkah dalam mengolah data antara lain:
1. Editing (pemeriksaan data) yaitu memeriksa data yang telah
dikumpulkan sebelumnya untuk mengecek kelengkapan dan kebenaran
data.
2. Coding (pemberian kode) yaitu merubah data ke dalam bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode-kode tertentu terutama data
untuk klasifikasi untuk mempermudah pengolahan data.
3. Data Entry (pemasukan data) yaitu membuat file dan memasukkan satu
demi satu ke dalam file data komputer sesuai paket program statistik
pada komputer yang digunakan.
14
4. Tabulating (penyusunan data) yaitu pengorganisasian data agar dengan
mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk di analisis.
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Kelamin n %
Laki-Laki 115 59,59%
Perempuan 78 40,41%
Total 193 100,00%
16
didapatkan pada sebuah literature review dengan perbandingan rasio laki-laki :
perempuan adalah 2:1.16 Berbeda dengan sebuah studi cross sectional yang
mendapatkan hasil lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan. Hal ini dikaitkan
dengan perbedaan hormonal atau biologis antara jenis kelamin. Masa transisi
menopause yang dialami perempuan sehingga menyebabkan perubahan hormonal
pada respon imun menjadi salah satu alasan meningkatnya kejadian herpes zoster
pada perempuan.17 Perempuan juga sering mencari pengobatan lebih awal
dibandingkan laki-laki, serta perempuan dilaporkan memiliki kontak lebih sering
dengan anak yang menderita varisela.
Umur n %
< 17 tahun 4 2,07%
17-25 Tahun 10 5,18%
26-35 Tahun 12 6,22%
36-45 Tahun 11 5,70%
46-55 Tahun 40 20,73%
56-65 Tahun 54 27,98%
>65 Tahun 62 32,12%
Total 193 100,00%
17
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Kejadian tersebut bisa sangat
merusak kesehatan fisik dan mental serta dapat menyebabkan kehilangan
pekerjaan, depresi dan isolasi sosial.19, 20 Usia geriatri umumnya ditandai sebagai
kelompok dengan berbagai penyakit dan gangguan akibat penurunan fungsi organ.
Perubahan sistem imun adaptif pada kelompok geriatri berisiko lebih rentan
terjadi infeksi virus. Infeksi primer oleh virus varicella zoster mengakibatkan
induksi sel-T memori. Jumlah sel-T memori spesifik virus varicella zoster
menurun seiring bertambahnya usia. Penurunan imunitas spesifik virus varicella
zoster, baik karena imunosenescence atau imunosupresi sekunder untuk penyakit
tertentu seperti keganasan, HIV/AIDS atau terapi imunosupresan, diketahui
mendukung reaktivasi virus varicella zoster.21
18
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lokasi Lesi
19
Antiviral + Antibiotik 102 52,85%
Antibiotik + antikonvulsan 22 11,40%
Antibiotik + antiviral + analgesic 21 10,88%
Antibiotik + antiviral + antikonvulsan 21 10,88%
Antibiotik + kortikosteroid + antiviral 12 6,22%
Antibiotik + antihistamin 4 2,07%
Antibiotik + antiviral + antihistamin 7 3,63%
Total 193 100%
20
uk ditindaklanjuti di luar resolusi lesi kulit dan dalam kasus nyeri yang tak tertaha
nkan, dianjurkan untuk merujuk pasien ke spesialis nyeri. Sebuah meta-analisis m
enunjukkan bahwa penggunaan blok saraf dengan anestesi lokal atau kortikosteroi
d dalam tiga minggu setelah timbulnya herpes zoster mampu secara signifikan me
ngurangi kejadian neuralgia postherpetic pada tiga, enam, dan dua belas bulan.27
Kortikosteroid masih dianggap sebagai pilihan pengobatan terbaik untuk p
eradangan karna kemanjuran pengobatan kortikosteroid didasarkan pada penguran
gan edema inflamasi dan dekompresi Pengobatan kombinasi dengan kortikosteroi
d lebih efektif dalam memulihkan fungsi saraf wajah dan memiliki prognosis yang
lebih baik. Terapi kortikosteroid topikal dan sistemik dapat direkomendasikan
untuk pengobatan antiinflamasi, pada herpes zoster optalmicus perlu diperhatikan
penggunaan kortikosteroid tanpa terapi antivirus bersamaan, karena dapat
meningkatkan replikasi virus dan memicu nekrosis retina akut.28
Pengobatan dengan antibiotik pada herpes zoster memiliki tujuan dalam
pencegahan infeksi sekuder yang ditimbulkan. 27
Terapi kombinasi sesuai indikasi
pasien, sangat efektif dalam pengobatan herpes zoster secara menyeluruh, hal ini
sejalan dengan penelitian Dwi H,et all menunjukkan terapi yang paling sering
diberikan ialah kombinasi dengan jumlah 43 kasus (44,79%) yang mencakup
antiviral, analgetik, roboransia, dan topikal (bedak/cream antibiotik).7
21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Shah RA, Limmer AL, Nwannunu CE, Patel RR, Mui UN, Tyring SK.
Shingrix for herpes zoster: a review. Skin therapy letter. 2019; 24:5-7.
2. Pan CX, Lee MS, Nambudiri VE. Global herpes zoster incidence, burden of
disease, and vaccine availability: a narrative review. Therapeutic Advances
in Vaccines and Immunotherapy. 2022; 10:2515.
3. van Oorschot D, Vroling H, Bunge E, Diaz-Decaro J, Curran D, Yawn B. A
systematic literature review of herpes zoster incidence worldwide. Human
vaccines & immunotherapeutics. 2021; 17:1714-32.
4. Marra F, Parhar K, Huang B, Vadlamudi N. Risk factors for herpes zoster
infection: a meta-analysis. Open forum infectious diseases; 2020: Oxford
University Press US.
5. Usman SU, Hidayat N, Sabir M. Herpes Zoster: Case Report. Jurnal
Medical Profession (Medpro). 2020; 2:207-11.
6. Levin M, Schmader K, Oxman M. Varicella and herpes zoster.[In:] S. Kang,
M. Amagai, AL Bruckner, AH Enk, DJ Margolis, AJ McMichael, et al.
(eds.). Fitzpatrick’s Dermatology. McGraw-Hill, New York; 2019.
7. Danardono DH, Niode NJ. Profil Herpes Zoster Di Poliklinik Kulit Dan
Kelamin Rsup Prof. Dr. RD Kandou Manado 2011-2013. Jurnal Biomedik:
JBM. 2018; 7.
8. Cohen KR, Salbu RL, Frank J, Israel I. Presentation and management of
herpes zoster (shingles) in the geriatric population. Pharmacy and
Therapeutics. 2018; 38:217.
9. Le P, Rothberg M. Herpes zoster infection. BMJ. 2019; 364:k5095.
10. Nair P, Patel B. Herpes Zoster. StatPearls. StatPearls Publishing, Treasure
Island, FL; 2021.
11. Sewon Kang M, Bruckner A, Enk A. Fitzpatrick's Dermatology. New York,
NY: McGraw-Hill Education; 2019.
12. Farmakologi SA. Terapi edisi 6. Departemen Farmakologi dan Terapi
Jakarta: FK UI. 2016.
13. Kim B-S, Maverakis E, Alexanian C, Wang JZ, Raychaudhuri SP.
Incidence, clinical features, management, and prevention of herpes zoster in
patients receiving antitumor necrosis factor therapy: a clinical review.
Journal of Cutaneous Medicine and Surgery. 2020; 24:278-84.
23
14. Koshy E, Mengting L, Kumar H, Jianbo W. Epidemiology, treatment and
prevention of herpes zoster: A comprehensive review. Indian Journal of
Dermatology, Venereology and Leprology. 2018; 84.
15. Kornia RAPP, Karmila IGAAD. Prevalensi Dan Profil Herpes Zoster Di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode April 2015 Sampai
Maret 2016. E-Jurnal Medika Udayana. 2020; 9:42-6.
16. Patki A, Vora A, Parikh R, Kolhapure S, Agrawal A, Dash R. Herpes zoster
in outpatient departments of healthcare centers in India: a review of
literature. Human vaccines & immunotherapeutics. 2021; 17:4155-62.
17. Cadogan SL, Mindell JS, Breuer J, Hayward A, Warren-Gash C. Prevalence
of and factors associated with herpes zoster in England: a cross-sectional
analysis of the Health Survey for England. BMC Infectious Diseases. 2022;
22:1-9.
18. Chen L-K, Arai H, Chen L-Y, Chou M-Y, Djauzi S, Dong B, et al. Looking
back to move forward: a twenty-year audit of herpes zoster in Asia-Pacific.
BMC infectious diseases. 2017; 17:1-39.
19. Lu W-H, Lin C-W, Wang C-Y, Chen L-K, Hsiao F-Y. Epidemiology and
long-term disease burden of herpes zoster and postherpetic neuralgia in
Taiwan: a population-based, propensity score-matched cohort study. BMC
Public Health. 2018; 18:1-9.
20. Torcel-Pagnon L, Bricout H, Bertrand I, Perinetti E, Franco E, Gabutti G, et
al. Impact of underlying conditions on zoster-related pain and on quality of
life following zoster. Journals of Gerontology Series A: Biomedical
Sciences and Medical Sciences. 2017; 72:1091-7.
21. Zorzoli E, Pica F, Masetti G, Franco E, Volpi A, Gabutti G. Herpes zoster in
frail elderly patients: prevalence, impact, management, and preventive
strategies. Aging clinical and experimental research. 2018; 30:693-702.
22. Patil A, Goldust M, Wollina U. Herpes zoster: A Review of Clinical
Manifestations and Management. Viruses. 2022; 14:192.
23. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et
al. Fitzpatrick's Dermatology 9th Edition. Vol. 2. 2 vols. McGraw-Hill
Education; 2019.
24. Fitriani F, Kariosentono H, Prasetyorini BE, Oktriana P, Amelinda N. Tata
Laksana Herpes Zoster.2019
25. Mikhael San Putra W. Herpes Zoster di Kelompok Pediatrik. Cermin Dunia
Kedokteran. 2021; 48:12-5.
24
26. Saguil A, Kane SF, Mercado MG, Lauters R. Herpes zoster and postherpetic
neuralgia: prevention and management. American family physician. 2017;
96:656-63.
27. Shrestha M, Chen A. Modalities in managing postherpetic neuralgia. The
Korean journal of pain. 2018; 31:235-43.
28. Gross GE, Eisert L, Doerr HW, Fickenscher H, Knuf M, Maier P, et al. S2k
guidelines for the diagnosis and treatment of herpes zoster and postherpetic
neuralgia. JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft.
2020; 18:55-78.
25